Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ELIMINATION DISORDER

PSIKOLOGI ANAK LUAR BIASA USIA DINI

Rika Noor Athari 1506811184


Nindia Nahardita 1606852891
An Nisaa Nur Citra Dien 1606852790

MAGISTER TERAPAN FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2017
ELIMINATION DISORDERS
Elimination disorders merupakan gangguan eliminasi biasanya didiagnosis pada
masa kanak-kanak dan ditandai dengan tidak adanya kontrol akan kandung kemih yang
diharapkan sudah ada berdasarkan usia anak atau tahap perkembangannya (Shepard et
al., 2014, dalam Alfano & Beidel, 2014). Elimination disorder meliputi ​enuresis ​dan
encopresis. ​Enuresis adalah melakukan buang air kecil yang berulang pada tempat yang
tidak seharusnya, setelah anak melalui usia kebanyakan anak sudah dapat buang air
kecil di toilet. Encopresis adalah melakukan buang air besar yang berulang di tempat
yang tidak seharusnya, setelah anak melalui usia kebanyakan anak sudah dapat buang
air besar di toilet.
Anak dengan ​elimination disorders mengalami konsekuensi negatif antara lain
konsekuensi emosional bahwa mereka tidak dapat mengontrol fungsi tubuh sendiri, dan
reaksi negatif dari sekeliling mereka yang cenderung mengejek ataupun menghindari
mereka. Orang tua dan saudara kandung juga dapat merasa malu dengan mereka
sehingga mengganggu hubungan keluarga. Kegusaran orang tua dapat membuat orang
tua menerapkan hukuman karena anak dianggap melakukan ​misbehavior​.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat mempengaruhi perkembangan gangguan
kecemasan, gangguan depresi, dan ​conduct disorders (Ondersma, et al., 2001, dalam
Haugaard 2008).

ENURESIS
A. Definisi
Untuk kebanyakan orang, kemampuan untuk menahan buang air kecil
merupakan hal yang otomatis sehingga mudah untuk mengabaikan koordinasi
kompleks antara kemampuan fisik dan kognitif yang dibutuhkan (Butler, 1998, dalam
Haugaard, 2008). Koordinasi kompleks tersebut antara lain, pertama, kandung kemih
anak harus berkembang menjadi ukuran yang mampu menahan sejumlah urin. Kedua,
anak harus mengembangkan kontrol otot kandung kemih secara sadar untuk menahan
urin di dalam kandung kemih. Ketiga, anak harus mengembangkan kemampuan untuk
mengenali sensasi fisik yang mengindikasikan bahwa kandung kemihnya sudah penuh
dan menahannya hingga sampai ditempat yang pantas untuk buang air kecil. Keempat,
anak perlu melepas otot kandung kemih untuk mengeluarkan urin (Husmann, 1996,
dalam Haugaard 2008). Masalah dalam salah satu kemampuan tersebut dapat
menyebabkan ​enuresis.

B. Kriteria diagnostik

Dari bagan kriteria diagnostik yang berasal dari DSM V di atas, diketahui bahwa
kriteria diagnostik ​enuresis​ adalah sebagai berikut :
a. Buang air kecil yang berulang di kasur atau pakaian (baik dengan sengaja atau
tidak sengaja).
b. Tingkah laku tersebut signifikan secara klinis dengan ditandai oleh frekuensi
nya yaitu 2 kali seminggu selama paling tidak 3 bulan berturut-turut atau adanya
distress yang signifikan secara klinis, atau kerusakan pada sosial, akademis
(pekerjaan), atau area fungsi penting lainnya.
c. Usia kronologikal anak minimal 5 tahun (atau setara dengan tahapan
perkembangan).
d. Tingkah laku tersebut tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari suatu zat,
ataupun kondisi medis umum (seperti diabetes​, spina bifida, dan s​eizure
disorder​)
C. Subtipe Enuresis
1. Nocturnal only, sering disebut sebagai ​monosymptomatic enurosis​, merupakan
subtipe yang paling banyak, yaitu terjadi hanya ketika tidur malam, terutama
pada sepertiga awal malam.
2. Diurnal Only, sering disebut sebagai ​urinary incontinence ​dimana individu
dengan subtipe ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu individu dengan
“urge incontinence​” yang memiliki gejala tiba-tiba dan ketidak stabilan
destrusor, lalu individu dengan ​“voiding postponement” secara sadar menunda
buang air kecil hingga akhirnya mengompol.
3. Nocturnal and diurnal, sering disebut sebagai ​nonmonosymptomatic enurosis,
yaitu gabungan antara subtype nocturnal dan diurnal.

D. Karakteristik dan Pengalaman Anak dengan ​Enuresis


Fungsi fisiolofis dan psikologis anak dengan ​enuresi​s telah diinvestigasi oleh
banyak studi selama bertahun-tahun. Fokus dari studi untuk fungsi fisiologis adalah
untuk mengidentifikasi penyebab fisik dari ​enuresis, sedangkan studi psikologis lebih
mengarah kepada identifikasi penyebab dan konsekuensi dari ​enuresis.
1. Fungsi Fisiologis
Asesmen yang terpenting dalam kasus enuresis adalah besar kapasitas
kandung kemih, yaitu jumlah urin yang dapat ditampung oleh kandung kemih
sebelum anak merasa ingin buang air kecil. Fungsi kapasitas dari kandung kemih
selalu lebih sedikit dari kapasitas sebenarnya sehingga kita masih dapat menahan
meskipun sudah merasa sangat ingin buang air kecil. Ketika kapasitas kandung
kemih sudah penuh, anak dengan ​nocturnal enurosis secara otomatis akan
mengompol saat tidur.
Sebuah studi menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara fungsi kapasitas
kandung kemih di siang hari antara anak dengan ​nocturnal enuresis maupun yang
tidak. Namun, fungsi kapasitas kandung kemih malam hari anak dengan ​nocturnal
enuresis lebih kecil daripada anak lainnya. Fungsi kapasitas kandung kemih pada
malam hari tersebut juga lebih kecil daripada ketika siang hari, dimana anak lainnya
memiliki fungsi kapasitas yang sama baik siang maupun malam hari.
Informasi tentang pola tidur dan waktu mengompol juga penting diketahui
untuk memahami anak dengan ​enuresis. Studi yang dilakukan oleh Neveus, et.al,
(1999, dalam Hauugard 2008) menunjukkan bahwa anak akan lebih sulit untuk
bangun pada awal tidur dan pada periode ​deep sleep​, sehingga insiden mengompol
sering terjadi di waktu ini ketika fungsi kapasitas kandung kemih telah penuh.
Penelitian ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa waktu insiden mengompol biasanya terjadi pada malam hari di semua
tahapan tidur (​REM Sleep​), dan tahapan 2,3,4 pada non-REM, dan ​deep sleep
(Mikkelsen & Rapoport, 1980 dalam Haugaard 2008). Studi terbaru menemukan
bahwa walaupun insiden mengompol terjadi sepanjang malam, mengompol pertama
terjadi 10 menit saat anak tidur dan terakhir terjadi setelah 8 jam tidur, tidak ada
mengompol yang terjadi saat siklus normal d​i REM sleep​. Peneliti juga menemukan
bahwa anak mengalami periode ​deep sleep ​yang lebih lama ketika mereka
mengompol, dan periode ​deep sleep yang lebih sebentar ketika mereka tidak
mengompol. Studi ini menunjukkan bahwa ​deep sleep mungkin berhubungan
dengan insiden mengompol, meskipun perlu penelitian yang lebih lanjut.
Orang tua anak dengan enuresis melaporkan bahwa, anak mereka sulit
dibangunkan ketika sedang tidur. Sebuah studi menunjukkan 9% anak dengan
enuresis dan 40% anak normal bangun ketika dibangunkan dengan suara 120
desibel (Wolfish, et al dalam Haugaard, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa paling
tidak beberapa anak dengan enuresis memiliki kesulitan dalam bangun, yang dapat
menjadi faktor insiden mengompol mereka.
Karakteristik fisiologis lainnya dari anak dengan enuresis a​dalah sedikitnya
sekresi pada hormon ​anginine vasopressin, yang berfungsi untuk mengurangi
produksi urin di malam hari (Devitt et al., 1999 dalam Haugaard, 2008). Anak yang
melepaskan sedikit ​anginine vasopressin di malam hari memproduksi urin lebih
banyak ketika mereka tidur, yang mana dapat meningkatkan risiko mengompol.
Paparan karakterisitik fisiologis anak dengan enuresis di atas menjelaskan
kaitan fisiologis anak dengan etiologi dari enuresis pada beberapa anak.
2. Fungsi Psikologis
Studi klinis melaporkan bahwa anak mengalami banyak konsekuensi
negatif dari ​enuresis. Ketidak mampuan untuk mengontrol buang air kecil dapat
menyebabkan ​self-esteem yang rendah, membuat mereka tidak dapat menginap di
rumah teman, dan insiden mengompol membuat mereka diejek.
Studi empiris menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada masalah
tingkah laku antara anak dengan ​enuresis ​maupun tidak, walaupun ada studi yang
menunjukkan anak dengan enuresis sedikit mengalami masalah tingkah laku.
Studi kepada anak dengan enuresis ketika ditanya tingkat stress mereka
mengenai enuresisnya, menunjukkan bahwa 25% mengatakan merasa stress,
sedangkan 50% mengatakan tidak merasa stress. Orang tua dengan anak yang
mengalami stress lebih berusaha mencari treatment untuk anak mereka.

E. Prevalensi
DSM-IV-TR memperkirakan prevalensi dari ​enuresis adalah 5-10% pada anak
usia 5 tahun, 3-5% pada anak usia 10 tahun, dan 1% pada pada usia 15 tahun (APA,
2000 dalam Haugaard, 2008). Salah satu gambaran prevalensi ​enuresis di Indonesia
misalnya di Jakarta, pada anak berumur 5 - 14 tahun berkisar antara 10-25% dengan
prevelensi tertinggi pada anak laki-laki usia 7 tahun sebesar 28,5% (Suwardi, 2000)
Beberapa penelitian menjelaskan prevelensi dari kejadian mengompol memiliki
frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan persyaratan pada diagnosis dari ​enuresis
(Haugaard, 2008). Misalnya, studi dari anak usia 5-12 tahun di Australia
mengungkapkan bahwa 5% dari anak mengompol saat tidur setidaknya satu kali
seminggu. Hal serupa juga ditemukan di United States, 7% dari anak laki-laki dan 6%
dari anak perempuan mengompol saat tidur setidaknya satu kali seminggu.
Masalah mengompol saat tidur lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, dan ​nocturnal enuresis lebih umum daripada ​diurnal enuresis​.
Meskipun begitu, lebih banyak anak perempuan yang mengalami ​diurnal ataupun
kombinasi tipe dari ​enuresis (APA, 2000 dalam Haugaard, 2008). Hal ini mungkin
terjadi karena peran dari infeksi bakteri yang berkembang pada ​diurnal enuresis dan
karena infeksi tersebut lebih banyak terjadi pada perempuan. Prevalensi dari kedua
bentuk enuresis lebih tinggi pada anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat
pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah (APA dalam Mash & Wolfie, 2015)
Hasil pengamatan prevelensi dari ​primary ​enuresis selama selama ini
menunjukan bahwa sekitar 15% dari anak dengan ​primary enuresis pada usia tertentu
akan tidak lagi memenuhi kriteria diagnostik ​enuresis ketika sudah setahun lebih tua
dari usianya saat itu. Terdapat penurunan presentase anak dengan ​primary enuresis
yang lebih cepat pada tahun-tahun awal masa anak-anak dan penurunan lebih bertahap
pada tahun-tahun selanjutnya. Berikut grafik yang menggambarkan hal tersebut
(Murphy&Carr,2000 dalam Haugaard, 2008):

Penurunan prevelensi ini terjadi bahkan di antara anak-anak yang tidak diberikan
treatment apapun. Hal ini menunjukan salah satu penyebab penting dari ​enuresis adalah
sistem kontrol urinasi (pengeluaran urin) yang belum matang.
Penelitian pada ​secondary ​enuresis melaporkan jumlah pada anak pra sekolah
dan sekolah diantara 3% dan 8% (Fergusson, Harwood, &Shanmon, 1990 dala,
Haugaard, 2008). Stres dalam tingkat yang tinggi sering dihubungkan dengan
pemulihan ​secondary ​enuresis​. ​Secondary enuresis menunjukan penurunan 15% di
setiap tahunnya seperti pada ​primary enurasis​.

F. Keluarga dari Anak dengan ​Enuresis


Keluarga dengan anak yang memiliki pengalaman ​enuresis memiliki berbagai
tanggapan terhadap keadaan anak tersebut. Sebuah studi menemukan bahwa 38%
orangtua dari anak usia 5-13 tahun dengan pengalaman ​enuresis merasa sedikit
khawatir dan terhadap ​enuresis​, 46% agak khawatir, dan 17% sangat khawatir (Foxman
et al, 1986 dalam Haugaard, 2008).
Landagraf (2004 dalam National Clinical Guideline Centre, 2010) dalam
penelitiannya di USA menemukan bahwa mengompol dinyatakan sebagai sebuah
masalah bagi sebagian besar (61%) orangtua, baik dalam kelompok berpendidikan
rendah maupun tinggi. Namun, orangtua berpendidikan rendah merasa lebih khawatir
mengenai masalah mengompol dibandingkan orangtua berpendidikan tinggi.
Pendidikan orangtua juga mempengaruhi bagaimana cara orangtua menangani perilaku
anak mengompol. Orangtua berpendidikan rendah (​school grade​) lebih cenderung
memberikan hukuman dan lebih sering mencari saran medis tentang masalah
mengompol pada anak dibanding orangtua berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan
orangtua tidak berpengaruh pada pandangan orangtua terhadap penyebab anak
mengompol. Lebih dari sepertiga orangtua berpendapat penyebab anak mengompol
berhubungan dengan masalah emosional, penyebab fisik menempati urutan terendah.
Hasil selanjutnya dari penelitian Landgraf menunjukan lebih dari setengah orangtua
gagal mencari bantuan dari dokter, hal ini dapat terjadi karena kurangnya kepercayaan
terhadap kemampuan dokter untuk menangani masalah atau kurangnya keinginan
berurusan dengan masalah ​enuresis​.
Buttler (1994 dalam Haugaard, 2008) menunjukan dua pola perilaku dalam
keluarga yang memiliki pengalaman stres dan terganggu dengan ​enuresis anak mereka.
Pola yang paling sering terjadi dikarakterisikan sebagai ​“maintainig cycle” ​di mana
orangtua merasa tidak berdaya mengenai ​enuresis anak mereka. Orangtua dengan
karakteristik ini percaya bahwa ​enuresis tidak terkontrol dan prinsip intervensi yang
mereka lakukan adalah dengan mengurangi pemberian cairan pada malam hari dan
membawa anak mereka ke toilet saat setengah sadar pada malam hari.
Pola kedua adalah orangtua adalah tidak toleran. Orangtua pada pola ini percaya
bahwa ​enuresis terjadi dikarenakan kemalasan anak atau kurangnya perhatian, dan
mereka seringkali marah kepada anak. Prinsip intervensi yang dilakukan adalah dengan
memberikan hukuman ketika anak mengompol. Sayangnya, hukuman seringkali
menciptakan tingkat stres yang lebih tinggi pada anak, yang juga akan meningkatkan
frekuensi mengompol.
Memahami bagaimana orangtua mengatasi anak dengan ​enuresis mungkin
mengarah pada praktik ​parenting yang suportif terhadap anak dengan ​enuresis​. Hal ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

