Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

STRIKTUR URETRA

Disusun Oleh Kelompok V :

Muhammad Wahyu Wicaksana (1901022)

Maharani Desthia Putri (1901030)

Abdul Wahid Siokona (1901026)

Bryant Rantung (1901017)

Indri R Tula (1901027)

4A Keperawatan

STIKES MUHAMMADIYAH MANADO

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

T.A 2021-2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhânahû wa Ta`âlâ yang telah memberikan karunia dan
rahmat-Nya kepada penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah
dengan judul "Asuhan Keperawatan pada pasien Striktur Uretra”. Makalah sederhana ini
penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah KMB II.
Penulis menyadari, bahwa makalah ini tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang memberikan kontribusi dan dukungan dalam penyusunan makalah ini. Pada kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Demikian pula
dengan penulisan Makalah ini. Kritik dan saran sangatlah penulis harapkan dan dapat
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Semoga makalah ini menjadi tambahan
khazanah pengetahuan bagi siapa pun yang membacanya.

Manado, 6 Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………..2

Daftar Isi……………………………………………………………………………….……..3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..……5


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………..………...7
1.3 Tujuan…………………………………………………………...………...………..7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi…………………………………………………………...………………….8
2.2 Etiologi………………………………………………………………………………8
2.3 Patofisiologi…………………………………………………...…………………….9
2.4 Manefestasi Klinis…………………………………………………………….……10
2.5 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………………….…10
2.6 Penatalaksanaan…………………………………………...…………….…………..11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI STRIKTUR URETRA
3.1 Pengkajian………………………………………………..………………………..14
3.2 Diagnosa………………………………………………..………………………….16
3.3 Intervensi……………………………………………….………………………….17
3.4 Evaluasi……………………………………………….………………………..…..19
3.5 Pathway…………………………………………….……………………………….20
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN KASUS STRIKTUR URETRA
4.1 Kasus………………………………………………………………………………..21
4.2 Pengkajian………………………………………...…………………………..……21
4.3 Diagnosa………………………..………………………………………….……….28
4.4 Intervensi…………………………………………..……………………………….29
4.5 Implementasi………………………………………...…………………………..….32
4.6 Evaluasi……………………………………………………...……………………...33

3
BAB V PEMBAHASAN DIAGNOSA
5.1 Analisa Data………………………………………………………………………..35
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan………………………………………...………………………………37
6.2 Saran………………………………………………………………………………..37
Daftar Pustaka

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perkemihan merupakan salah satu sistem dalam tubuh manusia yang didalamnya
terjadi proses penyaringan darah sehingga darah terbebas dari zat- zat yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh. Zat yang dibutuhkan oleh tubuh akan kembali beredar
keseluruh tubuh melalui pembuluh darah kapiler darah ginjal, kemudian masuk
kedalam pembuluh darah untuk beredar keseluruh tubuh. Organ penyusun sistem
perkemihan yaitu ginjal, ureter, vesika urinaria, dan uretra. Ginjal berfungsi untuk
memproduksi urin dan disalurkan ke kandung kemih melalui ureter, setelah ditampung
dalam kandung kemih, urine kemudian dikeluarkan melalui uretra. Uretra merupakan
organ perkemihan yang paling akhir, hal inilah yang menjadikan sering timbulnya
penyakit pada uretra. Salah satu penyakit pada uretra adalah striksi uretra. Striksi
uretra adalah penyempitan karena adanya jaringan fibrotik pada uretra sehingga pasien
dengan diagnosa striksi uretra mengalami nyeri, sukar membuang air kecil, serta dapat
menimbulkan hilangnya proses miksi.
Hipospadia merupakan kegagalan meatus urinarius meluas ke ujung penis.
(Gruendemann & Fernsebner, 2006) Insiden hipospadia terjadi pada 1 dalam 300
kelahiran anak laki-laki. Perkembangan uretra in uretro di mulai usia 8 minggu dan
selesai dalam 15 minggu. Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang
permukaan ventral penis. Glandula uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm
yang tumbuh melalui glands untuk menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu.
Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis.
Ada berbagai derajat kelainan letak ini seperti pada glandular (letak meatus yang
salah pada glands), korona (pada sulkus korona), penis (di sepanjang batang penis),
penoskrotal (pada pertemuan ventra penis dan skrotum), dan perineal (pada perineum).
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutupi sisi dorsal
glans. Pita jaringan fibrosa yang di kenal

