Disusun oleh:
Henggar Allest Pratama
NIM 122011101080
Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 3
2.1 Definisi ......................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ............................................................... 3
2.3 Etiologi ........................................................................ 3
2.4 Klasifikasi .................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ................................................................. 7
2.6 Manifestasi Klinis ....................................................... 12
2.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................ 13
2.8 Diagnosis ...................................................................... 14
2.9 Tata Laksana .............................................................. 14
2.9.1 Tatalaksana Umum ............................................ 14
2.9.2 Tatalaksana dengan Kortikosteroid ................. 17
2.10 Update Pengobatan Sindroma Nefrotik .................... 24
2.11 Prognosis ..................................................................... 26
BAB 3. PENUTUP ............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 28
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidensi SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak (Eddy dan Symons, 2003). Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14
tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (IDAI, 2012).
Berdasarkan etiologinya, SN dibagi menjadi 3 yaitu kongenital,
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti SLE, atau
purpura Henoch Schonlein . Pada anak, 90% kasus SN adalah sindroma nefrotik
primer. Dari sindroma nefrotik primer tersebut 80% diantaranya secara
histopatologis merupakan Sindroma Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) yang
90% responsif baik dengan steroid (Alatas, 2015).
Sindroma nefrotik dicirikan secara spesifik dengan adanya trias yaitu
proteinuria massif, hipoalbuminemia, dan edema. Kerusakan barier filtrasi dari
glomerulus ginjal mendasari patofisiologi dari sindroma nefrotik. Adanya defek
pada glomerulus menyebabkan gangguan filtrasi sehingga protein yang seharusnya
terfiltrasi menjadi terlepas ke urin (Lennon, 2009). Proteinuria masif tersebut akan
menurunkan kadar albumin sehingga akan menurunkan tekanan onkotik plasma
yang menyebabkan perpindahan cairan ke interstisial sehingga edema. Selain itu,
hiperkolesterol juga sering menyertai adanya trias sindroma nefrotik ditandai
dengan peningkatan kolesterol plasma dan trigliserida (Price, 2013).
Pengobatan sindroma nefrotik selalu berkembang. Saat ini sebagai pedoman
di seluruh Negara adalah rekomendasi dari ISKDC. ISKDC merekomendasikan
untuk pengobatan sindroma nefrotik diberikan selama 8 minggu, dengan 4 minggu
full dose dan 4 minggu alternating dose. Skema pengobatan ISKDC ini dipakai oleh
semua pusat pendidikan nefrologi di seluruh dunia. Dengan pengobatan ini, pada
SNKM dilaporkan bahwa terjadi remisi dalam 80-90% kasus. Namun, jumlah
1
terjadinya relaps juga mencapai 70% dengan 50% diantaranya akan menjadi relaps
sering dan dependen steroid (Alatas, 2015).
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang disertai juga
dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal (IDAI, 2010).
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidensi SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak (Eddy dan Symons, 2003). Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14
tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (IDAI, 2012).
2.3 Etiologi
Berdasarkan etiologinya sindroma nefrotik terdiri atas sindroma nefrotik
primer, sindroma nefrotik kongenital, dan sindroma nefrotik sekunder. Sindroma
nefrotik primer merupakan sindroma nefrotik yang muncul tanpa diketahui
penyebabnya. Sindroma nefrotik primer merupakan peyebab terbanyak sindroma
nefrotik. Angka kejadiannya adalah 90% dari seluruh sindroma nefrotik. Di
Indonesia insidensi sindroma nefrotik primer ini adalah 2 kasus per 100.000 pada
anak usia kurang dari 16 tahun dengan angka prevalensi kumulatifnya sebesar 16
dari 100.000 (IDAI, 2002). Sindroma nefrotik kongenital adalah sindroma nefrotik
yang muncul pada usia kurang dari 3 bulan. Angka kejadiannya adalah 1,5% dari
seluruh kejadian sindroma nefrotik. Tipe sindroma nefrotik kongenital yang paling
sering adalah sindroma nefrotik kongenital tipe Finnish. Di Finlandia, angka
kejadian sindroma nefrotik kongenital tipe Finnish ini mencapai 1,2 per 10.000
populasi. Sindroma nefrotik kongenital mempunyai prognosis yang buruk
(Pardede, 2005). Sedangkan sindroma nefrotik sekunder adalah sindroma nefrotik
3
yang muncul akibat penyakit sistemik lain. Penyakit sistemik lain yang paling
sering menimbulkan sindroma nefrotik sekunder adal Purpura Henoch Schonlein,
SLE, dan adanya keganasan seperti limfoma Hodgkin. Selain itu penyebab lain
adanya sindroma nefrotik sekunder ini adalah adanya pemakaian obat-obatan dan
infeksi kronis. Sejauh ini belum ada catatan ngka kejadian sindroma nefrotik
sekunder (Pudjiastuti, 2006).
