Anda di halaman 1dari 49

TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI

PRODUKSI SEDIAAN OBAT TETES MATA YANG BAIK

Dosen : Prof. Dr. Teti Indrawati, MS., Apt.

Disusun Oleh :

1. Dhian Rachma Maulida (20340073)


2. Dessinta Alfiana (20340074)
3. Alika Dita Pratiwi (20340075)
4. Ikbal Mubarok (20340076)

Kelas: (B)
Kelompok : 7

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya lah
dan karunia-Nya penulisan makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang berjudul “Produk Sediaan Obat Tetes
Mata Yang Baik”.
Makalah ini disusun secara khusus dan sistemika untuk memenuhi tugas dari Mata
Kuliah “Teknologi Sediaan Farmasi”. Substansi yang terdapat dalam makalah ini berasal
dari beberapa referensi buku dan literatur-literatur lain. Sistematika penyusunan makalah ini
terbentuk melalui kerangka yang berdasarkan acuan atau sumber dari buku maupun literatur-
literatur lainnya.
Makalah yang berjudul “Produk Sediaan Obat Tetes Mata Yang Baik” ini dapat
dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa, dosen atau masyarakat umum dan
juga sebagai bahan pembanding dengan makalah lain yang secara substansial mempunyai
kesamaan. Tentunya dari konstruksi yang ada dalam makalah ini yang merupakan tugas mata
kuliah “Teknologi Sediaan Farmasi” banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
berharap diberikan kritikan yang membangun kepada para pembaca.

Jakarta, 9 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................2

1.3. Tujuan........................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................3

2.1. Sediaan Obat Tetes Mata..........................................................................................3

2.1.1. Komponen Sediaan Obat Tetes Mata..............................................................4

2.1.2. Karakteristik Sediaan Obat Tetes Mata..........................................................6

2.1.3. Metode Pembuatan Sediaan Steril...................................................................8

2.1.4. Macam-Macam Metode Sterilisasi...................................................................9

2.1.5. Evaluasi Sediaan Obat Tetes Mata.................................................................11

2.1.6. Kemasan Dan Penyimpanan Sediaan Obat Tetes Mata...............................13

2.1.7. Persyaratan Label Sediaan Obat Tetes Mata................................................15

2.1.8. Faktor Penting Sediaan Obat Tetes Mata.....................................................16

2.1.9. Pemilihan Bentuk Zat Sediaan Obat Tetes Mata..........................................17

2.2. Macam-Macam Penyakit Mata..............................................................................17

2.3. Macam-Macam Sediaan Obat Tetes Mata............................................................20

2.4. Data Praformulasi...................................................................................................21

2.4.1. Formula I...........................................................................................................21

2.4.2. Formula II..........................................................................................................23

2.4.3. Formula III........................................................................................................24

2.5. Cara Pembuatan Obat Yang Baik Dan Benar (CPOB).......................................25


BAB III PEMBAHASAN......................................................................................................32

3.1. Formulasi..................................................................................................................32

3.1.1. Formula I..........................................................................................................32

3.1.2. Formula II.........................................................................................................36

3.1.3. Formula III.......................................................................................................39

3.2. Design Kemasan.......................................................................................................42

BAB IV PENUTUP................................................................................................................43

4.1. Kesimpulan.................................................................................................................43

4.1.1. Formula I..........................................................................................................43

4.1.2. Formula II.........................................................................................................43

4.1.3. Formula III.......................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................45
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat tetes mata steril adalah obat tetes yang digunakan dengan cara meneteskan
ke dalam lekuk mata atau ke permukaan selaput bening mata yang bebas dari mikroba
hidup, baik patogen maupun non patogen. Umumnya bersifat isotonis dan isohidris.
Beberapa larutan obat mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan
menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat yang
cepat dan efektif.
Obat tetes mata digunakan pada mata sebagai efek diagnostik dan terapeutik
lokal. Maka obatnya harus stabil secara kimia, harus mempunyai aktivitas terapi yang
optimal, harus tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada mata, harus
jernih, harus bebas mikroorganisme yang hidup dan tetap demikian selama penyimpan
yang diperlukan. Akhir-akhir ini pengobatan dengan penyisipan dan meresapkan obat
ke dalam mata telah dikembangkan untuk memberikan pelepasan obat secara terus-
menerus. Penyisipan obat ini mempunyai kegunaan khusus pada obat-obatan yang
pemberiannya diperlukan sepanjang hari. Jadi yang penting adalah larutan obat mata
untuk keperluan ini harus mendekati isotonic.
Larutan obat mata haruslah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan
yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada. Bentuk
sediaan tetes mata harus memenuhi persyaratan uji sterilitas. Beberapa penggunaan
sediaan tetes mata harus mengandung zat yang sesuai atau campuran zat untuk
mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroorganisme. Sediaan mata harus bebas
dari partikel besar dan harus memenuhi persyaratan untuk kebocoran dan partikel
logam. Semua sediaan tetes mata harus steril dan bila memungkinkan pengawet yang
cocok harus ditambahkan untuk memastikan sterilitas selama digunakan. Pembuatan
larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas bahan obat, nilai
isotonisitas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet (dan jika perlu pemilihan
pengawet) sterilisasi dan kemasan yang tepat.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memproduksi sediaan obat tetes mata yang baik ?

2. Apa saja komponen dan bagaimana rancangan formulasi sediaan obat tetes mata ?

3. Bagaimana pengadaan barang dan alurnya ?

4. Bagaimana proses produksi, evaluasi, pengemasan, penyimpanan dan distribusi


sediaan obat tetes mata yang baik ?

1.3. Tujuan
1. Untuk memahami cara memproduksi sediaan obat tetes mata yang baik

2. Untuk memahami komponen dan rancangan formulasi sediaan obat tetes mata

3. Untuk memahami cara pengadaan barang dan alurnya

4. Untuk memahami proses produksi, evaluasi, pengemasan, penyimpanan dan


distribusi sediaan obat tetes mata yang baik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sediaan Obat Tetes Mata
Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi digunakan pada
mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata
atau bola mata (FI.III, 1979). Tetes mata digunakan untuk menghasilkan efek
diagnostik dan terapeutik lokal dan yang lain untuk merealisasikan kerja
farmakologis yang terjadi setelah berlangsungnya penetrasi bahan obat, dalam
jaringan yang umumnya terdapat disekitar mata (Voight, 1994).
Pembuatan tetes mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas
bahan obat, sterilisasi dan kemasan yang tepat. Beberapa tetes mata perlu hipertonik
untuk meningkatkan daya serap dan menyediakan kadar bahan aktif yang cukup
tinggi untuk menghasilkan efek obat yang cepat dan efektif. Apabila tetes mata
seperti ini digunakan dalam jumlah kecil, pengenceran dengan air mata cepat terjadi
sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara, tetapi penyesuaian
isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata tidak berarti, jika digunakan larutan
hipertonik dalam jumlah besar sebagai koliria untuk membasahi mata. Jadi yang
paling penting adalah tetes mata harus mendekati isotonic.
Bahan obat yang digunakan pada mata adalah farmaka pelebar pupil
(midriatika), seperti atropine, skopolamin, fenilefrin, dan epinefrin sedangkan
neostigmin dan paraixon. Untuk melawan proses infeksi digunakan antibiotika
disamping garam perak untuk mengobati rasa nyeri digunakan anastetika lokal. Mata
merupakan organ yang paling peka dari manusia. Oleh karena itu sediaan obat mata
mensyaratkan kualitas yang lebih tajam.
a. Keuntungan
1) Larutan mata memiliki kelebihan dalam hal kehomogenan, bioavailabilitas dan
kemudahan penangananan.
2) Suspensi mata memiliki kelebihan dimana adanya partikel zat aktif dapat
memperpanjang waktu tinggal pada mata sehingga meningkatkan waktu
terdisolusinya oleh air mata, sehingga terjadi peningkatan bioavailabilitas dan
efek terapinya.
b. Kerugian
1) Volume larutan yang dapat ditampung oleh mata sangat terbatas ( 7 L)
maka larutan yang berlebih dapat masuk ke nasal cavity lalu masuk ke jalur GI
menghasilkan absorpsi sistemik yang tidak diinginkan. Mis. -bloker untuk
perawatan glaukoma dapat menjadi masalah bagi pasien gangguan jantung
atau asma bronkhial.
2) Kornea dan rongga mata sangat kurang tervaskularisasi, selain itu kapiler pada
retina dan iris relatif non permeabel sehingga umumnya sediaan untuk mata
adalah efeknya lokal/topikal.

