ENURESIS
A. Definisi
Untuk kebanyakan orang, kemampuan untuk menahan buang air kecil
merupakan hal yang otomatis sehingga mudah untuk mengabaikan koordinasi
kompleks antara kemampuan fisik dan kognitif yang dibutuhkan (Butler, 1998, dalam
Haugaard, 2008). Koordinasi kompleks tersebut antara lain, pertama, kandung kemih
anak harus berkembang menjadi ukuran yang mampu menahan sejumlah urin. Kedua,
anak harus mengembangkan kontrol otot kandung kemih secara sadar untuk menahan
urin di dalam kandung kemih. Ketiga, anak harus mengembangkan kemampuan untuk
mengenali sensasi fisik yang mengindikasikan bahwa kandung kemihnya sudah penuh
dan menahannya hingga sampai ditempat yang pantas untuk buang air kecil. Keempat,
anak perlu melepas otot kandung kemih untuk mengeluarkan urin (Husmann, 1996,
dalam Haugaard 2008). Masalah dalam salah satu kemampuan tersebut dapat
menyebabkan enuresis.
B. Kriteria diagnostik
Dari bagan kriteria diagnostik yang berasal dari DSM V di atas, diketahui bahwa
kriteria diagnostik enuresis adalah sebagai berikut :
a. Buang air kecil yang berulang di kasur atau pakaian (baik dengan sengaja atau
tidak sengaja).
b. Tingkah laku tersebut signifikan secara klinis dengan ditandai oleh frekuensi
nya yaitu 2 kali seminggu selama paling tidak 3 bulan berturut-turut atau adanya
distress yang signifikan secara klinis, atau kerusakan pada sosial, akademis
(pekerjaan), atau area fungsi penting lainnya.
c. Usia kronologikal anak minimal 5 tahun (atau setara dengan tahapan
perkembangan).
d. Tingkah laku tersebut tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari suatu zat,
ataupun kondisi medis umum (seperti diabetes, spina bifida, dan seizure
disorder)
C. Subtipe Enuresis
1. Nocturnal only, sering disebut sebagai monosymptomatic enurosis, merupakan
subtipe yang paling banyak, yaitu terjadi hanya ketika tidur malam, terutama
pada sepertiga awal malam.
2. Diurnal Only, sering disebut sebagai urinary incontinence dimana individu
dengan subtipe ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu individu dengan
“urge incontinence” yang memiliki gejala tiba-tiba dan ketidak stabilan
destrusor, lalu individu dengan “voiding postponement” secara sadar menunda
buang air kecil hingga akhirnya mengompol.
3. Nocturnal and diurnal, sering disebut sebagai nonmonosymptomatic enurosis,
yaitu gabungan antara subtype nocturnal dan diurnal.
E. Prevalensi
DSM-IV-TR memperkirakan prevalensi dari enuresis adalah 5-10% pada anak
usia 5 tahun, 3-5% pada anak usia 10 tahun, dan 1% pada pada usia 15 tahun (APA,
2000 dalam Haugaard, 2008). Salah satu gambaran prevalensi enuresis di Indonesia
misalnya di Jakarta, pada anak berumur 5 - 14 tahun berkisar antara 10-25% dengan
prevelensi tertinggi pada anak laki-laki usia 7 tahun sebesar 28,5% (Suwardi, 2000)
Beberapa penelitian menjelaskan prevelensi dari kejadian mengompol memiliki
frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan persyaratan pada diagnosis dari enuresis
(Haugaard, 2008). Misalnya, studi dari anak usia 5-12 tahun di Australia
mengungkapkan bahwa 5% dari anak mengompol saat tidur setidaknya satu kali
seminggu. Hal serupa juga ditemukan di United States, 7% dari anak laki-laki dan 6%
dari anak perempuan mengompol saat tidur setidaknya satu kali seminggu.
Masalah mengompol saat tidur lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, dan nocturnal enuresis lebih umum daripada diurnal enuresis.
