Anda di halaman 1dari 48

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA DAN TRAUMA TAJAM PADA


LEHER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam


Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter

Dosen Penguji:
dr. Ratna Relawati, Sp.KF(K), M.Si.Med

Residen Pembimbing:
dr. Hendrik

Disusun Oleh:
Martin Adhitya Subagio 22010118220201 UNDIP
Ainun Nida Dusturia 22010118220055 UNDIP
Zakiyah Wuriyasih P.S 22010118220146 UNDIP
Aliska Arumsari 22010118220188 UNDIP
Ruth Prima Basana Hutagaol 22010118220028 UNDIP

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN DEPARTEMEN FORENSIK DAN STUDI MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Berjudul
TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA DAN TRAUMA TAJAM PADA
LEHER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh


Program Pendidikan Profesi Dokter

Penyusun:

Telah dipresentasikan pada tanggal 5 Oktober 2019

Mengetahui,

Dosen Penguji Residen Pembimbing

dr. Ratna Relawati, Sp.KF(K), M.Si.Med dr. Hendrik

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat, karunia, dan bimbingan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat
dengan judul “TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA DAN TRAUMA
TAJAM PADA LEHER” ini tepat waktu.
Adapun referat ini disusun sebagai tugas bersama dalam Kepaniteraan
Klinik Ilmu Forensik dan Medikolegal. Penyusun berharap, referat ini dapat
memberi informasi yang berguna sebagai bahan untuk pembelajaran bersama.
Dengan rasa hormat, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya atas segala bimbingan yang telah diberikan dalam penyelesaian referat
ini kepada :
1. dr. Ratna Relawati, Sp.KF(K), M.Si.Med selaku penguji
2. dr. Tri Hendrik selaku pembimbing
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini,
oleh karena itu penyusun mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan atau kata-
kata yang kurang berkenan. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat membantu sebagai masukan bagi penyusun di kemudian hari.

Semarang, 5 Oktober 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL......................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii

KATA PENGANTAR.......................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................vi

DAFTAR TABEL..............................................................................................vii

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1. Latar Belakang.............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................3

1.3. Tujuan..........................................................................................................3

1.4. Manfaat........................................................................................................3

1.4.1. Manfaat bagi Mahasiswa...........................................................................3

1.4.2. Manfaat bagi Dokter dan Instansi..............................................................4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................5

2.1. Perbedaan Trauma Tumpul dan Trauma Tajam..........................................5

2.2. Anatomi Kepala dan Leher..........................................................................6

2.2.1. Anatomi Kepala.........................................................................................6

2.2.2. Anatomi Leher...........................................................................................11

2.3. Trauma Tumpul pada Kepala.......................................................................14

2.3.1. Predileksi Fraktur Basis Cranii..................................................................15

2.3.2. Predileksi Epidural Hematoma (EDH)......................................................16

2.3.3. Predileksi Subdural Hematoma (SDH)......................................................17

2.3.4. Manifestasi Klinis dan Komplikasi Fraktur Basis Cranii..........................18

2.3.5. Manifestasi Klinis dan Komplikasi Epidural Hematoma (EDH)..............21

iv
2.3.6. Manifestasi Klinis Subdural Hematoma (SDH)........................................23

2.3.7. Kontusio Serebri Traumatik......................................................................25

2.4. Trauma Tajam pada Leher...........................................................................26

2.4.1. Manifestasi Klinis Trauma Tajam pada Leher..........................................26

BAB III. PENUTUP..........................................................................................34

3.1. Kesimpulan..................................................................................................34

3.2. Saran.............................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................36

PUSTAKA..........................................................................................................39

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tulang Kepala..................................................................................6

Gambar 2. Basis Cranii......................................................................................10

Gambar 3. Segitiga leher anterior dan posterior................................................12

Gambar 4. Zona horisontal leher.......................................................................13

Gambar 5. Regio Colli.......................................................................................14

Gambar 6. Basis Cranii......................................................................................15

Gambar 7. EDH tampak mengkompresi hemisfer kanan..................................21

Gambar 8. Otopsi menunjukkan EDH vena yang diakibatkan oleh “straddles”


sinus transversum tentorium...............................................................................22

Gambar 9. Otopsi menunjukkan SDH...............................................................24

Gambar 10. Ruptur bridging veins sepanjang fisura sagitalis pada autopsi tampak
pada permukaan hemisfer kiri.............................................................................25

Gambar 11. Tes emboli udara jantung menurut Richte.....................................30

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perubahan hemodinamik terkait iskemia otak akibat kontusio serebri 26

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya menewaskan sekitar 1,3 juta orang di
dunia dan menjadi penyebab cedera parah pada sekitar 50 juta orang. 1 Kecelakaan
lalu lintas saat ini diperkirakan menjadi penyebab kematian tertinggi ke-9 di
dunia, dan diprediksi akan menjadi yang ke-7 pada tahun 2030.2 Data Korlantas
Polri tahun 2019 menunjukkan terjadinya penurunan kejadian kecelakaan lalu
lintas di Indonesia dari 28262 kejadian menjadi 4180 kejadian, dengan korban
tewas dari 5914 korban menjadi 1044 korban.3 Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab utama dari kasus cedera kepala secara global. Diperkirakan penyebab
hingga 50% kasus cedera kepala merupakan kecelakaan lalu lintas, dengan insiden
secara global berkisar 56-430 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya. 4
Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, proporsi cedera kepala secara nasional adalah
11,9% dengan proporsi cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah 2,2%.
Sedangkan proporsi cedera kepala di Jawa Tengah adalah 10,1% dengan proporsi
cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah 2,3%.5

Cedera kepala akibat trauma tumpul mengacu pada cedera yang terlibat di
kulit kepala, tengkorak atau otak, cedera akibat benda tumpul ini merupakan salah
satu yang paling sering terjadi sebagai penyebab kematian patologi forensik dan
kedokteran klinis dan menempati posisi teratas dalam kekerasan yang
menimbulkan kematian.6 Berdasarkan uji coba MRC CRASH, 56% pasien dengan
cedera kepala memiliki setidaknya satu jenis perdarahan intrakranial. Perdarahan
intrakranial dapat diklasifikasikan menurut lokasi perdarahannya menjadi
Epidural Haemorrhage (EDH), Subdural Haemorrhage (SDH), Subarachnoid
Haemorrhage (SAH), dan Intracerebral Haemorrhage (ICH).7

1
2

Leher merupakan tempat yang dapat menyebabkan berbagai jenis cedera,


baik bersifat kecil maupun fatal. Relevansinya dalam kedokteran forensik
dihasilkan dari keberadaan struktur vital pada organ tersebut yaitu saluran
pernapasan dan pencernaan bagian atas, pembuluh darah utama, batang saraf
utama, tulang belakang dan sumsum tulang belakang. Leher menjadi sangat rentan
terhadap cedera seperti pada pembunuhan maupun kecelakaan. Di negara
berkembang insiden meningkat dengan sangat cepat sebagian karena status sosial
ekonomi yang buruk. kemiskinan, sumber daya yang terbatas, pengangguran,
akses mudah ke senjata api, penyalahgunaan alkohol dan zat serta meningkatnya
angka kejahatan.8

Beban berat yang diberikan oleh kepala dapat memperparah cedera pada
leher yang ditimbulkan oleh gerakan paksa yang mendadak dan cepat. (misal
pelambatan tiba-tiba dalam tabrakan lalu lintas jalan). Diseksi berlapis struktur
leher juga merupakan bagian penting dari pemeriksaan post-mortem forensik.9
Trauma tembus oleh benda tajam maupun balistik ke leher berpotensi melukai
berbagai struktur kompleks sehingga membutuhkan evaluasi saksama baik pada
kondisi vital maupun pada pemeriksaan post-mortem.

Penilaian signifikan forensik pada luka sayatan di leher adalah pola cedera
(untuk membedakan antara kecelakaan atau penyerangan), adanya cedera arteri
yang mampu meningkatkan kemungkinan kematian akibat perdarahan yang
banyak serta cedera vena yang meningkatkan kemungkinan kematian akibat
emboli udara jantung.10

Ditinjau dari aspek medikolegal pemeriksaan terhadap orang yang


menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat
memberikan kejelasan dari permasalahan seperti jenis luka yang terjadi, jenis
kekerasan atau senjata yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka. 11
Berdasarkan pernyataan di atas maka menjadi penting untuk mengetahui
mekanisme kematian yang disebabkan oleh trauma tumpul pada kepala dan
trauma tajam pada leher.
3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah


yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan trauma tumpul dan trauma tajam?


2. Bagaimana mekanisme kematian yang disebabkan oleh trauma tumpul
pada kepala?
3. Bagaimana mekanisme kematian yang disebabkan oleh trauma tajam
pada leher?

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan tujuan yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui perbedaan trauma tumpul dan trauma tajam


2. Mengetahui mekanisme kematian yang disebabkan oleh trauma tumpul
pada kepala
3. Mengetahui mekanisme kematian yang disebabkan oleh trauma tajam
pada leher

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat bagi Mahasiswa

1. Menambah pengetahuan serta wawasan yang berhubungan dengan


trauma tumpul pada kepala
2. Menambah pengetahuan serta wawasan yang berhubungan dengan
trauma tajam pada leher
4

1.4.2 Manfaat bagi Dokter dan Institusi

1. Menambah wawasan mengenai trauma tumpul pada kepala bagi


dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit.
2. Menambah wawasan mengenai trauma tajam pada leher bagi dokter
dan fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perbedaan Trauma Tumpul dan Trauma Tajam

Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan
atas jaringan tubuh yang masih hidup (living tissue), sedangkan logos berarti ilmu.
Jadi traumatologi adalah ilmu yang mempelajari semua aspek yang berkaitan
dengan kekerasan terhadap jaringan tubuh manusia yang masih hidup.12

Kekerasan yang mengenai tubuh seseorang dapat menimbulkan efek pada


fisik maupun psikisnya. Efek fisik berupa luka-luka yang jika diperiksa dengan
teliti dapat diketaui jenis penyebabnya seperti benda-benda mekanik, benda-benda
fisik, kombinasi benda mekanik dan benda fisik, dan zat-zat kimia korosif.
Penyebab karena benda mekanik dapat digolongkan menjadi tiga yakni benda
tajam, benda tumpul, dan benda yang mudah pecah (kaca). 12

Ciri dari luka akibat benda tajam adalah sebagai berikut:


 Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
 Bila ditautkan menjadi rapat dan membentuk garis lurus atau sedikit
lengkung
 Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan
 Daerah disekitar batas luka tidak ada memar
 Jenis luka: luka tusuk, luka iris, luka bacok

Ciri dari luka akibat benda tumpul adalah sebagai berikut:


 Bentuk luka tidak teratur, garis batas luka tidak tegas, tepinya tidak rata
dan sudutnya tumpul
 Tebing luka tidak rata dan terdapat jembatan jaringan
 Daerah disekitar batas luka terdapat luka lecet atau luka memar

5
6

 Jenis luka: luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang

2.2 Anatomi Kepala dan Leher

2.2.1 Anatomi Kepala

Tengkorak dapat dilihat dari berbagai posisi diantaranya dari atas norma
vertikalis, dari depan atau norma frontalis, dan dari belakang atau norma
occipitalis. Untuk melihat bagian dalam dari tengkorak biasanya dibuat potongan
garis yang melalui bagian bawah orbita dan bagian atas meatus acusticus
eksternus yang disebut Franfurt Plane, yang akan membagi tengkorak menjadi
bagian atas atau calvaria/skull cap dan bagian bawah tengkorak atau skull base.13

Tengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang saling berhubungan satu


sama lain dengan perantaraan sutura. Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan
yaitu tabula eksterna, diploe dan tabula interna. Pada orang dewasa ketebalan
dari tulang tengkorak bervariasi antara tiga milimeter sampai dengan 1,5
centimeter, dengan bagian yang paling tipis terdapat pada daerah pterion dan
bagian yang paling tebal pada daerah protuberantia eksterna.13

Tulang tengkorak dibagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium


(tulang- tulang yang membungkus otak otak) dan Viscerocranium (tulang-tulang
yang membentuk wajah). Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang
berhubungan satu dengan yang lain.13

Gambar 1. Tulang Kepala


7

Ada tiga macam sutura :14


1. Sutura serrata, dimana tepi dari masing-masing tulang berbentuk sebagai
gigi-gigi gergaji dan gigi-gigi ini saling berapitan.
2. Sutura skualosa, dimana tepi dari masing-masing tulang menipis dan saling
menutupi.
3. Sutura harmoniana atau sutura plana, dimana tepi dari masing-masing tulang
lurus dan saling tepi menepi.

Neurocranium dibentuk oleh : 14


1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitalis
6. Os. Ethmoidalis

Viscerocranium dibentuk oleh : 14


1. Os. Maksilare
2. Os. Palatinum
3. Os. Nasale
4. Os. Lacrimale
5. Os. Zygomatikum
6. Os. Concha nasalis inferior
7. Vomer
8. Os. Mandibulare

NORMA VERTIKALIS
Tengkorak dilihat dari atas tampak separti oval dengan bagian occipital
lebih besar dibandingkan dengan bagian frontal. Dari aspek/pandangan ini
8

terlihat tiga sutura yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian
belakang tulang frontal dan bagian depan tulang parietal, sutura sagital yang
merupakan garis median tengkorak dan menghubungkan tulang parietal kanan
dan kiri, sutura lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang parietal
dan bagian atas tulang occipital.13
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital dinamakan bregma,
yang pada anak-anak masih berbentuk celah yang dinamakan fontanel
anterior.sedangkan pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid
dinamakan lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-anak daerah ini
dinamakan fontanel posterior.13
Pada tulang parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5
centimeter diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan tempat
berjalannya vena emisaria.13

NORMA FRONTALIS
Dilihat dari depan tengkorak tampak oval dengan bagian atas lebih lebar
dari pada bagian bawah. Bagian atas dibentuk oleh os. Frontal yang konveks dan
halus sedangkan bagian bawah sanagat irreguler.13
Diatas kedua cavum orbita terdapat tonjolan yang melengkung
dinamakan arcus superciliare yang tampak lebih menonjol pada pria
dibandingkan dengan pada wanita dan diantara kedua arcus terdapat bagian yang
menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat nasion yang
merupakan pertemuan antara sutura internasal dan sutura frontonasal.13
Cavum orbita menyerupai segi empatdimana pada sisi atas (supra orbita
margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada 1/3 medialnya terdapat supra
orbital norch yang merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra
orbita. Sisi lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan proccesus
zygomaticum os.Frontale. Sisi bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh
os. Zygomaticum dan os.maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os.
Frontal dan bagian bawah os. Lacrimal.13
9

Pada normal frontalis tampak :


Os. Frontale dengan : - tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri.
- arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas
mata kanan dan kiri
- Glabela
Os. Nasale
Os. Maksilare, dengan : - fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung
Os. Zygomaticum

- jagum alveolare, tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi spina nasalis
anterior.
- Os. Maksila dan os. Nasale membatasi apertura nasalis anterior atau
apertura piriformis.
Os. Mandibula dengan bagian-bagian : ramus mandibula, pars alveolare,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis mandibulla dan angulus
mandibulla.13

NORMA OCCIPITALIS
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan roti dengan
lengkung pada bagian atas dan samping, datar pada bagian bawahnya. Sutura
lambdoid dapat tampak seluruhnya. Pada norma occipitalis tampak :
- Os. Occipital dengan bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion
- Os. Parietale
- Os. Temporalis14

BASIS CRANII
Dasar tengkorak dibagi menjadi beberapa fossa yaitu fossa anterior,
fossa media dan fossa posterior. Dari aspek ini tampak jelas cetakan dari otak.
Pada dasar tengkorak durameter melekat erat dan masuk kedalam foramen-
foramen.14
10