2.1.1. Komponen Sediaan Obat Tetes Mata


1. Zat Aktif
2. Cairan Pembawa berair
3. Pengawet
Pengawet yang dipilih seharusnya mencegah dan membunuh
pertumbuhan mikroorganisme selama penggunaan. Pengawet yang sesuai
untuk larutan obat tetes mata hendaknya memiliki sifat sebagai berikut :
- Bersifat bakteriostatik dan fungistatik. Sifat ini harus dimiliki terutama
terhadap Pseudomonas aeruginosa.
- Non iritan terhadap mata.
- Kompatibel terhadap bahan aktif dan zat tambahan lain yang dipakai.
- Tidak memiiki sifat allergen dan mensensitisasi.
- Dapat mempertahankan aktivitasnya pada kondisi normal penggunaan
sediaan.
4. Pengisotonis
Pengisotonis yang dapat digunakan adalah NaCl, KCl, glukosa, gliserol
dan dapar. Rentang tonisitas yang masih dapat diterima oleh mata
berdasarkan FI IV yaitu 0,6 – 2,0%.
5. Pendapar
Secara ideal, larutan obat tetes mata mempunyai pH dan isotonisitas
yang sama dengan air mata. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena
pada pH 7,4 banyak obat yang tidak cukup larut dalam air, sebagian besar
garam alkaloid mengendap sebagai alkaloid bebas pada pH mendekati 7,4.
Tetapi larutan tanpa dapar antara pH 3,5 – 10,5 masih dapat ditoleransi.
Rentang pH yang masih dapat ditoleransi oleh mata menurut FI IV yaitu 3,5
– 8,5.
6. Peningkat Viskositas
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemilihan bahan peningkat
viskositas untuk sediaan tetes mata yaitu:
- Sifat bahan peningkat viskositas itu sendiri.
- Perubahan pH yang dapat mempengaruhi aktivitas bahan pengikat
viskositas.
- Penggunaan produk dengan viskositas tinggi kadang tidak ditoleransi
baik oleh mata dan menyebabkan terbentuknya deposit pada kelompok
mata, sulit tercampur dengan air mata atau mengganggu difusi obat.
- Viskositas untuk larutan tetes mata dipandang optimal jika berkisar
antara 15 – 25 cps.
7. Antioksidan
Zat aktif untuk sediaan tetes mata yang dapat teroksidasi oleh udara.
Untuk itu, kadang dibutuhkan antioksidan. Antioksidan yang sering
digunakan adalah Na. metabisulfit atau Na. sulfit dengan konsentrasi
sampai 0,3%.
8. Surfaktan
Pemakaian surfaktan dalam obat tetes mata harus memenuhi berbagai
aspek.
- Sebagai antimikroba (surfaktan golongan kationik).
- Menurunkan tegangan permukaan antara obat tetes mata dan kornea
sehingga meningkatkan aktif terapeutik zat aktif.
- Meningatkan ketercampuran antara obat tetes mata dengan cairan
lakrimal, meningkatkan kontak zat aktif dengan kornea dan
konjungtiva sehingga meningkatkan peembusan dan penyerapan
obat.
- Tidak boleh meningkatkan pengeluaran air mata, tidak boleh iritan
dan merusak kornea. Surfaktan golongan non ionic dapat diterima
dibandingkan dengan surfaktan golongan lainnya.

2.1.2. Karakteristik Sediaan Obat Tetes Mata


1. Kejernihan
Larutan mata adalah dengan definisi bebas adari partikel asing dan
jernih secara normal diperoleh dengan filtrasi, pentingnya peralatan filtrasi
dan tercuci baik sehingga bahan-bahan partikulat tidak dikontribusikan
untuk larutan dengan desain peralatan untuk menghilangkannya. pengerjaan
penampilan dalam lingkungan bersih.
Penggunaan Laminar Air Flow dan harus tidak tertumpahkan akan
memberikan kebersamaan untuk penyiapan larutan jernih bebas partikel
asing. Dalam beberapa permasalahan, kejernihan dan streilitas dilakukan
dalam langkah filtrasi yang sama. Ini penting untuk menyadari bahwa
larutan jernih sama fungsinya untuk pembersihan wadah dan tutup.
keduanya, wadah dan tutup harus bersih, steril dan tidak tertumpahkan.
Wadah dan tutup tidak membawa partikel dalam larutan selama kontak
lama sepanjang penyimpanan. Normalnya dilakukan test sterilitas.
2. Stabilitas
Stabilitas obat dalam larutan, seperti produk tergantung pada sifat kimia
bahan obat, pH produk, metode penyimpanan (khususnya penggunaan
suhu), zaat tambahan larutan dan tipe pengemasan.
Obat seperti pilokarpin dan fisostigmin aktif dan cocok pada mata pada
pH 6.8 namun demikian, pH stabilitas kimia (atau kestabilan) dapat diukur
dalam beberapa hari atau bulan. Dengan obat ini, bahan kehilangan
stabilitas kimia kurang dari 1 tahun. Sebaliknya pH 5, kedua obat stabil
dalam beberapa tahun.
Tambahan untuk pH optimal, jika sensitivitas oksigen adalah satu faktor,
stabilitas adekuat diinginkan antioksidan. kemasan plastik, polietilen
densitas rendah “Droptainer” memberikan kenyamanan pasien, dapat
meningkatkan deksimental untuk kestabilan dengan pelepasan oksigen
menghasilkan dekomposisi oksidatif bahan-bahan obat.
3. Buffer dan pH
Idealnya, sediaan mata sebaiknya pada pH yang ekuivalen dengan cairan
mata yaitu 7,4. Dalam prakteknya, ini jarang dicapai. mayoritas bahan aktif
dalam optalmologi adalah garam basa lemah dan paling stabil pada pH
asam. ini umumnya dapat dibuat dalam suspensi kortikosteroid tidak larut
suspensi biasanya paling stabil pada pH asam.
pH optimum umumnya menginginkan kompromi pada formulator. pH
diseleksi jadi optimum untuk kestabilan. Sistem buffer diseleksi agar
mempunyai kapsitas adekuat untuk memperoleh pH dengan range stabilitas
untuk durasi umur produk. kapasitas buffer adalah kunci utama, situasi ini.
4. Tonisitas
Tonisitas berarti tekanan osmotik yang diberikan oleh garam-garam
dalam larutan berair, larutan mata adalah isotonik dengan larutan lain ketika
magnefudosifat koligatif larutan adalah sama. larutan mata
dipertimbangkan isotonik ketika tonisitasnya sama dengan 0,9% larutan
NaCl.
Sebenarnya mata lebih toleran terhadap variasi tonisitas daripada suatu
waktu yang diusulkan. Maka biasanya dapat mentoleransi larutan sama
untuk range 0,5%-1,8% NaCl. Memberikan pilihan, isotonisitas selalu
dikehendaki dan khususnya penting dalam larutan intraokuler. Namun
demikian, ini tidak dibutuhkan ketika total stabilitas produk
dipertimbangkan.

5. Viskositas
USP mengizinkan penggunaan bahan pengkhelat viskositas untuk
memperpanjang lama kontak dalam mata dan untuk absorpsi obat dan
aktivitasnya. Bahan-bahan seperti metilselulosa, polivinil alkohol dan
hidroksi metil selulosa ditambahkan secara berkala untuk meningkatkan
viskositas.
Para peneliti telah mempelajari efek peningkatan viskositas dalam waktu
kontak dalam mata. umumnya viskositas meningkat 25-50 cps range yang
signifikan meningkat lama kontak dalam mata.
6. Additive/tambahan
Penggunaan bahan tambahan dalam larutan mata diperbolehkan, namun
demikian pemilihan dalam jumlah tertentu. Antioksidan, khususnya
Natrium Bisulfat atau metabisulfat, digunakan dengan konsentrasi sampai
0,3%, khususnya dalam larutan yang mengandung garam epinefrin.
Antioksidan lain seperti asam askorbat atau asetilsistein juga digunakan.
Antioksidan berefek sebagai penstabil untuk meminimalkan oksidasi
epinefrin.
Penggunaan surfaktan dalam sediaan mata dibatasi hal yang sama.
surfaktan nonionik, kelas toksis kecil seperti bahan campuran digunakan
dalam konsentrasi rendah khususnya suspensi dan berhubungan dengan
kejernihan larutan.Penggunaan surfaktan, khususnya beberapa konsentrasi
signifikan sebaiknya dengan karakteristik bahan-bahah. surfaktan nonionik,
khususnya dapat bereaksi dengan adsorpsi dengan komponen pengawet
antimikroba dan inaktif sistem pengawet.
Surfaktan kationik digunakan secara bertahap dalam larutan mata tetapi
hampir invariabel sebagai pengawet antimikroba. benzalkonium klorida
dalam range 0,01-0,02% dengan toksisitas faktor pembatas konsentrasi.
Benzalkonium klorida sebagai pengawet digunakan dalam jumlah besar
dalam larutan dan suspensi mata komersial.
2.1.3. Metode Pembuatan Sediaan Steril
Gambaran umum pembuatan sediaan steril ada 2 macam, yaitu :
1. Aseptic Processing
Menurut Farmakope Indonesia edisi III, proses aseptik adalah cara
pengurusan bahan steril menggunakan teknik yang dapat memperkecil
kemungkinan terjadinya cemaran kuman hingga seminimum mungkin.
Teknik aseptik dimaksudkan untuk digunakan dalam pembuatan sediaan
steril yang tidak dapat dilakukan proses sterilisasi akhir karena
ketidakmantapan zatnya. Sterilitas hasil akhir hanya dapat disimpulkan jika
hasi itu memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji Keamanan
Hayati. Teknik aseptik penting sekali diperhatikan pada waktu melakukan
sterilisasi menggunakan cara sterilisasi C dan D tepatnya sewaktu
memindahkan atau memasukkan bahan steril kedalam wadah akhir steril.
Tujuan dari proses aseptis adalah untuk mempertahankan sterilitas
produk yang dibuat dari komponen-komponen yang masing-masing telah
disterilisasi sebelumnya dengan menggunakan salah satu cara dari metode
yang ada. Kondisi operasional hendaklah dapat mencegah kontaminasi
mikroba. Untuk menjaga sterilitas komponen dan produk selama proses
aseptis, perhatian perlu diberikan pada :
- Lingkungan
- Personil
- Permukaan yang kritis
- Sterilisasi wadah/ tutup dan prosedur pemindahannya
- Waktu tunggu maksimum bagi bagi produk sebelum pengisian kedalam
wadah akhir
- Filter untuk sterilisasi
Untuk produk yang berisiko besar terhadap kontaminasi partikel selama
proses, misalnya infuse bervolume >100ml, dan produk dalam wadah
bermulut lebar maka pembilasan akhir dan penanganan komponen setelah
dicuci hendaklah dilakukan dibawah LAF yang dipasang dilingkungan
minimal kelas D.
2. Terminal Sterilization
Cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan. Zat aktif harus
stabil terhadap molekul air dan pada suhu sterilisasi. Sediaan disterilkan
pada tahap akhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya
ditutup dengan kertas perkamen, disterilkan dengan cara sterilisasi yang
sesuai.
Over killed method adalah suatu metode sterilisasi menggunakan uap
panas pada 121 0C selama 15 menit. Metode ini dapat digunakan untuk
bahan-bahan yang tahan panas dan metode ini merupakan metode yang
lebih efisien, cepat dan aman.
Bio burden sterilization adalah metode sterilisasi yang memerlukan
monitoring yang ketat dan terkontrol yaitu tingkat sterilitas yang
dipersyaratkan SAL 10-6.