5
sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari
penis.
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada
permukaan dorsal penis. Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam
120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai
anomali saluran kemih. Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis (95%)
dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari spingter urinarius. Perbaikan
dengan pembedahan dilakukan untuk memperbaiki inkontinensia, memperluas uretra
ke glans. Prepusium digunakan dalam proses rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir
dengan epispadia tidak boleh di sirkumsisi.
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atay kedua
ginjal akibat obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir
balik, sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau
kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi
terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal
saja yang rusak. (Smeltzer & Bare, 2002). Penyebab umum Hydronephrosis termasuk
ureteroceles, katup uretra posterior dan batu ginjal. Jika USG bayi Anda menunjukkan
tanda-tanda masalah ini, Anda akan diberikan informasi tentang kondisi dan
bagaimana hal itu dapat diobati.
Penyakit ginjal masih merupakan penyakit yang sering ditemui di Indonesia. Menurut
PERNEFRI Perhimpunan Nefrologi Indonesia), penduduk Indonesia yang menderita
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah sebanyak 8,6%. Penyakit ginjal sendiri
bermanifestasi dalam 2 bentuk yaitu Penyakit Ginjal Kronik dan Gangguan Ginjal
Akut atau Acute Kidney Injury (AKI).
Prognosis dari Hydronephrosis sangat bervariasi, dan tergantung dari kondisi yang
mengawali terjadinya Hydronephrosis, unilateral atau bilateral dari ginjal yang
terserang Hydronephrosis, fungsi ginjal yang tersisa, durasi terjadinya Hydronephrosis,
dan apakah Hydronephrosis terjadi pada ginjal yang sedang masih dalam masa
pertumbuhan pada bayi atau pada ginjal yang sudah matang. Kasus bilateral Prenatal
Hydronephrosis pada prenatal atau bayi yang ginjalnya masih berkembang dapat
menghasilkan prognosis buruk jangka panjang, yang berakibat pada kerusakan ginjal
permanen meskipun obstruksinya sembuh pada saat postnatal (Onen, 2007).
Berdasarkan uraian di atas kelompok kami membuat makalah ini untuk
dapat mengetahui dan memahami gangguan Hydronephrosis serta agar
dapat memberikan pencegahan dan asuhan keperawatan yang tepat bagi
klien dengan gangguan hidronefrosis

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dari definisi Striktur Uretra ?
2. Apa yang dimaksud dari Etiologi Striktur Uretra ?
3. Apa yang dimaksud dari Patofisiologi Striktur Uretra ?
4. Apa yang dimaksud dari Manifestasi klinis Striktur Uretra ?
5. Apa yang dimaksud dari pemeriksaan penunjang Striktur Uretra ?
6. Apa yang dimaksud dari penatalaksanaan Striktur Uretra ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Laporan Pendahuluan

2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Teori Striktur Uretra

3. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kasus Striktur Uretra

4. Untuk mengetahui Pembahasan Diagnosa

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Uretra adalah saluran tempat mengalirnya urine dari kandung kemih sehingga dapat
dikeluarkan dari tubuh. Biasanya, uretra cukup lebar sehingga urine dapat mengalir
bebas melaluinya. Ketika uretra menyempit maka aliran kemih terhambat. Hal ini
dikenal sebagai striktur uretra. Striktur uretra adalah kondisi medis yang terutama
menyerang pria. Striktur urethra adalah penyempitan akibat dari adanya pembentukan
jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah uretra.

2.2 Etiologi

Striktur uretra dapat terjadi secara:

1. Kongenital

Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali
saluran kemih yang lain.
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan
anomalia sakuran kemih yang lain.
2. Didapat

a. Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi transuretral, kateter
indwelling, atau prosedur sitoskopi)
8
b. Cedera akibat peregangan

c. Cedera akibat kecelakaan

d. Uretritis gonorheal yang tidak ditangani

e. Spasmus otot

f. Tekanan dai luar misalnya pertumbuhan tumor (C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal
1468 dan C. Long , Barbara;1996 hal 338)
3. Post operasi

Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra,


seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
4. Infeksi

Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti


infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non
gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang
sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars
membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain, infeksi chlamidia sekarang
merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom

2.3 Patofisiologi

Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada


selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat trauma
atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks pada uretra.
Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi
urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah
proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan.
Pada keadaan tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan salah
jalan (false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan strikture
9
dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter
menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo- pendulare
yang mengakibatkan penekanan uretra terusmenerus, menimbulkan hipoksia uretra
daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau strikur uretra.
2.4 Manifestasi klinis Striktur uretra
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran
bercabang dan menetes sampai retensi urine. Pembengkakan dan getah / nanah di
daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila
terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urine bisa keruh (Nursalam, 2008, Hal
86)
Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian
timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti digambarkan pada
hipertrofia prostat. Striktur akibat radang uretra sering agak luas dan mungkin multiple.
(Smeltzer.C,2002, hal 1468)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan


pembedahan. Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya tanda –tanda
infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urine.
2. Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran


urine. Volume urine yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urine normal pada pria adalah 20 ml/detik dan
pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal
menandakan adanya obstruksi.
3. Radiologi

Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak


penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap

10
mengenai panjang striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukkan bahan
kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan
pemeriksaan ini, panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi. ( Muttaqin.A, 2011 hal 234)

2.6 Penatalaksanaan

Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien yang
datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian
antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang
dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra. Tindakan khusus yang
dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa


adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie
bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan
uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang
tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai
diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan
dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus
uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut.
Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi
pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah
bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie
filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan
dengan dilatasi menggunakan bougie lurus. Apabila striktur sedikit tidak teratur,
mulailah dengan bougie bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap
dinaikkan ukurannya.

11
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang
kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada
akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan
bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil
kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan
asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong
jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian
distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada
wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat

12
Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil
dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3
hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu
selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali
seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila
pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini
tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm.
Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.
a. Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan
sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik
dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang
kateter selama 5-7 hari
b. Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah
melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2
cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam- macam, pada umumnya setelah daerah
striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan
free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit
penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.

BAB III

13
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI STRIKTUR URETRA
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi
mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental,
sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendi, 1995 : 18).

A. Pengumpulan Data

1. Identitas klien

Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama

Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien adalah keluhan rasa tidak
nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi
pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan
dari klien sendiri.
3. Keadaan umum

Menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan..

4. Pola aktivitas sehari-hari

Pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami striktur uretra meliputi
frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum dan
eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK
(frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal
hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir
rambut dan menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi
(frekuensi dan tempat rekreasi).

5. Sistem Pernafasan

14
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang hidung,
pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada
saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul.
Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas. hal ini penting karena
imobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada
jalan nafas.

6. Sistem Kardiovaskuler

Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian vena
jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada dan pengukuran
tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
7. Sistem Pencernaan

Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik usus,
dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan
pada sistem ini. Sistem genitourinaria Dapat dikaji dari ada tidaknya
pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada
daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang
keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya
nyeri tekan dan benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada
nyeri waktu miksi, serta bagaimana warna urine.
8. Sistem Musculoskeletal

Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari
pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu bergerak, toleransi klien
waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena
klien imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.

9. Sistem integument
15
Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan
kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.
10. Sistem neurosensory

Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial,
fungsi sensori serta fungsi refleks.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut b.d insisi bedah sitostomi suprapubik

2. Retensi urine b.d sitostomi suprapubic

3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah sitostomi
suprapubic

3.3 Intervensi Keperawatan


NO DIAGNOSA NOC NIC

16
1. Nyeri akut b.d Tujuan : nyeri berkurang/ 1. Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama
insisi bedah hilang dan faktor pencetus dan
sitostomi Kriteria hasil: penghilang nyeri
suprapubik 2. Kaji tanda nonverbal nyeri (
a. Melaporkan penurunan
gelisah, kening berkerut,
nyeri
mengatupkan
b. Ekspresi wajah dan posisi
rahang, peningkatan TD)
tubuh terlihat relaks
3. Berikan pilihan tindakan rasa
nyaman
4. Bantu pasien mendapatkan posisi
yang nyaman
5. Ajarkan tehnik relaksasi dan
bantu bimbingan imajinasi
6. Jika tindakan gagal untuk
mengurangi nyeri, konsultasikan
dengan dokter.

