Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

OBAT-OBATAN YANG BERPENGARUH


PADA MATA

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/ KSM Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi

Disusun Oleh :

Linda Sekar Arum 132011101061


Sanggam Atmajaya Nugraha 121110101051

Pembimbing:

dr. Bagas Kumoro, Sp. M


dr. Iwan Dewanto, Sp.M
dr. Erwanda Fredy, Sp. M

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


LAB/KSM ILMU KESEHATAN MATA
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... . iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tingkatan Keratopati Akibat Amiodarone ............................. 12


Gambar 2.2 Keratopati Akibat Amiodarone .............................................. 13
Gambar 2.3 Katarak Induced Steroid ........................................................ 16
Gambar 2.4 Gambaran Fundus Fluoresein Angiogram Pasien Retinopati
Kloroquine ........................................................................... 17
Gambar 2.5 Color Photo pada Pasien dengan Tamoxifen Toxicity ......... 18

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Efek Obat-Obatan terhadap Konjungtiva dan Kelopak Mata .... 11
Tabel 2.2 Jenis Obat-Obatan dan Efeknya terhadap Kornea .................... 13
Tabel 2.3 Efek Obat pada Lensa .............................................................. 14
Tabel 2.4 Efek Obat-Obatan terhadap Episklera, Sklera dan Uvea .......... 15
Tabel 2.5 Efek Obat-Obatan terhadap Pupil ............................................ 15
Tabel 2.8 Rangkuman Efek Obat pada Mata .......................................... 19

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat dengan judul “Obat-Obatan yang
Berpengaruh pada Mata“ yang disusun dalam tiga minggu ini. Referat yang telah
kami susun ini diharapkan mampu membantu para pembacanya untuk lebih
mengerti mengenai pengaruh obat-obatan pada mata dan dapat
mengaplikasikannya dalam melayani pasien.
Referat dengan judul “Obat-Obatan yang Berpengaruh pada Mata“ ini
kami awali dengan penjelasan mengenai anatomi dan fisiologi. Selain itu kami
sertakan bagaimana proses obat-obatan dapat mempengaruhi mata.
Referat ini kami susun berdasarkan sumber-sumber seperti buku-buku
maupun jurnal-jurnal dari internet. Sumber-sumber untuk menyusun referat ini,
meskipun terbatas jumlahnya dan memiliki banyak kekurangan dalam
penyusunannya namun kami harapkan mampu menjabarkan dan menjelaskan
dengan baik hal-hal penting yang patut untuk diketahui mengenai obat-obatan
yang berpengaruh pada mata.
Demikian referat ini kami susun, apabila terdapat kesalahan kami mohon
maaf dan kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
agar referat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi para pembacanya. Amin.

Salam Sejahtera
Penyu
sun

v
BAB I
PENDAHULUAN

Penggunaan obat-obatan, entah itu obat resep dokter, obat bebas, atau
obat-obatan terlarang, menyebabkan efek samping pada banyak orang. Jika
seseorang memiliki kepekaan terhadap obat atau zat tertentu, ia harus mulai
mempertimbangkan kemungkinan timbulnya komplikasi. Sejumlah zat dapat
mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, termasuk mata.
Dokter biasanya mendiskusikan kemungkinan efek samping ketika
meresepkan obat. Banyak obat mungkin memiliki potensi komplikasi yang
melibatkan mata. Orang dengan kondisi seperti rheumatoid arthritis sering
mengambil obat yang disebut Plaquenil. Obat ini mengharuskan seseorang
melakukan pemeriksaan mata setidaknya setiap tahun untuk memastikan obat
tersebut tidak menimbulkan masalah dengan retina, yang dapat mengancam
penglihatan.
Selain itu, obat-obatan seperti steroid, yang digunakan untuk mengobati
serangan asma berat dan kondisi inflamasi lainnya, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam mata dan dapat mengakibatkan pertumbuhan
katarak.
Perhatian terhadap obat-obatan sangat penting agar tidak terjadi kerusakan
pada mata yang lebih lanjut. Manajemen secepat mungkin dilakukan ketika
gangguan penglihatan yang diakibatkan toksisitas obat pada mata telah diketahui.
Karya ilmiah ini akan membahas pengaruh obat-obatan terhadap mata.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Penghantaran Obat Menuju Mata


Dibandingkan dengan pemberian obat rute yang lain, penghantaran obat
melalui mata harus melalui beberapa hal penting yang ditimbulkan oleh berbagai
hambatan okular. Banyak hambatan yang terkait dengan anatomi dan fisiologi
mata membuatnya menjadi tantangan untuk memberikan dosis yang tepat pada
tempat yang sesuai. Kemajuan yang signifikan telah dibuat untuk
mengoptimalkan penghantaran obat yang terlokalisasi pada mata.
Bioavailabilitas sistem pengiriman obat mata tradisional seperti tetes mata
sangat buruk karena mata dilindungi oleh serangkaian mekanisme pertahanan
yang kompleks yang membuatnya sulit untuk mencapai konsentrasi obat yang
efektif dalam area target mata. Anatomi dan fisiologi mata adalah salah satu
sistem yang paling kompleks dan unik dalam tubuh manusia. Lachrymasi,
drainase efektif oleh sistem nasolakrimalis, bagian dalam dan luar barrier blood
retinal, impermeabilitas kornea, dan ketidakmampuan struktur non-kornea lainnya
untuk menyerap senyawa, membuat mata sangat tahan terhadap zat-zat asing.
Meskipun hambatan-hambatan ini membuat mata terlindungi dari invasi senyawa
asing, patogen dan partikulat yang membahayakan mata, tetapi ini merupakan
tantangan untuk sistem penghantaran obat melalui mata.

