Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

PEMILU DAN PENYAKIT KULIT KELAMIN


DARI SISI PESERTA PEMILU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Pembimbing:
dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH.

Disusun Oleh
Felix Nifalo 030.14.067

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
PERIODE 10 JUNI 2019 – 13 JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Referat dengan judul:

”Pemilu dan Penyakit Kulit Kelamin dari Sisi Peserta Pemilu”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

Periode 10 Juni 2019 – 13 Juli 2019

Disusun oleh:

Felix Nifalo

(030.14.067)

Tegal, Juni 2019

Mengetahui,

dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mengizinkan referat ini terlaksana,

karena berkat anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pemilu dan

Penyakit Kulit Kelamin dari Sisi Peserta Pemilu”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah

Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal, periode 10 Juni 2019 – 13 Juli 2019.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH. sebagai

pembimbing, dokter dan staf-staf Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum

Daerah Kardinah Kota Tegal, teman-teman sesama ko-asisten Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal, dan semua pihak yang turut serta

memberikan bantuan, doa, semangat, dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan

referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar

pengharapan penulis bagi pembaca untuk memberikan masukan dan kritikan yang akan saya

pertimbangkan untuk memperbaiki referat ini menjadi lebih baik. Terima kasih dan Tuhan

memberkati.

Tegal, Juni 2019


Penulis

Felix Nifalo

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................iii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................8

2.1 Stres .....................................................................................................8

2.1.1 Definisi ......................................................................................8

2.1.2 Penyebab Stres .........................................................................8

2.1.3 Mekanisme Stres ......................................................................9

2.1.4 Gejala Stres ...............................................................................10

2.2 Kulit .....................................................................................................11

2.2.1 Definisi ......................................................................................11

2.2.2 Fungsi Pertahanan Organ Kulit ..............................................12

2.3 Korelasi Stres dan Organ Kulit ........................................................13

2.4 Penyakit Kulit yang Disebabkan Oleh Stres ...................................18

2.4.1 Psoriasis Vulgaris ......................................................................18

2.4.2 Neurodermatitis Sirkumskripta .............................................24

2.4.3 Dermatitis Seboroik .................................................................29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................35

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Respon stress dalam hipotalamus .............................................................. 10

Gambar 2. Faktor yang memengaruhi fungsi pertahanan kulit ...................................12

Gambar 3. Tabel Klasifikasi Penyakit Psikodermatologis .........................................17

Gambar 4. Daerah Predileksi Psoriasis Vulgaris ....................................................... 20

Gambar 5. Algoritma Tata Laksana Psoriasis ............................................................ 23

Gambar 6. Alur penatalaksanaan Neurodermatitis .................................................... 28

Gambar 7. Alur tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah non-skalp ...................32

Gambar 8. Alur tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah skalp .......................... 33

v
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan yaitu diberikan pengakuan kepada rakyat untuk berperan serta

secara aktif dalam menentukan wujud penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sarana yang

diberikan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut yaitu diantaranya dilakukan melalui

kegiatan Pemilihan Umum.

Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang

dimaksud dengan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan

rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. (1)

Peserta Pemilu sendiri adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD

provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan

pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik gabungan partai politik untuk Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan Calon Presiden dan Wakil presiden yang selanjutnya

disebut Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi

persyaratan. (1)

Pemilu merupakan bagian dari proses demokrasi yang harus berjalan dimana didalam

pelaksanaannya diperlukan kesiapan. Dalam persiapannya, para peserta Pemilu memiliki tugas

untuk merencanakan dan merancang visi dan misi serta program-program untuk mencapai

6
Indonesia yang lebih baik lewat kampanye, debat, dan lain sebagainya. Kegiatan perancangan

dan perencanaan tersebut tentu harus dipikirkan secara matang dan setiap kesalahan harus

diminimalisir.

Akan tetapi, apabila kegiatan tersebut terlalu dipaksakan dan melebihi batas

kemampuan individu tertentu, tentu akan menimbulkan beban kerja yang terlalu tinggi pada

tubuh. Sehingga penyakit-penyakit dapat muncul, baik penyakit yang menyerang fisik maupun

psikis. Dalam hal ini, penyakit psikis yang dapat muncul adalah stres. Stres sendiri dapat

memicu berbagai penyakit lain, salah satunya adalah penyakit kulit. Maka dari itu dalam

pembahasan kali ini akan dikorelasikan antara stres psikis dengan penyakit kulit.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STRES

2.1.1 Definisi

Stres merupakan cara tubuh memberikan respon terhadap berbagai macam

tuntutan dan ancaman. Bila seseorang diancam, sistem saraf merespon dengan

melepaskan suatu aliran hormon stres, termasuk adrenalin dan kortisol, yang

membangkitkan tubuh untuk beraksi cepat.(2)

Stres dapat meningkatkan resiko stroke, serangan jantung, depresi dan lain-

lain. Stres dipahami sebagai tekanan dari lingkungan, lalu sebagai ketegangan di

dalam diri seseorang. (3)

Pada saat kerja, banyak orang termotivasi menghadapi tantangan yang ada

pada saat mereka bekerja. Akan tetapi ketika tuntutan kerja berlebihan dan

berkepanjangan dalam hubungan untuk merasakan kesanggupan mengatasinya,

hal tersebut dapat mengantarkan kepada stres. Jadi stres kerja adalah stres yang

timbul dari tuntutan kerja yang melebihi kemampuan seseorang untuk

mengatasinya dan terus berkepanjangan.(4)

2.1.2 Penyebab Stres

Organisasi kerja yang buruk, cara kita merancang pekerjaan dan sistem

kerja, dan cara kita mengelolanya, dapat menyebabkan stres dalam bekerja.

Tuntutan dan tekanan yang berlebihan dan dinyatakan tidak terkendali dapat

disebabkan oleh desain kerja yang buruk, manajemen yang buruk dan kondisi

kerja yang tidak memuaskan. Hal ini dapat mengakibatkan pekerja tidak

8
menerima dukungan yang cukup dari orang lain atau tidak memiliki cukup kontrol

atas pekerjaan mereka dan tekanannya.(5)

2.1.3 Mekanisme Stres

Bila tubuh seseorang dihadapkan dengan suatu stresor, maka tubuh akan

mengaktifkan sistem saraf dan hormon untuk melakukan tindakan-tindakan

pertahanan untuk mengatasi keadaan darurat. Beberapa faktor yang dapat

menyebabkan stres bisa berasal dari psikologis, rangsangan fisik, maupun

keduanya. Stres psikologis contohnya seperti hubungan sosial, rasa takut,

perasaan marah, depresi, dan perubahan kehidupan.(6)

Respon umum dikendalikan oleh hipotalamus yang menerima masukan

mengenai stressor fisik dan psikologis dari hampir semua bagian otak dan dari

reseptor-reseptor diseluruh tubuh. Sebagai respon langsung dari hipotalamus

yaitu mengaktifkan sistem saraf simpatis yaitu mengeluarkan CRH untuk

merangsang sekresi ACTH dan kortisol sehingga memicu pengeluaran

vasopresin. Sedangkan stimulasi simpatis menyebabkan sekresi epinephrine yang

memiliki efek sekresi terhadap insulin dan glukagon oleh pankreas. Selain itu

vasonkontriksi arteriol pada ginjal oleh katekolamin memicu sekresi renin secara

tidak langsung yaitu dengan menurunkan aliran darah ke ginjal. Kemudian renin

akan mengaktifkan mekanisme renin angiotensin aldosteron. Sehingga selama

stres hipotalamus akan mengintegrasikan macam-macam respon baik melalui

saraf simpatis ataupun sistem endokrin.(6)

9
Gambar 1. Respon stress dalam hipotalamus (6)

2.1.4 Gejala Stres

Gejala dan tanda stres dibagi menjadi tiga gejala, yaitu gejala fisik, gejala

psikologis, dan perilaku. Gejala fisik meliputi meningkatnya tekanan darah dan

detak jantung, meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin, gangguan

lambung, mudah terluka, kematian, mudah lelah, gangguan pernafasan, sering

berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot dan

sulit tidur.(7)

Gejala psikologi meliputi kecemasan, ketegangan, bingung, marah,

sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi

intelektual, mengurung diri, ketidakpuasan kerja, depresi, kebosanan, lelah

10
mental, kehilangan konsentrasi, kehilangan kreativitas, kehilangan semangat

hidup, menurunnya rasa percaya diri. Gejala perilaku meliputi menunda atau

menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas, sering mangkir

kerja, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, penurunan hubungan

interpersonal dengan keluarga dan teman.(7)

2.2 KULIT

2.2.1 Definisi

Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, berfungsi sebagai

pembatas antara tubuh dengan dunia luar sehingga paling sering terpapar

langsung oleh berbagai risiko baik internal maupun eksternal karena tingginya

mobilitas manusia. Salah satu fungsi utama kulit adalah sebagai pertahanan

(barier) terhadap berbagai risiko eksternal dan internal yang berbahaya. Telah

disepakati terdapat hubungan kuat antara stres psikologis dan reaksinya pada

kulit. Stres psikologis sebagai salah satu faktor internal cukup sering berperan

dalam berbagai gangguan kulit walaupun pengetahuan tentang psikodinamika dan

studi yang ada masih sangat sedikit.(8)

11
Gambar 2. Faktor yang memengaruhi fungsi pertahanan kulit (8)

2.2.2 Fungsi Pertahanan Organ Kulit

Fungsi pertahanan kulit manusia adalah suatu sistem yang unik karena

kemampuan penyesuaiannya terhadap perubahan lingkungan baik internal maupun

eksternal. Fungsi pertahanan ini mencakup fungsi proteksi fisik (trauma mekanik),

mempertahankan permeabilitas (mencegah kehilangan air dan mencegah

masuknya bahan kimia berbahaya, alergen dan bahan yang dapat menimbulkan

iritasi), proteksi terhadap sinar UV (sinar UV dapat menimbulkan kerusakan dan

neoplasma), proteksi terhadap zat-zat oksidan (yang dapat menyebabkan

kerusakan membran sel), proteksi terhadap suhu dan juga mencegah masuknya

mikroorganisme patogen penyebab infeksi. Lapisan paling luar kulit yaitu stratum

korneum berperan sebagai lapisan primer dalam fungsi pertahanan kulit. Setiap

kerusakan kulit seperti laserasi, kulit kering atau iritasi akan menyebabkan

gangguan diferensiasi sel di stratum korneum dan menurunkan fungsi pertahanan

kulit. (8)

12
Lapisan kulit manusia memiliki fungsi keseimbangan untuk menghindari

kerusakan lanjut akibat trauma fisik/mekanik, salah satunya adalah dengan

membentuk jaringan parut. Fungsi barier terhadap tekanan juga didukung oleh

lapisan serat kolagen dan elastin di dalam lapisan dermis serta jaringan lemak

subkutan. Fungsi pertahanan kulit terhadap radiasi sinar ultraviolet dari matahari

diperankan oleh sel-sel pembentuk pigmen (melanosit) yang terletak di lapisan

basal epidermis dengan melakukan tanning. (8)

2.3 KORELASI STRES DAN ORGAN KULIT

Stres psikologis telah diketahui sebagai salah satu faktor internal pencetus

beberapa kelainan kulit yang berhubungan dengan gangguan fungsi pertahanan di

lapisan epidermis kulit seperti pada psoriasis dan dermatitis atopik, walaupun

belum banyak studi yang dapat menerangkan patogenesisnya secara jelas.

Berdasarkan beberapa studi lebih lanut telah diketahui pula bahwa sistem

imunitas dan neuroendokrin memegang peranan pada mekanisme reaksi yang

ditimbulkan oleh stres psikologis dan pada fungsi pertahanan kulit. (8)

Terdapat tiga teori yang potensial dapat menjelaskan efek negatif stres psikologis

pada fungsi pertahanan pejamu terhadap infeksi dan neoplasia:

1. Disfungsi psikoneuroimunoendokrin: terjadi peningkatan neuropeptida pro

inflamasi dan produksi sitokin dengan atau tanpa melalui jalur Hipotalamus-

Hipofisis-Adrenal.

2. Peningkatan kadar glukokortikoid endogen plasma yang disebabkan aktivasi

jalur Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal.

13
3. Sistem steroidogenik kulit, melalui produksi local Corticotropin Releasing

Factor (CRF) yang merupakan mediator terhadap timbulnya efek lebih lanjut

stres psikologis pada kulit.

Efek merugikan stres psikologis dan peningkatan kadar plasma

glukokortikoid endogen terhadap fungsi permeabilitas kulit disebabkan karena

mekanisme inhibisi sintesis lemak di epidermis. Hal ini menyebabkan penurunan

produksi badan lamellar epidermis, suatu organel fungsional yang bertugas

menghantarkan lemak, enzim-enzim deskuamasi dan peptida antimikroba ke

celah-celah stratum korneum yang berperan menjaga permeabilitas dan fungsi

pertahanan terhadap mikroorganisme. Kondisi stres psikologis menyebabkan

perubahan struktur dan fungsi stratum korneum lapisan epidermis yang

menimbulkan perubahan ekspresi peptida antimikrobial di epidermis sehingga

secara langsung meningkatkan risiko infeksi kulit diketahui bahwa stress

psikologis menyebabkan keterlambatan pemulihan fungsi barier kulit; juga terjadi

peningkatan kadar kortisol plasma, norepinefrin, interleukin, dan Tumor Necrosis

Factor (TNF). (8)

Perubahan permeabilitas kulit yang diinduksi oleh stres psikologis ini

dimediasi oleh peningkatan kadar glukokortikoid endogen. Stres psikologis dalam

bentuk insomnia menyebabkan gangguan fungsi stratum korneum dalam bentuk

penurunan proliferasi sel epidermis, mengganggu diferensiasi epidermis dan

menurunkan densitas dan ukuran korneodesmosome. Gangguan fungsi barier

permeabilitas kulit dihubungkan dengan penurunan produksi dan sekresi dari

badan lamelar yang akan mempengaruhi sintesis lemak epidermis. (8)

14
Prevalensi faktor psikologis yang mempengaruhi penyakit kulit tidak

diketahui. Namun diperkirakan 25% hingga 33% dalam berbagai penelitian.

Penelitian telah menunjukkan bahwa rangsangan yang diterima di kulit dapat

mempengaruhi sistem kekebalan, endokrin, dan saraf di tingkat lokal dan pusat.

Dalam beberapa penyakit kulit, seperti dermatitis atopik, tingkat jaringan faktor

pertumbuhan saraf dan neuropeptida, seperti substansi P, telah dikaitkan dengan

patogenesis penyakit dan penanda aktivitas penyakit.(9)

Beberapa kondisi kulit memiliki dimensi psikologis yang mungkin perlu

ditangani. Data menunjukkan bahwa setidaknya pada beberapa orang, stres dan

faktor psikologis lainnya dapat mengaktifkan atau memperburuk kondisi kulit

tertentu. Ikatan antara kulit dan pikiran memiliki akar yang dalam, seperti kontak

kulit-ke-kulit antara bayi yang baru lahir dan ibu. Tidak mengherankan bahwa

emosi dapat memengaruhi kulit dan hubungan tersebut cenderung rumit. Pasien

yang mengunjungi dokter untuk kondisi kulit sering memiliki masalah psikologis

terkait yang dapat memengaruhi respon terhadap perawatan medis.

Banyak penyakit kulit yang sembuh atau membaik dengan terapi standar,

termasuk antibiotik, obat anti-inflamasi, dan obat-obatan topikal. Tujuan

psikodermatologi bukan untuk menggantikan psikoterapi untuk pengobatan, tetapi

untuk mengenali bahwa masalah emosional juga mungkin terlibat, terutama ketika

kondisi kulit tidak respon terhadap pengobatan konvensional. Penting untuk

mengevaluasi dan mengobati masalah kulit secara medis sebelum melihat ke aspek

psikologisnya. Tetapi terkadang, obat atau pendekatan medis lain yang tidak

berfungsi menjadi lebih efektif bila dikombinasikan dengan strategi psikologis.(9)

Gangguan psikodermatologi dibagi menjadi tiga kategori:

15
1. Dermatologi primer/Psikofisiologi

Masalah kulit yang memiliki dasar fisiologis tetapi dapat diperburuk oleh stres

dan faktor emosional lainnya, termasuk antara lain, jerawat (acne), alopesia

areata (rambut rontok), berbagai jenis eksim atau dermatitis (peradangan kulit),

herpes (oral atau genital), hyperhidrosis (keringat berlebih), pruritus (gatal),

psoriasis (kulit bersisik dan kemerahan), rosasea (flushing dan erupsi), urtikaria

(gatal), dan kutil. Beberapa gejala, seperti banyak berkeringat dan gatal dapat

menjadi gejala kondisi medis lain atau reaksi terhadap obat-obatan, oleh karena

itu pemeriksaan oleh dokter dan perawat dermatologis standar sangat penting

sebelum mempertimbangkan faktor psikologis.(9)

2. Psikiatri primer/Gangguan psikiatri dengan gejala dermatologis

Tidak ada kondisi kulit yang terlihat, yang terjadi pada kulit adalah akibat dari

diri sendiri. Gangguan ini selalu dikaitkan dengan psikopatologi yang

mendasari dan dikenal sebagai stereotip penyakit psikodermatologis, seperti

menarik rambut kronis (trikotilomania), keyakinan bahwa tubuh penuh dengan

organisme (parasitosis delusi), preokupasi dan stres karena imajinasi atau

defek minor (gangguan dismorfik tubuh), neurotic excoriations dan kerusakan

yang ditimbulkan sendiri pada kulit (dermatitis artefacta). Penyakit seperti itu

membutuhkan psikoterapi dan kadang-kadang obat-obatan psikiatri.(9)

3. Psikiatri sekunder/Gangguan dermatologis dengan gejala psikiatri

Suatu keadaan dimana masalah emosi lebih menonjol sebagai akibat dari

penyakit kulit dan konsekuensi psikologisnya lebih parah daripada gejala fisik.

Contohnya gangguan kosmetik atau gangguan sosial yang berpotensi merusak

wajah seperti jerawat yang parah, psoriasis, iktiosis, vitiligo (kehilangan

pigmentasi di kulit), atau herpes genital dapat menghasilkan perasaan malu,

16
mengikis harga diri, menyebabkan depresi dan kecemasan, dan menurunkan

kualitas hidup. Ada banyak bukti korelasi antara gangguan kulit dan gejala

depresi. Satu studi, misalnya, menemukan bahwa pasien dengan psoriasis berat

dan jerawat dua kali lebih mungkin untuk bunuh diri sebagai pasien medis

umum. Namun, dalam kasus seperti itu, sulit membedakan penyebab dari

efeknya.(9)

Gambar 3. Tabel Klasifikasi Penyakit Psikodermatologis (9)

2.4 PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN OLEH STRES

2.4.1 Psoriasis Vulgaris

17
Psoriasis vulgaris merupakan penyakit autoimun yang bersifat kronik dan

residif dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis yang ditandai

dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis

dan transparan. Sampai saat ini pengobatan hanya menghilangkan gejala sementara (remisi),

sehingga psoriasis sering disebut sebagai penyakit seumur hidup. Penyakit ini tidak

membahayakan jiwa walaupun dapat mempengaruhi atau mengganggu pekerjaan, kehidupan

pribadi, dan kualitas hidup pasien.(10)

Epidemiologi

Psoriasis mengenai kurang lebih 2,5% dari populasi dunia, dimana 20-30%

menderita psoriasis sedang sampai berat. Rentang umur terbanyak antara 25-35

tahun, 70-90% pasien menderita psoriasis setelah usia 40 tahun, sedangkan 10%

pada masa anak-anak.

Etiopatogenesis

Sampai saat ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai pathogenesis

psoriasis, tetapi peranan autoimun dan genetik dapat merupakan akar yang dipakai

dalam prinsip terapi. Dalam faktor genetik, bila orangtua penderita tidak menderita

psoriasis risiko mendapat psoriasis 12-14%, sedangkan jika salah satu orangtuanya menderita

psoriasis risiko meningkat menjadi 39-41%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe

psoriasis yaitu psoriasis tipe I dan tipe II, dimana tipe I memiliki awitan dini bersifat familial,

sedangkan tipe II memiliki awitan lambat dan bersifat non-familial. Hal lain yang mendukung

menunjukkan adanya hubungan genetik dan berkaitan dengan HLA (Human Leukocyte

Antigen) pada psoriasis. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57, dan Cw6,

psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-BR7 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkaitan

dengan HLA-B27.

18
Faktor imunologi juga berperan, defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada

salah satu dari tiga jenis sel, yaitu limfosit T, antigen presenting cell (dermal) atau keratinosit.

Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Pada lesi psoriasis umumnya

ditemukan limfosit T di dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4+ dengan

sedikit limfositik dalam epidermis. Pada lesi baru umumnya lebih didominasi oleh

sel limfosit T CD8. Lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya

meningkat. Sel Langerhans juga berperan dalam imunopatogenesis psoriasis.

Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan adanya pergerakan antigen baik

endogen maupun eksogen pada sel Langerhans. Pada psoriasis pembentukan

epidermis lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lainnya 27 hari.

Nickoloff (2004) memiliki kesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit

autoimun. Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah diobati dengan

imunosupresif. Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan dalam

kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi lokal, trauma (fenomena

kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stres psikis

merupakan faktor pencetus utama. Infeksi lokal mempunyai hubungan erat dengan

psoriasis gutata, sedangkan hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. (11)

Gejala Klinis

Penderita psoriasis vulgaris mengeluh adanya bercak kemerahan yang menonjol pada

kulit dengan pinggiran merah, tertutup dengan sisik keperakan, dengan ukuran yang bervariasi,

semakin melebar, dapat pecah dan timbul nyeri, serta dapat timbul gatal.(12) Pada stadium

penyembuhannya sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir.

Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika (mica-like scale),

serta sedikit transparan. Plak eritematosa yang tebal menandakan adanya

19
hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, pelebaran pembuluh darah dan inflamasi.

Besar kelainan bervariasi dari lentikular, numular, plakat, miliar, dan

berkonfluensi.(13)

Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, tanda Auspitz dan fenomena

Köebner. Fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz dianggap khas, sedangkan

fenomena Köebner tidak khas.(14)

Tempat predileksi pada ekstremitas bagian ekstensor terutama (siku, lutut,

lumbosakral), daerah intertiginosa (lipat paha, perineum, aksila), kulit kepala,

perbatasan kulit kepala dengan wajah, telapak kaki dan tangan, tungkai atas dan

bawah, umbilikus, serta kuku.(15)

Gambar 4. Daerah Predileksi Psoriasis Vulgaris

Faktor Risiko

Faktor risiko psoriasis akan meningkat pada beberapa keadaan seperti

riwayat psoriasis di keluarga, infeksi virus atau bakteri, stres, obesitas, dan

merokok. Stres diduga memengaruhi sistem imun. Studi oleh Naldi et

al menunjukkan odds ratio sebesar 1,7.(16)

Merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko psoriasis, dimana risiko ex-

smokers dan current-smokers hampir sama tingginya. Dilaporkan bahwa merokok

20
berkaitan secara signifikan dengan lesi pustular pada psoriasis. Sementara itu,

individual dengan indeks massa tubuh (IMT) overweight dan obesitas memiliki

risiko terkena psoriasis hampir dua kali lebih tinggi.(17)

Diagnosis Banding

 Dermatitis seboroik

 Neurodermatitis

 Tinea corporis et cruris

 Parapsoriasis

Pemeriksaan Tambahan

Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah adanya gambaran histopatologik

yang khas yaitu adanya parakeratosis dan akantosis pada stratum korneum, infiltrasi

leukosit (abses Munro), papilomatosis, dan vasodilatasi di subepidermis.

Penatalaksanaan

Jenis pengobatan psoriasis yang tersedia bekerja menekan gejala dan

memperbaiki penyakit. Tujuan pengobatan adalah menurunkan keparahan penyakit

sehingga pasien dapat beraktivitas dalam pekerjaan, kehidupan sosial dan sejahtera

untuk tetap dalam kondisi kualitas hidup yang baik, tidak memperpendek masa

hidupnya karena efek samping obat. Kebanyakan pasien tidak dapat lepas dari

terapi untuk mempertahankan keadaan remisi.15

21
Prinsip pengobatan yang harus dipegang adalah:

 Sebelum memilih pengobatan harus dipikirkan evaluasi dampak enyakit

terhadap kualitas hidup pasien. Pengobatan dikatakan berhasil bila ada

perbaikan penyakit, mengurangi ketidaknyamanan dan efek samping.

 Mengedukasi pasien agar lebih kritis menilai pengobatan sehingga ia mendapat

informasi sesuai dengan perkembangan penyakit terakhir.

Gambar 5. Algoritma Tata Laksana Psoriasis (18)

Edukasi

Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita beserta

pengobatannya, memotivasi pasien untuk rutin kontrol, dan memberikan edukasi

22
kepada keluarga pasien agar tidak membiarkan pasien menggaruk kulit, serta

mmberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk mengenakan pakaian

yang menyerap keringat dan tidak ketat. (18)

Prognosis

Prognosis psoriasis bervariasi tergantung jenis psoriasis, respon terhadap terapi, dan

keberadaan komorbiditas. Psoriasis mempengaruhi kualitas hidup seseorang

dikarenakan tampilan klinis dari penyakit tersebut, biaya pengobatan yang tinggi,

dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Adanya rasa gatal dan nyeri, serta lesi

kulit yang tidak enak dilihat dapat mempengaruhi prognosis pasien secara sosial,

bahkan hingga menimbulkan gangguan psikologis. (18)

2.4.2 Neurodermatitis Sirkumskripta

Neurodermatitis adalah suatu peradangan menahun pada lapisan kulit paling

atas yang menimbulkan rasa gatal. Penyakit ini menyebabkan bercak penebalan

kulit yang kering, bersisik dan berwarna lebih gelap, dengan bentuk lonjong dan

tidak beraturan. Disertai gejala garis kulit tampak menonjol (likenifikasi), akibat

garukan atau gosokan berulang karena berbagai rangsangan pruritogenik.(19)

Sinonim: Liken Simpleks Kronis, Neurodermatitis Sirkumskripta

Etiologi

Penyebab neurodermatitis masih belum diketahui secara pasti. Dapat timbul

akibat dari iritasi menahun dan garukan yang berulang-ulang, meningkatkan

terjadinya neurodermatitis.

Penyakit ini biasanya berhubungan dengan: 1) Dermatitis atopik, 2)

Psoriasis, 3) Kecemasan, depresi ataupun penyakit psikis lainnya.(19)


23
Epidemiologi

a. Frekuensi

Frekuensi yang tepat dalam populasi umum tidak diketahui. Dalam sebuah

penelitian, 12% pasien penuaan dengan kulit pruritus memiliki liken simpleks

kronik.

b. Ras

Tidak ada perbedaan yang dilaporkan dalam ras, meskipun penelitian

menyebutkan bahwa liken simpleks kronik lebih umum terjadi pada orang Asia

dan Amerika keturunan Afrika. Munculnya lesi pada kulit yang lebih gelap

kadang-kadang menunjukkan keunggulan folikel. Perubahan pigmen sekunder

juga lebih parah pada individu dengan kulit yang lebih gelap.

c. Jenis kelamin

Penelitian menyebutkan bahwa neurodermatitis (liken simpleks kronik) lebih

sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Liken nuchae adalah bentuk

liken simpleks yang terjadi pada leher midposterior dan diamati hamper secara

eksklusif pada wanita.

d. Usia

Neurodermatitis terjadi terutama pada pertengahan hingga akhir masa dewasa,

dengan prevalensi tertinggi pada orang yang berusia 30-50 tahun. (20)

Gejala Klinis

Gejala primer neurodermatitis adalah kulit yang sangat gatal, muncul

tunggal di daerah leher, pergelangan tangan, lengan bawah, paha atau mata kaki,

kadang muncul di alat kelamin. Rasa gatal sering hilang timbul. Sering timbul pada

24
sedang santai atau sedang tidur, akan berkurang saat beraktivitas. Rasa gatal yang

digaruk akan menambah berat rasa gatal tersebut. (20)

Gejala klinis neurodermatitis yang muncul adalah: kulit yang gatal pada

daerah tertentu, terjadi perubahan warna kulit, kulit yang bersisik akibat garukan

atau penggosokan dan sudah terjadi bertahun-tahun. (20)

Diagnosis Banding

 Dermatitis atopik dengan lesi likenifikasi

 Psoriasis dengan lesi likenifikasi

 Liken planus hipertrofik

Pemeriksaan Tambahan

Neurodermatitis sering muncul bersamaan dengan psoriasis dan dermatitis,

maka harus disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan tambahan.

a. Patch test

Tes ini menentukan unsur apa yang menyebabkan suatu reaksi alergi di dalam

pasien, dapat menyingkirkan gejala dermatitis kontak alergika. Tes ini memakai

berbagai alergen dengan potensial yang rendah dan dipertahankan sampai dua

hari. Jika terdapat suatu tanda bengkak di bawah alergen berarti terjadi reaksi

hipersensitivitas terhadap bahan tersebut. (20)

b. Biopsi kulit

Pengambilan sedikit jaringan kulit pada daerah lesi dan kemudian dilihat

hasilnya di bawah mikroskop. Prosedur ini dapat membantu mendiagnosis suatu

infeksi/peradangan kulit atau kondisi kulit lain. (20)

25
Gambaran klinis yang didapatkan: hiperkeratosis, akantosis, spongiosis dan

penebalan parakeratosis. Papiler kulit mengalami fibrosis kea rah vertikal

sampai ke lapisan kolagen, ini merupakan tanda khas dari neurodermatitis. (20)

Penatalaksanaan

Pengobatan utama dari neurodermatitis adalah untuk mengurangi pruritus

dan memperkecil luka akibat garukan atau gosokan. Tujuan farmakoterapi adalah

untuk mengurangi rasa sakit dan untuk mencegah komplikasi.