17
2. Retensi urine Tujuan : Fluit Management (2080)

b.d sitostomi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring eliminasi urin


suprapubik keperawatan retensi urine (pola eliminasi, frekuensi
pada klien dapat diatas eliminasi)
dengan kriteria hasil : 2. Menganjurkan pasien dan
Domain 2 kelas F Urinary keluarga untuk mencatat
Elimination (0503) pengeluaran urin untuk
- Pola eliminasi : 5 menghitung intake outpun
cairan.
- Frekuensi berkemih
3. Mempertahankan status
normal
intake output pasien yang
- Tidak adanya retensi
adekuat
urin
4. Memonitor adanya tanda
dan gejala retensi urin
5. Membatasi cairan bila

Diperlukan

18
3. Resiko terhadap Tujuan: tidak terjadi infeksi 1. Periksa suhu setiap 4 jam dan
infeksi b.d adanya Kriteria hasil : laporkan jika diatas 38,5o
kateter a. Suhu tubuh pasien dalam 2. Perhatikan karakter urin,
suprapubik, insisi batas normal laporkan bila keruh dan bau
bedah sitostomi b. Insisi bedah kering, tidak busuk
suprapubik terjadi infeksi 3. Kaji luka insisi adanya nyeri,
c. Berkemih dengan urin kemerahan, bengkak, adanya
jernih tanpa kesulitan kebocoran urin, tiap 4 jam
sekali
4. Ganti balutan dengan
menggunakan tehnik steril
5. Pertahankan sistem drainase
gravitas tertutup
6. Pantau dan laporkan tanda dan
gejala infeksi saluran
perkemihan
7. Pantau dan laporkan jika terjadi
kemerahan, bengkak, nyeri atau
adanya kebocoran di sekitar
kateter suprapubis.

3.4 Evaluasi

1. Klien mengatakan nyeri berkurang

2. Tidak terjadi infeksi pada saluran kemih

19
3.5 Pathway

20
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS STRIKTUR URETRA

4.1 Kasus

Tn. A usia 54 tahun tinggal di Bengkulu datang ke rumah sakit dengan keluhan
nyeri ketika BAK. Tn. A didiagnosa mengalami stricture uretra dan sudah dioperasi. Tn.
A mengatakan ketika BAK mengejan, setelah BAK klien merasa tidak puas dan diikuti
oleh pancaran urine yang lemah, dipertengahan BAK seringkali berhenti kemudian
memancar lagi. Tn. A mengeluh sering berkemih terutama pada malam hari. Tn. A
mengeluh nyeri ketika BAK dan perut bagian bawah. Klien tampak lemah, kesadaran
composmentis. Tn. A tampak cemas dan gelisah. Tn.A mengatakan merasa takut jika
operasinya kemarin tidak berhasil. Tn. A mengatakan nafsu makannya menurun. Tn. A
mengatakan dahulu memiliki penyakit kencing manis dan tidak ada riwayat hipertensi.
Tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 82 x/menit; RR 24 x/menit; dan suhu 36,8°C; Hb
12, 2 g/dl; leukosit 10.900/mm3 ; trombosit 308.000/mm3 .

4.2 Pengkajian

a) Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 54 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Matahari No 05 Bengkulu
No RM : xxxxxx
Pekerjaan : Wiraswasta
Status perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 15 Mei 2018
Tanggal pengkajian : 15 Mei 2018 pukul 11.00

21
Sumber informasi : Klien, Keluarga, dan Rekam medis
b) Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medis

Pasien didiagnosa dengan kondisi Strikture uretra

2. Keluhan Utama Klien

mengeluh nyeri ketika BAK setelah menjalani operasi.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien mengeluh nyeri ketika BAK diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan BAK seringkali berhenti kemudian memancar lagi, klien
mengeluh sering berkemih terutama pada malam hari.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan dahulu pernah memiliki penyakit kencing manis.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Klien mengatakan tidak ada keluarganya yang pernah mengalami penyakit


strikture uretra sebelumnya.

c) Pengkajian: Pola Gordon, NANDA


1. Pola persepsi dan penanganan kesehatan : Tuan A pernah memiliki riwayat
kencing manis (deabetes) sebelumnya. Selain itu, klien mengira setelah
melakukan operasi sakitnya selesai. Namun, klien mengalami nyeri setelah
operasi.
2. Pola nutrisi/ metabolic : Nafsu makan Tn. A menurun setelah operasi yang
menimnulkan rasa nyeri ketika BAK. Selain itu, konsumsi untuk minum juga
mengalami penurunan.
3. Pola Eliminasi : Klien mengalami gangguan ketika BAK,klien mengeluh nyeri
ketika BAK diikuti oleh pancaran urine yang lemah, dipertengahan BAK

