Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH EKONOMI DEMOGRAFI

“FERTILITAS”

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 2 :

1. A. BIMONTORO (90300115017)
2. MUH. MAISAR (90300117094)
3. NIRMALA IKRANUDDIN (90300117090)
4. NURAMALIA (90300117118)
5. UTARI NURPRATIWI (90300117114)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
ILMU EKONOMI (C)
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Fertilitas” tepat waktu.
Makalah tersebut disusun guna memenuhi tugas Ekonomi Demografi. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang Data Demografi (Sumber dan Ukuran).
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dosen
selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah
ini.

Makassar, 21 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... I
KATA PENGANTAR.................................................................................................... II
DAFTAR ISI................................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................... 4
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................................ 4
1.3 TUJUAN......................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 6
A. Konsep dan Analisis Fertilitas........................................................................................ 6
2.1 Konsep dan Defenisi Kelahiran...................................................................................... 6
2.2 Konsep Masa Reproduksi............................................................................................... 6
B. Ukuran-ukuran Dasar Fertilitas....................................................................................... 7
3.1 Angka Kelahiran Kasar (CBR)....................................................................................... 8
3.2 Angka Fertilitas Umum (GFR)....................................................................................... 8
3.3 Angka Kelahiran Menurut Umur (ASFR)...................................................................... 10
3.4 Angka Fertilitas Total (TFR).......................................................................................... 12
3.5 Angka Lahir Hidup (CEB).............................................................................................. 13
3.6 Rasio Anak Wanita (CWR)............................................................................................ 15
C. Ukuran Reproduksi......................................................................................................... 16
4.1 Angka Reproduksi Bruto (GRR).................................................................................... 16
4.2 Angka Reproduksi Neto (NRR)...................................................................................... 17
4.3 Perhitungan TFR dengan pendekatan Kerat Lintang Longitudinal................................ 19
D. Pemikiran Antardisiplin, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Fertilitas........... 20
E. Studi Fertilitas Di Indonesia............................................................................................ 28
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 34
KESIMPULAN............................................................................................................... 34
SARAN........................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari
seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut
banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran
pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya
bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas,
berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan
jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi tidak
dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi dalam
reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini disebut
infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang
tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa masyarakat
yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/
pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang
telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita
dikatakan subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas
(kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari
seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang
(suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang
meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu
orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah
melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dan Analaisis Fertilitas?
2. Jelaskan Ukuran-ukuran Dasar Fertilitas?
3. Jelaskan Ukuran Reproduksi?
4. Bagaimana Pemikiran Antardisiplin dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Fertilitas?
5. Bagaiaman Studi Fertilitas di Indonesia?

4
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep dan Analisis Fertilitas
2. Untuk Mengetahui Ukuran-ukuran Dasar Fertilitas
3. Untuk Mengetahui Ukuran Reproduksi
4. Untuk Mengetahu Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Fertilitas
5. Untuk mengetahui Studi fertilitas di Indonesia

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A. KONSEP & ANALISIS FERTILITAS

Sebelum membahas lebih lanjut cakupan dalam analisis fertilitas, perlu kiranya diketahui
beberapa definisi dan istilah-istilah yang akan digunakan.

2.1 Konsep dan Definisi Kelahiran

Dalam analisis fertilitas, dikenal dengan beberapa konsep kelahiran, yaitu lahir hidup,
lahir mati, dan abortus. Berikut ini adalah definisi menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) atau United Nations dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-
WHO).

1. Lahir hidup (live birth) adalah kelahiran seorang bayi tanpa memperhitungkan
lamanya di dalam kandungan, dimana sibayi menunjukan tanda-tanda kehidupan
pada saat dilahirkan. Misalnya, pada sibayi ada napas (bernapas), ada denyut
jantung, ada tali pusar, atau gerakan-gerakan otot.
2. Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang sudah
berumur paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukan tanda-tanda kehidupan pada
saat dilahirkan.
3. Aborsi adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan
kurang dari 28 minggu. Ada dua macam aborsi, yaitu :
a. Aborsi disengaja (induced abortion) adalah peristiwa pengguguran
kandungan karena alasan kesehatan atau karena alasan kesehatan non
lainnya, seperti malu dan tidak menginginkan janin anak yang dikandung.
b. Aborsi tidak disengaja atau secara spontan (spontaneous abortion) adalah
peristiwa pengguguran kandungan karena janin tidak dapat dipertahankan
lagi dalam kandungan.
2.2 Konsep Masa Reproduksi (Reproductive/Childbearing Age)

Masa / usia reproduksi adalah usia dimana seorang perempuan mampu untuk melahirkan
(subur), yaitu kurun waktu sejak mendapatkan haid pertama (menanrche) dan berakhir pada
saat berhenti haid (menopause). Dalam analisis fertilitas, pada umumnya umur 15-49 tahun
dijadikan rujukan sebagai masa subur (reproduksi) seorang wanita.

6
Penduduk usia produktif adalah penduduk yang ada dalam kelompok umur 15-49 tahun.
Bila berkaitan dengan fertilitas, penduduk usia 15-49 tahun ini dapat disebut dengan
penduduk usia subur. Pada usia ini, penduduk yang berada pada kelompok umur tersebut
berada dalam masa untuk berproduksi. Masa reproduksi adalah usia dimana seorang
perempuan mampu untuk melahirkan (subur), yakni kurun waktu sejak mendapat haid
pertama (menarche) dan berakhir saat berhenti haid (menopause). Sesuai dengan analisis
fertilitas, pada umumnya umur 15-49 tahun dijadikan rujukan sebagai masa subur
(reproduksi) seorang wanita (Adioetomo dan Samosir, 2010:74).

Umur perkawinan pertama dapat digunakan untuk menentukan panjangnya masa


reproduksi wanita sehingga umur perkawinan pertama ini merupakan salah satu faktor yang
mempunyai hubungan langsung dengan tingkat fertilitas. Umur perkawinan pertama yang
lebih muda akan memperpanjang masa reproduksinya. Sedangkan untuk orang yang umur
perkawinannya lebih tua akan mempunyai kesempatan reproduksi yang relatif pendek. Maka
dapat dinyatakan pula bahwa hubungan antara umur perkawinan dengan fertilitas adalah
negatif yang artinya semakin tinggi umur perkawinan pertama seseorang, maka semakin kecil
tingkat fertilitasnya. Semakin cepat seseorang untuk melakukan perkawinan, maka semakin
besar pula kemungkinan untuk memiliki anak yang banyak karena usia reproduksinya
panjang atau banyak dipakai untuk perkawinan. Bryant J. Keith (dalam Suandi 2010)
menyatakan bahwa berdasarkan pendekatan teori ekonomi perilaku dan fertilitas, struktur
umur berkaitan dengan umur perkawinan pertama. Umur kawin pertama yang relatif muda
(kurang dari 35 tahun) berdampak positif terhadap jumlah kelahiran dan waktu yang
dicurahkan untuk anak. Sebaliknya, usia kawin pertama relatif tua (di atas 35 tahun)
berdampak negatif terhadap jumlah kelahiran dan waktu dengan anak.