Meskipun begitu, lebih banyak anak perempuan yang mengalami diurnal ataupun
kombinasi tipe dari enuresis (APA, 2000 dalam Haugaard, 2008). Hal ini mungkin
terjadi karena peran dari infeksi bakteri yang berkembang pada diurnal enuresis dan
karena infeksi tersebut lebih banyak terjadi pada perempuan. Prevalensi dari kedua
bentuk enuresis lebih tinggi pada anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat
pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah (APA dalam Mash & Wolfie, 2015)
Hasil pengamatan prevelensi dari primary enuresis selama selama ini
menunjukan bahwa sekitar 15% dari anak dengan primary enuresis pada usia tertentu
akan tidak lagi memenuhi kriteria diagnostik enuresis ketika sudah setahun lebih tua
dari usianya saat itu. Terdapat penurunan presentase anak dengan primary enuresis
yang lebih cepat pada tahun-tahun awal masa anak-anak dan penurunan lebih bertahap
pada tahun-tahun selanjutnya. Berikut grafik yang menggambarkan hal tersebut
(Murphy&Carr,2000 dalam Haugaard, 2008):
Penurunan prevelensi ini terjadi bahkan di antara anak-anak yang tidak diberikan
treatment apapun. Hal ini menunjukan salah satu penyebab penting dari enuresis adalah
sistem kontrol urinasi (pengeluaran urin) yang belum matang.
Penelitian pada secondary enuresis melaporkan jumlah pada anak pra sekolah
dan sekolah diantara 3% dan 8% (Fergusson, Harwood, &Shanmon, 1990 dala,
Haugaard, 2008). Stres dalam tingkat yang tinggi sering dihubungkan dengan
pemulihan secondary enuresis. Secondary enuresis menunjukan penurunan 15% di
setiap tahunnya seperti pada primary enurasis.
G. Etiologi
Etiologi dari enuresis adalah suatu hal yang rumit, dikarenakan banyaknya
bentukyang dapat terjadi dan karena persoalan yang mempengaruhi etiologi suatu tipe
enuresis dapat sedikit mempengaruhi tipe yang lain ( Husmann, 1996 dalam Haugaard,
2008). Maka, kebanyakan peneliti percaya bahwa mencari penyebab masing-masing
tipe dari enuresis akan lebih produktif daripada mencari satu atau lebih penyebab dari
enuresis secara keseluruhan.
Kebanyakan penelitian saat ini berfokus nocturnal, primary enuresis. Haugaard
(2008) menjelaskan etiologi primary enuresis yang berfokus pada persoalan perilaku
anak normal yang berlanjut melewati usia dimana kebanyakan anak-anak sudah
mengakhiri perilaku tersebut. Hal ini dikarenakan nak-anak tidak dapat mengontrol
urinasi mereka pada tahun-tahun awal maka anak didiagnosis enurisis jika gagal
mengakhiri kurangnya kontrol terhadap urinasi mereka. Dengan kata lain, menurut
Haugard (2008) etiologi primary enuresis berfokus pada perpanjangan inkontinensi
urin (keluarnya air seni tanpa sadar) dibanding hal-hal yang memulainya. Ada 3
penyebab enuresis menurut Haugaard (2008) yaitu genetik, infeksi, serta psikologis dan
proses belajar.
1. Pengaruh Genetik
Kebanyakan anak primary enuresis memiliki salah satu atau kedua orangtua
yang mengalami enuresis saat masa anak-anak, hal ini menunjukan adanya pengaruh
genetik dalam enuresis (Mikkelsen, 2001 dalam Haugaard, 2008). Mash dan Wolfe
(2010) pun menyatakan apabila kedua orang tua anak pernah menderita enuresis,
maka 77% kemungkinan anaknya juga akan mengalami ganguan yang sama. Ketika
hanya satu orang tua yang menderita, maka 44% anaknya akan mengalami
gangguan. Jika kedua orang tuanya tidak memiliki gangguan enuresis, maka
kemungkinan anak menderita ganggguan ini adalah 15%. Tingkat kesesuaian
enuresis untuk monozigot adalah 68% dan dyzygotic 36%. Anak kembar yang
memiliki gangguan juga kemungkinan saudaranya akan mengalami gangguan
(Bakwin, dalam Mash & Wolfe, 2010).
Beberapa penelitian mengenai enuresis menemukan bahwa ada tiga gen (12q,
13q, dan 22) yang berhubungan dengan enuresis (Haugaard,2008). Akan tetapi
hubungan tersebut belum dapat dijelaskan secara pasti karena hanya beberapa kasus
saja yang dapat menunjukannya dan banyak keluarga yang tidak terpengaruh oleh
gen tersebut mengalami enuresis.
Salah satu jalan bagaimana beberapa gen berbeda dapat terlibat dalam enuresis
adalah masing-masing gen tersebut mempengaruhi satu aspek dari kemampuan anak
untuk mengembangkan kontinensi urin, seperti misalnya kapasitas kandung kemih
atau produksi hormon anginine vasopressin (hormon antidiuretik) Kemungkinan
lain, beberapa kombinasi gen menghambat keseluruhan maturasi (kematangan) dari
sistem yang dibutuhkan untuk kontinensi urin.