22
seringkali berhenti kemudian memancar lagi, klien mengeluh sering berkemih
terutama pada malam hari.
4. Pola Aktivitas : Tuan A menyatakan bahwasaannya pada saat berartivitas
merasakan lelah dan lemah. Pada saat melakukan aktifitas berat rasa nyeri yang
dialami tuan A semakin meningkat/ parah
5. Pola Istirahat Tidur : Tuan A menyatakan bahwasaannya karena nyeri dan sering
berkemih terutama pada malah hari mengakibatkan kesulitan untuk tidur pada
malam hari.
6. Pola kognitif- persepsi : Tuan A mengatakan bahwasaannya indra penglihatan,
perasa dan pembaunya berfungsi dengan normal.
7. Pola peran dan hubungan : Karena sesak dan batuk yang diderita Tuan A cukup
parah, Tuan A menyatakan karena hal tersebut mempengaruhi pekerjaannya
sehingga tuan A sering ijin tidak bekerja yang membuat peran Tuan A sebagai
Kepala Keluarga terganggu.
8. Pola Seksualitas/Produksi : Tuan A mengatakan kebutuhan seksualitasnya
menjadi terganggu karena penyakitnya.
9. Pola koping toleransi Stress : Tuan A meyatakan karena penyakitnya yang tak
kunjung sembuh tuan A sempat kawatir karena ia tidak mampu menjalankan
perannya sebagai kepala keluarga tetapi tuan A mengatakan bahwasannya
istrinya tidak mempermasahkannya dan mendukung tuan A untuk melakukan
pengobatan supaya sembuh dari penyakitnya.
10. Pola keyaninan Nilai : Tuan A memiliki keyakinan bahwasannya penyakit
datangnya dari tuhan dan dapat disembuhkan sehingga tuan A meminum obat
ataupun pergi kerumah sakit untuk menyembuhkan penyakitnya.

23
11. Pola konsep diri : Tuan A merasa bersalah terhadap keluarganya karena penyakit
yang ia derita menyebabkan pekerjaannya terganggu sehingga taun A tidak dapat
bekerja secara optimal.
d) Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum:
a) Kesadaran composmentis
b) Lemah
c) Cemas dan gelisah
2. Tanda – tanda vital: 35
a) RR : 24x/menit
b) N : 82x/menit
c) TTD : 140/80 mmHg
d) S : 36, 8°C
e) Pengkajian Fisik Head To Toe
1. Kepala
a) Inspeksi : Rambut hitam, tidak ada ketombe , kulit kulit berwarna coklat,
lembab tidak ada jaringan parut, berwarna hitam, tebal agak panjang kering,
tidak rontok
b) Palpasi : arteri temporalis teraba, tidak ada nyeri tekan pada daerah sinus
maksilaris dan sinus frontalis
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
2. Mata
a) Inspeksi : Kedua mata sembab, kedua kelopak mata bawah terlihat hitam,
kedua mata simetris, konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik, tidak
menggunakan alat bantu penglihatan, diameter pupil 3 mm per 3 mm,

