Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Retinopati prematuritas (ROP) digambarkan untuk pertama kalinya oleh Terry


pada tahun 1940 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit / gangguan
perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur, hal tersebut
terkait dengan penyediaan oksigen yang tinggi dan tidak terkendali.

Sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat mengalami kebutaan akibat ROP.


Lebih dari 50.000 anak di seluruh dunia setiap tahunnya dibutakan oleh ROP.
Karenanya penting untuk memahami patogenesis kondisi ini. Hubungan antara umur
kehamilan yang rendah, hambatan pertumbuhan, faktor pertumbuhan tergantung pada
oksigen, dan hiperoksia yang terjadi harus lebih jelas dipahami.1

Retinopati prematuritas penyebab utama kebutaan pada hayi berat lahir


rendah/ berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas terjadi akibat
kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen dengan
konsentrasi tinggi. Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan
tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh
darah retina kemudian menimbulkan daerah iskemia pada retina.2

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat yang berjudul Retinopati Prematuritas ini adalah


untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai Retinopati pada bayi prematur yang
meliputi definisi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
klasifikasi dan penatalaksanaan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Embriogenesis Retina

2.1.1. Embriogenesis

Pembentukan mata merupakan proses yang sangat kompleks dimana setiap


tahap memerlukan koordinasi antar jaringan yang berkontribusi. Perkembangan mata
mulai tampak pada tahap embrio (22 hari setelah ovulasi) sebagai sepasang lekukan
dangkal pada sisi kanan dan kiri otak depan. Lekukan ini selanjutnya menjadi vesikel
optik.

2.1.1.1. Trimester Pertama

Perkembangan retina dimulai pada minggu keempat kehamilan. Neuroretina,


EPR (epitel pigmen retina/retinal pigment epithelium) dan saraf optik berasal dari
neuro-ektoderm. Vesikel optik mulai mengalami invaginasi dan membentuk optic cup
yang berdinding rangkap segera setelah menempel pada ektoderm permukaan. Dua
lapisan optic cup merupakan calon retina, lapisan eksternal adalah calon EPR dan
lapisan internal adalah calon retina sensoris (sensorik retina). Invaginasi
memungkinkan penyebaran akson sel ganglion pertama retina untuk menembus
tangkai optik dan memungkinkan penyempitan rongga vesikel optik untuk menjadi
ruang potensial subretinal.

Perkembangan EPR terlihat pada minggu kelima dan terdiri dari dua atau tiga
lapis sel kolumnar, yang kemudian akan menipis pada minggu keenam sampai
memiliki ketebalan satu sel. EPR memanjang secara posterior sebagai lapisan luar
dari sel tangkai optik pada minggu ketujuh, dan minggu kedelapan mengalami
maturasi. Calon retina sensoris terdiri dari lapisan luar inti (zona proliferasi atau zona
germinativum) dan zona marginal yang tidak berinti (anuclear marginal zone) saat
minggu kelima, dan kemudian akan menebal pada minggu keenam. Sel germinativum
berproliferasi pada zona inti dan bermigrasi ke zona marginal pada minggu ketujuh,
proses ini membentuk lapisan neuroblastik interna dan eksterna (inner and outer
neuroblastic layer), dipisahkan oleh prosesus yang membentuk lapisan serat transien
Chievitz. Sel ganglion dan sel Muller mulai bermigrasi ke arah dalam pada lapisan
neuroblastik interna. Akson sel ganglion akan mulai menembus tangkai optik pada
minggu kedelapan, akson ini merupakan awal dari lapisan serat saraf (nerve fiber
layer). Sel Muller membentuk serat radial dalam (inner radial fibers) yang
memanjang ke membrana limitans interna (internal limiting membrane) pada saat
yang bersamaan. Calon astroglia retina yang merupakan glioblas retina yang
bermigrasi, menyusun diri sepanjang akson-akson menuju membrana limitans
interna.

Proliferasi retina dimulai dari zona inti luar dan berlangsung ke arah dalam
pada bulan ketiga, sementara diferensiasi berlangsung dari lapisan dalam menuju ke
luar. Sel ganglion interna merupakan sel pertama yang berdiferensiasi dan
fotoreseptor eksterna adalah sel terakhir yang berdiferensiasi. Sel ganglion pertama
diikuti sel Muller akan bermigrasi ke arah dalam dan membentuk lapisan yang
terpisah pada lapisan neuroblastik interna, kemudian membentuk lapisan pleksiform
interna (inner plexiform layer). Sel Muller menempel pada membrana limitans
eksterna dan interna retina. Diferensiasi juga dimulai dari polus posterior dan
berlangsung secara bertahap ke arah perifer. Calon sel horizontal dan sel bipolar
bermigrasi ke arah dalam dan menyumbat lapisan Chievitz pada lapisan neuroblastik
eksterna, kemudian membentuk lapisan pleksiform eksterna (external plexiform
layer)
2.1.1.2. Trimester Kedua

Semua pendukung utama retina seperti fotoreseptor, lapisan pleksiform


eksterna, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform interna, lapisan sel ganglion, lapisan
serat saraf, dan membrana limitans interna telah muncul saat trimester kedua. Fovea
putatif muncul pada bagian posterior zona inti luar. Sel Muller mulai bermaturasi dan
memproduksi asam hialuronat. Apoptosis menyebabkan penurunan jumlah sel
ganglion dan akson-aksonnya di saraf optik, proses ini lebih besar pada bagian
perifer, menyebabkan distribusi sentrifugal sel ganglion pada retina fetal. Makula
muncul sebagai daerah tonjolan dengan lapisan sel ganglion yang menebal. Sel
horizontal lebih terlihat jelas dan tersusun dalam satu baris yang ireguler. Sel amakrin
terletak pada posisi yang sudah pasti pada lapisan dalam retina.

Sel bagian luar dari lapisan neuroblastik eksterna yaitu calon fotoreseptor,
mulai berdiferensiasi dan akan bertambah jelas pada bulan kelima. Plasma membran
fotoreseptor membentuk lekukan. Diferensiasi fotoreseptor terjadi paling banyak pada
fotoreseptor kerucut saat bulan keenam, ketika inti sel kerucut tersusun dalam baris
yang dekat dengan membran limitans eksterna dan inti sel batang terletak lebih
dalam. Segmen luar dan dalam serta pedikel kerucut primitif mulai terlihat.

Proses penting dari tahap ini adalah munculnya vaskularisasi retina yang
berlangsung secara cepat. Kapiler yang baru terbentuk memanjang ke arah perifer
kemudian membentuk arteri dan vena. Sel yang melakukan kontak langsung dengan
aliran darah menjadi sel endotel dan yang mengelilinginya menjadi perisit pada
kapiler. Kanalis arteri dan vena mulai terbentuk, sementara beberapa cabang
mengalami retraksi dan atrofi, membentuk zona perivaskular bebas kapiler; hal ini
disebut dengan remodeling retina. Maturasi retina mendahului pertumbuhan
pembuluh darah. Pleksus kapiler interna terbentuk lebih awal diikuti oleh pleksus
kapiler dalam.

Proses maturasi dimulai dari polus posterior dan berlangsung menuju bagian
perifer dengan kecepatan yang sama dengan vaskularisasi retina. Proses lain yang
terjadi saat trimester kedua ini adalah munculnya physiological cup, ora serrata, ruang
subretina saat usia kehamilan lima bulan, dan masih terdapatnya sisa dari lapisan
Chievitz.

