Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL

Pembimbing :

dr. Herny Taruli Tambunan, Sp.KJ


dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ
dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ

Disusun Oleh :
Axel Jusuf – 1765050177

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

PERIODE 4 MEI – 13 JUNI 2020

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA


2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “Ketergantungan Media
Sosial” Referat ini disusun untuk memenuhi kewajiban akademis dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.

Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada:

1. dr. Herny Taruli Tambunan, Sp.KJ, dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ, dan dr. Imelda
Wijaya, Sp. KJ, selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Ketergantungan
Obat Jakarta.
2. Rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat Jakarta.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat yang berlipat ganda kepada
semuanya. Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan
referat ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga referat ini dapat memberikan banyak
manfaat bagi setiap orang yang membacanya.

ii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Batasan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan dan Manfaat ................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4


2.1 Media Sosial .............................................................................................. 4

2.1.1 Definisi................................................................................................ 4

2.1.2 Dampak Media Sosial......................................................................... 5

2.2 Ketergantungan Media Sosial..................................................................... 8

2.2.1 Definisi................................................................................................ 8

2.2.2 Epidemiologi....................................................................................... 9

2.2.3 Etiopatogenesis................................................................................... 11

2.2.4 Faktor Risiko....................................................................................... 13

2.2.5 Tanda dan Gejala................................................................................. 17

2.2.6 Tatalaksana Ketergantungan Media Sosial.......................................... 20

2.2.7 Prognosis............................................................................................. 22

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 23


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 25

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1 Tipe-tipe Media Sosial .................................................................................... 4

2.2 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale................................................... 19

2.3 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale................................................... 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini sesuai perkembangan zaman maka kemajuan teknologi juga
berkembang dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari
sedemikian rupa dimudahkan oleh hadirnya beberapa fasilitas, sarana dan prasarana
dengan kecanggihan yang nyaris sempurna. Tidak mengherankan, kehadiran media
sosial menjadi fenomenal. Media sosial adalah aplikasi yang mengizinkan user atau
penggunanya berbagi informasi pribadi seperti foto dan aktivitas sehari-hari.
Kebiasaan yang sudah “mendarah daging” di masyarakat rutin dilakukan oleh ratusan
juta pengguna setiap harinya di seluruh dunia. Hal ini dapat dilakukan sambil
melakukan berbagai aktivitas lainnya, misalnya bekerja, melakukan pekerjaan rumah
tangga, melakukan kegiatan kecantikan, menyetir dan lain-lain.1 Kemudahan itu
karena adanya fitur-fitur seperti chatting, mengakses jejaring sosial, games, musik,
karaoke, sharing foto, video, video call sehingga memudahkan pengguna mengakses
dan melakukan banyak aktivitas sekaligus. Contoh media sosial yang marak
digunakan contohnya seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, WhatsApp,
MySpace, game online, dunia virtual seperti Second Life, Sims, YouTube, Blog, dan
sebagainya.1,2

Media sosial tidak hanya memberikan kemudahan dalam menyebarkan


informasi dan memperluas jaringan sehingga bisa terhubung dengan siapapun yang
ada di seluruh dunia tanpa ada batasan. Tidak heran hampir seluruh manusia
mempunyai media sosial karena manusia sangat sulit untuk lepas dari itu. Menurut
APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna media sosial di
Indonesia tahun 2016 mulai dari individu yang berumur antara 10 tahun hingga 55
tahun ke atas, mulai dari ibu rumah tangga (22 juta atau 16,6%), pelajar (8,3 juta atau

1
6,3%), mahasiswa (10,3 juta atau 7,8%) hingga pekerja/wiraswasta (82,2 juta atau
62%).3

Media sosial dibantu dengan sebuah media teknologi komunikasi salah satunya
yaitu smartphone yakni gabungan ponsel dengan komputer bergerak tidak hanya
digunakan sebagai alat berkomunikasi melainkan mulai dilirik untuk menjadi media
hiburan dan edukasi. Smartphone adalah telepon genggam yang memiliki sistem
operasi untuk masyarakat luas, dimana pengguna dapat dengan bebas menambahkan
aplikasi, menambah fungsi- fungsi atau mengubah sesuai keinginan pengguna. Data
statistik membuktikan bahwa dalam media sosial tidak mengenal batasan umur,
pekerjaan dan lainnya sehingga dapat menghapus segala batasan yang ada.
Masyarakat juga dapat dengan bebas mengekspresikan diri di media sosial tanpa
harus takut dan malu seperti mengekspresikan diri secara langsung. Hal itu
menjadikan dunia media sosial yang biasa disebut dengan dunia maya menjadi dunia
kedua setelah dunia nyata.4,5

Media sosial memberikan pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan


digital saat ini selain dari komunikasi online, dari pemasaran ke politik, pendidikan,
kesehatan, hingga interaksi dasar manusia. Remaja dan orang dewasa muda
menghabiskan banyak waktu mereka dalam sosialisasi online dan karenanya
berpotensi mengalami risiko yang lebih besar dari efek negatif. Sejumlah studi
penelitian mengklasifikasikan hubungan antara penggunaan media sosial dan hasil
yang tidak diinginkan seperti peningkatan kecemasan, stres, depresi, ketergantungan
dan kesepian.4,6

1.2 Batasan Masalah

2
Pada referat ini akan dibahas mengenai adiksi/ketergantungan media sosial.
Aspek-aspek gangguan kejiwaan lain akibat media sosial tidak terlalu dibahas dalam
makalah ini.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Dengan mengetahui gambaran adiksi/ketergantungan media sosial dapat


membantu untuk menjadi bahan pertimbangan bagi kalangan medis untuk mendeteksi
lebih dini dan memberikan penanganan yang lebih tepat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Media Sosial


2.1.1 Definisi
Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”.
“Media” diartikan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai
kenyataan social bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi
kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, media dan
semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna bahwa keduanya
merupakan produk dari proses sosial. Dari pengertian masing-masing kata tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan
oleh pengguna dalam proses sosial.2,5

Media sosial dapat dianggap sebagai situs web atau aplikasi yang
memungkinkan interaksi melalui situs termasuk aplikasi seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Line, WhatsApp, MySpace, game online, dunia virtual seperti Second
Life, Sims, YouTube, Blog, dan sebagainya. Situs-situs era sekarang ini tumbuh
secara eksponensial dan bertindak sebagai portal yang mudah tersedia untuk
komunikasi dan hiburan bagi generasi muda. Merriam Webster mendefinisikan media
sosial sebagai, bentuk komunikasi elektronik di mana pengguna membuat komunitas
online untuk berbagi informasi, ide, pesan pribadi, dan konten lainnya.5,6,7

4
2.1.2 Dampak penggunaan media sosial

Seseorang dalam rentang usia muda menjalani fase keenam dalam psikososial
oleh Erickson yaitu intimacy vs isolation.
Gambar Dimana
2.1 Tipe-tipe cara Sosial
Media dalam pemenuhan kebutuhan
adalah intimacy yang merupakan hubungan yang memiliki kelekatan antar sesama.
Selain itu masa dewasa awal sudah mencapai tahapan kematangan dalam
berkomunikasi, karena mereka dituntut untuk dapat berhubungan dengan sosialnya
baik profesional maupun dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Dewasa awal
sudah mampu mengembangkan komunikasi dan mampu memahami isi pesan serta
menciptakan hubungan agar bisa diterima dengan efektif dan menghindari
komunikasi yang kurang baik. Kandell menjelaskan bahwa Emerging adulthood
dimana individu memiliki kurangnya kestabilan dalam perkembangan emosi, kognitif
dan komunikasi interpersonalnya. Masa Emerging Adulthood merupakan suatu masa
ketika seseorang tidak lagi remaja namun belum sepenuhnya dewasa. Sehingga ketika
mereka memiliki kesulitan dalam berkembang maka internet menjadi salah satu
komunikasi yang efektif bagi perluasan pertemanan mereka.4,8,9

Ketidak seimbangan yang diciptakan oleh penggunaan media sosial yang


berlebihan merupakan perhatian besar bagi orang tua, peneliti dan masyarakat
mengenai kesehatan mental individu. Salah satu kegiatan paling umum dari generasi
sekarang adalah penggunaan situs web media sosial yang berlebihan. Media sosial
memberikan pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan digital saat ini selain dari
komunikasi online, dari pemasaran ke politik, pendidikan, kesehatan, hingga interaksi
dasar manusia. Remaja dan orang dewasa muda menghabiskan banyak waktu mereka
dalam sosialisasi online dan karenanya berpotensi mengalami risiko yang lebih besar

5
dari efek negatif. Sejumlah studi penelitian mengklasifikasikan hubungan antara
penggunaan media sosial dan hasil yang tidak diinginkan seperti ketergantungan,
peningkatan kecemasan, stres, depresi dan kesepian. Peningkatan penggunaan media
sosial oleh generasi muda menimbulkan alarm mengenai efek buruknya.8,10

Facebook, Twitter, Line, WhatsApp dan Instagram contohnya dalam sarana


komunikasi justru dijadikan sebagai proses penggantian komunikasi secara langsung.
Tahapan komunikasi dimulai dari kontak, keakraban, hingga pemutusan justru
dilakukan lebih intens dalam media sosial. Hasil eksperimen menunjukkan para
penguna menganggap bahwa mereka menggunakan komputer itu sebagai media yang
‘nyata’. Itu berarti apa yang muncul dalam berbagai media sosial di jejaring internet
dari hasil eksperimen seolah-olah nyata. Intensitas dan frekuensi kecanduan media
sosial secara tidak langsung (aplikasi chatting, sharing foto dan video) tidak dapat
mencapai kedalaman dan keluasan dalam komunikasi interpersonal sehingga
penggunaan tidak akan maksimal karena keterbatasan penulisan karakter yang
mempengaruhi.9,10,11

Para pengguna media sosial sering mengabaikan penting dan efektifnya


komunikasi interpersonal tersebut dan lebih mengandalkan media sosial untuk
berkomunikasi. Ketika akan memulai interaksi dengan orang lain, maka yang
dilakukan ialah menciptakan persepsi mengenai orang tersebut dan akhirnya dapat
dikomunikasikan secara tatap muka kepada orang tersebut. Karena petunjuk
nonverbal dapat memberikan informasi dan memperkuat makna dalam
berkomunikasi interpersonal. Dalam komunikasi interpersonal, paralinguistik
(petunjuk verbal) menunjukkan apa yang diucapkan melalui tinggi rendahnya suara,
tempo bicara, gaya verbal dan interaksi. Cara dan gaya berkomunikasi seseorang
dapat memberi petunjuk tentang kepribadian persona stimuli.9,12

Komunikasi interpersonal sangat penting karena prosesnya berlangsung secara


dialogis. Para komunikan saling bergantian dalam berbicara dan mendengarkan

6
sehingga munculnya saling menghormati dan empati.13 Hal tersebut bukan didasarkan
pada status sosial namun dari kemanusiaan yang memiliki hak dan kewajiban untuk
dihargai dan dihormati sebagai manusia. Berdasarkan penelitian oleh Subekti
komunikasi interpersonal dapat membantu manusia dalam proses menyampaikan
kebutuhan interpersonal dan memahami orang lain. Komunikasi interpersonal lebih
efektif ketika salah satu komunikan dapat menyampaikan dengan media/bahasa yang
tepat. Beebe mengatakan bahwa komunikasi yang paling efektif dalam komunikasi
interpersonal terutama mengekspresikan perasaan, terjadi ketika tidak ada media yang
mengganggu kejelasan pesan atau penundaan feedback penerima pesan.14,15,16

Penelitian sebelumnya menurut Asmaya menjelaskan bahwa pengguna media


sosial juga merupakan makhluk sosial yang banyak melakukan interaksi dengan
lingkungannya. Karena mereka memiliki dan menggunakan media sosial sehingga
lupa dengan orang disekitarnya karena memiliki banyak teman di dunia maya. Selain
itu seringnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi maka berkurangnya
interaksi mereka secara tatap muka, mereka menganggap bahwa berkomunikasi
melalui media sosial lebih menyenangkan.12,15

7
2.2 Ketergantungan Media Sosial

2.2.1 Definisi

Andreassen dan Pallesen, mendefinisikan ketergantungan/adiksi media sosial


sebagai “menjadi terlalu memikirkan media sosial, didorong oleh motivasi yang kuat
untuk log on atau menggunakan media sosial dan mencurahkan begitu banyak waktu
dan usaha untuk media sosial yang mengganggu kegiatan sosial lainnya, studi atau
pekerjaan, hubungan interpersonal dan kesehatan psikologis serta kesejahteraan”.13

Griffiths secara operasional mendefinisikan perilaku adiktif sebagai perilaku


yang memiliki enam komponen adiksi yaitu salience, modifikasi mood, toleransi,
gejala withdrawal, konflik, dan relapse. Griffiths berpendapat bahwa perilaku apapun
(misalnya social networking) yang memenuhi enam kriteria ini dapat secara
operasional didefinisikan sebagai adiksi.14,17 Terkait dengan social networking, enam
komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Salience
Kondisi ini terjadi ketika social networking menjadi satu-satunya aktivitas paling
penting dalam kehidupan seseorang dan mendominasi pikiran (preokupasi dan
distorsi kognitif), perasaan (craving), dan perilaku (deteriorasi perilaku sosial).
Misalnya, meskipun seseorang tidak benar- benar terlibat dalam social
networking, dia akan secara terus menerus memikirkan tentang waktu berikutnya
terlibat social networking (yaitu preokupasi total dengan social networking).

b. Modifikasi mood

8
Kondisi ini merujuk pada pengalaman subyektif yang dilaporkan seseorang
sebagai konsekwensi dari social networking dan dapat dilihat sebagai strategi
koping (yaitu mereka mengalami peningkatan gairah atau sebaliknya mengalami
perasaan yang menenangkan dari escape atau numbing).

c. Toleransi
Kondisi ini adalah proses dimana peningkatan jumlah aktivitas social networking
dibutuhkan untuk mendapat efek modifikasi mood seperti sebelumnya. Hal ini
pada dasarnya berarti bahwa seseorang yang terlibat dalam social networking,
mereka secara bertahap meningkatkan jumlah waktu yang dipergunakan untuk
social networking setiap harinya.

d. Gejala withdrawal

Gejala ini merupakan kondisi perasaan yang tidak menyenangkan atau efek fisik
(misalnya gemetar, moodiness, iritabilitas) yang terjadi ketika seseorang tidak
mampu terlibat dengan social networking karena sedang sakit, sedang berlibur,
atau yang lainnya.

e. Konflik
Kondisi ini merujuk pada konflik antara seseorang dengan orang-orang di
sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dengan aktivitas lain (kehidupan
sosial, hobi, dan minat), atau dari dalam dirinya sendiri (konflik intrapsikis atau
perasaan subyektif kehilangan kendali) yang khawatir dengan menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk social networking.

f. Relapse
Kondisi ini merupakan kecenderungan untuk mengulangi kembali pola social
networking yang berlebihan untuk terjadi lagi dan bahkan untuk pola
penggunaan social networking berlebihan yang paling ekstrem terulang lagi
setelah beberapa periode kontrol.

9
2.2.2 Epidemiologi
Laporan Tetra Pak Index tahun 2017 yang telah diluncurkan, mencatatkan ada
sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya
adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40%. 18 Berdasarkan laporan
Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna Internet di Indonesia
mencapai 88 juta jiwa pada tahun 2015. Tahun berikutnya, pada tahun 2016 APJII
kembali melaporkan peningkatan angka pengguna Internet di Indonesia, yaitu sebesar
132,7 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta jiwa, lalu pada 2017
jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta (54,68%) dari jumlah
populasi 262 juta jiwa dengan prevalensi tertinggi terdapat di Pulau Jawa. Pengguna
internet tertinggi terdapat di daerah urban dengan Provinsi DKI Jakarta menjadi
daerah tertinggi dalam mengakses internet dan Jakarta Selatan menjadi kota dengan
presentase tertinggi dalam hal menguasai smartphone dan mengakses internet pada
penduduk yang berusia diatas 5 tahun. Peminat Internet didominasi oleh pria, yaitu
sebesar 52,5%. Laporan terbaru dari APJII menyatakan bahwa pengguna Internet
didominasi oleh usia 25 hingga 34 tahun (75,8%).3,18

Ditinjau dari segi alasan mengakses Internet, kebanyakan pengguna


penggunaan internet dilakukan untuk mengupdate informasi (25,3%), sedangkan
yang lainnya beralasan untuk keperluan pekerjaan, mengisi waktu luang, sosialisasi,
keperluan pendidikan, hiburan, serta terkait dengan jual beli online. Dilaporkan
bahwa konten yang paling banyak diakses oleh pengguna Internet di Indonesia adalah
media sosial (97,4%). Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan
The Wall Street Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 responden dari usia 16
hingga 36 tahun menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk
mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari.12,18

Adiksi media sosial di semua kalangan saat ini merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari lagi. Hampir setiap hari pengguna mengakses media sosial hanya

10
untuk sekedar mencari informasi di Facebook atau Instagram. Hasil dari survey yang
dilakukan APJII pengguna internet paling sering mengunjungi web onlineshop
sebesar 82,2 juta atau 62%. Konten media sosial yang paling banyak dikujungi adalah
Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua adalah Instagram
sebesar 19,9 juta pengguna atau 15%. Jumlah harus ditambah agar dapat
membangkitkan kesenangan dalam jumlah yang sama, whitdrawal symptoms
(khususnya menimbulkan termor, kecemasan, dan perubahan mood), gangguan afeksi
(depresi, sulit menyesuaikan diri), dan terganggunya kehidupan sosial (menurun atau
hilang sama sekali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas). Isu lain yang
berdampak pada penggunaan internet adalah frekuensi dan durasi penggunaan
internet semakin lama dan intens.3,18

2.2.3 Etiopatogenesis

Peneliti meyakini bahwa penggunaan berlebih teknologi yang baru khususnya


media sosial mungkin sangat bermasalah pada anak muda. Sehubungan dengan
kerangka biopsikososial untuk etiologi adiksi dan sindrom model adiksi, diakui
bahwa individu yang adiksi untuk menggunakan media sosial mengalami gejala yang
mirip dengan yang dialami oleh individu yang mengalami adiksi terhadap zat atau
perilaku lainnya. hal ini memiliki implikasi yang signifikan untuk praktik klinis
karena tidak seperti penanganan adiksi yang lain, tujuan dari penanganaan adiksi
media sosial bukanlah abstinen total menggunakan internet melainkan
penggunaannya yang terkontrol.13,15

Untuk menjelaskan terjadinya adiksi media sosial, Turel dan Serenko merangkum
tiga perspektif teoritis sebagai berikut:

1. Cognitive-behavioral model

11
Model ini menekankan bahwa social networking yang abnormal berasal dari
kognisi maladaptif dan diperkuat oleh berbagai faktor lingkungan dan
akhirnya menimbulkan social networking yang kompulsif dan adiksi.

2. Social skill model

Model ini menekankan bahwa abnormal social networking terjadi karena


kurangnya kemampuan self-presentational dan lebih menyukai komunikasi
virtual dibandingkan interaksi secara langsung (face to face) dan akhirnya
menyebabkan kompulsi dan adiksi social networking.

3. Socio-cognitive model

Model ini menekankan bahwa social networking yang abnormal muncul


karena pengharapan luaran positif, dikombinasi dengan internet self-efficacy
dan kurangnya internet self-regulation dan akhirnya menimbulkan perilaku
social networking yang kompulsif dan adiksi.

Argumen untuk kecanduan media sosial sesuai dengan evolusi baru-baru ini
dalam konsep kecanduan itu sendiri: bukti bahwa apa yang menyebabkan pasien
kehilangan kendali bukanlah substansi itu sendiri, tetapi sirkuit saraf yang mendasari
yang menyala ketika disajikan dengan imbalan yang diberikan oleh substansi. Di
pusat pemahaman kecanduan ini adalah sistem penghargaan otak, di mana
penggunaan zat ini memicu pelepasan dopamin neurotransmitter, yang memengaruhi
neuron di nucleus accumbens, serta area otak lainnya, seperti korteks prefrontal. 13,19
Sifat adiktif dari media sosial didukung terutama oleh pengguna kronis yang
akibatnya cenderung mengabaikan aspek lain dari fungsi sosial mereka seperti teman
dan keluarga. Penghentian tiba-tiba jejaring sosial online (yaitu, kurangnya koneksi
internet) mungkin pada beberapa pengguna kronis menyebabkan tanda dan gejala
yang setidaknya mirip dengan yang terlihat selama sindroma obat-obatan / alkohol /
nikotin.19

12
Suatu behavioral addiction seperti adiksi media sosial dapat juga dilihat dari
perspektif biopsikososial. seperti halnya adiksi terkait dengan zat, adiksi media sosial
menggabungkan pengalaman gejala klasik adiksi antara lain modifikasi mood (yaitu
keterlibatan dalam media sosial menimbulkan perubahan emosional yang
menyenangkan), salience (preokupasi emosional, kognitif, dan perilaku dengan
penggunaan media sosial), toleransi (yaitu peningkatan penggunaan media sosial dari
waktu ke waktu), gejala withdrawal (yaitu mengalami gejala fisik dan emosional
yang tidak menyenangkan ketika penggunaan media sosial dibatasi atau dihentikan),
konflik (yaitu masalah interpersonal dan intrapsikis akibat penggunaan media sosial),
dan relapse (yaitu pengguna cepat kembali ke penggunaan media sosial
berlebihannya setelah periode abstinen).8,17,19

Telah diterima secara luas bahwa kombinasi faktor biologis, psikologis, dan
sosial berkontribusi terhadap etiologi adiksi termasuk adiksi media sosial. dari sini
dapat disimpulkan bahwa adiksi media sosial memiliki kerangka etiologi yang sama
yang mendasari dengan adiksi terkait zat dan adiksi perilaku lainnya. akan tetapi, oleh
karena fakta bahwa keterlibatan dalam media sosial berbeda dalam hal ekspresi aktual
adiksi internet (yaitu penggunaan patologis media sosial dibandingkan aplikasi
internet yang lain), fenomena tersebut mungkin layak dipertimbangkan individu,
terutama ketika mempertimbangkan efek berpotensi merugikan dari adiksi terkait zat
dan adiksi perilaku pada individu yang mengalami berbagai konsekuensi negatif
karena adiksi mereka.14,15,20

2.2.4 Faktor Risiko

Banyak orang menggunakan media sosial tapi hanya beberapa yang menjadi
ketergantungan pada media sosial. Hal ini berarti beberapa orang lebih rentan
penggunaan internet berlebih. Penggunaan media sosial yang berlebihan, hampir
sama dengan perilaku adiktif lainnya, memiliki banyak faktor risiko.13,14

13
Remaja dikatakan memiliki risiko yang paling besar untuk menjadi
ketergantungan pada internet. Mereka lebih mudah menjadi pengguna internet yang
berlebihan karena mereka akrab dengan teknologi baru dan mereka dalam proses
pematangan secara kognitif serta sedang membentuk kepribadiannya.18,20

Beberapa faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya adiksi media sosial
antara lain:

A. Faktor kepribadian9,13

1. Arousal and sensation seeking

Online secara permanen bekerja sebagai stimulan dengan cara menyediakan


intensifikasi emosi atau sensasi yang diinginkan. Individu yang kurang bersemangat,
hipomanik, depresi atau mudah merasa bosan dapat menemukan kesenangan yang
terkait dengan dia sosial. Koneksi dengan media sosial menjadi alat untuk menjaga
kadar semangat yang optimal. Ketika mereka kurang bersemangat atau kurang
terstimulasi, efek perbaikan yang ditimbulkan saat online mungkin sangat dicari- cari
dan dihargai. Pencari sensasi tinggi kemungkinan besar lebih rentan untuk
penggunaan social networking yang berlebihan untuk menjaga kadar semangat dan
kesenangan.

2. Impulsivitas

Impulsivitas secara konsisten terkait dengan adiksi baik terkait zat maupun
tidak. Impulsivitas berarti kecenderungan untuk terlibat dalam reaksi yang cepat dan
tidak terencana terhadap stimulus sebelum menyelesaikan pengolahan informasi,
yang berarti penurunan sensitivitas terhadap konsekuensi negatif perilaku. Orang-
orang yang impulsive terlibat dalam perilaku berisiko untuk mengurangi tekanan atau
mendapat kesenangan dan tidak memperhatikan konsekuensi jangka panjang.

14
3. Kepercayaan diri yang rendah

Kepercayaan diri yang rendah adalah salah satu faktor yang sama-sama
dimiliki oleh pengguna social networking yang berlebihan. Mereka yang memiliki
kepercayaan diri rendah biasanya tertantang dalam tiga area yang penting. Pertama,
mereka merasa tidak memiliki kekuatan personal sehingga kemampuan mereka untuk
mempengaruhi orang lain terancam. Kedua, mereka yang kurang percaya diri merasa
dirinya tidak berarti bagi orang lain, tidak memiliki daya tarik dan perhatian dari
orang lain yang menganggap mereka rendah. Ketiga, mereka sering merasa tidak
mampu dalam satu atau lebih bidang kehidupan dan merasa orang lain kemampuan
lebih baik dibandingkan mereka. Perasaan negatif ini sering mengakibatkan
komunikasi yang tidak efektif dan konflik sosial yang kemudian menurunkan
kepercayaan diri. Oleh karena itu, pengguna media sosial yang kurang mampu
bersosialisasi atau memiliki kepercayaan diri yang rendah paling mungkin untuk
membentuk virtual persona online dan menggunakan internet sebagai pengganti
sosialisasi dalam kehidupan nyata.

Mereka sering menggunakan media sosial dalam upaya untuk menunjukkan


citra diri yang berbeda, keluar dari ketidaknyamanan emosional, dan melepaskan diri
ke dunia yang memungkinkan mereka terbebas dari penderitaan dan masalah
sementara waktu.

4. Kemampuan bersosialisasi rendah

Orang-orang dengan kemampuan bersosialisasi yang rendah akan beralih pada


internet untuk kepuasan sosial karena komunikasi internet dianggap kurang
mengancam karena anonimitas dan hubungan yang tidak bertatap muka. Akibatnya,
mereka cenderung berisiko lebih tinggi untuk menjadi pengguna internet berlebih
karena internet menjadi satu-satunya media dimana mereka dapat memenuhi

15
kebutuhan untuk interaksi sosial. Individu yang menunjukkan preferensi untuk
bersosialisasi di internet secara signifikan lebih mungkin untuk mengalami adiksi.
Selain itu, pengguna yang kurang puas dengan kehidupan sosial di dunia nyata akan
lebih rentan terlibat dalam penggunaan internet yang berlebihan.

B. Keadaan mood9,13

1. Regulasi mood

Penggunaan media sosial berlebih telah dikonseptualisasikan sebagai perilaku


yang diperkuat secara negatif melalui kemampuannya untuk memberikan bantuan
emosional dari stimuli yang tidak menyenangkan. Mood disforik dan pikiran sebelum
online merupakan pemicu yang penting untuk penyalahgunaan media sosial.

Bagi beberapa pengguna internet berlebih, dorongan untuk online berkaitan


dengan pelarian dari perasaan negatif yang kuat seperti kesedihan, kesepian, stress,
maupun kecemasan. Meskipun mereka mengetahui bahwa penggunaan media sosial
berlebih akan membuat perasaan negatif menjadi lebih kuat, mereka tetap
melakukannya dan mengesampingkan fakta ini. Harapan hubungan virtual dan
keinginan untuk pelarian yang cepat dan mudah adalah lebih kuat.

Menurut studi bidang penyalahgunaan obat atau alkohol, wanita bila


dibandingkan dengan laki-laki lebih sering menggunakan media sosial untuk regulasi
mood dan untuk membantu memudahkan hubungan sosial.

2. Disosiasi

16
Beberapa aktivitas yang ditunjukkan di website, diantaranya permainan dan
social networking, memiliki potensi untuk mengubah fungsi pikiran yang normal
dimana hal ini khususnya berbahaya bagi remaja dan juga dewasa muda yang
pikirannya sedang berkembang.

Gejala disosiasi meliputi perubahan pemahaman diri dan waktu sering


dilaporkan oleh orang-orang yang menyalahgunakan media sosial. Online dalam
kondisi ini menimbulkan perasaan kehilangan waktu secara subyektif,
depersonalisasi, pelarian, atau disosiasi (pergeseran identitas pribadi dan episode
amnesia), dengan sekitar 6% individu mengalami beberapa dampak yang signifikan
pada kehidupan mereka. Pada kasus ini, terdapat kompulsi untuk berdisosiasi dari
dunia nyata mereka dan sebaliknya hidup dalam media sosial.13,19

2.2.5 Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala adanya penggunaan media sosial berlebih yang
menimbulkan adiksi antara lain sebagai berikut:

1. Peningkatan jumlah waktu yang digunakan untuk media sosial. Semakin


banyak waktu yang dibutuhkan mencapai kepuasan dan terdapat beberapa
kesulitan untuk menjauhkan diri dari komputer untuk dapat mengurusi
kehidupannya yang nyata.

2. Menggunakan media sosial saat sedang bekerja atau belajar di sekolah.

3. Preokupasi dengan media sosial atau gejala withdrawal (iritabilitas, kurang


konsentrasi, dysomnia) ketika tidak online.

4. Kehilangan waktu dan menghabiskan waktu dengan media sosial. Berulang


kali gagal dalam berusaha untuk membatasi atau menghentikan online.

17
5. Merasa terganggu jika seseorang mengganggu saat sedang online.

6. Menggunakan media sosial untuk melarikan diri dari masalah atau mendapat
kelegaan dari perasaan negatif.

7. Perubahan negatif pada performa pendidikan atau pekerjaan dan gangguan


dalam hal psikososial.

8. Berkurangnya keterlibatan dalam keluarga maupun lingkungan sosial.

9. Terus menerus terlibat dalam media sosial walaupun mengetahui konsekuensi


buruknya.

10. Perubahan pada mood atau perilaku yang tidak dapat diprediksi.

11. Peningkatan kerahasiaan perilaku digital.

Terkadang penggunaan media sosial berlebih dapat menumpulkan kesadaran dan


orang-orang yang mengalami hal ini seringkali tidak menyadari tugas-tugas penting
yang harus dikerjakan dan tertunda sementara ia menghabiskan waktu untuk media
sosial. Penggunaan media sosial berlebih dapat menimbulkan masalah yang lebih
serius seperti gangguan mental, berbohong, berkurangnya konsentrasi, rendahnya
peringkat akademik, kehadiran yang buruk di sekolah, dikeluarkan dari sekolah,
melarikan diri dari rumah, dan krisis keluarga lainnya.1,10

ICD-10 mendefinisikan beberapa kriteria spesifik untuk sindrom ketergantungan


seperti keinginan yang kuat atau rasa paksaan, kesulitan dalam mengendalikan
perilaku konsumsi, keadaan penarikan psikologis setelah pengurangan atau
penghentian, bukti toleransi, dan sebagainya. kecanduan internet maupun media
sosial telah dimasukkan dalam manual klasifikasi penyakit terbaru seperti Diagnostik
dan Statistik Manual Gangguan Mental (DSM-5).20,21

18
Kecanduan internet diawali dengan perkembangan tekonologi komunikasi yang
baru dan memberikan berbagai macam kemudahan bagi para penggunanya. 1
Dependency Theory memaparkan definisi kecanduan dalam memenuhi kebutuhan
mencapai tujuan yang bergantung pada sumber daya yang lain, khususnya media
sosial Nurfajri menjelaskan bahwa kecanduan internet adalah suatu gangguan
psikofisiologis yang meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah yang sama akan
menimbulkan respon minimal. Ada beberapa skala yang digunakan dalam membantu
menilai adiksi internet contohnya internet addiction test, bahkan sudah ada skala yang
khusus untuk membahas kelainan akibat media sosial yang disebut Social Media
Disorder Scale, di skala ini membahas gangguan akibat media sosial yaitu salah
satunya ketergantungan media sosial yang dideklarasikan sendiri, pada responden
ditanya: "Sejauh mana anda merasa ketergantungan media sosial?" Jawaban untuk
pertanyaan ini diberikan pada skala 5 poin mulai dari (1) sama sekali tidak kecanduan
hingga (5) sangat kecanduan.21

19
Gambar 2.2 & 2.3 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale21

2.2.6 Tatalaksana Ketergantungan Media Sosial

Beberapa literatur menyebutkan bahwa dokumentasi yang baik mengenai


intervensi terapeutik untuk adiksi media sosial cukup sulit didapatkan. Akan tetapi,
self- help strategies, terapi dan pencegahan yang terbukti efektif untuk perilaku
adiktif lainnya diyakini dapat bekerja dengan baik pula ketika digunakan untuk
manajemen adiksi media sosial.14,22

A. Self-Help interventions
Terdapat aplikasi yang dapat digunakan untuk mengurangi waktu yang
digunakan untuk media sosial dan untuk mengeliminasi distraksi. Dengan cara
mengunduh beberapa aplikasi (ColdTurkey, SelfControl, Freedom), pengguna media
sosial dapat memblok situs yang ingin dihindari. Selain itu, hal lain yang dapat
dilakukan yaitu memasang pengaturan pada media sosial yang memberikan update

20
waktu tertentu (misalnya setiap dua jam). 13,23 Oleh karena orang-orang sering
menggunakan media sosial secara berlebihan melalui smartphone, mereka dapat
mematikan atau mengaturnya pada mode flight atau hening ketika mereka tidak
berharap untuk diganggu. Selain itu, terdapat beberapa strategi self-help lainnya yang
dapat dilakukan seperti tidak log in di media sosial ketika berada di sekolah atau
tempat kerja, meninggalkan smartphone di tempat kerja atau di rumah, menjadwalkan
istirahat yang cukupuntuk melihat media sosial, modifikasi pola pikir selagi
melakukan social networking, mengatur batasan dan tujuan yang masuk akal sesuai
dengan kewajibannya dan melakukan berbagai kegiatan offline. Teknik relaksasi
untuk dapat mengatasi ketidaknyamanan emosional juga dapat membantu (misalnya
mindfullness).9,23,24