2.4 Klasfikasi
Dalam membahas tentang klasifikasi/pembagian sindroma nefrotik, perlu
kita ketahui pula sejarah perkembangan sindroma nefrotik terkait dengan
perkembangan klasifikasinya.
Sindroma nefrotik sudah dikenal sejak tahun 1905. Pada saat itu Frederich
Muller menggunakan istilah “nefrosis” untuk membedakan degenerasi lemak
tubulus pada glomerulus normal daripada nefritis yang menunjukkan inflamasi
tubulus. Tahun 1913 Munk menemukan butir-butir lipid dalam sedimen urin yang
kemudian diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah ini kemudian diganti dengan
sindroma nefrotik karena memang terdiri dari kumpulan gejala yang menunjukkan
suatu keadaan klinik tanpa menunjukkan suatu penyakit yang mendasari (IDAI,
2002).
Pengobatan sindroma nefrotik sebelum tahun 1965 masih simpang siur dan
tidak ada kesamaan dari Negara satu dengan yang lain, bahkan satu kota dari rumah
sakit satu ke rumah sakit lain bias berbeda. Tidak ada kesamaan penggunaan
kortikosteroid baik dosis ataupun lama pemberiannya sehingga tidak bias
dibandingkan antara satu dan lainnya. Hal ini menggugah para nefrologi anak dari
Amerika, Eropa, dan Asia untuk membuat skema pengobatan sindroma nefrotik
anak. Mereka kemudian mendirikan International Study of Kidney Desease in
Children (ISKDC) dan mengadakan studi publikasi ke berbagai Negara. ISKDC
segera membuat pengumpulan data prospektif dari seluruh Negara di dunia mulai
tahun 1967. Prosedurnya adalah Negara yang ingin berpartisipasi dalam penelitian
ini harus mengirimkan data pasien dengan diagnose sindroma nefrotik pada ISKDC
dan melakukan biopsy ginjal untuk dikirim preparat patologi anatominya ke ketiga
4
pusat PA ISKDC yaitu Dr. Rene Habib (Perancis), Dr. Churg (Amerika), dan Dr.
RHR White (Inggris). Dari ketiga tokoh inilah dirumuskan klasifikasi dan
penyeragaman nomenklatur terkait dengan hasil patologi anatomi ginjal dari
sindroma nerotik pada tahun 1970 (Alatas, 2015).
Klasifikasi tersebut adalah :
Sindroma Nefrotik Kelainan Minimal
Glomerulonefritis Fokal Segmental
Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial
Glomerulonefritis Membranoproliferatif
Glomerulonefritis kresentrik
Nefropati Membranosa
Glomerulonefritis kronik lanjut (Alatas, 2015).
5
Di Indonesia, penelitian tentang biopsy ginjal pernah dilakukan pada tahun
1994-1995 di RS dr. Sardjito Jogjakarta dengan melibatkan 28 kasus sindroma
nefrotik primer. Hasilnya terjadi pergeseran dari hasil penelitian ISKDC dimana
selain SNKM juga terdapat peningkatan jumlah yang bermakna pada
glomerulonephritis fokal segmental seperti table berikut (Damanik, 2017).
6
Di Indonesia, dengan penerapan skema pengobatan ISKDC tersebut juga
dibuat beberapa batasan untuk menggambarkan kondisi pengobatan terkait
sindroma nefrotik. Batasan tersebut adalah sebagai berkut.
2.5 Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Muatan negatif dapat hiang karena adanya
peradangan di glomerulus akibat adanya kompleks antigen-antibodi yang terdapat
di glomeruls (Price, 2013). Adanya kompleks antigen antibodi tersebut akan
7
merusak beberapa protein yang dianggap bertanggung jawab dalam memunculkan
muatan negatif yang akan menahan albumin dan protein tidak terfiltasi. Protein
tersebut antara lain proteoglikan sulfas heparan dan siloprotein glomerulus. Dengan
pengobatan kortikosteroid kedua proein tersebut dapat kandungannya dapat
kembali normal sebagai respon pengobatan (IDAI, 2002). Selain teori hilangnya
muatan negatif akibat adanya peradangan glomerulus oleh kompleks antgen-
antibodi, proteinuria juga dapa disebabkan oleh meningkatnya pori-pori glomerulus
yang melebar akibat adanya peradangan. Pelebaran poli tersebut adalah akibat dari
hilangnya pseudopodia dari sel-sel epitel glomerulus yang tampak pada mokroskop
elektron (Berkowitz, 2000).
Jumlah albumin dalam tubuh ditentukan oleh sintesis hepar dan pengeluaran
akibat degradasi metabolik pada renal dan GI yang normalnya dalam keadaan
seimbang. Pada anak dengan SN, terjadi proteinuria masif yang 90% diantaranya
adalah albumin. Kehilangan albumin dalam jumlah besar ini tidak mampu
dikompensasi secara sempurna oleh sintesis hepar (dalam penelitian bisa meningkat
sintesisnya menjadi dua kali lipat) sehingga muncul hipoalbuminemia (Kliegman
et al, 2011). Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan
plasma ke ruang interstitial. proteinuria dinyatakan ”berat” untuk membedakan
dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindroma nefrotik.
Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan,
dianggap proteinuria berat (IDAI, 2002).
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
8
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial (IDAI, 2002).
Edema adalah gejala yang paling sering muncul pada sindroma nefrotik.
Edema dapat terjadi di seluruh tubuh, predileksi pertama yang muncul adalah di
sekita mata sehingga mata terlihat sembab, kemudian dapat disertai dengan
bengkak di kedua tungkai, lengan, hingga ke seluruh tubuh. Mekanisme utama
dalam edema adalah teori underfill dan overfill (Kliegman, 2011).
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin
yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar
natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder
karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma
dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill.
Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal
primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma
yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat
hipervolemia (Cadnapaphornchai, 2013).
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih
dari satu (IDAI, 2002).
9
Gambar 1. Teori Underfill (Cadnapaphornchai, 2013)
10
Gambar 2. Teori Overfill (Cadnapaphornchai, 2013)
11
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali
normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka
umumnya kadar lipid kembali normal (IDAI,2002). Teori lain adalah akibat adanya
penurunan proprotein convertase subtilin yang menurun konsentrasinya di plasma
akibat produksi di hepar yang menurun. Pada sindroma nefrotik, kadar proprotein
convertase subtilin mengalami penurunan (Haas, 2016).
12
dapat diketahui pada pasien lebih berat dari sebelumnya secara signifikan namun
tidak disertai dengan perbaikan nafsu makan atau asupan nutrisi peroral (IDAI,
2002).
Gejala lain yang sering muncul adalah gangguan gastrointestinal. Yang
paling sering muncul adalah diare dan penurunan nafsu makan. Diare yang muncul
pada sindroma nefrotik tidak dikaitkan dengan infeksi namun leih kepada adanya
edema pada usus sehingga terjadi gangguan absorbs cairan yang menyebabkan
adanya diare (Kliegman, 2011). Penurunan nafsu makan terjadi karena
hepatomegaly akibat peningkatan sintesi albumin ataupun karena edema usus yang
menyebabkan motilitas usus berkurang. Pada beberapa pasien dapat muncul nyeri
perut yang bias jadi hebat. Dalam hal iniperlu dibuktikan apakah terjadi peritonitis
yang muncul akibat komplikasi sindroma nefrotik (atau sebab lain) ataukah tidak.
Jika tidak, maka munculnya nyeri perut disebabkan karena edema pada dinding
perut dan hepatomegaly. Asites yang berat dapat menyebabkan hernia dan prolapse
rectum (IDAI, 2000).
