Anda di halaman 1dari 28

“ATRESIA ANI”

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik

Senior di Departemen Ilmu Bedah

RSUD Dr. Pirngadi Medan

Disusun Oleh :

Theresia Septamaria Simalango


2101002

Pemimbing :

dr. Suhelmi, Sp. B

KSM ILMU BEDAH


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Atresia Ani” guna
memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di KSM Ilmu Bedah RSUD
Dr. Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Suhelmi,
Sp.B yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di KSM Ilmu Bedah RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan baik
dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk kesempurnaan
laporan kasus ini. Harapan penulis semoga paper ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Medan, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI……………………………………………......................................ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………..................................1

1.1 Latar Belakang....……………………………………………………...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………...2

2.1 Embriologi…………………………………………………………….2
2.2 Definisi Atresia Ani.................………………….………....................3
2.3 Etiologi Atresia Ani..................………………………………………4
2.4 Patofisiologi Atresia Ani..................………………………………....4
2.5 Klasifikasi Atresia Ani................……………………………….……6
2.6 Manifestasi Klinis Atresia Ani..................…………………………..12
2.7 Diagnosa Atresia Ani.................…………………………………….14
2.8 Penatalaksanaan Atresia Ani.................……………………………..26

2.11 Prognosis Atresia Ani..................…………………………………..20


BAB III PENUTUP……….……………………................................................22

3.1 Kesimpulan………………………………………………………….....22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………...............................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atresia Ani atau malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kogenital
pada laki-laki atau perempuan dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar, melibatkan anus,
rektum distal serta saluran kemih dan genital. Anus tidak ada, abnormal atau ektopik. Dalam
istilah kedokteran atresia adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal
atau organ tubular secara kogenital(1).

Atresia ani merupakan masalah penting yang memerlukan penanganan segera, sebab
sedikit keterlambatan akan memberikan kelainan yang lebih luas seperti perforasi sekum,
obstruksi/distensi usus, dan fistula yang menyebabkan inkotinensia. Insidennya adalah 1 dari
4000 hingga 5000 kelahiran hidup. Atresia Ani merupakan kelainan kongenital yang sering kita
jumpai pada kasus bedah anak(1). Atresia ani terjadi pada 1 dari setiap 2000-5000 kelahiran
hidup, Atresia Ani pada kembar adalah kasus yang jarang terjadi dengan sekitar 3 per 10.000
pasangan kembar(2). Insidensi pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan(3).

Artesia ani dapat disebabkan karena putusnya saluran pencernaan diatas dengan daerah
dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur, selain itu dapat terjadi karena ada gangguan
organogenesis dalam kandungan dan bisa juga berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani
memiliki etiologi yang multifaktorial salah satunya adalah komponen genetik dan lingkungan
yang diturunkan secara resesif autosomal(1).

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Jika urin
mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsobsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebkan infeksi berulang.
Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dnegan organ sekitarnya (1).
Sebagian besar bayi diketahui mengalami kelainan artesia ani saat pemeriksaan pertama setelah
bayi lahir, yakni tidak ditemukan adanya lubang pada anus yang ditunjukan kegagalan untuk
mengeluarkan mekonium. Bayi akan cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir, atau
ditemukannya mekonium di perineum kerena adanya fistula pada perineum(1).

1
Diagnosis penyakit kongenital ini sangat mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik
yang cermat dan teliti sehingga hal ini harus diketahui oleh para dokter (4). Tatalaksana atresia ani
tergantung dengan jenis kelamin dan letaknya. Atresia ani bisa disertai dengan kelainan pada
genital dan traktus urinaria.
Bila tidak ditangani akan memberikan morbiditas yang tinggi. Beberapa faktor prognostik
yang mempengaruhi terjadinya morbiditas pada atresia ani, seperti abnormalitas pada sakrum,
gangguan persarafan pelvis, sistem otot perineal yang tidak sempurna, dan gangguan motilitas
kolon(4). Mortalitas pada pasien atresia ani jarang disebabkan oleh atresia ani itu sendiri, tetapi
ada beberapa faktor yang memengaruhi mortalitas pasien atresia ani(5).
Penetalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Antresia ani letak tinggi harus
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode
operasi dengan pendekatan postero sagital anorectoplsty, yaitu dengan cara membelah muskulus
sfingter ekstermus dan muskulus levator ani untuk mempermudah mobilisasi kantong rektum
dan pemotongan fistel(1).
Setelah operasi 80-90% penderita dengan atresia ani letak rendah mampu mengontrol
buang air besar. Pada kejadian malformasi anorektal letak tinggi setelah operasi hanya 30%
penderita dapat mengontrol buang air besar(4).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut, dan hindgut. Foregut
akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esophagus, lambung sebagian
duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm (analpit).Usus bagian distal yang berasal dari hindgut membentuk
sepertiga kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rectum, dan bagian atas dari kanalis ani.
Bagian endoderm dari hindgut juga membentuk lapisan dalam dari kandung kemih dan uretra.
Pada bagian akhir dari hindgut akan bermuara ke bagian posterior dari kloaka, yaitu
kanalis anorektal yang masih primitif. Sedangkan allantois bermuara ke bagian anterior, yaitu
sinus urogenital yang masih primitif. Kloaka adalah suatu rongga yang dilapisi endoderm dan
berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan
ektoderm membentuk membran kloaka(6).

Sebuah lapisan mesoderm, yaitu septum urorektal memisahkan allantois dan hindgut.
Septum ini berasal dari penggabungan mesoderm yang ditutupi yolk sac dan allantois sekitar.
Ketika janin tumbuh dan lipatan kearah kaudal berlanjut, bagian ujung dari septum urorektal
mulai terletak dekat dengan membran kloaka. Saat di akhir minggu ke-7, membran kloaka ruptur
dan menciptakan pembukaan pada anal untuk hindgut dan pembukaan pada bagian ventral untuk
sinus urogenital, dan terbentuk korpus perienalis diantara daerah ini(4).

Bagian atas (dua per-tiga) dari kanalis analis terbentuk dari endoderm hindgut, sedangkan
bagian bawah (satu per-tiga) terbentuk dari ektoderm sekitar proktodeum. Ektoderm dari daerah
proktodeum di bagian permukaan dari kloaka berproliferasi dan berinvaginasi untuk membentuk
lubang anus. Degenerasi dari membran kloaka (yang sekarang disebut sebagai membran anal)
menjalin hubungan antara bagian atas dan bagian bawah dari kanalis analis. Bagian kaudal dari
kanalis analis yang berasal dari ektoderm diperdarahi oleh arteri rektus inferior, yang merupakan

3
cabang dari arteri pudenda interna. Walaupun bagian kranial dari kanalis analis berasal dari
endoderm dan karena itu diperdarahi oleh arteri rektus superior, yang merupakan kelanjutan dari
arteri mesenterika inferior. Hubungan antara bagian endoderm dan ektoderm pada kanalis analis
dibatasi oleh linea pektinata, tepat di bawah kolumna analis. Pada linea pektinata ini, terdapat
perubahan struktur epitel dari epitel kolumnar menjadi epitel skuamous bertingkat. Kelainan
hindgut seperti atresia ani muncul ketika membran anal gagal untuk melakukan pemecahan
(apoptosis).

Pada awal embriologi, hindgut adalah struktur berlapis endoderm berbentuk tabung yang
secara kranial bersambung dengan midgut dan secara kaudal bersentuhan dengan ektoderm di
atas area yang disebut membran kloaka (CM). Bagian kaudal dari hindgut yang tidak
berdiferensiasi disebut kloaka , dan ini adalah struktur normal selama perkembangan manusia.
Selama minggu ke-7 kehamilan, kloaka berdiferensiasi membentuk dua sistem organ yang
terpisah – di bagian perut, saluran urogenital dan di bagian punggung, saluran anorektal. Lipatan
urorektal membagi kloaka menjadi komponen ventral dan dorsal, yang akhirnya membentuk
badan perineum di antara keduanya. Di posterior, membran kloaka hancur di tempat ujung
lipatan urorektal bertemu dengan membran kloaka, membentuk orifisium anal. Di bagian ventral,
sinus urogenital berkembang . Lubang anus awalnya menutup dengan ektoderm dan rekanalisasi
2 minggu kemudian. Penyimpangan rekanalisasi selama minggu ke-9 kehamilan dapat
menjelaskan beberapa kelainan "rendah" ringan seperti membran anus.(7)

2.2 Definisi Atresia Ani


Atresia Ani dalam dunia kedokteran disebut juga sebagai anus imperforata, malformasi
anorektal atau kelainan ektopik anal. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang meliputi anus,
rektum, atau batas di antara keduanya. Atresia ani termasuk kelainan-kelainan kongenital yang
terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital. Atresia ani
merupakan malformasi septum urorektal secara parsial atau komplet akibat perkembangan
abnormal hindgut, allantois dan duktus Mulleri(6).
2.3 ETIOLOGI ATRESIA ANI
Etiologi atresia ani tersebut masih belum jelas dan kemungkinan multifaktorial. Beberapa
teori menyatakan bahwa atresia ani dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya:
a. Kelainan genetik

4
b. Ibu terpapar bahan toxic saat masa kehamilan
c. Infeksi
d. Malnutrisi
e. Terputusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
f. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
g. Berkaitan dengan sindrom down.
h. Dapat disebabkan oleh beberapa zat seperti ethinylthiorea, turunan asam retinoik dan
adriamisin.
i. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu.
j. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologi di daerah usus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Tampaknya ada yang rendah tingkat asosiasi dalam keluarga, tetapi beberapa tampaknya
memiliki pola pewarisan autosomal dominan dengan insiden yang tinggi, sebanyak 1 dari 100.
Kromosom 7q39 memiliki tiga lokus penting, yang berimplikasi pada pengembangan Atresia
ani, ini termasuk gen: SHH, EN2, dan HLXB9. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa
mutasi dari HLXB9 yang terkait dengan MAR . Beberapa sindrom dengan mode pewarisan
autosomal dominan seperti Sindrom Townes-Broks, sindrom Currarino, dan Sindrom Pallister-
Hall berhubungan dengan MAR(8).

2.4 Patofisiologi Atresia Ani


Atresia ani merupakan defek yang terjadi pada perkembangan fetus minggu ke-5 sampai
minggu ke-7(2). Kebanyakan kasus malformasi anorectal di diagnosa pada awal periode
neonatus(9). Sementara sedikit yang telah dilaporkan, atresia ani pada kembar menunjukkan
komponen genetik dari etiologinya. Fenomena kompleks ini dapat terjadi akibat sindrom
kromosom, monogenik, atau bahkan teratogenik. Beberapa kelainan kromosom yang
mengganggu perkembangan saluran anorektal dan struktur terkait telah dijelaskan terkait dengan
anomali ini. Dua yang paling sering adalah trisomi 21 dan a mikrodelesi kromosom 22q11(2).

5
Pada awal embriologi, hindgut adalah struktur berlapis endoderm berbentuk tabung yang
secara kranial bersambung dengan midgut dan secara kaudal bersentuhan dengan ektoderm di
atas area yang disebut membran kloaka (CM). Bagian kaudal dari hindgut yang tidak
berdiferensiasi disebut kloaka , dan ini adalah struktur normal selama perkembangan manusia.
Selama minggu ke-7 kehamilan, kloaka berdiferensiasi membentuk dua sistem organ yang
terpisah – di bagian perut, saluran urogenital dan di bagian punggung, saluran anorektal. Lipatan
urorektal membagi kloaka menjadi komponen ventral dan dorsal, yang akhirnya membentuk
badan perineum di antara keduanya. Di posterior, membran kloaka hancur di tempat ujung
lipatan urorektal bertemu dengan membran kloaka, membentuk orifisium anal. Di bagian ventral,
sinus urogenital berkembang . Lubang anus awalnya menutup dengan ektoderm dan rekanalisasi
2 minggu kemudian. Penyimpangan rekanalisasi selama minggu ke-9 kehamilan dapat
menjelaskan beberapa kelainan "rendah" ringan seperti membran anus(7). Normalnya, pada
minggu ke-5 terjadi pemisahan rektum dengan sinus urogenital. Pada minggu ke-8 terjadi ruptur
membran anus sehingga terdapat lubang di kulit anus.

Pada minggu keenam kehamilan, urorektal septum bergerak ke kaudal untuk membagi
kloaka menjadi sinus urogenital anterior dan kanal anorektal posterior. Kegagalan pembentukan
septum ini menyebabkan fistula antara usus dan saluran kemih (pada anak laki-laki) atau vagina
(pada anak perempuan). Kegagalan total atau sebagian dari membran anus untuk melakukan
resorbsi menyebabkan membran anus atau stenosis. Perineum juga berkontribusi pada
perkembangan pembukaan anus eksternal dan genitalia dengan pembentukan lipatan kloaka,
yang memanjang dari tuberkulum genital anterior ke anus(3). Badan perineum dibentuk oleh fusi
lipatan kloaka antara membran anal dan urogenital. Kerusakan membran kloaka di mana saja di
sepanjang jalurnya menghasilkan lubang anus eksternal berada di depan sfingter eksternal (yaitu,
anus yang bergeser ke anterior). Klasifikasi anatomis anomali anorektal didasarkan pada tingkat
di mana ujung kantong rektum yang buntu—rendah, sedang, atau tinggi dalam hubungannya
dengan otot levator ani(10).

6
2.5 Klasifikasi Atresia Ani
Klasifikasi internasional yang paling umum untuk atresia ani adalah klasifikasi
Wingspread pada tahun 1984. Klasifikasi Wingspread ditetapkan oleh para ahli bedah anak
untuk memberikan klasifikasi yang lebih sederhana dan membagi anomali anorektal berdasarkan
aspek viseral, sfingter dan perineal menjadi kelainan letak tinggi, intermediet, dan rendah.

7
Namun atresia ani mempunyai dampak yang luas dan klasifikasi Wingspread dianggap
tidak memunyai nilai prognosis dan terapis, sehingga Pena pada tahun 1995 membuat klasifikasi
yang lebih sederhana (tabel 2)(11) Klasifikasi Pena yang sekarang digunakan membagi atresia ani
menjadi dua, berdasarkan akhiran rektum dengan anal dimple / marker / petanda, yaitu letak
tinggi dan letak rendah. Disebut kelainan letak rendah bila jarak akhiran rektum dan kulit kurang
dari 1 cm, sedangkan kelainan letak tinggi bila jarak akhiran rektum dan kulit lebih dari 1 cm.
Letak intermediet dimasukkan dalam letak tinggi.

Pada laki – laki :


 Fistula perineum (kutaneus)
cacat paling sederhana pada kedua jenis kelamin, mempunyai lubang kecil terletak di
perineum, sebelah anterior dari titik pusat atau vulva pada perempuan. Penderita laki-laki
sering perineumnya terdapat malaformasi jenis “pegangan ember (bucket- handle)” atau
struktur jenis “pita hitam”, yang menggambarkan fistula subepitel yag terisi dengan
mekonium. Penderita ini biasanya mempunyai sacrum normal, linea mediana nyata, dan
lesung anus jelas. Frekuensi cacat terkait yang mengenai organ lain kurang dari 10%.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan inspeksi sederhana perianal tidak diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut, dan cacat ini dapat diperbaiki tanpa kolostomi protektif.

8
 Fistula rektrouretra
Rektum berhubungan dengan bagian bawah uretra (uretra bulbar) atau bagian atas uretra
(uretra prostat). Mekanisme sfingter biasanya memuaskan; beberapa penderita
mempunyai otot perianal yang jelek dan perineumnya terlihat datar. Sacrum dapat
mengalami berbagai tingkat kelambatan perkembagan, terutama pada kasus fistula
rektrouretra prostatika. Kebanyakan penderita ini mempunyai bentuk lekukan garis
tengah perineum dan lesung anus yang baik. Mereka yang mempunyai fistula
rektoprostatika mengalami perkembangan sacrum yang jelek dan sering periuneumnya
datar. Penderita ini membutuhkan kolostomi protetktif selama masa nenonatus. Operasi
perbaikan total dilakukan di kemudian hari. Fistula rektrouretra merupakan cacat
anorektum yang paling sering pada penderita laki-laki.

9
 Fistula rektovesika
Rektum berhubungan dengan saluran kencing pada setinggi leher vesika urinaria.
Mekanisme sfingter sering berkembang sangat jelek. Sakrum sering tidak terbentuk atau
seringkali tidak ada. Perineum tampak datar. Cacat ini mewakili 10% dari seluruh
penderita laki-laki dengan cacat ini. Prognosis fungsi usus biasanya jelek. Kolostomi
diharuskan selama masa neonatus yang disertai dengan operasi perbaikan korektif di
kemudian hari.

 Anus imperforata tanpa fistula


Mempunyai karakteristik sama pada kedua jenis kelamin. Rektum tertutup sama sekali
dan biasanya ditemukan kira- kira 2 cm di atas kulit perineum. Sakrum dan mekanisme

10
sfingter biasanya berkembang baik. Prognosis fungsional biasanya baik dan amat serupa
dengan prognosis penderita laki-laki dengan fistula bulbar rektrouretra. Kolostomi
terindikasi selama masa neonatus. Cacat ini sering berkaitan dengan sindrom down(7).

 Atresia rektum
cacat yang jarang terjadi, hanya 1% dari anomali anorektum. Cacat ini mempunyai
kesamaan karakteristik pada kedua jenis kelamin. Tanda yang unik pada cacat ini adalah
bahwa penderita mempunyai kanal anus dan anus yang normal. Cacat ini sering
ditemukan ketika mengukur suhu rektum. Ada obstruksi sekitar 2 cm di atas batas kulit.
Penderita ini membutuhkan kolostomi protektif. Prognosis fungsional sangat baik karena
mereka mempunyai mekanisme sfingter yang normal (dan sensasi normal) yang terletak
di kanal anus.

Perempuan
 Fistula perineal
mirip dengan fistula perineum yang dijelaskan pada pasien laki-laki. Rektum diposisikan
dengan baik dalam mekanisme sfingter, kecuali untuk bagian bawahnya, yang terletak di
anterior. Rektum dan vagina terpisah dengan baik. Masalah anatomis utama adalah lokasi
lubang anus dalam kaitannya dengan mekanisme sfingter, dan panjang badan perineum.

 Fistula vestibular

11
cacat yang paing sering ditemukan pada perempuan. Rektum bermuara ke dalam
vestibula kelamin perempuan sedikit diluar selaput dara. Penderita sering dikelirukan
dengan penderita “fistula rektovagina”. Prognosis fungsionalnya sangat baik. Sakrum
biasanya normal, dan perineum menunjukkan lekukan garis tengah yang nyata dan lesung
anus kelihatan jelas; semua ini menandakan bahwa mekanisme sfingter utuh. Kolostomi
proteksi diperlukan sebelum dilakukan operasi koreksi, walaupun kolostomi ini tidak
perlu dilakukan sebagai suatu tindakan darurat karena fistulanya sering cukup kompeten
untuk dekompresi saluran cerna(7).

 Kloaka persisten
rektum, vagina, dan saluran kecing bertemu dan menyatu dalam satu saluran bersama.
Perineum mempunyai satu lubang yang terletak sedikit di belakang klitoris. Panjang
saluran bersama tersebut bervariasi sekitar 1-10 cm; hal ini mempunyai implikasi
prognosis dan teknis yang penting. Penderita dengan saluran bersama yang pendek (<3
cm), biasanya mempunyai perekembangan sakrum dan sfingter yang baik. Saluran
bersama yang lebih dari 3 cm biasanya memberi kesan bahwa penderita tersebut
mempunyai cacat lebih kompleks dan sering mempunyai mekanisme sfingter yang jelek
dan sakrum yang jelek. Kebanyakan penderita dengan kloaka mempunyai vagina
abnormal besar dan terisi degan sekresi mukus (hidrokolpos). Ada juga berbagai tingkat
penyekatan vagina dan uterus.

12
Defek yang paling umum terjadi pada laki-laki adalah impoerforata anus dengan fistula
antara kolon distal dengan urethra sedangkan pada perempuan adalah imperforate anus dengan
fistula vestibulum pada vagina(3). Defek yang paling sering terjadi pada laki-laki adalah anus
imperforata dengan fistula rektourethral, diikuti dengan fistula rektoperineal kemudian fistula
rektovesika atau leher rektobladder. Pada wanita, defek yang paling sering adalah fistula
rektovestibular, diikuti oleh fistula perineum kutaneus. Cacat ketiga yang paling umum pada
wanita adalah kloaka persisten. Lesi ini mewakili spektrum malformasi yang luas di mana
rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu dan menyatu menjadi satu saluran umum.(10)
2.6 Manifestasi Klinis Atresia Ani
Atresia Ani paling sering didiagnosis segera setelah lahir. Jarang bagi anak-anak untuk
didiagnosis dengan atresia ani selama periode prenatal.
Tanda dan gejala umum atresia ani meliputi:
 Anus tidak ada, tidak terbuka, atau dalam posisi yang salah
 Gagal mengeluarkan mekonium (tinja pertama bayi baru lahir)
 Kotoran melewati penis atau vagina
 Perut bengkak
 Muntah
 Lahir dengan anomali terkait (VACTERL).

13
Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya kelainan kongenital penyerta pada
pasien atresia ani sampai saat ini masih belum diketahui(5). Kira-kira, setengah dari anak-anak
dengan atresia ani memiliki anomali terkait. Insiden yang dilaporkan anomali adalah variabel,
tetapi sebagian besar kelompok setuju anomali genitourinari (40-50%) adalah yang paling umum
diikuti oleh kardiovaskular (30-35%), sumsum tulang belakang tethering (25-30%), anomali
gastrointestinal (5-10%), dan anomali VACTERL (4-9%). Semakin tinggi ujung kantong dubur,
semakin tinggi peluangnya untuk dikaitkan dengan anomali. Oleh karena itu, anomali paling
sering dikaitkan dengan fistula rektovesikal, tetapi anomali tulang belakang utama terlihat pada
semua kelompok termasuk mereka yang memiliki fistula perineum(8)
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih kelainan yang mempengaruhi
sistem organ yang lain antara lain:
1. Vertebral anomalies
2. Anal atresia
3. Cardiovacular abnormalities
4. Tracheoesophageal fistula
5. Esofagus atresia
6. Renal anomalies
7. Limb defects(4)
Kelainan kongenital penyerta lebih cenderung mengikuti pasien atresia ani letak tinggi
mungkin disebabkan oleh karena pembentukan anus dan rektum lebih gagal pada tipe letak
tinggi, sehingga kelainan yang terjadi lebih kompleks dan cenderung diikuti oleh kelainan
kongenital penyerta lainnya(5).
2.7 Diagnosa Atresia Ani
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis atresia ani. Bayi ditempatkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang cukup,
dilakukan penelusuran lubang anus dengan menggunakan termometer, pipa sonde ukuran 5 F,
spekulum nasal atau probe ductus lakrimalis. Pada bayi laki-laki dilakukan penelusuran dari anal
dimple ke medial sampaike arah penis. Sedangkan pada perempuan dilakukan penelusuran dari
lubang di perineum ke arah vestibulum(4).
Pada bayi laki-laki, oleh Pena dilakukan pemeriksaan perineal dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan urinalisa. Apabila diketemukan fistula perineal, bucket handle, stenosis ani atau

14
anal membrane berarti atresia ani letak rendah. Sedangkan apabila pada pemeriksaan urinalisa
didapatkan mekoneum, udara dalam vesica urinaria serta flat bottom berarti letak tinggi. Apabila
masih ada keraguan dilakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis ini dilakukan
dengan posisi kepala bayi diletakan di bawah selama 3-5 menit, dengan petanda yang
ditempelkan ke kulit. Apabila hasil invertogram akhiran rektum kurang dari 1 cm dari kulit
berarti letak rendah dan apabila akhiran rektum lebih dari 1 cm berarti malformasi anorektal
letak tinggi(4).

Pada bayi perempuan didapatkan 90% dengan fistel, apabila tidak diketemukan adanya
fistel maka dilakukan invertogram. Apabila hasil invertogram akhiran rektum kurang dari 1 cm
dari kulit berarti letak rendah dan segera dilakukan minimal PSARP, apabila akhiran rektum
lebih dari 1 cm berarti atresia ani letak tinggi dilakukan kolostomi terlebih dahulu(4).

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis atresia ani, seperti

a. Prone cross-table lateral view


Bayi ditempatkan dengan posisi yang rawan, pinggul tertekuk dan ditinggikan sampai 45
derajat. Pusat radiografi ditempatkan sekitar trokanter lebih besar. Sebuah penanda radiologis
secara rutin ditempatkan di daerah perineum dimana harus ada dimpling dubur.

15
b. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengetahui jarak dari pouch hingga perineum (pouch
perineal distance). Hal ini dapat dilakukan melalui transperineal atau infracoccygeal.
c. Invertogram (knee chest position)
Pemeriksaan invertogram digunakan untuk menentukan hubungan antara ujung distal
rektum dengan perineum. Pasien dibiarkan dalam posisi knee-chest selama 5-10 menit,
kemudian dilakukan foto lateral. Apabila jarak rectum dan kulit <1 cm disebut lesi letak rendah;
bila >1cm disebut lesi letak tinggi(7).
d. MRI atau CT-scan
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau CT-scan
(Computed Tomography) untuk mengevaluasi kompleks otot pelvis dan panggul. Sewaktu foto
diambil, bayi diletakan terbalik (kepaladibawah) atau tidur telungkup, dengan sinar horizontal
diarahkan ke trokanter mayor. Selanjutnya diukur jarak dari ujung udara yang ada diujung distal
rektum ke tanda logam di perineum.
e. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dilakukan pada anak laki-laki untuk mengetahui fistel urin
(mekoneum keluar melalui saluran kemih). Pada anak perempuan untuk tipe kloaka (saluran
kemih, vagina dan rektum bermuara pada satu lubang di daerah kemaluan).
f. Pemeriksaan lain
Dilakukan pemeriksaan lain karena anak dengan atresia ani memiliki asosiasi dengan
kelainan lainnya. Asosiasi VACTERL (vertebral, anal, cardiac, tracheal-esophageal, renal, limb)
harus diselidiki pada setiap pasien dengan malformasi anorektal(7)
2.8 Penatalaksanaan Atresia Ani
Prinsip-prinsip manajemen berpusat pada mendiagnosis jenis cacat yang ada (tinggi vs.
rendah) dan mengevaluasi keberadaan anomali terkait. Mungkin diperlukan waktu hingga 24 jam
sebelum adanya fistula pada kulit diketahui, dan oleh karena itu penting untuk mengamati
neonatus selama beberapa waktu sebelum pembedahan definitif dilakukan. Oleh karena itu,
semua pasien harus memasang selang orogastrik dan dipantau untuk melihat adanya mekonium
di dalam atau di sekitar perineum atau dalam urin. Investigasi untuk defek terkait harus
mencakup USG abdomen untuk menilai adanya anomali saluran kemih. Tes lain harus mencakup
ekokardiogram dan radiografi tulang belakang(10). Tindakan kolostomi merupakan prosedur yang

16
ideal untuk penatalaksanaan awal atresia ani(12). Tindakan kolostomi merupakan upaya
dekompresi, diversi dan sebagai proteksi terhadap kemungkinan terjadinya obstruksi usus. Pena
menganjurkan dilakukan kolostomi kolon desenden(4).
Penatalaksanaan bedah pada bayi dengan anus imperforata ditentukan oleh defek
anatomisnya. Secara umum, bila terdapat lesi yang rendah, hanya operasi perineum yang
diperlukan tanpa kolostomi. Bayi dengan lesi tinggi memerlukan kolostomi pada periode baru
lahir, diikuti dengan prosedur pull-through pada usia sekitar 2 bulan. Bila terdapat kloaka
persisten, saluran kemih perlu dievaluasi secara hati-hati pada saat pembentukan kolostomi untuk
memastikan bahwa pengosongan normal dapat terjadi dan untuk menentukan apakah kandung
kemih perlu dikeringkan dengan cara vesikostomi. Jika ada keraguan tentang jenis lesi, lebih
aman untuk melakukan kolostomi(10).

Tatalaksana operatif
Pasien dengan kasus atresia ani dirujuk ke spesialis bedah anak untuk mendapatkan tata laksana
defenitif. Tatalaksana operatif pada bayi laki-laki dan perempuan berbeda bergantung kepada
jenis dan atau letak lesi.

Bayi laki-laki

17
 Apabila pada pemeriksaan fisis didapatkan lesi letak rendah (fistula perineum, bucket
handle, stenosis anal, anal membran, dan fistula midline raphe), kolostomi tidak
diperlukan. Anak hanya memerlukan tindakan PSARP (Posterior Sagittal
Anorectoplasty) minimal. Pada tindakan ini dilaukan pemisahan rectum dan hanya otot
sfingter eksternus yang di belah.
 Apabila didapatkan pasien dengan flat bottom atau ada mekonium di dalam urin atau
udara pada kandung kemih, koostomi diperlukan sebelum operasi defenitif. Empat
sampai delapan minggu setelahnya, PSARP dapat dikerjakan.
 Apabila dari pemeriksaan klinis masih meragukan, invertogram dikerjakan. Apabila jarak
kulit dan usus >1 cm, kolostomi perlu dilaukan sebelum PSARP(3).
Bayi perempuan

18
Adanya kloaka pada bayi perempuan merupakan kondisi yang sangat serius dan diperlukan
tindakan segera. Kolostomi, vesikostomi, dan vaginostomi mungkin dikerjakan. Apabila bayi
tumbuh dengan keadaan baik, PSARVUP (Posterior Anorectoplasty & Vaginal-urethroplasty)
akan dikerjakan enam bulan kemudian.

 Pasien dengan fistula agina/vestibular akan menjalani kolostomi diikuti dengan PSARP
4-8 minggu kemudian.
 Pasien dengan fistula kutaneus/perineum menjalani minimal PSARP tanpa kolostomi
pada masa nenonatus sebagai terapi.
 Pasien tanpa fistula yang tidak terhubung dengan genital atau perineum memerlukan
invertogram(3).
Manajemen
Pada kasus lesi letak rendah (laki-laki dan perempuan), dilakukan prosedur perbaikan tunggal
tanpa kolostomi. Terdapat tiga jenis pendekatan yang digunakan:
1. Fistula terletak di lokasi normal. Dilatasi (businasi) saja biasanya bersifat kuratif.
2. Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak lubang ke pertengahan sfingter
dekat. Pada kasus ini dilakukan PSARP minimal.

19
3. Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak lubang ke pertengahan sfingter
jauh. Pada kasus ini dapat dilakukan limited PSARP dimana otot sfingter eksternus,
serabut otot, dan kompleks otot dibedah, tetapi tidak membelah os. koksigeus.
Pada kasus letak sedang dan tinggi, diperlukan rekonstruksi yag terdiri dari tiga tahap:
 Tahap 1: kolostomi. Pada tahap ini, kolon sigmoid dibagi utuh menjadi 2 bagian distal
untuk mukosa fistula.
 Tahap 2: prosedur pull through. Prosedur ini dilakukan 3-6 bulan setelah kolostomi.
Dilakukan penarikan kantung rektal yang paling ujung ke posisi normal. PSARP
(posteriosagital rektoanoplasti) merupakan prosedur yang paling sering digunakan.
PSARP membelah otot sfingter eksternus, kompleks otot, dan os. koksigeus.
 Tahap 3: penutupan kolostomi dan businasi. Dilatasi anus (businasi) dimulai 2 minggu
setelah tahap 2 sampai ukuran businasi sudah tercapai sesuai usia baru dilakukan
penutupan kolostomi.
Managemen pasca operasi :
Pascaoperasi, Nyeri jarang menjadi keluhan kecuali bagi mereka yang telah menjalani
laparotomi. Setelah kloaka diperbaiki, kateter urin tetap selama 14-21 hari sampai perineum
tidak lagi bengkak, dan pasien dapat dikateterisasi ulang, jika perlu. Pada malformasi yang
sangat kompleks, ketika saluran umum posterior telah diperbaiki, tabung suprapubik atau
vesikostomi berguna, dan stent lingkaran dapat ditempatkan di sepanjang perbaikan uretra. Bayi
laki-laki dengan fistula rektourethral yang diperbaiki harus menjalani drainase kateter urin
selama 7 hari. Jika kateter copot, pasien seringkali dapat berkemih tanpa kesulitan dan tidak
memerlukan penggantian kateter. Antibiotik intravena diberikan dengan satu dosis pra operasi
dan dua dosis pasca operasi. Kebanyakan pasien dipulangkan 2 hari setelah perbaikan sagital posterior
dan 3-4 hari jika laparoskopi atau laparotomi diperlukan(7).
Dilatasi anal dapat dimulai 2 minggu setelah perbaikan. Setelah ukuran yang diinginkan
tercapai, kolostomi dapat ditutup. Setelah kolostomi ditutup, bayi mungkin buang air besar
berkali-kali dan dapat mengalami ruam perineum. Diet sembelit akan membantu dalam
mengobati masalah ini. Setelah beberapa minggu, jumlah buang air besar berkurang dan
sebagian besar bayi mengalami konstipasi dan membutuhkan obat pencahar. Setelah 1-3 bulan,
bayi mengembangkan pola buang air besar yang lebih teratur.

20
Pada pelepasan kateter urin pasca operasi, bayi diamati untuk melihat apakah ia mampu
mengosongkan kandung kemih secara spontan. US ginjal dan kandung kemih dapat menilai
pengosongan ini dan harus dilakukan 2-3 minggu setelah kateter dilepas, dan diulang setiap
beberapa bulan. Jika pasien tidak dapat buang air kecil, atau tidak mengosongkan kandung
kemihnya dengan baik, orang tua perlu mempelajari cara melakukan kateterisasi intermiten.
Berkemih, bahkan dengan kontrol dan tidak adanya infeksi saluran kemih, meyakinkan tetapi
tidak menjamin pengosongan kandung kemih yang memadai(7)

2.12 Prognosis Atresia Ani


Prognosis fungsional pasien atresia ani letak tinggi juga lebih buruk dibanding letak
rendah(11). Pasien atresia ani yang memiliki kelainan kongenital penyerta akan meningkatkan
risiko kematiannya dan adanya kelainan kongenital penyerta berhubungan signifikan dengan
mortalitas pasien atresia ani(5).
Prognosis yang baik biasanya dapat diprediksi pada pasien yang memiliki satu sampai
tiga buang air besar yang terbentuk dengan baik per hari, tetap bersih di antara buang air besar,
dan menunjukkan bukti perasaan atau dorongan selama buang air besar. Jenis pasien ini dapat
dilatih menggunakan toilet. Seorang pasien dengan banyak buang air besar atau orang yang
buang air besar terus-menerus tanpa menunjukkan tanda-tanda sensasi atau dorongan biasanya
memiliki prognosis fungsional yang buruk, dan kemungkinan akan memerlukan pengelolaan
usus(7).

21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Atresia ani termasuk kelainan-kelainan kongenital yang terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital. Etiologi atresia ani belum diketahui
penyebabnya, namun terdapat beberapa teori menyatakan bahwa atresia ani etiologi yang
multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Klasifikasi Pena yang sekarang
digunakan membagi atresia ani menjadi dua, berdasarkan akhiran rektum dengan anal
dimple/marker/petanda, yaitu letak tinggi dan letak rendah. Disebut kelainan letak rendah bila
jarak akhiran rektum dan kulit kurang dari 1 cm, sedangkan kelainan letak tinggi bila jarak
akhiran rektum dan kulit lebih dari 1 cm. Letak intermediet dimasukkan dalam letak tinggi.
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih kelainan yang mempengaruhi
sistem organ yang lain antara lain VACTERL. Dalam menegakkan atresia ani maka diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa Tata
laksana operatif pada bayi laki-laki dan perempuan berbeda bergantung kepada jenis dan atau
letak lesi. Prognosis fungsional pasien atresia ani letak tinggi lebih buruk dibanding letak rendah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Moufidath S-S, Baptiste YJ, Guy Serge KY, Audrey TH, Thierry-Herve O-K, Bertin KD,
et al. Anorectal Malformation without Fistula in Female Neonate and Colonic Atresia: A
Rare Association. Clin Mother Child Heal. 2018;15(4).

2. Gunardi H. Anorectal Malformations in Monozygotic Twins: An Illustration of


Management of Anorectal Malformations in A Tertiary Hospital in Indonesia. New
Ropanasuri J Surg. 2021;6(1):7–10.

3. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery
The biologi. 21st ed. Canada: Elsevier; 2020. 1861–1864 p.

4. Lokananta I, Rochadi. Malformasi Anorektal. J Biospesies. 2015;2:1–6.

5. Indra B, Dastamuar S, Hidayat R. Hubungan Tipe Malformasi Anorektal, Kelainan


Kongenital Penyerta, Sepsis, Dan Prematuritas Dengan Mortalitas Pasien Malformasi
Anorektal. J Ilmu Bedah Indones. 2018;50(1).

6. Gangopadhyay AN, Pandey V. Anorectal malformations. J Indian Assoc Pediatr Surg.


2018;20(1):10–5.

7. Holcomb GW, Murphy JP, Peter SD. Holcomb and Ashcraft’s Pediatric surgery. Seventh.
London: Elseiver; 2020. 577–597 p.

8. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet J Rare Dis. 2017;2(1):1–13.

9. Widyasari N, Anandasari PPY. Case series: review of several types fistulas of anorectal
malformation on distal loopography. Medicina (B Aires). 2019;50(2):365–9.

10. Brunicardi FC. Schwartz’s Principles of surgery. Tenth. New York: McGraw Hill; 2015.
8–9 p.

11. Zhan Y, Wang J, Guo W liang. Comparative effectiveness of imaging modalities for
preoperative assessment of anorectal malformation in the pediatric population. J Pediatr
Surg [Internet]. 2019;54(12):2550–3. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2019.08.037

12. NT L. Laparoscopic Surgery for Anorectal Malformations. Rev Artic. 2016;1.


23
24

Anda mungkin juga menyukai