B. Intervensi terapeutik

Beberapa studi mengenai penanganan behavioral addiction telah berdasarkan


Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Beberapa teknik CBT telah direkomendasikan
untuk menangani adiksi internet. Pendekatannya meliputi mengeksplorasi proses
mental dan fokus pada bagaimana adiksi dirasakan, diingat, dipikirkan, dan
diucapkan, serta penyelesaian masalah.14,24 Disfungsional kognisi mengenai media
sosial dan dorongannya yang berasal dari mereka ditiadakan dan kemudian
direkonstruksi. Oleh karena itu, strategi dan pemikiran alternatif diperlukan untuk
mengatasi ketidaknyamanan emosional, kebutuhan, dan pemisahan. Menulis buku
harian tentang penggunaan internet biasanya dilakukan selama terapi. Manajemen
perilaku, baik untuk perilaku online maupun offline dapat digunakan sesuai dengan
teknik seperti pelatihan, modeling, pemulihan, self- instruction, dan mendapatkan
kemampuan adaptif yang baru.23,24

Motivational interviewing dapat dilakukan untuk penanganan behavioral


addiction. Ini merupakan metode client-centered semi direktif yang melibatkan
motivasi intrinsik untuk mengubah perilaku dengan membentuk kesenjangan antara
keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan, mengeksplorasi dan mengatasi

21
ambivalensi dalam diri klien. Tujuan utamanya untuk membantu klien menemukan
sisi negatif dari perilakunya dan meningkatkan motivasi internal untuk berubah.
Untuk tujuan ini, digunakan beberapa prinsip dasar (membentuk kesenjangan),
kemampuan komunikasi (refleksi), dan strategi (eksplorasi ambivalensi).14,24

C. Intervensi farmakologis

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat seperti Bupropion,


Escitalopram, Metilfenidat bermanfaat dalam mengobati adiksi video game dan
adiksi internet. Metaanalisis dari 16 studi mengenai penanganan adiksi internet
melaporkan tidak ada perbedaan antara intervensi farmakologi dan psikoterapi.13,24

2.2.7 Prognosis

Penggunaan media sosial terutama dengan smartphone oleh individu yang


rentan dapat menjadi perilaku kompulsif. Montag et al. melaporkan bahwa
mahasiswa yang secara teratur memeriksa Facebook lebih sering memiliki volume
nucleus accumbens yang lebih rendah.25,26

Memeriksa media sosial melalui smartphone adalah perilaku mencari reward


seperti mengantisipasi comments dan likes, dan perilaku mencari reward terkait
mungkin menjadi faktor risiko untuk mengembangkan ketergantungan media sosial
terutama melalui smartphone, mengingat smartphone memudahkan seseorang untuk
melakukan pemeriksaan media sosial secara rutin. Namun bisa atau tidak sembuhnya
kondisi ini, sama seperti behavioral addiction lainnya mis. judi, balapan dll., maka
adiksi media sosial adalah kondisi yang dapat disembuhkan bila diberi dukungan
serta penanganan yang tepat, dan targetnya bukan abstinen total tetapi perilaku yang
terkontrol dalam menggunakan media sosial.23,25

22
BAB 3
KESIMPULAN

Aktivitas sehari-hari sedemikian rupa dimudahkan oleh hadirnya beberapa


fasilitas, sarana dan prasarana dengan kecanggihan yang nyaris sempurna. Tidak
mengherankan, kehadiran media sosial menjadi fenomenal. Media sosial adalah
aplikasi yang mengizinkan user atau penggunanya berbagi informasi pribadi seperti
situs web atau aplikasi yang memungkinkan interaksi seperti Facebook, Twitter, Line,
Instagram, WhatsApp, MySpace, game online, dunia virtual seperti Second Life,
Sims, YouTube, Blog, dan sebagainya.

Media sosial adalah komunitas virtual yang penggunanya dapat membentuk


profil publik individual, berinteraksi dengan teman di kehidupan nyata, dan bertemu
dengan orang-orang yang memiliki kegemaran yang sama. Terkait dengan adiksi
media sosial, terdapat enam komponen yang membentuk perilaku adiktif yaitu
salience, modifikasi mood, toleransi, gejala withdrawal, konflik, dan relapse.

23
Terdapat tiga teori yang dirangkum untuk menjelaskan terjadinya adiksi
media sosial antara lain cognitive-behavioral model, social skill model, dan socio-
cognitive model. Beberapa faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya adiksi
media sosial yaitu faktor kepribadian (meliputi arousal and sensation seeking,
impulsivitas, kepercayaan diri yang rendah, kemampuan bersosialisasi yang rendah)
dan keadaan mood (meliputi regulasi mood dan disosiasi).

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan untuk menyimpulkan


seseorang mengalami adiksi media sosial antara lain peningkatan jumlah waktu yang
digunakan untuk media sosial, menggunakan media sosial saat sedang bekerja atau
belajar di sekolah, preokupasi dengan media sosial atau gejala withdrawal
(iritabilitas, kurang konsentrasi, dysomnia) ketika tidak online, kehilangan waktu dan
menghabiskan waktu dengan media sosial, merasa terganggu jika seseorang
mengganggu saat sedang online, menggunakan media sosial untuk melarikan diri dari
masalah atau mendapat kelegaan dari perasaan negatif, perubahan negatif pada
performa pendidikan atau pekerjaan dan gangguan dalam hal psikososial,
berkurangnya keterlibatan dalam keluarga maupun lingkungan sosial, terus menerus
terlibat dalam media sosial walaupun mengetahui konsekuensi buruknya, perubahan
pada mood atau perilaku yang tidak dapat diprediksi, dan peningkatan kerahasiaan
perilaku digital. Dewasa ini bahkan sudah dikembangkan skala yang dapat digunakan
untuk menilai adiksi media sosial salah satunya yaitu Social Media Disorder Scale.

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menangani adiksi media
sosial antara lain self-help intervention, intervensi terapeutik yang meliputi cognitive
behavioral therapy dan motivational interviewing, serta intervensi farmakologis.
Kondisi ini, sama seperti behavioral addiction lainnya mis. judi, balapan dll.,
merupakan kondisi yang dapat disembuhkan bila diberi dukungan dan penanganan
yang tepat, targetnya bukan abstinen total tetapi perilaku yang terkontrol dalam
menggunakan sosial media.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Andreassen, C.S. Online Social Network Site Addiction: A Comprehensive


Review. 2015. Curr Addict Rep, (2), pp.175–84.

2. Anugrah, A. Sosial Media : Overdosis. Indonesian Contact Center Association


(ICCA), 2014.

3. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII], Profil Pengguna


Internet Indonesia, 2017, Indonesia, https://apjii.or.id/survei2017.

4. Soliha, S. F. Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan Kecemasan


Sosial. Jurnal Interaksi, 2015, Vol 4 No 1, Hal 1-10.

5. Askalani, M. Staring at the sun : Indentifying, understanding and influencing


social media users. 2012.

25
6. Andreassen, C. & Pallesen, S., Social network site addiction - an overview.
Curr Pharm Des, 2014, 20(25), pp.4053-61.

7. Sariroh, M. Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Remaja. Diambil


kembali dari Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan Remaja. 2016.

8. Cheak, A.P.C., Goh, G.G.G. & Chin, T.S., Online social networking
addiction:Exploring its relationship with social networking dependency and
mood modification among undergraduates in Malaysia. In Proceedings of the
International Conference on Management Economics and Finance. Sarawak,
2012. Global Research.

9. Turel, O. & Serenko, A., The benefits and dangers of enjoyment with social
networking websites. European Journal of Information Systems, 2012, (21),
pp.512-28.

10. Echeburu ́a, E., Overuse of Social Networking. In M.M. Peter, ed. Principles
of Addiction. San Diego: Elsevier. 2013. pp.911-20.

11. Elphinston, R.A. & Noller, P., Time to face it! Facebook intrusion and the
implications for romantic jealousy and relationship satisfaction.
Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 2011, (14), pp.631-35.

12. Asmaya, F. Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku


Prososial di Kenegarian Kota Bangun. 2015. Vol 2 No 2.

13. Andreassen, C. S., Griffiths, M. D., Gjertsen, S. R., Krossbakken, E., Kvam,
S., & Pallesen, S. The relationships between behavioral addictions and the
five factor model of personality. Journal of Behavioral Addictions, 2013, 2(2),
90–99.

26
14. Griffiths, M.D., Kuss, J. & Demetrovics, Z., Social Networking Addiction:
An Overview of Preliminary Findings. In K.P. Rosenberg & L.C. Feder, eds.
Behavioral Addictions: Criteria, Evidence, and Treatment. London: Elsevier
Inc. 2014. pp.119-41.

15. Gupta, V., Arora, S. & Gupta, M., Computer-related illnesses and Facebook
syndrome: what are they and how do we tackle them? Med Update, 2013.
(32), pp.676-9.

16. Subekti, R. Diambil kembali dari Manfaat Komunikasi Interpersonal dalam


Proses Pembelajaran. 2015.

17. Kuss, D.J. & Griffiths, M.D., Online Social Networking and Addiction—A
Review of thePsychological Literature. Int. J. Environ. Res. Public Health,
2011, (8), pp.3528-52.

18. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia Statistical Yearbook of


Indonesia,https://www.bps.go.id/publication/2018/07/03/5a963c1ea9b0fed64
97d0845/ statistik-indonesia-2018.html. 2018.

19. Machold, C. et al., Social networking patterns/hazards among teenagers. Irish


Medical Journal, 2012, (105), pp.151-52.

20. Meena, P.S., Mittal, P.K. & Solanki, R.K., Problematic use of social
networking sites among urban going teenagers. Ind Psychiatry J, 2012, 2(21),
pp.94-97.

21. Van den Eijnden, RJ, Lemmens, JS, Valkenburg, PM, ‘The Social Media
Disorder Scale : Validity and psychometric properties’, Computers in Human
Behavior, 2016, 61, pp.478-487

27
22. Winkler, A. et al., Treatment of internet addiction: a meta-analysis. Clin
Psychol Rev, 2013, (33), pp.317-29.

23. Miller, W. & Rollnick, S., Motivational interviewing: preparing people to


change. 3rd ed. New York: Guikford Press. 2012.

24. Shonin, E., Van Gordon, W. & Griffiths, M.D., Practical tips for teaching
mindfulness to children and adolescents in school-based setting. Educ Health,
2014, (32), pp.69–72.

25. Khoury JM, Neves MD, Roque MA, Freitas AA, da Costa MR, Garcia FD.
Smartphone and Facebook addictions share common risk and prognostic
factors in a sample of undergraduate students. Trends in psychiatry and
psychotherapy. 2019 Oct;41(4), pp.358-68.

26. Montag C, Markowetz A, Blaszkiewicz K, Andone I, Lachmann B, Sariyska


R, Trendafilov B, Eibes M, Kolb J, Reuter M, Weber B. Facebook usage on
smartphones and gray matter volume of the nucleus accumbens. Behavioural
brain research. 2017 Jun 30;329:221-8.

28

Anda mungkin juga menyukai