2.2 Mekanisme Umum Perpindahan Obat pada Mata


2.3.1 Tingkat Organ
Rate-limiting membrane untuk kebanyakkan obat adalah epithelium kornea
yang beraksi ganda sebagai penghalang (barrier) untuk penetrasi dan sebagai
reservoir untuk obat. The rate-limiting barrier untuk kebanyakan obat tampaknya

2
berada pada lapisan dua sel bagian atas dari epithelium. Stroma adalah rate-
limiting untuk obat-obat yang sangat larut lemak.

2.3.2 Tingkat Sel


Molekul-molekul kecil, contohnya seperti : air, metanol, etanol, propanol,
dan butanol, mudah melintasi kornea diasumsikan melalui pori-pori berair.
Konstanta permeabilitas mereka sangat besar. Senyawa larut air melintasi kornea
melalui rute para selular. Konstanta permeabilitas adalah konstanta partisi paling
kecil. Peptida, ion-ion, dan senyawa muatan lainnya tampaknya berpenetrasi ke
kornea melalui rute paraselular. Zat-zat yang memiliki kelarutan ganda lebih
mudah melintasi kornea. Zat-zat larut lemak mudah melewati membran selular
yang membatasi. Mereka tidak bisa berpenetrasi dalam proporsi konsentrasi
mereka.

2.5 Obat-Obat yang Mempengaruhi Mata


Banyak obat-obat sistemik yang memiliki pengaruh terhadap mata. Hal ini
sangat penting diketahui karena adanya keterlibatan mata sebagai efek
sampingnya. Obat-obatan sistemik dan metabolitnya menjangkau daerah
kornea dan lensa melewati selaput air mata, limbal vasculature dan aqueous
humor. Meskipun kekeruhan kornea akibat obat-obatan tidak banyak
menyebabkan gangguan refraksi, tetapi kekeruhan ini mungkin merupakan
suatu sinyal dari adanya deposit obat-obatan permanen di lensa dan terutama
di retina.

2.5.1 Efek Obat-Obatan terhadap Konjuntiva


a.Isotritionin
Salah satu obat yang memiliki efek terhadap konjungtiva adalah Isotrtionin.
Obat ini merupakan suatu kelompok senyawa alami atau sintetik yang secara
struktural dan fungsional analog dengan vitamin A. Obat ini oleh masyarakat sering
digunakan sebagai obat untuk mengatasi jerawat. Seiring perkembangan zaman
pemakaian Isotrtionin terutama bentuk sintetiknya berkembang sangat pesat untuk
berbagai penyakit kulit antara lain psoriasis, iktiosis, akne, serta kanker kulit, namun

3
perlu berhati-hati dalam pemakaiannya mengingat efek samping yang dapat
ditimbulkan obat ini. Salah satu efek sampingnya yaitu dapat menyebabkan
disfungsi kelenjar meibom (MGD). Hal ini dihubungkan dengan efek
penggunaan Isotrtionin yang dapat menghambat produksi sel lemak dari
kelenjar meybom. Akibat hal ini juga dapat menyebabkan pasien mengeluh
mata kering dan sampai menyebabkan terjadinya konjungtivitis.

b. Bisophosphonates
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati osteoporosis. Obat ini dapat
menyebabkan uveitis, skleritis, episkleritisdan juga konjungtivitis. Pasien
dengan konjungtivitis akibat obat ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Konjungtiva adalah bagian mata yang pertama kali terkena efek
dari penggunaan obat ini diikuti sklera dan uvea. Berdasarkan penelitian dosis
toxic yang menimbukan perdangan pada konjungtiva yaitu 30 mg/ hari.
Mekanisme yang mendasari Bisphosphonates menyebabkan peradangan pada
mata adalah mekanisme imunologik dan toksisitas yang ditimbulkan unsur
nitrogen yang terkandung dalam Bisphosphonates.

Tabel 2.1 Efek Obat-Obatan terhadap Konjungtiva dan Kelopak Mata


Obat Efek
Isotrtionin Blefaro konjungtivitis, mata kering
Chlorpromazine Slate-Blue discoloration of conjuntiva
Minocycline Bluish discoloration of sclera
Bisphosphonate Nonspesifik Konjungtivitis
Sulfonamide Konjungtivitis
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.2 Efek Obat-Obatan terhadap Kornea

a. Kloroquine dan Hidroksikloroquin


Kloroquine dan Hidroksikloroquin merupakan obat yang digunakan pada
kasus reumatoid artritis kronis, dicoid, LSE (lupus systemic erythematous)
dan penyakit kolagen. Klorokuin dan hidroksikloroquin dalam tingkatan awal
akan membentuk suatu deposit tipis yang bersifat difus pada epitel kornea.
Kemudian beberapa agregat akan berkumpul dan menjadi satu ditengah
kornea. Akhirnya akan muncul bercak pigmen berwarna hijau-kuning
berbentuk garis konsentris berpola lingkaran. Deposit pada kornea mulai

4
muncul dan terlihat paling awal pada mingggu ke 2-6 pengguanaan obat ini
sebagai terapi.
Dibandingnkan dengan kloroquin (hingga 95%), insidensi keratopati lebih
kecil terjadi pada hidrokloroquin. Umumnya dosis hidrosikloroquin kurang
dari 400mg/hari tidak akan menimbulkan terjadinya keratopati. Dosis yang
tinggi (800mg/hari) akan meningkatkan 6% insidensi terjadinya keratopati
dalam 6 bulan. Apabila pasien ada yang mengeluhkan deposit kornea dengan
disertai adanya halo pada cahaya yang dilihat, fotofobia atau melihat cahaya
yang menyilaukan makan tidak akan mengubah ketajaman visual pasien.
Perkembangan dari keratopati bukan merupakan kontraindikasi dalam
meneruskan penggunaan obat ini.

b. Amiodarone
Amiodarone merupakan obat yang digunakan dalam terapi kardiak aritmia
seperti atrial fibrilasi dan ventrikular takikardi. Keratopati merupakan
kejadian terbanyak akibat efek samping amiodarone yang ditemukan pasien
dengan penggunaan obat ini yaitu sebanyak 70-100%. Gejala ini akan muncul
setelah 1-4 bulan terapi. Biasanya akan menyerang kedua mata tetapi paling
sering terjadi asimteris. Keparahan dari keratopati memiliki korelasi yang
siknifikan dengan jumlah dosis dan lamanya terapi. Pasien dengan dosis
tinggi yaitu >400mg/hari akan menunjukkan kenaikan terjadinya keratopati
tergantung dari durasi terapi. Keratopati dapat berkembang maksimal dan
akan mulai perlahan turun saat dosis dikurangi. Keratopati akan mulai
menghilang antara 3-20 bulan setelah obat dihentikan. Perubahan kornea
karena amiodarone ini bukan merupakan suatu hal yang berbahaya.

Gambar 2.1 Tingkatan keratopati amiodarone

5
Gambar 2.1 Tingkatan Keratopati akibat Amiodarone
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

Gambar 2.2 Keratopati akibat Amiodarone


Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

Tabel 2.2 Jenis Obat-Obatan dan Efeknya terhadap Kornea


Obat Efek
Kortikosteroid Decrease epithelial wound healing,
increased risk infection
Kloroquine, Hdroksikloroquine Whorl-like epithelial opacities
Atovaqueone Whorl-like opacities
Tamoxifen Whorl-like opacities
Chlormapmizine Pigmentation of endotelium and
descments membarane
Indometacin Stromal opacities
Isotretionin Stromal gold deposit
Gold salts Ulserasi, defek epitel, kehilangan
sensitivitas kornea
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.3 Efek Obat-Obatan terhadap Lensa


a. Amiodarone
Deposit pada subkapsular anterior lensa terjadi sebanyak 50% pada pasien
yang menggunakan terapi amiodarone selama 6-18 bulan. Tidak ditemukan
adanya gejala tambahan pada mata dan pasien dengan adanya gejala seperti
ini bukan merupakan suatu yang perlu dikhawatirkan.

b. Kortikosteroid

6
Satu dari gejala yang paling sering ditimbulkan pada penggunaan
kortikosteroid adalah katarak. Penggunaan secara sistemik, pada mata, kulit,
hidung, aerosol atau streoid inhalan semua akan menimbulkan katarak
posterior supkapsular yang tidak akan dapat dibedakan gejala klinisnya dari
penyebab lain termasuk usia. Insidensi terjadinya katarak akibat steroid ini
yaitu sekitar 6,4%-38,7. Pada pemakaian kortikosteroid sistemik, telah
dilaporkan terjadinya katarak ada setelah pemakaian selama minimal 2 bulan.
Biasanya membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan penggunaan
kotrikosteroid sistemik untuk terjadinya katarak.
Patofisiologi terjadinya katarak akibat penggunaan steroid masih belum
pasti dan banyak pendapat untuk menjelaskannya. Menurut Cotlier,
terbentuknya katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik
dengan asam amino dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan
kekeruhan lensa. Katarak subkapsular posterior khas terbentuk pada katarak
akibat kortikosteroid, hal ini disebabkan oleh migrasi abnormal dari sel epitel
lensa. Aktivasi reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa yang berakibat
proliferasi sel, penurunan apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel.

a. Gangguan metabolik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah
aktivitas enzim–enzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate
(ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan
deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan
energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan
oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa
meningkat.

b. Gangguan Keseimbangan ion


Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang berada di
intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase
dan Na+ K + ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel

7
berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel
berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah. Keseimbangan ion ini
penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila terdapat gangguan
pada keseimbangan ion akan mempengaruhi terbentuknya katarak.
Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak adalah karena adanya
stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik menyebabkan rentan
terhadap berbagai zat oksidatif.

c. Stress oksidatif
Lensa sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap stress oksidatif
berupa glutation reduktase dan pembuangan radikal bebas. Beberapa
penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan glutation,
antioksidan , dan asam askorbat.

d. Pembentukan Molekul Protein


Penambahan molekul protein pada lensa juga memiliki keterlibatan dalam
pembentukan katarak. Hal ini terkait pada beberapa penyakit seperti
diabetes, gagal ginjal, dan degenerasi. Tambahan protein pada lensa
mempengaruhi kekeruhan pada lensa yang disebabkan pengaruh
kortikoteroid terhadap struktur normal protein. Pembentukan ikatan
disulfid molekuler seperti interaksi hidrofobik non-spesifik menyebabkan
pembentukan agregasi molekul ukuran besar yang tidak larut dan
menghasilkan hamburan cahaya.
e. Efek reseptor kortikosteroid terhadap growth factor
Reseptor kortikosteroid berupa kompleks protein dalam sitosol yang
mengikat steroid dan mentranslokasikan ke nukleus. Reseptor
kortikosteroid okular dapat ditemukan retina, iris, corpus siliaris, jalur
humor aquous, dan sklera tetapi beberapa penelitian menunjukkan tidak
adanya reseptor kortikosteroid pada lensa. Pembentukan katarak terkait
reseptor kortikosteroid diperkirakan karena pengaruhnya terhadap Growth
Factors (GF). Growth factor yang terdapat pada humor aquous

8
menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel epitel anterior menuju ke arah
ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar terdesak oleh sel-sel
baru.25 Perubahan level GF pada humour aquous akibat kortikosteroid
menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar yang
terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan
membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan
cahaya.
Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah
terkumpulnya sel epitel tidak teratur di bawah kapsul posterior atau
disebut subkapsular posterior. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan
tingkah laku sel yang berpengaruh terhadap terbentuknya katarak karena
seharusnya sel-sel tersebut berada di anterior lensa. Menurut McAvoy dan
Chamberlain, Fibroblast Growth Factor-2 (FGF) mempengaruhi
pertumbuhan sel epitel lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat
dari anterior lensa ke posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada
sel, pada anterior lensa yang memiliki kadar rendah merangsang
proliferasi sel dan migrasi ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator
lensa yang memiliki kadar tinggi merangsang diferensiasi menjadi serat.
f. Perubahan Sel Abnormal
Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila
pada daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan
diferensiasi sel atau terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang
tidak beraturan ini tetap migrasi melewati daerah ekuator menuju ke kutub
posterior lensa menjadi katarak subkapsular posterior.

Katarak yang terjadi akibat penggunaan steroid adalah katarak jenis


subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di
dekat kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkembangannya, katarak ini
cenderung menimbulkan gangguan penglihatan dekat karena adanya
keterlibatan sumbu penglihatan. Gejala umum lain yang dapat ditemui adalah
adanya “glare” dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang
terang.

9
Terapi yang dapat dilakukan untuk katarak akibat penggunaan steroid
adalah dengan menghentikan penggunaan steroid untuk mencegah
progresifitas dari katarak. Setelah penghentian penggunaan steroid dapat
dilakukan pembedahan katarak berupa pembedahan intrakapsular,
pembedahan ekstrakapsular dan fakoemulsi. Penanaman lensa intra okular
dapat dipertimbangkan setelah dilakukan pembedahan katarak untuk
memperbaiki visus pasien

Gambar 2.3 Opasitas subkapsular lensa akibat steroid


Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

10
Gambar 2.4 Katarak induced Steroid
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

Tabel 2.3 Efek Obat pada Lensa


Obat Efek
Amiodarone Anterior subcapsular opacities
Chlorpromazine Anterior subcapsular stellate catarac
Corticosteroid Posterior subcapsular catarac
Psoralen UV induced catarac
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.4 Efek Obat-Obatan terhadap Episklera, Sklera dan Uvea


Obat mata baik topikal maupun sistemik dapat menimbulakan uveitis dan
skleritis dan episkleritis seperti golongan beta blocker, latanoprost sufonamid,
rifabutin dan bisphosphonate. Obat yang menyebabkan uveitis selalu bersifat
reversibel sehingga setelah obat dihentikan gejala uveitis akan sembuh.

a. Rifabutin
Rifabutin adalah salah satu antibiotik yang dapat menyebabkan timbulnya
uveitis pada mata. Rifabutin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai
profilaksis infeksi Mycobacterium avium complex (MAC) pada pasien HIV
(+). Berdasarkan penelitian Rifabutin dapat sebabkan timbulnya uveitis
bergantung pada dosis yang dikonsumsi. Dosis yang dapat sebabkan uveitis

