Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Enkopresis adalah sebuah kondisi dimana seseorang melakukan pengeluaran tinja pada
tempat dan waktu yang tidak seharusnya. Pada kasus dimana tidak ditemukan gangguan
struktural atau organik, maka dinamakan dengan enkopresis non-organik. Kondisi ini disebut
juga dengan enkopresis fungsional.1

Secara epidemiologi kondisi ini paling banyak ditemukan pada anak-anak usia 5 – 10
tahun dengan prevalensi antara 0,8 hingga 7,8%.2 Enkopresis dapat menimbulkan masalah sosial
yang signifikan karena menyebabkan rasa malu dan perundungan. Pasien enkopresis juga
seringkali mengalami gangguan kejiwaan lainnya.3

Enkopresis non-organik dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe non-retensi dan retensi
tergantung dari ada atau tidaknya konstipasi.4 Kedua tipe ini memiliki patogenesis dan
tatalaksana yang berbeda. Referat ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan gambaran dan
tatalaksana dari enkopresis non-organik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Enkopresis non-organik adalah sebuah kondisi yang ditandai dengan pengeluaran tinja yang
tidak pada tempatnya pada anak usia di atas 4 tahun. Enkopresis yang terjadi tidak disebabkan
oleh adanya suatu gangguan organik seperti fisura ani atau infeksi gastrointestinal. 1 Beberapa
sebutan lainnya adalah enkopresis fungsional.5

2.2. Epidemiologi

Enkopresis terjadi paling banyak pada populasi anak berusia 5 – 10 tahun. Kondisi ini sangat
jarang terjadi di usia di bawah 3 tahun. Tingkat prevalensi berada pada angka 3% untuk usia 4
tahun dan 1,6% pada usia 10 tahun.5 Penelitian lain menemukan inkontinensia fekal berkisar
antara 0,8 – 4,1% pada negara Barat dan 2 – 7,8% pada negara Asia, meskipun tidak disebutkan
apakah inkontinensia yang diteliti disebabkan oleh suatu etiologi organik atau tidak.2 Sebuah
penelitian juga menemukan bahwa anak dengan enkopresis non-organik seringkali juga
menderita gangguan kejiwaan seperti fobia spesifik (4,3%), separation anxiety (4,3%), gangguan
cemas menyeluruh (3,4%), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) (9,2%), dan
oppositional defiant disorder (ODD) (11,9%).3

2.3 Faktor risiko

Faktor risiko dari enkopresis non-organik cukup beragam dan saling berhubungan satu sama lain.
Faktor risiko dapat dibagi menjadi sosiokultural dan psikologis. Rendahnya tingkat
sosioekonomik dapat menyebabkan enkopresis akibat tidak adanya akses terhadap toilet yang
bersih dan nyaman sehingga seorang anak merasa tidak ingin buang air besar. Hal ini dapat
menyebabkan konstipasi yang berujung pada inkontinensia. Faktor-faktor lain yang menghalangi
akses terhadap toilet bersih seperti tempat tinggal kumuh dan daerah perang juga meningkatkan
risiko. Faktor sosial seperti perundungan di sekolah juga dapat membuat anak takut untuk buang
air besar. Beberapa masalah kejiwaan lain seperti depresi, anxietas, dan gangguan belajar juga
sering ditemukan pada anak dengan enkopresis non-organik.2 Ditemukan bahwa stress psikologis
dapat mengganggu brain-gut axis dan mengganggu fungsi anorektal.6

Gambar 2.1. Faktor risiko enkopresis non-organik.2

2.4. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya enkopresis non-organik dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