Gambar 2. Basis Cranii

Fossa anterior dasar tengkorak terdiri dari :


 Lempeng cribiforme os.ethmoidal, pada bagian depannya terdapat bagian
yang menonjol keatas disebut crista gali.
 Bagian orbita os.frontal, merupakan bagian terbesar dariu fossa anterior,
pada bagian depan medial terdapat sinus frontalis, bagian belakang
berbatasan langsung dengan lesser wing of sphenoid bone.
 Os.sphenoid, terdiri dari greater dan lesser wing yang menyatu pada sisi
lateral fisura orbitalis superior14

Fossa media dasar tengkorak :


 Lebih dalam dibandingkan dengan fossa anterior
 Pada bagian sentral terdapat carnalis optikus tempat lewatnya nervus
optikus, arteri ophtal milk dan meningens.
 Pada bagian depan terdapat sella tursica yang merupakan tempat hipofisis.
 Pada sisinya terdapat fissura orbitalis superior, bagian tengah lebih lebar
11

berisi n.opticus, v.ophtalmicus, n.occulomotor, n.trochleas dan beberapa


pembuluh darah kecil.
 Foramen rotundum yang berjalan kearah depan menuju fossa pterigo
palatina dan berisi maksilaris (V 2).
 Foramen ovale, berjalan kearah bawah menuju fossa infra temporal dan
berisi n.mandibulla (V 3).
 Foramen spinosum, terletak posterolateral dari foramen ovale dan berisi
arteri meningea media.
 Foramen lacerum, terletak postero medial dari foramen ovale dan berisi
arteri carotis interna.14

Fossa posterior dasar tengkorak :


 merupakan fossa yang paling besar dan dalam diantaranya fossa-fossa
lainnya berisi cerebelum, pons dan medulla oblongata.
 Foramen magnum, merupakan tempat peralihan dari medulla spinalis.
 Foramen juglare, merupakan tempat berjalannya n.glosopharingeous.
Dibagian posterior terdapat sulkus sigmoid yang berisi sinus signoid yang
berlanjut menjadi v.jugularis interna.
 Canalis hipoglosus, terletak lateral dari foramen magnum dan berisi
n.hipogrosus.14
 atasnya terdapat canalis fascialis yang merupakan tempat lewatnya
n.fascialis.14

2.2.2 Anatomi Leher

Pemahaman yang lengkap tentang anatomi leher sangat penting untuk


melalukan penatalaksanaan yang optimal. Leher merupakan suatu daerah yang
kompleks, yang mengandung struktur-struktur vital dan disekatsekat oleh fasia
menjadi beberapa bagian. Hal ini membuat cedera terhadap pembuluh darah leher
dan jaringan-jaringan sekitarnya cenderung lebih sulit dievaluasi. Terdapat dua
metode pembagian daerah leher dari luar yaitu segitiga dan zona. Secara anatomi
12

leher dibagi menjadi dua segitiga, anterior dan posterior. Segitiga anterior berisi
struktur utama leher seperti laring, trakea, faring, esofagus dan struktur-struktur
vital lain, segitiga ini dibatasi di bagian anterior oleh garis tengah leher, di
posterior oleh otot sternokleidomastoid dan superior oleh pinggir bawah
mandibula. Segitiga anterior selanjutnya dibagi menjadi segitiga karotis, segitiga
digastrik, segitiga submental dan segitiga muskular (gambar3).15

Gambar 3. Segitiga leher anterior dan posterior.16

Segitiga leher posterior merupakan daerah yang dibatasi oleh otot


sternokleidomastoid di anterior, klavikula di bagian inferior serta pinggir depan
otot trapezius di bagian posterior, selanjutnya dibagi oleh otot omohioid venter
inferior menjadi segitiga ossipital di bagian atas dan segitiga supraklavikula di
bawah (gambar 3). Prognosis trauma segitiga posterior relatif lebih baik kecuali
jika mengenai medula spinalis, karena lebih sedikit mengandung struktur vital.10,16

Berbagai kepustakaan mengenai trauma saat ini lebih sering membagi


leher menjadi tiga zona yaitu zona I, II dan III (Gambar 4). Pembagian ini tidak
hanya untuk kepentingan anatomi saja tapi juga berimplikasi terhadap
penatalaksanaan trauma tembus leher. Zona I disebut juga dasar leher (base of
neck) atau leher bagian bawah merupakan zona horizontal yang berada superior
13

dari fossa suprasternal dan klavikula sampai bagian bawah kartilago krikoid, pada
zona ini terdapat apeks paru, trakea, esofagus, a. karotis komunis, v. jugularis
interna, a. subklavia, a. Innominata, a. vertebralis, fleksus brakhialis, tiroid dan
medula spinalis. Zona ini terlindungi oleh sternum dan klavikula yang
menghalangi saat ekplorasi.16

Gambar 4. Zona horisontal Leher

Zona II (midneck/ leher bagian tengah) yaitu daerah antara bagian bawah
kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Merupakan bagian leher yang paling
terpapar, sehingga merupakan zona yang paling sering mengalami trauma tembus
(60-75%). Pada zona ini terdapat laring, trakea, esofagus, a. karotis, v. kugularis
interna, a. vertebralis, medula spinalis, n.laringeus rekuren dan saraf
kranial.15

Zona III (leher atas) terletak antara angulus mandibula sampai dasar
tengkorak. Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah a. Karotis interna
bagian distal, v. Jugularis interna, a. vertebralis, cabang-cabang a. karotis
eksterna, faring, kelenjar parotis, medula spinalis dan saraf kranial IX - XII.
Strukrur-struktur ini dibungkus oleh dua lapis fasia, fasia superfisial dan fasia
servikal profunda (dalam). Fasia superfisial menutupi otot platisma yg berada
langsung di bawah kulit. Fasia servikal dalam dibagi menjadi tiga bagian; lapisan
investing, lapisan pretrakea dan lapisan prevertebra. Lapisan pretrakea
mempunyai makna klinis yang penting, karena lapisan ini berhubungan dari leher
sampai ke bagian anterior mediastinum. Lapisan ini melekat erat dengan kartilago
14

krikoid dan tiroid dan berjalan ke kaudal di belakang sternum dan memasuki
perikardium anterior, sehingga cedera aerodigestif yang tidak terdeteksi dapat
menimbulkan mediastinitis. Selubung karotis (carotid sheath) dibentuk dari
ketiga lapisan fasia servikal dalam. Otot platisma menutupi anterolateral dari
leher. Hal ini mempunyai makna klinis yang penting karena lokasinya yang
superfisial dan berhubungan erat dengan struktur-struktur penting di leher,
sehingga penilaian trauma di leher harus memperhatikan adanya kerusakan pada
otot ini.15,16

Gambar 5. Regio Colli

2.3 Trauma Tumpul pada Kepala

Trauma tumpul disebabkan oleh benturan benda tumpul dengan kecepatan


lambat atau benturan tubuh dengan permukaan tumpul benda dengan kecepatan
lambat.17

Trauma tumpul pada kepala dapat menyebabkan kerusakan primer dan


sekunder pada otak. Kerusakan primer otak disebabkan oleh benturan mekanik
yang menyebabkan deformasi otak pada waktu benturan terjadi, di mana elemen
15

neural (pembuluh darah, axon, neuron, glia) secara langsung mengalami


kerusakan baik fokal, multifokal, maupun difus. Kerusakan sekunder otak
merupakan komplikasi dari berbagai jenis kerusakan otak primer. Kerusakan
sekunder dapat terjadi dalam beberapa jam, hari, bahkan minggu sejak trauma
pertama kali terjadi. Kerusakan sekunder dapat terjadi fokal, multifokal, maupun
difus. Kerusakan sekunder otak dapat berupa kerusakan iskemia-hipoksia,
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), neuroinflamasi, infeksi, dan
hidrosefalus.17

Trauma tumpul juga dapat menyebabkan fraktur cranium. Gambaran fraktur


sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu:18
 Besarnya energi benturan
 Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin
besar nilai perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur
depressed
 Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak

2.3.1 Predileksi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii, biasanya disebabkan oleh trauma gaya tumpul


yang substansial, melibatkan setidaknya satu tulang yang menyusun dasar
tengkorak. Fraktur basis cranii paling sering melibatkan tulang temporal,
dan dapat melibatkan oksipital, sphenoid, ethmoid dan lantai orbital tulang
frontal.19

Fraktur basis cranii terjadi pada 3,5 - 24% dari cedera kepala dan
sering berhubungan dengan cedera otak (pada 50% kasus). 70% dari
fraktur dasar tengkorak terjadi di fossa anterior, 20% di fossa media dan
5% di fossa midposterior.20
16

Gambar 6. Basis cranii

Lokasi fraktur merupakan prediksi cedera terkait:21

 Fraktur temporal, yang paling umum terjadi, berhubungan dengan


cedera karotis, cedera saraf kranial VII atau VIII, dan kebocoran
cairan serebrospinal mastoid.
 Fraktur basis cranii anterior berhubungan dengan cedera orbital,
kebocoran cairan serebrospinal hidung, dan cedera pada saraf
kranial I.
 Fraktur basis cranii media berhubungan dengan cedera saraf kranial
III, IV, V atau VI dan cedera karotis.
 Fraktur berbasis cranii posterior berhubungan dengan cedera
vertebra cervical, cedera arteri vertebralis, dan cedera pada saraf
kranial bawah. Cedera ini sangat serius dan seringkali pasien
mengalami hemiplegia atau paraplegia.

Sebagian besar fraktur basis cranii disebabkan oleh trauma tumpul


berkecepatan tinggi seperti tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan
sepeda motor, dan cedera pejalan kaki. Jatuh dan penyerangan juga
merupakan penyebab penting. Luka tembus seperti luka tembak
merupakan penyebab dari 10% kasus fraktur basis cranii.22

Trauma tumpul kranial dapat merupakan hasil dari kekerasan


antarpribadi (misalnya, penyerangan), kecelakaan (misalnya, dampak
17

kecelakaan lalu lintas), atau bunuh diri karena melompat dari tempat
tinggi.23

2.3.2 Predileksi Epidural Hematoma (EDH)

Epidural Hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di


ruang potensial antara tabula interna dan duramater. EDH paling sering
diakibatkan oleh laserasi dari arteri meningeal media. Pembuluh darah ini
terletak di sekitar periosteum dan menempel erat pada permukaan dalam
tulang temporal sehingga berkemungkinan untuk mengalami kerusakan
apabila ada fraktur tulang tengkorak. Pada orang dewasa, 75% EDH
terjadi di regio temporal, sedangkan pada anak-anak EDH dapat
ditemukan di regio temporal, oksipital, frontal, dan fossa posterior.17,24

Pada kasus yang jarang terjadi, EDH juga dapat disebabkan oleh
laserasi satu atau lebih cabang dari sinus vena atau vena emisaria, terutama
di regio pareto-oksipital atau fossa posterior.17,25

EDH lebih jarang menyebabkan kontusio dibandingkan dengan


SDH. EDH jarang terjadi pada sisi kontralateral benturan.25

2.3.3 Predileksi Subdural Hematoma (SDH)

Subdural Hematoma (SDH) merupakan perdarahan pada ruang


antara dura dan arachnoid, yang sering diasosiasikan dengan cedera
mekanik otak dan memiliki mortalitas tinggi. Sering terjadi pada orang tua
dan alkoholik, dan sering dihubungkan dengan jatuh. SDH sering
dihubungkan dengan ruptur dan penarikan dari parasagittal bridging veins
yang bermuara di sinus dural. Pembuluh darah ini terletak bebas di
spasium subdural, di mana pembuluh darah ini berdinding tipis dan rapuh
terhadap energi akselarasi/deselarasi pada saat otak berpindah dalam
18

cranium saat terjadi benturan kepala. Rupturnya pembuluh darah ini paling
mungkin disebabkan oleh rotasi pembuluh darah pada axis trasversal atau
diagonal-frontal. SDH menyebar luas pada hemisfer serebral.17,25

Lebih dari 95% dari subdural hematoma (SDH) terjadi


supratentorial.26

Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak


daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau di antara lobus temporal dan dasar
tengkorak.27

2.3.4 Manifestasi Klinis dan Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Cedera pada basis cranii dapat dibedakan menjadi burst fracture


dan bending fracture.

Fraktur bending disebabkan trauma langsungdan tepat kearah


tengkorak. Yang akan menghasilkan depresi tulang pada sisi yang terkena
impact dengan ciri fraktur kominutif atau perforasi.

Fraktur burst disebabkan oleh benda yang permukaannya luas dan


trauma tidak langsung ke tulang tengkorak. Kekuatan yang dihasilkan
diteransmisikan dan di daerah yang tulangnya tipis, karena ealstisitas yang
minimal menyebabkan kerusakan.

Gejala Klinis
1. Eyelid hematoma (hematoma kelopak mata)
Hematoma pada kelopak mata dapat timbul akibat cedera pada
cedera kraniofasial atau pada atap orbita. Kelainan ini dapat timbul
unilateral atau bilateral dan juga berwarna biru pada tahap awal.
Pembengkakan dapat menganggu pembukaan kelopak mata. Kelopak
mata dibagi oleh septum orbita, yang memungkinkan lokalisasi cedera
di wilayah orbita. Cedera kraniofasial mengakibat terlihatnya
19

hematoma ventral yang hanya terdapat pada septum orbita, yang mana
dapat dilihat segera setelah trauma. Cedera dari basis cranii
memperlihatkan hematoma pada dorsal dan ventral ke esptum orbita,
karena semakin panjang jarak kekelopak mata, hematoma ini dapat
diamati segera setelah cedera terjadi. Jika udara masuk ke apparatus
kelopak mata dari hidung dan sinus paranasal (misalnya pada cedera
atap sinus ethmoid, yang meluas ke orbita roof), dapat menyebabkan
emfisema pada kelopak mata. Hal ini dapat didentifikasi dengan
adanya krepitasi.

2. Seiferth Sign
Seiferth sign adalah hematoma submucosal yang terlihat pada
atap faring yang dapat terjadi dengan fraktur yang melibatkan sinus
sphenoid atau ethmoid posterior. Fleksibel endoskopi digunakan
untuk mengevaluasinya.
3. Gangguan Penciuman
Gangguan penciuman dapat disebabkan oleh cedera langsung
(avulsi nervus olfaktori pada plate cribriform) atau trauma tidak
langsung pada nervus olfaktori. Berbagai metode dapat digunakan
untuk menguji kemampuan penciuman. Bau memiliki ambang deteksi
dan pengenalan bau. Disfungsi penciuman, hanya mempengaruhi saraf
trigeminal dan sensasi rasa yang dirasa. Bensin adalah salah satu
contoh zat yang cocok untuk melakukan uji sederhana kemampuan
penciuman (tes uji kemampuan penciuman subjektif). Sebuah kapas
yang dicelupkan kedalam bensin diletakkan didepan satu lubang
hidung (dengan lubang hidung lainnyta ditutup). Jika penciuman
pasien intak maka dia dapat mencium bau bensin tersebut. Uji
simulasi dengan menempatkan aroma murni (misalnya peppermint
atau kayu manis) dilidah. Jika pasien anosmia, ia akan mengalami
sensasi manis atau dingin. Jika pasien memiliki ageusia, maka ia akan
mengakami sensasi sejuk.
20

4. CSF Rhinorea
Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi sebagai trauma
cedera primer maupun sekunder (beberapa minggu hingga bulan
setelah trauma). Rinorea cairan serebrospinal dapat terjadi hanya jika
ada fistula cairan serebrospinal (terdapat hubungan antara ruang
intrakranial dan ruang udara di tulang wajah). Kebocoran cairan
serebrospinal dapat didiagnosis dengan menggunakan endoskopi, tes
imunologi, contras radiografi atau dengan metode dye.

5. CSF otore
CSF otore disebabkan oleh hancurnya pertahanan yang
memisahkan telinga tengah dengan CSF diotak. Ketika itu terjadi
maka CSF akan keluar dari telinga. CSF otore yang terjadi setelah
trauma seringkali akan berhenti dengan spontan dalam 1-2 minggu.
Jika tidak maka diperlukan tindakan operasi.
6. Pneumocephalus
Pneumochepalus yaitu adanya udara diintrakranial. Penigkatan
tekanan dihidung dan sinus paranasal meyebabkan udara bocor
melalui defect pada basis cranii yang akan mengakibatkan adanya
udara di epidural, subdural/ subarachnoid maupun intracerebral.
7. Meningitis
Meningitis terjadi dalam hitungan jam atau hari setelah cedera.
Hal ini disebabkan oleh infeksi keventrikel. Tanda-tanda khas dari
meningitis adalah mengantuk, leher kaku, kernig atau lasgue sign
positif.

Komplikasi Fraktur Basis Cranii


1. Kebocoran CSF
21

Sebagian besar kebocoran CSF menyelesaikan secara spontan dalam


5-10 hari tetapi beberapa dapat bertahan selama berbulan-bulan.
2. Meningitis
Meningitis dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien tetapi risiko
meningkat dengan durasi kebocoran CSF.
3. Kelumpuhan saraf kranial
Defisit saraf kranial melibatkan hilangnya bau dan kelumpuhan wajah.
4. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran konduktif biasanya hilang dalam 7-21 hari.
5. Trombosis sinus kavernosa
6. Vertigo
7. Perdarahan intrakranial
8. Kematian21

2.3.5 Manifestasi Klinis dan Komplikasi Epidural Hematoma (EDH)

Manifestasi Klinis Epidural Hematoma (EDH)

Pasien dengan EDH biasanya mengalami “lucid interval”, di mana


pasien awalnya mengalami kehilangan kesadaran saat mengalami trauma
diikuti dengan periode asimtomatik kemudian mengalami koma dan/atau
defisit neurologis.26

Keluhan lain yang sering dijumpai adalah nyeri kepala, mual,


muntah, dan tanda-tanda adanya massa intracranial diikuti oleh keadaan
somnolen atau koma.

EDH dikarakterisasi oleh perdarahan antara dura dan tulang


tengkorak. EDH melekat erat pada tulang dan duramater sehingga
membentuk gambaran lentikuler yang tebal, tampak konveks. EDH jarang
terjadi pada sisi kontralateral benturan.25
22

Gambar 7. EDH tampak mengkompresi hemisfer kanan25


Arterial EDH
Pada pemeriksaan patologis, EDH ditemukan dalam bentuk
bikonveks. Bentuk ini disebabkan oleh adhesi antara dura periosteal
dengan tabula interna, sehingga saat EDH melebar, perdarahan ini akan
memisahkan dura dengan tabula interna membentuk gambaran klasik
berupa lens-shaped hematom.26

Venous EDH

EDH akibat kerusakan pembuluh darah vena biasanya lebih kecil,


tekanan lebih rendah, dan berkembang lebih lambat dibandingkan apabila
terjadi pada arteri. Kebanyakan EDH vena disebabkan oleh fraktur
tengkorak yang melewati sinus venosus dan terjadi pada fossa posterior
mendekati basis cranii (sinus transversum/sinus sigmoid) atau vertex (sinus
sagitalis superior). EDH akibat kerusakan vena dapat menyebabkan
“straddle” pada kompartemen intrakranial.26
23

Gambar 8. Otopsi menunjukkan EDH vena yang diakibatkan oleh


“straddles” sinus transversum tentorium.26

EDH yang terjadi pada vertex biasanya diakibatkan oleh fraktur


tulang tengkorak yang melewati sinus sagitalis superior, di mana sinus
sagitalis superior dapat mengalami laserasi, kompresi, dan trombosis.
Hematom berada pada tekanan rendah, berkembang perlahan, dan gejala
muncul lambat. Hematom ini dapat berkembang menjadi besar dan
mengakibatkan efek massa yang signifikan.26

EDH yang terjadi pada regio temporal anterior biasanya


diakibatkan oleh fraktur os zygomaticomaksilaris atau sfenoid yang
menyebabkan kerusakan pada sinus venosus sfenoparietal. Hematom
berkumpul pada tip anterior dari fossa cranial medialis dan terbatas secara
anatomi (di lateral oleh sutura sfenotemporal, medial oleh fisura
orbitalis).26

Komplikasi Epidural Hematoma (EDH)

Apabila volume perdarahan besar dapat menyebabkan efek massa


yang mengkompresi otak. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
herniasi dan kejang.24
24

2.3.6 Manifestasi Klinis Subdural Hematoma (SDH)

Manifestasi Klinis Subdural Hematoma (SDH)

Subdural hematoma (SDH) akut merupakan salah satu penyebab


kematian dan disabilitas pada pasien dengan trauma kepala berat. SDH
lebih sering terjadi dibandingkan EDH. SDH sering disertai dengan
subarachnoid hematoma (SAH) dan kerusakan parenkim seperti kontusio,
laserasi otak, dan diffuse axonal injuries.26
SDH terlihat sebagai penggumpalan lembut, keunguan, “currant
jelly” yang berada pada dura yang menonjol. Kebanyakan SDH menyebar
difus pada hemisfer yang terkena sehingga membentuk gambaran crescent
yang tipikal.26

Gambar 9. Otopsi menunjukkan SDH26

Gejala klinis bervariasi dari tidak ada gejala hingga penurunan


kesadaran dan koma. Kebanyakan penderita SDH yang memeriksakan diri
ke rumah sakit memiliki tingkat kesadaran GCS yang rendah. SDH dapat
25

stabil, berkembang lambat atau cepat dalam hal ukuran, mengakibatkan


efek massa dan herniasi otak sekunder. Prognosis bervariasi tergantung
oleh besarnya perdarahan, midline shift, dan adanya kerusakan parenkim.26

Apabila darah padat, menggumpal, berwarna merah-kehitaman


biasanya menandakan bahwa perdarahan akut. Apabila darah campuran
gumpalan dan cairan, menandakan bahwa perdarahan subakut. Apabila
darah cair dan berwarna kecokelatan, menandakan bahwa perdarahan
sudah berlangsung kronis.17,25

Gambar 10. Ruptur bridging veins sepanjang fisura sagitalis pada autopsi
tampak pada permukaan hemisfer kiri25

2.3.7 Kontusio Serebri Traumatik


Kontusio merupakan tanda yang umum ditemukan pada trauma
tumpul otak. Kontusio merupakan memar fokal di permukaan otak yang
26

diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil otak yang terlihat


sebagai petekiae di krista gyrus.
Kontusio dapat terjadi pada daerah benturan (coup contusions) dan
terjadi pada daerah berlawanan dengan benturan
(contrecoup/contralateral contusions).17
Kontusio dapat disertai dengan perubahan keadaan hemodinamik,
yang dapat memperburuk cedera, mengakibatkan iskemia. Berikut adalah
perubahan status hemodinamik terkait dengan iskemia otak akibat
kontusio serebri:28

Keadaan Karakteristik
Hipoksemia PaO2 < 60 mmHg
Hipotensi <50 mmHg selama > 30 menit
sebelum resusitasi
Mean Arterial Blood Pressure Hemispheric CBF <20
(MABP) ml/100g/menit
Herniasi Dilatasi pupil
Cerebral Perfusion Pressure <50 mmHg selama >30 menit
(CPP)

Tabel 1. Perubahan Hemodinamik Terkait Iskemia Otak Akibat Kontusio


Serebri28

Kontusio juga dapat mengakibatkan edema otak di mana pada fase


pertama atau ultra-early phase edema otak yang terjadi pada 24 jam
pertama sering menjadi penyebab kemunduran klinis atau kematian.28

2.4 Trauma Tajam pada Leher

2.4.1 Manifestasi Klinis Trauma Tajam pada Leher


27

Penyebab terbanyak luka tembus leher yang datang ke berbagai


unit gawat darurat adalah luka tembak dan luka sayat, namun dapat juga
disebabkan oleh sebab lain seperti kecelakaan saat berburu. Sedangkan
trauma leher akibat kecelakaan lalu lintas biasanya berupa trauma tumpul.
Penyebab ini juga dipengaruhi demografi. Satu penelitian di Kanada
melaporkan penyebab utama akibat luka tusuk atau sayat (95% dari 130
kasus). Berdasarkan objek penyebab, etiologi trauma tembus leher
dibedakan atas alat penusuk/ pembacok (stabbing instruments) dan alat
penembak (shooting instruments). Luka yang ditimbulkan dari masing-
masing penyebab mempunyai karakteristik yang berbeda yang
mempengaruhi tindakan. Trauma tembus akibat tembakan lebih sering
menyebabkan cedera struktur vital leher daripada trauma akibat luka tusuk
atau sayat.

Sebagai akibat dari trauma leher menyebabkan trauma saluran


pernafasan yang mengakibatkan pemisahan persial krikotrakea robekan
mukosa saluran pernafasan setinggi ini akan memberi gejala berupa;
batuk, hemoptisis, dan emfisema subkutis pada leher. Bila trakea robek
terlepas dari krokoidea, maka sokongan kaku ke saluran pernafasan oleh
cincin trakea akan berkurang ditempat avulsi. Pada trauma yang sedikit
lebih tinggi, kertilago krokoidea remuk pada columna vertebralis dan
lamina cartilago tiroidea terpecah menjadi dua yang memberikan gejala
perdarahan. Cedera yang terjadi dikomisura anterior menyebabkan
perdarahan kedalam jaringan lunak laring dan timbul sesak, nyeri timbul
sewaktu menelan. Pada trauma tajam di leher dapat menyebabkan
perdarahan yang kemungkinan akan memberikan gejala sesak.
28

Trauma Tajam yang Mengenai Arteri

Luka tusuk yang dalam atau luka iris pada leher, khususnya pada
arteri-arteri karotis (komunis, internal, maupun eksternal) dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah banyak dan menyebabkan
kematian.29 Hal ini dikenal dengan istilah eksanguinasi.

Seorang dewasa memiliki volume darah perkiraan sebesar 70


ml/kgBB. Sehingga dengan rumus tersebut, seseorang dengan berat kira-
kira 70 kg akan memiliki volume darah sebesar 4900 ml atau dibulatkan
menjadi 5 liter.30

Menurut ATLS, kehilangan darah dapat dikategorikan menjadi 4


kelas, yaitu:31
a. Kelas I
Pada perdarahan kelas I, yaitu kehilangan <15% volume darah (<750
ml), gejala klinis yang ditemukan minimal. Dalam keadaan tanpa
komplikasi, dapat ditemukan takikardi minimal. Tidak ada
perubahan yang signifikan pada tekanan darah. Pada pasien-pasien
yang tidak mengeluhkan apapun, biasanya darah tidak perlu diganti
29

karena pengisian ulang transkapiler dan beberapa mekansime


kompensasi lainnya akan mengembalikan volume darah yang hilang
dalam 24 jam.31
b. Kelas II
Gejala klinis pada perdarahan kelas II, yaitu kehilangan volume
darah 15-30% (750-1500 ml), dapat berupa takikardi, takipneu, dan
penurunan tekanaan darah. Meskipun terdapat perubahan pada
system kardiovaskuler, pengeluaran urin biasanya hanya sedikit
terpengaruh. Laju pengeluaran urin biasanya 20-30 ml/jam pada
orang dewasa dengan perdarahan kelas II.31

c. Kelas III
Pasien dengan perdarahan kelas III, yaitu kehilangan volume darah
30-40% (1500-2000 ml), biasanya menunjukkan gejaa klasik perfusi
yang tidak adekuat, seperti takikardi dan takipneu yang cukup
menonjol, perubahan status mental secara signifikan, dan penurunan
tekanan darah sistolik. Prioritas utama pada penanganan awal kasus
ini adalah menghentikan perdarahan dengan operasi darurat atau
embolisasi apabila diperlukan. Hampir seluruh pasien yang
mengalami perdarahan kelas III membutuhkan transfusi PRC untuk
kembali ke keadaan semula.31
d. Kelas IV
Perdarahan kelas IV, yaitu kehilangan volume darah sebesar >40%
(>2000 ml), adalah keadaan yang mengancam nyawa. Gejala yang
dapat ditemukan seperti takikardi, penurunan tekanan darah sistolik
secara signifikan, dan tekanan darah diastole yang hampir tidak
dapat diukur. Pengeluaran urin juga berkurang dan status mental
sangat buruk. Kulit juga dingin dan pucat. Pasien dengan perdarahan
kelas IV biasanya membutuhkan tranfusi segera dan tindakan operasi
intervensi.31
30

Seseorang yang mengalami eksanguinasi dapat meninggal apabila


kehilangan setengah hingga dua per tiga darahnya. Eksanguinasi sendiri
dapat digolongkan sebagai sebuah sindrom karena terdiri dari beberapa
gejala dan tanda yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu terdiri dari
hipotermia, koagulopati, asidosis, aritimia, dan syok.32

a. Hipotermia
Perdarahan hebat menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen, yang kemudian menyebabkan berkurangnya
produksi panas. Keadaan hipotermia mempunyai efek inotropik
negatif pada miokardium. Keadaan hipotermia juga dapat
menyebabkan koagulopati melalui inhibisi kaskade koagulasi,
aktivasi platelet, dan fungsi platelet. Keadaan hipotermia akan
diperparah dengan perdarahan yang terus menerus, karena darah juga
berfungsi untuk membawa panas dan menjaga tubuh tetap hangat.32
b. Koagulopati
Darah memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah trombosit
dan faktor-faktor pembekuan darah yang berperan dalam
menghentikan perdarahan. Pada kasus perdarahan hebat, jumlah
darah yang keluar sangat banyak sehingga faktor-faktor koagulasi
dan trombosit juga ikut keluar. Hal ini akan memperparah terjadinya
perdarahan karena darah yang keluar tidak bisa dihentikan oleh
proses pembekuan darah, dan akan terus berlanjut apabila
perdarahan tidak segera ditangani. Selain itu, hal ini juga akan
memperparah terjadinya hal-hal lain yang terdapat pada sindroma
eksanguinasi.32
c. Syok dan asidosis
Salah satu fungsi darah adalah membawa oksigen dan glukosa yang
keduanya berperan dalam metabolisme aerobik. Apabila seseorang
kehilangan darah dalam jumlah besar, maka tidak ada pembawa
31

oksigen ke sel dan jaringan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya


syok, yaitu keadaaan di mana tubuh tidak bisa mencukupi kebutuhan
perfusi jaringan. Akibatnya, sel akan beralih ke metabolisme
anaerobik, yaitu metabolisme glukosa tanpa oksigen. Metabolisme
anaerobik menghasilkan zat sisa berupa asam laktat. Apabila
metabolisme anaerobik ini terus berlanjut, maka akan terjadi
penumpukan asam laktat, yang kemudian menyebabkan penurunan
pH darah dan tubuh, yang disebut dengan asidosis.32
d. Aritmia
Pada eksanguinasi, berkurangnya perfusi jaringan menyebabkan
kerusakan membran sel sehingga terjadi pengeluaran elektrolit,
khususnya K+ dari intrasel ke ekstrasel, sehingga terjadi
ketidakseimbangan elektrolit darah yang menyebabkan terganggunya
aktivitas elektrik jantung.32

Trauma Tajam yang Mengenai Vena

Pada luka tusuk atau iris pada leher yang mengenai vena pada
leher, khususnya vena jugularis (lebih sering pada luka iris dalam
dibandingkan luka tusuk), udara dapat masuk ke sirkulasi vena dan
terdorong ke atrium kanan dan ventrikel kanan. Apabila ventrikel kanan
memompa udara ini ke paru-paru, maka emboli paru dapat terjadi. Pada
thromboembolisme paru, tekanan pada sirkulasi pulmonal akan
meningkat, sehingga jantung tidak kuat memompa darah ke sirkulasi
pulmonal, dan terjadilah gagal jantung kanan akut. Jumlah udara yang
masuk sebanyak 70-150 ml sudah cukup untuk menyebabkan emboli
udara yang mematikan. Pada korban yang selamat dari kasus emboli
udara, dapat terdengar suara gelembung udara pada pemeriksaan
auskultasi pada ventrikel kanan.29
32

Selain karena adanya emboli udara, kehilangan darah yang masif


melalui vena jugularis juga dapat menyebabkan gejala-gejala
eksanguinasi.