24
simetris, reflek pupil terhadap cahaya + , reflek berkedip +, lapang pandang
normal 150°, tidak ada Lesi
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada daerah sekitar mata, tidak terdapat massa
pada daerah sekitar mata.
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
3. Hidung
a) Inspeksi : Lubang hidung simetris, tidak ada polip, bersih tidak ada sekret dan
dapat mencium bau dengan baik , mukosa lembab, tidak ada rasa nyeri saat
mengunyah, warna kulit sama seperti bagian kulit yang lain,
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba massa, nostril
kembali saat ditekan.36
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
4. Mulut
a) Inspeksi : Daerah bibir pucat, pucat pada membran mukosa, gigi tampak
berwarna kekuningan
b) Palpasi : -
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
5. Telinga
a) Inspeksi : Simetris, bersih tidak ada serumen, tidak menggunakan alat bantu
pendengaran, berminyak tidak ada lesi
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada daerah aurikel dan tragus
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
6. Leher
a) Inspeksi : Simetris, bersih tidak ada serumen, tidak menggunakan alat bantu
pendengaran, berminyak tidak ada lesi
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada daerah aurikel dan tragus
25
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
7. Paru-paru
a) Inspeksi : Simetris, pengembangan dada kanan dan kiri sama, tidak ada lesi
b) Palpasi : Vokal fremitus paru sebelah kanan dan kiri normal
c) Perkusi : Fremitus pada seluruh bidang paru normal
d) Auskultasi : Tidak ada bunyi pernafasan ronki pada paru saat bernafas
8. Jantung
a) Inspeksi : Simetris, ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : Ictus cordis teraba, teratur dan tidak terlalu kuat 37
c) Perkusi : Bunyi pekak, tidak ada pelebaran
d) Auskultasi : Bunyi jantung murni, tidak ada suara tambahan
9. Abdomen
a) Inspeksi : Simetris, tidak ada luka bekas operasi , warna sama rata dengan
warna kulit yang lain,umbilikus bersih
b) Auskultasi : Peristaltik usus 8 kali per menit
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Ada nyeri tekan dibawah perut
10. Pemeriksaan genetalia
a) Inspeksi : Terdapat luka bekas operasi
b) Palpasi : Terdapat rasa nyeri tekan
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
11. Ekstremitas
a) Ekstremitas atas
1)Inspeksi: Tidak ada atrofi, kekuatan otot normal dengan nilai 100%
melawan grafitasi dengan pertahanan penuh, ekstermitas kanan dapat
bergerak bebas,ekstermitas kiri terpasang infus RL 20 tpm, ekstremitas
bawah tidak ada edema, bergerak bebas

26
2)Palpasi: Akral hangat, apillary refill kembali dalam waktu 2 detik
3)Perkusi: -
4)Auskultasi: -
b) Ekstremitas bawah
1) Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ada benjolan, tidak ada jejas, tidak
terdapat edema pada kaki,
2) Palpasi: Tidak terdapat edema, tidak terdapat nyeri tekan pada
ekstremitas bawah, akral dingin
3) Perkusi: -
4) Auskultasi: -
12. Sistem persyarafan:
a) Inspeksi : Tidak terdapat gangguan pada sistem persyarafan pasien
b) Palpasi : -
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
f. Pemeriksaan penunjang laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Rutin
Hb : 12,2 g/dl (L: 14-18 g/dl)
Ht : 36 vol% (L: 40-48 vol%)
Leukosit : 10.900/mm3 (L: 5000-10.000/mm3 )
Trombosit : 308.000/mm3 (200.000-500.000/mm3 )
Hitung Jenis : 0/8/0/68/20/4
2. Kimia klinik
BSS : 97 mg/dl
Ureum : 35 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 1,2 mg/dl (L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)
Natrium : 136 mmol/l (135-155)

27
Kalium : 3,6 mmol/l (3,5-5,5)
3. Urinalisa
Sel epitel : Positif (+)
Leukosit : 4-6/ LPB
Eritrosit : 8-10/ LPB
Silinder bakteri : ++
4. Radiologi

a) Bipolar Urethocystogram
- Foto polos AP pelvis dan uretra: normal
- Buli-buli : chronic cystitis (+)
- Uretrogram: tampak striktur multipel di uretra pars posterior
b) USG TUG
- Kesan: Cystitis
4.3 Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d luka insisi post op d.d nyeri ketika BAK dan perut
bagian bawah.

2. Retensi urin b.d penurunan kontraksi otot VU (kandung kemih) d.d


BAK dengan pancaran lemah dan dipertengahan sering berhenti.