 Retensi
Penyebab enkopresis non-organik sebagian besar adalah konstipasi fungsional.
Konstipasi fungsional disebabkan oleh keinginan anak untuk menahan defekasi.
Penyebab yang mendasari keinginan ini adalah asosiasi dari sang anak yang menganggap
defekasi adalah sebuah proses yang tidak nyaman. Nyeri saat defekasi atau juga masalah
perilaku dan sosial dapat menimbulkan keinginan ini.7 Anak-anak terutama balita belum
memiliki sistem gastrointestinal yang belum dewasa dimana koordinasi relaksasi otot
rektum mereka belum optimal. Masalah koordinasi ini akan menyebabkan anak kesulitan
melakukan defekasi. Pola diet anak yang rendah serat juga dapat memperparah hal ini.
Seorang anak akan mengalami kesulitan dan nyeri dalam melakukan eksresi feses
berukuran besar dan keras.8 Seorang anak dapat merasa bahwa untuk melakukan defekasi
maka dia harus berhenti melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti bermain.
Masalah sosial lain adalah ketakutan atau ketidaknyamanan dalam menggunakan toilet
publik seperti toilet sekolah. Hal – hal ini dapat menimbulkan keinginan untuk menahan
defekasi.7 Feses yang tidak dieksresikan akan tersimpan di dalam rektum dimana akan
terjadi penyerapan air secara terus menerus. Akibatnya, konsistensi feses semakin
bertambah keras dan sulit untuk diekskresikan.9 Hal ini akan menyebabkan fecal
impaction yang ditandai dengan adanya feses berukuran besar dan keras di abdomen.
Seiring dengan akumulasi feses, otot polos pada dinding usus besar dan rektum akan
terdistensi. Akibat struktur rektum yang terganggu, feses dengan konsistensi yang lunak
dan cair dapat keluar melewati fecal impaction tadi dan akan menyebabkan overflow
fecal incontinence atau enkopresis.10
 Non-retensi
Pada anak dengan tipe ini terjadi defekasi pada lokasi dan waktu yang tidak tepat tanpa
adanya tanda-tanda retensi dan konstipasi. Pada kondisi ini sebagian besar terjadi
evakuasi total dari rektum. Mekanisme patofisiologinya belum diketahui secara pasti
namun kemungkinan besar berhubungan dengan gangguan pada dinamika defekasi. Pada
pasien dengan tipe ini tidak memiliki kelainan pada rectal compliance, transit kolon,
maupun sensitivitas rektum. Faktor lain yang dipikirkan berperan adalah faktor
psikososial namun masih belum dapat dipastikan apakah gangguan psikologis ini adalah
penyebab dari enkopresis atau akibat dari rasa malu karena enkopresis itu sendiri.
Kemungkinan lain adalah adanya gangguan pada dinamika defekasi seperti relaksasi
sfingter anal eksternal.11

2.5. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis tipe retensi dan non-retensi dapat dibedakan. Pada pasien tipe retensi sering
ditemukan gejala konstipasi fungsional. Anak dengan konstipasi fungsional pada awalnya akan
berusaha menahan defekasi. Anak pada umumnya akan menahan defekasi dengan merapatkan
kaki dan pantat, berjinjit pada jari kaki, dan bergerak ke depan dan ke belakang. Seringkali
gerakan ini disalahartikan oleh orangtua sebagai usaha anak untuk melakukan defekasi. Pada
anak dengan konstipasi fungsional biasa juga ditemukan adanya riwayat retensi feses yang
berlebihan, riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit, adanya massa feses yang besar pada
rektum, dan adanya riwayat feses dengan diameter besar sehingga menyumbat toilet. 12 Seperti
telah disebutkan sebelumnya, anak dengan konstipasi fungsional dapat enkopresis dimana feses
cair dapat keluar dari anus tanpa disengaja. Seringkali hanya ditemukan sedikit feses pada celana
dalam. Kejadian biasanya terjadi pada malam hari saat tidur. Pada pasien tipe non-retensi, gejala
konstipasi tidak dominan. Pasien memiliki kebiasaan buang air besar yang baik dan tanpa
kesulitan. Jumlah feses yang dikeluarkan juga jauh lebih banyak. Enkopresis juga seringkali
terjadi saat anak beraktivitas di pagi atau siang hari.2

Tabel 2.1. Prevalensi manifestasi klinis tipe retensi dan non-retensi.2

Manifestasi klinis Retensi (%) Non-retensi (%)


Nyeri abdomen 30 – 46 41 – 66
Feses berdiameter besar 0 – 20 61 – 80
Posturing 10 78
Gerakan nyeri 20 – 30 50 – 75
Enkopresis malam hari 12 30
Enuresis 40 – 45 25 – 29
Massa abdomen terpalpasi 0 35
Massa rektal terpalpasi 0 31