G. Etiologi
Etiologi dari ​enuresis adalah suatu hal yang rumit, dikarenakan banyaknya
bentukyang dapat terjadi dan karena persoalan yang mempengaruhi etiologi suatu tipe
enuresis dapat sedikit mempengaruhi tipe yang lain ( Husmann, 1996 dalam Haugaard,
2008). Maka, kebanyakan peneliti percaya bahwa mencari penyebab masing-masing
tipe dari ​enuresis akan lebih produktif daripada mencari satu atau lebih penyebab dari
enuresis​ secara keseluruhan.
Kebanyakan penelitian saat ini berfokus ​nocturnal, primary enuresis​. Haugaard
(2008) menjelaskan etiologi ​primary enuresis yang berfokus pada persoalan perilaku
anak normal yang berlanjut melewati usia dimana kebanyakan anak-anak sudah
mengakhiri perilaku tersebut. Hal ini dikarenakan nak-anak tidak dapat mengontrol
urinasi mereka pada tahun-tahun awal maka anak didiagnosis enurisis jika gagal
mengakhiri kurangnya kontrol terhadap urinasi mereka. Dengan kata lain, menurut
Haugard (2008) etiologi ​primary enuresis berfokus pada perpanjangan ​inkontinensi
urin (keluarnya air seni tanpa sadar) dibanding hal-hal yang memulainya. Ada 3
penyebab ​enuresis ​menurut Haugaard (2008) yaitu genetik, infeksi, serta psikologis dan
proses belajar.
1. Pengaruh Genetik
Kebanyakan anak ​primary enuresis memiliki salah satu atau kedua orangtua
yang mengalami ​enuresis saat masa anak-anak, hal ini menunjukan adanya pengaruh
genetik dalam ​enuresis (Mikkelsen, 2001 dalam Haugaard, 2008). Mash dan Wolfe
(2010) pun menyatakan apabila kedua orang tua anak pernah menderita ​enuresis​,
maka 77% kemungkinan anaknya juga akan mengalami ganguan yang sama. Ketika
hanya satu orang tua yang menderita, maka 44% anaknya akan mengalami
gangguan. Jika kedua orang tuanya tidak memiliki gangguan ​enuresis, maka
kemungkinan anak menderita ganggguan ini adalah 15%. Tingkat kesesuaian
enuresis untuk ​monozigot ​adalah 68% dan ​dyzygotic 36%. Anak kembar yang
memiliki gangguan juga kemungkinan saudaranya akan mengalami gangguan
(Bakwin, dalam Mash & Wolfe, 2010).
Beberapa penelitian mengenai ​enuresis menemukan bahwa ada tiga gen (12q,
13q, dan 22) yang berhubungan dengan ​enuresis (Haugaard,2008). Akan tetapi
hubungan tersebut belum dapat dijelaskan secara pasti karena hanya beberapa kasus
saja yang dapat menunjukannya dan banyak keluarga yang tidak terpengaruh oleh
gen tersebut mengalami ​enuresis​.
Salah satu jalan bagaimana beberapa gen berbeda dapat terlibat dalam enuresis
adalah masing-masing gen tersebut mempengaruhi satu aspek dari kemampuan anak
untuk mengembangkan kontinensi urin, seperti misalnya kapasitas kandung kemih
atau produksi hormon ​anginine vasopressin (hormon antidiuretik) Kemungkinan
lain, beberapa kombinasi gen menghambat keseluruhan maturasi (kematangan) dari
sistem yang dibutuhkan untuk kontinensi urin.

2. Infeksi
Infeksi bakteri pada saluran urin dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk
menampung urin dan mengeluarkannya sesuai keinginan yang dapat meningkatkan
kemungkinan mengompol. Infeksi bakteri sebagian besar berperan pada ​enuresis
yang dialami perempuan dibandingkan laki-laki. Husmann (dalam Haugaard, 2008)
menemukan bahwa 50% perempuan dan 5% laki-laki yang mengalami memiliki
infeksi di saluran urin mereka. Hubungan antara infeksi bakteri dengan ​diurnal
enuresis diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa 68% dari anak yang
mengalami enuresis dan infeksi pada saluran urin dapat menghentikan ​enuresis
mereka setelah mengobati infeksi tersebut. Infeksi bakteri hanya memiliki sedikit
pengaruh pada ​nocturnal enuresis.

3. Pengaruh Psikologis dan Proses Belajar


Strategi yang biasanya digunakan oleh orang tua untuk menghentikan tingkah
laku mengompol pada anak dapat menjadi kunci seorang anak mengalami ​enuresis​.
Walaupun orang tua mencoba menghentikannya dengan melakukan hal yang logis,
namun terkadang hal tersebut malah berbalik dan membuat anak mempertahankan
perilaku mengompolnya.
Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua adalah
membangunkan anak pada saat malam hari untuk membuang air kecil. Hal ini akan
membentuk pola pada anak untuk mengeluarkan urinnya ketika masih setengah
bangun dan kembali tidur lagi, persis dengan perilaku yang coba dihilangkan.
Strategi lain yang sering menjadi masalah adalah membatasi cairan yang masuk ke
dalam tubuh anak saat siang hari dengan tujuan agar tidak perlu membuang air kecil
saat malam. Hal ini dapat menyebabkan anak akan sering mengompol, walaupun
jumlah urin yang dikeluarkan tidak begitu banyak.
Menghukum anak apabila anak mengompol dilakukan oleh sejumlah orang tua.
Namun, pada beberapa kasus, hukuman justru dapat menambah stres yang dirasakan
oleh anak pada malam hari dan dapat meningkatkan kemungkinan mengompol.

Sementara itu, menurut Mash dan Wolfe (2010), anak dengan ​nocturnal
enuresis ingin buang air kecil saat malam hari, namun mereka tidak bisa bangun ketika
ingin buang air kecil. Anak-anak yang butuh untuk buang air kecil di malam hari
kemungkinan memiliki kekurangan hormon penting saat tidur yang dikenal sebagai
hormon antidiuretik (ADH). ADH membantu konsentrasi urin selama jam tidur, yang
berarti bahwa urin mengandung lebih sedikit air sehingga mengalami penurunan
volume. Untuk anak-anak normal, penurunan volume biasanya berarti bahwa kandung
kemih mereka tidak penuh sampai melimpah saat mereka tertidur, kecuali mereka
minum cairan berlebihan sebelum tidur. Sementara itu, anak-anak dengan ​enuresis
tidak menunjukkan peningkatan yang biasa di ADH saat tidur. Mereka tetap
menghasilkan lebih banyak urin selama jam tidur sehingga kandung kemih mereka
tidak dapat menahan, dan jika mereka gagal untuk bangun, mereka akan mengompol
(Mash & Wolfe, 2010).
Alasan anak tidak bisa bangun saat malam ketika mereka ingin buang air kecil
juga dapat dijelaskan oleh faktor perkembangan dan biologis (Mash & Wolfe, 2010).
Anak yang lebih tua dan remaja dapat merasakan kandung kemih penuh di malam hari,
yang mengaktifkan impuls saraf dari kandung kemih ke otak. Sinyal ini dapat memulai
mimpi tentang air atau pergi ke toilet, yang biasanya membangunkan mereka.
Mekanisme persinyalan ini matang pada anak usia dini, sehingga bayi dimaklumi
memiliki sangat sedikit kemampuan untuk mendeteksi kebutuhan untuk buang air kecil.
Bagaimanapun, beberapa anak dengan ​primary enuresis tidak memiliki perkembangan
normal dari pemrosesan sinyal ini di otak.
Selain etiologi yang telah dijelaskan, penelitian menunjukkan ada hubungan
antara stress dan ​secondary enuresis​. Ferguson (dalam Haugaard, 2008) menyatakan
bahwa kemungkinan hubungan antara stres dengan ​enuresis adalah ketika seorang anak
mengalami stres, hal itu akan mempengaruhi kematangan psikologis sang anak dan
akan menimbulkan ​secondary enuresis​. Selain itu, pada penelitian lain juga ditemukan
bahwa anak yang mengalami ​secondary enuresis biasanya sering berpisah dengan
orang tuanya atau memiliki orang tua yang bercerai (Jarvelin, Moilanen,
Vakevainen-Tervonen, & Huttunen, 1990, dalam Haugaard, 2008).

G. Komorbiditas ​Enuresis
Meskipun sebagian besar anak-anak dengan enuresis tidak memiliki
komorbiditas gangguan mental, prevalensi gejala perilaku penyerta lebih tinggi pada
anak-anak dengan ​enuresis dibandingkan anak-anak tanpa ​enuresis (DSM V).
Keterlambatan perkembangan, termasuk pidato, bahasa, belajar, dan keterampilan
motorik, juga hadir pada anak-anak dengan ​enuresis​. Mungkin juga terdapat
encopresis, sleepwalking, dan sleep terror​. Infeksi saluran kemih lebih sering terjadi
pada anak-anak.dengan enuresis, terutama subtipe diurnal, dibandingkan mereka yang
dapat mengontrol urinasinya.
Enuresis ​sering diikuti dengan beberapa derajat ​psychological distress (Mash &
Wolfe, 2010). Hal ini dikarenakan anak-anak yang ditemukan mengompol saat kelas
dan tertidur akan diperlakukan berbeda oleh teman mereka. Mereka akan diejek,
dipanggil namanya dan memunculkan stigma sosial karena masalah ini. ​Distress ini
bergantung kepada tiga hal, yakni keterbatasan yang dikenakan pada kegiatan sosial,
dampak pada harga diri, termasuk tingkat pengucilan sosial yang dikenakan oleh
rekan-rekan serta reaksi orangtua.
H. Prevensi
Strategi preventif memuat edukasi yang dapat membantu orangtua
mempraktikan tindakan ​parenting yang tepat atau menghindari tindakan yang dapat
memperpanjang perkembangan kontinensi urin anak. Beberapa anak dengan ​diurnal
enuresis sengaja menghindari buang air kecil dalam waktu yang lama. Jika orang
memperhatikan pola penghindaran ini, mereka dapat bekerja sama dengan anak untuk
mengatasi apapun masalah atau ketakutan yang dapat mengarahkan anak menunda
buang air kecil sebelum pola tersebut tertanam pada prilaku anak.

ENCOPRESIS
A. Definisi
Dalam DSM V, American Psychiatric Association (2013) mengemukakan
encopresis sebagai kecenderungan anak untuk buang air besar sembarangan, seperti di
atas lantai atau di baju. Pada kasus yang umumnya terjadi, ditemukan bahwa adanya
unsur ketidaksengajaan/ tidak sadar (​involuntary​) dalam gangguan ini tetapi ditemukan
pula beberapa kasus yang menunjukkan ​encopresis yang dilakukan dengan sengaja oleh
anak. Dalam penegakan diagnosanya, kriteria diagnosa ​encopresis ini terjadi paling
tidak sekali setiap bulannya dalam tiga bulan terakhir dan gangguan ini muncul pada
anak yang berusia 4 tahun ke atas.
Haugaard (2008) mengemukakan bahwa minimnya penelitian tentang
elimination disorder ini berdampak pada sedikitnya informasi mendalam mengenai
encropesis dan ​enuresis​. Pada umumnya, penelitian yang pernah dilakukan hanya
melibatkan sampel yang kecil atau bahkan hanya menggunakan data anak-anak yang
sudah dibawa ke klinik dan diberikan penanganan (Haugaard, 2008). Oleh karena itu,
masih sangat dibutuhkan pengembangan penelitian agar lebih bisa mempelajari
informasi mendalam mengenai dua jenis elimination disorder ini.

B. Kriteria Diagnostik
Untuk kriteria diagnostik ​encopresis yang dikemukakan dalam DSM V, tidak
terdapat perubahan ataupun revisi yang dilakukan atas kriteria yang sudah dijabarkan
pada DSM IV-TR. Berikut kriteria diagnostik ​encopresis ​yang dikemukakan pada DSM
V:
a. Berulang-ulang buang air besar (feses) pada tempat yang tidak seharusnya
(seperti pada baju, lantai), yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja
b. Terjadi setidaknya satu kali setiap bulan selama 3 bulan
c. Usia kronologis minimal 4 tahun (atau tahap perkembangan yang sama dengan
anak usia 4 tahun)
d. Perilaku ini muncul bukan akibat penggunaan zat/substansi tertentu (seperti obat
pencahar) atau kondisi medis lain, kecuali melalui mekanisme konstipasi

Lebih lanjut mengenai ​encopresis​, terdapat dua subtipe yang juga dikemukakan
dalam DSM V, yaitu ​encopresis with constipation and overflow incontinence dan
encropesis without constipation and overflow incontinence​. Perbedaan kedua subtipe
ini terletak pada poin ada dan tidaknya ​constipation (sembelit) yang dialami anak.
Selain itu, ​encopresis with ​constipation and overflow incontinence merupakan tipe yang
paling banyak ditemukan terjadi, dimana 80% hingga 95% anak dilaporkan mengalami
gangguan tersebut. Mash & Wolfe (2016) juga mengemukakan bahwa ​encopresis
sangat erat kaitannya dengan sembelit dimana ​encopresis merupakan hasil dari adanya
sembelit yang dialami anak.
Pada praktik dunia klinis, ​encopresis dapat dikategorikan dalam ​primary ​atau
secondary, ​atau ​sebagai diurnal ​atau nocturnal ​(atau keduanya) seperti halnya kriteria
yang ditetapkan pada enuresis (Mikkelsen,2001 dalam Haugaard, 2008). Adapun
menurut Ondersma dkk (2001, dalam Haugaard, 2008), ​encopresis ​juga
diklasifikasikan ​primary cause ​yaitu retentive, manipulative ​dan stress-related.
Retentive dideskripsikan sebagai kondisi yang serupa dengan ​encopresis ​with
constipation and overflow incontinence dan ​manipulative merupakan​. ​Gambaran
kondisi dimana anak melakukan ​encopresis untuk menarik perhatian atau
megekspresikan kemarahan mereka karena adanya adanya tujuan yang diinginkan.
Sedangkan ​stress-related ​dijelaskan sebagai keadaan dimana anak mengalami
encopresis​ karena mengalami stres level tinggi (Haugaard, 2008).
Haugaard (2008) menjabarkan sebuah proses yang terjadi pada kedua tipe
encopresis, diaman proses ini disebut juga ​bowel movement​. Proses ​bowel of movement
bermula ketika makanan masuk kedalam sistem pencernaan, kemudian di proses
menjadi sisa makanan dan sisa makanan tersebut dikumpukan di usus besar. Setelah
kelembaban feses hilang dan feses sudah terbentuk silinder yang padat, feses pun
berpindah dari usus besar menuju ​rectum​. Ketika berada di rectum, akan terjadi proses
(1) relaksasi otot internal anal yang mengikuti ​stool untuk berpindah ke saluran anal,
dan (2) kontraksi otot eksternal anal untuk tetap menjaga ​stool agar tetap di saluran
anal sampai individu duduk di ​toilet (Haugaard, 2008). Jika seseorang mengalami
sembelit dan jadwal buang air besar yang tidak teratur, maka usus besar bekerja
semakin mengurangi kelembaban dari ​stool dan membuat ​stool yang baru dengan
bentuk yang tidak norma.. Akibatnya, anak menjadi sulit untuk buang air besar karena
anak harus mengeluarkan usaha yang lebih untuk buang air.
Sembelit yang terus menerus terjadi akan berdampak pada perluasan usus besar,
perubahan bentuk feses dan disertai dinding usus besar yang menjadi lebih lembek
(Haugaard, 2008). Perubahan dindig usus ini akan membuat feses terus mengalir
menuju ​rectum dan anal tanpa berhenti, dimana keadaan ini yang disebut sebagai
overflow incontinence​. Adapun periode ketika feses yang berbentuk cair tersebut
mengalir dari usus besar disebut juga sebagai ​soiling. ​Anak yang mengalami
constipation and overflow incontinence mengalami periode ​soiling atau mengeluarkan
feses berbentuk cair dalam jumlah yang sedikit. Hal ini berbeda dengan ​without
constipation ​and overflow incontinence ​dimana anak tetap mengeluarkan feses seperti
biasa pada tempat yang tidak tepat. (Haugaard, 2008).

C. Prevalensi
American Psychiatric Association (2013) dalam DSM V mengemukakan bahwa
1% anak berusia 5 tahun mengalami encopresis dan gangguan ini lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Mash & Wolfe (2015)
juga memeperkuat prevalensi yang dikeumakan American Psychiatric Association,
dimana disebutkan bahwa 1,5% hingga 3 % mengalami ​encopresis​, dengan
kemungkinan 5 hingga 6 kali lebih besar terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. ​Encopresis juga dilaporkan mengalami penurunan yang cepat seiring
bertambahnya usia (Mash & Wolfe, 2015), bahkan ketika memasuki usia prasekolah
(Haugaard, 2008). Haugaard (2008) mengemukakan bahwa terdapat 10% anak berusia
4 tahun mengalami ​encopresis dan penemuan kasus ​encopresis mengalami penurunan
sekitar 1 % ketika memasuki usia 5 tahun.

