Anda di halaman 1dari 17

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

”Ikatan Obat dengan Reseptor dan Indeks Terapi”

Kelas/Kelompok : A/7

Nama anggota :
Yemima Fride Danomira (2017210227)
Nabila Kuswandini (2018210094)
Rislah Juana Dewi (2018210178)
Savira Yuni Syahana (2018210224)
Ajeng Rizqi Febriana (2018210308)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Farmakologi dan Toksikologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Interaksi Obat dengan Reseptor dan Indeks Terapi bagi para pembaca dan
juga penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ros Sumarny selaku dpsen
Farmakologi dan Toksikologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 28 Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………..……. 1


KATA PENGANTAR …………………………………………………………..2
DAFTAR ISI …………………………………………………..………………...3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………...…….4
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………...……...4
D. Manfaat Penulisan …………………………………………………….……...4
BAB II PEMBAHASAN
A. Biotransformasi ……………………………………………………………….5
B. Enzim Pemetabolisme………...……………………………………………… 6
C. Induktor………………..………………………………………………………9
D. Interaksi Obat-Reseptor……..………………………………………………. 12
E. Indeks Terapi…………………………………………………………………13
BAB III PENUTUP
A. Simpulan …………………………….……………………………………… 16
B. Saran …………………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Interaksi obat dan reseptor merupakan hal penting untuk menghasilkan efek terapetik
pada obat. Reseptor merupakan suatu protein spesifik yang terdapat dalam tubuh yang
akan berinteraksi dengan obat atau metabolit obat. Pada umumnya ikatan obat-reseptor
bersifat reversibel sehingga obat akan bekerja segera dan akan meninggalkan reseptor bila
kadar obat dalam cairan luar sel menurun. Sefotaksim merupakan salah satu antibakteri
sefalosforin generasi ketiga yang digunakan untuk perawatan infeksi seperti gonorrhoe,
sinusitis akut, dan pneumonia. Sefotaksim merupakan hasil dari penghambatan dinding
sel melalui ikatan pada penicillin-binding proteins.

B. Rumusan Masalah
1. Apa induktor dan substrat yang paling umum?
2. Contoh dan reaksi inductor dan substrat yang terjadi?
3. Berapa besar ikatan obat dengan protein?
4. Apa itu indeks terapi?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahi dan memahami ikatan antara obat dengan reseptornya serta memahami
mengenai indeks terapi yang terjadi.

D. Manfaat Penulisan
Sebagai bahan studi mengenai ikatan obat-reseptor serta indeks terapi dan bahan diskusi.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biotranformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak
sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini
obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian  berubah menjadi lebih aktif,
kurang aktif, atau menjadi toksik.
Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat
berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif,
atau lebih aktif. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh
enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut
dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir (Gambar 1).

Gambar 1. Skema singkat metabolisme obat

5
Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat
rendah terjadi dalam organ lain misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limfa, otot, kulit
atau dalam darah.
Pada proses metabolisme terdiri dari 3 fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II, dan
reaksi fase III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang
lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional
(misalnya  – OH, - NH2, -SH).Metabolisme reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi,
hidrolisis, hidrasi dan isomerasi.
Oksidasi merupakan reaksi yang paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini
dikatalisis oleh suatu kelas enzim yang penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas
campuran mikrosomal yaitu sitokrom P- 450. Reaksi fase II terjadi apabila obat atau
metabolit obat dari reaksi fase I tidak cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh
ginjal, sehingga pada reaksi fase II ini, obat atau metabolit akan dibuat menjadi lebih
hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati yang dimana golongan
enzim-enzim yang berbeda akan  bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga sebagai
contoh sintesis UDP-asam glukuronat hanya dapat terjadi apabila terjadi reaksi
glukuronidasi dengan enzim UDPGlukuroniltransferase Sedangkan reaksi fase III
dianggap oleh para  peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari konjugat glutation yang
menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat

B. Enzim Pemetabolisme
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma
halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom) dan enzim non-mikrosom. Kedua
macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma.
Pada lumen saluran cerna juga terdapat enzim non-mikrosom yang dihasilkan oleh
flora usus.Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronid, sebagian besar
reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.Sedangkan enzim non-mikrosom
mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan
hidrolisis.

6
Diagram metabolisme obat

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian
juga biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin.Untuk itu obat harus larut
lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan
berikatan dengan enzim mikrosom.

Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur
(mixed-function oxidase = MFO) atau monooksigenase, dengan sitokrom P-450 adalah
komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi
reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi
amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.

Berbeda dengan enzim non-mikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun


dihambat aktivitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat di lingkungan.Zat
ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya.Zat
penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yakni kelompok yang kerjanya
menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik.Fenobarbital
meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik
meningkatkan metabolisme beberapa obat saja.

7
Penghambatan enzim sitokrom P-450 pada manusia dapat disebabkan misalnya
oleh simetidin dan etanol.Berbeda dengan penghambatan enzim yang langsung terjadi,
induksi enzim memerlukan waktu pajanan beberapa hari bahkan beberapa minggu sampai
zat penginduksi terkumpul cukup banyak.Hilangnya efek induksi juga terjadi bertahap
setelah pajanan zat penginduksi dihentikan.

Beberapa obat bersifat autoinduktif artinya merangsang metabolismenya sendiri,


sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk
mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama penginduksi enzim
metabolismenya, memerlukan peningkatan dosis obat.Misalnya, pemberian warfarin
bersama fenobarbital, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk mendapatkan efek
antikoagulan yang diinginkan.Bila fenobarbital dihentikan, dosis warfarin harus
diturunkan kembali untuk menghindarkan terjadinya perdarahan yang hebat.

Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom P-450 menghasilkan senyawa yang sangat
reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang stabil. Tetapi,
bila enzimnya diinduksikan atau kadar obatnya tinggi sekali, maka metabolit antara yang
terbentuk juga banyak sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka senyawa
tersebut sempat  beraksi dengan komponen sel dan menyebabkan kerusakan jaringan,
contohnya adalah parasetamol.

Enzim non-mikrosom mengkatalisis semua reaksi konjugasi yang bukan dengan


glukuronat yaitu konjugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat,
dan gugus metil.sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi, dan
hidrolisis.

Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran
cerna, dan di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang terdapat di hati. Reaksi oksidasi
terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim
alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase, dan monoamin
oksidase.

Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosom terjadi di hati dan jaringan lain untuk
senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. reaksi ini seringkali dikatalisis oleh
enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.

8
Karena kadar terapi obat biasanya jauh dibawah kemampuan maksimal enzim
metabolismenya, maka penghambatan kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi
enzim yang sama jarang terjadi. Penghambatan kompetitif metabolisme obat hanya terjadi
pada obat yang kadar terapinya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya,
misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-
merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh allopurinol. Akibatnya, toksisitas
obat yang dihambat metabolismenya meningkat.

C. Induktor
Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan
meningkatkansistensis enzim tersebut. Interaksi induktor CYPdengan substratnya
menyebabkan laju kecepatanmetabolisme obat (substrat) meningkat sehinggakadarnya
menurun dan efikasi obat akan menurun;atau sebaliknya, induksi CYP
menyebabkanmeningkatnya pembentukan metabolit yangbersifat reaktif sehingga
memungkinkantimbulnya risiko toksik. Berikut adalah contoh-contoh interaksi yang
melibatkan induktor CYPdengan substratnya:
(1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) denganadanya induktor enzim seperti
rifampisin,deksametason, menyebabkan kadar estradiolmenurun sehingga efikasi
kontraseptik oralmenurun
(2) Asetaminofen (parasetamol) yang merupakansubstrat CYP2E1, dengan adanya
induktorenzim seperti etanol, ENH, fenobarbital yangdiberikan secara terus menerus
(kronik),menyebabkan peningkatan metabolismeasetaminofen menjadi metabolit
reaktifsehingga meningkatkan risiko terjadinyahepatotoksisitas.
(3) Teofilin (substrat CYP1A2) pada perokok(hidrokarbon polisiklik aromatik pada asap
sigaret adalah inductor CYP1A2, atau jika diberikan bersama karbamazepin (inductor),
akan meningkatkan metabolism teofilin sehingga diperlukan dosis teofilin lebih tinggi.
Tetapi jika pemberian karbamazepin dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah,
dapat terjadi intoksikasi teofilin yang berat.

Induktor dibagi menjadi 2 berdasarkan enzim yang diinduksi, yaitu: jenis fenobarbital
dan jenis metilkolantaren. Induktor jenis fenobarbital akan menaikkan proliferasi RE dan
dengan demikian bekerja menaikkan dengan jelas bobot hati. Induksi terutama pada
sitokrom P 450, dan juga pada glukuronil transferase, glutation transferase, dan epoksida
hidrolase.Induksi yang terjadi relatif cepat dalam waktu beberapa hari. Sedangkan pada

9
jenis metilkolantren yang termasuk disini khususnya, karbohidrat aromatik (misalnya
benzpiren, metilkolatren, triklordibenodioksin, fenantren) dan beberapa herbisida,
terutama meningkatkan kerja sitokrom P 450 dan sintetis glukuronil transferase.
Proliferasi RE dan dengan demikian kenaikan bobot hati hanya sedkit.Sebagai akibat dari
induksi enzim, maka kapasitas penguraian meningkat, sehingga laju metabolisme
meningkat.Apabila induktor dihentikan, kapasitas penguraian dalam waktu beberapa
minggu menurun hingga pada tingkat asalnya (Mutshler, 1991). Sedangkan pada
penambahan inhibitor enzim terjadi pula mekanisme inhibisi enzim dengan cara sebagai
berikut. Bahan obat yang menyebabkan penurunan sintesis atau menaikkan penguraian
enzim RE atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat persaingan tempat ikatan pada
enzim.Akibatnya, terjadi penghambatan penguraian secara kompetitif sehingga laju
metabolisme menurun (Mutshler, 1991). Na-Tiopental Pentotal atau Na-Tiopental
mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari 102,0% C 11 H 17 N 2 NaO 2 S,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih
sampai hampir putih kekuningan atau kuning kehijauan pucat, bersifat higroskopik,
berbau tidak enk. Larutan bereaksi basa terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika
didihkan akan terbebtuk endapan. Larur dalam air, etanol, tidak larut dalam benzena, eter
mutlak dan dalam heksana.Na-Tiopental untuk injeksi adalah camupran steril dari Na-
Tiopental dan Na-Carbonat anhidridat sebagai dapar. Mengandung tidak kurang dari
93,0% dn tidak lebih dari 107,0% C 11 H 17 N 2 NaO 2 S dari jumlah yang tertera pada
etiket. (Anonimus, 1995:790). Barbiturat merupakan derivat dari asam barbiturat (2,4,6-
trioksoheksahidropirimidin), asam barbiturat merupakan hasil kondensasi antara urea
dengan asam malonat. Asam barbitiurat sendiri tidak menimbulakan efek depresi SSP,
hipnotik dan sedatif serta efek lainnya, kecuali bila pada posisi 5 ada gugus aril atau
alkil.Sedangkan untuk Barbiturat sendiri umumnya bersifat hipnotik-sedatif. Metabolisme
tiopental sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% tiopental yang
diberikan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata metabolisme
tiopental 12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis tunggal.
contoh-contoh interaksi antar obat yang diharapkan menghasilkan efekyang
dikehendaki.Kombinasi suatu anti aritmia yang memilikiwaktu paruh singkat misalnya
prokainamid,dengan simetidin dapat mengubah parameter farmakokinetik prokainamid.
Simetidin akanmemperpanjang waktu paruh prokainamid danmemperlambat
eliminasinya. Dengan demikianfrekuensi pemberian dosis prokainamid sebagaianti
aritmia dapat dikurangi dari setiap 4-6 jammenjadi setiap 8 jam/hari, sehingga

10
kepatuhandapat ditingkatkan.Dalam regimen pengobatan HIV,diperlukan kombinasi obat-
obat penghambatprotease untuk terapi HIV dengan tujuanmengubah profil farmakokinetik
obat-obat tersebut. Misalnya, penghambat protease lopinavirjika diberikan tunggal
menunjukkanbioavailabilitas rendah sehingga tidak dapatmencapai kadar plasma yang
memadai sebagaiantivirus. Dengan mengombinasikan lopinavirdengan ritonavir dosis
rendah, makabioavailabilitas lopinavir akan meningkat dan obatmampu menunjukkan
efikasi sebagai antiviral.Ritonavir dosis rendah tidak memiliki efekantiviral namun cukup
adekuat untukmenghambat metabolisme lopinavir olehCYP3A4 di usus dan
hati.Kombinasi obat-obat anti malaria denganmula kerja cepat tetapi waktu paruhnya
singkat(misal, artemisinin) dengan obat anti malaria lainyang memiliki waktu paruh lebih
panjang, akanmeningkatkan efktivitas obat anti malaria tersebutdan mengurangi relaps.
Kombinasi obat-obat antituberkulosis diharapkan akan memperlambatterjadinya
resistensi.
Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat mekanisme interaksi obat dapat
terjadi pada proses ekskresi melalui organ ginjal saat sekresi pada tubuli organ
empedu mengikuti sirkulasi enterohepatik dan dapat terjadi juga karena adanya
perubahan pH urin.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara
obatdan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin
menurunkan ekskresi empedu digoksin probenesid menurunkan ekskresi
empedu rifampisin. obat-obat tersebut memiliki system transporter protein yang sama,
yaitu 4-glikoprotein.
1%  o b a t - o b a t y a n g m e n g h a m b a t 4 - g l i k o p r o t e i n d i i n t e s t i n a l a k a n
m e n i n g k a t k a n  bioa'ailabilitas substrat 4-glikoprotein, sedangkan hambatan 4-
glikoprotein di ginjaldapat menurunkan ekskresi substrat lewat ginjal. contoh, itrakonazol,
suatu inhibitor 4-glikoprotein di ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat
4-glikoprotein) jika diberikan bersama-sama, sehingga kadar plasma digoksin akan
meningkat.
Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat
danmetabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport
untuk obat bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. contoh: fenilbutazon
danindometasin menghambat sekresi obat-obat diuretik tiazid dan furosemid ke tubuli
ginjalsehingga efek diuretiknya menurunkan salisilat menghambat sekresi
probenesid ke tubuliginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun.

11
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan
klirensg i n j a l m e l a l u i p e r u b a h a n j u m l a h r e a b s o r p s i p a s i f d i t u b u l i
g i n j a l . I n t e r a k s i i n i a k a n  bermakna klinik jika:
(1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (>30%)
(2) obat berupa basa lemah dengan pKa7,5 – 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 – 7 , 5
Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah
(amfetamin, e f e d r i n , fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang
mengasamkan urin (NH4CL)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama
meningkat sehingga efeknya menurun obat-obat bersifatasam (salisilat,
fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti
antasida(mengandung NaHCO3, Al(OH)3, Mg(OH)2), akan meningkatkan
klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.

D. Interaksi Obat – Reseptor


Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen, hydrogen, van der waals) dan jarang
berupa ikatan kovalen.
a. Hubungan Dosis dengan Intensitas Efek
D+ R ↔ DR ↔ E
(Drug) (Reseptor) (Efek)
Menurut teori pendudukan reseptor (receptor occupancy), intensitas efek obat
berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas
efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena
interaksi obat – reseptor ini analog dengan interaksi substrat – enzim, maka di sini
berlaku persamaan Michaells – Menten:
Emax [ D]
E=
K D +[D]
Dengan: E = intensitas efek obat
Emax = efek maksimal
[D] = kadar obat bebas
k2
KD = = konstanta disosiasi kompleks obat – reseptor
k1
Bila K D = [D], maka:

12
Emax [ D] 1
E= = Emax
K D +[D] 2
Ini berarti 50% reseptor diduduki oleh obat.

Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai
kurva dosis-intensitas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola.
Tetapi kurva log dosis-intensitas efek (log DEC) akan berbentuk sigmoid. Setiap efek
memperlihatkan kurvanya sendiri. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa
efek, maka log DEC dapat bermacam – macam, tetapi masing – masing berbentuk
sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang dosis yang luas dan
mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16 – 84% (=50% ± 1SD),
sehingga lebih mudah untuk memperbandingkan beberapa DEC.
1/ K D menunjukkan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk
berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat –
reseptor). Jadi makin besar K D(=dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil
afinitas obat terhadap reseptornya. Emax menunjukkan aktivitas intrinsic atau efektivitas
obat, yakni kemampuan intrinsic kompleks obat – reseptor untuk menimbulkan aktivitas
dan/atau efek farmakologik.

E. Indeks Terapi
    Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yamg besar
menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis – dosis yang
efektif dan dosis yang foksik.
Indeks terapeutik ditentinova dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan
respon toksik pada berbagai dosis obat.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan tolensitas dengan
dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif.
Indeks terapeutik = LD5
                                ED50                                               ( Mary J.Myceh, 2001)
                 Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau
menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa.Diperkirakan
sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap ED50 (Dosis efektif pada
50% kasus).Karena efek berbeda mungkin perlu dosis berbeda.

13
                  Istilah LD50 sering dalam toksikologi yaitu dosis yang akan membunuh 50% dari
populasi experimental. Misal : untuk obat impromine, dosis oral 625 mg/kg diberi pada
100 tikus akan mematikan 50 diantaranya. (dr. Jan Tambayong.2003)

                  Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :


      Indeks terapi   =    TD50                atau     CD50
                                    ED50                            ED50
                  Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu
      TD1        1
      ED99
                     Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman dari pada
obat yang memiliki indek terapi lebih rendah
      TD50   :  Dosis yang toksik pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut,
kematiaan merupakan toksisitas terakhir. (Jonet.L. Stringer MD.Ph)
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan efek.
Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan
meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat
ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan
tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas
indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan
efek yang sama kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda.
Variasi individu dalam sensitifitas secara khusus mempunyai efek “semua atau tak
satupun” sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu
sebagai suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian)
diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik
pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah
memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan
variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.

14
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia dapat
ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang
berbeda.Untuk menentukan variasi biologis, pengukauran telah membawa pada suatu
sampel yang representative dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan memungkinkan dosis
terapi akan menjadi sesuai  pada kebanyakan pasien.
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar diantara dosis-dosis yang
toksik.
-          Penentuan indeks teraupetik
      Indeks teraupetik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan
respon toksik pada berbagai dosis obat.
-          Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
  -  Rasio efektif :  Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari darah arteri ke vena ginjal
-  Kecepatan ekskresi  :  Eliminasi dari suatu obat biasanya mengikuti kinetik firstorder
dan konsentrasi obat dalam plasma turun secara exponensia menurut waktu. Ini biasa
digunakan untuk menentukan waktu paruh obat.
-          Volume distribusi dan waktu paruh obat
      Waktu paruh suatu obat berbanding terbalik dengan bersihan dan secara langsung
proporsional terhadap volume distribusi.
-          Keadaan klinis yang meningkatkan waktu paruh obat penting untuk dapat menduga
para penderita yang mana memungkinkan waktu paruh obat akan memanjang.

BAB III

15
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Ikatan obat-reseptor bersifat reversibel sehingga obat segera meninggalkan reseptor
bila kadar obat dalam cairan luar sel menurun. Ikatan yang terlibat pada interaksi
obatreseptor harus relatif lemah tetapi masih cukup kuat untuk berkompetisi dengan
ikatan lainnya. Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain
adalah ikatan-ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion
(elektrostatik), hidrogen, dan lain-lain.

B. Saran
Agar dapat memahami lebih mendalam mengenai materi dalam makalah ini,
diharapkan sesame mahasiswa dapat berperan aktif dalam berdiskusi guna membahas hal
– hal yang sekiranya masih sulit dipahami.

DAFTAR PUSTAKA

16
Stringer L, Jonet. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Untuk Mahasiswa,Jakarta : ECG
Katzug, R-Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3, Jakarta; EGC.
   Interaksi Obat dan Implikasinya”, Jurnal Media Litbang Kesehatan, vol. 18, no. 4, 176-179.
Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Gaya Baru

                     

17

Anda mungkin juga menyukai