2.6. Diagnosis

Pada anamnesis perlu ditanyakan secara mendetil mengenai: 2,8,12

 Onset dimulainya inkontinensia


Tanyakan usia anak sekarang dan kapan mulai terjadinya inkontinensia. Hal ini bertujuan
untuk memastikan apakah kondisi ini muncul di atas usia 4 tahun atau tidak.
 Pola defekasi
Tanyakan mengenai jumlah feses yang dikeluarkan. Jumlah yang sedikit lebih mengarah
pada tipe retensi sedangkan jumlah banyak pada non-retensi. Defekasi yang lebih sering
terjadi pada malam hari juga mengarahkan pada tipe retensi.
 Konstipasi
Tanyakan apakah anak memiliki gejala konstipasi. Tanyakan mengenai apakah anak
sering menahan buang air besar, apakah memiliki feses dengan diameter besar dan
konsistensi keras, dan gejala-gejala lain yang sering ditemukan pada tipe retensi seperti
telah disebutkan di atas.
Tanyakan sejak kapan anak mengalami kesulitan untuk defekasi dan apakah anak sudah
mendapatkan latihan toilet. Pertanyaan ini bertujuan untuk menilai apakah kondisi yang
dialami anak sudah memenuhi kriteria diagnosis yaitu 1 bulan.
 Gangguan tumbuh kembang
Anak dengan enkopresis non-organik seringkali juga memiliki gangguan tumbuh
kembang sehingga penting untuk ditanyakan.
 Masalah sosial
Inkontinensia adalah sebuah peristiwa yang memalukan dan seringkali memberikan
dampak yang buruk pada anak. Perlu ditanyakan apakah anak mengalami perundungan
atau pengucilan dari teman-temannya. Pengasuh anak juga seringkali merasa kesal dan
marah pada anak. Pada anak yang dengan sengaja melakukan defekasi seringkali juga
menderita gangguan perilaku.
 Tanda bahaya
Tujuan menanyakan tanda bahaya adalah untuk mengenali adanya kemungkinan etiologi
organik sebagai penyebab keluhan pasien. Adanya keluhan organik membutuhkan
rujukan ke spesialis bedah. Tanyakan mengenai tanda bahaya seperti:
o Tidak ada mekonium >48 jam
o Distensi abdomen
o Muntah
o Gagal tumbuh
o BAB berdarah
o Perkembangan saraf terhambat
o Riwayat pembedahan pada daerah anorektal

Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara lengkap termasuk digital rectal examination (DRE).
Tanda-tanda konstipasi yang dapat ditemukan adalah danya massa fekal yang terpalpasi pada
abdomen bagian bawah, fisura perianal, dan massa feses yang besar pada rektum. Pada DRE
juga perlu dinilai tonus sfingter ani.2

Enkopresis non-organik dapat ditegakkan secara klinis namun beberapa pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah:2
 X-ray abdomen
 Colonic transit studies
 Manometri anorektal
 Endosonografi anal

2.7. Klasifikasi dan kriteria diagnosis

Pada Pedoman Penggolangan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) kondisi ini
disebut dengan enkopresis non-organik (F98.1) dan termasuk dalam golongan gangguan perilaku
dan emosional lainnya dengan onset biasa pada masa kanak dan remaja (F98). Kriteria
diagnosisnya adalah:13

 Ciri diagnostik yang menentukan ialah pengeluaran tinja secara tak layak. Kondisi ini dapat
timbul dengan berbagai cara:
o Mungkin menggambarkan kurang adekuatnya latihan kebersihan (toilet training), atau
kurang responsifnya anak terhadap latihan itu, dengan riwayat kegagalan terus menerus
untuk memperoleh kemampuan mengendalikan gerakan usus.
o Mungkin mencerminkan suatu gangguan psikologis dengan pengendalian fisiologis
buang air besar normal, tetapi, karena suatu alas an, terdapat keengganan, perlawanan,
atau kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan norma social untuk buang air besar di
tempat yang layak;
o Mungkin akibat retensi fisiologis, yang bertumpuk pada peletakan tinja di tempat yang
tidak layak. Retensi seperti itu mungkin timbul sebagai akibat pertentangan antara orang
tua dan anak mengenai latihan buang air besar, atau akibat menahan tinja karena nyeri
saat buang air besar (misalnya akibat fisura ani), atau karena sebab lain.
 Pada beberapa peristiwa, enkopresis mungkin disertai ulah memoleskan tinja pada tubuh sendiri
atau pada lingkungan sekitar dan yang agak jarang, ulah mengcongkel dubur dengan jari atau
masturbasi anal. Tidak terdapat garis pemisah yang jelas antara enkopresis yang disertai dengan
gangguan emosional/perilaku dan gangguan psikiatrik lain dengan enkopresis sebagai gejala
sampingan. Pedoman yang di gariskan ialah untuk memberi kode diagnosis enkopresis bila hal
tersebut merupakan fenomena yang predominan, dan kode diagnosis gangguan lain apabila
enkopresis bukan merupakan fenomena yang predominan (atau bila enkopresis itu hanya terjadi
kurang dari sekali sebulan).
 Enkopresis dan enuresis tidak jarang saling berhubungan dan bila hal ini terjadi, pemberian kode
diagnosis enkopresis haruslah diprioritaskan
 Enkopresis ada kalanya timbul menyusul suatu kondisi organik, seperti fisura ani atau infeksi
gastrointestinal; maka kondisi organik itu harus dijadikan kode diagnosis yang utama bila kondisi
itu merupakan alasan yang cukup bagi pengeluaran tinja itu, tetapi bila kondisi organik itu hanya
merupakan suatu akibat, bukan sebagai penyebab yang cukup memadai, perlu diberi kode
enkopresis (di samping kondisi organiknya).

Sedangkan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) – 5 kondisi
ini disebut dengan encopresis dan termasuk dalam golongan elimination disorder. Kriteria
diagnosisnya adalah:4

A. Pengeluaran tinja berulang kali ke tempat yang tidak tepat (misalnya, pakaian, lantai),
baik disengaja atau tidak disengaja.
B. Setidaknya satu peristiwa tersebut terjadi setiap bulan selama minimal 3 bulan.
C. Usia kronologis minimal 4 tahun (atau tingkat perkembangan yang setara).
D. Perilaku tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, pencahar) atau kondisi
medis lain kecuali melalui mekanisme yang melibatkan konstipasi.
Sebutkan apakah:
 Dengan konstipasi dan overflow incontinence
 Tanpa konstipasi dan overflow incontinence

Terdapat beberapa perbedaan dari kriteria PPDGJ-III dan DSM-5. Perbedaan pertama adalah
kriteria kekerapan. Pada PPDGJ-III hanya disebutkan minimal terjadi sekali dalam sebulan
namun tidak menjelaskan berapa lama sedangkan pada DSM-5 disebutkan dengan jelas bahwa
enkopresis harus terjadi setidaknya sekali setiap bulan selama minimal 3 bulan. Perbedaan
lainnya adalah pada DSM-5 disebutkan usia kronologis minimal 4 tahun. Terakhir, pada PPDGJ-
III tidak dibedakan secara pasti antara tipe retensi dan non-retensi sedangkan pada DSM-5
diminta untuk dijelaskan apakah anak termasuk dalam tipe dengan konstipasi dan overflow
incontinence dan tidak.

2.8. Tatalaksana

Dalam memberikan tatalaksana, perlu dibedakan enkopresis non-organik tipe retensi dan non-
retensi karena tatalaksananya berbeda.
2.8.1. Tipe non-retensi

Menurut pedoman dari International Children’s Continence Society, tatalaksana untuk tipe non-
retensi terdiri dari:14

 Edukasi
Langkah pertama adalah memberikan edukasi untuk menghilangkan stigma mengenai
enkopresis baik untuk anak dan orang tua. Edukasi meliputi prevalensi, manifestasi
klinis, pilihan tatalaksana, dan prognosis. Penting untuk tidak menggunakan kata-kata
yang menghakimi.
 Terapi perilaku
 Program toilet
Modalitas tatalaksana ini adalah modalitas yang paling penting. Pada program ini
anak diminta untuk duduk di toilet dan mencoba defekasi selama 5 – 10 menit
setiap setelah makan. Anak harus berada dalam posisi senyaman mungkin dan
lingkungan toilet harus dipastikan bersih, nyaman, dan tidak menimbulkan stress.
Program ini bertujuan untuk mengajarkan anak tidak terburu-buru dalam defekasi
dan juga membantu anak mengenali sensasi ingin buang air besar. Meskipun
efektif, seringkali sulit untuk memastikan anak patuh dalam mengikuti program.
Untuk membantu, dapat diberikan hadiah setiap anak mau mengikuti program.
Penggunaan catatan harian juga dapat membantu dalam memantau perkembangan
anak.
 CBT
Anak dengan enkopresis, terutama tipe non-retensi, seringkali memiliki gangguan
lain seperti ADHD atau ODD. Pada kondisi yang berat dan mengganggu aktivitas
sehari-hari, dapat diindikasikan untuk menjalani CBT. Terapi ini terdiri dari 2
komponen yaitu terapi kognitif dan perilaku. Terapi kognitif berfokus pada
kepercayaan, pemikiran, dan kondisi yang irasional dan disfungsional. Terapi
perilaku bertujuan untuk merubah perilaku menggunakan conditioning. Program
toilet disertai dengan pemberian hadiah adalah salah satu contoh terapi perilaku.
 Farmakoterapi
Kegunaan farmakoterapi masih belum didasari oleh bukti yang kuat pada tipe non-
retensi. Loperamide sering digunakan karena dapat menurunkan peristalsis dan
meningkatkan tonus sfingter anal sehingga dapat mencegah inkontinensia. Akan tetapi,
penggunaannya harus dalam pengawasan ketat karena berisiko menyebabkan konstipasi.
Penggunaan laksatif tidak direkomendasikan untuk tipe non-retensi.

2.8.2. Tipe retensi

Enkopresis tipe retensi seringkali disebabkan oleh konstipasi fungsional maka tatalaksananya
juga bertujuan untuk mengatasi konstipasi yang diderita. Menurut pedoman dari European
Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (EPSGHAN) dan North
Amerian Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NAPSGHAN),
pemilihan tatalaksana pasien dengan konstipasi fungsional dilakukan berdasarkan ada atau
tidaknya impaksi feses.15 Jika ditemukan, maka perlu dilakukan disimpaksi feses sebagai berikut:

 Polyethylene glycol (PEG)


Dosis PEG 4000 yang direkomendasikan adalah 1,5g/kgBB/hari untuk 3 – 6 hari sebagai
tatalaksana lini pertama impaksi feses.15 Sebuah randomized controlled trial (RCT) oleh
Bekkali et al. menemukan bahwa PEG sama efektifnya dengan enema namun memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan inkontinensia.16 Akan tetapi, karena PEG
dapat diberikan secara oral, PEG lebih dipilih sebagai tatalaksana lini pertama
dibandingkan enema.15
Perlu diperhatikan bahwa PEG sering menyebabkan mual, muntah, dan distensi
abdomen sehingga disarankan untuk dilakukan pemasangan pipa nasogastrik.12
 Enema
Beberapa enema yang sering digunakan adalah sodium fosfat, bisacodyl, dan sodium
ducosate. Dosis obat-obatan tersebut adalah:15
o Sodium fosfat
 2,5mL/kgBB, maksimum 133mL/dosis
o Bisacodyl
 2 – 10 tahun: 5mg sekali sehari
 >10 tahun: 5 – 10 mg sekali sehari
o Sodium ducosate
 <6 tahun: 60mL
 >6 tahun: 120mL
Perlu diperhatikan bahwa pemberian sodium fosfat dapat menyebabkan hiperfosfatemia
dan hipokalemia. Pemberian dosis berlebih harus dihindari. Penggunaan gabungan PEG
dan enema juga tidak direkomendasikan.12

Setelah dilakukan disimpaksi, tatalaksana dilanjutkan dengan memberikan tatalaksana


maintenans sebagai berikut:

 Edukasi
Edukasi diberikan guna memberikan kepastian dan menghilangkan kekhawatiran orang
tua. Rencana terapi dan prognosis juga perlu dijelaskan. Hal yang sangat penting adalah
edukasi mengenai pelatihan ke toilet guna memastikan anak memiliki pola defekasi yang
teratur. Dengan disimpaksi maka nyeri saat defekasi diharapkan membaik dan anak tidak
mengalami ketakutan untuk defekasi.12
 Diet
Pedoman EPSGHAN dan NAPSGHAN tidak merekomendasikan pemberian tambahan
suplementasi serat. Anak disarankan untuk mengkonsumsi jumlah serat dalam jumlah
normal dan memiliki hidrasi yang baik.15 American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan jumlah konsumsi serat sebagai berikut:17
o 1 – 3 tahun: 19gram/hari
o 4 – 8 tahun: 25gram/hari
o Laki-laki
 9 – 13 tahun: 31gram/hari
 14 – 18 tahun: 38gram/hari
o Perempuan
 9 – 18 tahun: 26gram/hari
 Obat-obatan oral
Obat yang direkomendasikan sebagai terapi maintenans lini pertama adalah PEG 3350
dengan dosis awal 0,4g/kgBB/hari dan kemudian dapat dinaikkan sesuai dengan respons
klinis. Dosis PEG maksimal yang direkomendasikan adalah 0,8g/kgBB/hari. Laktulosa
dengan dosis 1 – 2g/kgBB sekali atau dua kali sehari direkomendasikan sebagai
tatalaksana lini pertama jika PEG tidak tersedia.15 Laktulosa relatif lebih mudah
ditemukan dan lebih murah dibandingkan PEG sehingga lebih sering digunakan.
Sebelumnya dipikirkan bahwa penggunaan PEG 3350 jangka lama dapat menyebabkan
gangguan perilaku. Sebuah penelitian oleh Williams et al. mencoba untuk meneliti
dampak PEG 3350 jangka panjang dan tidak menemukan adanya neurotoxin. 18
Penggunaan obat-obatan lain seperti susu magnesium, minyak mineral, dan laksatif
stimulan dapat digunakan sebagai terapi tambahan atau terapi lini kedua. Terapi
maintenans direkomendasikan untuk diberikan selama setidaknya dua bulan.
Penghentian terapi dapat dilakukan ketika anak sudah bebas gejala selama setidaknya 1
bulan. Penghentian terapi dilakukan secara bertahap.15
 Terapi psikologis
Faktor psikologis yang berperan adalah adanya trauma kanak-kanak baik akibat
perundungan oleh teman sebaya maupun kekerasan verbal atau fisik dari keluarga.
Anak-anak dengan autism spectrum disorder (ASD), attention deficit disorder, depresi,
dan ansietas juga banyak mengalami konstipasi fungsional. Penting untuk dapat
mengenali masalah psikologis yang dialami anak dan memberikan tatalaksana yang
sesuai dengan gangguan yang dialami. Jika ditemukan adanya riwayat kekerasan pada
lingkungan teman atau keluarga, dapat diberikan edukasi.19

2.9. Prognosis

Prognosis enkopresis tipe non-retensi lebih buruk dari tipe retensi. Penelitian oleh Voskuijl dkk.
menemukan setelah tatalaksana farmakoterapi dan perilaku intensif selama 2 tahun hanya 29%
anak yang mendapat perbaikan. Seiring dengan bertambahnya usia, lama-kelamaan gejala akan
ikut menghilang. Pada usia 18 tahun 85% pasien tidak mengeluhkan gejala lagi. 20 Untuk tipe
retensi van Ginkel dkk. menemukan sebanyak 52% pasien sembuh setelah tatalaksana selama 2
tahun. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia tingkat kesembuhan kedua tipe hampir
sama.21 Tatalaksana yang dilakukan pada fase awal akan meningkatkan prognosis dengan
signifikan. Ditemukan bahwa 80% pasien yang ditatalaksana pada fase awal membaik dan tidak
memerlukan laksatif pada 6 bulan setelah terapi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya
32% pasien yang mengalami keterlambatan dalam tatalaksana yang mendapatkan luaran yang
serupa. Secara umum, tingkat keberhasilan terapi adalah 50% setelah 5 tahun.15
BAB III

KESIMPULAN

Enkopresis non-organik tipe non-retensi dan retensi memiliki manifestasi klinis yang
berbeda. Hal utama yang membedakan adalah pada tipe retensi ditemukan adanya tanda-tanda
konstipasi seperti riwayat retensi feses yang berlebihan, riwayat mengedan yang sulit atau sangat
sakit, adanya massa feses yang besar pada rektum.2 Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis yang dapat digunakan adalah
PPDGJ-III dan DSM-5.4,13

Tatalaksana tipe retensi dan non-retensi berbeda. Karena penyebab tersering dari tipe
retensi adalah konstipasi fungsional, maka tatalaksana juga bertujuan untuk mengatasi kondisi
tersebut. Tatalaksana terdiri dari terapi disimpaksi dan maintenans. 15 Terapi untuk tipe non-
retensi lebih berfokus pada terapi perilaku dan kognitif karena farmakoterapi tidak memberikan
hasil yang memuaskan.14 Prognosis pada kedua kondisi ini kurang baik karena dengan terapi
intensif sebagian besar pasien masih mengeluhkan gejala. Untungnya, seiring dengan
bertambahnya usia tingkat keberhasilan terapi juga meningkat dengan 85% mencapai
kesembuhan pada usia 18 tahun.20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasquin A, Di Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, et al. Childhood


Functional Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology.
2006;130(5):1527–37.

2. Rajindrajith S, Devanarayana NM, Benninga MA. Review article: Faecal incontinence in


children: Epidemiology, pathophysiology, clinical evaluation and management. Aliment
Pharmacol Ther. 2013;37(1):37–48.

3. Joinson C, Heron J, Butler U, Von Gontard A. Psychological differences between children


with and without soiling problems. Pediatrics. 2006;117(5):1575–84.

4. American Psychiatric Association. Encopresis. In: Diagnostic and statistical manual of


mental disorders. 5th ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing; 2013. p. 357–
60.

5. Har AF, Croffie JM. Encopresis. Pediatr Rev. 2010;31(9):368–74.

6. Van Oudenhove L, Aziz Q. Recent insights on central processing and psychological


processes in functional gastrointestinal disorders. Dig Liver Dis. 2009;41(11):781–7.

7. LeLeiko NS, Mayer-Brown S, Cerezo C, Plante W. Constipation. Pediatr Rev.


2020;41(8):379–92.

8. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric constipation. J Am Acad Nurse
Pract. 2010;22(7):332–8.

9. van Mill MJ, Koppen IJN, Benninga MA. Controversies in the Management of Functional
Constipation in Children. Curr Gastroenterol Rep. 2019;21(6).

10. Rowan-Legg A. Managing functional constipation in children. Paediatr Child Health


(Oxford). 2011;16(10):661–5.

11. Bongers MEJ, Tabbers MM, Benninga MA. Functional nonretentive fecal incontinence in
children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2007;44(1):5–13.
12. Ranuh R, Athiyyah A, Syarif B. Rekomendasi Gangguan Saluran Cerna Fungsional.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016. 9–14 p.

13. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta; 2013.
123–124 p.

14. Koppen IJN, Von Gontard A, Chase J, Cooper CS, Rittig CS, Bauer SB, et al.
Management of functional nonretentive fecal incontinence in children: Recommendations
from the International Children’s Continence Society. J Pediatr Urol. 2016;12(1):56–64.

15. Tabbers M, Dilorenzo C, Berger M, Faure C, Langendam M, Nurko S, et al. Evaluation


and treatment of functional constipation in infants and children: Evidence-based
recommendations from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr Gastroenterol Nutr
[Internet]. 2014;58(2):258–74. Available from: http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord&from=export&id=L52921741%5Cnhttp://dx.doi.org/10.1097/
MPG.0000000000000266%5Cnhttp://sfxhosted.exlibrisgroup.com/medtronic?
sid=EMBASE&issn=02772116&id=doi:10.1097/
MPG.0000000000000266&atitle=Evalua

16. Bekkali NLH, Van Den Berg MM, Dijkgraaf MGW, Van Wijk MP, Bongers MEJ, Liem
O, et al. Rectal fecal impaction treatment in childhood constipation: Enemas versus high
doses oral PEG. Pediatrics. 2009;124(6).

17. Kranz S, Brauchla M, Slavin JL, Miller KB. What do we know about dietary fiber intake
in children and health? The effects of fiber intake on constipation, obesity, and diabetes in
children. Adv Nutr. 2012;3(1):47–53.

18. Williams KC, Rogers LK, Hill I, Barnard J, Di Lorenzo C. PEG 3350 Administration Is
Not Associated with Sustained Elevation of Glycol Levels. J Pediatr. 2018;195:148-
153.e1.

19. Vriesman MH, Koppen IJN, Camilleri M, Di Lorenzo C, Benninga MA. Management of
functional constipation in children and adults. Nat Rev Gastroenterol Hepatol.
2020;17(1):21–39.

20. Voskuijl WP, Reitsma JB, Van Ginkel R, Büller HA, Taminiau JAJM, Benninga MA.
Longitudinal follow-up of children with functional nonretentive fecal incontinence. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2006;4(1):67–72.

21. Van Ginkel R, Reitsma JB, Büller HA, Van Wijk MP, Taminiau JAJM, Benninga MA.
Childhood constipation: Longitudinal follow-up beyond puberty. Gastroenterology.
2003;125(2):357–63.

Anda mungkin juga menyukai