Gangguan pernafasan yang muncul dapat terjadi akibat adanya efusi pleura,
edema paru, ataupun asites yang besar sehingga menghambat ekspansi thorax.
Gangguan pernafasan ini bias menjadi sesuatu yang gawat. Selain itu pasien
sindroma nefrotik juga sering muncul dengan gangguan psikososial. Kecemasan
yang muncul ini dapat terjadi saat sebelum pengobatan atapun selama dan sesudah
pengobatan. Adanya pembatasan diit, aktifitas yang otomatis berkurang dan
kecemasan serta perasaan bersalah yang muncul dapat menjadi penyebab
munculnya gangguan fungsi psikososial (IDAI, 2002).
13
c. Pemeriksaan darah
DL lengkap
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
Kadar komplemen C3, bila dicurigai penyebabnya adalah SLE ditambah
dengan pemeriksaan C4, ANA, dan anti ds-DNA (IDAI, 2012).
2.8 Diagnosis
Diagnosa SN dapat ditegakkan jika ada keadaan klinis yang ditandai dengan:
a. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
b. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
c. Edema
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL (IDAI, 2012).
14
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
4) Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap
infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.
5) Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid
(INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah (IDAI,
2012).
Diiteik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (IDAI, 2012).
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah (IDAI, 2012).
15
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-
gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan
dapat dilakukan pungsi asites berulang (IDAI, 2012).
16
dengan urine output sehari sebelumnya ditambah dengan insensible water loss
(IWL) (IDAI, 2012)
Albumin
Albumin loos adalah manifestasi utama dari sindroma nefrotik sehingga
kadar albumin yang berkurang ini harus dicukupkan karena sintesis dari hepar tidak
cukup untuk mensubstitusi kekurangan albumin yang hilang. Namun pemberian
substitusi albumin juga dilematik karena albumin yang kita berikan juga akan
hilang karena pada sindroma nefrotik yang belum remisi masih terjadi proteinuria
massif, selain itu harga human serum albumin yang relative mahal. Maka dari itu
penggunaan transfusi albumin harus digunakan secara bijaksana. Oleh karena itu
penggunaan transfusi albumin diberikan jika kadar albumin serum dibawah 2 g/dl.
Jika kadarnya 1-2 g/dL maka diberikan albumin 0,5 mg/kgBB/hari dan jika kadar
albumin <1 g/dL maka diberikan transfusi albumin 1 mg/kgBB/hari (IDAI, 2010).
A. Terapi inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (IDAI, 2012).
17
Gambar 4: Pengobatan sindroma nefrotik dengan terapi insial (IDAI, 2012).
B. Pengobatan relaps
Skema pengobatan relaps dengan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas
atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan (IDAI, 2012).
18
C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi <
1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA) (IDAI, 2012).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitis rash, dan
neutropenia yang reversible (IDAI, 2012).
19
3. Sitostatika
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi
20
Gambar 6: Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral (IDAI, 2012)
Keterangan:
Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilajutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD)
40mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal
selama 8 minggu
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid,
CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid (IDAI, 2012).
21
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek
samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia (IDAI, 2012).
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA,
bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten
steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
22
kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls (IDAI,
2012).
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak
20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
Kadar kreatinin darah berkala.
Biopsi ginjal setiap 2 tahun (IDAI, 2012).
3. Metilprednisolon puls
Pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison
oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30
mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam (IDAI, 2012).
23
Tabel 2: Protokol metilprednisolon dosis tinggi
Pada tahun 2012 dan 2013 Kidney Desease Improving Global Outcome
(KDIGO) menyatakan bahwa jika pemberian steroid hanya 8 minggu maka akan
banyak terjadi kasus relaps, maka dari itu batasan resisten diperpanjang lagi
menjadi 8 minggu ditambah dengan tapering off sebelum dihentikan. Dalam hal ini
KDIGO menyatakan baha batasan resisten adalah 8 minggu, apabila pasien remisi
dalam 4 minggu pertama disebut early responder sedangkan jika remisi dalam 4
minggu kedua disebut late responder (Hodson, 2005).