B. UKURAN-UKURAN DASAR FERTILITAS

Ukuran-ukuran dasar fertilitas dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan


pendekatan. Pendekatan yang berbasis ukuran yang sifatnya “kerat lintang” (cross sectional),
umumnya satu atau lima tahunan (yearly performance), yang sering pula disebut dengan
istilah current fertility. Ukuran-ukuran ini mencerminkan tingkat fertilitas dari suatu
kelompok penduduk atau kelompok perempuan dalam suatu waktu tertentu. Pendekatan
dengan ukuran yang sifatnya mencerminkan “riwayat kelahiran” atau “riwayat reproduksi”
(reproductive history). Ukuran ini mencerminkan sejarah kelahiran semasa hidup seorang

7
perempuan dari awal sampai akhir masa reproduksi (15-49 tahun). Pendekatan ini sering
disebut sebagai pendekatan yang bersifat longitudinal.

Ada enam ukuran fertilitas yang bersifat “kerat lingtang”, yaitu angka kelahiran kasar,
angka fertilitas umum, angka kelahiran menurut umur, angka fertilitas total, angka lahir
hidup, dan rasio anak wanita.

3.1 Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate – CBR)

Angka kelahiran kasar (CBR) adalah banyaknya kelahiran dalam satu tahun tertentu per
seribu penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Secara matematis, rumus untuk
menghitung CBR adalah sebagai berikut :

B
CBR = P x k

Dimana :
B : jumlah kelahiran selama 1 tahun
P : jumlah penduduk dalam pertengahan tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1000

Sebagai contoh, hasil supas 1995 menunjukan bahwa terdapat 187.974 kelahiran hidup di
DKI Jakarta. Sementara ini, jumlah penduduk DKI Jakarta pada pertengahan tahun 1995
adalah 9.112.652 orang. Dengan demikian, CBR untuk DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

187.974
CBR = x 1.000=20,6 per 1.000 penduduk
9.112 .652

CBR sebesar 20,6 berarti bahwa setiap 1.000 penduduk di DKI Jakarta terdapat antara 20
sampai 21 kelahiran hidup pada tahun 1995. CBR DKI Jakarta ini lebih rendah dari CBR
Indonesia yang sebesar 23,9 pada tahun 1995.

Perhitungan CBR masih merupakan perhitungan yang sangat kasar. Ukuran ini disebut
sebagai “angka kasar” (crude) karena penduduk terpapar yang digunakan sebagai penyebut
adalah penduduk dari semua jenis kelamin termasuk laki-laki, dan semua umur termasuk
anak-anak dan orang tua, yang tidak mempunyai potensi untuk melahirkan.

3.2 Angka Fertilitas Umum (General Fertility Rate-GFR)

8
Angka fertilitas umum (GFR) adalah banyaknya kelahiran pada suatu tahun per 1.000
penduduk perempuan berumur 15-49 tahun atau 15-44 tahun pada pertengahan tahun yang
sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung GFR adalah :

B B
GFR = x k atau GFR = xk
P P 15−44

Dimana :
Bf : banyaknya kelahiran selama 1 tahun
P15-49 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun
P15-44 : banyaknya penduduk perempuan umur 15-44 tahun pada pertengahan
tahun
K : bilangan konstan, biasanya 1.000

Hasil supas 1995 menunjukan bahwa ada sekitar 3.127.404 wanita berumur 15-49 tahun
di DKI Jakarta. Dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 187.974, maka angka fertilitas umum
dapat dihitung sebesar :

187.974
GFR = 3.127.404 x 1.000

= 60,1 per 1.000 penduduk perempuan usia 15-49 tahun

Angka 60,1 ini berarti bahwa pada tahun 1995 untuk setiap seribu penduduk perempuan
usia subur di DKI Jakarta, terdapat 60 bayi yang dilahirkan. Meskipun ukuran ini masih
bersifat umum (general), dalam keadaan kelangkaan data, ukuran ini sudah dapat
memberikan cerminan tingkat kelahiran di DKI Jakarta.

Dibandingkan dengan angka kelahiran kasar (CBR), GFR lebih cermat karena sudah
memperhitungkan penduduk yang mempunyai potensi melahirkan, yaitu perempuan usia
subur (15-49 tahun). Meskipun demikian, masih terdapat kelemahan pada ukuran tersebut
karena belum memperhitungkan kenyataan bahwa potensi perempuan dikaitkan dengan
tingkat kesuburan atau frekunditas untuk melahirkan, berbeda-beda menurut umur
perempuan. Sebagai contoh, perempuan usia subur muda dibawah 17 tahun umumnya

9
mempunyai tingkat kesuburan (fecundity) yang masih rendah. Secara umum, tingkat
kesuburan akan semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia perempuan dan
akhirnya menurun kembali pada sekitar usia 35 tahun. Dengan kata lain, kurva kesuburan
menurut umur berbentuk huruf U terbalik. Dengan demikian, untuk mendapatkan ukuran
fertilitas yang akurat perlu memperhitungkan potensi melahirkan menurut umur.

3.3 Angka Kelahiran menurut Umur (Age-Specific Fertility Rate-ASFR)

Angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) menunjukan banyaknya kelahiran dari
perempuan pada suatu kelompok umur pada suatu tahun tertentu per 1.000 perempuan pada
kelompok umur dan pertengahan tahun yang sama. Rumus untuk menghitung ASFR adalah

ASFRi = bi X k
Pif
Dimana :
bi : Jumlah kelahiran dari perempuan pada kelompok umur i pada tahun

tertentu.

