Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOLOGI

METABOLISME DAN EKSKRESI OBAT

OLEH :

RAFIKA NUR ANNISA (1900036)

DOSEN PENGAMPU :

NOVIA SINATA,M.Si,Apt

PROGRAM STUDI DIPLOMA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya,
saya dapat menyelesaikan Makalah tentang Metabolisme Dan Ekskresi Obat tanpa
ada halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.Makalah yang
telah kami susun ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dari dosenNovia
Sinata,M.Si,Apt.

Dengan ini saya menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan
baik tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak terkait.Oleh karena itu, pada
kesempatan ini tidak lupa juga saya mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini.Ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Ibu Novia
Sinata,M.Si,Aptyang telah membimbing mata kuliah Farmakologi dan dalam
pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dalam
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam


penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi saya dan pada umumnya bagi para pembaca.

Pekanbaru,Maret 2020

Rafika nur annisa


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................1
1.1 latar belakang...........................................................................................1
1.2 rumusan masalah......................................................................................1
1.3 tujuan........................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................2
2.1 Metabolisme Obat.....................................................................................2
2.2 Tujuan Metabolisme.................................................................................2
2.3 Fase-fase metabolisme..............................................................................2
2.4 Enzim yang terlibat ..................................................................................3
2.5 Faktot-Faktor Yang Mempengaruhi.........................................................4
Ekskresi.................................................................................................................12
BAB III.................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metabolisme obat sering disebut biotransformasi. Metabolisme obat terjadi


terutama di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di
cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah pada dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut


lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada
umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresikan dari dalam tubuh.

1.2 Rumusan Masalah


1. Untuk mengetahui bagaimana proses metabolisme?
2. Untuk mengetahui tujuaan metabolisme
3. Untuk mengetahui tempat terjadinya metabolisme
4. Untuk mengetahui proses eksresi

1.3 Tujuan

Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim


pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya
BAB II
ISI
2.1 METABOLISME OBAT

Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi, metabolisme obat


terutama terjadi dihati, yakni di mambran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan
dicytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus,
ginjal, paru , darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).Tujuan
metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

2.2 TUJUAN METABOLISME

Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:


1) memberikan energi kepada tubuh, untuk memecah suatu senyawa yang
lebih sederhana atau biosintesa senyawa-senyawa yang lebih kompleks.
2) untuk biotransformasi senyawa-senyawa asing menjadi senyawa yang
lebih polar.
3) larut dalam air dan dalam struktur yang terionisasi sehingga dapat
dieliminasi dengan mudah.
Aktivitas metabolisme atau dalam beberapa pustaka disebut dengan
kemampuan metabolisme, kapasitas metabolisme atau kecepatan metabolisme,
semuanya merujuk pada proses oksidasi enzimatik di hati oleh enzim mikrosomal
oksidase. Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam
perjalanan obat di dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga
akan lebih cepat diekskresi melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut
lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal dan metabolit yang
dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.
Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat,
metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat aslinya,
contohnya Diazepam.

2.3 FASE-FASE METABOLISME

Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II
dan reaksi fase III.

2.3.1 Reaksi fase I


Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih
polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional
(misalnya – OH, - NH2, -SH). Metabolisme reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi,
reduksi, hidrolisis, hidrasi dan isomerasi. Oksidasi merupakan reaksi yang paling
banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini dikatalisis oleh suatu kelas enzim
yang penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas campuran mikrosomal
yaitu sitokrom P- 450.
2.3.2 Reaksi fase II
Reaksi fase II terjadi apabila obat atau metabolit obat dari reaksi fase I tidak
cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada reaksi
fase II ini, obat atau metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui
konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati yang dimana golongan enzim-
enzim yang berbeda akan bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga
sebagai contoh sintesis UDP-asam glukuronat hanya dapat terjadi apabila terjadi
reaksi glukuronidasi dengan enzim UDPGlukuroniltransferase Sedangkan reaksi
fase III dianggap oleh para peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari
konjugat glutation yang menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat.
Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
polimorfisme, penyakit tertentu, penggunaan bersama alcohol, jenis kelamin,
makanan, dan kebiasaan merokok.Keragaman genetik dimanifestasikan dengan
perbedaan dalam nukleotida tunggal atau keseluruhan gen yang mengkode protein
tertentu. Hal tersebut akan menyebabkan adanya populasi yang mengekspresikan
protein yang strukturnya berbeda dengan protein pada populasi mayoritas.
Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam amino tunggal dengan asam
amino lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah. Keadaan ini
dinamakan polimorfisme. Polimorfisme merupakan variasi genetic yang muncul
paling sedikit 1 % atau lebih dalam sebuah populasi. Efek yang ditimbulkan dari
polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat polimorfisme tidak akan efisien atau
bahkan tidak berfungsi sama sekali.

2.4 ENZIM YANG TERLIBAT DALAM METABOLISME

2.4.1. INDUKSI ENZIM


Banyak xenobiotika (bisa disebut dengan obat) khususnya senyawa-senyawa
yanglarut baik dalam lemak dengan masa kontak dalam hati yang lama,
mampumenginduksi peningkatan pembentukan enzim-enzim yang terlibat
pada biotransformasi. Karena itu disebut sebagai induktor ( enzim )dan dibedakan
menurutenzim yang diinduksi :
 jenis fenobarbital
 jenis metilkolantren
induktor jenis fenobarbital, yang sangat penting untuk metabolisme bahan
obat,menaikkan proliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian
bekerjamenaikkan denhgan jelas bobot hati.induksi menyangkut terutama
sitokrom P-450,di samping itu, antara lain, glukuroniltransferase,
glutationtransferase danepoksidahidrolase lebih banyak dibentuk. 4nduksi terjadi
relatif cepat dalam waktu beberapa hari.
Sebagai akibat induksi enzim, maka kapasitas penguraian dan dengan
demikianlaju biotransformasi meningkat. meningkatan biotransformasi tidak
hanya pada induktor enzim melainkan juga obat-obat lain, bahan khasiat tubuh
sendiri atau senyawaessensial. waktu paruh biologi semua senyawa ini dengan
demikian dipersingkat.'pabila induktor dihentikan, kapasitas penguraian dalam
waktu beberapa hari sampai beberapa minggu menurun sampai pada tingkat
asalnya.
Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut :
 Pada pengobatan jangka panjangdengan induktor enzim, terjadi penurunan
konsentrasi bahan obat yang dapatmencapai tingkat konsentrasi dalam
plasma pada awal pengobatan dengan dosistertentu.
 Kadar bahan berkhasiat tubuhsendiri dalam plasma dapat menurun sampai
di bawah angka normal.
 Pada pemberian bersama denganobat lain terdapat bahaya interaksi obat
yang kadang-kadang berbahaya.selama pemberian induktor
enzim,konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun.'pabila
karena itu dosis ditinggikan untuk mendapatkan efek yang sama maka
pada penghentian induktor, kadar obat dalam darah dapat meningkat di
atas angka kritis.4nduktor jenis metilkolantren, yang termasuk disini
khususnya karbohidrat aromatik (misalnya benzpiren, metilkolantren,
tetraklordibenzodioksin, fenantren) dan beberapaherbisida, terutama
meningkatkan sintesis sitokrom P-488 dan sintesisglukuroniltransferase.
/roliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian kenaikan bobot hati
hanya sedikit menonjol.
2.4.2. INHIBISI ENZIM
Seperti halnya induksi enzim bekerja pada obat-obat yang secara kimia
sangat berbeda maka terdapat banyak bahan obat yang menghambat proses
biotransformasidan dengan demikian dapat memperpanjang kerja dan menaikkan
kerja senyawa-senyawa lain.Inhibisi enzim dapat berlangsung dengan cara
berikut.Bahan obatmenyebabkan penurunan sintesis atau menaikkan penguraian
enzim retikulumendoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat
persaingan tempat ikatan pada enzim dan dengan demikian menyebabkan
penghambatan penguraian secarakompetitif.

2.5 FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI AKTIVITAS


METABOLISME OBAT

2.2.1 Faktor Genetic


Adanya variasi genetic yang mempengaruhi tingkat aktivitas enzim akan
memberikan pula variasi dalam kecepatan metabolism obat. Variasi genetic ini
bisa dalam bentuk variasi enzim yang berperan penting dalam ikatan atau
transport obat. Succiniicholine sebagai contoh, hanya dimetabolisme setengah kali
orang normal pada orang yang secara genetic kekurangan enzim
pseudocholinesterase. Perbedaan dalam kecepatan metabolism juga tampak pada
asetilasi dari isoniazid, dimana terjadi perbedaan dalam proses asetilasi pada
orang-orang Jepang, Eskimo, Amerika Latin dan Amerika negro. Penelitian yang
dilakukan oleh Branch membuktikan adanya pengaruh genetic dan lingkunga
dalam disposisi obat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan yang bermakna
pada waktu peruh eliminasi dan klirens antipirin pada orang Inggris dan orang
Sudan. Pada orang Sudan, harga paruh waktu eliminasi antipirin hampir dua kali
orang Inggris.

2.2.2 Faktor Umur Dan Jenis Kelamin


Beberapa penelitian membuktikan adanya oengaruh kecepatan metabolism obat
karena pengaruh umur dan jenis kelamin. Pada orang tua (rata-rata 77 tahun)
waktu paruh antipirin dan phenilbutazon masing-masing 45% dan 29% lebih besar
dibanding control (rata-rata 26 tahun). Oleh Alvares ditunjukkan bahwa
kecepatan metabolism obat pada anak-anak hapir dua kali lebih besar dibanding
orang dewasa. Alas an yang dipakai untuk menjelaskan keadaan ini adalah adanya
perbedaan pada perbandingan berat hati terhadap berat badan. Pada anak-anak
umur 2 tahun, harga rasio ini (40-50%) lebih besar, sedang pada anak-anak umur
6 tahun 30% lebih besar dibanding orang dewasa. Walaupun pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolism baru dilaporkan terjadi pada tikus, tetapi
oleh O’ Malley ditunjukkan bahwa kecepatan metabolism obat pada wanita lebih
besar dibanding pria.

2.2.3 Faktor Interaksi Obat


Beberapa obat disebabkan oleh sifat lipofiliknya yang sangat tinggi, tidak saja
diterima oleh enzim pada tempat aktifnya tetapi secara tidak spesifik berikatan
dengan membrane lipofil pada reticulum endoplasma. Pada keadaan iini mereka
dapat menginduksi enim mikrosom, atau secara kompetitif dapat menghambat
metabolism obat lain yang diberikan bersama-sama. Hal ini dapat menyebabkan
eek terapi suatu obat menjadi menurun, atau menyebabkan efek toksik pada obat-
obat dengan indeks terapi yang sempit. Sebagai contoh pada orang yang rutin
diberi barbiturate, sedatihipnotik atau tranquilizer akan mempercepat metaolisme
dari wartarin atau dikumarol, sehingga dosis yang diperlukan menjadi lebih besar.
Sebaiknnya dikumarol menghambat metabolism dari tenitoin sehingga dapat
menyebabkan efek toksik seperti alaxia dan drowsiness.

2.2.4 Faktor Penyakit


Penyakit-penyakit akut atau kronis yang mempengaruhi fungsi hati akan
mempengaruhi juga metabolism obat. Penyeki-penyakit seperti: hepatitis
alkoholik, cirrhosis alkoholik aktif atau inaktif, hemochromatis. Hepatitis kronis
aktif, cirrhosis empedu atau hepatitis akut karena virus dapat merusak enzim
metabolic di hati terutama microsomal oksidase, dan karena itu mempengaruhi
juga eliminasi obat. Sakit jantung juga dilaporkan menghambat metabolisme obat.
Hal ini disebabkan karena aliran ke hati terganggu, sehingga untuk obat-obat yang
aliran darah merupakan tahap penentu metabolismenya juga akan terhambat.
Penyakit-penyakit seperti kanker hati, sakit paru-paru, hipotiroid, malaria,
skistosomiasis juga menghambat aktivitas metabolism obat.

2.2.5 Faktor Nutrisi


Oleh Anderson dan Mucklow ditunjukkan bahwa pada subjek yang
mengkonsumsi protein setiap harinya, waktu paruh antipirinnya lebih pendek
dibanding subjek vegetarian. Kecepatan metabolism obat juga dihambat pada
keadaan defisiensi vitamin A, riboflavin, asam askorbat, vitamin E, atau unsur-
unsur seperti kalsium, magnesium, seng serta tembaga.

Beberapa obat dan bahan kimia dapat mempengaruhi aktivitas enzim


mikrosom hati. Senyawa golongan barbiturate dan beberapa obat lain serta
senyawa- senyawa kimia seperti chlordane dan DDT, polychlorinated biphenyls
dan kebiasaan merokok dapat menginduksi enim mikrosom hati sehinga
kecepatan metabolism meningkat. Wood membuktikan bahwa meskipun umur
mempengaruhi klirens hepatic, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lingkungan seperti kebiasaan merokok. Aktivitas enzim mikrosom dapat dihambat
oleh pemakaian obat-obat tertentu seperti: proadifen, climetidin, secobarbital,
furoxen. Mekanisme kerjanya dapat berupa hambatan kompetitif terhadap obat-
obat lain atau interaksi seccara kovalen dari metabolit intermediet yang dapat
bereaksi dengan protein lain dalam sitokrom sehingga aktivitas enzim terhambat.
Walaupun jaringan seperti sistem gastrointestinal, paru, kulit, dan ginjal
memiliki kemampuan tertentu dalam memetabolisme obat, hepar merupakan
organ utama yang berperan dalam memetabolisme obat dimana semua zat,
terutama yang diberikan peroral akan dimetabolisme oleh hepar. Secara garis
besar, metabolisme obat-obatan dalam hepar akan terjadi dalam sel mikrosom
untuk menjadikan obat tersebut lebih larut air dengan mengadakan reaksi fase 1
lalu mengadakan reaksi fase 2 untuk beberapa hasil metabolisme fase 1.

Reaksi fase 1 terjadi di retikulum edoplasmik halus, sitosol, dan


mitokondria. Secara garis besar, metabolisme fase 1 terdiri atas proses hidrolisis,
reduksi, dan oksidasi yang bertujuan untuk menghasilkan senyawa yang lebih
hidrofilik. Pada metabolisme fase 1, enzim sitokrom P450 yang terutama terdapat
pada retikulum endoplasma hepatosit merupakan enzim yang paling penting.
Dalam retikulum endoplasma, elektron akan ditransfer dari NADPH ke dalam
sitokrom P450 membentuk NADPH-sitokrom P450 yang bersama sitokrom P450
berinteraksi melakukan oksidasi. Siklus oksidasi tersebut memerlukan sitokrom
P450, sitokrom P450 reduktase, NADPH, dan molekul oksigen. Hasil proses ini
menghasilkan substrat teroksidasi, namun apabila proses ini terganggu akan
terbentuk anion superoksida atau hidrogen peroksida yang bersifat toksin.
Metabolisme fase 2 menyebabkan parent drug atau metabolit fase 1 yang
mengandung gugusan kimia sesuai sering mengalami coupling atau konjugasi
dengan substansi endogen menghasilkan suatu konjugasi obat.

Pada umumnya konjugat adalah molekul-molekul yang polar dan mudah


diekskresikan dan pada umumnya bersifat inaktif. Pembentukan konjugat
memerlukan intermediet berenergi tinggi dan enzim-enzim transfer yang spesifik.
Transferase ini terletak di dalam kromosom atau sitosol. Transferase ini
mengkatalisa reaksi coupling 13 atau substansi endogen yang diaktifkan dengan
suatu obat atau reaksi coupling dari suatu obat yang diaktifkan dengan suatu
substansi endogen. Berbagai macam obat-obatan, substansi kimia, dan logam
dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa gagal
ginjal akut dari yang mudah disembuhkan sampai kerusakan ginjal permanen,
yang mana memerlukan tindakan dialisis atau transplantasi ginjal. Beberapa faktor
terlibat dalam sensitivitas ginjal terhadap sejumlah zat toksik, meskipun aliran
darah ke ginjal yang tinggi dan peningkatan konsentrasi produk yang diekskresi
diikuti reabsorpsi air dari cairan tubulus merupakan faktor yang paling utama.
Meskipun ginjal mengisi kurang dari 1% massa tubuh, tetapi organ ini menerima
sekitar 25% cardiac output. Jadi, jumlah yang signifikan dari substansi kimia
eksogen dan/atau metabolitnya dibawa ke ginjal.

Faktor penting kedua yang mempengaruhi sensitivitas ginjal terhadap


substansi kimia adalah kemampuannya dalam memekatkan cairan tubulus dan,
sebagai konsekuensinya, air dan garam dibuang, sehingga konsentrasi substansi
kimia menjadi tinggi di dalam tubulus. Oleh karena itu, kadar nontoksik suatu
substansi kimia di dalam plasma dapat mencapai toksik di dalam ginjal.
Karakteristik transportasi di dalam tubulus ginjal juga berperan dalam pelepasan
konsentrasi toksik potensial substansi kimia ke dalam sel. Jika suatu substansi
kimia diekskresi secara aktif dari dalah ke dalam lumen tubulus, maka akan
terakumulasi di dalam sel tubulus proksimal, atau jika suatu substansi kimia
direabsorpsi dari lumen tubulus, maka akan melewati sel-sel tubulus dalam
konsentrasi relatif tinggi. Biotransformasi substansi kimia menjadi zat yang
reaktif, kemudian menjadi metabolit yang toksik adalah kunci terjadinya toksisitas
pada ginjal.

Banyak reaksi aktivasi yang ditemukan di dalam hati, juga ditemukan di


dalam ginjal dan banyak zat toksik dapat teraktivasi di dalam organ-organ
tersebut, seperti acetaminophene, bromobenzene, khloroform, dan carbon
tetrachloride. Salah satu manifestasi dari paparan zat toksik pada ginjal adalah
terjadinya nekrosis tubular akut (NTA). NTA adalah kesatuan klinikopatologik
yang ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik
oleh supresi akut fungsi ginjal. NTA adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul
pada suatu sebaran kejadian klinik. Kebanyakan kasus ini, disebabkan trauma
berat, pankreatitis akut sampai septikaemia, pada umumnya mempunyai suatu
periode tidak cukup aliran darah ke organ-organ perifer, biasanya disertai
hipotensi jelas dan syok. Gambaran NTA disertai dengan syok disebut NTA
iskemik. Bentuk lain, disebut NTA nefrotoksik, yang disebabkan oleh sejumlah
racun, meliputi logam-logam berat (timah, merkuri, arsen, emas, kromium,
bismuth, danuranium), pelarut organik (CCl4, kloroform), dan sejumlah obat
seperti gentamisin, dan antibiotik lain.

Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat


meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian
tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati
terus-menerus oleh molekul obat dan tercapainya kecepatan biotransformasi yang
konstan. Sebagai contoh dapat dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila
diberikan dengan dosis yang melebihi 5000mg dan 20g, pada grafik konsentrasi-
waktu dari etanol. Kecepatan biotransformasi konstan ini tampak dari turunnya
secara konstan pula dari konsentrasinya dalam darah. Obat lain yang terkenal
mengakibatkan induksi enzim adalah barbiturat, anti-epileptika(fenitoin,
primidon, karbamazepin), klofibrat, alkohol (pada penggunaan kronis),
fenilbutazon, griseofulvin dan spironolakton. Bahan penyegar dan produk
makanan dapat juga mengandung indikator enzim, misal minum kopi (kofein).
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolisme, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis enzim
metabolismr pada tingkat transkipsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan
metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya
diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi
farmakokinetik karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu
beberapa hari (3 hari sampai 1 minggu) sebelum dicapai efek yang maksimal.
Induksi dialami oleh semua enzim mikrosomal, jadi enzim CYP (kecuali 2D6)
dan UGT. Inhibitor enzim juga sering disebut antimetabolit karena terjadi
metabolisme subtrat yang terputus (Qantagonis) dan selanjutnya aksi enzim juga
terhambat.
Dengan menghambat kerja enzim yang berkaitan dengan terhadap
pengaduan kecepatan suatu reaksi adalah sangat efektif inhibitor di bagi 2
kelompok inhibitor reversibel dan inhibitor irreversibel. Inhibitor reversibel dapat
bersifat kompetitif atau non-kompetitif tergantung dalam titik masuk dalam
bagian reaksi enzim subrat. Inhibitor reversibel aktif dengan enzim untuk
kekuatan interotamik yang lemah.Inhibitor irreversibel akan membentuk ikatan
yang tetap dengan enzim diharapkan obat memberi efek farmakologi yang lama
sehingga pemberian obat tidak sering.
Hal ini disebabkan karena tingkan inhibisi tidak terpengaruh oleh kuners
obat dan bahan. Untuk inhibitor irreversibel ini lebih sering diberikan pemberian
obat karena adanya sintesa kembali dari enzim segar. Inhibisi enzim metabolisme
adalah hambatan terjadi langsung, dengan akibat peningkatan kadar obat yang
menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung untuk
mencegah terjadi terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang
bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama penghambatnya (kontra
indikasi) jika akibatnya membahayakan.Hambatan pada umumnya bersifat
kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim yang sama), tetapi juga dapat
bersifat non kompetitif (bukan substrat dari enzim yang bersangkutan atau
ikatannya irreversibel).

Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni 1) interaksi


secara farmasetik (inkompatibilitas); 2) interaksi secara farmakokinetik dan 3)
interaksi secara farmakodinamik.

1) Interaksi farmasetik: Interaksi farmasetik atau disebut juga


inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau
kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi
(invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif.
Contoh: interaksi karbcnisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi;
fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B
dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.
2) Interaksi farmakokinetik: Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat
meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.6 Interaksi obat
secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat
diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih
dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat
fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda.
Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh
H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh
antihistamin non-sedatif lainnya.

Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal Mekanisme


interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa
cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH cairan
gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya
perubahan flora usus dan (5) efek makanan. Interaksi yang terjadi secara langsung
sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin,
fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang mengandung Al, Ca, Mg,
terbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat antibiotika tidak
diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat menjadi inaktif
jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange resins
(kolestiramin, kolestipol). Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal,
misalnya peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun
penghambat pompa-proton akan menurunkan absorpsi basa-basa lemah (misal,
ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah
(misal, glibenklamid, glipizid, tolbutamid).

Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorpsi antibiotika


golongan selafosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim proksetil.
Mekanisme interaksi melalui penghambatan transport aktif gastrointestinal,
misalnya grapefruit juice, yakni suatu inhibitor protein transporter uptake pump di
saluran cerna, akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa
antihistamin (misalnya, fexofenadin) jika diberikan bersama-sama.7 Pemberian
digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump Pglikoprotein (a.l.
ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin
sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3),
menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel
tubulus ginjal proksimal.

Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika


berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya
konversi obat menjadi komponen aktif. Efek makanan terhadap absorpsi terlihat
misalnya pada penurunan absorpsi penisilin, rifampisin, INH, atau peningkatan
absorpsi HCT, fenitoin, nitrofurantoin, halofantrin, albendazol, mebendazol
karena pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat menurunkan metabolism
lintas pertama dari propranolol, metoprolol, dan hidralazine sehingga
bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat, dan makanan berlemak
meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar larut dalam air seperti griseovulvin
dan danazol.

Mekanisme interaksi dapat berupa

1) penghambatan (inhibisi) metabolisme


2) induksi metabolisme
3) perubahan aliran darah hepatik.

9 Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama


berlaku terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom
hati sitokrom P450 (CYP).10 Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam
metabolisme obat, antara lain: CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisoquin
hidroksilase dan merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui, aktivitasnya
dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine; CYP3A yang
memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan terdapat
selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin, klaritromisin, diltiazem, nefazodon; CYP1A2 merupakan
ezim pemetabolis penting di hati untuk teofilin, kofein, klozapin dan R-warfarin,
dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin, fluvoksamin.11" ' TABEL 1
menunjukkan contoh isoenzim CYP serta beberapa contoh substrat, inhibitor dan
induktornya.

Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan


kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga memungkinkan aktivitas
substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki.

Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang melibatkan inhibitor CYP


dengan substratnya:

1. Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan


ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten
CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, yang menyebabkan
toksisitas berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya
aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct).
2. Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol, eritromisin
(inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan
bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-
obat sedative di atas meningkat dengan jelas.

Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan


meningkatkan sistensis enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan
substratnya menyebabkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat) meningkat
sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan menurun; atau sebaliknya,
induksi CYP menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit yang bersifat
reaktif sehingga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Berikut adalah
contohcontoh interaksi yang melibatkan induktor CYP dengan substratnya:

a) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor


enzim seperti rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar
estradiol menurun sehingga efikasi kontraseptik oral menurun.
b) Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1,
dengan adanya induktor enzim seperti etanol, ENH, fenobarbital
yang diberikan secara terus menerus (kronik), menyebabkan
peningkatan metabolisme asetaminofen menjadi metabolit reaktif
sehingga meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksisitas.
c) Teofilin (substrat CYP1A2) pada perokok (hidrokarbon polisiklik
aromatik pada asap sigaret adalah induktor CYP1A2), atau jika
diberikan bersama karbamazepin (induktor), akan meningkatkan
metabolisme teofilin sehingga diperlukan dosis teofilin lebih
tinggi. Tetapi jika pemberian karbamazepin dihentikan sementara
dosis teofilin tidak diubah, dapat terjadi intoksikasi teofilin yang
berat.

3. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi


antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem
fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau
antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil
farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya
jika diketahui mekanisme kerja obat.

Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:


interaksi antara Pbloker dengan agonis-p2 pada penderita asma; interaksi antara
penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclo-pramid) dengan levodopa
pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta
dampaknya antara lain sebagai berikut: interaksi antara aminogliko-sida dengan
furosemid akan meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari
aminoglikosida; Pbloker dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV,
dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol meningkatkan depresi susunan
saraf pusat (SSP); kombinasi 178 Media Litbang Kesehatan Volume XVIII
Nomor 4 Tahun 2008 obat-obat trombolitik, antikoagulan dan anti platelet
menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan
toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama
relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan.
Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama
dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi anti
hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.

2.6 EKSKRESI

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan ginjal
dalambentuk utuh atau dalam bentuk metabolitnya. Fungsi ginjal mengalami
kematangan padausia 6-12 bulan dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.
Ekskresi melalui ginjalmelibatkan 3 proses:

2.3.1 Filtrasi glomerulus


Filtrasi glomerulus menghasilkan ultra filtrat, yaitu plasma minus protein. Jadi
semuaobat bebas akan keluar dalam ultra filtrat, sedangkan yang terikat protein
tetap tinggal dalam darah.

2.3.2 Reabsorbsi
Reabsorbsi pasif terjadi disepanjang tubulus untuk bentuk-bentuk nonion obat
yanglarut dalam lemak. Oleh karena itu, derajat ionisasi tergantung dari pH
larutan.Fenomena ini dimanfaatkan untuk pengobatan keracunan suatu obat asam
atau basa. Misalnya, keracunan fenobarbital (asam pKa = 7.2) atau asam salisilat
(asam pKa = 3.0) diberikan NaHCO3 untuk membasakan urin sehingga ionisasi
meningkat, sedangkan amfetamin (basa pKa = 9.8) diberikan NH4Cl untuk
meningkatkan ekskresinya. Ditubulus distal juga terdapat protein transporter
untuk reabsorbsi aktif dari lumen tubulus kembali kedarah untuk senyawa
endogen.

2.3.3 Sekresi aktif


Sekresi aktif dari darah menuju tubulus proksimal terjadi melalui transporter
membranP-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistence protein) dengan
selektivitas yang berbeda, yaitu MRP untuk anion organik dan konjugat (penisilin,
probenesid,glukoronat, dan lain-lain) dan P-gp untuk kation organik dan zat netral
(kuinidin,digoksin, dan lain-lain). Oleh karena itu, terjadi kompetisi antara asam-
asam organik maupun basa-basa organik. Hal ini dimanfaatkan untuk
memperpanjang masa kerja obat. Sebagai contoh untuk memperpanjang masa
kerja ampisilin, diberikan bersama probenesid. Probenesid akan menghambat
sekresi aktif ampisilin di tubulus ginjal karena berkompetisi untuk transporter
membran yang sama, MRP.

Ekskresi obat utama yang kedua adalah melalui empedu kedalam usus dan
keluarbersama feses. Obat hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui empedu
dapat diuraikan oleh flora usus menjadi obat awal yang dapat diserap kembali dari
usus kedalam aliran darah yang disebut siklus enterohepatik.
Obat dan metabolit yang larut lemak dapat direabsorpsi kembali ke dalam
tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam bentuk glukoronat dapat dipecah dulu
oleh enzim glukoronidase yang dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat
awalnya (parentcompound) yang mudah diabsorpsi kembali. Akan tetapi, bentuk
konyugat juga dapatlangsung diabsorbsi melalui transporter membrane Organic
anion transporting polypeptide (OATP) di dinding usus, dan baru dipecah dalam
darah oleh enzim esterase. Siklus enterohepatik ini dapat memperpanjang efek
obat, misalnya estrogen dalam kontraseptif oral.

Ekskresi obat juga dapat melalui paru (anastetik umum), ASI, saliva,
keringat, dan airmata (minor).Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas
anestetik umum.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Metabolisme obat terutama terjadi dihati, yakni di mambran endoplasmic


reticulum (mikrosom) dan dicytosol.

Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal,


paru , darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).Tujuan
metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal.Ekskresi melalui


ginjalmelibatkan 3 proses:
 Filtrasi glomerulus
 Reabsorbsi
 Sekresi aktif
DAFTAR PUSTAKA

Artawan, I. W.B. 1989.Studi Metabolisme Obat Pada Manusia Dengan Eliminasi


Antipirin Sebagai Indicator.Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Gitawati, R. 2008.Interaksi Obat dan Implikasinya.Jurnal Media Litbang


Kesehatan, vol. 18, no. 4, 176-179.

Katzung BG. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik ed VI. Jakarta: EGC.

Lullmann H, et al. 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd ed. Stuttgart: Georg
Thieme Verlag.

Sanjoyo, R.. 2015,Metabolisme Obat .(on-line). From


https://dokumen.tips/documents/metabolisme-obat-559395eee4fee.html. di
akses pada tanggal 18 maret 2020

Setiawati A, et al. 2007. Pengantar Farmakologi dalam Farmakologi dan Terapi


ed 5. Jakarta:Gaya Baru; 1-27.

Shargel L, Andrew BC. 1985. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics


3rd ed
Connecticut: Appleton dan Lange.

Tan HT, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efekSampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: Elex Media Komputindo; 1-54

Wahyudi, A.A., Wiryatini, N.N., & Ali, K.T. 2011.Metabolisme Obat.(on-line).


From http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/metob-10-revisi-
jadi.pdf. diakses pada tanggal 18 maret 2020

Anda mungkin juga menyukai