24
Gambar 9. Skema Rekomendasi KDIGO (Alatas, 2015)
Rekomendasi KDIGO dipublikasikan dalam Kidney International
Supplement 2012 dan J Pediatric Nephrology 2013.5-8 Dalam rekomendasi
KDIGO tersebut, pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan
prednison/prednisolone, memberi dua pilihan (KDIGO, 2012):
Prednison oral dosis penuh (full dose) selama 6 minggu (maksimal 60
mg/m2/hari), dilanjutkan 6 minggu dengan dosis alternating, diberikan
single dose pagi hari (1B)
Pengobatan inisial 6-6 minggu pernah dilakukan di Departmen Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hasilnya jumlah
remisi memang lebih banyak namun tidak signifikan. Pemberian 6-6
minggu juga pernah dilakukan di Jerman dan didapatkan dapat mengurangi
relaps dibandingkan ISKDC 4-4 minggu.
Pemberian prednison dosis penuh 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua 40 mg/m2 atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, jadi tetap 8 minggu
seperti sebelumnya, tetapi dilanjutkan 3 bulan dosis diturunkan (tapering
off) sebelum prednison dihentikan (Gambar 9).
Kidney International 2015 dan Japanese Study Group of Kidney Desease in
Children (JSKDC) membuat publikasi untuk membandingkan pemberian
prednisolone 4-4 minggu dengan 6 bulan (4-4 minggu + tapering off 3 bulan).
Dilakukan Randomized Clinical Trial (RCT) dan mendapatkan hasil sebagai
berikut:
25
Pemberian prednisolone pada terapi inisial sindroma nefrotik anak 4-4
minggu tidak lebih inferior daripada yang dianjurkan KDIGO 2013 selama
6 bulan.
Pemberian prednisolone 6 bulan tidak mengurangi relaps dibandingkan
pemberian 4-4 minggu (Yoshikawa, 2015).
2.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik tergantung dari tipe histopatologinya.
Pasien dengan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) memiliki resiko lebih
tinggi untuk terjadinya End Stage Renal Disease (58,6%) dibanding dengan pasien
dengan Diffuse Mesangial Proliferasion (DMP) sebanyak 50% dan Minimal
Change Disease (MCD) sebanyak 4,9% (Kliegman, 2011)
26
BAB 3. PENUTUP
27
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Trihono, Tambunan, Pardede, dan EL. 2015. Pengobatan Terkini Sindroma
Nefrotik Pada Anak. Sari Pediatri: Vol 17. No 22.
Eddy, Allison A., and Jordan M. Symons. 2003. Nephrotic Syndrome In Childhood.
The Lancet 362.9384: 629-639.
Haas, M. E., Levenson, A. E., Sun, X., Liao, W. H., Rutkowski, J. M., de Ferranti,
S. D., ... & Biddinger, S. B. 2016. The Role Of Proprotein Convertase
Subtilisin/Kexin Type 9 In Nephrotic Syndrome-Associated
Hypercholesterolemia. Circulation, 134(1), 61-72.
Hodson EM, Graig JC, Willis NS. Evidence Base Management Of Steroid
Sensitive Nephrotic Syndrome. Pediatr Nephrol 2005;20:1523-30.
IDAI. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit UI.
IDAI. 2012. Konsensus Tata Laksana Sindroma Nefrotik Idiopatik Pada Anak.
Jakarta: Balai Penerbit UI.
Kumar, J., Gulati, S., Sharma, A. P., Sharma, R. K., & Gupta, R. K. (2003).
Histopathological spectrum of childhood nephrotic syndrome in Indian
children. Pediatric Nephrology, 18(7), 657-660.
28
Lennon, R., Watson, L., & Webb, N. J. 2010. Nephrotic Syndrome In Children.
Paediatrics and Child Health, 20(1), 36-42.
Mubarak, M., Lanewala, A., Kazi, J. I., Akhter, F., Sher, A., Fayyaz, A., & Bhatti,
S. (2009). Histopathological spectrum of childhood nephrotic syndrome in
Pakistan. Clinical and experimental nephrology, 13(6), 589.
Pudjiastuti, Gatot, dan Ariani. 2006. Sindroma Nefrotik Sekunder Pada Anak
dengan Limfoma Hodkin. Sari Pediatri: Vol 8, No 1.
29