Pi f : Jumlah penduduk perempuan pada kelompok umur i pada


pertengahan tahun yang sama
I : Kelompok umur (i = untuk perempuan kelompok umur 15-19 tahun,
i = untuk 20-24 tahun ,..., i = 7 untuk 45-49 tahun).
k : Bilangan konstanta biasanya 1.000
Pada Tabel 4.1 disajikan perhitungan ASFR DKI Jakarta berdasarkan supas 1995.
Tabel 4.1
Perhitungan Angka Kelahiran menurut Umur (ASFR) Provinsi DKI Jakarta

Umur Perempuan Jumlah Penduduk Jumlah ASFR


(I) Perempuan (Pif) Kelahiran (bi) (4) = {(3) : (2)}x 1.000
(1) (2) (3)
15-19 585.414 15221 26
20-24 589.946 57225 97
25-29 505.509 61672 122
30-34 399.754 33979 85
35-39 330.342 13544 41
40-44 257.850 2579 10
45-49 188.589 754 4
Jumlah 2,857,404 184,974 = 64,7

10
0,064
64,7 kelahiran menurut kelompok umur pada satu tahun tertentu per1000
perempuan pada kelompok umur dan tahun yang sama.
keunggulan angka kelahiran menurut kelompok umur (ASFR) adalah sebagai
berikut :
1. Ukuran ASFR lebih cermat dibandingkan GFR karena telah memperhitungkan
kemampuan perempuan untuk melahirkan (tingkat kesuburan) sesuatu dengan
umurnya.
2. Dengan ASFR, memungkinkan untuk dilakukannya studi fertilitas menurut
kohor (tahun kelahiran) atau menurut kelompok umur tertentu.
3. ASFR merupakan dasar perhitungan ukuran fertilitas yang selanjutnya, yakni
ukuran reproduksi(Total Fertility-TFR, Gross Reproduction Rate-GRR, dan
Net Reproduction-NRR)

Gambar 4.1 memperlihatkan pola ASFR untuk beberapa negara maju dan beberapa
negara berkembang. Di negara-negara maju seperti kanada, Prancis, dan Jepang, ASFR untuk
perempuan muda usia 15 tahun masih sangat rendah, yakni dibawah 20 kelahiran per 1.000
perempuan usia 15 tahun. ASFR mencapai puncaknya pada usia sekitar 25 tahun kemudian
menurun pesat setelah itu. Sebaliknya dinegara berkembang seperti Uganda, Nigeria, atau
Maladew, ASFR usia 15-19 tahun. ASFR masih tetap tinggi pada usia beresiko melahirkan,
yakni 35 tahun ke atas. Perbedaan pola ASFR antara negara maju dan berkembang dapat
menunjukan perbedaan adat istiadat tentang anggapan masyarakatnya mengenai usia kawin
pertama dan tentang besarnya keluarga.

Masyarakat negara berkembang umumnya menganut pendapat bahwa perempuan


sebaiknya menikah segera setelah mendapatkan haid pertama, sehingga tingkat fertilitas
sudah tinggi pada usia 15-19 tahun. Masyarakat seperti ini umumnya menganut paham
keluarga besar dengan banyak anak sehingga perempuan masih terus melahirkan meskipun
usianya sudah diatas 35 tahun. Dipihak lain, perempuan negara maju umumnya menunda usia
kawin pertama karena melanjutkan sekolah dan kemudian masuk pasar kerja. Mereka pada
umumnya ingin cepat-cepat menyelesaikan masa reproduksinya dan menerima konsep
keluarga kecil, misalnya memiliki 2 atau 3 anak.

Diantara negara berkembang dan negara maju seperti Thailand, Indonesia dan Cina
dimana konsep keluarga kecil sudah mulai diterima, namun pergeseran dari kawin muda dan
kawin lebih tua sedang berjalan. ASFR pada kelompok umur 15-19 berkisar antara nol di

11
China dan 50 per 1.000 perempuan di Indonesia, mencapai puncak pada umur 20-30 tahun,
kemudian menurin dengan pesat sesudah usia tersebut.

Menurut Henry (1961), pola ASFR seperti yang ditunjukan oleh perempuan negara
berkembang merupakan pola fertilitas natural (natural fertility) dimana pemakaian alat
kontrasepsi hampir tidak ada atau masih minim sekali. Sedangkan dinegara maju, pola ASFR
dapat dikatakan sebagai pola fertilitas modern (modern fertility) Ryder (1967) atau fertilitas
yang telah diintervensi dengan pemakaian alat kontrasepsi.

3.4 Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate- TFR)

TFR adalah jumlah anak rata-rata yag akan dilahirkan oleh seorang perempuan pada
akhir masa reproduksinya apabila perempuan tersebut mengikuti pola fertilitas pada saat TFR
dihitung. TFR merupakan pengukuran sintetis yang menyatakan fertilitas pada akhir masa
reproduksi (completed fertility) dari suatu kohor hipotesis perempuan. TFR dihitung dengan
cara menjumlahkan angka kelahiran menurut umur (ASFR) kemudian dikalikan dengan
interval kelompok umur (biasanya lima tahun). Secara sistematis, rumus TFR dapat
dituliskan sebagai berikut :

7
TFR=5 ∑ ASFR
i=1

Dimana :

ASFRi : Angka kelahiran untuk perempuan pada kelompok umur i

i=1 : Kelompok umur 20-24 tahun, ..., dan i = 7 untuk kelompok umur

45-49 tahun.

Dengan menggunakan data ASFR pada table 4.1 TFR untuk DKI Jakarta
tahun 1995 dapat diperoleh dengan cara berikut ini :

TFR = 5 (26 + 97 + 122 + 85 + 41 + 10 + 4)

= 5 X 385

= 1.925 per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun, atau

= 1,9 anak untuk setiap perempuan usia 15-49 tahun.

12
Nilai TFR = 1,9 dapat diartikan bahwa rata-rata setiap perempuan DKI Jakarta yang
mampu menyelesaikan masa reproduksinya (15-49 tahun) akan mempunyai anak antara 1 dan
2 orang. Angka ini cukup rendah dibandingkan dengan angka fertilitas total nasional, yakni
sebesar 2,8 anak per perempuan pada tahun 1995.

Keunggulan angka fertilitas total (TFR) adalah angka ini dapat dijadikan ukuran
kelahiran untuk seorang perempuan selama usia reproduksinya (15-49 tahun) dan telah
memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan pada masing-masing kelompok umur.

3.5 Anak Lahir Hidup atau ALH (Children Ever Born-CEB)

Anak lahir hidup (ALH) mencerminkan banyaknya kelahiran hidup sekelompok atau
beberapa kelompok perempuan pada saat mulai memasuki reproduksi hingga pada saat
pengumpulan data dilakukan. ALH disebut juga ukuran paratis. Perhitungan jumlah anak
yang dilahirkan hidup rata-rata dapat dituliskan sebagai berikut :

Pi = ALHi
Pif
Dimana :
Pi : Paritas atau jumlah ALH rata-rata untuk perempuan pada kelompok
umur i
ALHi : Banyaknya anak yang dilahirkan hidup oleh perempuan pada
kelompok i
Pi f : Banyaknya wanita pada kelompok umur i

Pada tabel 4.2 disajikan perhitungan jumlah ALH rata-rata perempuan di DKI
jakarta berdasarkan hasil Survei Penduduk antar Sensus (Supas) 1995.

Tabel 4.2

Anak lahir Hidup (ALH) Rata-rata per Perempuan Pernah Kawin


Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1995

Umur Jumlah Perempuan ALH ALH rata-rata per

13
pernah Kawin Perempuan (Pi)
15-19 29.472 15.817 0,54
20-24 199.819 193.928 0,97
25-29 344.669 519.533 1,511
30-34 344.573 819.536 2,44
35-39 311.912 972.647 3,12
40-44 247.678 866.289 3,50
45-49 182.799 671.519 3,67
Jumlah 1.660.922 4.079.269 2,46
45.607
Catatan: jumlah ALH rata-rata perempuan pada akhir masa reproduksi (umur 45-49 tahun) disebut
juga ukuran keluarga yang lengkap (completed family size)
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1996

Terlihat bahwa semakin tua umur perempuan maka semakin besar jumlah ALH rata-rata,
bervariasi dari 0,5 anak per ibu pada kelompok umur 15-49 tahun, ke 3,67 anak per ibu pada
kelompok umu 45-49 tahun. Oleh karena itu, jumlah ALH rata-rata adalah ukuran yang
bersifat kumulatif, yakni banyaknya kelahiran sejak perempuan menikah pertama kali sampai
usia pada saat pencacahan.

Kelebihan utama dari ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup (ALH) adalah
sebagai berikut :

1. Kemudahan dalam memperoleh data, terutama dari sensus dan survei.


2. Tidak ada referensi waktu, karena menyatakan jumlah anak yang lahir hidup
dari semenjak seorang perempuan menikah pertama kali.

Namun demikian, ukuran jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup (ALH) juga
memiliki kelemahan :

1. Jumlah ALH menurut kelompok umur sering tidak akurat apabila terdapat
kesalahan dalam pelaporan umur ibu, terutama di negara yang sedang
berkembang.
2. Oleh karena sifat datanya yang retrospektif, maka ada kecenderungan faktor
kelupaan (memory lapse) dalam melaporkan banyaknya kelahiran, terutama
dari perempuan kelompok umur yang lebih tua. Hal ini terjadi kalau banyak
diantara anak mereka yang lahir hidup, tetapi sudah meninggal pada saat
pencacahan atau tinggal diluar rumah tangga pencacahan.

14
3.6 Rasio Anak Wanita (Child Woman Ratio-CWR)

Rasio Anak Wanita (CWR) adalah perbandingan antara jumlah anak dibawah lima tahun
(0-4 tahun) dengan jumlah penduduk perempuan usia reproduksi. Jumlah anak usia di bawah
lima tahun sebagai pembilang merupakan jumlah kelahiran selama lima tahun sebelum
pencacahan. Jumlah perempuan usia reproduksi sebagai penyebut dapat berasal dari
kelompok umur 15-44 tahun atau 15-49 tahun. Demikian juga usia anak dapat diukur dari 0-9
tahun atau 0-14 tahun. Persamaan ukuran CWR adalah :

CWR = P0-4 X k

Pf 15-44

Dimana :
P0-4 : banyaknya penduduk perempuan umur 0-4 tahun
P f15-44 : banyaknya perempuan umur 15-44 tahun
P f15-49 : banyaknya perempuan umur 15-49 tahun
k : bilangan konstan, biasanya 1.000

Sebagai contoh dilaporkan ada sekitar 787,979 anak kelompok umur 0-4 tahun di DKI
Jakarta pada tahun 1995. Pada saat yang sama, banyaknya perempuan pada kelompok umur
15-49 tahun adalah 2.857.404 orang. Dengan demikian, ukuran CWR dapat diketahui sebesar
276 anak per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun dengan perhitungan sebagai berikut :

787.977
CWR = 2.857 .404 x 1.000

= 275,8 dibulatkan menjadi 276

Perlu dicatat bahwa perhitungan rasio anak wanita (CWR) cenderung memakai jumlah
anak usia 0-4 tahun, atau dapat juga dipakai 0-9 tahun dan bukan 0-1 tahun. Hal ini
dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut :

1. Data dari hasil sensus penduduk dan survei pada umumnya di publikasikan
dalam bentuk kelompok umur 5 tahunan.

15
2. Masalah kesalahan dalam pelaporan jumlah kelahiran dan pelaporan umur
(Under enumeration) lebih banyak terjadi pada usia 0-1 tahun dibandingkan
umur anak yang lebih tua.
Berikut ini adalah beberapa kelebihan dari ukuran rasio anak wanita (CWR)
1. Rasio anak wanita merupakan ukuran yang sederhana dan datanya mudah
diperoleh dari sensus dan survei, yakni dengan pertanyaan: “berapa jumlah
anak ibu yang dilahirkan hidup, termasuk yang sekarang sudah meninggal?”
2. Rasio ini berguna untuk indikasi fertilitas di daerah luas wilayah yang kecil
dan tidak memungkinkan dibuat angka fertilitas menurut umur dan angka
fertilitas total yang memerlukan sampel yang cukup besar untuk
perhitungannya.
Berikut ini adalah kelemahan dari ukuran rasio anak wanita.
1. Kualitasnya sangat dipengaruhi secara langsung oleh kualitas pelaporan
jumlah anak dan pelaporan umur anak maupun umur ibu. Dibanyak negara
berkembang, dimana penduduk umumnya tidak mempunyai catatatn tentang
kelahiran anak dan umur ibu, kusalitas pelaporan akan semakin rendah.
2. Ukuran ini tidak dapat menangkap kasus kematian anak maupun kematian, ibu
khususnya anak berusia dibawah satu tahun. Sehingga ada kemungkinan CWR
diperkirakan terlalu rendah dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.
3. Tidak memperhitungkan tingkat kesuburan perempuan menurut umur, seperti
halnya ASFR.

C. UKURAN REPRODUKSI

Dalam analisisi fertilitas dikenal pula ukuran reproduksi. Angka reproduksi, yaitu
ukurang yang berkenaan dengan kemampuan seseorang perempuan untuk menggantikan
dirinya. Oleh karena itu, hanya bayi perempuan yang disertakan dalam perhitungan ukuran
reproduksi. Berikut adalah beberapa ukurang reproduksi yang dimaksud :

4.1 Angka Reproduksi Bruto (Gross Reproduction Rate – GRR)

Adalah banyaknya perempuan yang akan dilahirkan oleh suatu kohor perempuan selama
usia reproduksi mereka. Kohor kelahiran adalah kelompok perempuan yang mulai
melahirkan pada usia yang sama dan bersama-sama mengikuti perjalanan reproduksi sampai

16
masa usia subur selesai. Ukuran GRR dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu menggunakan
angka fertilitas total (TFR) atau menggunakan angka fertilitas menurut umur (ASFR).