Pemberian kortikosteroid dan antihistamin oral bertujuan untuk mengurangi

reaksi inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Pemberian steroid topikal juga

membantu mengurangi hiperkeratosis. Pemberian steroid potensi sedang diberikan

pada reaksi radang yang akut, tidak direkomendasikan untuk daerah kulit yang tipis

(vulva, skrotum, aksila, dan wajah). Pada pengobatan jangka panjang digunakan

steroid potensi lemah. Pemakaian steroid potensi kuat hanya dipakai kurang dari 3

minggu pada kulit yang tebal. (21)

Edukasi

Edukasi pada pasien neurodermatitis sirkumskripta meliputi pengobatan,

cara mengoleskan obat, perilaku pasien yang tidak perlu seperti mandi air hangat

dan mandi belerang, dikarenakan kedua hal tersebut akan memicu gatal pada kulit

pasien. Selain itu, pasien perlu juga diedukasi mengenai hal-hal apa saja yang dapat

menimbulkan gatal seperti panas, keringat, pakaian yang mengiritasi, alergi, stres

psikis, gigitan serangga dan sebagainya. Kebiasaan pasien menggaruk

26
menggunakan sisir dan kuku yang panjang sebaiknya dihentikan karena hal tersebut

akan memperparah kondisi kulit pasien terutama likenifikasi. Perlu pula edukasi

berupa konsumsi berbagai jenis sayur untuk memberikan nutrisi bagi kulit pasien,

serta menggunakan pelembab agar kulit tidak kering, karena kulit kering juga akan

memicu gatal.(21)

Gambar 6. Alur penatalaksanaan Neurodermatitis (22)


27
Prognosis

Luka dapat sembuh sepenuhnya, dapat timbul jaringan parut dan perubahan warna

kulit. Dapat relaps dikarenakan stres atau tekanan mental, dan karena kontak dengan

penyebab alergi.

Penyakit sulit sembuh bila pengobatan tidak tuntas.(20)

2.4.3 Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa kronis yang

umum dijumpai pada anak dan dewasa. Penyakit ini ditemukan pada area kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian

atas dan fleksura (inguinal, inframammae, dan aksila). Dermatitis seboroik yang

terjadi di kulit kepala dan menyebabkan pengelupasan, yaitu berupa ketombe.(23)

Epidemiologi

Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi

umum. Lesi ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk yang

erring dijumpai. Pada kelompok HIV, angka kejadian dermatitis seboroik lebih

tinggi dibandingkan populasi umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami

dermatitis seboroik. Umumnya diawali sejak usia pubertas, dan memuncak pada

usia 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan

pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle’s cap). Jenis kelamin

laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. (23)

Etiopatogenesis

Peranan kelenjar sebasea dalam patogenesis dermatitis seboroik masih

diperdebatkan, sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami

28
dermatitis seboroik, menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan

menurun pada perempuan. Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut

sebagai dermatitis di daerah sebasea. Namun, patogenesis dermatitis seboroik dapat

diuraikan sebagai berikut: Dermatitis seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi

HIV. Dermatitis seboroik sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS, transplantasi

organ, malignansi, pankreatitis alkoholik kronik, hepatitis C juga pasien Parkinson.

Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons

imunologis terhadap Pityrosporum¸ degradasi sebum dapat mengiritasi kulit

sehingga terjadi mekanisme eksema. Jumlah ragi genus Malassezia meningkat di

dalam epidermis yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik.

Diduga hal ini terjadi akibat lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang

mengaitkan dermatitis seboroik dengan Malassezia. Pasien dengan ketombe

menunjukkan peningkatan titer antibodi terhadap Malassezia, serta mengalami

perubahan imunitas selular. Kelenjar sebasea aktif pada saat bayi dilahirkan, namun

dengan menurunnya androgen ibu, kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12

tahun.(24)

Gejala Klinis

Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Keluhan utama

biasanya berupa sisik kekuningan yang berminyak dan umumnya tidak gatal. Pada

anak dan dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah kemerahan dan

sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata, area post-aurikula, dahi dan dada.

Lesi lebih jarang ditemukan di area umbilikus, interskapula, perineum dan

anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat

29
mengeluhkan ketombe (Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat

stresor atau cuaca dingin. (24)

Diagnosis Banding

 Pada bayi: dermatitis atopik, scabies, psoriasis

 Pada anak dan dewasa: psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak,

impetigo, tinea

 Di lipatan : dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis

Pemeriksaan Tambahan

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis. Apabila

diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan

pewarnaan KOH untuk menyingkirkan infeksi jamur atau biopsi kulit.