2.1.1.3 Trimester Ketiga

Diferensiasi fotoreseptor batang terlihat saat bulan ketujuh. Struktur tubular


tersusun sebagai kantung lamelar dan mitokondria terkumpul pada elipsoid pada saat
ini. Ujung fotoreseptor berdiferensiasi dan membentuk vesikel sinaps (synaptic
vesicles) dan pita sinaps (synaptic ribbons). Makula masih terlihat menonjol pada
tahap ini dan perkembangan fovea berlanjut di makula. Pembentukan celah fovea
(foveal pit), lekuk fovea (foveal slope), serta migrasi fotoreseptor ke arah dalam
merupakan hasil migrasi sel ganglion ke arah luar. Fotoreseptor dan sel EPR yang
dekat dengan fotoreseptor mengalami proses migrasi sentripetal. Makula dikelilingi
oleh kapiler yang tidak berproliferasi ke arah sentral sehingga fovea menjadi daerah
yang avaskular. Vaskularisasi retina berlanjut ke arah perifer namun tidak memanjang
ke ora serrata, sehingga pada saat ini zona avaskular retina tetap berada di perifer.
Bagian perifer vaskularisasi retina yang berkembang tersusun dari sel mesenkim yang

berbentuk kumparan, disebut juga dengan The vanguard of vasoformative tissue.

Sel endotel berproliferasi di bagian belakang vanguard dan membentuk lingkaran


(loops). Kapiler sudah berkembang secara normal di dalam lapisan serabut saraf pada
tahap yang sudah berdiferensiasi penuh, sementara pada tahap ini sel endotel akan
memiliki beberapa taut longgar (gap junctions). Jumlah taut longgar akan bertambah
dan dapat bertindak sebagai sawar untuk perkembangan kapiler intraretinal lebih
lanjut saat sel endotel mengalami aktivasi.

Fotoreseptor serta daerah subretinal tampak memanjang hingga ora serrata


saat bulan kedelapan kehamilan. Perkembangan vaskular retina pada bagian perifer
nasal secara umum sudah lengkap pada usia ini. Jumlah sel ganglion bertambah
sedikit, namun tetap lebih tebal di posterior dan perifoveal dimana sel ganglion
perifer menjadi lebih jarang.
Retina sudah berdiferensiasi dengan baik pada bulan kehamilan kesembilan
yang ditandai dengan maturasi sel EPR dan fotoreseptor. Pigmentasi makular terjadi
saat minggu ke-34-35 kehamilan dan menghasilkan penampakan merah gelap yang
berbeda dari retina sekitarnya. Hal ini disebabkan karena perubahan histologis pada
sel EPR di daerah makula. Refleks perimacular annular muncul pada minggu ke-34-
36 kehamilan, berbentuk sirkular mengelilingi pusat fovea dengan diameter sekitar
1,5 mm. Refleks ini disebabkan karena perubahan histologis pada lapisan sel
ganglion retina, ketika sel ganglion, sel amakrin, sel bipolar, sel Muller, dan sel
horizontal berpindah dari fovea. Refleks fovea merupakan temuan oftalmoskopis
terakhir pada bayi matur, umumnya dapat terlihat pada minggu ke-37 kehamilan dan
menjadi matur pada minggu ke-42 kehamilan. Hal ini berhubungan dengan penipisan
lapisan inti dalam dan luar fovea, yang menghasilkan cekungan pada bagian tengah
makula. Makula mungkin tampak matur pada minggu ke-42 kehamilan, namun
maturitas histologis tidak terlihat sampai masa kanak-kanak.

Pembuluh darah retina berlanjut ke ora serrata bagian temporal pada usia
gestasi 40 minggu dan akan berkembang lengkap sampai beberapa minggu setelah
lahir. Jauh di dalam retina, kapiler mencapai lapisan inti dalam dan membentuk jaring
kapiler eksternal, yang dengan sendirinya tidak mencapai ekuator.

2.1.2. Perkembangan Retina Setelah Lahir

Makula merupakan bagian permukaan okular yang paling belum berkembang


saat lahir. Bayi baru lahir memang sudah memiliki bagian perifer retina yang sudah
berkembang dengan baik secara histologi dan fungsional, namun bagian polus
posterior terutama daerah makular, sangat imatur sehingga diyakini belum dapat
berfungsi dengan baik. Perkembangan tajam penglihatan berlanjut dengan cepat
sampai sekitar usia 4 tahun. Peningkatan tajam penglihatan dipengaruhi oleh 3 proses
yaitu, diferensiasi fotoreseptor kerucut, reduksi diameter zona bebas sel batang, dan
peningkatan densitas fovea kerucut. Perubahan yang paling terlihat adalah pigmentasi
makula, perkembangan cincin anular, diferensiasi refleks fovea, dan diferensiasi
fotoreseptor sel kerucut.
2.1.3. Sepuluh Lapisan Retina

Retina memiliki sepuluh lapisan. Lapisan tersebut antara lain (dari bagian
dalam vitreus, ke arah posterior) : membrana limitans interna, lapisan serat saraf,
lapisan sel ganglion, lapisan pleksiform interna, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform
eksterna, lapisan inti luar, membrana limitans eksterna, lapisan fotoreseptor, epitel
pigmen retina.

Membrana limitans interna retina terbentuk oleh bagian akhir dari sel Muller
dan berhubungan dengan bagian utama membran/lamina basalis, membentuk batas
terdalam dari retina. Membrana limitans interna merupakan permukaan dalam retina
yang membatasi vitreus humor, dengan demikian fungsinya ialah membentuk sawar
di antara neuroretina dan cairan vitreus. Sel Muller, sel astrosit, dan sel mikroglial
merupakan sel neuroglial yang berfungsi untuk menyediakan struktur dan sokongan
serta berperan dalam reaksi jaringan saraf bila mengalami kerusakan atau infeksi. Sel
Muller adalah sel neuroglial besar yang memanjang pada sebagian besar retina. Sel
ini berperan dalam menyediakan struktur. Bagian apeks dari sel Muller berada di
lapisan fotoreseptor, sementara bagian basal berada di permukaan dalam retina. Sel
astrosit merupakan sel berserat yang berbentuk bintang yang ditemukan pada bagian
dalam retina. Sel astrosit ini berkontribusi pada membrana limitans interna dan
memiliki fungsi yang sama dengan sel Muller. Sel mikroglial merupakan sel fagositik
yang tersebar (wandering), dapat ditemukan di seluruh retina. Jumlahnya meningkat
bila terdapat inflamasi dan kerusakan
Lapisan serat saraf terdiri dari akson sel ganglion. Berjalan sejajar dengan
permukaan retina lalu dari serat optik menuju ke diskus optikus dan akhirnya keluar
dari mata melalui lamina kribosa sebagai saraf optik.

Lapisan sel ganglion merupakan lapisan sel tunggal yang tebal, kecuali di
bagian makula. Lapisan ini dipisahkan oleh proses sel glial Muller. Jumlah sel
ganglion berkurang dan lapisan serat saraf menipis ke arah ora serrata. Sel ganglion
dapat berupa bipolar atau multipolar. Ukuran sel bervariasi. Klasifikasi berdasarkan
lapisan badan genikulatum lateralis yaitu sel ganglion P1, P2, dan tipe-M.

Lapisan pleksiform interna terdiri dari koneksi sinaptik antara akson sel-sel
bipolar dan dendrit sel ganglion.

Lapisan inti dalam terdiri dari badan sel horizontal, sel bipolar, sel amakrin,
neuron interpleksiform, sel Muller, dan beberapa sel ganglion yang berpindah. Inti sel
horizontal dekat dengan lapisan pleksiform eksterna. Inti sel amakrin terletak di
sebelah lapisan pleksiform interna. Sel bipolar memiliki dendrit di lapisan pleksiform
eksterna dan akson di lapisan pleksiform interna. Neuron interpleksiform menerima
input dari lapisan pleksiform interna dan diproyeksikan ke lapisan pleksiform
eksterna. Sel horizontal berfungsi untuk mentransfer informasi dengan arah
horizontal secara paralel dengan permukaan retina. Sel horizontal memiliki prosesus
atau akson yang panjang. Sel bipolar merupakan orde kedua neuron pada jalur visual.
Dendrit sel bipolar bersinaps dengan sel fotoreseptor dan sel horizontal. Akson sel
bipolar bersinaps dengan sel ganglion dan sel amakrin. Sel bipolar menyampaikan
informasi dari sel horizontal, amakrin dan ganglion. Sementara itu, sel bipolar
menerima umpan balik dari sel amakrin. Sel amakrin berperan penting dalam
modulasi informasi yang mencapai sel ganglion. Prosesusnya membentuk sinaps
kompleks dengan akson dan sel bipolar. Neuron interpleksiform ditemukan di antara
lapisan sel amakrin, dan merupakan presinaps dari sel bipolar batang atau sel bipolar
kerucut pada lapisan pleksiform eksterna. Prosesusnya meluas ke kedua lapisan
sinaptik, dan menyampaikan informasi antar lapisan.
Sel fotoreseptor membentuk sinaps dengan sel bipolar dan sel horizontal pada
lapisan pleksiform eksterna. Bagian yang paling distal dari lapisan pleksiform
eksterna didominasi oleh serat bagian dalam sel fotoreseptor, sementara dendrit dari
sel bipolar dan horizontal, bersama dengan sel Muller terdapat di bagian paling dalam
dari lapisan ini.

Lapisan inti luar mengandung badan sel fotoreseptor batang dan kerucut.
Badan sel batang lebih banyak di bagian perifer, sementara badan sel kerucut lebih
banyak di retina bagian sentral. Lapisan inti luar paling tebal di bagian fovea (50 m,
berisi sekitar 10 baris inti sel kerucut) dan secara progresif menipis di bagian perifer.

Membrana limitans eksterna terbentuk oleh tautan rapat antara sel Muller dan
sel fotoreseptor segmen dalam. Lapisan ini berfungsi sebagai sawar diantara ruang
subretina sampai segmen dalam dan luar fotoreseptor, lalu bergabung mendekati
lapisan epitel berpigmen di belakang retina dan neuroretina yang sebenarnya.

Lapisan fotoreseptor tersusun atas segmen luar dan dalam dari sel batang dan
kerucut. Segmen fotoreseptor bagian luar khusus berfungsi menangkap cahaya dan
menerima dukungan fungsional dari sel EPR yang berada langsung di luar segmen
tersebut. Sel batang dan kerucut merupakan sel yang mengandung fotopigmen yang
berfungsi untuk menyerap foton cahaya. Sel batang aktif dalam pencahayaan redup
sementara sel kerucut aktif dalam kondisi yang cukup terang. Pigmen visual dalam
fotoreseptor diaktifkan pada perangsangan cahaya. Plasmalema pada sel batang
merupakan bagian yang terpisah dari membrana diskus, kecuali pada bagian dasar
dimana invaginasi membentuk diskus. Pigmen fotosensitif rodopsin terdapat di dalam
membrana diskus. Plasmalema adalah bagian yang menutupi segmen luar dari
fotoreseptor. Plasmalemma sel kerucut berkontinu dengan membran, membentuk
sebagian diskus, sehingga diskus tidak mudah lepas satu sama lain. Bagian segmen
luar lebih pendek dibanding sel batang dan tidak dapat mencapai lapisan EPR.

Epitel pigmen retina merupakan lapisan tunggal tebal. EPR terdiri dari sel- sel
heksagonal berpigmen. Sel lebih besar dan lebih kuboid pada bagian yang dekat
dengan ora serrata, merupakan transisi ke epitel berpigmen dari badan silier. Fungsi
utamanya ialah sebagai sawar, transportasi ion, dan fagositosis. Sel ini mengandung
melanosom yang memanjang dari daerah apikal ke bagian tengah sel, mengaburkan
nukleolus di daerah basal. Bagian apikal terdiri dari mikrovili yang meluas ke lapisan
fotoreseptor.3

2.2. Retinopati Prematuritas

2.2.1 Definisi

Persalinan preterm/prematur adalah persalinan yang berlangsung pada usia


kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995).4
Retinopati prematuritas (ROP) adalah suatu retinopati proliferatif pada bayi prematur
sebagai akibat terpapar pada oksigen konsentrasi tinggi. Prinsipnya adalah merujuk
kepada adanya penyakit dengan proliferasi retina akibat terganggunya pembuluh
darah retina yang belum terbentuk sempurna.5

Gambar: Periode waktu pembentukan vaskularisasi retina.6

2.2.2 Epidemiologi

Kejadian Retinopati Pada Prematuritas (ROP) cenderung meningkat di negara


berpendapatan menengah (negara industri) karena negara-negara tersebut memiliki
angka mortalitas bayi kurang dari 10 per 1000 dan pencapaian perawatan intensif
neonatal yang baik.7,8 Prevalensi ROP cukup bervariasi di berbagai negara. Prevalensi
ROP adalah 73% di Swedia (368 dari 506 kelahiran preterm) dan 33% di Norwegia
(95 dari 290 kelahiran preterm).9
Angka kejadian kelahiran prematur pada bayi lahir hidup di RSUPN Cipto
Mangunkusumo tahun 2007 adalah 20,22% dan 71% dari bayi lahir prematur
mengalami ROP.10
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
pada rentang September 2015-September 2016 bayi-bayi yang mengalami ROP 9 dari
11 bayi berjenis kelamin laki-laki, 7 dari 11 bayi memiliki berat badan < 1.500 gram,
8 dari 10 bayi diberikan oksigen, serta 10 dari 11 memiliki penyulit lainnya.11

2.2.3 Etiologi Dan Faktor Risiko


Beberapa Faktor Risiko yang Sudah Diidentifikasi
1. Penggunaan O2
Peran oksigen sebagai faktor risiko ROP telah mulai diteliti semenjak era
1950-an diawali oleh penelitian kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokter
V.E. Kinsey yang kemudian hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian
eksperimental lain.12
Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum matang pada
binatang percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina. Apabila konstriksi ini
bertahan akan diikuti oleh penutupan pembuluh darah pada berbagai tingkat,
kemudian akan menimbulkan kerusakan endotel dan akan menyebabkan penutupan
sempurna pembuluh darah yang belum matang tersebut. Pembuluh darah baru akan
terbentuk pada daerah yang mengalami kerusakan kapiler retina tersebut. Pembuluh
darah baru ini akan menyebar di permukaan retina dan berkembang sampai ke korpus
vitreus.12,13
Penelitian dengan binatang percobaan yang diberi oksigen konsentrasi tinggi
menunjukkan hanya pembuluh darah yang belum matanglah yang sensitif terhadap
oksigen, semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar risikonya terhadap
pemberian oksigen, sehingga bayi dengan pembuluh darah retina yang sudah matang
/ pembuluh darah yang sudah penuh di retina tidak memberi risiko terhadap ROP.
Atas dasar itulah predileksi ROP di bagian temporal retina dapat diterangkan.12
Vasokonstriksi awal pada pembuluh darah retina yang imatur terjadi dalam
beberapa menit pertama setelah paparan terhadap oksigen, ukuran pembuluh darah
berkurang sampai 50%, namun kemudian kembali ke ukuran normal. Oksigen yang
dilakukan terus menerus 4 6 jam selama akan menimbulkan vasospasme bertahap
sampai pembuluh darah tersebut mengecil sampai 80%. Sampai pada tahap ini
vasokonstriksi pembuluh darah retina masih bersifat reversibel, namun apabila
keadaan ini bertahan (misalnya pemberian oksigen sampai 10 15 jam) beberapa
pembuluh darah perifer retina yang belum matur tersebut akan mengalami penutupan
permanen.12
2. Anemia dan Transfusi Darah
Beberapa peneliti melaporkan transfusi darah atau anemia sebagai faktor
risiko ROP, namun laporan ini masih diperdebatkan. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa anemia adalah faktor risiko untuk terjadinya ROP sedangkan
laporan lain mengatakan hematokrit yang tinggi dan transfusi berulang pada kejadian
anemia yang merupakan faktor independen terjadinya kasus ROP.14 Sacks, dkk. Pada
penelitian 90 bayi dengan BB 1250 gram (Pennsylvania, 1980) menemukan
hubungan yang bermakna antara kejadian ROP dengan transfusi tukar.15 Clark, dkk.
menemukan hubungan yang bermakna antara insiden ROP dengan transfusi darah
pada penelitian 58 bayi dengan BB 1000 gram dan 70 bayi dengan berat lahir rendah
yang mendapatkan terapi oksigen dengan berbagai variasi berat badan.16
Anemia pada BBLR yang kemudian ditangani dengan pemberian transfusi
darah berulang akan menyebabkan bayi menerima sejumlah darah dari orang dewasa
(donor dewasa). Masuknya darah dari orang dewasa ini meningkatkan risiko ROP
yang dihubungkan dengan peningkatan penumpukan zat besi pada bayi-bayi prematur
ini. Hal ini akan meningkatkan aktivitas anti oksidan yang terkait dengan
penumpukan zat besi.17,18 Brooks dkk, pada penelitian 50 bayi dengan BB 1250 gram
tidak menemukan perbedaan insiden ROP antara kelompok bayi yang diberikan
transfusi untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi yang diberikan
transfusi untuk mempertahankan kadar hematokrit >40 % (26 bayi).14
3. Defisiensi Vitamin E
Flynn mengutip dari Owens dan Owens melaporkan peran vitamin E dalam
mencegah kejadian ROP pada kelompok bayi prematur. Pemberian 50 mg vitamin E
secara oral tiga kali sehari bersamaan dengan dimulainya pemberian makanan peroral
diketahui dapat menekan insiden ROP. Penelitian ini dilakukan pada bayi-bayi
dengan BB 1360 gram.13,17 Payne mengutip dari Kretzer dan Hittner, memperlihatkan
adanya perubahan dasar pada struktur sel spindel retina bayi-bayi prematur berisiko
tinggi. Sel spindel retina bayi prematur yang mendapat oksigen secara terus menerus
akibat distres pernafasan memperlihatkan peningkatan gap junction, diyakini bahwa
peningkatan Gap Junction ini mengganggu proses pembentukan pembuluh darah
yang normal. Pada bayi prematur yang mendapat vitamin E peningkatan gap junction
dapat ditekan.13
Vitamin E secara invitro merupakan anti oksidan lipofilik yang poten,
sedangkan kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga keterkaitan ini
menjadi dasar asumsi faktor risiko ROP. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa
peningkatan kadar vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian
ROP. Pemberian vitamin E pada bayi prematur diketahui memiliki beberapa
kemungkinan efek samping seperti enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan intra
ventrikular, perdarahan retina, perubahan respons imun dan penekanan aktifitas
bakteriostatik sel leukosit.17
4. Paparan Cahaya
Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga menimbulkan
pengaruh untuk terjadinya ROP, namun masih terdapat perbedaan pendapat terhadap
mekanisme terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada
tempat perawatan bayi intensif.17,19 Glass, melaporkan bahwa bayi prematur yang
dirawat di ruangan dengan cahaya terang benderang 32% lebih besar peluangnya
terkena ROP dibanding mata bayi yang mendapat perlindungan dari paparan cahaya,
meskipun hasil ini tidak secara kuat menunjuk kepada pengaruh cahaya pada
retinopati pada prematurias, tapi Glass menyatakan bahwa tidak ada satupun
penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen aman bagi mata bayi.20 Reynold, dkk.
pada penelitian 188 bayi prematur yang mendapatkan paparan cahaya terkontrol
dengan cara memberikan pencahayaan ruangan memakai lampu yang berputar
(hidup-mati), dengan kontrolnya bayi yang terpapar cahaya terang terus menerus,
mendapatkan hasil bahwa pengurangan intensitas cahaya ini (399 Lux untuk
kelompok studi dan 447 Lux untuk kelompok kontrol) tidak mengubah insiden ROP
(53% kelompok studi dan 52% kelompok kontrol).21 Hasil yang didapat pada
penelitian ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan intensitas paparan yang tidak terlalu
besar.
5. Karbondioksida
Retensi CO2 dapat meningkatkan efek kerusakan pembuluh darah retina bayi
prematur oleh terapi suplementasi oksigen.17,19 Patz mengutip dari Baner dan
Widmayer melaporkan bahwa retensi CO2 adalah faktor tunggal terpenting yang
membedakan insiden ROP pada penelitiannya pada bayi dengan berat badan lahir <
1000 gram, namun Biglan dan Brown tidak melihat pengaruh retensi CO2 terhadap
insiden ROP dan malah menemukan bayi dengan ROP tingkat lanjut memiliki PCO2
serum yang lebih rendah dari kelompok kontrol.12
6. Septikemia
Beberapa penulis melaporkan septikemia sebagai salah satu faktor risiko
untuk terjadinya ROP.12 Gunn, dkk pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat
badan 1500 gr dan mendapatkan suplementasi oksigen, melaporkan sepsis sebagai
faktor yang sangat kuat hubungannya dengan kejadian ROP.22 Mittal, dkk
melaporkan bahwa sepsis oleh kandida adalah faktor risiko yang berdiri sendiri dalam
memperberat kejadian ROP dan menyebabkan bayi prematur tersebut membutuhkan
terapi bedah laser.23

2.2.4. Patofisiologi
ROP merupakan kelainan vaskular retina imatur. Pembuluh darah retina
belum berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi
kurang bulan, semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2), vasokontriksi ini
merupakan respon protektif dan tidak mebahayakan bagi retina yang sudah
berkembang penuh, tetapi hipoperfusi dan hipoksemia setempat pada retina dengan
vaskularisasi tidak lengkap merangsang proliferasi pembentukan pembuluh darah
baru (neovaskularisasi) sebagai upaya mensuplai daerah yang kurang mendapat
perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam badan kaca dan retina menyebabkan
proliferasi fibrosa, retraksi parut dan pada kasus terburuk lepasnya retina dan
kebutaan.24

Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya


tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina
(vaskulogenesis) Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi
normal, retina mempunyai kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan
tiga hal, yaitu

1. Berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah tak jenuh
ganda
2. Retina memproses cahaya sedangkan cahaya merupakan inisiator pembentukan
oksigen radikal hebas, dan
3. Adanya aliran oksigen lintas membran yang relatif tinggi.
Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh
(1) retina mempnnyai kepekaan yang tinggi terhadap reaksi kimia yang mampu
merambatkan kerusakan oksidatif sesuai jaringan yang ditunmkan, (2) bayi prematur
mengalami hiperoksia tidak hanya diakibatkan oleh pembahan konsentrasi oksigen di
utrerus ke udara behas, tetapi juga akibat peningkatan oksigen inspirasi, dan (3) bayi
prematur tidak mempunyai pengganti komponen antioksidan retina. Retinopati
prematur merupakan manifestasi alamiah akibat toksisitas pemherian oksigen pada
bayi premature.25
Retinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir
Amat Sangat Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa
berat badan lahir rendah, usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat
(misalnya respiratory distress syndrome, displasia bronkopulmoner, sepsis)
merupakan faktor-faktor yang terkait. Bayi yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan
lebih immatur memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menderita penyakit ini.26

2.2.5. Patogenesis
Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina
normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel
mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap
junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan
terjadinya respon neovaskular, sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner.
menjelaskan akan adanya dua fase pada proses terjadinya ROP. Fase pertama, fase
hiperoksik, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi
sel-sel endotel kapiler yang irreversibel. Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal
sebagai stadium I dari retinopati prematuritas.

Gambar. ROP Stadium I


Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan
retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini
bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal.
Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi
dari kapiler-kapiler yang berada pada lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin
tebal dan akhirnya melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring
waktu, terjadilah hipoksia retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan pembuluh darah yang berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini
dikenal sebagai ROP stadium II.27
Gambar. ROP Stadium II

2.2.6. Skrining ROP


Skrining ROP dilakukan pada semua bayi dengan berat badan lahir kurang
dari 1500 gram atau usia kehamilan kurang dari 32 minggu, serta pada bayi-bayi
tertentu dengan berat badan lahir antara 1500-2000 gram atau usia kehamilan lebih
dari 32 minggu dengan klinis yang tidak stabil, diantaranya bayi yang membutuhkan
bantuan kardiorespirasi, dan dinilai oleh dokter neonatologi sebagai risiko tinggi.
Pemeriksaan dilakukan dengan binocular indirect ophthalmoscopy (BIO) setelah
dilatasi pupil, pada usia gestasi 31 minggu atau usia kronologis empat minggu.
Pemeriksaan dilakukan oleh seorang dokter mata yang telah mengikuti pelatihan ROP
sebelumnya, dengan menggunakan BIO.28 Dimulai pertama kali pada usia kronologis
2-4 minggu setelah lahir dan dilanjutkan tiap 1-2 minggu sekali sampai vaskularisasi
retina lengkap, sampai tanda-tanda retinopati prematuritas telah mengalami resolusi
spontan, atau sampai diberikan terapi yang tepat. Jika bayi telah dipulangkan sebelum
retina matur, pemeriksaan dilanjutkan dengan rawat jalan. Semua pemeriksaan
dilakukan di ruang perawatan neonatus dengan peralatan resusitasi lengkap dan bayi
terpasang monitor hemodinamik, walaupun pasien telah dipulangkan.29
Cara pemeriksaan BIO
Dua atau tiga jam sebelum pemeriksaan, pupil didilatasi dengan tropicamide
0,5% dan phenilephrin 2,5% (diberikan bergantian setiap 30 menit). Saat akan
diperiksa, bayi dibedong dan diberi tetes mata tetracaine hydrochloride 0,5% untuk
analgetik, kemudian dipasang spekulum mata. Fundus diperiksa dengan BIO.
Pemeriksaan dilakukan pada bayi dibedong dan kemudian berikan susu atau kempeng
(pacier).

American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan melakukan deteksi dini


ROP sebagai berikut :

1. Bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 atau umur 28 minggu, bayi bayi
tertentu dengan berat 1500-2000 gram dengan perjalanan klinis tidak stabil yang
diduga memiliki resiko tinggi oleh dokter anak atau ahli neonatologi, harus
diperiksa fundus dengan menggunakan oftalmoskopi indirek binokuler pada pupil
yang telah dilebarkan minimal 2 kali. Satu pemeriksaan dianggap cukup bila bila
pemeriksaan memperlihatkan bahwa ke dua retina telah memperlihatkan
vaskularisasi penuh.
2. Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh dokter ahli mata yang berpengalaman
memeriksa bayi prematur. Lokasi dan perubahan retina harus dicatat
menggunakan International Classification of Retinopathy of Prematurity.
3. Pemeriksaan awal dilakukan pada usia kronologis 4-6 minggu atau usia
postconceptional postmentrual 31-33 minggu
4. Pemeriksaan lanjutan ditentukan berdasarkan penemuan fundus pada pemeriksaan
pertama. Misalnya jika ditemukan vaskulatur retina imatur dan meluas ke zone 2
tetapi tidak didapatkan retinopaty maka pemeriksaan selanjutnya direncanakan
sekitar 2-3 minggu sesudahnya sampai terlihat vaskularisasi normal kearah zona
3.
5. Bila pada pemeriksaan pertama telah ditemukan memiliki resiko ROP maka
disarankan untuk mengikuti jadwal berikut:
A. Bayi dengan ROP yang mungkin akan segera berkembang menjadi threshold
ROP harus diperiksa minimal setiap minggu termasuk :
1. Setiap bayi dengan ROP kurang dari threshold di zona I
2. Bayi dengan ROP di zona 2 termasuk :
a). Stadium 3 ROP tanpa kelainan plus
b). Stadium 2 ROP dengan kelaian plus
c). Stadium 3 ROP dengan kelainan plus tetapi belum terlalu ekstensif
untuk dilakukan pembedahan ablasi
B. Bayi dengan ROP yang kurang berat di zona II harus diperiksa tiap 2 minggu.
Pada bayi tanpa ROP tetapi dengan vaskularisasi yang belum lengkap di zona
I harus diperiksa tiap 1-2 minggu sampai vaskularisasi retina mencapai zona 3
atau terjadi kondisi treshold

C. Jika vaskularisasi di zona 2 belum lengkap tetapi tidak terlihat ROP,


pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan interval 2-3 minggu sampai terjadi
vaskularisasi hingga zona 3

D. Retina dengan vaskularisasi inkomplit hanya di zona 3 biasanya akan


mengalami maturasi.

6. Bayi dengan derajat penyakit treshold I dengan kelainan plus harus mendapatkan
terapi ablasi minimal 1 mata dalam 72 jam setelah diagnosis, umumnya sebelum
terjadi pelepasan retina. Stadium 3 ROP dengan vaskularisasi di zona I atau
perbatasan zona 1 2 dapat terlihat berbeda dari zona 2 stadium 3 dimana
proliferasi yang terjadi terlihat datar (flat) dan elevasi hanya jika ROP menjadi
sangat berat. Bila ditemukan kesulitan untuk membedakan antara stadium 2 dan
3pada area posterior maka bayi-bayi yang dicurigai berada pada stadium 3 zona 1
atau perbatasan zona 1-2 dengan kelainan plus harus diperiksa dengan sangat hati-
hati untuk menentukan apakah mereka termasuk dalam kelompok treshold atau
tidak.
7. Orang tua bayi dengan ROP harus diberikan penjelasan mengenai perjalanan
penyakit dan kemungkinan yang bisa terjadi pada kelainan ini selama pasien
dirawat, mulai saat awal diagnosis dan berlanjut sesuai dengan progresivitas
penyakit selama dirawat.
8. Tanggung jawab pemeriksaan dan tindak lanjut bayi dengan resiko ROP harus
diputuskan oleh masing-masing neonatal intensive care unit (NICU). Kriteria unit
khusus untuk pemeriksaan ROP harus ditetapkan untuk masing-masing NICU
melalui konsultasi dan persetujuan antara ahli neonatologi dan ahli mata. Jika
rumah sakit memutuskan untuk merujuk maka harus dilakukan sebelum maturasi
mencapai zona 3 dan ketersediaan pelayanan di tempat rujukan harus tersedia.
Dokter yang merujuk memiliki tanggung jawab untuk membicarakan baik secara
lisan maupun tertulis pemeriksaan mata mana yang dibutuhkan dan kebutuhan
apa yang diharapkan dari tempat rujukan harus tersedia. Dokter yang menerima
rujukan harus memastikan keadaanmata penderita dan melakukan komunikasi
dengan dokter yang merujuk sehingga pemeriksaan selanjutnya dapat disesuaikan
dengan keadaan pasien. Jika tanggung jawab untuk tindak lanjut diserahkan
kepada orang tua maka orang tua harus mengerti bahwa kebutaan dapat terjadi
dan pemeriksaan lanjutan penting untuk keberhasilan pengobatan.28

2.2.7. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan gambaran pada segmen anterior bervariasi.


Pada stadium 1-3 kemungkinan tidak didapatkan gambaran yang khas, sedangkan
pada stadium 4-5 bisa didapatkan leukokoria. Pada keadaan plus desease dapat
ditemukan bendungan pembuluh darah iris, kekakuan pupil dan kekeruhan vitreus.
Pemeriksaan segmen posterior akan memperlihatkan gambaran fundus yang
bervariasi sesuai dengan klasifikasi ROP.28

2.2.8. Diagnosis

Telah direkomendasikan bahwa pemeriksaan fundus dilakukan pada bayi


yang memiliki usia gestasi 30 minggu atau kurang; berat lahir kurang dari 1500 g;
atau berat lahir 1500-2000 g dengan persyaratan suplementasi oksigen atau tidak
stabil. Pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter yang terlatih dalam diagnosis
penyakit yang berpotensi menimbulkan kebutaan. Pemeriksaan pertama sebaiknya
dilakukan minimal 4 minggu dari 5 minggu setelah kelahiran atau pada usia
kehamilan yang dikoreksi 30 sampai kurang dari 31 minggu. Rekomendasi ini dapat
berubah berdasarkan data di masa yang akan datang. Dalam pemeriksaan bayi
prematur, solusi mydriatic yang disarankanyang digunakan adalah Cyclomydril
(0,2% siklopentolat dan 1,0% phenylephrine). Phenylephrine 10% (Neo-Synephrine)
berpotensi menyebabkan hipertensi. Perawat harus hadir pemeriksaan di unit
perawatan intensif neonatal saat pemeriksaan. Jika pemeriksaan harus ditunda,
penundaan dan alasan medis harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Pemeriksaan lanjutan harus dilakukan setiap 1-2 minggu setelahnya sampai
pembuluh retina tumbuh normal ke zona 1 atau sampai risiko pengembangan ROP
telah lewat (sekitar 44-46 minggu pasca menstruasi). Jika pembuluh darah normal
berhenti tumbuh pada retina perifer atau jika ROP mulai berkembang, pemeriksaan
harus lebih sering dilakukan, baik mingguan atau dua kali seminggu. ROP bisa
mengalami progresi, kemudian stabil dan regresi; atau bisa progresi, menjadi berat,
dan membutuhkan perawatan.5

2.2.9. Klasifikasi

The International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP)


membuat klasifikasi ROP pada tahun 1984 berdasarkan lokasi, luas lesi, stadium dan
ada tidaknya kelainan penyerta. Lokasi dinyatakan dengan zona, luasnya lesi
dinyatakan berdasarkan luas daerah dalam jam (Clock Hours), sedangkan
progresifitas ( kelainan vaskuler ) dinyatakan dengan stadium (staging).

Berdasarkan lokasi ditemukan ROP maka retina dibagi menjadi 3 zona yaitu :

1. Zona I : Retina posterior berupa lingkaran radius 60, dengan papil optik
sebagai pusatnya, bila ditemukan ROP 1 jam (sektor) dalam zona 1 maka
didiagnosis sebagai ROP zona 1
2. Zona II : Mulai dari tepi zona I ke arah anterior mencapai ora serata nasal,
didiagnosis sebagai ROP zona 2 bila maturasi pembuluh darah retina yang
terjadi belum masuk dalam radius diameter 1 diskus ora serrata dan
didapatkan pada 2 jam berurutan atau 1 jam ROP pada sektor lain.
3. Zona III : Daerah retina yang tersisa di anterior zona II, didiagnosis jika
ditemukan maturasi pembuluh darah retina yang terjadi masuk dalam radius
diameter 1 diskus ora serata dan didapatkan pada 2 jam berurutan atau 1 jam
ROP pada sektor lain.

Gambar: Klasifikasi zone pada retinopati prematuritas.29

Luasnya yang terlibat ROP dinyatakan dalam clock hours. Sebagai panduan adalah
pada saat pemeriksaan berhadapan dengan pasien, posisi jam 3 berada disisi kanan
dan sisi nasal mata kanan pasien, serta temporal mata kanan, serta nasal mata kiri
pasien.

Tingkat perubahan vaskuler abnormal yang diamati dinyatakan dalam stadium


(stage).

Berdasarkan parameter ini maka ROP dibagi menjadi 5 stadium yaitu:

1. Stadium 1 : Adanya garis batas (demarkasi) yang memisahkan retina


avaskuler di anterior dan retina tervaskularisasi di posterior, disertai
percabangan atau arkade pembuluh darah abnormal yang mengarah ke garis
demarkasi . Garis ini terdapat dibidang retina, berwarna putih dan relatif datar.
2. Stadium 2 : Adanya intraretinal ridge. Garis demarkasi pada stadium I
mengalami pelebaran dan penebalan, serta meluas keluar dari bidang retina.
Ridge mungkin berubah warna dari putih menjadi merah muda.
Neovaskularisasi di permukaan retina mungkin dapat terlihat di posterior
ridge ini.
3. Stadium 3 : Adanya ridge disertai proliferasi fibrovaskuler ekstraretina .
Lokasi khas dimana proliferasi fibrovaskuler ini ditemukan adalah (1)
bersambungan dengan sisi posterior ridge, sehingga tampak bergerigi. (2)
langsung berada di posterior ridge, namun tidak selalu tampak bersambung.
(3) ke arah vitreus tegah lurus dengan retina. Stadium 3 dibagi menjadi 3
kriteria berdasakan jumlah jaringan proliferatif fibrovaskuler yang ditemukan
yaitu Mild, Moderate dan Severe. Kepentingan pembagian kriteria inio adalah
untuk menentukan prognosis. Pada stadium mild didapatkan sedikit jaringan
fibrovaskuler yang dapat dikenali pemeriksa. Stadium 3 moderate memiliki
jaringan yang cukup banyak, sehingga menginfiltrasi vitreus. Bila infiltrasi
yang terjadi lebih masif di sekitar ridge, maka digolongkan sebagai stadium 3
severe.
4. Stadium 4 : Adanya ablasio retina parsial. Stadium ini dibagi lagi menjadi
stadium 4A dan 4B berdasarkan ada atau tidaknya keterlibatan fovea. Stadium
4A merupakan ablasio retina partial yang tidak melibatkan fovea (ektrafovea),
sedangkan stadium 4B sebaliknya.
5. Stadium 5 : Adanya ablasio retina total yang membentuk corong (funnel-
shape).28

Penyakit dengan tanda (+) :

Apabila di sekeliling ridge ditemukan pembuluh darah yang melebar dan berkelok-
kelok.

a b
c d

e f

Gambar: a. Stadium 1 ROP b. Stadium 2 ROP c. Stadium 3 ROP d. Stadium 4 ROP e.


Penyakit Plus, fotograf standar f. Pembuluh darah iris yang kongesti pada penyakit
Plus yang berat.

Untuk kelainan penyerta merupakan istilah lain yang penting dalam ROP
yang merupakan penggabungan 3 parameter yang telah disebutkan diatas, serta
penting dalam hal penentuan yang akan dilakukan, yaitu plus desease, prethreshold
dan threshold desease. Plus desease merupakan keadaan dengan perubahan vaskuler
yang begitu jelas, sehingga vena posterior meleba dan arteri berkelok-kelok. Bila
keadaan ini ditemukan, maka tanda +(plus) ditambahkan pada stadium ROP.

Prethreshold disease merupakan keadaan dimana pada zona I didapatkan


ROP stadium 1 atau 2, atau pada zona II didapatkan stadium 2+, 3 atau stadium 3+
yang kurang dari 8 jam kumulatif.

Threshold disease merupakan keadaan dimana pada zona I didapatkan RP


stadium 1+, 2+, 3 atau 3+, atau pada zona II didapatkan stadium 3+ sejumlah 8 jam
kumulatif. Ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi pada fase ini, yaitu ROP
mengalami regresi dan atau maturasi vaskularisasi retina atau ROP berlanjut menjadi
ablasio retina28.

2.2.10. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan ROP adalah untuk penglihatan. Pada pasien tertentu perlu
pengobatan segera. ROP padaa umumnya membaik sendiri dan tidak membutuhkan
pengobatan. Pada stadium 3 dan lebih lanjut pengobatan diperlukan untuk
menghentikan pertumbuhan pembuluh darah abnormal pada retina atau mengatasi
ablasi retina yang terjadi.

Bentuk pengobatan ROP :

1. Terapi krio, memakai suhu beku untuk membekukan bagian retina yang
dipengaruhi ROP, yang akan menghentikan pertumbuhan pembuluh darah tidak
sehat dalam mata.
2. Terapi laser, seperti terapi krio laser terapi dilakukan untuk menghentikan
pertumbuhan yang berlebihan pembuluh darah tidak sehat pada retina. Laser
dipergunakan untuk membakar bagian kecil retina yang dikenai ROP. Terapi
laser memberikan hasil lebih baik dibandingkan terapi krio.
3. Bedah retina, dilakukan pada stadium 4 dan 5 ROP, retina mulai lepas atau
ablasi total. Terapi skleral buckle ini merupakan terapi bedah yang digunakan
bila terapi krio laser gagal dalam mencegah terjadinya retinopati pada
prematuritas. Pitasilikon diletakkan disekitar ekuator dan dikencangkan untuk
mengurangi traksi dari cairan vitreous pada jaringan parut fibrous dan retina
sehingga menyebabkan retina kembali ke permukaan dinding bola mata.30
4. Vitrektomi diindikasikan pada retinopati pada prematuritas stadium V, namun
pada stadium ini kemampuan untuk dapat melihat lagi juga rendah. Terapi
untuk Retinopati pada Prematuritas harus dilakukan sedini mungkin agar dapat
menyelamatkan penglihatan bayi.31

Agar dapat melakukan terapi sedini mungkin untuk retinopati pada prematuritas
ini perlu deteksi dini dan skrining pada bayi dengan resiko tinggi terkena retinopati
pada prematuritas. Terapi yang dilakukkan disaat pernyakitnya belum terlalu parah
merusak retina, akan mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dan
menyelamatkan bayi dari kebutaan permanen.32

2.2.11. Komplikasi
Komplikasi dari ROP dapat meliputi miopia, ambliopia, strabismus,
nistagmus, katarak, retinal breaks, dan retinal detachment. Berdasarkan penelitian
Vanderveen et al strabismus sering bervariasi dan bisa membaik pada usia 9 bulan.
Follow-up dari dokter mata diperlukan dalam jangka panjang.33

2.2.12. Prognosis
ROP biasanya mengalami regresi pada kebanyakan pasien stadium 1 dan 2,
sejak perifer retina bisa sepenuhnya mengalami vaskularisasi dalam minggu-minggu
berikutnya setelah kelahiran prematur, meninggalkan sedikit perubahan anatomis dan
fungsional residual. Sekitar 90% pasien pada tahap ini menunjukkan involusi spontan
penyakit dan tidak memerlukan perawatan khusus. Pasien ini hanya memerlukan
tindak lanjut progresif selama tahun-tahun pertama kehidupan untuk mencegah
ambliopia dan strabismus dan memperbaiki ametropia, kejadian yang tampaknya
lebih besar pada bayi prematur bila dibandingkan dengan bayi yang tidak prematur.
Saat ROP mencapai stadium 3 threshold atau tipe 1 prethreshold penyakit, pasien
membutuhkan pengobatan. Penyakit akan menyebabkan kelainan anatomi dan
fungsional yang tidak menguntungkan apabila tanpa perawatan yang tepat. Prognosis
pengobatan dengan fotokoagulator, fototerapi, cryotherapy atau diode apabila
dilakukan pada pasien penyakit ambang batas yang baik bisa mencegah kehilangan
penglihatan sekitar 70 sampai 80% pasien. Namun, Banyak anak yang menjalani
perawatan menunjukkan ketajaman visual yang tidak memuaskan akibat perubahan
anatomis residual yang cenderung mempengaruhi daerah makula atau karena
strabismus, ambliopia, atau ametropia tinggi.34

Tingkat keberhasilan untuk reattachment retina berkisar antara 25%50%.


Namun, reattachment tidak menjamin bahwa bayi akan memiliki penglihatan
fungsional. Hanya sekitar seperempat bayi yang mampu melihat cukup baik untuk
mengenali pola atau untuk meraih mainan. Bayi dengan stadium IV dan V ROP
mungkin mengalami ambliopia parah, yang membuat rehabilitasi terapi dan visual
menjadi sulit. Bayi dengan ROP juga beresiko terkena masalah mata saat mereka
tumbuh. Ini disebut komplikasi akhir dari ROP. Mereka yang memiliki Stage V juga
memiliki risiko 30% berkembang menjadi glaukoma sudut tertutup. ROP dengan
komplikasi detasemen retina adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di
Amerika Serikat. Kira-kira 500 kasus kebutaan terkait ROP dilaporkan setiap tahun.35

2.2.13. Pencegahan dan Edukasi


Cara terbaik untuk mencegah ROP adalah menghindari kelahiran prematur.
Perawatan pranatal dan konseling dapat membantu mencegah kelahiran prematur dan
menginformasikan kepada seorang ibu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan bayinya dalam kandungan.35 Pencegahan ROP terdiri dari seperangkat
tindakan yang berpusat di skrining neonatal untuk deteksi dan pengobatan tepat
waktu penyakit bila diperlukan. Pasien yang memiliki gejala akan berkembang
menjadi ROP tipe 1 perlu segera diobati sebelum 37 minggu usia post konsepsi.
Tahap 1 ROP dapat dihambat oleh pemantauan yang efektif.34 Intervensi pencegahan
lainnya mencakup pemantauan kebutuhan oksigen secara seksama pada bayi
prematur. Pemeriksaan mata secara teratur harus didiskusikan dengan dokter bayi,
terlepas dari tahap ROP.35 Apabila ditemukan kasus yang dicurigai ROP di fasilitas
kesehatan layanan primer, sebaiknya di rujuk ke rumah sakit terdekat yang memiliki
dokter spesialis mata, serta edukasi kepada keluarga pasien tentang penyakit ROP,
gejala, hingga komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan penanganan
dengan baik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Retinopati prematuritas penyebab utama kebutaan pada hayi berat lahir


rendah/ berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas adalah suatu
retinopati proliferatif pada bayi prematur sebagai akibat terpapar pada oksigen
konsentrasi tinggi. Prinsipnya adalah merujuk kepada adanya penyakit dengan
proliferasi retina akibat terganggunya pembuluh darah retina yang belum terbentuk
sempurna. Beberapa faktor risiko yang sudah diidentifikasi dapat mempengaruhi
terjadinya ROP diantaranya adalah penggunaan O2, anemia dan transfusi darah,
defisiensi vitamin E, paparan cahaya, karbondioksida, septikemia. Skrining penting
dilakukan untuk mencegah terjadinya ROP terutama pada kelompok yang berisiko.

Pada pasien tertentu perlu pengobatan segera. ROP pada umumnya membaik
sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan. Pada stadium 3 dan lebih lanjut
pengobatan diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah abnormal
pada retina atau mengatasi ablasi retina yang terjadi.

Bentuk pengobatan ROP antara lain terapi krio, terapi laser, bedah retina, dan
vitrektomi Diharapkan dalakukan terapi sedini mungkin untuk retinopati prematuritas
ini, perlu deteksi dini dan skrining pada bayi dengan resiko tinggi terkena retinopati
pada prematuritas. Terapi yang dilakukkan disaat pernyakitnya belum terlalu parah
merusak retina, akan mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dan
menyelamatkan bayi dari kebutaan permanen.
Referensi

1. Tejiro B,2006. Retinopathy of prematurity. Dalam: arch soc esp oftalmol;


81:129-130.
2. Gargely K,2010. Retinopathy of prematurity-epidemics, incidence,
prevalence, blindness. Faculty of medicine, comenicus university Bratistava,
Slovakia.
3. Wisnuwardani F, Sovani I, et al. Perkembangan dan Struktur Retina. Pustaka Unpad.
2013. [cited: 14 September 2017]. Available from:
http://repository.unpad.ac.id/17004/1/pustaka_unpad_perkembangan_dan_struktur_re
tina.pdf
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD, Preterm Birth. In: Williams Obstetrics 22nd ed. McGraw-Hill New York.
2005: 855-73
5. American Academy of Ophtalmology. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus: Pediatric Ophtalmology. American Academy of Ophtalmology:
2011.
6. Kansky JJ. Retinal vascular disorders. Dalam: Kansky JJ, penyunting. Clinical
opthalmology. Edisi ke-3. London: Butterworth Heinemann, 1994. h. 3746.
7. American Academy of Ophtalmology. Retinopathy of prematurity-europe.
2013 Nov [cited 2017 Sep]. Available from: http://www.aao.org/topicdetail/
retinopathy-of-prematurity.
8. Zin A. The increasing problem of retinopathy of prematurity. J Comm Eye
Health 2001;14:58-9.
9. Hellstrm A, Smith L, Dammann O. Retinopathy of prematurity. The Lancet
2013;382:1445-57.
10. Lukitasari A. Retinopati pada prematuritas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala
2012;12:118-21.
11. Taliwongso D, Sumual V, Saerang J. S. M. Hubungan Faktor Risiko Dengan
Terjadinya Retinopathy Of Prematurity (ROP). Jurnal Kedokteran Klinilk
2016;1:116-125.
12. Patz A, Palmer EA. Retinopathy of prematurity. Dalam: Schachat AP,
Murphy RB, Patz A, penyunting. Retina Volume II. St Louis: Mosby, 1989. h.
50930.
13. Payne JW. Retinopathy of prematurity. Dalam: Avery ME, Taeusch HW,
penyunting. Disease of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Sounders,
1984. h. 90913.
14. Brooks SE, dkk. The effect of blood transfussion protocol on retinopathy of
prematurity a prospective, Randomized study. Pediatrics, 1999; 104:51418.
15. Sacks LM, Schaffer DB, Anday EK, Peckam GJ, Papadopoulos MD.
Retrolental fibroplasea and blood transfussion in very low birth weight
infants. Pediatric 1981; 68: 7704.
16. Clark C, Gibbs JAH, Maniello R, Outerbridge EW, Aranda JV. Blood
transfussion: A posxible risk factor in retrolental fibroplasia. Acta Pediatr
Scond 1981; 70:535 9.
17. Flynn JT. Retinopathy of prematurity. Dalam: Nelson LB, Calhoun JH,
Harley RD, penyunting. Pediatric opthalmology. Edisi ke-3. Philadelphia:
Sounders, 1991. h. 5977.
18. Sullivan L. Iron, plasma antioxidants and the oxygen radical of prematurity.
AJDC 1988; 142:13414.
19. Risk factor for retinopathy of prematurity. Country Hills eye center. Dikutip
dari: http://www.connections.com/eyedoc/roprisk.html.
20. What causes retinopathy of prematurity. Dikutip dari: com/pbpb-c.html
http://www.rdcbraille. com/pbpbc.html.
21. Reynolds JD, Hardy RJ, Kennedy KA, Spencer R, Van Heuven WAJ, Fielder
AR. Effect of light reduction on retinopathy of prematurity
22. Gunn TR, Easdown J, Outerbridge EW, Aranda JV. Risk factors in retrolental
fibroplasia. Pediatrics 1980; 65:1096100.
23. Mittal M, Dhanireddy R, Higgins RD. Candida sepsis and association with
retinopathy of prematurity. Pediatrics 1998; 101:6547.
24. Benson C Ralph. Retinophati prematuritas. Dalam: Obsteri dan Ginekologi.
Jakarta: EGC,2004.
25. Setiawan bambang, 2007. Peroksidase lipid dan penyakit terkait stress
oksidatif pada bayi premature. Dalam: majalah kedokteran Indonesia vol.57
no.1, Jakarta 2007.
26. Anjli Hussain, 2004. Management of retinopathy in a tertiary care center.
Dalam: Journal of the Bombay ophtamologists association vol.3 no.1.
27. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of
retinal development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67.
28. Sari pediatri, Vol.14, No.3, Oktober 2012, Skrining Retinophaty of
Prematurity di Rumah Sakit Fasilitas Terbatas.
29. Vaugan, Asbury (2010). Oftalmologi Umum. Jakarta:EGC.
30. Buku Ilmu Penyakit Mata FKUI edisi 5.
31. Flynn JT, Bancalari E, Bachynski BN, Buckley EB, dkk. Retinopathy of prematurity
diagnosis, severity and natural history. Opthalmology. 1987. 94 : 620-9
32. Risk factor for retinopathy of prematurity. Country Hills eye center. Dikutip dari:
http://www.connections.com/eyedoc/roprisk.html
33. KN Siva Subramanian. Retinopathy of Prematurity Follow-up. Medscape. 2015.
[cited: 14 September 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/976220-followup#e4
34. Joo BFF, Eckert GU, Tartarella MB, Procianoy RS. Prevention of
retinopathy of prematurity. Arq Bras Oftalmol. 2011;74(3):217-21
35. Stanley J, Swierzewski. Retinopathy of Prematurity Treatment, Prognosis,
Prevention. 2015. [cited: 15 September 2017]. Available from :
http://www.healthcommunities.com/retinopathy-of-prematurity/

Anda mungkin juga menyukai