D. Etiologi
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa beberapa penyebab ​encopresis pada
anak adalah penerapan ​toilet training terlalu dini atau terlalu agresif pada anak, kondisi
keluarga yang kurang harmonis dan stres, serta keadaan psikopatologi yang dimiliki
anak (Burket et al., 2006; Peterson et al., 2003, dalam Mash & Wolfe, 2015). Pada
keluarga dengan situasi yang tidak harmonis, beberapa anak sengaja melakukan
encopresis untuk mengekspresikan kekesalannya pada orang tua atau pada orang lain
karena cara tersebut merupakan satu-satunya jalan yang mereka miliki untuk
memberikan ancaman (Haugaard,2008).
Stark et al., (1997, dalam Haugaard, 2008) menyatakan bahwa faktor genetik juga
mempengaruhi sembelit yang dialami dimana faktor genetik ini mengurangi kesadaran
terhadap ​colon ​yang sudah penuh dan kebutuhan untuk melakukan ​bowel movement​,
serta menyebabkan anak kesulitan untuk mengalami ​bowel movement ​yang normal.
Pola hidup juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya encopresis
pada anak, diamna kekurangan makanan yang berserat juga dapat menyebabkan ​bowel
movement ​yang bersifat ​infrequent ​sehingga menyebabkan terjadinya sembelit
(Issenman, Filmer & Borski, 1999, dalam Haugaard, 2008). Faktor pemakaian
obat-obatan (seperti obat batuk dan obat ​anti-convulsants​) dapat pula menjadi faktor
resiko ​encopresis dimana pemakan obat tersebut dapat menyebabkan sembelit dan
kemungkinan besar juga diikuti oleh terjadinya ​encopresis pada anak (American
Psychiatris Association, 2013).
Lebih lanjut Mash & Wolfe (2015) mengemukakan bahwa ​encopresis merupakan
gangguan fisiologis yang secara bersamaan dapat berdampak pada gangguan psikologis
anak. Semakin cepat anak diidentifikasi mengalami ​encopresis dan diberikan
penanganan maka semakin kecil kemungkinan anak mengalami masalah emosional
atau gangguan lain hubungan sosial (Msh & Wolfe, 2015). Hal ini perlu diantisipasi
mengingat anak yang mengalami ​encopresis sering merasa malu dan memilih
menghindari situasi sosial yang dapat membuat mereka malu, seperti sekolah atau
kegiatan bersama orang lain (American Psychiatric Association, 2013). American
Psychiatric Association (2013) juga menambahkan bahwa masalah sosial ini dapat
memberikan dampak pada ​self-esteem anak, pengucilan dalam lingkungan pertemanan,
kemarahan, hukuman yang diterima anak, penolakan dari pengasuh (​caregivers​) dan
bahkan tingkah laku pemberontakan yang dimunculkan anak.
Berbicara mengenai ​encopresis maka tidak dapat terlepas dari proses ​constipation
(sembelit) dan ​toilet training yang dialami anak. Brooks et al. (2000, dalam Haugaard,
2008) mengemukakan bahwa konstipasi juga dapat disebabkan karena anak-anak
mengalami ​stool-toilet refusal​. ​Stool-toilet refusal ​merupakan suatu situasi yang terjadi
ketika anak menolak menggunakan toilet untuk melakukan ​bowel movement ​paling
lambat satu bulan setelah ia sudah belajar untuk menggunakan toilet untuk buang air
kecil. Anak-anak dengan ​stool-toilet refusal ​akan berusaha untuk menahan ​bowel
movement ​selama mungkin dan banyak dari mereka menolak untuk melakukan ​bowel
movement ​hingga mereka diberikan popok untuk dipakai. Penyebab anak mengalami
stool-toilet refusal ​diasosasikan dengan kesulitan yang dialami ketika ​toilet training
yang membuat anak sulit menyesuaikan posisi untuk memperoleh tekanan yang
diperlukan untuk mengeluarkan feses sehingga proses penggunaan toilet menjadi lama
dan membuat anak frustrasi (Issenman et al., 1999, dalam Haugaard, 2008).

E. Prevensi
Pada umumnya, usaha preventif yang dilakukan pada kasus ​encopresis ini lebih
difokuskan kepada ​encopresis yang sudah bersifat kronik (Haugaard, 2008). Usaha
yang dilakukan adalah mengatasi stool-toilet refusal ​pada anak dimana anak-anak
diperkenalkan kembali pada toilet dan membiasakan diri untuk ke toilet. Pengenalan
kembali ini akan sangat membantu anak, untuk membiasakan diri untuk buang air besar
di toilet secara teratur dan mengembangkan serta meningkatkan ​toileting skill yang
sesuai.

Daftar Pustaka​:
Alfano, C. A., & Beidel, D. C. (Eds.). (2014). ​Comprehensive evidence based
interventions for children and adolescents​. John Wiley & Sons.
American Psychiatric Association. (2013). ​Diagnostic and Statistical Manual of mental
Disorders (5th Edition)​. Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Haugaard, J. J. (2008). ​Child Psychopathology. ​New York : McGraw-Hill.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2010). ​Abnormal Child Psychology Fourth Edition.
California: Wadsworth.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2015). ​Abnormal Child Psychology Sixth Edition.
California: Wadsworth.
National Clinical Guideline Centre. (2010). ​Nocturnal Enuresis: The Management of
Bedwetting in Children and Young People NICE Clinical Guidelines UK
No.111.​London: Royal College of Physician diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK62729/
Suwardi, Susie Suwarti. (2000). Enuresis pada Anak Sekolah di Jakarta. Tesis.
Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok.

Anda mungkin juga menyukai