2.1.4. Macam-Macam Metode Sterilisasi


Ada dua metode pembuatan sediaan steril yaitu cara sterilisasi akhir dan
cara aseptik.
1. Cara Sterilisasi Akhir
Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan
dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil terhadap molekul air
dan pada suhu sterilisasi. Sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan
sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup dengan kertas
perkamen, disterilkan dengan cara sterilisasi yang sesuai.
2. Cara Aseptik
Cara ini terbatas penggunaanya pada sediaan yang mengandung zat aktif
peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian atau penurunan kerja
farmakologinya. Antibiotika dan beberapa hormon tertentu merupakan zat
aktif yang sebaiknya diracik secara aseptik. Cara aseptik bukanlah suatu
metode sterilisasi (Repetitorium Benny Logawa, hal 82) melainkan suatu
cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi
jasad renik dalam sediaan.
Cara – Cara Sterilisasi (FI IV hal.1112)
1) Sterilisasi Uap
Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah tekanan
berlangsung di suatu bejana yang disebut otoklaf. Suatu siklus otoklaf
yang ditetapkan dalam farmakope, untuk media atau pereaksi adalah
selama 15 menit, 121oC, kecuali dinyatakan lain. Prinsip dasar kerja alat:
udara di dalam bejana diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai
dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus. (FI IV hal
1112)
2) Sterilisasi Panas Kering
Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di farmakope
dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu
proses bets dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan
tersebut. Distribusi panas dapat berupa sirkulasi atau disalurkan
langsung dari suatu nyala terbuka. Suatu proses berkesinambungan
sering digunakan untuk sterilisasi dan depirogenisasi alat kaca sebagai
bagian dari sistem pengisian dan penutupan kedap secara aseptik yang
berkesinambungan dan terpadu. (FI IV hal 1112)
3) Sterilisasi Gas
Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternatif dari
sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkan tidak
tahan terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering.
Bahan aktif yang umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen
oksida. Keburukan dari bahan ini adalah sangat mudah terbakar
(walaupun sudah dicampur dengan gas inert yang sesuai), bersifat
mutagenik dan kemungkinan adanya residu toksik dalam bahan yang
disterilkan terutama yang mengandung ion klorida. Proses sterilisasi
umumnya berlangsung dalam bejana yang bertekanan yang didesain
sama seperti pada otoklaf tetapi dengan tambahan bagian khusus yang
hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan gas. Keterbatasan
utama dari proses sterilisasi etilen oksida adalah terbatasnya kemampuan
gas tersebut untuk berdifusi sampai ke daerah yang paling dalam dari
bahan yang disterilkan. (FI IV hlm 1112 - 1113). Gas yang lain yang
dapat dipakai yaitu formaldehid (untuk lemari).
4) Sterilisasi Dengan Radiasi Ion
Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia rendah,
residu rendah yang dapat diukur dan kenyataan yang membuktikan
bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Ada 2 jenis radiasi ion
yang digunakan yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi γ)
dan radiasi berkas elektron. Iradiasi hanya menimbulkan sedikit
kenaikan suhu tetapi dapat mempengaruhi kualitas dan jenis plastik/kaca
tertentu. (FI IV hlm 1113)
5) Sterilisasi Dengan Penyaringan
Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan
penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba,
sehingga mikroba yang dikandung dapat dipisahkan secara fisika.
Perangkat penyaring umumnya terdiri dari suatu matriks berpori bertutup
kedap atau dirangkaikan pada wadah yang tidak permeabel. Efektivitas
suatu penyaring media atau penyaring substrat tergantung pada ukuran
pori bahan dan dapat tergantung pada daya absorbsi bakteri pada atau
dalam matriks penyaring atau bergantung pada mekanisme pengayakan.
Penyaringan untuk tujuan sterilisasi umumnya dilaksanakan
menggunakan rakitan yang memiliki membran dengan porositas nominal
0,2 μm atau kurang. (FI IV hlm 1114 - 1115).
2.1.5. Evaluasi Sediaan Obat Tetes Mata
1. Uji Organoleptis
Uji organoleptis terhadap sediaan dilakukan dengan peninjauan dari segi
warna dan bau yang ditimbulkan oleh cairan tetes mata. Diamati warna
cairan dan ada tidaknya aroma yang ditimbulkan. Selain itu juga dilakukan
uji tetesan dengan melihat konsistensi cairan yang dihasilkan dan apakah
dapat menetes bila dituang.
2. Uji pH
Uji pH dilakukan dengan menggunakan pH stick. Sejumlah cairan tetes
mata diletakkan di dalam beaker glass. pH stick dicelupkan ke dalam cairan
tetes mata, setelah beberapa saat dicek warna yang terbentuk pada pH stick.
Warna yang terbentuk pada pH stick kemudian dicocokan dengan rentang
warna yang terdapat pada kemasan pH stick untuk mengetahui pH dari
sediaan.
3. Uji Kejernihan
Uji kejernihan terhadap sediaan dilakukan dengan meletakkan wadah
sediaan yang berisi cairan tetes mata di dalam kotak dengan latar hitam dan
putih yang didalamnya terdapat lampu yang menyinari wadah dari arah
samping. Pertama wadah didekatkan pada lampu pada sisi dengan latar
putih, amati kejernihan cairan dengan melihat ada atau tidak kotoran
berwarna gelap. Selanjutnya wadah didekatkan pada lampu pada sisi
dengan latar hitam, amati kejernihan kembali dengan melihat ada atau tidak
kotoran yang berwarna muda kemudian bandingkan dengan perlakuan
pertama pada latar putih. Suatu cairan dinyatakan jernih jika kejernihannya
sama dengan air atau pelarut yang digunakan.
4. Uji Kebocoran
Uji kebocoran dilakukan dengan membalikkan botol sediaan tetes mata
dengan mulut botol menghadap ke bawah. Diamati ada tidaknya cairan
yang keluar menetes dari botol.
5. Uji Keseragaman Volume
Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10ml atau lebih, 3 wadah atau
lebih bila volume lebih dari 3ml dan kurang dari 10ml, atau 5 wadah atau
lebih bila volume 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah alat suntik
hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan
diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kuramg
dari 2,5 cm. keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik
dan pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian jarum,
kedalam gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga
volume yang diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari
kapasitas tertera ( garis-garis penunjuk volume gelas ukur menunjuk
volume yang ditampung, bukan yang dituang).
2.1.6. Kemasan Dan Penyimpanan Sediaan Obat Tetes Mata
a. Pengemasan
Wadah untuk larutan mata. Larutan mata sebaiknya digunakan dalam
unit kecil, tidak pernah lebih besar dari 15 ml dan lebih disukai yang lebih
kecil. Botol 7,5 ml adalah ukuran yang menyenangkan untuk penggunaan
larutan mata. Penggunaan wadah kecil memperpendek waktu pengobatan
akan dijaga oleh pasien dan meminimalkan jumlah pemaparan kontaminasi.
Botol lastic untuk larutan mata juga dapat digunakan. Meskipun beberapa
botol lastic untuk larutan mata telah dimunculkan dalam pasaran, mereka
masih melengkapi dan yang terbaik adalah untuk menulis secara langsung
produksi untuk menghasilkan informasi teknik dalam perkembangan
terakhir.
Tipe wadah yang biasa digunakan untuk tetes mata adalah vertikal
dilipat ambar atau gelas botol hijau layak dengan tutup bakelite yang
membawa tube tetes dengan sebuah pentil dan kemampuan untuk ditutup
sebagaimana untuk menahan mikroorganisme. Sifat-sifat yang penting
sebagai berikut :
- Wadah dilengkapi dengan uji untuk membatasi alkali gelas. Copper
(1963) menunjukkan bahwa kadang-kadang botol dapat dibebasalkalikan
tetapi tube tetes tidak. Ini dapat dicontohkan oleh tetes mata fisostigmin
dalam larutan dalam botol tidak berwarna tetapi pada tube tetes berwarna
merah muda.
- Wadah melindungi isi bahan terhadap cahaya. Banyak bahan obat
sensitif terhadap cahaya.
- Wadah mempunyai segel yang memuaskan. Norton (1963) menunjukkan
test warna.
- Wadah menyiapkan penetes yang siap digunakan dan melindungi
terhadap kerusakan dan kontaminasi.
- Wadah dilengkapi dengan pengaturan racun. Banyak obat mata adalah
racun.
- Wadah non gelas tidak bereaksi dengan obat-obat atau partikel lain yang
menjadi isi larutan.
Larutan mata disiapkan secara terus-menerus dikemas dalam wadah tetes
(droptainers) polietilen atau dalam botol tetes gelas. Untuk
mempertahankan sterilitas larutan, wadah harus steril. Wadah polietilen
disterilkan dengan etilen oksida, sementara penetes gelas dapat dengan
dibungkus dan diotoklaf. Secara komersial disiapkan unit dosis tunggal
dengan volume 0,3 ml atau kurang dikemas dalam tube polietilen steril dan
disegel dengan pemanasan.
Saat ini wadah untuk larutan mata yang berupa gelas telah digantikan
oleh wadah plastik feksibel terbuat dari polietilen atau polipropilen dengan
built-in dropper.
Keuntungan wadah plastik :
- Murah, ringan, relatif tidak mudah pecah
- Mudah digunakan dan lebih tahan kontaminasi karena menggunakan
built-in dropper.
- Wadah polietilen tidak tahan autoklaf sehingga disterilkan dengan
iradiasi atau etilen oksida sebelum dimasukkan produk secara aseptik.