Gambaran klinis yang didapatkan: parakeratosis fokal, dengan sedikit

neutrofil, akantosis sedang, spongiosis (edema interselular), dan peradangan dermis

yang tidak spesifik. Ciri khasnya adalah neutrofil di ujung bukaan folikel melebar,

yang muncul sebagai krusta/sisik. (24)

30
Penatalaksanaan

Gambar 7. Alur tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah non-skalp (25)

31
Gambar 8. Alur tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah scalp (25)

Edukasi

Menghindari faktor pemicu/pencetus seperti penggunaan pendingin ruangan (air

conditioner) atau udara dengan kelembapan rendah di lingkungan kerja,

32
menghindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi, menghindari bahan-

bahan yang menimbulkan iritasi, mengonsumsi makanan rendah lemak, dan tetap

menjaga higiene kulit. Pasien perlu juga diedukasi mengenai pentingnya perawatan

kulit dan menghindari pengobatan diluar yang diresepkan. (25)

Prognosis

Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna. Sementara pada dewasa bersifat

kronis dan dapat kambuh.(25)

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia. 2017. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum. Lembaran Negara RI Tahun 2017, No. 7. Sekretariat Negara. Jakarta

2. Segal JM, Smith R, Segal L. Stress Symtomps, Signs, and Causes. 2016.

HelpGuide.org.helpguide.org/articles/stress/stress-symtoms-causes-and-effects.htm.

3. Michie, S. 2002. Causes and Management of Stress at Work. Occupational and

Environmental Medicine. OccupEnvironMed 2002, 59 : 67 – 72.

4. J dan T. Cox. 2015. Work-related Stress: Nature and Management. Oshwiki. European

Agency for Safety and Health at Work.

5. Leka S, Griffiths A, dan Cox T. Work Organisation and Stress. Systematic Problem

Approaches for Employers, Managers, and Trade Union Representatives. University of

Nottingham. United Kingdom. 2003.

6. Sherwood L. Human Physiology: from Cells to Systems, 8th. Ed. Philadelphia:

Brooks/Cole.Cengage Learning. 2016

7. Saragih, H. Pengaruh Karakteristik Organisasional dan Individual Terhadap Stres Kerja

Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea. Tesis. Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 2008

8. Pamela RD. Pengaruh Stres Psikologis terhadap Fungsi Pertahanan Kulit. RS Dr.

Suyoto, Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan. CDK-194/ vol. 39 no.6, th. 2012;

p.420-2

9. Jafferany M, Franca K. Psychodermatology: Basics Concepts. Acta Derm Venereol

2016; Suppl 217: 35–37

34
10. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI (ed).

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi 8. McGraw-Hill: New York,

2012.h.197-230

11. Nickoloff BJ, Nestle FO. Recent insights into the immunopathogenesis of psoriasis

provide new therapeutic opportunities. J Clin Invest. 2004;113(12):1664–1675.

doi:10.1172/JCI22147

12. Mirmirani P, Rogers M. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 8th Edition.

McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York: 2012. p.197-231

13. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology 7th Edition. New York: McGraw-Hill Education. 2013;p.287-321

14. Kaliyadan F. The Dermoscopic Auspitz Sign. Indian Dermatol Online J.

2018;9(4):290–291. doi:10.4103/idoj.IDOJ_309_17

15. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda A, et al. Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2016;p.213-22

16. Naldi L, et al. Family History, Stressful Life Events, and Recent Infectious Disease Are

Risk Factors For A First Episode of Acute Guttate Psoriasis : Case Control Study.

JAAD, 2001. 44 (3): 433-438. DOI: https://doi.org/10.1067/mjd.2001.110876

17. Naldi L, et al. Cigarette Smoking, Body Mass Index, and Stressful Life Events as Risk

Factors of Psoriasis. J Invest Dermatol. 2005. 125: 61 – 67.

https://doi.org/10.1111/j.0022-202X.2005.23681.x

18. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di

Indonesia. 2017. p:230-40

19. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016

35
20. Schonfeld J. Lichen Simplex Chronicus. 2017. Available from

https://emedicine.medscape.com/article/1123423-overview#a6

21. Saraswati A, Tjiptaningrum A, Karyus A. Penatalaksanaan Holistik Penyakit Kulit

Neurodermatitis Sirkumskripta pada Seorang Pria Lanjut Usia di Desa Sukaraja V

Gedong Tataan. JPM Ruwa Jurai. Volume 2. Nomor 1. 2016

22. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di

Indonesia. 2017. p:23-5

23. CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Fitzpatrick’s Dematology in General

Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012. h259-66.

24. Dessinioti C, Katsambas A. Seborrheic dermatitis: Etiology, risk factors, and treatment:

Facts and controversies. Clinics in Dermatology. 2013; 31:343-51

25. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di

Indonesia. 2017. p:15-21

36

Anda mungkin juga menyukai