1. Perhitungan langsung dari TFR dengan menggunakan rasio jenis kelamin pada
saat lahir.
Jika diketahui TFR dan rasio jenis kelamin pada saat lahir adalah 105 (terdapat
105 bayi laki-laki di banding 100 bayi perempuan, maka rumus GRR adalah
sebagai berikut :

100
GRR = 205 x TFR

Contoh :
Pada bagian sebelumnya telah dihitung bahwa TFR per 1.000 perempuan usia
15-49 tahun. DKI Jakarta menurut supas 1995 adalah 1.925. maka GRR DKI
Jakarta menurut supas 1995 adalah :
100 100
x TFR= x 1.925
205 205
= 933 anak perempuan per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun.
= 0,939 anak perempuan per perempuan usia 15- 49 tahun.

Dari perhitungan tersebut, diperoleh angka reproduksi bruto (GRR) sebesar 0,939 anak
perempuan per perempuan. Artinya, tanpa memperhatikan kematian yang mungkin dialami
anak perempuan tersebuut sesudah kelahiran, akan ada sekitar 939 anak perempuan yang
akan menggantikan 1.000 orang ibu untuk melahirkan. Dengan demikian diperoleh
kesimpulan bahwa jika 1.000 ibu digantikan oleh 939 anak perempuan yang kelak akan
menggantikan ibunya meneruskan keturunan maka dapat dipastikan bahwa jumlah penduduk
jakarta suatu saat akan berkurang. Seperti yang terjadi di negara-negara maju, seperti jepang
dan jerman.

4.2 Angka Reproduksi Neto (Net Reproduction Rate – NRR)

Adalah angka fertilitas yang memperhitungkan faktor mortalitas, yaitu kemungkinan


bayi perempuan meninggal sebelum mencapai akhir masa reproduksinya. Asumsi yang
dipakai adalah bayi perempuan tersebut mengikuti pola fertilitas dan pola mortalitas ibunya.
Table 4.4. menyajikan perhitungan ukuran NRR untuk DKI Jakarta berdasarkan supas 1995.

17
Tabel 4.4.
Perhitungan angka reproduksi Bersih (NRR) Provinsi DKI Jakarta,
tahun 1995

Umur Penduduk Kelahiran ASFR per Rasio Bayi yang


Perempuan Bayi 1.000 Bayi Diharapkan
Perempuan Perempuan masih Tetap
untuk bayi Hidup Hidup Per
Perempuan hingga 1.000
Usia ibu Perempuan
*)
(1) (2) (3)
15-19 585.414 7.425 13 0,8849 11,5
20-24 589.946 27.915 47 0,8766 41,2
25-29 505.509 30.084 60 0,8662 51,9
30-34 399.754 16.575 42 0,8543 35,9
35-39 330.342 6.607 20 0,8404 16,5
40-44 257.850 1.258 4 0,8238 3,3
45-49 188.589 368 2 0,8030 1,6
Jumlah 161,9

NRR = 5 X 161,9 = 809,5 per 1.000 perempuan, atau


NRR = 0,81 per perempuan

Angka 0,81 tersebut berarti bahwa 100 orang perempuan di DKI Jakarta pada tahun 1995
akan digantikan oleh 81 orang anak perempuan yang akan tetap hidup sampai seumur ibunya
waktu melahirkan mereka. Apabila keadaan ini berlangsung terus dalam waktu yang lama,
maka penduduk DKI Jakarta akan mencapai tingkat penduduk tumbuh seimbang (PTS),
dimana seorang ibu akan digantikan oleh anak perempuan yang akan melahirkan seorang
anak perempuan. Kemudian, anak perempuan ini akan melahirkan seorang anak perempuan
pula. Demikian seterusnya dengan catatan migrasi dianggap bernilai nol.

NRR merupakan ukuran kemampuan suatu populasi untuk menggantikan dirinya


(replacement level). NRR bernilai satu berarti suatu populasi dapat menggantikan dirinya
dengan jumlah yang sama (exact replacement). NRR bernilai lebih dari satu berarti bahwa
suatu populasi dapat menggantikan dirinya dengan jumlah yang lebih besar. Sementara itu,

18
NRR bernilai kurang dari satu berarti suatu populasi tidak mampu menggantikan dirinya
sendiri dengan jumlah yang sama.

4.3 Perhitungan TFR dengan Pendekatan Kerat Lintang Longitudinal

Tabel 4.5 menggambarkan perbedaan perhitungan TFR menurut analisis kerat lintang
berdasarkan riwayat kelahiran (reproductive history) dan menurut analisis longitudinal
berdasarkan current fertility (yearly performance). Tabel tersebut diambil dari hasil registrasi
Prancis dalam kurun waktu 1901-1905 sampai dengan 1966-1970.

Tabel 4.5
TFR Periode dan TFR Kohor
Prancs, Tahun 1901-1970
Periode
ASFR per 1.000 Perempuan
Observasi
  15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
1901-1905 27 135 161 119 78 33 5
1906-1910 27 135 147 111 69 27 3
1911-1915 24 119 129 92 61 23 2
1916-1920 14 72 93 75 52 22 2
1921-1925 26 131 142 102 59 22 2
1926-1930 28 130 132 93 54 20 2
1931-1935 30 126 123 85 48 17 2
1936-1940 25 126 123 81 45 15 1
1941-1945 18 108 126 92 56 20 2
1946-1950 24 158 184 130 75 26 2
1951-1955 22 156 168 113 63 21 2
1960-1960 22 159 174 107 58 19 2
1961-1965 25 174 182 110 55 18 1
1966-1970 27 162 165 100 48 15 1
Sumber : Dasar-dasar Demografi Cetakan 1, Tahun 1981, dihitung oleh DR.S. Thapar

1. Ukuran berdasarkan riwayat kelahiran atau menurut kohor TFR (juga


sering disebut pendekatan longitudinal).
TFR untuk kohor (generasi) kelahiran tahun 1886-1890 (periode observasi
1901-1935) dihitung dengan menjumlahkan ASFR kelompok umur 15-19
tahun untuk periode 1901-1905, ASFR kelompok umur 20-24 tahun untuk
periode 1906-1910, ASFR kelompok umur 25-29 tahun untuk periode
1911-1915, ASFR kelompok umur 30-34 tahun untuk periode 1916-1920,
ASFR kelompok umur 35-39 tahun untuk periode 1921-1925, ASFR

19
kelompok umur 40-44 tahun untuk periiode 1926-1930, dan ASFR
kelompok umur 45-49 tahun untuk periode 1931-1935, kemudian
dikalikan dengan lima. Jadi,
TFR Kohor 1886-1990 = 5 (27+135+129+75+59+20+2)
= 5 x 447
= 2.235 per 1.000 Wanita
2. Ukuran Kerat Lintang TFR (current fertility)
TFR current pada periode observasi 1931-1935 dihitung dengan
menjumlahkan ASFR semua kelompok umur pada periode 1931-1935
kemudian dikalikan dengan lima. Jadi
TFR current 1931-1935 = 5 (30+126+123+85+48+17+2)
= 5 x 431
= 2.155 per 1.000 perempuan
Dari dua pendekatan ini dapat diketahui bahwa TFR yang diperoleh tidak
jauh berbeda, yakni 2,23 anak per perempuan melalui pendekatan kohor
kelahiran dan 2,16 anak per perempuan melalui pendekatan kerat lintang.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS

Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang berupa
faktor demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor demografi diantaranya
adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan, paritas, distrupsi perkawinan dan
proporsi yang kawin sedangkan faktor non-demografi dapat berupa faktor sosial, ekonomi
maupun psikologi.

5.1 Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum disiplin
lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis tentang fertilitas sudah
lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan menjadi salah satu sub-bidang
sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan (selain demografi formal) sesungguhnya
merupakan analisis sosiologis. Davis and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970)
telah mengembangkan berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada
hakekatnya bersifat sosiologis. Dalam tulisannya yang berjudul “The Social structure and
fertility: an analytic framework  (1956)”2 Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan
analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake mengemukakan faktor-faktor yang

20
mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut sebagai “variabel antara” (intermediate
variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi
fertilitas akan melalui “variabel antara”. Ada 11 variabel antara yang mempengaruhi
fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai
berikut:
Intermediate variables of fertility
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse
variables):
  Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1) Umur mulai hubungan kelamin
2) Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan
kelamin
3) Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan kelamin:
 Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
 Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
b. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
1) Abstinensi sukarela
2) Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
3) Frekuensi hubungan seksual
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):
1) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
disengaja.
2) Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
b.   Menggunakan cara-cara lain.
3) Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
d.   Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)
1. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
2. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja.

Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua masyarakat. Sebab
masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positif dan negatifnya sendiri-sendiri
21
terhadap fertilitas. Misalnya, jika pengguguran tidak dipraktekan maka variabel nomor 11
tersebut bernilai positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak
ada pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga suatu masyarakat
masing-masing variabel bernilai negatif atau positif maka angka kelahiran yang sebenarnya
tergantung kepada neraca netto dari nilai semua variabel.

5.2 Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial


Menurut Freedman variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap fertilitas pada
dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada
akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu norma tentang
besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma
tentang besarnya keluarga dan variabel antara di pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan
struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi
variabel antara yang menghubungkan antara “norma-norma fertilitas” yang sudah mapan
diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa
“norma fertilitas” yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas
yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Secara umum Freedman mengatakan bahwa:“Salah satu prinsip dasar sosiologi adalah
bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum yang timbul
berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan
suatu cara penyelesaian normatif terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini
merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu,
menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan kepada para
anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui ganjaran
(rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. ... Karena jumlah anak
yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal
dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis
apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini”.
Jadi norma merupakan “resep” untuk membimbing serangkaian tingkah laku tertentu
pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci dalam teori sosiologi
tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of fertility decline: a
reappraisal” (1979).

22
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di
beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel pembangunan
makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi
demografi klasik tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang
melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat
yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori
sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa
“masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normatif”; jika kaum miskin
mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin
lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.

5.3 Teori Ekonomi tentang Fertilitas


Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’
yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-
ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama
terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami istri yang tidak menginginkan
mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti
memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.
Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang
menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat
dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori ekonomi tentang
fertilitas”. Menurut Leibenstein tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
“untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang menentukan jumlah
kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya, besarnya juga tergantung pada
berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup (survive). Tekanan yang utama adalah
bahwa cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang
melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang
dinginkannya. Dan perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada
keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan yaitu (a)
kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu ‘barang konsumsi’ misalnya sebagai

23
sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu
sarana produksi, yakni, dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang
diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya”.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan
aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas
jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang
dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan
anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak
dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi
kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya
tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak.
Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan
penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai
tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan
berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik.
Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan
artikelnya yang cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis of Fertility”.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang
konsumsi (a consumption good, consumer’s durable) yang memberikan suatu kepuasan
(utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan
dan kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan
permintaan terhadap anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya buku A Treatise
on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi fertilitas tersebut kemudian
membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga (household economics).
Analisis ekonomi fertilitas yang dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa
ahli lain seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam
tulisannya yang berjudul Economic growth and population: Perspective of the new home
economics6 Nerlove mengemukakan:

24
“Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi kegunaan.
Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik melainkan berbagai
kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi produksi rumah tangga; (c)
suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan sarana untuk merubah sumber-
sumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-
sumber daya rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi
setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan kegiatankegiatan
pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal ini tentunya
termasuk juga sumberdaya manusia (human capital) yang diwariskan dan investasi
sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah laku
generasi-generasi yang akan datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri”.
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila
pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga pelayanan anak berkaitan dengan
pelayanan komoditi lainnya meningkat jika pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa :
a. orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah
yang hanya sedikit sehingga “harga beli” meningkat;
b. bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya
waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai hasil dari
suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk memaksimalkan
fungsi utility  ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada biaya langsung dan tidak
langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Topik-topik yang dibahas dalam ekonomi
fertilitas antara berkaitan dengan pilihan-pilihan ekonomi seseorang dalam menentukan
fertilitas (jumlah dan kualitas anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas
terkait dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan
sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis tentang konsep
demand for children and supply of children. Konsep demand for children dan supply of
children  dikemukakan dalam kaitan menganalisis economic determinan factors dari fertilitas.
Bulatao mengartikan konsep demand for childrensebagai jumlah anak yang dinginkan.
Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak
dan sebagainya.

25
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang “jumlah keluarga
yang ideal atau diharapkan atau diinginkan”. Pertanyaannya, apakah konsep demand for
children  berlaku di negara berkembang. Apakah pasangan di negara berkembang dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent
demand  dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka
ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for children dalam kaitan
membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao, demand for children  dipengaruhi
(determined) oleh berbagai faktor seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam
artikel tersebut Bulato membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan,
selera) secara lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di
negara berkembang merupakan “net supplier “ atau tidak. Sedang supply of children diartikan
sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu pasangan jika mereka tidak
berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply tergantung pada banyaknya kelahiran dan
kesempatan untuk bertahan hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran
alami (natural fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima hal utama,
yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)

Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A. Easterlin. Menurut
Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu
seperti agama, pendidikan, tempat tinggal, jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap
keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh
karakteristik diatas. Easterlin juga mengemukakan perlunya menambah seperangkat
determinan ketiga (disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi
fertilitas) yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada
gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan seorang bayi
dapat tetap hidup hingga dewasa.

26
Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan
sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat
maka terjadilah perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor
biologis lainnya. Demikian pula perubahan permintaan disebabkan oleh perubahan
pendapatan, harga dan “selera”. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam suatu
masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah permintaan
mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat pengekangan biologis
terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan “berlebihan” (excess demand)
dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-
praktek pembatasan keluarga. Di pihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan
adalah rendah sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai
“berlebihan” (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga
melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam masyarakat pra-
tradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional dalam
kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat, dan dalam arti
luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus kekayaan
netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam pada regim demografis
pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan bahwa “sifat hubungan ekonomi dalam
keluarga” menentukan kestabilan atau ketidak-stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih
menekankan pada dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti)
oleh suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh
“norma-norma” yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam
keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau generasi)
terhadap kelompok atau generasi lainnya, sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan
manfaat individu. Selain teori yang disajikan dalam tulisan ini masih banyak teori lain yang
membahas fertilitas. Namun karena keterbatasan tempat tidak semua teori fertilitas dapat
disajikan dalam tulisan ini.

E. STUDI FERTILITAS DI INDONESIA

27
Indonesia sering di jadikan contoh keberhasilan dalam upaya penurunan angka kelahiran
yang relatif cukup cepat. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh adanya intervensi pemerintah
melalui pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB), yang dilaksanakan sejak awal tahun
1970-an. Pemerintah pada waktu itu berkeyakinan bahwa jumlah penduduk yang besar
merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu, penurunan
angka kelahiran merupakan persyarat bagi pertumbuhan ekonomi.

Program KB yang dilaksanakan pemerintah tidak saja mengajak pasangan suami istri
untuk mengatur jumlah keluarga mereka dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi modern,
tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai baru tentang keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Program KB di Indonesia turut berkontribusi menurunkan angka fertilitas total dari 5,6 pada
tahun 1967-1970 menjadi 2,8 pada tahin 1991-1994 dan terus menurun menjadi 2,34 pada
tahun 1997-2000 (Sensus Penduduk 2000). Sementara itu, angka kelahiran kasar (CBR) telah
menurun dari sekitar 43 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1967-1970 menjadi sekitar
23 kelahiran per 1.000 penduduk pada periode 1991-1994.

Tabel 4.6 menunjukkan kelahiran kasar di Indonesia pada periode 1900-2025. Jika
menengok angka-angka fertilitas pada masa lalu, maka terlihat bahwa fertilitas di Indonesia
pada awal abab ke-20 sampai dengan masa Perang Dunia II terus meningkat, kemudian
berfluktuasi selama masa resesi ekonomi, penjajahan Jepang, dan masa perang kemerdekaan.
Angka fertilitas tersebut terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1955. Ketika
pemerintah Soekarno yang dianggap pronatalis berakhir pada tahun 1967 dan Soeharto
menjabat sebagai presiden RI yang kedua, maka kebijakan kependudukan berubah dari
pronatalis menjadi antinatalis dengan di lucurkannya program pengaturan dan pembatasan
jumlah anak.

Tabel 4.6

Angka Kelahiran Kasar Indonesia , Tahun 1900-2025

Periode CBR Periode CBR Periode CBR


1990-1920 45,5 1961-1970 43,0 2000 20,6
1930-1935 45,3 1971-1980 38,0 2005 19,5
1935-1940 44,9 1980-1984 32,0 2010 18,4
1940-1945 39,0 1986-1989 27,9 2015 17,3
1945-1950 40,3 1988-1991 25,1 2020 16,3
1950-1955 47,3 1991-1994 23,3 2025 15,3
1955-1960 46,6 1990-2000 22,3

28
Sumber. Tahun 1900-1960: Nitisastro(1970), Tahun 1961-1980: Mc Nicoll dan Singarimbun
(1983), Tahun 1981-1980: SDKI 1991, Tahun 1991-1994:SDKI 1997, Tahun 1990-2000:
Ananta dan Anwar (1994), Tahun 2000 dan seterusnya: Proyeksi BPS, Bappenas, dan
UNFPA, 2005.

Peraturan angka kelahiran kasar ini diperkirakan masih akan terjadi apabila pengaturan
jumlah anak, persepsi tentang anak ideal, kebutuhan untuk peningkatan kualitas keturunan,
serta kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga semakin besar. Pada tabel
4.7disajikan angka fertilitas total di Indonesia pada periode 1971-1999 dari beberapa sensus
dan survei-survei mengenai fertilitas.

Tabel 4.7

Angka Fertilitas Total (TFR) Indonesia, Tahun 1967-1997

Tahun TFR
1967-1970 5,61
1971-1975 ` 5,20
1976-1979 4,68
1980-1985 4,06
1986-1989 3,31
1991-1994 2,85
1995-1997 2,78
1997-1999 2,6

Terlihat bahwa TFR Indonesia terus menurun dari 5,6 anak per ibu pada periode 1967-1970
menjadi 2,6 anak per ibu menurun SP 2000.

Jika diperinci menurut provinsi di Indonesia, maka terlihat bahwa provinsi-provinsi yang
termasuk dalam wilayah Jawa-Bali telah mengalamai penurunan yang cukup signifikan
dalam tingkat fertilisasinya, terutama untuk provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali
(Tabel 4.8). Untuk wilayah Luar Jawa-Bali I, angka fertilitas total terendah dicapai oleh
Provinsi Sulawesi Utara, yaitu 2,66 pada tahun 1991-1994. Sementara itu, di wilayah luar
Jawa-Bali II angka fertilitas total terendah dicapai oleh provinsi Kalimantan Timur, yaitu
2,96 pada tahun 1991-1994 menjadi 2,50 pada tahun 1996-1999. Wirakartakusumah dan
Arifin (1995) memperkirakan bahwa sebelum abad ke-20 berakhir, diperkirakan beberapa
provinsidi Indonesia seperti Bali, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Utara sudah

29
akan mengakhiri masa transisi demografinya, dan pada abad ke-21 akan memasuki era
pascatransisi demografi.

Menurut berbagai studi yang telah dilakukan, penurunan angka fertilitas total yang
terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh pelaksanaan program KB, juga di pengaruhi oleh
beberapa faktor berikut ini.

1. Umur Kawin Pertama


Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang harus
melalui lembaga perkawinan yang sah menurut norma agama dan menurut Undang-
Undang Perkawinantahun 1974. Selain itu, karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh
adat istiadat dan anggapan masyarakat tentang umur berapa sebaiknya perempuan
menikah, maka umur kawin pertama dapat menjadi indikator dimulainya seseorang
perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Dalam kondisi seperti ini,
perempuan yang kawin pada usia muda mempunyai rentang waktu untuk kehamilan dan
melahirkan lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang kawin pada umur yang
lebih tua dan mempunyai lebih banyak anak dibandingkan dengan mereka yang
menikahpada umur lebih tua.

2. Peningkatan Pendidikan Perempuan


Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi semakin
terbuka pada saat ini, sehingga menyebabkan banyak perempuan yang menunda
perkawinan untuk menyelesaikan pendidikan yang diinginkan. Selain itu, perempuan
yang berpendidikan tinggi cenderung memilih terjun ke pasar kerja terlebih dahulu
sebelum memasuki perkawinan. Kalaupun mereka menikah pada usia lebih muda,
pengetahuan mereka tentang alat pencegahan kehamilan cukup tinggi sehingga sebagian
dari mereka menunda kelahiran anak atau menyelesaikan masa reproduksi, baru
kemudian terjun ke pasar kerja.
Tabel 4.9
Angka Fertilitas Total menurut Pendidikan Perempuan, Tahun 1997

Pendidikan Angka Fertilitas Total


(TFR)
SDKI1994 SDKI 1997
Tidak sekolah 2,88 2,66

30
Tidak Tamat 3,28 3,23
SD
Tamat SD 2,96 2,96
SLTP + 2,57 2,55

Sumber. SDKI 1994. SDKI 1997.

Akan tetapi, beberapa hasil studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang
berbentuk huruf U terbalik antara tingkat pendidikan dan jumlah anak yang dipunyai. Hal
seperti ini diketemukan pertama kali di Yogyakarta oleh Hull dan Hull (1967) pada awal
tahun 1970-an. Pada waktu itu, penjelasannya adalah kelompok perempuan yang
berpendidikan rendah lebih sering mengalami perceraian sehingga jumlah anak yang
dipunyai lebih sedikit. Juga ada kemungkinan bahwa jumlah perempuan yang berpendidikan
di atas SD masih sedikit, sehingga karakteristik perempuan didominasi oleh perempuan
dengan pendidikan rendah. Hasil SDKI tahun 1994 dan 1997 masih menunjukkan hubungan
dengan bentuk huruf U terbalik. Akan tetapi setelah tamat SD, fertilitas menunjukkan
penurunan dengan meningkatkan pendidikan.

3. Partisipasi Perempuan dalam Pasar Kerja


Peningkatan pendidikan bagi perempuan dan peningkatan peluang bagi perempuan untuk
bekerja menyebabkan peningkatan partisipasi angkatan kerja peempuan. Semakin
terbukanya industri, terutama industri garmen, elektronik, serta industri jasa
menyebabkan banyak perempuan terjun ke pasar kerja. Hal ini menyebabkan pula
terjadinya penundaan usia kawin pertama. Hatmadji dan Suradji (1979) menjelaskan
bahwa hasil Supas 1985 memperlihatkan bahwa perempuan yang “hanya” mengurus
rumah tangga saja cenderung mempunyai anak yang lebih banyak, sedangkan perempuan
yang bekerja mempunyai anak lenih sedikit. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa
perbedaan jumlah anak yang dilahirkan antara perempuan yang bekerja dan mengurus
rumah tangga lebih besar di perkotaan daripada di pedesaan.

4. Lingkuan Tempat Seseorang dibesarkan


Tempat tinggal dari lahir sampai berumur 12 tahun dianggap mempengaruhi persepsi dan
jalan pikiran seseorang untuk bersikap dan berperilaku, termasuk perilaku melahirkan.
Seseorang yang dibesarkan di perkotaan akan mempunyai sikap dan perilaku yang
dipengaruhi oleh situasi perkotaan yang umumnya lebih modern dibandingkan dengan

31
mereka yang dibesarkan di daerah pedesaan. Selain itu, tempat tinggal diperkotaan
memudahkan diperolehnya informasi tentang berbagai pengetahuan modern termasuk
mengenai metode pengaturan dan pencegahan kehamilan dibandingkan di pedesaan.
Oleh sebab itu, muncul dugaan bahwa angka kelahiran didaerah perkotaan akan lebih
rendah dibandingkan dengan angka kelahiran dipedesaan. Hasil SDKI 1997
menunjukkan bahwa angka fertilitas total di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan
angka fertilitas total di pedesaan, yaitu masing-masing 2,40 dan 2,98.

5. Sosial budaya dan Bias Gender


Dalam budaya Indonesia, peran perempuan adalah sebagai ibu dan istri yang
bertanggung jawab pada penyelenggaraan rumah tangga, sedangkan suami lebih
berperan untuk mencari nafkah. Pembagian peran yang sangat jelas ini juga berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Suami yang dianggap sebagai
kepala keluarga adalah seseorang yang dianggap ‘berhak’ mengambil keputusan,
termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi. Dalam keluarga yang mempunyai
pengaturan peran yang ketat, maka keikutsertaan istri dalam KB akan bergantung pada
izin suami. Lain halnya dengan keluarga modern, dimana pendidikan laki-laki dan
perempuan umumnya sama tinggi. Dalam keadaan seperti ini, perempuan umumnya
mampu menentukan sendiri jumlah anak yang diinginkan serta memakai kontrasepsi
jenis apa untuk mencapai jumlah anak tersebut. Keputusan akhir sering dilakukan
bersama-sama dengan suami.

32
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Fertilitas atau angka kelahiran merupakan penggambaran jumlah anak yangdilahirkan


benar-benar hidup. Ada beberapa konsep yang dipelajari dalam fertilitas,yaitu; lahir hidup,
lahir mati, abortus dan masa reproduksi.

Fertilitas dalam demografi adalah reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau
sekelompok wanita. Dalam fertilitas terdapat berbagai cara penghitungan angka kelahiran,
setiap cara pengukuran reproduksi manusia terdapat kelemahan dan kelebihannya.

Dalam fertilitas terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain:


a) Menurut Kingsley Davis & Judith Blake
Tiga tahap penting dari proses reproduksi adalah :
1. Tahap hubungan kelamin (intercourse)
2. Tahap konsepsi (conception)
3. Tahap kehamilan (gestation)

33
b) Menurut Ronald Freedman
‘intermediet variable’ sangat erat hubungannya dengan norma-norma sosial/masyarakat.
c) Menurut H. Leibenstein
dilihat dari 2 segi yaitu segi kegunaannya (utility) dan biaya ( cost).
d) Menurut Gary Becker
Ia menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama ( durable goods).

B. SARAN

Makalah ini memang diakui memiliki banyak kekurangan terkait dengan pembahasan
yang kurang mendalam dalam beberapa unit analisis. Kekurangan penulis ini dapat menjadi
gagasan untuk penulisan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://widyaastuti-agrittude.blogspot.co.id/2011/11/fertilitas-penduduk.html

34

Anda mungkin juga menyukai