11
apabila menggunakan >300mg/ hari. Gejala uveitis muncul umumnya 2
minggu-7bulan setelah konsumsi obat tergantung dari dosis yang dikonsumsi.
Timbulnya uveitis dikaitkan dengan efek toksik sisa metabolisme rifabutin
terhadap uvea. Terapi yang dapat diberikan adalah dengan cara menghentkan
penggunaan obat dan apabila terdapat inflamasi dapat diberikan
kortikosteroid. Setelah penghentian obat umumnya uveitis sembuh dalam 1-2
bulan.

b. Bisphosphonates
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati osteoporosis. Obat ini dapat
menyebabkan uveitis, skleritis, episkleritisdan juga konjungtivitis. Pasien
dengan konjungtivitis akibat obat ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Pasien dengan uveitis akibat penggunaan obat ini terapinya
tergantung derajat keparahan. Apabila uveitis dengan gejala ringan dapat
sembuh dengan penghentian obat, apabila disertai gejala peradangan berat
dapat diberikan terapi kortikosteroid dan agen siklopegik.Berdasarkan
penelitian dosis toxic yang menimbukan perdangan yaitu 30-60 mg/ hari.
Mekanisme yang mendasari Bisphosphonates menyebabkan peradangan pada
mata adalah mekanisme imunologik dan toksisitas yang ditimbulkan unsur
nitrogen yang terkandung dalam Bisphosphonates.

2.4 Efek Obat-Obatan terhadap Episklera, Sklera dan Uvea


Obat Efek
Bisphosphonates Episkleritis, skleritism uveitis
Rifabutin Uveitis
Cidofavir Uveitis
TNF alfa antagonis, etanercept Uveitis
Sulfonamide Uveitis
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.5 Obat-Obatan yang Mempengaruhi Pupil


Simpatetik menyebabkan pupil berdilatasi dan parsimpatis menyebabkan
sfingter otot pupil dari iris. Obat yang mempengaruhi jalur otonom maka akan
mempengaruhi ukuran dan aktivitas pupil.

12
Tabel 2.5 Obat-Obatan yang Mempengaruhi Pupil
Obat Midriasis Obat Miosis
Anti kolinergik Opiat, heroin, ccodein, morfin
CNS stimulan Anticholinesterase : neostigmin
CNS depresan
Antihistamin
Phenot
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.6 Obat-Obatan yang Berpengaruh terhadap Tekanan Intraokular


Beberapa obat (beta bloker dan cardiac glikosides seperti digoxin)
menurunkan TIO dengan menekan produksi dari aqueous. Antihistamin dan
antipsikotik memiliki efek antikolinergik yang membuat pupil berdilatasi dan
dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Obat yang paling sering
menyebabkan peningkatan TIO yaitu kortikosteroid. Steroid yang dikonsumsi
pasien baik melalui oral hingga inhalasi memiliki efek menaikan tekanan
intraokular. Pada pasien yang mengkonsumsi steroid oral, memiliki peningkatan
resiko terjadinya peningkatan TIO sebesar 60%. Onset peningkatan TIO terjadi
setelah 2 minggu dan onset waktu biasanya lebih lama pada pasien yang
mengkonsumsi steroid oral dibanding dengan steroid topikal. TIO akan kembali
normal setelah 2-4 minggu tappering off dosis steroid hingga berhenti
menggunakan steroid.

Tabel 2.7 Obat-Obatan yang Berpengaruh terhadap Tekanan Intraokular


Peningkatan TIO Penurunan TIO
Kortikosteroid Beta blocker
Antihistamin Cannabinoids
Phenotiazine Cardiac glycoside
Tricyclic antidepressant Ethyl alcohol
Antimuscarinic agents
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

2.5.7 Obat-Obatan yang Berpengaruh terhadap Retina

13
Obat-obatan seperti indometasin, tamoxifen, thioridazine dan kloroquine
akan menyebabkan retinopati melalui jalur okular oxidative.
a. Kloroquine dan Hidroksicloroquine
Adanya titik berpigmen pada daerah makular dengan atau tanpa hilangnya
reflek fovea merupakan tanda utama dari teradinya retinopati kloroquine.
Sebelum terdeteksi adanya perubahan dari oftalmoskopik, terjadi suatu stage
pre makulopati. Pre makulopati ini terjadi ketika obat mulai mengganggu
metabolisme dari jaringan makular yang akan menyebabkan defek pada
lapang pandang. Progres dari perubahan makular yaitu adanya patognomonik
dari toksisitas kloroquine yang disebut “bull’s eye maculopathy”. Bull’s eye
maculopathy menghasilkan daerah hiperpigmentasi granular yang dikelilingi
oleh zona depigmentasi yang pada gilirannya dikelilingi oleh cincin pigmen
lain. Perubahan lain pada mata yaitu optik atrofi, lapang pandang menyempit,
pengelihatan warna yang abnormal, penipisan pembuluh darah retina dan
subnormal electro-retinogram. Risiko toksisitas retina akan menurun jika
dosis hidroksiquinolon kurang dari 6,5mg/kgBB dan lamanya terapi kurang
dari 5 tahun dan fungsi ginjal masih normal.

Gambar 2.5 Gambaran fundus fluoresein angigram pasien retinopati kloroquine


Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

b. Kontrasepsi Oral
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko terjadinya lesi pada vaskular
retina, seperti oklusi, trombosis vena dan perdarahan retina. Keberlanjutan terapi
harus didasarkan pada risiko untuk mendapatkan keuntungan rasio.
c. Tamoxifen

14
Tamoxifen merupakan obat anti estrogen yang digunakan dalam terapi hormon
kanker payudara. Komplikasi pada mata jarang terjadi dan tercatat 0,6% pasien
mengalami katarak, vortex keratopati, neuritis optik dan retinopati. Pada beberapa
literatur, pasien denga retinopati tamoxifen mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis
6-81 g. Sebanyak 12% pasien yang mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis 12
mg/hari akan mengalami toksisitas pada retina. Patogenesis adalah dengan
peningkatan akumulasi dari glutamat yang mengarah ke aksonal degenerasi. Kristal
terlihat pada pemeriksaan fundus pada prroses yang lama. Deposit yang luas akan
mengakibatkan edema makula dan gangguan ketajaman visual. Ketajaman visual
dapat meningkat kembali setelah berhenti mengkonsumsi tamoxifen bersama dngan
resolusi makula edema, tetapi deposit pada retina tidak akan pernah kembali.

Gambar 2.6 Fundus pada pasien retinopati tamoxifen menunjukan deposit putih sampai
kuning pada makula
Sumber: Temkar S. et al. Tamoxifen maculopathy in a male patient

Gambar 2.7 Color Photo pada pasien dengan tamoxifen toxicity


Sumber: Temkar S. et al. Tamoxifen maculopathy in a male patient

2.5.8 Obat-Obatan yang Berpengaruh terhadap Saraf Optik

15
Etambutol merupakan salah satu obat tuberkulosis yang efektif dan paling
jarang terjadi resistensi, sehingga sering digunakan pada kasus Tuberkulosis Multi
Drug Resistance (TB MDR). Namun, tidak sedikit yang melaporkan terjadinya
Neuropati Optik Toksik (NOT) dengan gejala klinis berupa penurunan penglihatan
hingga terjadinya kebutaan. (Liberstheyn, 2015)
Kejadian NOT terkait etambutol ini sangat bervariasi dari beberapa studi
berkisar antara 0,5 - 35% penderita (Grzybowski, et al, 2015). Sebuah studi
melaporkan 42% pasien dengan gangguan penglihatan permanen yang bergantung
pada severitas gangguan awal. (Garg, et al 2015). Dilaporkan pada sebagian besar
kasus, toksisitas terjadi pada dosis lebih dari 20mg/kgBB/hari. Namun tidak
sedikit pula toksisitas sudah terjadi pada dosis standar yaitu 15mg/kgBB/hari,
contohnya pada sebuah kasus yang dilaporkan oleh Yang et al dimana neuropati
optik telah terjadi pada dosis 12 mg/kgBB/hari. Durasi pemakaian obat yang
menimbulkan efek Toksik adalah pemakaian rata-rata satu hingga enam bulan.
Namun pernah dilaporkan durasi tercepat dimana gangguan penglihatan akibat
etambutol terjadi pada penggunaan hanya tiga hari (Yang, et al, 2016).
Neuropati Optik Toksik (NOT) adalah kelainan pada fungsi penglihatan
akibat kerusakan saraf optik yang disebabkan oleh zat beracun (Khurana, 2015).
NOT terjadi karena terpapar oleh bahan yang terdapat pada lingkungan sekitar
yang bersifat toksik pada saraf, menelan bahan makanan tertentu atau material
lain yang mengandung bahan toksik, atau terjadi dari peningkatan level dosis obat
tertentu dalam darah. (Nazihatul & Hazabbah, 2017). Obat-obatan yang dapat
menyebabkan NOT diantaranya adalah etambutol, isoniazid (pada pengobatan
tuberkulosis), klorokuin (pengobatan kasus amuba), penggunaan antibiotik seperti
linezolid dan kloramfenikol, obat jantung amiodaron, obat anti neoplastik seperti
siklosporin (Khurana, 2015).
NOT dapat memberikan gejala berupa penurunan penglihatan yang
berlangsung progresif, semakin memberat hingga dapat terjadi kebutaan.
Meskipun hilangnya penglihatan ini bersifat reversibel saat etambutol diturunkan
dosisnya atau dihentikan, beberapa pasien mengalami gangguan penglihatan
permanen bahkan dengan dosis obat yang standar (Chen, et al, 2015). Beberapa

16
kasus progresifitas tetap berjalan meskipun obat telah dihentikan. Seringkali
dijumpai perbaikan yang tidak sempurna. Bahkan ada pula yang mengalami
kebutaan permanen (Koul, 2015). Mekanisme terjadinya neuropati optik akibat
etambutol diduga disebabkan oleh gangguan fungsi dari mitokondria
(Chamberlain et al, 2017). Sebuah penelitian menemukan adanya perubahan
vakuola dari sitoplasma sel ganglion pada binatang yang disuntikkan etambutol.
Etambutol bersifat metal chelator, yang bisa berinteraksi dengan seng, tembaga
maupun besi yang menyebabkan kerusakan pada mitokondria (Makhrukh et al,
2017). Studi pada binatang telah menunjukkan efek toksik dari etambutol
terhadap sistem visual secara elektrofisiologi, maupun histopatologi. (Benedetti,
et al, 2013).
Patofisiologi Masih belum terungkap mengapa beberapa agen sangat
toksik terhadap saraf optik terutama bundel papilomakular, sedangkan tidak toksik
terhadap yang lain (Han et al, 2015). Zat-zat toksik menghambat rantai transpor
elektron dan fungsi mitokondria, menyebabkan gangguan produksi ATP dan
akhirnya merusak sistem transportasi aksonal yang bergantung pada ATP. Semua
faktor risiko berdampak terhadap proses fosforilasi oksidatif pada mitokondria.
Sifat-sifat chelating etambutol telah dihipotesiskan berkontribusi pada toksisitas
saraf, menyebabkan influks kalsium ke dalam mitokondria. (Gumus & Oner,
2015).
Faktor risiko yang mempengaruhi munculnya NOT karena etambutol
apabila terdapat gangguan pada ekskresi hasil metabolit etambutol, contohnya
tuberkulosis pada pasien dengan kelainan ginjal, diabetes melitus, kerusakan hati,
gizi buruk, penggunaan tembakau dan alkohol serta pada pasien yang tua. Pasien
Akan mengalami perbaikan fungsi penglihatan secara perlahan-lahan bila
pengobatan dengan etambutol dihentikan, tetapi tidak jarang terdapat pasien
mengalami kehilangan fungsi penglihatan secara permanen meskipun pengobatan
dengan etambutol telah dihentikan. Sebuah penelitian mendapatkan hanya 3 dari
pasien 7 (42,2%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan setelah menghentikan
pengobatan etambutol selama 2-8 bulan (Morgia et al, 2014).

17
Tanda dan gejala klinis NOT seringkali muncul sebagai gangguan
penglihatan yang bilateral dijumpai pula unilateral, simetris, painless, dan
progresif. Manifestasi klinis dapat berupa penurunan visus, skotoma sentral, dan
gangguan penglihatan warna. Bila hilangnya penglihatan unilateral, disertai nyeri
maka kemungkinan lain harus dipikirkan (Khurana, 2015).
Neuropati optik terkait etambutol memberikan gejala penurunan
penglihatan bilateral, perlahan dan progresif. Sebuah studi menyebutkan bahwa
pada fase awal nervus optikus yang pertama kali terkena. Jika etambutol
dilanjutkan, kerusakan dapat menyebar sampai ke seluruh kiasma yang akan
memberikan gejala bitemporal hemianopia (Gumus & Oner, 2015).
Serat yang lebih terkena adalah papilomakular yang berkaliber kecil. Pada
neuropati optik aksial didapatkan penurunan visus, skotoma sentral dan gangguan
penglihatan warna hijau. Neuropati paraaksial dengan keterlibatan kiasma optika,
bisa didapatkan hemianopia bitemporal dengan visus dan penglihatan warna
normal. Gangguan ini bisa dikeluhkan pada dua hingga delapan bulan setelah
onset. Tidak didapatkan relative afferent pupillary defect (RAPD). Pemeriksaan
oftalmologis yang seharusnya dilakukan sebagai preventif terjadinya optik
neuropati akibat etambutol adalah pemeriksaan visus, penglihatan warna, dan tes
lapang pandang. Kaimbo dkk pada studi prospektif terhadap 42 penderita TB
dengan terapi etambutol, mendapatkan 36% diantaranya mengalami gangguan
penglihatan warna (Morgia et al, 2014). Gangguan penglihatan warna merupakan
gejala yang biasanya dijumpai pertama kali. Pasien mengalami gangguan warna
merah hijau, namun ada juga yang melaporkan biru kuning (Benedetti, et al,
2013). Atrofi optik tidak terjadi sampai beberapa bulan setelah serat tersebut
hilang. Ini berarti temuan objektif abnormalitas dari pemeriksaan fundus
seringkali tidak didapatkan (Gumus & Oner, 2015).

Tabel 2.8 Rangkuman Efek Obat pada Mata


Obat Efek
Kloroquine Perubahan pigmen pada retina
Thioridazine Perubahan pigmen pada retina, gangguan adaptasi gelap
Quinin Impaired dark adaptation
Cardiac glycoside Gangguan visual warna, fenomena entopic

18
Sildenafil Gangguan visual warna
OCPs & Hormone Oklusi vaskular, perdarahan, vena trombosis
Indometasin Perubahan pigmen , color Vn loss
Clomiphene Fenomena entopic, Color Vn disturbance
Tamoxifen Kristal retina, makular edema
Carmustine Retinal vascular disease
Vigabatrine Lapang pandang konstriksi
Isotretinoin Impaired dark adaptation
Niacin Cystoid makular edema
Talc Intra arteriolar talc emboli
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication

BAB III
KESIMPULAN

Beberapa obat memeiliki efek samping terhadap mata. Pengobatan perlu


dipantau agar kerusakan terhadap organ penting tidak berlanjut menjadi parah.
Perhatian pada obat-obat tertentu perlu diketahui agar mempermudah pemantauan
terhadap efek samping dari obat-obat yang memeiliki toksiksitas terhadap mata.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Yunard A, Nusanti S, Sidik M. Methanol toxic optic neurophaty


(characteristic and evaluation of therapy). Optalmologi Indonesia. Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo: Jakarta; 2016.h. 38-44.
2. World Health Organization. Global status report on alcohol and health
2014.

20
3. Park,S., Siegelman., The anatomy and cell biology of the human retina in
duane’s clinical ophthalmolog. Lippincott and William Wilkins.
4. Newman SA, Arnold AC, Friedman DI, Kline LB, Rizzo III JF. BCSC :
Neuro-opthalmology. Section 5. San Francisco, USA : AAO, 2008-2009;
23-28.
5. Schiefer.U, Hart.W, Clinical Neuro Opthalmology : Functional Anatomy
of The Human Visual Pathway. St.Louis.USA:Springer,2007;19-28.
6. Trobe JD. The neurology of vision. Optic Neuropathy. Oxford
University:New York;2011.
7. Liu GT ,Volve NJ ,Galetta SL. Visual loss : Optic neuropathies in Neuro-
ophthalmology, Diagnosis and Management. W.B. Saunders company:
Philadelphia. 2001.p.103-170.
8. Fletcher, EC, Chong V. Retina, in Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology 17th ed., McGraw-Hill co., New York; May 2007.
9. Miller RN, Biousse V, Newman JN, Kerrison BJ. Toxic and deficiency
optic neuropathies in Walsh and Hoyt’s Clinical neuroophthalmology: the
essential.2nd ed. Lippincott Wiliiam and wilkins. Philadelpia ; 2008 : 202-
210.
10. Vaughan & Ashburry et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Alih bahasa : dr.
Brahm U. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2009
11. Alastair & Murray et al. 2014. Oxford handbook of ophthalmology third
edition
12. Adam T. Gerstenblith & Michael P. et al. 2012. The Wills Eye Manual:
office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease
13. Liberstheyn, Y. 2015. Ethambutol/Linezolid Toxic Optic Neuropathy.
Florida: American Academy of Optometry.
14. Grzybowski, A.,¨lsdorff, M.,dan Wilhelm H, Tonagel F. Toxic optic
europathies: an updated review. Acta Ophthalmol 2015;93:402Y10.
15. Garg P, Garg R, Prasad R, Mishra AK. 2015. A prospective study of
ocular toxicity in patients receiving ethambutol as a part of directly
observed treatment strategy therapy. Lung India 2015;32(1):16-19
16. Yang HK, Park MJ, Lee JH, Lee CT, Park JS, Hwang JM. 2016. Incidence
of toxic optic neuropathy with low-dose ethambutol. Int J Tuberc Lung Dis
2016;20(2):261-264

21
17. Khurana A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age
International Limited. New Delhi.
18. Nazihatul, F. A. H., Hasabbah, W. H. 2017. Optic Neuritis Occuring In
Pulmonary Tuberculosis On Treatment An Immunological Reactions.
International Journal of Public Health and Clinical Sciences.
19. Chen, S. C., Lin, M. C., dan Sheu, S. J. 2015. Incidence and prognostic
factor of ethambutol-related optic neuropathy: 10-year experience in
southern Taiwan.The Kaohsiung Journal of Medical Science.
20. Koul PA. Ocular toxicity with ethambutol therapy: Timely recaution. Lung
India.2015;32(1):1–2.
21. Chamberlain PD, Sadaka A, Berry S, Lee AG. 2017: Ethambutol optic
neuropathy. Current Opinion in Ophthalmology 28: 545-551.
22. Makhrukh, Ashraf A., Bhat M. A. 2017. Visual Field Changes in Patients
Receiving Antitubercular Drug Therapy at Tertiary Care Hospital: An
Analytical Observational Study.International Journal Contemporary
Research.
23. Ezer N, Benedetti A, Darvish-Zargar M, Menzies D. 2013. Incidence of
ethambutol-related visual impairment during treatment of active
tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2013; 17: 447–455.
24. Han J, Byun MK, Lee J, Han SY, Lee JB, Han SH. 2015. Longitudinal
analysis of retinal nerve fiber layer and ganglion cell-inner plexiform
layer thickness in ethambutol-induced optic neuropathy. Graefes Arch
Clin Exp Ophthalmol. 2015; 253: 2293–2299.
25. Gumus A, Oner V. 2015. Follow up of retinal nerve fiber layer thickness
with optic coherence tomography in patients receiving anti-tubercular
treatment may reveal early optic neuropathy. Cutan Ocul Toxicol. 2015; 34:
212–216.
26. La Morgia C, Carbonelli M, Barboni P, Sadun AA, Carelli V. 2015.
Medical management of hereditary optic neuropathies. Front Neurol 2014;
5:141.

22
27. Meira Neudorfer. 2013. Ocular Adverse Effects of Systemic Treatment
With Isotretinoin. Arch Dermatol ;148(7):803-808
28. Temkar S, Pujari A, Agarwal D, et al. 2017. Tamoxifen maculopathy in a
male patient; BMJ Case Rep Journal

23

Anda mungkin juga menyukai