3. Ansietas b.d koping tidak efektif d.d rasa takut jika operasinya tidak
berhasil.

4.4 Intervensi keperawatan


28
No Hari DX Tujuan dan kriteria hasil intervensi
tanggal
1 Nyeri akut b.d luka insisi post Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri :
op d.d nyeri ketika BAK dan keperawatan 2x24 jam. Kontrol 1. Lakukan pengkajian nyeri
perut bagian bawah. nyeri (1605) dapat komprehensif yang meliputi
dipertahankan pada poin 3 dan lokasi, karakteristik, durasi,
ditingkatkan pada poin 5 frekuensi, kualitas, intensitas atau
dengan kriteria hasil: beratnya nyeri dan faktor
1. Nyeri dapat berkurang pencetus.
dengan menggunakan tindakan 2. Implementasikan tindakan yang
tanpa analgesik. beragam (farmakologi, non
2. Dapat menunjukkan secara farmakologi, interpersonal) untuk
konsisten kapan nyeri terjadi. memfasilitasi penurunan nyeri
3. Melaporkan perubahan sesuai kebutuhan.
terhadap gejala nyeri pada 3. Ajarkan prinsip-prinsip
profesional kesehatan. manajemen nyeri.
4. Dapat mengenali/menunjuk- 4. Dorong pasien untuk
kan apa yang terkait dengan memonitor nyeri dan menangani
gejala nyeri. nyerinya dengan tepat.
5. Dorong pasien untuk
mendiskusikan pengalaman nyeri.
6. Informasikan anggota keluarga
mengenai strategi non
farmakologi yang digunakan
untuk manajemen nyeri.

29
2 Retensi urin b.d penurunan Setelah dilakukan asuhan Perawatan Retensi Urine:
kontraksi otot VU (kandung keperawatan 3x24 jam. 1. Lakukan pengkajian
kemih) d.d BAK dengan Eliminasi urine (0503) dapat komprehensif sistem perkemihan
pancaran lemah dan dipertahankan pada poin 3 dan fokus terhadap inkontinensia
dipertengahan sering berhenti ditingkatkan pada poin 5 (urine output, pola berkemih,
dengan kriteria hasil: masalah saluran perkemihan
1. Pola eliminasi urine tidak sebelumnya).
terganggu 2. Monitor intake dan output.
.2. Mengosongkan kandung 3. Stimulasi reflek kandung kemih
kemih sepenuhnya. dengan membasahi abdomen
3. Mengenali keinginan untuk dengan air dingin, memberikan
berkemih. sentuhan pada paha bagian dalam
4. Tidak ada nyeri saat atau menggunakan air yang
berkemih mengalir.
4. Anjurkan pasien atau keluarga
untuk mencatat urine output.
5. Bantu toileting pada interval
yang reguler.
6. Berikan waktu yang cukup
untuk pengosongan kandung
kemih (10 menit)

30
3 Ansietas b.d koping tidak Setelah dilakukan asuhan Pengurangan Kecemasan:
efektif d.d rasa takut jika keperawatan 2x24 jam. Tingkat 1. Dorong verbalisasi perasaan
operasinya tidak berhasil. kecemasan (1211) dapat persepsi dan ketakutan pasien.
dipertahankan pada poin 3 dan 2. Berikan informasi faktual
ditingkatkan pada poin 5 terkait diagnosis, perawatan, dan
dengan kriteria hasil: prognosis.
1. Tidak ada perasaan gelisah 3. Kaji tanda verbal dan non
2. Tidak ada rasa takut yang verbal pasien mengenai
disampaikan secara lisan. kecemasan.
3. Tidak ada rasa cemas yang
disampaikan secara lisan.

4.5 Implementasi
31
No Hari/Tanggal Diagnosa Waktu Implementasi

1 Kamis, 17 Mei Nyeri akut 08.00 1. Melakukan pengkajian nyeri komprehensif yang
2018
meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
pencetus.
08.45 2. Mengimplementasikan tindakan yang beragam
(farmakologi, non farmakologi, interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan.
09.30 3. Mengajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
10.00 4. Mendorong pasien untuk memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan tepat.
10.30 5. Mendorong pasien untuk mendiskusikan
pengalaman nyeri.
11.30 6. Menginformasikan anggota keluarga mengenai
strategi non farmakologi yang digunakan untuk
manajemen nyeri.
2 Kamis, 17 Mei Retensi Urine 15.00 1. Melakukan pengkajian komprehensif sistem
2018
perkemihan fokus terhadap inkontinensia (urine
output, pola berkemih, masalah saluran perkemihan
sebelumnya).
15.30 2. Memonitor intake dan output.
16.00 3. Menstimulasi reflek kandung kemih dengan
membasahi abdomen dengan air dingin,
memberikan sentuhan pada paha bagian dalam atau
menggunakan air yang mengalir.
16.30 4. Menganjurkan pasien atau keluarga untuk
mencatat urine output.
17.00 5. Membantu toileting pada interval yang reguler.
17.30 6. Memberikan waktu yang cukup untuk
pengosongan kandung kemih (10 menit).