Pada kasus kematian akibat emboli udara, pada otopsi dapat


dilakukan teknik khusus yang disebut tes emboli udara jantung menurut
Richter, yaitu dengan membuka kantung pericardium pada bagian depan,
setinggi dinding anterior ventrikel dengan insisi tunggal, dan setelah
dilakukan inspeksi untuk melihat kelainan patologis, kemudian diberikan
air dalam jumlah banyak. Setelah epikardium seluruhnya terpendam dalam
air, sebuah insisi dilakukan di dalam air setinggi atrium kanan
menggunakan ujung skalpel. Pada kasus emboli udara, gelembung udara
akan muncul.29

Gambar 11. Tes emboli udara jantung menurut Richter29

Trauma Tajam yang Mengenai Saraf

Salah satu struktur saraf penting pada leher adalah N. X (nervus


vagus) yang salah satu cabangnya mempersarafi diafragma otot otot
pernapasan. Trauma tajam leher pada kedalaman tertentu, terutama pada
Zona II, dapat mencederai N. X yang mengatur serabut saraf aferen
maupun eferen fungsi pernapasan otot diafragma. Terganggunya
persarafan ini akan memengaruhi pengembangan paru menjadi tidak
33

sempurna dan pertukaran gas menjadi inadekuat sehingga kadar CO2


menumpuk di darah dan terjadi kondisi anoksia. Kondisi anoksia yang
menetap selama 20 menit akan menciptakan kerusakan permanen pada sel-
sel otak termasuk pada pusat pernapasan.33

Trauma Tajam yang Mengenai Saluran Napas

Pada trauma tajam leher sering disebabkan karena adanya tusukan


pisau kasus penganiayaan atau usaha bunuh diri juga akibat pecahan kaca
pada kasus kecelakaan. Jika trauma tajam menembus sampai mukosa
laring, dari luka akan keluar darah yang berbuih akibat adanya usaha
memenuhi kebutuhan udara nafas sehingga ancaman terjadinya aspirasi
sangat tinggi dimana darah dapat masuk ke paru – paru dan menghalangi
pertukaran udara di saluran napas kecil, sehingga pada waktu yang lama
akan menimbulkan respon asfiksia.10
Komplikasi trauma tajam leher yang sering terjadi: Ruptur
tenggorokan, Fraktur laring, Stenosis laring akibat penyembuhan yang
membentuk jaringan parut. Granuloma intubasi juga dapat terjadi sebagai
komplikasi pemasangan pipa endotrakeal yang lama.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Luka pada Ilmu Kedokteran Forensik merupakan salah satu bagian


terpenting. Luka bisa terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Luka dapat
diklasifikasikan berdasarkan penyebab benda mekanik dapat digolongkan menjadi
tiga yakni benda tajam, benda tumpul, dan benda yang mudah pecah (kaca).

Kecelakaan lalu lintas saat ini diperkirakan menjadi penyebab kematian


tertinggi ke-9 di dunia, mayoritas kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama
dari kasus cedera kepala. Selain cedera kepala, leher juga sangat rentan terhadap
cedera seperti pada pembunuhan maupun kecelakaan, di negara berkembang
insiden terjadinya cedera leher meningkat dengan sangat cepat. Keberadaan
struktur vital pada leher yaitu saluran pernapasan dan pencernaan bagian atas,
pembuluh darah utama, batang saraf utama, tulang belakang dan sumsum tulang
belakang menjadikan leher fatal jika terjadi cedera dan bisa menyebabkan
kematian.

Cedera pada otak menyebabkan kematian melalui berbagai mekanisme,


namun dapat dikategorikan menjadi dua, yang pertama karena kerusakan langsung
pada parenkim otak dan yang ke dua disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan gagalnya perfusi darah ke otak. Cedera pada leher
juga menyebabkan kematian melalui berbagai mekanisme yaitu trauma tajam
mengenai khusunya arteri-arteri carotis yang dapat menyebabkan eksanguinasi
(hipotermia, koagulopati, asidosis, aritimia, dan syok) dan vena jugularis yang
menyebabkan emboli udara, trauma tajam pada saraf vagus yang akan
memengaruhi pengembangan paru menjadi tidak sempurna dan pertukaran gas
menjadi inadekuat sehingga kadar CO2 menumpuk di darah dan terjadi kondisi
anoksia, trauma tajam mengenai saluran napas yang sampai mukosa laring, maka
dari luka akan keluar darah yang berbuih akibat adanya usaha memenuhi

34
35

kebutuhan udara nafas sehingga ancaman terjadinya aspirasidan dapat masuk ke


paru – paru dan menghalangi pertukaran udara di saluran napas kecil, sehingga
pada waktu yang lama akan menimbulkan respon asfiksia.

3.2 Saran
1. Diharapkan mempelajari lebih lanjut mengenai trauma karena
tingginya kejadian trauma terutama kekerasan trauma mekanik.
2. Seorang dokter atau calon dokter harus belajar mengenai mekanisme
kematian sehingga mampu membuat Visum et Repertum yang baik dan
benar.
3. Diharapkan menambah pengetahuan mengenai mekanisme trauma
tumpul pada kepala dan trauma tajam pada leher.
DAFTAR PUSTAKA

1. International Transport Forum. Road safety annual report. OECD Publ.


2017;9.
2. Toroyan T. Global status report on road safety 2015. Geneva: World Health
Organization. 2015;9–10.
3. Korps Lalu Lintas Kepolisia RI. di Indonesia selama triwulan terakhir(31
Desember 2018-31 Maret 2019 s.d.1 April 2019-30 Juni 2018).
4. Shankar KH, Paparajamurthy, Kumar MK AK. A clinical analysis of
outcome in management of head injury in patients with highway road
accidents.Int J Res Med Sci. 2016;79–80.
5. Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Hasil utama Riskesdas 2018. Jakarta. 2018;
6. LI Hong-wei, CHANG Hong-fa, YU Yong-min DG and YZ. Forensic
medical study on morphology and formative mechanism of blunt head
injury. 2012;1.
7. Perel P, Roberts I, Bouamra O, Woodford M, Mooney J LF. Intracranial
bleeding in patients with traumatic brain injury: a prognostic study. BMC
Emerg Med. 2009;9:1–8.
8. Aruna Kumar Chappidi AC. A study of incidence, causes and management
of cut throat injuries, Department of Otorhinolaryngology, Guntur Medical
College, Guntur, Andhra Pradesh, India. 2018;
9. James J. Simson’s Forensic Medicine.
10. Otolaryngology AA of. Resident Manual of Trauma to the Face , Head ,
and Neck.
11. Abdussalam HR. Buku Pintar Forensik. Jakarta: PTIK PRESS; 2014.
12. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan penerbit Universitas
Diponegoro. 2000;67–70.
13. Smith. Osteologi, Morfologi Cranial. Jakarta: EGC; 2002.
14. Netter FH. Atlas Of Human Anatomy. 25th ed. Jakarta: EGC; 2014.
15. Rahman S. Penatalaksanaan Trauma Tembus Leher Akibat Luka Sayat.
16. RS. S. Clinical Anatomy. In: 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;

36
37

17. Finnie JW. Forensic Pathology of Traumatic Brain Injury. Veterinary


Pathology. 2016.
18. Kranioti E. Forensic investigation of cranial injuries due to blunt force
trauma: current best practice. Res Reports Forensic Med Sci. 2015;
19. Solai C, Domingues C, Nogueira L, de Sousa R. Clinical Signs of Basilar
Skull Fracture and Their Predictive Value in Diagnosis of This Injury.
Trauma Nurs. 2018;25:301–6.
20. Fusetti S, Hammer B, Kellman R, Matula C, Strong E. Skull Base Fracture.
21. Simon L V., Newton EJ. Basilar Skull Fracture. 2019;
22. H W, Zhou, Liu J, Ou L, Han J, Xiang L. Traumatic Skull Fractures in
Children and Adolescents: A Retrospective Observational Study. Injury.
2018;49(2):219–25.
23. DiMaio V, Dana S. Handbook of Forensic Pathology. 2014.
24. Khairat A, Waseem M. Epidural Hematoma [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. 2019. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/
25. Oehmichen M, Auer RN, König HG. Forensic neuropathology and
associated neurology. Forensic Neuropathology and Associated Neurology.
2006.
26. Osborn AG, Hedlund GL, Salzman KL. Osborn’s Brain: Imaging,
Pathology, and Anatomy. 2nd ed. Elsevier Health Sciences; 2017.
27. Sastrodiningrat AG. Memahami Fakta-fakta pada Perdarahan Subdural
Akut. Maj Kedokt Nusant. 2006 Sep;39:297–306.
28. Alvis-Miranda H, Alcala-Cerra G, Moscote-Salazar LR. Traumatic cerebral
contusion: pathobiology and critical aspects. Rom Neurosurg. 2013;
29. Dettmeyer RB, Verhoff MA, Schütz HF. Forensic Medicine: Fundamentals
and Perspectives. Springer Berlin Heidelberg; 2013.
30. Caroline N, of Orthopaedic Surgeons AA. Nancy Caroline’s Emergency
Care in the Streets. Jones & Bartlett Learning; 2010. (Emergency Care in
the Streets).
31. Stewart RM, Rotondo MF, Henry SM. Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual Tenth Edition. Chicago: American College of
Surgeons; 2018.
32. Trunkey DD, Asensio JA. Current Therapy of Trauma and Surgical Critical
Care. Elsevier Health Sciences; 2015.
38

33. Alao T, Waseem M. Neck Trauma. 2019;


PERTANYAAN

1. Manakah yang prognosisnya lebih buruk di antara EDH dan SDH?


Berapa volume pada EDH dan SDH yang menyebabkan kematian?
Jawab:
SDH memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan EDH. Pada
SDH angka mortalitas sekitar 40-60% sedangkan pada EDH hanya 10%.
Pada SDH, karena perdarahan terletak di bawah duramater, dapat
menyebabkan midline shifting dan penekanan pada otak. Volume perdarahan
akan menambah volume di intrakranial, di mana volume dan tekanan
intrakranial yang seharusnya tetap terdiri atas otak, cairan serebrospinal, dan
darah yang berada pada arteri dan vena di otak, menjadi bertambah dan
berusaha melakukan kompensasi (mis. dengan menurunkan produksi cairan
serebrospinal, meningkatkan reabsorpsi cairan serebrospinal), dan akan
terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Peningkatan TIK ini sendiri
merupakan salah satu cedera otak sekunder. Peningkatan TIK dapat
menyebabkan herniasi, baik supratentorial (cerebrum ke tulang atau
tentorium, di mana dapat menekan arteri yang mendarahi otak sehingga dapat
menyebabkan stroke iskemik) maupun infratentorial (cerebellum ke batang
otak, lethal, menekan pusat kesadaran, pusat kardiorespirasi).
EDH akan berprognosis buruk apabila volume perdarahan lebih dari 30-150
ml, dan midline shifting lebih dari 10-12 mm.
Mortalitas SDH bergantung pada manifestasi klinisnya. Prognosis akan
memburuk pada pasien dengan GCS 3, pupil anisokor, tidak ada refleks pupil.
Prognosis juga bergantung pada besarnya volume perdarahan dan midline
shifting yang terjadi. Pada SDH dengan ketebalan lebih dari 20 mm dan
midline shifting lebih dari 5mm membutuhkan evakuasi segera.

39
40

2. Apa manifestasi klinis dari fraktur basis cranii anterior, medial,


posterior? Manifestasi fraktur basis cranii posterior post mortem?
Jawab:
Manifestasi fraktur basis cranii anterior : raccoon eyes, epistaksis, CSF
rhinorrhea, gangguan penciuman.
Manifestasi fraktur basis cranii medial : CSF othorrhea, seiferth sign, battle
sign.
Manifestasi fraktur basis cranii posterior : hemiplegia, paraplegi
Manifestasi fraktur basis cranii posterior post mortem : hematom di sekitar
tengkuk, hematom di musculus trigonum posterior dan di sekitar prosesus
mastoideus

3. Apakah besar kecilnya ukuran memar dapat menentukan benda


penyebab atau keras tidaknya pukulan benda tumpul?
Jawab:
Tidak, karena pada orang yang menderita defisiensi besi atau kelainan darah,
kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih besar
dibandingkan dengan orang normal. Selain itu pada wanita dan orang gemuk
juga akan mudah terjadi memar. Oleh karena itu, ukuran memar tidak dapat
menentukan benda penyebab atau keras tidaknya pukulan benda tumpul.

4. Apa jenis trauma leher yang prognosisnya paling buruk? Bagaimana


tanda-tanda post mortem pada trauma leher?
Jawab:
Prognosis trauma tajam leher yang paling buruk adalah trauma tajam leher
yang mengenai pembuluh darah besar (arteri karotis) oleh karena tekanan
tinggi dan aliran darah yang deras pada arteri tersebut, sehingga aoabila
terjadi rupture kehilangan darah yang terjadi akan sangat masif dibandingkan
pembuluh darah vena. Selain itu rupture pada arteri dapat menyebabkan
kehilangan darah masif dalam waktu yang singkat, sehingga prognosis yang
diberikan cukup buruk terutama apabila tidak dilakukan pertolongan dalam
41

waktu singkat tersebut. Tanda post mortem pada trauma leher yang mengenai
pembuluh darah antara lain timbulnya lebam mayat yang tidak nyata oleh
karena volume darah yang hilang dalam jumlah besar. Pada trauma yang
mengenai saraf dan atau airway, akan memberikan tanda-tanda mati lemas
pada post mortem.

5. Apa tanda khas yang membedakan trauma leher yang mengenai arteri
dan vena serta keduanya?
Jawab:
Pada trauma tajam yang mengenai vena dan arteri leher pada pasien yang
masih hidup, dapat dibedakan berdasarkan warna dan sifat darah yang keluar.
Pada trauma yang mengenai vena besar leher, darah yang keluar mengalir dan
berwarna merah gelap. Pada trauma yang mengenai arteri, darah yang keluar
bersifat pulsatif dan berwarna merah segar.
Pada trauma yang menyebabkan kematian, pada kasus trauma yang mengenai
vena dan arteri leher dapat menyebabkan perdarahan hebat, sehingga pada
otopsi jenazah dapat ditemukan tanda-tanda perdarahan hebat seperti
pembuluh darah besar leher dan jantung kosong, serta pelisutan limpa.
Sedangkan pada trauma yang mengenai vena leher biasanya dapat
menyebabkan emboli udara, sehingga pada otopsi dapat dilakukan
pemeriksaan khusus untuk emboli udara jantung dan didapatkan gelembung
udara yang menandakan adanya emboli udara.

Anda mungkin juga menyukai