Kekurangan wadah plastik :


- Dapat menyerap pengawet dan mungkin permeabel terhadap senyawa
volatil, uap air dan oksigen.
- Jika disimpan dalam waktu lama, dapat terjadi hilangnya pengawet,
produk menjadi kering (terutama wadah dosis tunggal) dan produk
teroksidasi.

Farmakope Eropa dan BP mensyaratkan wadah untuk tetes mata terbuat


dari bahan yang tidak menguraikan/merusak sediaan akibat difusi obat ke
dalam bahan wadah atau karena wadah melepaskan zat asing ke dalam
sediaan.
- Wadah terbuat dari bahan gelas atau bahan lain yang cocok.
- Wadah sediaan dosis tunggal harus mampu menjaga sterilitas sediaan
dan aplikator sampai waktu penggunaan.
- Wadah untuk tetes mata dosis ganda harus dilengkapi dengan penetes
langsung atau dengan penetes dengan penutup berulir yang steril yang
dilengkapi pipet karet/plastik
b. Penyimpanan
- Tetes mata disimpan dalam wadah “tamper-evident”. Kompatibilitas
dari komponen plastik atau karet harus dicek sebelum digunakan.
- Wadah untuk tetes mata dosis ganda dilengkapi dengan dropper yang
bersatu dengan wadah. Atau dengan suatu tutup yang dibuat dan
disterilisasi secara terpisah.

2.1.7. Persyaratan Label Sediaan Obat Tetes Mata


Farmakope Eropa dan BP mengkhususkan persyaratan berikut pada
pelabelan sediaan tetes mata :
- Label harus mencantumkan nama dan konsentrasi pengawet antimikroba
atau senyawa lain yang ditambahkan dalam pembuatan. Untuk wadah dosis
ganda harus mencantumkan batas waktu sediaan tersebut tidak boleh
digunakan lagi terhitung mulai wadah pertama kali dibuka (waktu yang
menyatakan sediaan masih dapat digunakan setelah wadah dibuka).
- Kecuali dinyatakan lain lama waktunya tidak boleh lebih dari 4 minggu.
- Wadah dosis tunggal karena ukurannya kecil tidak dapat memuat indikasi
dan konsentrasi bahan aktif.
- Label harus mencantumkan nama dan konsentrasi zat aktif, kadaluarsa dan
kondisi penyimpanan.
- Untuk wadah dosis tunggal, karena ukurannya kecil hanya memuat satu
indikasi bahan aktif dan kekuatan/potensi sediaan dengan menggunakan
kode yang dianjurkan, bersama dengan persentasenya. Jika digunakan kode
pada wadah, maka pada kemasan juga harus diberi kode.
Untuk wadah sediaan dosis ganda, label harus menyatakan perlakuan yang
harus dilakukan untuk menghindari kontaminasi isi selama penggunaan.
2.1.8. Faktor Penting Sediaan Obat Tetes Mata
Faktor yang paling penting dipertimbangkan ketika menyiapkan larutan
mata adalah tonisitas, pH, stabilitas, viskositas, seleksi pengawet dan
sterilisasi. Sayang sekali, yang paling penting dari itu dalah sterilitas yang
telah menerima sifat/perhatian dan farmasis dan ahli mata. Beberapa faktor
penting dalam obat tetes mata :
a. Sterilitas sediaan dan adanya bahan pengawet untuk mencegah kontaminasi
mikroorganisme pada waktu wadah dibuka untuk digunakan.
b. Jika tidak mungkin dibuat isotonis dan isohidris maka larutan dibuat
hipertonis
c. Adanya air mata yang dapat mempersingkat waktu kontak antara zat aktif
dengan mata (perlu penambahan bahan pengental).
d. pH optimum (pH zat aktif) lebih diutamakan untuk menjamin stabilitas
sediaan.
e. Dapar yang ditambahkan mempunyai kapasitas dapar yang rendah
(membantu pelepasan obat dari sediaan), tetapi masih efektif menunjang
stabilitas zat aktif dalam sediaan.
f. Konsentrasi zat aktif berpengaruh pada penetrasi zat aktif yang mengikuti
mekanisme absorpsi dengan cara difusi pasif.
g. Peningkat viskositas dimaksudkan untuk meningkatkan waktu kontak
sediaan dengan kornea mata.
h. Beberapa larutan obat mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya
serap dan menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk
menghasilkan efek obat yang cepat dan efektif. Apabila larutan obat seperti
ini digunakan dalam jumlah kecil, pengenceran dengan air mata cepat
terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara.
i. Pembuatan obat mata dengan sistem dapar mendekati pH fisiologis dapat
dilakukan dengan mencampurkan secara aseptik: larutan obat steril dengan
larutan dapar steril. Walaupun demikian, perlu diperhatikan mengenai
kemungkinan berkurangnya kestabilan obat pada pH yang lebih tinggi,
pencapaian dan pemeliharaan sterilitas selam proses pembuatan. Berbagai
obat, bila didapar pada pH yang dapat digunakan secara terapeutik, tidak
akan stabil dalam larutan untuk jangka waktu yang lama. Sediaan ini
dibeku-keringkan dan direkonstitusikan segera sebelum digunakan
(misalnya asetilkolin klorida untuk larutan obat mata).

2.1.9. Pemilihan Bentuk Zat Sediaan Obat Tetes Mata


Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk sediaan mata bersifat larut
air atau dipilih bentuk garamnya yang larut air. Sifat-sifat fisikokimia yang
harus diperhatikan dalam memilih garam untuk formulasi larutan optalmik
yaitu :
1. Kelarutan
2. Stabilitas
3. pH stabilitas dan kapasitas dapar
4. Kompatibilitas dengan bahan lain dalam formula

Sebagian besar zat aktif untuk sediaan optalmik adalah basa lemah. Bentuk
garam yang biasa digunakan adalah garam hidroklorida, sulfat, dan nitrat.
Sedangkan untuk zat aktif yang berupa sam lemah, biasanya digunakan garam
natrium.

2.2. Macam-Macam Penyakit Mata


1. Ablasio
Penyakit ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel
pigmen retina (RIDE). Sebagian besar ablasio retina terjadi akibat adanya satu
atau lebih robekan-robekan atau lubang-lubang di retina, dikenal sebagai ablasio
retina regmatogen (Rhegmatogenous Retinal Detachment) yang menyebabkan
gangguan mata. Gejala penyakit mata ablasio yang sering dikeluhkan biasanya
benda akan terlihat melayang-layang, adanya kilatan cahaya, penurunan tajam
penglihatan dan ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-
lahan dari mulai bagian bawah bola mata dan akhirnya menutup.
2. Bufthalmus
Penyakit ini tergolong penyakit mata dengan tekanan bola mata yang
meninggi sejak lahir, akibat tekanan bola mata yang meninggi, ukuran bola mata
bayi sangat besar. Keadaan ini mengganggu kornea mata. Penderita takut melihat
cahaya, timbul gangguan kelopak mata, kornea membengkak, dan warna kornea
menjadi keruh. Segera lakukan upaya untuk mengurangi bendungan cairan bola
mata yang membuat tekanan bola mata yang meninggi. Caranya mengatasi
gangguan pada mata ini yaitu melalui operasi sayatan (goniotomy) sesegera
mungkin agar perkembangan mata dan ketajaman penglihatan anak tidak sampai
terganggu.
3. Blefaritis
Blefaritis adalah suatu peradangan pada kelopak mata karena terjadinya
produksi minyak yang berlebihan, tidak diketahui persis mengapa produksi
minyak bisa menjadi berlebihan. Sayangnya kelebihan minyak ini ada di dekat
kelopak mata yang juga sering didatangi bakteri, gejala blefaritis berupa mata
merah, nyeri, panas, gatal, berair, ada luka di bagian kelopak mata dan
membengkak. Pada beberapa kasus sampai terjadi kerontokan bulu mata. Ada dua
jenis blefaritis yaitu blefaritis anterior dan blefaritis posterior, yang pertama
merupakan peradangan di kelopak mata bagian luar depan yaitu di tempat
melekatnya bulu mata. Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus. Yang kedua
adalah peradangan di kelopak mata bagian dalam, yaitu bagian kelopak mata
yang bersentuhan dengan mata. Penyebabnya adalah kelainan pada kelenjar
minyak.
4. Dakriosistitis
Penyebab dakriosistitis adalah penyumbatan yang terjadi pada duktus
nasolakrimalis yaitu saluran yang mengalirkan air mata ke hidung, faktor
alergilah yang menyebabkan terjadinya sumbatan pada saluran tersebut.
Akibatnya dari gangguan mata dakriosistitis adalah infeksi di sekitar kantung air
mata yang menimbulkan nyeri, warna merah dan bengkak, bahkan bisa sampai
mengeluarkan nanah dan penderita mengalami demam. Infeksi yang ringan
biasanya akan cepat sembuh walau tetap ada pembengkakan, sementara yang
tergolong parah dapat menyebabkan kemerahan dan penebalan di atas kantung air
mata. Jika terus berlanjut akan terbentuk kantung nanah. baca juga: gangguan
saraf mata dan pengobatannya
5. Endoftalmitis
Endoflatmitis merupakan gangguan padas mata yang berupa infeksi di lapisan
bagian dalam mata, sehingga bola mata bernanah. Gejalanya berupa mata merah,
nyeri, bahkan sampai mengalami gangguan penglihatan. Penyakit gangguan
penglihatan yang satu ini biasanya terjadi karena mata anak tertusuk sesuatu
seperti lidi atau benda tajam lainnya. Infeksi ini cukup berat, sehingga harus
segera ditangani karena bisa menimbulkan kebutaan.
6. Glaukoma
Glaukoma ditandai dengan pandangan yang mulai kabur dan berkurangnya
pandangan ke samping (lebar penglihatan berkurang). Sebelum terjadi kerusakan
pada retina dan saraf mata, maka masih ada kesempatan untuk kembali membaik.
Jika tidak ditangani dengan baik, gangguan pada mata ini dapat menyebabkan
kebutaan. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata
terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan saraf
mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak
mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
7. Gonoblenorrhoe
Gangguan mata yang satu ini adalah salah satu penyakit mata yang terjadi
pada bayi yang baru lahir karena ibunya menderita gonorrhoe. Gonorrhoe juga
dapat menyerang orang dewasa secara aut infeksi melalui tangan atau handuk.
Gejalanya gonoblenorrhoe adalah mata bayi bengkak, bernanah, dan tidak dapat
membuka. Jika tak langsung ditangani, dalam waktu 3 minggu bola mata akan
pecah dan menyebabkan buta permanen.
8. Gangguan Lensa Mata
Penyakit gangguan penglihatan lainnya adalah gangguan lensa mata. Penyakit
yang menyerang gangguan penglihatan ini ada beragam jenis, di antaranya: Miopi
(tidak dapat melihat dengan jelas objek yang berada jauh), Hiperopi (tidak dapat
melihat dengan jelas objek yang berada dalam jarak dekat), Presbiopi (kelainan
fisik pada lensa mata yang menyebabkan kesulitan melihat dalam jarak dekat),
Astigmatisma (penglihatan kabur baik dalam jarak jauh maupun dalam jarak
dekat), Amblyopia (pusat penglihatan pada salah satu mata tidak berkembang
baik), Strabismus (mata juling), Silindris (fokus benda yang dilihat terpecah
menjadi dua bayangan)
9. Iridosiklitis
Penyebab iridosiklitis berasal dari gigi yang berlubang. Pada awalnya,
penyakit gangguan penglihatan ini ditandai dengan mata merah, namun tanpa
kotoran. Oleh karena itu, banyak yang menyepelekan gangguan mata ini.
Selanjutnya, disertai juga dengan nyeri dan penglihatan agak terganggu karena
ada bintik-bintik hitam yang beterbangan. Banyak yang menganggap penyakit ini
biasa dan hanya diobati dengan obat-obat yang dijual bebas.
10. Infeksi Mata
Infeksi mata banyak jenisnya, paling sering infeksi pada selaput lendir putih
mata dan kelopak mata (conjunctivitis) atau dikenal sebagai penyakit mata merah.
Ada juga yang disebut Belekan, yaitu disebabkan oleh infeksi virus, terkadang
disertai infeksi bakteri. Penyakit mata ini membuat mata menjadi merah,
bengkak, dan nyeri serta memproduksi kotoran mata menjadi banyak. Gejala
belekan biasanya membuat bulu mata saling menempel dan sulit dibuka pada
waktu bangun tidur karena terlalu banyak kotoran yang lengket di bulu mata.
Gangguan mata yang satu ini biasa menyerang anak-anak dan sangat menular,
penyakit infeksi lainnya yaitu Bintitan yang disebabkan karena adanya infeksi
bakteri pada kelenjar di dasar bulu mata dan termasuk penyakit mata ringan.
Umumnya akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu satu minggu setelah
nanah keluar.
11. Katarak
Katarak adalah sejenis kerusakan mata atau gangguan mata yang
menyebabkan lensa mata berselaput dan rabun, lensa mata menjadi keruh dan
cahaya tidak dapat menembusinya, bervariasi sesuai tingkatannya dari sedikit
sampai keburaman total dan menghalangi jalan cahaya. Penderita gangguan mata
katarak akan mengalami pengelihatan yang buram, ketajaman pengelihatan
berkurang, sensitivitas kontras juga hilang. Ini menyebabkan kontur, warna
bayangan, dan visi kurang jelas karena cahaya tersebar oleh katarak ke mata. Tes
sensitivitas kontras harus dilakukan dan jika kekurangan sensitivitas kontras
terlihat makan dianjurkan untuk konsultasi dengan spesialis mata untuk
memeriksakan gangguan mata yang tengah dialami.

2.3. Macam-Macam Sediaan Obat Tetes Mata


Larutan obat mata berikut ini digolongkan secara efek farmakologi dan contoh
yaitu :
1. Obat mata sebagai antiinfeksi dan antiseptik
Contoh : Albucetine eye drop 5 ml, 10 ml dan 15 ml
Komposisi : - Sulfacetamid 10% - Chloramphenicol 1% - Thimerosal 0,02%
2. Obat mata mengandung corticosteroid
Contoh : Celestone eye drop 5 ml
Komposisi Betamethasone Na phosphate 0,1%
3. Obat mata sebagai antiseptik dengan corticosteroid
Contoh : Cendo Xitrol 5ml, 10 ml
Komposisi : - Dexamethasone 0,1% - Neomycine sulfat 3,5 mg/ml - Polymyxin B
sulfat 6000 IU/ml
4. Obat mata dengan aefek midriatik
Contoh : Cendo Tropine 5ml, 10 ml dan 15 ml
Komposisi : Atropine sulfat 0,5%
5. Obat tetes mata mempunyai efek miotik
Contoh : Cendo Carpine 5ml, 10ml dan 15 ml
Komposisi : Pilocarpine HCl 1%
6. Obat mata dengan efek glaukoma
Contoh : Isotic Adretor 5ml
Komposisi : Timbal maleat 0,25% dan 0,5%
7. Obat mata mempunyai efek lain
Contoh : Cataralent eye drop 15 ml
Komposisi : - CaCl2 anhidrous 0,075 g - K Iodida 0,075 g - Na thiosulfat 0,0075
g - Phenylmercuri nitrateq 0,3 mg

2.4. Data Praformulasi


2.4.1. Formula I
a. Zat Aktif
1. Pilocarpini Hydrochloridum
 Pemerian : hablur tidak berwarna, agak transparan, tidak berbau;
rasa agak pahit; higroskopis dan dipengaruhi oleh cahaya, bereaksi
asam terhadap kertas lakmus.
 Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam
etanol; sukar larut dalam kloroform; tidak larut dalam eter. Larut 1
dalam 0,3 air; 1 dalam alkohol; dan 1 dalam kloroform.
 pH larutan 5% dalam air antara 3,5 sampai 4,5
 pH larutan tetes mata 3,5-5,5
b. Eksipien
1. Natrii Chloridum (FI III, hal 86)
 Pemerian : hablur heksahedral, tidak berwarna atau serbuk hablur
putih, tidak berbau, rasa asin.
 Kelarutan : larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air
mendidih dan dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P; sukar larut
dalam etanol (95%) P.
 Khasiat : sumber ion klorida dan natrium.
2. Aqua Destilata (FI III, hal 86)
 Pemerian : cairan jernih, tidak berbau, tidak berasa.
3. Benzalkonium Klorida (Handbook of Pharmaceutical Excipients,
page 27)
 Benzalkonium klorida adalah senyawa amonium kuarterner yang
digunakan dalam formulasi farmasetikal sebagai antimikroba yang
dalam aplikasinya sama dengan surfaktan kation lain, seperti
ctrimide. Dalam sediaan obat mata, benzalkonium klorida adalah
pengawet yang sering digunakan, pada konsentrasi 0,01%-0,02%
b/v. Sering digunakan dalam kombinasi dengan pengawet atau
eksipien lain, terutama 0,1% b.v dinatriumedetat, untuk
meningkatkan aktivitas mikroba melawan Pseudomonas.
 Pemerian : serbuk amorf putih atau putih kekuningan, gel kental,
atau serpihan bergelatin. Higroskopis, bersabun dan mempunyai
bau aromatic lembut, rasa sangat pahit.
 Kelarutan : hampir tidak larut dalam eter, sangat larut dalam
aseton, etanol (95%), metanol, propanol, dan air. Larutan
benzalkonium klorida encer berbusa jika dikocok, mempunyai
tegangan permukaan rendah dan mempunyai sifat detergen dan
pengemulsi.
 Fungsi : pengawet antimikroba, antiseptik, desinfektan, bahan
pensolubilisasi, bahan pembasah.
4. Dinatrium-EDTA
 Pemerian : serbuk kristal putih, tidak berbau dengan sedikit rasa
asam.
 Keasaman/kebasaan : ph = 4,3-4,7 untuk 1% b/v larutan dalam air
bebas karbondioksida.
 Kelarutan : hampir tidak larut dalam kloroform dan eter; sedikit
larut dalam etanol (95%); larut 1 dalam 11 air.
 Dalam formulasi farmasetikal dinatrium EDTA digunakan sebagai
bahan pengkelat terutama pada konsentrasi antara 0,005-0,1% b/v.
5. PVP (Povidone)
 Pemerian : halus, putih sampai putih kekreman, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, serbuk higroskopis.
 Fungsi : bahan pensuspensi, pengikat tablet.
 Konsentrasi untuk tetes mata : 2 – 10%.
 Keasaman/kebasaan : pH = 3 – 7 untuk 5% b/v larutan berair.
 Kelarutan : larut dalam asam, kloroform, etanol, keton, metanol
dan air; hampir tidak larut dalam eter, hidrokarbon dan minyak
mineral.
6. Aqua Pro Injeksi
 Pemerian : cairan jernih, tak berwarna, tidak berbau
 Kelaruta : dapat bercampur dengan pelarut polar dan elektrolit
 pH 8,5 – 9,5
 Khasiat : zat pembawa sediaan

2.4.2. Formula II
a. Zat Aktif
1. Neomicin Sulfat
 Pemerian : Serbuk atau padatan kering mirip es, putih sampai agak
kuning, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa amat pahit.
 Kelarutan : Mudah larut dalam air, sangat sukar larut dalam etanol,
tidak larut dalam aseton, kloroform dan dalam eter.
 pH : antara 5,0 – 7,5
b. Eksipien
1. Benzalkonium Klorida
 Pemerian : gel kental atau potongan seperti gelatin, putih atau
putih kekuningan, biasanya berbau aromatik lemah, larutan dalam
air berasa pahit, jika dikocok sangat berbusa dan biasanya sedikit
alkali.
 Kelarutan : sangat mudah larut dalam air dan etanol 95%, bentuk
anhidrat mudah larut dalam benzen dan agak sukar larut dalam
eter.
 pH : 5-8 untuk 10%w/v larutan
 Kegunaan : pengawet, antimikroba
2. Na EDTA
 Pemerian : serbuk kristal putih tidak berbau dengan sedikit rasa
asam.
 Kelarutan : larut dalam air (1:11), Praktis tidak larut dalam
kloroform dan eter, larut dalam etanol (95%).
 pH : 4,3-4,7 dalam larutan 1% air bebas CO2
 Kegunaan : untuk mencegah kontaminasi dengan logam
3. Natrium Metabisulfit
 Pemerian : hablur putih atau serbuk hablur putih kekuningan,
berbentuk kristal prisma atau serbuk kristal berwarna putih hingga
putih kecoklatan yang berbau sulfur dioksida dan asam.
 Kelarutan : agak mudah larut dalam etanol, mudah larut dalam
gliserin, dan sangat mudah larut dalam air

4. Natrii Chloridum (NaCl)


 Pemerian : hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, rasa asin.
 Kelarutan : mudah larut dalam air; sedikit lebih mudah larut dalam
air mendidih; larut dalam gliserin; sukar larut dalam etanol.

2.4.3. Formula III


a. Zat Aktif
1. Kloramfenikol
 Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng
memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan;
tidak berbau; rasa sangat pahit.
 Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam
propilenglikol, dalam aseton dan dalam etil asetat.
 pH : antara 4,5 dan 7,5
 pH sediaan : Antara 7,0 dan 7,5; kecuali obat tetes mata tanpa
larutan dapar atau digunakan untuk hewan antara 3,0 dan 6,0
 Kestabilan : Terurai oleh cahaya
b. Eksipien
1. Acidum Boricum
 Pemerian : hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak
berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak asam dan pahit kemudian
manis.
 Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air
mendidih, dalam 16 bagian etanol (95%) dan dalam 5 bagian
gliserol.
 pH : 3,5 – 4,1 (5% b/v larutan cairan)
 Khasiat : Pengawet antimikroba
2. Natrii Tetraboras
 Pemerian : serbuk hablur transparan tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, tidak berbau, rasa asin dan basa. Dalam udara kering
merapuh
 Kelarutan : larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air
mendidih dan dalam lebih kurang 1 bagian gliserol, praktis tidak
larut dalam etanol 95%
 pH : 9,0 – 9,6 (4% w/v aqueous solution)
 Khasiat : pengawet antimikroba, agen penstabil
3. Phenylhydrargyri Nitras
 Kelarutan : sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol
dan dalam gliseri, lebih mudah larut dalam dengan adanya asam
nitrat atau alkali hidroksida.

2.5. Cara Pembuatan Obat Yang Baik Dan Benar (CPOB)


Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat
dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan
tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian
mutu.
a. Manajemen Mutu
Unsur dasar manajemen mutu adalah:
- Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi,
prosedur, proses dan sumber daya.
- Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang
dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.
Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan ketersediaan
personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan
memadai. Tambahan tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).
Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi pembuatan obat hendaklah
memastikan bahwa:
- Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memerhatikan
persyaratan CPOB;
- Semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan CPOB
diterapkan;
- Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan;
- Pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pemasokan dan penggunaan bahan
awal dan pengemas yang benar;
- Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses
lain serta dilakukan validasi;
- Pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan dan
pengujian tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan
untuk distribusi produk jadi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang
relevan termasuk kondisi produksi, hasil pengujian selama-proses, pengkajian
dokumen pembuatan (termasuk pengemasan), pengkajian penyimpangan dari
prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan dari Spesifikasi
Produk Jadi dan pemeriksaan produk dalam kemasan akhir;
- Obat tidak dijual atau didistribusikan sebelum kepala Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan
dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan
peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan
pelulusan produk;
- Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat
mungkin, produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani
sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa simpan obat;
- Tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala
mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu;
- Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk
memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan;
- Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat;
- Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu
produk;
- Prosedur pengolahan ulang produk dievaluasi dan disetujui; dan
- Evaluasi berkala mutu obat dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses dan
memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan
b. Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh
sebab itu industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang
terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas.
Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat.
Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan
awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaannya.

c. Bangunan dan Fasilitas


Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain,
konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat
dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan
desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi
kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan
pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat
menurunkan mutu obat.
Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindarkan
pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, seperti pencemaran dari udara, tanah
dan air serta dari kegiatan industri lain yang berdekatan. Apabila letak bangunan
tidak sesuai, hendaklah diambil tindakan pencegahan yang efektif terhadap
pencemaran tersebut.
Bangunan dan fasilitas hendaklah didesain, dikonstruksi, dilengkapi dan dirawat
sedemikian agar memperoleh perlindungan maksimal terhadap pengaruh cuaca, banjir,
rembesan dari tanah serta masuk dan bersarang serangga, burung, binatang pengerat,
kutu atau hewan lain. Hendaklah tersedia prosedur untuk pengendalian binatang pengerat
dan hama.
Ada 4 area dalam produksi:
a) Area penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah
dirawat dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau
secara teratur dan diperbaiki di mana perlu. Perbaikan serta perawatan
bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut
tidak memengaruhi mutu obat.
b) Area penimbangan. Penimbangan bahan awal dan perkiraan hasil nyata produk
dengan cara penimbangan hendaklah dilakukan di area penimbangan terpisah
yang didesain khusus untuk kegiatan tersebut. Area ini dapat menjadi bagian
dari area penyimpanan atau area produksi.
c) Area produksi. Untuk memperkecil risiko bahaya medis yang serius akibat
terjadi pencemaran silang, suatu sarana khusus dan self-contained harus
disediakan untuk produksi obat tertentu seperti produk yang dapat
menimbulkan sensitisasi tinggi (misal golongan penisilin) atau preparat
biologis (misal mikroorganisme hidup). Produk lain seperti antibiotika
tertentu, hormon tertentu (misal hormon seks), sitotoksika tertentu, produk
mengandung bahan aktif tertentu berpotensi tinggi, dan produk nonobat
hendaklah diproduksi di bangunan terpisah. Dalam kasus pengecualian, bagi
produk tersebut di atas, prinsip memproduksi bets produk secara ‘campaign’ di
dalam fasilitas yang sama dapat dibenarkan asal telah mengambil tindakan
pencegahan yang spesifik dan validasi yang diperlukan telah dilakukan.
d) Area pengawasan mutu. Laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah
dari area produksi. Area pengujian biologi, mikrobiologi dan radioisotop
hendaklah dipisahkan satu dengan yang lain.

d. Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi
yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan
tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan
untuk memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah
kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya
berdampak buruk pada mutu produk.

e. Sanitasi dan Hygiene


Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil,
bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, bahan
pembersih dan desinfeksi, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber
pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan
melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu.

f. Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar.

g. Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat
yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan
keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai
kepada distribusi produk jadi.
Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta
termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan
bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan
untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah
dibuktikan memenuhi persyaratan.

h. Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok


Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan
dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang
diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh
petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan
CPOB secara obyektif.
1. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada situasi
khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan
yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur
dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak
lanjut yang efektif.
2. Penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis.
Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu
sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau
diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.
Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap
personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga
memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul
karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi
Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan
catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan
dokumen adalah sangat penting.
4. Pembuatan dan analisa berdasarkan kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan Penerima Kontrak harus dibuat
secara jelas yang menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets
produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).
5. Kualifikasi dan validasi
Menguraikan prinsip kualifikasi dan validasi yang dilakukan di industri
farmasi. CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi
yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari
kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan
proses yang dapat memengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi.
Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan
ruang lingkup dan cakupan validasi.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Formulasi
3.1.1. Formula I
Kompone Karakteristik Komponen
Bahan Jumlah
n Sediaan Terakhir
Sangat mudah Tiap 10 ml mengandung
Bahan Pilokarpin larut dalam R/¿ Pilokarpin hidroklorida 2%
2%
Aktif hidroklorida air. Larut 1 Benzalkonium klorida 0,01%
dalam 0,3 air Dinatrium EDTA 0,02%
Benzalkoniu Sangat larut PVP 2%
0,01%
m Klorida dalam air WFI ad 10 ml
Dinatrium Larut 1 dalam
0,02%
Bahan EDTA 11 air
Tambahan Larut dalam
PVP 2%
air
HCL / NaOH Adjust pH
qs
0,1 N
Aqua pro Ad Cairan Jernih
Pelarut
injeksi 10 ml
PERMASALAHAN PENYELESAIAN
1. Bahan aktif pilokarpin HCl mudah 1. Maka dibuat sediaan OTM dalam bentuk larutan.
larut dalam air.
2. Pilokarpin tidak digunakan sediaan 2. Digunakan bentuk garamnya yaitu pilokarpin HCl.
tetes mata. 3. Maka volume terpindahkan pada masing-masing
3. Sediaan memiliki volume 10 ml dan wadah adalah 10,7 ml.
merupakan cairan. 4. Ditambahkan pengawer benzalkonium klorida.
4. Sediaan OTM dibuat multiple dose.
5. Agar efektifitas bahan pengawet 5. Ditambahkan Natrium EDTA
dapat stabil dan bahan pengawet
mudah teroksidasi.
6. Bahan aktif tahan terhadap 6. Sediaan disterilisasi akhir dengan autoklaf 121oC,
permanasan. 15 menit, 15 psi.
7. Untuk memperpanjang waktu 7. Ditambahkan PVP sebagai peningkat viskositas.
kontak antara sediaan dengan kornea.
8. Untuk mempertahankan nilai pH 8. Digunakan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N sebagai
sesuai yang diinginkan. adjust pH
9. Rentang Ph cukup luas (3,5 – 5.5) 9. Tidak perlu penambahan dapar.
10. Bahan aktif tidak tahan cahaya. 10. Digunakan wadah OTM tidak tembus cahaya.
PERHITUNGAN TONISITAS
Sediaan dibuat @10ml/ vial
Sediaan tiap vial dilebihkan 0,7 ml : 10,7 ml
Total sediaan dilebihkan 10% : 3 x 10,7 ml : 32,1 ml
: ( 10% x 32,1 ml) + 32,1 ml
: 35,31 ml ~50 ml
Kadar pilokarpin HCL for optalmik : 90,0 % - 110%
BM pilokarpin HCL
Plokarpin HCL : x 1,5 %
BM pilokarpin
244,72 1,763
x 1,5 % :1,763 % ~ x 50 ml :0,8815 g
208,26 100
Zat aktif dilebihkan 10% : (10% x 0,8815 g) + 0,8815 g
: 0,9696 g
Tonisitas
 Pilokarpin HCL :ExC
: 0,23 x 2%
: 0,46%
 Benzalkonium klorida: E x C
: 0.16 x 0,01%
: 0,0016%
 Na EDTA :ExC
: 0,24 x 0,02%
: 0,0048%
 PVP :ExC
: 0,01 x 2%
: 0,02%
Tonisitas total : 0,4724% ( hipotonis)
Nacl yang dibutuhkan : 0,9% - 0,4724%
: 0,4275%
Kesetaraan terhaap dekstrose : 1% dekstrose = 0,16% NaCl
1%
Dekstrose : x 0,4275 % :2,672 %
0,16 %

PENIMBANGAN
 Penimbangan dibuat sebanyak 50 ml berdasarkan pertimbangan penambahan 0,7 ml dan
sediaan total dilebihkan 10% untuk Memenuhi syarat penetapan volume wadah sediaan
OTM, viskositas tinggi dan mencegah kehilangan bobot selama proses produksi.
No Nama bahan Jumlah yang ditimbang
1 Pilokarpin HCLPROSEDUR PEMBUATAN
0,9696 g :
A. Grey Area
2 (Ruang Sterilisasi)
Benzalkonium 0,01% x 50 ml = 0,005 g
1. Kalibrasi beaker glas utama 50 ml
kloride
3 Na EDTA 0,02% x 50 ml = 0,01 g
4 PVP 2% x 50 ml = 1 g
5 WFI 50 ml – ( 0,969 + 0,005 + 0,01 + 1) =
48,16 ml
2. Alat alat yang bermulut seperti corong, beaker glass, glaas ukur, Erlenmeyer ditutup
dengan kertas pekamen
3. Sterilisasi dengan autoklaf, 121°c 15 PSI, 15 menit seperti corong, buret, beaker glass,
kaca arlogi, batang pengaduk, spatel, Erlenmeyer, membrane filter, pipet, WFI.
4. Sterilisasi dengan oven, 170° c, 1 jam seperti gelas ukur
5. Desinfeksi menggunakan alkhol 70% selama 1 hari seperti wadah otm, tutup wadah
otm, karet pipet.
6. Lakukan sterilisasi, setelah steril simpan di tranfer box ke white area

B. Grey Area (Penimbangan)


Bahan diambil menggunakan kaca arlogi steril kemudian ditutup dengan alumunium foil.
1. Pilokarpin HCL : 0,9696 g
2. Benzalkonium kloride : 0,005 g
3. Na EDTA : 0,01 g
4. PVP : 1 g
5. WFI : 48,16 ml
Bahan yang telah ditimbang, dimasukan ke transfer box di pindahkan ke white area

C. White Area (Pencampuarn)


1. Kembangkan bahan peningkat viskositas yaitu PVP dengan melarutkan PVP sebanyak
1 g menggunakan 10 ml WFI dalam beaker glass utama
2. Pilokarpin HCL dilarutkan dalam beaker glass 50 ml dengan 10 ml WFI. Bilas 2 ml
sebanyak 2x. Masukan kedalam beaker glass utama.
3. Benzalkonium kloride dilarutkan dalam kacaarloji denga 1 ml WFI. Bilas 2 ml
sebanyak 2x. Masukan kedalam beaker glass utama.
4. Na EDTA dilarutkan dalam beaker glass 50 ml denga 2 ml WFI. Bilas 2 ml sebanyak
2x. Masukan kedalam beaker glass utama.
5. Masukan WFI hingga 80% sediaan, kemudian cek pH
6. Jika pH tidak memenuhi keinginan, lakukan adjust pH menggunakan HCL / NaOH 0,1
N
7. Larutan disaring menggunakan membrane filter 0,22 nm kemudian dilanjutkan dengan
0,45 nm di masukan kedalam Erlenmeyer
8. Larutan dalam Erlenmeyer ditutup dengan penutup Erlenmeyer
9. Lakukan sterilisasi sediaan dengan autoklaf 121°c , 15 menit, 15 PSI. di transfer ke
ruang sterilisasi menggunakan transfer box
10. Setelah selesai sterilisasi, sediaan dibawa ke ruang pengisian di bawah LAF melalui
transfer box

D. White Area (Ruang Pengisian ) Grade A Background B


1. Siapkan buret steril, kemudian bila dengan sediaan 3 ml sebanyak 3 x
2. Masukan sediaan kdalam buret steril, kemudian bagian atas ditutp dengan kertas
perkamen dan bagian bawah dibersihkan dengan alkohol menggunakan tissue
3. Masukan larutan 10,7 ml kedalam wadah OTM steril
4. Tutup wadah OTM dengan penutup wadah OTM
5. Sedian yang telah dimasukan kedalam wadah di tanfer ke ruang evaluasi menggunakan
transfer box

E. Grey Area (Ruang Evaluasi)


1. Lakkan evaluasi pada sediaan
2. Beri brosur, etiket kemudian masukan kedalam wadah sekunder
METODE PEMBUATAN
 Metode aseptik
 Sterilisasi uap (menggunakan autoklaf)
HASIL EVALUASI SEDIAAN (Cara Evaluasi lihat di Bab 2.1.5)
 Organoleptik = Warna bening tidak berbau
 Uji kejernihan = Larutan tidak jernih bila dibandingkan dengan larutan aquadest
 Penetapan pH = pH = 4,12
 Uji kebocoran = Tidak ada kebocoran
 Uji bahan partikulat = Terdapat partikel. Terdapat bahan partikulat

3.1.2. Formula II
Kompone Karakteristik Komponen
Bahan Jumlah
n Sediaan Akhir
Bahan Neomicin Mudah larut Tiap 10 ml mengandung
0,5%
Aktif sulfat dalam air
R/Neomisin sulfat 0,5%
Benzalkoniu Sangat mudah
0,01%
m Klorida larut dalam air Benzalkonium klorida 0,01%
Larut dalam Natrium EDTA 0,1%
Na EDTA 0,1%
air (1:11)
Natrium Sangat mudah Natrium Metabisulfit 0,1 %
Bahan 0,1%
metabisulfit larut dalam air NaCl 0,7384%
Tambahan
Mudah larut
dalam API ad 10ml
Natrii
0,7384% air.Larut
Chloridum
dalam 2,8
bagian air
Aqua pro Cairan Jernih
Pelarut Ad 10 ml
injection
PENYELESAIAN
PERMASALAHAN
1. Ditambahkan bahan pengawet yang biasa
1. Sediaan tetes mata harus bebas dari
digunakan dalam sediaan tetes mata steril
bakteri.
neomicin sulfat.
2. Sediaan tetes mata tidak boleh
2. Ditambahkan Na EDTA untuk mencegah
mengandung kontaminasi logam yang
kontaminasi.
berasal dari alat-alat.
3. Ditambahkan natrium metabisulfit sebagai
3. Neomicin Sulfat merupakan bahan
bahan antioksidan.
yang mudah teroksidasi.
4. Perlu dibuat isotonis agar nyaman digunakan
4. Sediaan digunakan secara topikal
dengan penambagan NaCl dan perhitungan
untuk mata.
tonisitas
PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN

V = (n x c) + 6
= (2 x 10,5) + 6
= 27 ≈ 30 ml

TONISITAS
E neomycin sulfate = 0,14
E Benzalkonium Klorida = 0,16
E Natrium Edetat = 0,23
E Na metabisulfit = 0,67

V = W x E x 111,1
= [(0,05 x 0,14) + ( 0,001 x 0,16) + (0,01 x 0,23) + (0,01 x 0,67) x 111,1
= 0,01616 X 111,1
= 1,7954 ml
% tonisitas = 1,7954/10 ml x 0,9 % = 0,1616 % ( hipotonis )
% NaCl = 0,9 % - 0,1616 % = 0,7384 %
NaCl = 0,07384 g

Rumus lain Tonisitas


% Tonisitas = [( 0,5 x 0,14) + (0,01 x 0,16 ) + ( 0,1 x 0,23 ) + ( 0,1 x 0,67 )]
= 0,07 + 0,0016 + 0,023 + 0,067
= 0,1616 ( Hipotonis )
% NaCl = 0,9 % - 0,1616 %
= 0,7384 %
NaCl = 0,07384 gr

PENIMBANGAN BAHAN
- Neomycin sulfat = 0,05 g x 30 ml = 1,5 gram
- Benzalkonium Klorida = 0,001 g x 30 ml = 0,03 gram
- Natrium Edetat = 0,01 g x 30 ml = 0,3 gram
- Na metabisulfit = 0,01 g x 30 ml = 0,3 gram
- NaCl ad isotonis = 0,07384 g x 30 ml = 2,2152 gram
- Aqua pro injeksi ad 30 ml
PROSEDUR PEMBUATAN
1. Menyiapkan alat dan bahan yang hendak digunakan
2. Menyiapkan Aqua Pro Injeksi bebas O2 (Catatan : Dilakukan pada White Area)
3. Melakukan Sterilisasi aseptis dimana alat-alat yang akan digunakan disterilkan
didalam autoklaf dan oven selama 30 menit.
Catatan: Sebelum dimasukkan ke dalam autoklaf atau oven, terlebih dahulu alat-
alat tersebut dibungkus dengan kertas perkamen.
4. Menimbang masing-masing bahan dengan neraca timbangan dengan tepat sesuai
jumlah yang diperlukan, kemudian menampungnya dengan kaca arloji yang
sebelumnya telah disterilkan secara aseptis.
5. Melarutkan bahan aktif dan zat tambahan, yaitu neomycin sulfate, Natrium
Edetat, dan Na metabisulfit dengan Aqua pro injeksi scukupnya sampai larut.
6. Setelah larut homogen, tambahkan NaCl dan pengawet Benzalkonium Klorida
kemudian mengecek pH-nya.
7. Menyaring larutan tersebut dengan kertas saring yang telah dijenuhkan dengan
Aqua pro injeksi sebelumnya dan kemudian menampungnya dalam gelas ukur.
8. Menambahkan Aqua pro injeksi sampai volume tercapai 30 ml
9. Memipet 10 ml larutan kemudian memasukannya ke dalam botol berpipet yang khusus
digunakan untuk sediaan tetes mata.
10. Memberi etiket
METODE PEMBUATAN
 Metode aseptik
 Sterilisasi uap (menggunakan autoklaf)
 Sterilisasi panas kering (menggunakan oven)
HASIL EVALUASI SEDIAAN (Cara Evaluasi lihat di Bab 2.1.5)
 Berwarna bening, jernih
 Dilihat dengan kasat mata tidak ada partikel yang melayang
 pH yang dihasilkan 7
 Tidak ada kebocoran

3.1.3. Formula III


Kompone Karakteristik Komponen
Bahan Jumlah
n Sediaan Akhir
Bahan Sukar larut Tiap 10 ml mengandung
Kloramfenikol 50 mg
Aktif dalam air R/ Kloramfenikol 50 mg
Bahan Acidum Larut dalam Acidum Boricum 150 mg
150 mg
Tambahan Boricum 20 bagian air Natrii tetraboras 30 mg
Natrii 30 mg Larut dalam API ad 10 ml
tetraboras 20 bagian air
Aqua pro Ad Cairan jernih
Pelarut
injeksi 10 ml
PERMASALAHAN PENYELESAIAN
1. Perlu dilarutkan dalam pelarut netral atau agak
1. Bahan aktif tidak larut dalam air. asam jadi dilarutkan dalam natrii tetraboras dan
dikombinasikan dengan asam borak karena
merupakan larutan asam yang tidak terlalu kuat.
Asam borak ditambahkan untuk meningkatkan
efektifitas natrii tetraboras.
Harus isohidris digunakan dapar Ph 7 Natrii
tetraboras. Selain itu Natrii tetraboras juga berfungsi
sebagai buffering agent.
2. Ditambahkan bahan pengawet Phenylhydragyri
2. Air mudah ditumbuhi jamur. nitras.
PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN

TONISITAS
1. Kloramfenikol
Liso x berat x 1000
∆ Tf =
BM x V
50
1,86 x x 1000
1000
¿
323,13 x 10
¿ 0,02878 0,03

2. Acidum Boricum 1,5%


∆ Tf asam borat 1 %=0,28
1,5 %
∆ Tf asam borat 1,5 %= x 0,28=0,42
1%

3. Natrii Boras 0,3%


∆ Tf natrii borat 1 %=0,24
0,3 %
∆ Tf natrii borat 0,3 %= x 0,24 = 0,07
1%
B = 0,52 – (0,03 + 0,42 + 0,07)
= 0 (Isotonis)

PENIMBANGAN
Volume yang dibuat = (n x v) + 6
= (2 x 10,5 ml) + 6
= 27 ml ~ 35 ml
Volume yang dibuat untuk total sediaan tetes mata adalah 20 ml, untuk volumenya dilebihkan
menjadi 35 ml.
Jadi bahan yang ditimbang :
1. Kloramfenikol = 0,5% x 35 ml = 0,175 gram
2. Acidum Boricum = 0,15% x 35 ml = 0,0525 gram
3. Natrii tetraboras = 0,3% x 35 ml = 0,105 gram
4. API ad 30 ml
PROSEDUR PEMBUATAN
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Disiapkan API bebas O2
3. Ditimbang masing-masing bahan yang akan digunakan pada neraca timbangan dengan
kaca arloji yang sebelumnya telah disterilkan secara aseptis
4. Dikalibrasi beaker glass dan botol tetes mata yang akan digunakan 10 ml
5. Dilarutkan masing-masing bahan dalam API
6. Larutkan asam borat dan natrii borat pada masing-masing beaker. Kemudian dicampur
untuk digunakan dalam melarutkan kloramfenikol sedikit demi sedikit dimasukkan ke
larutan tersebut. Kemudian dimasukka sisa API. Lakukan pengecekan pH (pH yang
diinginkan yaitu 7)
7. Melapisi corong dengan kertas saring dan dibasahi dengan API kemudian dipindahkan
corong ke beaker glass yang sudah dikalibrasi. Kemudia disaring larutan ke dalam
erlenmeyer
8. Sisa 2/5 bagian API digunakan untuk membilas kemudian disaring lagi ke dalam
beaker glass yang berisi filtrat
9. Ditambahkan API sampai batas kalibrasi
10. Diambil sebanyak 10 ml untuk tiap wadah dan mengisikan larutan ke dalam wadah,
ditutup dengan penutupnya
11. Lakukan sterilisasi akhir
12. Diberi etiket dan dilakukan evaluasi
METODE PEMBUATAN
 Metode aseptik
HASIL EVALUASI SEDIAAN (Cara Evaluasi lihat di Bab 2.1.5)
 Uji kejernihan : jernih
 Uji keseragaman volume : seragam
 Uji pH : pH 7
 Uji sterilitas : dispensasi

3.2. Design Kemasan


1. Primer
Zat aktif tidak stabil terhadap cahaya sehingga dipakai kemasan primer yang
tidak tembus cahaya 10 ml.

2. Sekunder
Kotak dari dus.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.1.1. Formula I
 Formulasi yang tepat untuk sediaan steril infus adalah sebagai berikut.

No Bahan Jumlah yang Fungsi / alas an


ditimbang
1 Pilokarpin HCL 0,9696 g Zat aktif
2 Benzalkonium 0,005 g Pengawet
kloride
3 Na EDTA 0,01 g Peningkat aktivitas antimikroba
4 PVP 1g Peningkat viskositas
6 WFI 48,16 ml Pembawa, pelarut

 Sediaan di sterilisasi menggunakan autoklaf 121°c selama 15 menit, 15 Psi.


sediaan dinyatakan tidak memenuhi syarat uji evaluasi walaupun pada iji
pH, volume terpindahkan dan uji kebocoran memenuhi syarat.

4.1.2. Formula II
 Sediaan tetes mata Neomisin sulfat yang dibuat memiliki indikasi sebagai
terapi topikal untuk mengobati infeksi bakteri pada konjungtivitis dan otitis
media.
 Formulasi yang dibuat mengandung bahan aktif Neomisin sulfat 0,5%;
Benzalkonium klorida 0,01%; Natrium EDTA 0,1%; Natrium
Metabisulfit 0,1 %; NaCl 0,7384%; dan Aqua pro injection ditambahkan
sampai volume sediaan 10 mL.
 Uji evaluasi yang dilakukan untuk sediaan ini ada empat yaitu uji
kejernihan, uji kebocoran, uji pH dan uji sterilitas.
 Cara sterilisasi alat dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemanasan
cara basah dengan menggunakan autoklaf dan metode pemanasan cara
kering dengan menggunakan oven.

4.1.3. Formula III


 Formulasi yang dibuat mengandung bahan aktif kloramfenikol 50 mg,
acidum boricum 150 mg, natrii tetraboras 30 mg dan API 10 ml.
 Evaluasi sediaan yaitu ph sediaan akhir yaitu 7 dan jernih.
 Menggunakan metode aseptik

DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia edisi V,


Jakarta: Departemen Kesehatan.
 Rowe, Raymond C. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th ed. London:
Pharmaceutical Press.
 Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
 Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
 Depkes RI. 1978. Formularium Nasional. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai