Disusun Oleh :
Pembimbing:
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... . iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
BAB 3 KESIMPULAN................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Efek Obat-Obatan terhadap Konjungtiva dan Kelopak Mata .... 11
Tabel 2.2 Jenis Obat-Obatan dan Efeknya terhadap Kornea .................... 13
Tabel 2.3 Efek Obat pada Lensa .............................................................. 14
Tabel 2.4 Efek Obat-Obatan terhadap Episklera, Sklera dan Uvea .......... 15
Tabel 2.5 Efek Obat-Obatan terhadap Pupil ............................................ 15
Tabel 2.8 Rangkuman Efek Obat pada Mata .......................................... 19
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat dengan judul Obat-Obatan yang
Berpengaruh pada Mata yang disusun dalam tiga minggu ini. Referat yang telah
kami susun ini diharapkan mampu membantu para pembacanya untuk lebih
mengerti mengenai pengaruh obat-obatan pada mata dan dapat
mengaplikasikannya dalam melayani pasien.
Referat dengan judul Obat-Obatan yang Berpengaruh pada Mata ini
kami awali dengan penjelasan mengenai anatomi dan fisiologi. Selain itu kami
sertakan bagaimana proses obat-obatan dapat mempengaruhi mata.
Referat ini kami susun berdasarkan sumber-sumber seperti buku-buku
maupun jurnal-jurnal dari internet. Sumber-sumber untuk menyusun referat ini,
meskipun terbatas jumlahnya dan memiliki banyak kekurangan dalam
penyusunannya namun kami harapkan mampu menjabarkan dan menjelaskan
dengan baik hal-hal penting yang patut untuk diketahui mengenai obat-obatan
yang berpengaruh pada mata.
Demikian referat ini kami susun, apabila terdapat kesalahan kami mohon
maaf dan kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
agar referat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi para pembacanya. Amin.
Salam Sejahtera
Penyu
sun
v
BAB I
PENDAHULUAN
Penggunaan obat-obatan, entah itu obat resep dokter, obat bebas, atau
obat-obatan terlarang, menyebabkan efek samping pada banyak orang. Jika
seseorang memiliki kepekaan terhadap obat atau zat tertentu, ia harus mulai
mempertimbangkan kemungkinan timbulnya komplikasi. Sejumlah zat dapat
mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, termasuk mata.
Dokter biasanya mendiskusikan kemungkinan efek samping ketika
meresepkan obat. Banyak obat mungkin memiliki potensi komplikasi yang
melibatkan mata. Orang dengan kondisi seperti rheumatoid arthritis sering
mengambil obat yang disebut Plaquenil. Obat ini mengharuskan seseorang
melakukan pemeriksaan mata setidaknya setiap tahun untuk memastikan obat
tersebut tidak menimbulkan masalah dengan retina, yang dapat mengancam
penglihatan.
Selain itu, obat-obatan seperti steroid, yang digunakan untuk mengobati
serangan asma berat dan kondisi inflamasi lainnya, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam mata dan dapat mengakibatkan pertumbuhan
katarak.
Perhatian terhadap obat-obatan sangat penting agar tidak terjadi kerusakan
pada mata yang lebih lanjut. Manajemen secepat mungkin dilakukan ketika
gangguan penglihatan yang diakibatkan toksisitas obat pada mata telah diketahui.
Karya ilmiah ini akan membahas pengaruh obat-obatan terhadap mata.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
berada pada lapisan dua sel bagian atas dari epithelium. Stroma adalah rate-
limiting untuk obat-obat yang sangat larut lemak.
3
perlu berhati-hati dalam pemakaiannya mengingat efek samping yang dapat
ditimbulkan obat ini. Salah satu efek sampingnya yaitu dapat menyebabkan
disfungsi kelenjar meibom (MGD). Hal ini dihubungkan dengan efek
penggunaan Isotrtionin yang dapat menghambat produksi sel lemak dari
kelenjar meybom. Akibat hal ini juga dapat menyebabkan pasien mengeluh
mata kering dan sampai menyebabkan terjadinya konjungtivitis.
b. Bisophosphonates
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati osteoporosis. Obat ini dapat
menyebabkan uveitis, skleritis, episkleritisdan juga konjungtivitis. Pasien
dengan konjungtivitis akibat obat ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Konjungtiva adalah bagian mata yang pertama kali terkena efek
dari penggunaan obat ini diikuti sklera dan uvea. Berdasarkan penelitian dosis
toxic yang menimbukan perdangan pada konjungtiva yaitu 30 mg/ hari.
Mekanisme yang mendasari Bisphosphonates menyebabkan peradangan pada
mata adalah mekanisme imunologik dan toksisitas yang ditimbulkan unsur
nitrogen yang terkandung dalam Bisphosphonates.
4
muncul dan terlihat paling awal pada mingggu ke 2-6 pengguanaan obat ini
sebagai terapi.
Dibandingnkan dengan kloroquin (hingga 95%), insidensi keratopati lebih
kecil terjadi pada hidrokloroquin. Umumnya dosis hidrosikloroquin kurang
dari 400mg/hari tidak akan menimbulkan terjadinya keratopati. Dosis yang
tinggi (800mg/hari) akan meningkatkan 6% insidensi terjadinya keratopati
dalam 6 bulan. Apabila pasien ada yang mengeluhkan deposit kornea dengan
disertai adanya halo pada cahaya yang dilihat, fotofobia atau melihat cahaya
yang menyilaukan makan tidak akan mengubah ketajaman visual pasien.
Perkembangan dari keratopati bukan merupakan kontraindikasi dalam
meneruskan penggunaan obat ini.
b. Amiodarone
Amiodarone merupakan obat yang digunakan dalam terapi kardiak aritmia
seperti atrial fibrilasi dan ventrikular takikardi. Keratopati merupakan
kejadian terbanyak akibat efek samping amiodarone yang ditemukan pasien
dengan penggunaan obat ini yaitu sebanyak 70-100%. Gejala ini akan muncul
setelah 1-4 bulan terapi. Biasanya akan menyerang kedua mata tetapi paling
sering terjadi asimteris. Keparahan dari keratopati memiliki korelasi yang
siknifikan dengan jumlah dosis dan lamanya terapi. Pasien dengan dosis
tinggi yaitu >400mg/hari akan menunjukkan kenaikan terjadinya keratopati
tergantung dari durasi terapi. Keratopati dapat berkembang maksimal dan
akan mulai perlahan turun saat dosis dikurangi. Keratopati akan mulai
menghilang antara 3-20 bulan setelah obat dihentikan. Perubahan kornea
karena amiodarone ini bukan merupakan suatu hal yang berbahaya.
5
Gambar 2.1 Tingkatan Keratopati akibat Amiodarone
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
b. Kortikosteroid
6
Satu dari gejala yang paling sering ditimbulkan pada penggunaan
kortikosteroid adalah katarak. Penggunaan secara sistemik, pada mata, kulit,
hidung, aerosol atau streoid inhalan semua akan menimbulkan katarak
posterior supkapsular yang tidak akan dapat dibedakan gejala klinisnya dari
penyebab lain termasuk usia. Insidensi terjadinya katarak akibat steroid ini
yaitu sekitar 6,4%-38,7. Pada pemakaian kortikosteroid sistemik, telah
dilaporkan terjadinya katarak ada setelah pemakaian selama minimal 2 bulan.
Biasanya membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan penggunaan
kotrikosteroid sistemik untuk terjadinya katarak.
Patofisiologi terjadinya katarak akibat penggunaan steroid masih belum
pasti dan banyak pendapat untuk menjelaskannya. Menurut Cotlier,
terbentuknya katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik
dengan asam amino dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan
kekeruhan lensa. Katarak subkapsular posterior khas terbentuk pada katarak
akibat kortikosteroid, hal ini disebabkan oleh migrasi abnormal dari sel epitel
lensa. Aktivasi reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa yang berakibat
proliferasi sel, penurunan apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel.
a. Gangguan metabolik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah
aktivitas enzimenzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate
(ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan
deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan
energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan
oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa
meningkat.
7
berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel
berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah. Keseimbangan ion ini
penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila terdapat gangguan
pada keseimbangan ion akan mempengaruhi terbentuknya katarak.
Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak adalah karena adanya
stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik menyebabkan rentan
terhadap berbagai zat oksidatif.
c. Stress oksidatif
Lensa sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap stress oksidatif
berupa glutation reduktase dan pembuangan radikal bebas. Beberapa
penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan glutation,
antioksidan , dan asam askorbat.
8
menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel epitel anterior menuju ke arah
ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar terdesak oleh sel-sel
baru.25 Perubahan level GF pada humour aquous akibat kortikosteroid
menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar yang
terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan
membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan
cahaya.
Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah
terkumpulnya sel epitel tidak teratur di bawah kapsul posterior atau
disebut subkapsular posterior. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan
tingkah laku sel yang berpengaruh terhadap terbentuknya katarak karena
seharusnya sel-sel tersebut berada di anterior lensa. Menurut McAvoy dan
Chamberlain, Fibroblast Growth Factor-2 (FGF) mempengaruhi
pertumbuhan sel epitel lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat
dari anterior lensa ke posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada
sel, pada anterior lensa yang memiliki kadar rendah merangsang
proliferasi sel dan migrasi ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator
lensa yang memiliki kadar tinggi merangsang diferensiasi menjadi serat.
f. Perubahan Sel Abnormal
Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila
pada daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan
diferensiasi sel atau terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang
tidak beraturan ini tetap migrasi melewati daerah ekuator menuju ke kutub
posterior lensa menjadi katarak subkapsular posterior.
9
Terapi yang dapat dilakukan untuk katarak akibat penggunaan steroid
adalah dengan menghentikan penggunaan steroid untuk mencegah
progresifitas dari katarak. Setelah penghentian penggunaan steroid dapat
dilakukan pembedahan katarak berupa pembedahan intrakapsular,
pembedahan ekstrakapsular dan fakoemulsi. Penanaman lensa intra okular
dapat dipertimbangkan setelah dilakukan pembedahan katarak untuk
memperbaiki visus pasien
10
Gambar 2.4 Katarak induced Steroid
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
a. Rifabutin
Rifabutin adalah salah satu antibiotik yang dapat menyebabkan timbulnya
uveitis pada mata. Rifabutin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai
profilaksis infeksi Mycobacterium avium complex (MAC) pada pasien HIV
(+). Berdasarkan penelitian Rifabutin dapat sebabkan timbulnya uveitis
bergantung pada dosis yang dikonsumsi. Dosis yang dapat sebabkan uveitis
11
apabila menggunakan >300mg/ hari. Gejala uveitis muncul umumnya 2
minggu-7bulan setelah konsumsi obat tergantung dari dosis yang dikonsumsi.
Timbulnya uveitis dikaitkan dengan efek toksik sisa metabolisme rifabutin
terhadap uvea. Terapi yang dapat diberikan adalah dengan cara menghentkan
penggunaan obat dan apabila terdapat inflamasi dapat diberikan
kortikosteroid. Setelah penghentian obat umumnya uveitis sembuh dalam 1-2
bulan.
b. Bisphosphonates
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati osteoporosis. Obat ini dapat
menyebabkan uveitis, skleritis, episkleritisdan juga konjungtivitis. Pasien
dengan konjungtivitis akibat obat ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Pasien dengan uveitis akibat penggunaan obat ini terapinya
tergantung derajat keparahan. Apabila uveitis dengan gejala ringan dapat
sembuh dengan penghentian obat, apabila disertai gejala peradangan berat
dapat diberikan terapi kortikosteroid dan agen siklopegik.Berdasarkan
penelitian dosis toxic yang menimbukan perdangan yaitu 30-60 mg/ hari.
Mekanisme yang mendasari Bisphosphonates menyebabkan peradangan pada
mata adalah mekanisme imunologik dan toksisitas yang ditimbulkan unsur
nitrogen yang terkandung dalam Bisphosphonates.
12
Tabel 2.5 Obat-Obatan yang Mempengaruhi Pupil
Obat Midriasis Obat Miosis
Anti kolinergik Opiat, heroin, ccodein, morfin
CNS stimulan Anticholinesterase : neostigmin
CNS depresan
Antihistamin
Phenot
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
13
Obat-obatan seperti indometasin, tamoxifen, thioridazine dan kloroquine
akan menyebabkan retinopati melalui jalur okular oxidative.
a. Kloroquine dan Hidroksicloroquine
Adanya titik berpigmen pada daerah makular dengan atau tanpa hilangnya
reflek fovea merupakan tanda utama dari teradinya retinopati kloroquine.
Sebelum terdeteksi adanya perubahan dari oftalmoskopik, terjadi suatu stage
pre makulopati. Pre makulopati ini terjadi ketika obat mulai mengganggu
metabolisme dari jaringan makular yang akan menyebabkan defek pada
lapang pandang. Progres dari perubahan makular yaitu adanya patognomonik
dari toksisitas kloroquine yang disebut bulls eye maculopathy. Bulls eye
maculopathy menghasilkan daerah hiperpigmentasi granular yang dikelilingi
oleh zona depigmentasi yang pada gilirannya dikelilingi oleh cincin pigmen
lain. Perubahan lain pada mata yaitu optik atrofi, lapang pandang menyempit,
pengelihatan warna yang abnormal, penipisan pembuluh darah retina dan
subnormal electro-retinogram. Risiko toksisitas retina akan menurun jika
dosis hidroksiquinolon kurang dari 6,5mg/kgBB dan lamanya terapi kurang
dari 5 tahun dan fungsi ginjal masih normal.
b. Kontrasepsi Oral
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko terjadinya lesi pada vaskular
retina, seperti oklusi, trombosis vena dan perdarahan retina. Keberlanjutan terapi
harus didasarkan pada risiko untuk mendapatkan keuntungan rasio.
c. Tamoxifen
14
Tamoxifen merupakan obat anti estrogen yang digunakan dalam terapi hormon
kanker payudara. Komplikasi pada mata jarang terjadi dan tercatat 0,6% pasien
mengalami katarak, vortex keratopati, neuritis optik dan retinopati. Pada beberapa
literatur, pasien denga retinopati tamoxifen mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis
6-81 g. Sebanyak 12% pasien yang mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis 12
mg/hari akan mengalami toksisitas pada retina. Patogenesis adalah dengan
peningkatan akumulasi dari glutamat yang mengarah ke aksonal degenerasi. Kristal
terlihat pada pemeriksaan fundus pada prroses yang lama. Deposit yang luas akan
mengakibatkan edema makula dan gangguan ketajaman visual. Ketajaman visual
dapat meningkat kembali setelah berhenti mengkonsumsi tamoxifen bersama dngan
resolusi makula edema, tetapi deposit pada retina tidak akan pernah kembali.
Gambar 2.6 Fundus pada pasien retinopati tamoxifen menunjukan deposit putih sampai
kuning pada makula
Sumber: Temkar S. et al. Tamoxifen maculopathy in a male patient
15
Etambutol merupakan salah satu obat tuberkulosis yang efektif dan paling
jarang terjadi resistensi, sehingga sering digunakan pada kasus Tuberkulosis Multi
Drug Resistance (TB MDR). Namun, tidak sedikit yang melaporkan terjadinya
Neuropati Optik Toksik (NOT) dengan gejala klinis berupa penurunan penglihatan
hingga terjadinya kebutaan. (Liberstheyn, 2015)
Kejadian NOT terkait etambutol ini sangat bervariasi dari beberapa studi
berkisar antara 0,5 - 35% penderita (Grzybowski, et al, 2015). Sebuah studi
melaporkan 42% pasien dengan gangguan penglihatan permanen yang bergantung
pada severitas gangguan awal. (Garg, et al 2015). Dilaporkan pada sebagian besar
kasus, toksisitas terjadi pada dosis lebih dari 20mg/kgBB/hari. Namun tidak
sedikit pula toksisitas sudah terjadi pada dosis standar yaitu 15mg/kgBB/hari,
contohnya pada sebuah kasus yang dilaporkan oleh Yang et al dimana neuropati
optik telah terjadi pada dosis 12 mg/kgBB/hari. Durasi pemakaian obat yang
menimbulkan efek Toksik adalah pemakaian rata-rata satu hingga enam bulan.
Namun pernah dilaporkan durasi tercepat dimana gangguan penglihatan akibat
etambutol terjadi pada penggunaan hanya tiga hari (Yang, et al, 2016).
Neuropati Optik Toksik (NOT) adalah kelainan pada fungsi penglihatan
akibat kerusakan saraf optik yang disebabkan oleh zat beracun (Khurana, 2015).
NOT terjadi karena terpapar oleh bahan yang terdapat pada lingkungan sekitar
yang bersifat toksik pada saraf, menelan bahan makanan tertentu atau material
lain yang mengandung bahan toksik, atau terjadi dari peningkatan level dosis obat
tertentu dalam darah. (Nazihatul & Hazabbah, 2017). Obat-obatan yang dapat
menyebabkan NOT diantaranya adalah etambutol, isoniazid (pada pengobatan
tuberkulosis), klorokuin (pengobatan kasus amuba), penggunaan antibiotik seperti
linezolid dan kloramfenikol, obat jantung amiodaron, obat anti neoplastik seperti
siklosporin (Khurana, 2015).
NOT dapat memberikan gejala berupa penurunan penglihatan yang
berlangsung progresif, semakin memberat hingga dapat terjadi kebutaan.
Meskipun hilangnya penglihatan ini bersifat reversibel saat etambutol diturunkan
dosisnya atau dihentikan, beberapa pasien mengalami gangguan penglihatan
permanen bahkan dengan dosis obat yang standar (Chen, et al, 2015). Beberapa
16
kasus progresifitas tetap berjalan meskipun obat telah dihentikan. Seringkali
dijumpai perbaikan yang tidak sempurna. Bahkan ada pula yang mengalami
kebutaan permanen (Koul, 2015). Mekanisme terjadinya neuropati optik akibat
etambutol diduga disebabkan oleh gangguan fungsi dari mitokondria
(Chamberlain et al, 2017). Sebuah penelitian menemukan adanya perubahan
vakuola dari sitoplasma sel ganglion pada binatang yang disuntikkan etambutol.
Etambutol bersifat metal chelator, yang bisa berinteraksi dengan seng, tembaga
maupun besi yang menyebabkan kerusakan pada mitokondria (Makhrukh et al,
2017). Studi pada binatang telah menunjukkan efek toksik dari etambutol
terhadap sistem visual secara elektrofisiologi, maupun histopatologi. (Benedetti,
et al, 2013).
Patofisiologi Masih belum terungkap mengapa beberapa agen sangat
toksik terhadap saraf optik terutama bundel papilomakular, sedangkan tidak toksik
terhadap yang lain (Han et al, 2015). Zat-zat toksik menghambat rantai transpor
elektron dan fungsi mitokondria, menyebabkan gangguan produksi ATP dan
akhirnya merusak sistem transportasi aksonal yang bergantung pada ATP. Semua
faktor risiko berdampak terhadap proses fosforilasi oksidatif pada mitokondria.
Sifat-sifat chelating etambutol telah dihipotesiskan berkontribusi pada toksisitas
saraf, menyebabkan influks kalsium ke dalam mitokondria. (Gumus & Oner,
2015).
Faktor risiko yang mempengaruhi munculnya NOT karena etambutol
apabila terdapat gangguan pada ekskresi hasil metabolit etambutol, contohnya
tuberkulosis pada pasien dengan kelainan ginjal, diabetes melitus, kerusakan hati,
gizi buruk, penggunaan tembakau dan alkohol serta pada pasien yang tua. Pasien
Akan mengalami perbaikan fungsi penglihatan secara perlahan-lahan bila
pengobatan dengan etambutol dihentikan, tetapi tidak jarang terdapat pasien
mengalami kehilangan fungsi penglihatan secara permanen meskipun pengobatan
dengan etambutol telah dihentikan. Sebuah penelitian mendapatkan hanya 3 dari
pasien 7 (42,2%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan setelah menghentikan
pengobatan etambutol selama 2-8 bulan (Morgia et al, 2014).
17
Tanda dan gejala klinis NOT seringkali muncul sebagai gangguan
penglihatan yang bilateral dijumpai pula unilateral, simetris, painless, dan
progresif. Manifestasi klinis dapat berupa penurunan visus, skotoma sentral, dan
gangguan penglihatan warna. Bila hilangnya penglihatan unilateral, disertai nyeri
maka kemungkinan lain harus dipikirkan (Khurana, 2015).
Neuropati optik terkait etambutol memberikan gejala penurunan
penglihatan bilateral, perlahan dan progresif. Sebuah studi menyebutkan bahwa
pada fase awal nervus optikus yang pertama kali terkena. Jika etambutol
dilanjutkan, kerusakan dapat menyebar sampai ke seluruh kiasma yang akan
memberikan gejala bitemporal hemianopia (Gumus & Oner, 2015).
Serat yang lebih terkena adalah papilomakular yang berkaliber kecil. Pada
neuropati optik aksial didapatkan penurunan visus, skotoma sentral dan gangguan
penglihatan warna hijau. Neuropati paraaksial dengan keterlibatan kiasma optika,
bisa didapatkan hemianopia bitemporal dengan visus dan penglihatan warna
normal. Gangguan ini bisa dikeluhkan pada dua hingga delapan bulan setelah
onset. Tidak didapatkan relative afferent pupillary defect (RAPD). Pemeriksaan
oftalmologis yang seharusnya dilakukan sebagai preventif terjadinya optik
neuropati akibat etambutol adalah pemeriksaan visus, penglihatan warna, dan tes
lapang pandang. Kaimbo dkk pada studi prospektif terhadap 42 penderita TB
dengan terapi etambutol, mendapatkan 36% diantaranya mengalami gangguan
penglihatan warna (Morgia et al, 2014). Gangguan penglihatan warna merupakan
gejala yang biasanya dijumpai pertama kali. Pasien mengalami gangguan warna
merah hijau, namun ada juga yang melaporkan biru kuning (Benedetti, et al,
2013). Atrofi optik tidak terjadi sampai beberapa bulan setelah serat tersebut
hilang. Ini berarti temuan objektif abnormalitas dari pemeriksaan fundus
seringkali tidak didapatkan (Gumus & Oner, 2015).
18
Sildenafil Gangguan visual warna
OCPs & Hormone Oklusi vaskular, perdarahan, vena trombosis
Indometasin Perubahan pigmen , color Vn loss
Clomiphene Fenomena entopic, Color Vn disturbance
Tamoxifen Kristal retina, makular edema
Carmustine Retinal vascular disease
Vigabatrine Lapang pandang konstriksi
Isotretinoin Impaired dark adaptation
Niacin Cystoid makular edema
Talc Intra arteriolar talc emboli
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
3. Park,S., Siegelman., The anatomy and cell biology of the human retina in
duanes clinical ophthalmolog. Lippincott and William Wilkins.
4. Newman SA, Arnold AC, Friedman DI, Kline LB, Rizzo III JF. BCSC :
Neuro-opthalmology. Section 5. San Francisco, USA : AAO, 2008-2009;
23-28.
5. Schiefer.U, Hart.W, Clinical Neuro Opthalmology : Functional Anatomy
of The Human Visual Pathway. St.Louis.USA:Springer,2007;19-28.
6. Trobe JD. The neurology of vision. Optic Neuropathy. Oxford
University:New York;2011.
7. Liu GT ,Volve NJ ,Galetta SL. Visual loss : Optic neuropathies in Neuro-
ophthalmology, Diagnosis and Management. W.B. Saunders company:
Philadelphia. 2001.p.103-170.
8. Fletcher, EC, Chong V. Retina, in Vaughan and Asburys General
Ophthalmology 17th ed., McGraw-Hill co., New York; May 2007.
9. Miller RN, Biousse V, Newman JN, Kerrison BJ. Toxic and deficiency
optic neuropathies in Walsh and Hoyts Clinical neuroophthalmology: the
essential.2nd ed. Lippincott Wiliiam and wilkins. Philadelpia ; 2008 : 202-
210.
10. Vaughan & Ashburry et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Alih bahasa : dr.
Brahm U. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2009
11. Alastair & Murray et al. 2014. Oxford handbook of ophthalmology third
edition
12. Adam T. Gerstenblith & Michael P. et al. 2012. The Wills Eye Manual:
office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease
13. Liberstheyn, Y. 2015. Ethambutol/Linezolid Toxic Optic Neuropathy.
Florida: American Academy of Optometry.
14. Grzybowski, A.,¨lsdorff, M.,dan Wilhelm H, Tonagel F. Toxic optic
europathies: an updated review. Acta Ophthalmol 2015;93:402Y10.
15. Garg P, Garg R, Prasad R, Mishra AK. 2015. A prospective study of
ocular toxicity in patients receiving ethambutol as a part of directly
observed treatment strategy therapy. Lung India 2015;32(1):16-19
16. Yang HK, Park MJ, Lee JH, Lee CT, Park JS, Hwang JM. 2016. Incidence
of toxic optic neuropathy with low-dose ethambutol. Int J Tuberc Lung Dis
2016;20(2):261-264
21
17. Khurana A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age
International Limited. New Delhi.
18. Nazihatul, F. A. H., Hasabbah, W. H. 2017. Optic Neuritis Occuring In
Pulmonary Tuberculosis On Treatment An Immunological Reactions.
International Journal of Public Health and Clinical Sciences.
19. Chen, S. C., Lin, M. C., dan Sheu, S. J. 2015. Incidence and prognostic
factor of ethambutol-related optic neuropathy: 10-year experience in
southern Taiwan.The Kaohsiung Journal of Medical Science.
20. Koul PA. Ocular toxicity with ethambutol therapy: Timely recaution. Lung
India.2015;32(1):12.
21. Chamberlain PD, Sadaka A, Berry S, Lee AG. 2017: Ethambutol optic
neuropathy. Current Opinion in Ophthalmology 28: 545-551.
22. Makhrukh, Ashraf A., Bhat M. A. 2017. Visual Field Changes in Patients
Receiving Antitubercular Drug Therapy at Tertiary Care Hospital: An
Analytical Observational Study.International Journal Contemporary
Research.
23. Ezer N, Benedetti A, Darvish-Zargar M, Menzies D. 2013. Incidence of
ethambutol-related visual impairment during treatment of active
tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2013; 17: 447455.
24. Han J, Byun MK, Lee J, Han SY, Lee JB, Han SH. 2015. Longitudinal
analysis of retinal nerve fiber layer and ganglion cell-inner plexiform
layer thickness in ethambutol-induced optic neuropathy. Graefes Arch
Clin Exp Ophthalmol. 2015; 253: 22932299.
25. Gumus A, Oner V. 2015. Follow up of retinal nerve fiber layer thickness
with optic coherence tomography in patients receiving anti-tubercular
treatment may reveal early optic neuropathy. Cutan Ocul Toxicol. 2015; 34:
212216.
26. La Morgia C, Carbonelli M, Barboni P, Sadun AA, Carelli V. 2015.
Medical management of hereditary optic neuropathies. Front Neurol 2014;
5:141.
22
27. Meira Neudorfer. 2013. Ocular Adverse Effects of Systemic Treatment
With Isotretinoin. Arch Dermatol ;148(7):803-808
28. Temkar S, Pujari A, Agarwal D, et al. 2017. Tamoxifen maculopathy in a
male patient; BMJ Case Rep Journal
23