32
3 Kamis, 17 Mei Ansietas 19.00 1. Mendorong verbalisasi perasaan persepsi dan
2018
ketakutan pasien.
20.00 2. Memberikan informasi faktual terkait diagnosis,
perawatan, dan prognosis.
20.30 3. Mengkaji tanda verbal dan non verbal pasien
mengenai kecemasan.

4.6 Evaluasi

No Hari/Tanggal Diagnosa Evaluasi

1 Kamis, 17 Mei Nyeri Akut S : Pasien mengatakan nyerinya sudah terkontrol dan nafsu makan
2018
sudah membaik
O:
1. Pasien tampak membaik
2. Tekanan darah normal 120/90 mmHg
3. RR : 20x/menit
A : Intervensi Tercapai Sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
2 Kamis, 17 Mei Retensi Urine S:
2018
1. Pasien mengatakan BAK sudah terkontrol
2. BAK memancar normal
3. Pasien tidak mengeluh sering berkemih pada malam hari
O:-
A : Intervensi Tercapai
P : Lanjutkan Intervensi
3 Kamis, 17 Mei Ansietas S : pasien mengatakan sudah tenang.
2018
O:
1. pasien sudah tidak cemas dan gelisah,
2. Tekanan darah normal 120/90 mmHg
3. RR : 20x/menit

33
A : Intervensi tercapai
P : Hentikan Intervensi

BAB V
PEMBAHASAN DIAGNOSA

5.1 Analisa Data


Pada pembahasan kasus ini akan membahas mengenai adanya kesesuaian atau
kesenjangan antara teori dan hasil asuhan keperawatan pada Tn. A dengan kasus striktur

34
uretra. Ada 3 diagnosa yang muncul pada kasus striktur uretra yaitu : nyeri akut, retensi
urine, ansietas.

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1 DS: Striktur Uretra Nyeri akut


1. Tn. A mengeluh nyeri ketika ↓
BAK dan perut bagian bawah. Pembedahan
2. Tn. A mengatakan nafsu ↓
makannya menurun Luka Insisi
DO: ↓
1. Klien tampak lemah Nyeri Aku
2. Tekanan darah 140/80 mmHg;
3. RR 24 x/menit;

2 DS: Peningkatan tekanan vesika Retensi Urin


1. Tn. A mengatakan ketika BAK urinaria
mengejan, setelah BAK klien merasa ↓
tidak puas dan diikuti oleh pancaran Penebalan dinding VU
urine yang lemah, dipertengahan (kandung kemih)
BAK seringkali berhenti kemudian ↓
memancar lagi. Penurunan kontraksi otot VU
2. Tn. A mengeluh sering berkemih ↓
terutama pada malam hari. Kesulitan berkemih
DO: - ↓
Retensi Urine

3 DS: Luka Insisi Ansietas


1. Tn.A mengatakan merasa takut ↓
jika operasinya kemarin tidak Nyeri
berhasil. ↓
DO: Perubahan Status Kesehatan
1. Tn. A tampak cemas dan gelisah ↓
35
2. Tekanan darah 140/80 mmHg; 3. Sumber informasi tidak
RR 24 x/menit; adekuat

Koping Tidak Efektif

Ansietas

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Striktur urethra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau
konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur urethra di sebut juga
penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra

36
atau daerah urethra. Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.

6.2 Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap


klien striktur uretra. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini
melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperparah penyakit, hal-
hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara melakukan pengobatan dengan baik

Daftar Pustaka

Wessel H, Keith W. Male urethral stricture: american urinary and erectile functional
outcome. American Urological Association Guidline. 2015;175:514-8.

Guido B, Masimo L. Surgical treatment of anterior urethral stricture disease: brief overview.
International Braz Urol. 2015p; 160:461-9.

37
Brian S, Rajesh S. Urinary retention in adults: diagnosis and initial management. American
Family Physician. 2016;92:643- 8.

F Mandrelli, Rotoli B. Urethral stricture: analysis of 10-year follow-up. Urological Journal


Guidline. 2016;87:660-8.

Richard S, Geoffrey J, Matthew W. Male urethral stricture disease: urologic disease in


America. American Urological Journal. 2016;180:165-9.

Kotb A. Fouad B. Post-Traumatic posterior urethral stricture: clinical consideration. Turkish


Journal Of Urology. 2015;78:182-9.

38

Anda mungkin juga menyukai