2. Infeksi
Infeksi bakteri pada saluran urin dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk
menampung urin dan mengeluarkannya sesuai keinginan yang dapat meningkatkan
kemungkinan mengompol. Infeksi bakteri sebagian besar berperan pada enuresis
yang dialami perempuan dibandingkan laki-laki. Husmann (dalam Haugaard, 2008)
menemukan bahwa 50% perempuan dan 5% laki-laki yang mengalami memiliki
infeksi di saluran urin mereka. Hubungan antara infeksi bakteri dengan diurnal
enuresis diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa 68% dari anak yang
mengalami enuresis dan infeksi pada saluran urin dapat menghentikan enuresis
mereka setelah mengobati infeksi tersebut. Infeksi bakteri hanya memiliki sedikit
pengaruh pada nocturnal enuresis.
Sementara itu, menurut Mash dan Wolfe (2010), anak dengan nocturnal
enuresis ingin buang air kecil saat malam hari, namun mereka tidak bisa bangun ketika
ingin buang air kecil. Anak-anak yang butuh untuk buang air kecil di malam hari
kemungkinan memiliki kekurangan hormon penting saat tidur yang dikenal sebagai
hormon antidiuretik (ADH). ADH membantu konsentrasi urin selama jam tidur, yang
berarti bahwa urin mengandung lebih sedikit air sehingga mengalami penurunan
volume. Untuk anak-anak normal, penurunan volume biasanya berarti bahwa kandung
kemih mereka tidak penuh sampai melimpah saat mereka tertidur, kecuali mereka
minum cairan berlebihan sebelum tidur. Sementara itu, anak-anak dengan enuresis
tidak menunjukkan peningkatan yang biasa di ADH saat tidur. Mereka tetap
menghasilkan lebih banyak urin selama jam tidur sehingga kandung kemih mereka
tidak dapat menahan, dan jika mereka gagal untuk bangun, mereka akan mengompol
(Mash & Wolfe, 2010).
Alasan anak tidak bisa bangun saat malam ketika mereka ingin buang air kecil
juga dapat dijelaskan oleh faktor perkembangan dan biologis (Mash & Wolfe, 2010).
Anak yang lebih tua dan remaja dapat merasakan kandung kemih penuh di malam hari,
yang mengaktifkan impuls saraf dari kandung kemih ke otak. Sinyal ini dapat memulai
mimpi tentang air atau pergi ke toilet, yang biasanya membangunkan mereka.
Mekanisme persinyalan ini matang pada anak usia dini, sehingga bayi dimaklumi
memiliki sangat sedikit kemampuan untuk mendeteksi kebutuhan untuk buang air kecil.
Bagaimanapun, beberapa anak dengan primary enuresis tidak memiliki perkembangan
normal dari pemrosesan sinyal ini di otak.
Selain etiologi yang telah dijelaskan, penelitian menunjukkan ada hubungan
antara stress dan secondary enuresis. Ferguson (dalam Haugaard, 2008) menyatakan
bahwa kemungkinan hubungan antara stres dengan enuresis adalah ketika seorang anak
mengalami stres, hal itu akan mempengaruhi kematangan psikologis sang anak dan
akan menimbulkan secondary enuresis. Selain itu, pada penelitian lain juga ditemukan
bahwa anak yang mengalami secondary enuresis biasanya sering berpisah dengan
orang tuanya atau memiliki orang tua yang bercerai (Jarvelin, Moilanen,
Vakevainen-Tervonen, & Huttunen, 1990, dalam Haugaard, 2008).
G. Komorbiditas Enuresis
Meskipun sebagian besar anak-anak dengan enuresis tidak memiliki
komorbiditas gangguan mental, prevalensi gejala perilaku penyerta lebih tinggi pada
anak-anak dengan enuresis dibandingkan anak-anak tanpa enuresis (DSM V).
Keterlambatan perkembangan, termasuk pidato, bahasa, belajar, dan keterampilan
motorik, juga hadir pada anak-anak dengan enuresis. Mungkin juga terdapat
encopresis, sleepwalking, dan sleep terror. Infeksi saluran kemih lebih sering terjadi
pada anak-anak.dengan enuresis, terutama subtipe diurnal, dibandingkan mereka yang
dapat mengontrol urinasinya.
Enuresis sering diikuti dengan beberapa derajat psychological distress (Mash &
Wolfe, 2010). Hal ini dikarenakan anak-anak yang ditemukan mengompol saat kelas
dan tertidur akan diperlakukan berbeda oleh teman mereka. Mereka akan diejek,
dipanggil namanya dan memunculkan stigma sosial karena masalah ini. Distress ini
bergantung kepada tiga hal, yakni keterbatasan yang dikenakan pada kegiatan sosial,
dampak pada harga diri, termasuk tingkat pengucilan sosial yang dikenakan oleh
rekan-rekan serta reaksi orangtua.
H. Prevensi
Strategi preventif memuat edukasi yang dapat membantu orangtua
mempraktikan tindakan parenting yang tepat atau menghindari tindakan yang dapat
memperpanjang perkembangan kontinensi urin anak. Beberapa anak dengan diurnal
enuresis sengaja menghindari buang air kecil dalam waktu yang lama. Jika orang
memperhatikan pola penghindaran ini, mereka dapat bekerja sama dengan anak untuk
mengatasi apapun masalah atau ketakutan yang dapat mengarahkan anak menunda
buang air kecil sebelum pola tersebut tertanam pada prilaku anak.
ENCOPRESIS
A. Definisi
Dalam DSM V, American Psychiatric Association (2013) mengemukakan
encopresis sebagai kecenderungan anak untuk buang air besar sembarangan, seperti di
atas lantai atau di baju. Pada kasus yang umumnya terjadi, ditemukan bahwa adanya
unsur ketidaksengajaan/ tidak sadar (involuntary) dalam gangguan ini tetapi ditemukan
pula beberapa kasus yang menunjukkan encopresis yang dilakukan dengan sengaja oleh
anak. Dalam penegakan diagnosanya, kriteria diagnosa encopresis ini terjadi paling
tidak sekali setiap bulannya dalam tiga bulan terakhir dan gangguan ini muncul pada
anak yang berusia 4 tahun ke atas.
Haugaard (2008) mengemukakan bahwa minimnya penelitian tentang
elimination disorder ini berdampak pada sedikitnya informasi mendalam mengenai
encropesis dan enuresis. Pada umumnya, penelitian yang pernah dilakukan hanya
melibatkan sampel yang kecil atau bahkan hanya menggunakan data anak-anak yang
sudah dibawa ke klinik dan diberikan penanganan (Haugaard, 2008). Oleh karena itu,
masih sangat dibutuhkan pengembangan penelitian agar lebih bisa mempelajari
informasi mendalam mengenai dua jenis elimination disorder ini.
B. Kriteria Diagnostik
Untuk kriteria diagnostik encopresis yang dikemukakan dalam DSM V, tidak
terdapat perubahan ataupun revisi yang dilakukan atas kriteria yang sudah dijabarkan
pada DSM IV-TR. Berikut kriteria diagnostik encopresis yang dikemukakan pada DSM
V:
a. Berulang-ulang buang air besar (feses) pada tempat yang tidak seharusnya
(seperti pada baju, lantai), yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja
b. Terjadi setidaknya satu kali setiap bulan selama 3 bulan
c. Usia kronologis minimal 4 tahun (atau tahap perkembangan yang sama dengan
anak usia 4 tahun)
d. Perilaku ini muncul bukan akibat penggunaan zat/substansi tertentu (seperti obat
pencahar) atau kondisi medis lain, kecuali melalui mekanisme konstipasi
Lebih lanjut mengenai encopresis, terdapat dua subtipe yang juga dikemukakan
dalam DSM V, yaitu encopresis with constipation and overflow incontinence dan
encropesis without constipation and overflow incontinence. Perbedaan kedua subtipe
ini terletak pada poin ada dan tidaknya constipation (sembelit) yang dialami anak.
Selain itu, encopresis with constipation and overflow incontinence merupakan tipe yang
paling banyak ditemukan terjadi, dimana 80% hingga 95% anak dilaporkan mengalami
gangguan tersebut. Mash & Wolfe (2016) juga mengemukakan bahwa encopresis
sangat erat kaitannya dengan sembelit dimana encopresis merupakan hasil dari adanya
sembelit yang dialami anak.
Pada praktik dunia klinis, encopresis dapat dikategorikan dalam primary atau
secondary, atau sebagai diurnal atau nocturnal (atau keduanya) seperti halnya kriteria
yang ditetapkan pada enuresis (Mikkelsen,2001 dalam Haugaard, 2008). Adapun
menurut Ondersma dkk (2001, dalam Haugaard, 2008), encopresis juga
diklasifikasikan primary cause yaitu retentive, manipulative dan stress-related.
Retentive dideskripsikan sebagai kondisi yang serupa dengan encopresis with
constipation and overflow incontinence dan manipulative merupakan. Gambaran
kondisi dimana anak melakukan encopresis untuk menarik perhatian atau
megekspresikan kemarahan mereka karena adanya adanya tujuan yang diinginkan.
Sedangkan stress-related dijelaskan sebagai keadaan dimana anak mengalami
encopresis karena mengalami stres level tinggi (Haugaard, 2008).
Haugaard (2008) menjabarkan sebuah proses yang terjadi pada kedua tipe
encopresis, diaman proses ini disebut juga bowel movement. Proses bowel of movement
bermula ketika makanan masuk kedalam sistem pencernaan, kemudian di proses
menjadi sisa makanan dan sisa makanan tersebut dikumpukan di usus besar. Setelah
kelembaban feses hilang dan feses sudah terbentuk silinder yang padat, feses pun
berpindah dari usus besar menuju rectum. Ketika berada di rectum, akan terjadi proses
(1) relaksasi otot internal anal yang mengikuti stool untuk berpindah ke saluran anal,
dan (2) kontraksi otot eksternal anal untuk tetap menjaga stool agar tetap di saluran
anal sampai individu duduk di toilet (Haugaard, 2008). Jika seseorang mengalami
sembelit dan jadwal buang air besar yang tidak teratur, maka usus besar bekerja
semakin mengurangi kelembaban dari stool dan membuat stool yang baru dengan
bentuk yang tidak norma.. Akibatnya, anak menjadi sulit untuk buang air besar karena
anak harus mengeluarkan usaha yang lebih untuk buang air.
Sembelit yang terus menerus terjadi akan berdampak pada perluasan usus besar,
perubahan bentuk feses dan disertai dinding usus besar yang menjadi lebih lembek
(Haugaard, 2008). Perubahan dindig usus ini akan membuat feses terus mengalir
menuju rectum dan anal tanpa berhenti, dimana keadaan ini yang disebut sebagai
overflow incontinence. Adapun periode ketika feses yang berbentuk cair tersebut
mengalir dari usus besar disebut juga sebagai soiling. Anak yang mengalami
constipation and overflow incontinence mengalami periode soiling atau mengeluarkan
feses berbentuk cair dalam jumlah yang sedikit. Hal ini berbeda dengan without
constipation and overflow incontinence dimana anak tetap mengeluarkan feses seperti
biasa pada tempat yang tidak tepat. (Haugaard, 2008).
C. Prevalensi
American Psychiatric Association (2013) dalam DSM V mengemukakan bahwa
1% anak berusia 5 tahun mengalami encopresis dan gangguan ini lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Mash & Wolfe (2015)
juga memeperkuat prevalensi yang dikeumakan American Psychiatric Association,
dimana disebutkan bahwa 1,5% hingga 3 % mengalami encopresis, dengan
kemungkinan 5 hingga 6 kali lebih besar terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Encopresis juga dilaporkan mengalami penurunan yang cepat seiring
bertambahnya usia (Mash & Wolfe, 2015), bahkan ketika memasuki usia prasekolah
(Haugaard, 2008). Haugaard (2008) mengemukakan bahwa terdapat 10% anak berusia
4 tahun mengalami encopresis dan penemuan kasus encopresis mengalami penurunan
sekitar 1 % ketika memasuki usia 5 tahun.
D. Etiologi
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa beberapa penyebab encopresis pada
anak adalah penerapan toilet training terlalu dini atau terlalu agresif pada anak, kondisi
keluarga yang kurang harmonis dan stres, serta keadaan psikopatologi yang dimiliki
anak (Burket et al., 2006; Peterson et al., 2003, dalam Mash & Wolfe, 2015). Pada
keluarga dengan situasi yang tidak harmonis, beberapa anak sengaja melakukan
encopresis untuk mengekspresikan kekesalannya pada orang tua atau pada orang lain
karena cara tersebut merupakan satu-satunya jalan yang mereka miliki untuk
memberikan ancaman (Haugaard,2008).
Stark et al., (1997, dalam Haugaard, 2008) menyatakan bahwa faktor genetik juga
mempengaruhi sembelit yang dialami dimana faktor genetik ini mengurangi kesadaran
terhadap colon yang sudah penuh dan kebutuhan untuk melakukan bowel movement,
serta menyebabkan anak kesulitan untuk mengalami bowel movement yang normal.
Pola hidup juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya encopresis
pada anak, diamna kekurangan makanan yang berserat juga dapat menyebabkan bowel
movement yang bersifat infrequent sehingga menyebabkan terjadinya sembelit
(Issenman, Filmer & Borski, 1999, dalam Haugaard, 2008). Faktor pemakaian
obat-obatan (seperti obat batuk dan obat anti-convulsants) dapat pula menjadi faktor
resiko encopresis dimana pemakan obat tersebut dapat menyebabkan sembelit dan
kemungkinan besar juga diikuti oleh terjadinya encopresis pada anak (American
Psychiatris Association, 2013).
Lebih lanjut Mash & Wolfe (2015) mengemukakan bahwa encopresis merupakan
gangguan fisiologis yang secara bersamaan dapat berdampak pada gangguan psikologis
anak. Semakin cepat anak diidentifikasi mengalami encopresis dan diberikan
penanganan maka semakin kecil kemungkinan anak mengalami masalah emosional
atau gangguan lain hubungan sosial (Msh & Wolfe, 2015). Hal ini perlu diantisipasi
mengingat anak yang mengalami encopresis sering merasa malu dan memilih
menghindari situasi sosial yang dapat membuat mereka malu, seperti sekolah atau
kegiatan bersama orang lain (American Psychiatric Association, 2013). American
Psychiatric Association (2013) juga menambahkan bahwa masalah sosial ini dapat
memberikan dampak pada self-esteem anak, pengucilan dalam lingkungan pertemanan,
kemarahan, hukuman yang diterima anak, penolakan dari pengasuh (caregivers) dan
bahkan tingkah laku pemberontakan yang dimunculkan anak.
Berbicara mengenai encopresis maka tidak dapat terlepas dari proses constipation
(sembelit) dan toilet training yang dialami anak. Brooks et al. (2000, dalam Haugaard,
2008) mengemukakan bahwa konstipasi juga dapat disebabkan karena anak-anak
mengalami stool-toilet refusal. Stool-toilet refusal merupakan suatu situasi yang terjadi
ketika anak menolak menggunakan toilet untuk melakukan bowel movement paling
lambat satu bulan setelah ia sudah belajar untuk menggunakan toilet untuk buang air
kecil. Anak-anak dengan stool-toilet refusal akan berusaha untuk menahan bowel
movement selama mungkin dan banyak dari mereka menolak untuk melakukan bowel
movement hingga mereka diberikan popok untuk dipakai. Penyebab anak mengalami
stool-toilet refusal diasosasikan dengan kesulitan yang dialami ketika toilet training
yang membuat anak sulit menyesuaikan posisi untuk memperoleh tekanan yang
diperlukan untuk mengeluarkan feses sehingga proses penggunaan toilet menjadi lama
dan membuat anak frustrasi (Issenman et al., 1999, dalam Haugaard, 2008).
E. Prevensi
Pada umumnya, usaha preventif yang dilakukan pada kasus encopresis ini lebih
difokuskan kepada encopresis yang sudah bersifat kronik (Haugaard, 2008). Usaha
yang dilakukan adalah mengatasi stool-toilet refusal pada anak dimana anak-anak
diperkenalkan kembali pada toilet dan membiasakan diri untuk ke toilet. Pengenalan
kembali ini akan sangat membantu anak, untuk membiasakan diri untuk buang air besar
di toilet secara teratur dan mengembangkan serta meningkatkan toileting skill yang
sesuai.
Daftar Pustaka:
Alfano, C. A., & Beidel, D. C. (Eds.). (2014). Comprehensive evidence based
interventions for children and adolescents. John Wiley & Sons.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of mental
Disorders (5th Edition). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Haugaard, J. J. (2008). Child Psychopathology. New York : McGraw-Hill.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2010). Abnormal Child Psychology Fourth Edition.
California: Wadsworth.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2015). Abnormal Child Psychology Sixth Edition.
California: Wadsworth.
National Clinical Guideline Centre. (2010). Nocturnal Enuresis: The Management of
Bedwetting in Children and Young People NICE Clinical Guidelines UK
No.111.London: Royal College of Physician diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK62729/
Suwardi, Susie Suwarti. (2000). Enuresis pada Anak Sekolah di Jakarta. Tesis.
Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok.