BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Enuresis atau mengompol merupakan masalah yang umum mempengaruhi
lebih dari 50 juta anak yang berusia 5 hingga 15 tahun. Hal ini dapat menjadi
masalah jika enuresis terjadi lebih dari satu kali dalam sebulan dan terjadi pada
seseorang yang berusia di atas 5 tahun (Supati, 2000). Menurut teori functional
bladder capacity dinyatakan bahwa anak dengan enuresis mempunyai kapasitas
fungsional kandung kemih yang lebih kecil dibanding anak yang tidak mengalami
enuresis (Wong, 1999). Sekitar 15-20 % anak usia 5-6 tahun mengalami enuresis
dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki (Norby, 2005). Hasil Studi
pendahuluan yang dilakukan di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri telah didapatkan dari 38 anak yang duduk di kelas 1
ada 13 anak yang mengalami enuresis dan dari 34 anak yang duduk di kelas 2 ada
3 anak yang mengalami enuresis, selain itu didapatkan data 2 dari 13 anak yang
mengalami enuresis setiap hari. Salah satu cara penanganan enuresis adalah
dengan bladder-retention training. Metode ini direkomendasikan untuk anak yang
berusia 6 tahun atau lebih (Robert, 2006). Penetapan metode ini didasarkan pada
pernyataan bahwa enuresis masih dianggap normal bila terjadi pada anak balita
(Harjaningrum, 2005). Pada anak usia sekolah, mulai dari 6 tahun, sebanyak 85 %
telah memiliki kendali penuh terhadap kandung kemih dan defekasi (Muscary,
2005). Bladder-retention training dilakukan dengan tujuan meningkatkan ukuran
fungsional kandung kemih dengan cara menyuruh anak minum air dalam jumlah
yang cukup banyak, kemudian anak diminta menahan diri untuk berkemih selama
mungkin (Pillitteri, 1999). Namun, sampai saat ini pengaruh bladder-retention
training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah
belum dapat dijelaskan.
Enuresis sering menimbulkan kebingungan orang tua. Orang tua
cenderung membiarkan saja (Harjaningrum, 2005). Menurut Houts (1991),
dikutip Wong (1999), pada 5 juta anak di Amerika Serikat prevalensi enuresis
pada anak usia 5 tahun adalah 7 % untuk laki laki dan 3 % untuk anak
perempuan, pada anak usia 10 tahun prevalensinya 3 % untuk anak laki-laki dan 2
% untuk anak perempuan, pada anak usia 18 tahun prevalensinya 1 % untuk anak
laki-laki dan sangat jarang untuk anak perempuan. Pada sebagian besar kasus,
enuresis pada anak memang dapat sembuh dengan sendirinya ketika anak berusia
10-15 tahun. Namun, jika hal ini diabaikan akan memberikan pengaruh tersendiri
bagi anak (Harjaningrum, 2005). Selain itu jika anak usia 8 tahun yang masih
sering mengalami enuresis tidak dilakukan penanganan, maka hanya memiliki
peluang 50% untuk sembuh pada usia 12 tahun (Supati, 2000). Kira-kira 15 %
kasus enuresis tipe nocturnal dimaklumi dan tidak dilakukan penanganan secara
tepat oleh orang tua. Jika hal ini dibiarkan akan dapat berlanjut hingga masa
remaja dan dewasa (Wong, 1999). Di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri telah didapatkan data dari 38 anak yang duduk di
kelas 1 terdapat 2 anak yang berusia 7 tahun, 9 anak berusia 8 tahun, dan 2 anak
berusia 10 tahun masih mengalami enuresis. Selain itu didapatkan data dari 34
anak yang duduk di kelas 2 terdapat 3 anak yang masing-masing usianya 8, 9, 10
tahun masih mengalami enuresis. Dampak secara sosial dan kejiwaan yang
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh bladder retention training terhadap perubahan
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum
Menjelaskan pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan
Tujuan khusus
1.
2.
3.
1.4
Manfaat
1.4.1
Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjelaskan pengaruh bladder-retention training
terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah sehingga
dapat digunakan sebagai kerangka dalam pengembangan ilmu keperawatan anak
yang berhubungan dengan penanganan enuresis pada anak usia sekolah.
1.4.2
Manfaat praktis
Bladder-retention training diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
cara yang efektif dalam menurunkan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
pendidikan yang tidak lepas dari proses belajar karena proses belajar itu ada
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Perkembangan teori proses belajar
dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yakni teori stimulus-respons
yang berpangkal pada psikologi asosiasi yang dirintis oleh John Locke dan
Herbart yang kurang memperhitungkan faktor internal dan teori transformasi yang
berlandaskan pada psikologi kognitif yang dirumuskan oleh Neisser yang
memperhitungkan faktor internal.
Didalam teori stimulus-respons apa yang terjadi pada diri subyek belajar
merupakan rahasia atau disebut black box. Belajar adalah mengambil tanggapan-
tanggapan dan menggabung-gabungkan tanggapan dengan jalan mengulangulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus.
Makin banyak dan sering diberikan stimulus, maka makin banyak tanggapan pada
subyek belajar, tanpa memperhatikan faktor internal dalam diri subyek belajar.
Sedangkan pada teori transformasi proses belajar adalah transformasi dari
masukan (input) kemudian input tersebut direduksi, diuraikan, disimpan,
ditemukan kembali, dan dimanfaatkan. Transformasi dari masukan sensoris
bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan
(memory). Meskipun didasarkan pada psikologi kognitif, hal ini tidak membatasi
penelaahannya pada domain pengetahuan saja, melainkan juga meliputi domain
afektif dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2003). Menurut teori kognitif, reward itu
tidak diperlukan dalam pembelajaran, yang lebih penting adalah tujuan peserta
didik, harapan, dan pengalaman mereka (Bastable,2002). Belajar bukan hanya
proses intelektual, tetapi juga merupakan proses emosional. Hasil belajar sangat
ditentukan situasi psikologis saat belajar (Notoatmodjo, 2003).
Pembelajaran
merupakan
suatu
proses
individu
dan
merupakan
2.1.3
10
tujuan pendidikan yang ingin dicapai, materi atau pesan yang disampaikan,
pendidik atau yang menyampaikan pesan, alat-alat bantu/alat peraga yang
digunakan, serta sasaran pendidikan kesehatan seperti individu, kelompok, dan
massa (Notoatmodjo, 2003). Bentuk-bentuk metode pembelajaran dalam
pendidikan kesehatan yaitu, (Suliha, et al, 2001):
1. Metode ceramah
Ceramah ialah pidato yang disampaikan oleh seorang pemimpin di depan
sekelompok pengunjung.
11
12
disebut juga alat peraga adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam
13
2.2
Konsep Perilaku
2.2.1
Pengertian perilaku
Notoatmodjo (2003) mendefinisikan perilaku sebagai tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
14
tertutup (convert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Domain perilaku
Perilaku dibagi kedalam 3 domain (ranah atau kawasan). Ketiga domain
perilaku tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Bloom 1908, dalam
Notoatmodjo 2003).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
15
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran secara langsung yakni dengan
melakukan observasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003).
Dalam perkembangannya, teori Bloom di atas dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yaitu: 1) Pengetahuan (knowledge); 2)
Sikap (attitude); 3) Praktik atau tindakan (practice/action).
2.2.3
Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
16
Sikap (Attitude)
1. Definisi Sikap
Sikap memiliki banyak definisi. Berkowitz (1972) yang dikutip oleh
Azwar (2003) menemukan adanya lebih dari tiga puluh definisi sikap yang pada
umumnya dapat dimasukkan kedalam salah satu diantara ketiga kerangka
pemikiran.
Kerangka pertama yang diwakili oleh para ahli psikologi dalam
pengukuran sikap seperti Louis Thurstone (1928) dan Rensis Likert (1932) yang
dikutip oleh Azwar (2003) mengemukakan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi
dan reaksi perasaan yang merupakan perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada obyek tersebut. Berkowitz (1972) yang dikutip oleh Azwar
(2003) secara lebih spesifik memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif
atau afek negatif terhadap suatu obyek psikologis.
17
18
19
20
4. Karakteristik Sikap
Menurut Brigham (1991) oleh Hudaniah (2003) yang dikutip Binarwati
(2006) ada beberapa ciri sifat (karakteristik) dasar dari sikap, yaitu:
1) Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
2) Sikap ditujukan mengarah kepada obyek psikologis atau kategori.
3) Sikap dipelajari.
4) Sikap mempengaruhi perilaku. Mengukur suatu sikap yang mengarah pada
suatu obyek memberikan suatu alasan untuk berperilaku mengarah pada
obyek itu dengan suatu cara tertentu.
5. Persuasi dan Pengubahan Sikap Manusia
Persuasi merupakan suatu usaha pengubahan sikap individu dengan
memasukkan ide, fikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan
komunikatif. Cacioppo dan Petty (1979) mengemukakan bahwa pengulangan
akan menaikkan perubahan sikap tapi kemudian kalau masih diteruskan juga
pengulangan itu justru akan menurunkan efeknya. Ternyata banyaknya
pengulangan yang optimal adalah tiga kali, jika lebih dari 3 kali individu akan
mengalami kebosanan dan dapat menolak pesan yang disampaikan (Watson, et
al,1984; yang dikutip Azwar, 2003).
Intelegensi juga mempunyai pengaruh terhadap proses pemahaman isi
pesan dan penerimaan persuasi. Orang yang lebih cerdas akan lebih mudah
memahami isi pesan-pesan persuatif yang komplek akan tetapi tidak mudah untuk
menerimanya. Karena perubahan sikap tergantung pada pemahaman dan
penerimaan sebagaimana dikatakan oleh Mc. Guire (1968) dalam Fishbein &
Ajzen (1975) maka probabilitas diterimanya pesan persuatif akan lebih besar bila
21
2.2.5
Praktik (Practice/Action)
Menurut Notoatmodjo (2003) suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
22
2.2.6
dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau
seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui
tiga tahap yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik (practice).
Ketiga tahap adopsi perilaku tersebut merupakan indikator perilaku yang nantinya
akan diukur (Notoatmodjo, 2003).
2.2.7
Determinan perilaku
Determinan perilaku adalah faktor-faktor yang membedakan respons
23
dapat dikategorikan sebagai respon adaptif atau mal adaptif. Manusia merupakan
sistem adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem yang terbuka tersebut berakibat
terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi, kejadian, energi antar
sistem dan lingkungan.
Roy mengidentifikasi stimulus sebagai suatu unit informasi, kejadian, atau
energi dari lingkungan, sedangkan proses kontrol dari individu sebagai suatu
sistem adaptasi dijelaskan melalui mekanisme koping. Adanya suatu stimulus
terhadap subsistem kognator mengakibatkan timbulnya umpan balik yang berupa
perilaku output. Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap proses informasi, pengambilan keputusan, dan emosi. Persepsi
proses informasi juga berhubungan dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan.
Belajar berhubungan dengan proses imitasi atau meniru dari reinforcement,
sehingga mekanisme belajar merupakan proses didalam sistem adaptasi
(cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi.
Mekanisme kognator bekerja pada individu sebagai sistem adaptasi.
Perilaku yang berhubungan dengan sistem adaptasi tersebut merupakan
manifestasi dari tingkat adaptasi individu dan mengakibatkan penggunaan
mekanisme koping. Koping yang konstruktif berdampak pada respons perubahan
perilaku pada individu.
Keperawatan
Keperawatan menurut Roy didefinisikan sebagai bentuk pelayanan
profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu
baik sehat maupun sakit. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa
meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki dari
24
suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu. Tujuan keperawatan adalah
meningkatkan respons yang adaptif dalam hubungannya dengan empat bentuk
(fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan ketergantungan) yang akan
dicapai dengan menggunakan informasi tentang tingkat adaptasi manusia,
pandangan atau pendapat, masalah dan stimulus. Kondisi koping seseorang atau
keadaan seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang. Tindakan keperawatan
yang diberikan pada teori Roy ini meliputi mempertahankan respons yang adaptif
dengan mendukung upaya klien menggunakan mekanisme koping yang positif
atau konstruktif.
Konsep sehat-sakit
Roy mendefinisikan sehat sebagai continum dari meninggal sampai
dengan tingkatan tertinggi yaitu sehat. Kesehatan adalah suatu kondisi dengan
proses yang terintegrasi dari kemampuan individu dalam mencapai tujuan untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi, dan memperoleh penguasaan.
Kesehatan menurut Roy merupakan suatu respon yang adaptif. Sedangkan definisi
sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradaptasi terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu.
Lingkungan
Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari
internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal ini dapat mempengaruhi dan
berakibat terhadap perkembangan dan perilaku individu atau kelompok.
Lingkungan internal dapat berupa pengalaman, kemampuan emosinal, kepribadian
maupun stresor biologis. Sedangkan lingkungan eksternal dapat berupa fisik,
25
keperawatan
adalah
tindakan
yang
diberikan
untuk
Proses
Efektor
Stimulus
Tingkat
adaptasi
(Primary
adaptive)
Mekanisme
koping
Model
adaptasi
Output
Zona
Maladaptif
Kognator
Regulator
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
Interdependen
Feet back
Zona
Adaptif
Zona
Maladdaptif
Stimulus
Fokal
Kontekstual
Residual
Gambar 2.1 Diagram Model Adaptasi Dari Roy (dikutip oleh Nursalam, 2002)
2.4
26
27
dilaksanakan dengan
28
2.5
2.5.1
29
Tipe otot polos ini disebut juga otot polos sinsisial, merupakan sebuah
massa otot seluruhnya yang terdiri dari ratusan hingga jutaan serat otot yang
berkontraksi bersama-sama sebagai suatu unit tunggal. Serat-serat ini biasanya
bersatu menjadi lembaran-lembaran atau berkas, dan membran sel berlekatan satu
sama lain pada banyak titik sehingga kekuatan yang terbentuk dalam satu serat
otot dapat dijalarkan ke serat berikutnya. Pada otot polos ini membran sel
dihubungkan oleh banyak taut rekah (gap junction) yang dapat dilalui oleh ionion secara bebas dari satu sel ke sel berikutnya, sehingga potensial aksi atau ion
yang sederhana dapat mengalir berjalan dari satu serat ke serat berikutnya dan
menyebabkan serat otot dapat berkontraksi bersama-sama.
disebut otot polos viseral karena banyak ditemukan pada dinding sebagian besar
visera tubuh seperti pada usus, duktus biliaris, ureter, kandung kemih, uterus, dan
pembuluh darah.
2.5.2
1. Dasar kimiawi untuk kontraksi otot polos (Guyton & Hall, 1997).
Otot polos mengandung filamen aktin dan miosin, yang mempunyai sifat
kimiawi mirip dengan sifat kimiawi filamen aktin dan miosin dalam otot rangka.
Otot polos tidak mengandung kompleks troponin normal yang dibutuhkan dalam
pengaturan kontraksi otot rangka, sehingga mekanisme pengaturan kontraksinya
berbeda. Penelitian kimiawi telah menunjukkan bahwa aktin dan miosin yang
berasal dari otot polos akan saling berinteraksi satu sama lain dengan cara yang
hampir sama dengan aktin miosin yang berasal dari otot rangka. Proses kontraksi
selanjutnya diaktifkan oleh ion kalsium, dan adenosin trifosfat (ATP) dipecah
menjadi adenosin difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi.
30
2. Substansi
transmiter
perangsang
dan
penghambat
pada
sambungan
menghambatnya.
31
atau mendekati ke nilai asalnya. Fenomena ini disebut stres-relaksasi dan stresrelaksasi balik. Suatu organ berongga dapat mempertahankan besar tekanan yang
kurang lebih sama di dalam lumennya tanpa mempedulikan panjang serat otot
adalah kesimpulan dari pernyataan-pernyataan di atas.
4. Perangsangan otot polos visera oleh peregangan (Guyton & Hall, 1997).
Pada otot polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul potensial aksi
secara spontan bila diregangkan secukupnya. Respons terhadap peregangan ini
memungkinkan dinding otot polos visera berkontraksi secara otomatis dan karena
itu menahan regangan.
2.5.3
disebut sebagai rumah energi sel, tanpa mitokondria sel tidak akan dapat
menyadap jumlah energi yang bermakna dari bahan makanan dan oksigen, hal ini
dapat berakibat terhentinya semua fungsi sel. Pada dasarnya semua mitokondria
terdapat disemua bagian sitoplasma, tetapi jumlah total per sel sangat bervariasi
tergantung pada jumlah energi yang dibutuhkan oleh masing-masing sel (Guyton
& Hall, 1997).
Mitokondria terdiri dari dua membran protein lapis ganda yaitu sebuah
membran luar dan sebuah membran dalam. Banyak lipatan membran dalam
membentuk rak-rak yang merupakan tempat pelekatan enzim-enzim oksidatif.
Ruangan mitokondria bagian dalam dipenuhi dengan matriks yang mengandung
sejumlah besar larutan enzim yang dibutuhkan untuk menghisap energi dari bahan
makanan. Enzim-enzim ini bekerja sama dengan enzim-enzim oksidatif pada rak
untuk menyebabkan oksidasi dari bahan makanan, sehingga membentuk karbon
32
dioksida dan air. Energi yang dibebaskan digunakan untuk mensintesis sebuah
substansi berenergi tinggi yang disebut adenosin trifosfat (ATP). ATP kemudian
diangkut keluar dari mitokondria, dan berdifusi ke seluruh sel untuk
membebaskan energinya dimana saja dibutuhkan untuk melakukan fungsi sel
(Guyton & Hall, 1997).
2.5.4
Menurut Guyton dan Hall (1997), mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus
otot polos dinding kandung kemih (muskulus detrusor), dapat terjadi karena
rangsangan pada otot polos kandung kemih sebagai dampak dari latihan. Bladderretention training adalah latihan yang dapat menimbulkan rangsangan yang
meningkatkan aktifasi dari kimiawi, neuromuskuler, dan muskuler. Otot polos
kandung kemih (muskulus detrusor) mengandung filamen aktin dan miosin, yang
mempunyai sifat kimiawi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Proses
interaksi diaktifkan oleh ion kalsium, dan adeno trifosfat (ATP), selanjutnya
dipecah menjadi adeno difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi
muskulus detrusor kandung kemih. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat otot polos kandung kemih terutama saraf
parasimpatis yang merangsang untuk memproduksi acetil cholin, sehingga
mengakibatkan terjadinya regangan, kontraksi, dan peningkatan tonus otot
kandung kemih. Pada otot polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul
potensial aksi secara spontan bila diregangkan secukupnya. Respons terhadap
peregangan ini memungkinkan dinding otot polos visera berkontraksi secara
otomatis dan karena itu menahan regangan. Regangan pada muskulus detrusor
33
akan
Peningkatan
kapasitas
fungsional
kandung
kemih,
peningkatan
2.6
2.6.1
1. Ginjal
Ginjal adalah organ retroperitoneal yang berjumlah dua buah, berada di
sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berfungsi mengatur komposisi
dan volume cairan tubuh dengan menyaring bagian dari darah untuk dibuang
dalam bentuk urin sebagai zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh, serta
menahan bagian-bagian yang masih diperlukan oleh tubuh. Nefron adalah unit
dari struktur ginjal yang berfungsi menyalurkan urin ke bagian pelvis kemudian
disalurkan melalui ureter ke kandung kemih (Hidayat, 2006).
2. Kandung kemih
Kandung kemih berfungsi sebagai penampung urin. Organ ini memiliki
bentuk menyerupai buah pir atau kendi. Kandung kemih terletak di dalam panggul
34
besar dan di belakang simpisis pubis. Basis adalah bagian terbawah dan fundus
adalah bagian atas. Dinding kandung kemih terdiri atas lapisan serus sebelah
luar,lapisan berotot, lapisan sub mukosa, dan lapisan mukosa dari epithelium
transisional (Nursalam, 2006). Detrusor adalah lapisan jaringan otot yang paling
dalam, memanjang di tengah dan melingkar. Pada dasar kandung kemih terdapat
lapisan tengah jaringan otot yang berbentuk lingkaran bagian dalam yang disebut
otot lingkar. Otot lingkar berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan
uretra, sehingga uretra dapat menyalurkan urin dari kandung kemih ke luar tubuh.
Kandung kemih bersambung dengan tiga saluran. Dua ureter bermuara secara
oblik di sebelah basis. Letak oblik ini dapat mencegah urin mengalir kembali ke
dalam ureter. Uretra keluar dari kandung kemih sebelah depan. Daerah segitiga
antara dua lubang ureter dan uretra disebut segitiga kandung kemih atau Trigonum
Vesika urinarius (Nursalam, 2006).
3. Uretra
Uretra merupakan organ yang memiliki fungsi untuk menyalurkan urin ke
bagian luar. Uretra dilapisi membran mukosa. Pada laki-laki panjang uretra 13,716,2 cm yang terdiri atas tiga bagian yaitu prostat, selaput (membran), dan bagian
yang berongga (ruang). Uretra berfungsi sebagai tempat pengaliran urin dan
sebagai sistem reproduksi. Pada perempuan hanya berfungsi menyalirkan urin ke
luar tubuh dan memiliki panjang 3,7-6,2 cm (Hidayat, 2006).
2.6.2
Proses berkemih
Berkemih ( mictio, mycturition, atau urination) adalah proses pengosongan
kandung kemih. Mekanisme berkemih terjadi ketika kandung kemih berisi urin.
Kemudian saraf-saraf akhir (reseptor) di dinding kandung kemih mendapat
35
Gambar 2.2 Saraf Membawa Sinyal Dari Otak Ke Kandung kemih Dan Sfingter
(National Institues of Diabetes and Digestives and Kidney Diseases, 2005)
2.7
Konsep Enuresis
2.7.1
Pengertian enuresis
Rosenstein
(1997)
mengemukakan
bahwa
enuresis
merupakan
pengeluaran urin secara involunter yang muncul setelah seorang anak mencapai
umur dimana pengontrolan kandung kemih biasanya sudah ada yaitu pada umur 4
tahun.
36
Penggolongan enuresis
Enuresis digolongkan dalam dua bagian, yaitu primer dan sekunder.
Enuresis primer adalah enuresis yang terjadi pada anak yang sejak lahir hingga
usia 5 tahun atau 6 tahun masih tetap ngompol. Enuresis sekunder adalah enuresis
yang terjadi pada anak yang pernah kering atau tidak mengompol selama
kurang lebih 6 bulan kemudian mendadak ngompol kembali (Harjaningrum,
2005).
Enuresis primer biasanya terjadi pada anak yang tidak pernah dapat
mengontrol kandung kemih, sedangkan enuresis sekunder biasanya terjadi pada
anak yang telah mempunyai kontrol kandung kemih tetapi tiba-tiba hilang. Pada
anak yang berusia kurang dari 5 tahun lebih sering mengalami enuresis primer,
sedangkan enuresis sekunder lebih sering terjadi pada anak yang berusia lebih dari
5 tahun (Rosenstein, 1997).
Enuresis dapat terjadi hanya waktu tidur malam hari (nocturnal), siang
hari (diurnal), atau keduanya. Tipe nocturnal adalah yang paling banyak terjadi
(Wong, 1999).
37
2.7.3
38
39
1) Stres kejiwaan
Pelecehan seksual, kematian dalam keluarga, pindah rumah, kelahiran
adik baru, perceraian orang tua merupakan keadaan yang dapat
menyebabkan stres kejiwaan yang akhirnya dapat menyebabkan enuresis
sekunder pada anak.
2) Kondisi fisik yang terganggu
Enuresis sekunder
keinginan segera berkemih, tidak dapat diam, disertai ketidaknyamanan yang tibatiba, dan frekuensi berkemih yang tidak tentu. Pada enuresis tipe nocturnal, anak
dapat ataupun tidak dapat merasakan keadaan yang mendesak untuk berkemih
tersebut. Meskipun anak merasakan keadaan yang mendesak untuk berkemih,
biasanya anak kesulitan bangun dari tidurnya, sehingga pengosongan spontan
(enuresis) terjadi ketika anak sedang tidur. Biasanya terjadi dalam beberapa
malam (Wong, 1999).
2.7.5
40
Gambaran penting pada tahap ini adalah jumlah dasar frekuensi enuresis
dan waktu terjadinya (Wong, 1999).
Hal-hal yang dilakukan pada tahap evaluasi diagnostik atau pengkajian
adalah:
1. Mengetahui riwayat kesehatan
Keluhan-keluhan yang muncul , penyakit yang diderita oleh keluarga, dan
riwayat alergi, dan obat-obatan yang sedang diminum ditanyakan untuk
mengetahui riwayat kesehatan. Selain itu, keluhan ketika berkemih seperti
urin tidak tuntas atau nyeri juga perlu ditanyakan (Harjaningrum, 2005).
Harus didapatkan pula riwayat enuresis pada anak, proses toilet training serta
usaha orang tua dalam menghadapi enuresis pada anak (Wong, 1999). Dalam
Santrock (2002) yang dikutip Binarwati (2006) menyatakan bahwa belum ada
data yang menyebutkan kapan waktu yang optimal untuk toilet training, tetapi
para ahli perkembangan menyatakan bahwa saat toilet training akan dimulai,
harus dilakukan dengan hangat, rileks, dan cara yang suportif. Menurut Mac
Keith (1973) yang dikutip oleh Douglas (1994) menggambarkan waktu
perkembangan kemampuan toilet training pada anak yaitu :
1) Usia 15-18 bulan
41
42
2.7.6
Penanganan enuresis
Enuresis tidak selalu disebabkan oleh kelainan organik yang diketahui,
43
Dampak enuresis
Enuresis jika dibiarkan dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi
kehidupan anak di masa mendatang. Dampak secara sosial dan kejiwaan yang
ditimbulkan akibat enuresis sungguh mengganggu kehidupan seorang anak.
Biasanya anak menjadi tidak percaya diri, rendah diri, malu, dan hubungan sosial
dengan teman-temannya juga terganggu. (Harjaningrum, 2005). Anak menjadi
kurang bersosialisasi, takut tidur di luar rumah dan berkemah, anak merasa
berbeda dengan teman sebaya, merasa sedih, dan bersalah (Butler et al., 1994).
Butler et al. (1994) mengemukakan dampak enuresis pada kehidupan anak
yaitu:
1. Dampak psikologis
1) Anak menjadi kurang bersosialisasi, anak takut tidur di luar rumah, takut
berkemah, takut tidur bersama teman.
2) Anak takut keaadaannya diketahui oleh teman, anak menganggap ngompol
di usianya adalah hal yang memalukan sehingga perlu dirahasiakan.
3) Anak merasa berbeda dengan temannya, anak merasa malu dan
diperlakukan berbeda.
4) Anak menunjukkan reaksi emosional seperti bersedih, merasa bersalah.
2. Dampak non psikologis
44
1) Konsekuensi fisik seperti: menambah cucian kotor bagi orang tua, anak
terbangun dalam keadaan kotor.
2) Hygiene (kebersihan diri) seperti: kamar menjadi bau, mandi lebih pagi,
tidak bisa mengajak teman bermain di kamar.
2.8
Konsep Stres
2.8.1
1.
Pengertian Stres
Konsep stres sebagai interaksi dan transaksi antara individu dengan
lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai model psikologi. Varian dari
model psikologi ini didominasi teori stres kontemporer dan terdapat dua tipe tegas
yang dapat diidentifikasi: interaksional dan transaksional ( Nursalam, 2005).
Menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan stain
(ketegangan) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan
lingkungan.
Interaksi
antara
manusia
dengan
lingkungan
yang
saling
45
46
47
telah dipersepsikan secara positif dapat memotivasi manusia untuk lebih percaya
diri dan lebih berprestasi (Patel, 1996; dalam Wijayanti, 2006).
5.
1)
Respons Fisiologis
Sistem limbik berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik, dan
sensori bawah sadar, serta perasan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan
(Lieben, 1999; Sholeh, 2005). Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus.
Selain berperan dalam mengatur perilaku, area ini banyak mengatur kondisi
internal tubuh seperti suhu tubuh osmolalitas cairan tubuh. Fungsi internal ini
disebut fungsi vegetatif otak, dan pengaturannya berhubungan erat dengan
perilaku (Guyton & Hall, 1997). Rangsangan pada hipotalamus menimbulkan
berbagai sekresi neurohormonal melalui HPA Axis yang merupakan dasar interaksi
immunoneurohormonal yang sangat sensitif
Sholeh, 2003).
Peranan hipotalamus dalam hubungannya dengan fungsi emosional
vegetatif, dan endokrin dijelaskan pada alinea ini. Pengaruh emosi melalui
amigdala, dalam hal ini amigdala menerima signal neuronal dari semua bagian
kortek limbik seperti juga dari neokortek lobus temporal, parietal, dan oksipital,
terutama dari area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual. Karena hubungan
yang multipel ini amigdala disebut jendela yang dipakai oleh sistem limbik
untuk melihat kedudukan seseorang di dunia. Sebaliknya amigdala menjalarkan
sinyal-sinyal kembali (1) ke area kortikal yang sama; (2) ke hipokampus; (3)
septum; (4) talamus dan khususnya (5) ke hipotalamus. Efek yang dijalaran
melalui hipotalamus meliputi (1) peningkatan atau penurunan tekanan arteri; (2)
48
tantangan
untuk
menyelesaikan
konflik.
Perilaku
destruktif
49
1) Gejala Fisik:
Sakit kepala
Sulit menelan
Sariawan di lidah
Sakit leher
Pusing
Sakit punggung
Sembelit
Sakit perut
Diare
50
Jantung berdebar-debar
Kelelahan kronis
Persendian bengkak
2) Gejala Emosional
Mudah tersinggung
51
Depresi
Gelisah
Mimpi buruk
Berperilaku impulsif
Frustasi
Amarah
Khawatir
Panik
Sering menangis
Mekanisme koping
52
2.8.3
yang dibuat oleh Iswinarti (1996). Skala tingkat stres yang disusun berdasarkan
konsep stres yang merupakan reaksi fisiologis dan psikologis yang terjadi jika
seseorang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan
kemampuan tersebut.
Beberapa ahli seperti Davison dan Neale (1982), Atkinson (1990) dalam
Iswinarti (1996), mengungkapkan reaksi fisiologis dan psikologis yang sering
terjadi akibat stres adalah sebagai berikut :
1. Reaksi fisiologis: pusing, sakit kepala, capai lelah, sakit perut, mual-mual,
berdebar-debar, dada sakit, keringat dingin keluar.
2. Reaksi psikologis: sulit konsentrasi, ingin marah, mudah tersinggung, sedih,
gelisah, bingung, takut, cemas, khawatir, tidak punya semangat.
Pengertian tidur
53
Siklus tidur
Di dalam sekali tidur, anak normal bisa melewati beberapa siklus tidur,
yang terdiri dari: satu tahap tidur gerakan mata cepat (Rapid Eye Movement
Sleep/REM) dan empat tahap tidur gerakan mata lambat (Non Rapid Eye
Movement Sleep/NREM). Pola siklus dimulai dari NREM 1- NREM 2- NREM 3NREM 4- NREM 3- NREM 2 dan diakhiri tahap REM (Perry & Potter, 1997).
Tahapan siklus tidur menurut Potter (2005) yaitu:
1. Tahap NREM 1
1) Tahap yang meliputi tingkat paling dangkal dari tidur.
2) Tahap berakhir beberapa menit.
3) Pengurangan aktifitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara
bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme.
4) Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara.
5) Ketika terbangun, seseorang merasa seperti telah melamun.
2. Tahap NREM 2
1) Merupakan periode tidur bersuara.
2) Kemajuan relaksasi.
3) Untuk terbangun masih relatif mudah.
4) Tahap berakhir 10-20 menit.
54
4. Tahap NREM 4
1) Merupakan tahap tidur dalam.
2) Sangat sulit untuk dibangunkan.
3) Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama terjaga.
4) Tidur sambil bejalan dan enuresis dapat terjadi.
5. Tahap REM
1) Dapat terjadi mimpi yang penuh warna dan tampak hidup.
2) Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur.
3) Hal ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat,
fluktuasi jantung dan kecepatan respirasi serta peningkatan atau fluktuasi
tekanan darah.
4) Penurunan tonus otot skelet.
5) Peningkatan sekresi lambung.
6) Sangat sulit dibangunkan.
7) Durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20 menit.
2.9.3
Kebutuhan tidur
55
56
1. Disomnia
Gangguan tidur intrinsik
Insomnia psikofisiologis
Narkolepsi
Sindrom apnea tidur obstruktif
Gangguan gerakan ekstremitas
periodik
Gangguan tidur ekstrinsik
Higiene tidur yang tidak
adekuat
Sindrom tidur yang tidak
adekuat
Gangguan tidur tergantung
hipnotik
2. Parasomnia
Gangguan terjaga
Berjalan dalam tidur
Teror tidur
Gangguan
transisi
tidurbangun
Berbicara dalam tidur
Kram tungkai nokturnal
Parasomnia
biasanya
berkaitan dengan tidur REM
Mimpi buruk
Gangguan perilaku tidur REM
57
Anak usia sekolah adalah periode yang dimulai saat anak berusia 6 tahun
dan berakhir pada usia 12 tahun. Selama periode ini anak menjadi lebih baik
dalam berbagai hal; misalnya, anak dapat berlari lebih cepat dan jauh sesuai
perkembangan kecakapan dan daya tahannya (Potter, 2005).
Pertumbuhan adalah perubahan pada kuantitas yang maknanya terjadi
pada jumlah dan ukuran sel (Pilliteri, 2002). Pertumbuhan berkaitan dengan
perubahan yang bersifat kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Akibat
proses ini, anak menjadi lebih besar secara fisik, ukuran dan struktur organ dalam
seperti otak juga meningkat. Anak tumbuh baik secara fisik maupun secara
mental. (Hurlock, 2005).
Pada anak usia sekolah laju pertumbuhan selama tahun pertama sekolah
lebih lambat dari pada setelah lahir tetapi meningkat secara tarus menerus. Anak
usia sekolah tampak lebih langsing daripada anak usia pra sekolah, sebagai akibat
dari perubahan distribusi dan ketebalan lemak. Rata-rata tinggi badan meningkat 5
cm per tahun dan berat badan yang lebih bervariasi, meningkat 2-3,5 kg per tahun
(Potter, 2005).
Perubahan lain pada anak usia sekolah antara lain:
1. Kardiovaskuler: frekuensi jantung rata-rata 70-90 denyut per menit dan
tekanan darah normal kira-kira 110/70 mmHg. Fungsi kardiovaskuler baik dan
stabil selama tahun usia sekolah. Pada akhir periode ini jantung 6 kali
ukurannya dari saat lahir dan umumnya sudah mencapai ukuran dewasa
(Potter, 2005).
58
59
60
mengakibatkan perilaku menarik diri dari sekolah dan teman sebaya (Potter,
2005).
Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari Piaget, anak usia 7-11 tahun
berada dalam tahap kongkret operasional. Tahap ini ditandai dengan penalaran
induktif, tindakan logis, dan pikiran kongkret yang reversibel. Karakteristik
spesifik pada tahap ini antara lain (Muscari, 2005) :
1. Transisi dari egosentris ke pemikiran objektif, seperti bertanya, melihat dari
sudut pandang orang lain.
2. Berfokus pada kenyataan fisik saat ini disertai ketidakmampuan melihat untuk
melebihi kondisi saat ini.
3. Mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah yang jauh, masa depan atau
hipotesis.
4. Perkembangan berbagai klasifikasi mental dan aktifitas yang diminta.
5. Perkembangan prinsip konservasi yaitu: volume, berat, massa, dan angka.
Perkembangan bahasa sangat cepat selama masa kanak-kanak tengah.
Anak usia 6 tahun memiliki kosakata sekitar 3000 kata yang cepat berkembang
dengan meluasnya pergaulan serta kemampuannya membaca. Pada akhir periode
ini penggunaan bahasa sama dengan orang dewasa (Muscari, 2005).
Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, anak berada pada
fase konvensional tahap konformitas peran, biasanya pada usia 10-13 tahun.
Anak- anak mempunyai keinginan yang tinggi untuk menyenangkan orang lain.
Mereka juga ingin dianggap baik oleh orang-orang yang pendapatnya mereka
anggap penting (Muscari, 2005).
2.10.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak
61
2. Faktor lingkungan
Berbagai keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang
anak lazim digolongkan menjadi lingkungan biopsikososial, yang meliputi
komponen biologis (fisis), psikologis, ekonomi, sosial, politik, dan budaya
(Markum, 1999).
1) Lingkungan biologis (fisis), meliputi :
a. Kesehatan tubuh atau organ (seperti keadaan sakit, hormon dan saraf).
62
pertumbuhan.
Faktor
lain
yang
mempengaruhi
kebersihan
lingkungan,
fasilitas
kesehatan,
serta
emosi
dapat
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
dan
63
64
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konseptual
-Gangguan tidur
-Kadar ADH dalam tubuh yang kurang
-Kelainan anatomi : ukuran kandung kemih yang kecil
-Stres kejiwaan
65
Enuresis (+)
Pembelajaran
Bladder-retention training
Emosi (+)
Persepsi (+)
Koping (+)
Pengetahuan ()
Sikap (+)
Praktik ()
Rangsangan Kimiawi ()
Aktin+Miosin
Ion kalsium&ATP
ADP
Energi
Keterangan :
kapasitas
ATP
Energi
: Diukur
Frekuensi enuresis ()
: Tidak diukur
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Bladder-Retention Training Terhadap Perubahan
Kemampuan Dan Enuresis Pada Anak Usia Sekolah (7-10 tahun)
66
kehidupan anak, anak jadi pendiam, pemalu, bahkan rendah diri. Karena itu
enuresis pada anak usia sekolah harus ditangani dengan penanganan yang tepat.
Perawat sebagai edukator dapat membantu orang tua dan anak dalam
mengidentifikasi masalah serta memberikan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi enuresis pada anak usia sekolah. Pendidikan tersebut dapat melalui
pembelajaran bladder-retention training. Berdasarkan teori transformasi, proses
belajar adalah transformasi dari masukan (input) dalam hal ini berupa
pembelajaran bladder-retention training lalu direduksi, diuraikan, disimpan,
ditemukan kembali, dan dimanfaatkan. Transformasi dari masukan sensoris
bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan
(Notoatmodjo, 2003). Mekanisme belajar merupakan suatu proses di dalam sistem
adaptasi (cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi dengan kata
lain proses kendali kognisi berhubungan dengan fungsi otak yang tinggi terhadap
persepsi atau proses informasi, pengambilan keputusan, dan emosi baik dalam
bentuk implisit maupun eksplisit. Persepsi proses informasi juga berhubungan
dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan. Persepsi yang positif berdampak pada
koping yang positif. Penggunaan koping yang positif akan berpengaruh terhadap
perubahan perilaku manusia, dalam hal ini kemampuan bladder-retention training
(Nursalam, 2003). Perubahan kemampuan anak meliputi aspek pengetahuan,
sikap, dan praktik. Identifikasi peningkatan ketiga aspek ini menunjukkan adanya
perubahan
kemampuan
anak
sebagai
output.
Peningkatan
kemampuan
pengetahuan, sikap, dan praktik ini diharapkan akan dapat menurunkan frekuensi
enuresis pada anak usia sekolah.
67
68
kemih.
Peningkatan
kapasitas
fungsional
kandung
kemih,
peningkatan
3.2
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang ditetapkan pada penelitian ini adalah:
H1 :
BAB 4
METODE PENELITIAN
69
Menurut Nursalam & Pariani (2000) metode penelitian merupakan suatu cara
yang digunakan untuk memecahkan masalah menurut keilmuan. Dalam bab ini
akan diuraikan tentang: (1) desain penelitian, (2) kerangka kerja, (3) desain
sampling meliputi populasi, sampel, dan sampling (4) identifikasi variabel, (5)
definisi operasional, (6) pengumpulan data, (7) analisis data, (8) etik penelitian,
dan (9) keterbatasan dalam penelitian.
4.1
Desain Penelitian
Menurut Nursalam (2003) desain penelitian adalah suatu strategi
Subyek
K-A.
K-B.
Pra
O
O
Time 1.
Keterangan :
K-A.
: Subyek perlakuan
K-B.
: Subyek kontrol
Perlakuan
I
Time 2.
Post
O1-A.
O1-B.
Time 3.
70
O1( A + B )
4.2
Kerangka Kerja
Kerangka kerja merupakan salah satu tahap dalam penelitian. Pada
kerangka kerja disajikan alur penelitian, terutama variabel yang akan digunakan
dalam penelitian (Nursalam,2003). Kerangka kerja yang digunakan pada
penelitian disajikan pada bagan berikut:
Populasi terjangkau:anak usia sekolah yang mengalami
enuresis (N=16 anak)
71
Sampling
(purposive
sampling)
Pengumpulan data
Post test
Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan dan frekuensi enuresis
Post test
Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan dan frekuensi enuresis
Analisis data
Wilcoxon Signed Rank test & Mann Whithney U Test
Paired T Test & Independent T Test
72
Hasil
Desiminasi hasil
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitien Pengaruh Bladder-retention Training Terhadap
Perubahan Kemampuan Dan Enuresis Pada Anak Usia Sekolah (7-10 tahun)
4.3
Desain Sampling
4.3.1
Populasi
Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia,
Sampel
Sampel
adalah
subset
atau
bagian
dari
populasi
yang
diteliti
73
74
N .Z 2 . p.q
n= 2
d ( N 1) z 2 . p.q
n=
16.(1,96) 2 .0,5.0,5
0,05 2 (16 1) (1,96) 2 0,5.0,5
n = 15,4
n = 16
Jadi perkiraan besar sampel adalah 16 anak.
Keterangan :
n
N :
1 p (100% - p)
(Nursalam, 2003)
4.3.3
Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
4.4
Identifikasi Variabel
4.4.1
Variabel independen
75
Variabel dependen
Variabel dependen (variabel tergantung) adalah variabel yang nilainya
ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini variabel
dependennya adalah kemampuan anak dalam praktik serta frekuensi enuresis
pada anak usia sekolah.
4.5
Definisi Operasional
Menurut Nursalam (2003), definisi operasional adalah pemberian arti atau
Definisi
Bladderretention
training adalah
prosedur latihan
yang bertujuan
untuk
meregangkan
kandung kemih
sehingga dapat
menampung
volume
urin
yang lebih besar
Parameter
Alat Ukur
Skala
data
-
Skor
76
Meminta
anak
untuk menahan
keinginan
berkemih selama
mungkin dengan
mengalihkan
perhatian
dari
keinginan
berkemih ke halhal yang lain
Mencatat waktu
ketika
anak
mengindikasikan
keinginannya
untuk berkemih
sebagai start
Meminta
anak
untuk berkemih di
toilet
Mencatat waktu
antara start dan
berkemih
Menganjurkan
anak
untuk
menambah waktu
penundaan
berkemih
pada
pertemuan
berikutnya
Memberi pujian
untuk usaha dan
keberhasilan anak
Menggunakan
grafik
untuk
memonitor waktu
penundaan
berkemih
Stres anak usia Respon
fisik
Wawancara Ordinal
sekolah
dan emosi yang
terstruktur
timbul
akibat 1. Respon fisik
Skala
adanya tuntutan Pusing,
sakit tingkat stres
pada anak usia
anak
kepala
sekolah
Capek, lelah
Sakit perut
Berdebar-debar,
deg-degan
Keringat dingin
2. Respon emosi
Sulit konsentrasi
Ingin
marah,
mudah
Terdiri dari 8
item penilaian
skala tingkat
stres
anak
dengan
rentang skor
penilaian
masingmasing item
0-8. Penilaian
sub item :
Jawaban YA
mendapat
nilai 1 dan
jawaban
77
tersinggung
Gelisah, bingung,
sedih
Cemas, khawatir,
takut
Merasa
malas,
tidak
punya
semangat
Variable
dependen:
Kemampuan
anak :
Praktik
TIDAK
mendapat
nilai 0
Penggolongan
responden ke
dalam
2
kategori:
Stres=
56-100%
Tidak
stres==55
%
Wawancara
terstruktur
Ordinal
Selalu=3
Sering=2
Kadangkadang=1
Tidak
pernah=0
Kategori:
Ada
gangguan
tidur=56%100%
Tidak ada
gangguan
tidur=55
%
Ordinal
Ya=1
Tidak=0
78
pelaksanaan
bladderretention
training
Enuresis
anak
sekolah
training, dinyatakan
ya jika dilakukan,
dan tidak jika
tidak dilakukan:
Meminum 500 ml
air putih (No.1)
Mengkomunikasikan verbal dan
non
verbal
keinginan
berkemih (No.2)
Mampu menahan
keinginan
berkemih sampai
batas
toleransi
(No.3)
Mampu berkemih
di toilet (No.4)
Pada pelaksanaan
berikutnya anak
mampu
meningkatkan
waktu penundaan
keinginan
berkemih
1-2
menit dari waktu
penundaan
berkemih
sebelumnya
(No.5)
pada Enuresis adalah Frekuensi enuresis Observasi
usia peristiwa tidak (x/1 minggu)
Wawancara
dapat menahan
terstruktur
keluarnya urin/
ngompol pada
anak
yang
berusia
6-12
tahun
4.6
Pengumpulan Data
4.6.1
Instrumen
Kategori:
Baik=76100%
Cukup=5675%
Kurang=55
%(Arikunto,
1998)
Rasio
Frekuensi
enuresis
dalam
minggu
selama
minggu
1
4
79
data awal dilakukan pada tanggal 11 April 2007 di SDN. Selodono, Desa
Selodono, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri. Penelitian dilaksanakan
mulai tanggal 5 Mei 4 Juni 2007 di SDN Selodono Kediri.
4.6.3
80
Airlangga yang kemudian juga mendapat izin dari kepala sekolah SDN. Selodono.
Peneliti kemudian mendatangi orang tua anak (responden). Pengumpulan data
dilakukan dengan mengacu pada kriteria inklusi. Untuk menentukan kelompok
kontrol dan kelompok intervensi, proporsi anak dengan usia 7-10 tahun beserta
proporsi jenis kelamin anak dibagi sama antara dua kelompok. Proses
menyamakan variabel perancu diantara dua kelompok (kontrol dan intervensi) ini
disebut proses matching. Informed consent diberikan terlebih dahulu sebelum
dilakukan bladder-retention training pada responden. Informed consent disetujui
dan ditandatangani oleh orang tua responden.
Bladder-retention training dilakukan secara berkelompok di sekolah dan
di rumah responden. Satu hari sebelum pelaksanaan bladder-retention training,
pada kedua kelompok dilakukan pre test untuk mengetahui skor awal dengan
melakukan
81
4.7
Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses yang dilakukan secara sistematis
terhadap data yang telah dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan supaya trends
dan relationship bisa dideteksi (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini setelah data
terkumpul, kemudian dilakukan
menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test (uji komparasi 2 sampel
berpasangan) dengan derajat kemaknaan p 0,05, dengan rumus:
n(n 1)
4
n(n 1)(2n 1)
4
T
Z=
Keterangan:
T = Jumlah jenjang atau rangking yang kecil
82
N = Jumlah sampel
(Sugiyono, 2005)
Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai p 0.05 maka H o ditolak dan H1
diterima artinya ada pengaruh bladder-retention training terhadap peningkatan
kemampuan praktik bladder-retention training pada anak usia sekolah.
Uji
statistik
Mann-Withney
Test
(uji
komparasi
sampel
U 1 = n1.n2 +
R1
Keterangan :
n1( n1 1)
2
U1 = n1.n2 +
n 2( n 2 1)
2
U1 = peringkat
n2R2
= jumlah sample 2
U2 = peringkat 2
n1 = jumlah sampel 1
(Sugiyono, 2005)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan praktik bladderretention training saat post test pada anak usia sekolah antara yang mendapatkan
perlakuan (bladder-retention training) dengan yang tidak mendapatkan perlakuan.
Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai p 0,05 maka Ho ditolak dan H1
diterima artinya ada perbedaan antara kemampuan praktik bladder-retention
training pada anak usia sekolah yang mendapatkan perlakuan bladder-retention
training dengan yang tidak mendapatkan perlakuan. Pada penelitian ini selain
digunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan uji Mann-Withney U Test,
juga digunakan uji Paired T Test dan Independent T Test. Data frekuensi enuresis
yang didapatkan pada saat pre test dan post test akan dikumpulkan dan dianalisis
dengan uji Paired T Test dengan nilai kemaknaan p 0,05. Artinya, bila uji t
berpasangan menghasilkan p 0,05 maka Ho ditolak dan H 1 diterima hal ini
83
uji
4.8
Etik Penelitian
Peneliti memohon ijin kepada pihak terkait sebelum penelitian dilakukan.
84
Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti karena
hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian.
4.9
Keterbatasan
Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian (Burn &
Grove, 1991). Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah:
1. Desain penelitian untuk penelitian ini masih perlu dikembangkan untuk
mencari desain yang tepat.
2. Instrumen pengumpulan data disusun oleh peneliti berdasarkan teori yang ada
karena belum ada standar yang baku untuk mengukur variabel tersebut.
3. Instrumen pengumpulan data tidak melalui uji validitas dan reliabilitas
terlebih dahulu.
4. Besar sampel yang tersedia terbatas sehingga hasilnya tidak dapat
digeneralisasikan.
5. Kemampuan peneliti yang masih terbatas dalam bidang riset karena pada
penelitian ini merupakan penelitian yang pertama.
85
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
86
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1
87
88
89
b. Ibu
1) Karakteristik ibu responden berdasarkan pendidikan terakhir
90
Data responden
a. Data Demografi
1) Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin anak
91
92
93
94
95
96
97
98
Gambar 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ada Atau Tidak Jamu Yang
Dikonsumsi Anak Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo
Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.14 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan obat/jamu yang dikonsumsi anak, pada kelompok intervensi dan
kontrol menunjukkan semua anak tidak mengkonsumsi obat/jamu (100%).
8) Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan tidur siang anak
99
100
101
102
Gambar 5.18
103
104
105
frekuensi enuresis 3 kali dalam 1 minggu yaitu sebanyak 3 anak. Pada kelompok
kontrol (pre 2) sebagian besar anak memiliki frekuensi enuresis 4 kali dalam 1
minggu. Pada kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi (post 1)
didapatkan penurunan frekuensi enuresis yaitu sebagian besar anak memiliki
frekuensi enuresis 0 kali dalam 1 minggu sebanyak 5 anak (62,5%), 2 anak 2 kali
(25%), dan 1 anak mengalami enuresis 1 kali dalam 1 minggu (12,5%). Pada
kelompok kontrol (post 2) yang tidak mendapatkan intervensi bladder-retention
training terjadi peningkatan rerata frekuensi enuresis
minggu, dan sebagian besar anak memiliki frekuensi enuresis 5 kali dalam 1
minggu sebanyak 3 anak.
Analisis isi (content analyse) dari hasil wawancara terstruktur yang
digunakan merupakan penunjang dan pembanding hasil uji secara kuantitatif.
Jawaban dari pertanyaan: Berapa kali anak ibu ngompol dalam 1 minggu?
Sebelum intervensi (Pre):
Empat hari berturut-turut kemarin anak saya ngompol mbak, selasa, rabu,
kamis, jumat (Ibu 1).
Anak saya ngompol terus mbak, senin selasa ngompol, kamis jumat sabtu
juga ngompol, jadi 5 hari ya mbak (Ibu 3).
Sesudah intervensi (Post):
Anak saya sudah ngga ngompol lagi kok (Ibu 1).
Satu kali mbak, rabu kemarin, ini lebih baik dari pada yang dulu-dulu
(Ibu 3).
106
Mean
SD
Kontrol
Pre
Post
55
55
9,258
9,258
p = 1,000
Wilcoxon Signed
Rank Test
Intervensi Kontrol
Post
Post
97,5
55
7,071
9,258
p = 0,000
Mann-Whitney U Test
107
Jawaban dari pertanyaan: Apakah anak meminum 500 ml air putih sekali minum?
Sebelum intervensi (Pre):
Tidak pernah mbak, mungkin hanya 1 gelas tanggung (Ibu 2).
Sesudah intervensi (Post):
Sesuai petunjuk mbak, anak saya sudah bisa meminum 2 gelas tanggung
sekali minum untuk latihan ini (Ibu 2).
Jawaban dari pertanyaan: Apakah anak mengkomunikasikan keinginan berkemih
secara verbal dan non verbal?
Sebelum intervensi (Pre):
Tidak selalu
seperti jumat kemarin dia ngompol waktu bercanda dengan temannya siang
hari (Ibu 7).
Sesudah intervensi (Post):
Tiga minggu ini anak saya selalu bilang ke saya saat pengen pipis, ya..untuk
keberhasilan cara ini (Ibu 7).
108
Enuresis (x/minggu)
Kelompok Intervensi
Pre
4
3
5
4
7
3
5
3
4,25
Post Perubahan
0
-4
0
-3
1
-4
0
-4
2
-5
0
-3
2
-3
0
-3
0,625
- 3,625
1,389 0,916
p = 0,000
Paired t test
Enuresis (x/minggu)
Kelompok Kontrol
Pre
4
3
4
7
4
4
5
3
4,25
Post
5
3
6
7
3
6
5
5
5
Enuresis
(x/minggu)
Intervensi Kontrol
Perubahan
Post
Post
+1
0
5
0
0
3
+2
1
6
0
0
7
-1
2
3
+2
0
6
0
2
5
+2
0
5
0,75
0,625
5
1,282 1,414
p = 0,111
Paired t test
0,916
1,414
p = 0,000
Independent t test
post
109
4,25 kali dalam 1 minggu menjadi 0,625 kali dalam 1 minggu pada post test. Hasil
uji statistik paired t test diperoleh (p) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bladderretention training terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.
Tabel 5.2 menunjukkan data bahwa pada kelompok kontrol terjadi
peningkatan frekuensi enuresis pada 4 anak, penurunan frekuensi enuresis pada 1
anak, dan sebanyak 3 anak tidak mengalami perubahan frekuensi enuresis. Nilai
rerata frekuensi enuresis mengalami peningkatan yaitu pre test 4,25 kali dalam 1
minggu menjadi 5 kali dalam 1 minggu pada post test. Hasil uji statistik paired t
test diperoleh (p) = 0,111 yang berarti p > 0,05.
Tabel 5.2 juga menunjukkan hasil uji Independent t test yang menunjukkan
frekuensi enuresis
kelompok kontrol diperoleh nilai (p) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bladderretention training terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah,
hal ini juga dapat dikatakan bahwa frekuensi enuresis anak usia sekolah yang
mendapat intervensi bladder-retention training berbeda dengan kelompok anak
yang tidak mendapat intervensi.
5.2
Pembahasan
Bagian pembahasan ini akan mengulas mengenai faktor dominan
110
retention training pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Data yang
didapatkan adalah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan
tidak mengalami stres.
Lampiran 18 tentang stres anak menunjukkan data bahwa semua anak
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki skor < 55%, hal ini
berarti semua anak pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak
mengalami stres.
Gambar 5.18 menunjukkan data bahwa pada kelompok intervensi sebagian
besar tidak ada gangguan tidur yaitu 6 anak, dan ada gangguan tidur 2 anak. Pada
kelompok kontrol sebagian besar tidak ada gangguan tidur yaitu 7 anak , dan yang
mengalami gangguan tidur ada 1 anak.
Lampiran 18 tentang gangguan tidur (deep sleep) menunjukkan data
bahwa pada kelompok intervensi sebanyak 2 anak mengalami gangguan tidur
dengan skor > 55%, pada kelompok kontrol sebanyak 1 anak mengalami
gangguan tidur dengan skor 58,33%.
Pada anak yang mengalami enuresis, bisa ditemukan stres kejiwaan. Stres
ini dapat disebabkan oleh kondisi seperti pelecehan seksual, kematian dalam
keluarga, kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orang tua, atau masalah
psikis lainnya (Harjaningrum, 2005).
Gangguan tidur yang bisa menyebabkan enuresis adalah anak mengalami
tidur dalam (deep sleep). Pola tidur secara umum normal, tapi akibat tidur yang
sangat dalam tersebut, anak sulit terbangun ketika ingin buang air kecil
(Harjaningrum, 2005). Menurut Potter (2005) enuresis dan somnambulisme (tidur
sambil berjalan) dapat terjadi karena gangguan tidur (deep sleep) yaitu pada tahap
111
NREM IV. Pada saat mengalami deep sleep, tanda-tanda vital seperti tekanan
darah, frekuensi nafas, suhu, nadi mengalami penurunan secara bermakna
dibanding selama terjaga; dan anak menjadi sulit untuk dibangunkan.
Pada penelitian ini anak usia sekolah yang mengalami enuresis tidak
mengalami stres. Gangguan tidur (deep sleep) sebagai salah satu penyebab
enuresis ditemukan pada 2 responden kelompok intervensi dan 1 responden pada
kelompok kontrol sehingga gangguan tidur (deep sleep) merupakan faktor
dominan penyebab enuresis.
Analisis data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa ada pengaruh bladderretention training terhadap peningkatan kemampuan praktik bladder-retention
training pada anak usia sekolah. Hasil yang didapatkan signifikan (p=0,007).
Hasil rerata yang semula 57,5 (pre test) meningkat menjadi 97,5 (post test), hal ini
dipengaruhi oleh: 1) pemberian informasi yaitu pembelajaran bladder-retention
training, 2) tingkat pendidikan anak yaitu Sekolah Dasar dimana pada usia
sekolah perkembangan kognitif anak berada pada tahap konkret operasional, 3)
responden tidak mengalami stres (100%).
Pembelajaran bladder-retention training ini diberikan secara individu.
Evaluasi
terhadap
keberhasilan
pembelajaran
bladder-retention
training
didapatkan langsung setelah diberikan materi yaitu dengan demonstrasi ulang oleh
responden sebagai post test 1. Leaflet tentang pembelajaran bladder-retention
training dan enuresis juga diberikan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh
pembelajaran. Pembelajaran dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan kepada
112
anak sehingga terjadi perubahan perilaku dalam hal ini kemampuan bladderretention training. Proses kontrol cognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi atau proses informasi, pengambilan keputusan, dan
emosi, sehingga mekanisme belajar merupakan suatu proses di dalam sistem
adaptasi (cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi (Nursalam,
2003). Perubahan perilaku dalam hal ini kemampuan bladder-retention training
didahului oleh persepsi seseorang terhadap apa yang akan dijalani, sehingga
muncul persepsi berhubungan dengan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari
informasi. Informasi yang diterima bisa kurang jelas, dalam hal ini pembelajaran
bladder-retention training yang tidak optimal akan mempengaruhi persepsi
seseorang sehingga perubahan perilaku/kemampuan bladder-retention training
akan sulit didapatkan. Persepsi proses informasi juga berhubungan dengan seleksi
perhatian, kode, dan ingatan (Nursalam, 2003).
Sikap belum merupakan tindakan/aktifitas akan tetapi merupakan reaksi
tertutup terhadap suatu obyek (Notoatmodjo, 2003). Pembentukan sikap dapat
terjadi karena pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga moral maupun faktor
emosional (Azwar, 2003). Pendidikan kesehatan melalui kegiatan pembelajaran
sebagai sarana perubahan perilaku/kemampuan bladder-retention training
terutama domain afektif (sikap) diharapkan mampu membangun suatu
kepercayaan sehingga anak dapat memiliki kemampuan praktik bladder-retention
training yang benar.
Praktik merupakan domain perilaku yang ketiga setelah pengetahuan dan
sikap (Notoatmodjo, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003) setelah seseorang
113
cukup
pengalaman
dalam
praktik
bladder-retention
training.
Pengalaman baru yang bersumber dari pengetahuan diberikan, hal ini iharapkan
kemampuan praktik yang sudah diadopsi tetap terpelihara (Notoatmodjo, 2003).
Kemampuan pengalihan perhatian dari keinginan berkemih ke hal-hal
yang lain untuk memperpanjang waktu penundaan berkemih didasarkan pada
teori bahwa apabila terdapat dua rangsangan yang terpisah, fokus pada salah satu
akan menghilangkan fokus pada yang lain (Price, 2005). Pembelajaran bladderretention training meliputi pemberian pengertian pada anak agar mengalihkan
keinginan berkemih ke hal-hal yang lain seperti konsentrasi pada pelajaran, tugas
dan penjelasan guru di kelas. Kemampuan kognisi, persepsi, dan koping yang
positif pada anak usia sekolah dapat meningkatkan kemampuan mengalihkan
perhatian dari keinginan berkemih dan selanjutnya dapat meningkatan
kemampuan praktik bladder-retention training anak usia sekolah.
Pendidikan dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Tingkat pendidikan
yang dimiliki seseorang menentukan tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).
Pada umumnya, metode demonstrasi optimal sebagai suatu strategi mengajar bagi
114
sasaran yang berkemampuan rerata dan dibawah rerata, dengan pendidik yang
tidak terlatih dan tidak berpengalaman. Pembelajaran demonstrasi juga dapat
mencapai tujuan kognitif menengah (Muchtar, 2005 dalam Binarwati, 2006). Pada
responden anak usia sekolah tidak selalu membuat seseorang tidak dapat
menerima
materi
secara
optimal
tetapi
dengan
menggunakan
strategi
115
116
retention training adalah latihan yang dapat menimbulkan rangsangan pada otot
polos kandung kemih yang meningkatkan aktifasi dari kimiawi, neuromuskuler,
dan muskuler. Menurut Guyton dan Hall (1997) otot polos kandung kemih
(muskulus detrusor) mengandung filamen aktin dan miosin, yang mempunyai sifat
kimiawi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Proses interaksi diaktifkan
oleh ion kalsium, dan adeno trifosfat (ATP), selanjutnya dipecah menjadi adeno
difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi muskulus detrusor
kandung kemih. Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan
rangsangan pada serat otot polos kandung kemih terutama saraf parasimpatis yang
merangsang untuk memproduksi acetil cholin, sehingga mengakibatkan terjadinya
regangan, kontraksi, dan peningkatan tonus otot kandung kemih. Ketika kandung
kemih terisi air dalam jumlah yang cukup banyak dalam sekali waktu, pada otot
polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul potensial aksi secara spontan bila
diregangkan secukupnya. Respons terhadap peregangan ini memungkinkan
dinding otot polos visera berkontraksi secara otomatis dan karena itu menahan
regangan.
Regangan
mengakibatkan
pada
peningkatan
muskulus
kapasitas
detrusor
kandung
kemih
akan
fungsional
kandung
kemih
yang
117
118
genetik. Faktor lain yang menyebabkan enuresis selama penelitian juga harus
diperhatikan seperti: kebiasaan anak sebelum tidur seperti minum susu, air putih,
atau teh, pergi ke toilet sebelum tidur; jumlah air yang diminum; riwayat
kesehatan dan penyakit; dan usia dilakukan toilet training pada anak oleh orang
tua. Semua hal yang mempengaruhi enuresis harus dikontrol agar enuresis tidak
terjadi lagi pada anak.
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dikemukakan simpulan dan saran dari hasil penelitian
tentang pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan kemampuan dan
enuresis pada anak usia sekolah di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri.
6.1
Simpulan
119
6.2
Saran
120
DAFTAR PUSTAKA
Andaryani
H,
L.
(2003).
Mengapa
masih
mengompol.
http://www.indomedia.com/sripo/2003/12/21/2112mom2.htm
(akses
tanggal 08 Maret 2007 jam 09.00)
Arikunto, S. (1998) . Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hal: 42-45
Arikunto, S. (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, hal: 135
Azwar, S. (2003). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal: 13-17
Bastable, SB. (2002). Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. Jakarta: EGC, hal: 40
Binarwati, D. (2006). Pengaruh Pembelajaran Metode Demonstrasi terhadap
Perubahan Perilaku Orang tua dan Kemampuan Toilet Training pada
Anak Todler (15-36 Bulan). Tidak Dipublikasikan. Skipsi Universitas
Airlangga, hal: 8, 12
Burns, N., & Grove, SK., (1991). The Practice of Nursing Research: Conducts,
Critiques and Utilisation. (2nd ed.). Philadelphia: W.B Saunders Co, p: 7
Butler, RJ. (1994). Nocturnal Enuresis: The Childs Experience. Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, p: 132-135
Carpenito, LJ. (2000). Diognosa Keperawatan Aplikasi dan Praktis Klinis. Edisi
6. Alih Bahasa Tim penerjemah PSIK-UNPAD. Jakarta: EGC, hal: 9
121
122
Narendra, MB. dkk. (2002). Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.
Jakarta: Sagung Seto, hal: 8-11, 51-16
National Institue of Diabetes and Digestives and Kidney Diseases. (2005). Nerve
Disease
and
Bladder
Control.
http://kidney.niddk.nih.gov/kudisease/pubs/nervedisease/index.htm (akses
tanggal 07 Maret 2007 jam 10.15)
Norby,
B.
(2005).
Bedwetting
(Enuresis).
http://www.netdoctor.co.uk/disease/facts/bedwetting.html (akses tanggal
29 September 2006 jam 11.00)
123
V.
(2000).
Mengompol
(Enuresis).
http://www.balitaanda.indoglobal.com/ngompol.html (akses tanggal 27
September 2006 jam 14.40)
Supartini Y. (2002). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC, hal:
49-55
Tim PSIK Unair. (2004). Buku Panduan Penyusunan Proposal dan Skripsi. PSIK
Surabaya: FK Unair, hal: 14-15
Wong, DL. (1999). Nursing Care of Infants and Children. St. Louis: Mosby Year
Co, p: 866-869
Whaley, LF. (2001). Nursing care of Infants and Children, Second Edition. St.
Louis: Mosby Year Co, p: 661-663
Wijayanti, A. (2006). Pengaruh Senam Otak Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Anak Usia Sekolah di SDN Nginden Jangkungan I Surabaya. Tidak
Dipublikasikan Skripsi Universitas Airlangga, hal: 19, 24-26
124
125
Nomor : 422/028/47.112.396/2007
K E PADA
126
Mengetahui
Kepala SDN Selodono
Drs. Sulistiyono
NIP : 131 334 000
Lampiran 3
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Walida Pangestuti
NIM
: 010210594 B
127
Atas perhatian dan Partisipasi Bapak / Ibu sekalian saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surabaya,
2007
Hormat saya,
Walida Pangestuti
Lampiran 4
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)
128
Kode Responden :
Kediri,.................2007
Yang menyetujui,
(...................................)
Lampiran 5
LEMBAR KUESIONER DATA ORANG TUA RESPONDEN
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:
I.
Ayah
1. Pendidikan terakhir:
a)
Tidak sekolah
b)
Lulus SD
c)
d)
e)
a)
Pegawai Negeri
b)
Swasta
c)
Wiraswasta
d)
Petani
2. Pekerjaan:
129
II.
e)
Tidak bekerja
f)
Lainnya
Ibu
1. Pendidikan terakhir:
2.
a)
Tidak sekolah
b)
Lulus SD
c)
d)
e)
a)
Pegawai Negeri
b)
Swasta
c)
Wiraswasta
d)
Petani
e)
Tidak bekerja
f)
Lainnya..
Pekerjaan:
130
Lampiran 6
LEMBAR KUESIONER DATA RESPONDEN
No. Responden :
Petunjuk pengisian:
Tanggal Pengisian :
A.
Data Demografi
131
b) 2
B.
Data Enuresis
Pernah, kapan................(umur)
b)
Tidak pernah
1 kali
b)
2 kali
c)
3 kali
d)
4 kali
e)
5 kali
f)
6 kali
g)
7 kali
3. Apakah anak memiliki ada saudara kandung yang mengalami hal yang
sama (mengompol sampai usia 5 tahun lebih)?
a)
Ya
b)
Tidak
Minum teh
b)
Minum susu
c)
132
d)
b)
c)
d)
7.
a)
Cemas
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Alergi
i)
Lain-lain, sebutkan
8.
9.
a)
b)
15-18 bulan
c)
18-24 bulan
d)
24-36 bulan
e)
Ya
b)
Tidak
133
sebutkan......................................................
.....................................................................
10.
Ya
Pada jam berapa?......................
b)
11.
Tidak
Apa usaha yang telah dilakukan orang tua dalam mengatasi enuresis
(ngompol) pada anak selama ini?
a)
Membiarkan saja
b)
Menghukum anak
(misalnya : mencuci baju sendiri)
c)
d)
Pergi ke dokter
e)
Lain-lain.......................
134
Lampiran 7
LEMBAR OBSERVASI UNTUK ANAK
KEMAMPUAN BLADDER-RETENTION TRAINING PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk Pengisian:
No.
Mengkomunikasikan
verbal dan non verbal
keinginan berkemih
Mampu
menahan
keinginan berkemih sampai
batas toleransi
Nilai
Ya
Tidak
Kode
135
Pada
pelaksanaan
berikutnya anak mampu
menahan
keinginan
berkemih lebih lama dari
waktu penundaan berkemih
sebelumnya1-2 menit
Lampiran 8
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR
KEMAMPUAN BLADDER-RETENTION TRAINING PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk Pengisian:
No.
Apakah
anak
mengkomunikasikan secara
verbal dan non verbal
keinginan berkemih?
Apakah
anak
mampu
menahan
keinginan
berkemih sampai batas
toleransi?
Nilai
Ya
Tidak
Kode
136
Apakah
anak
mampu
berkemih di toilet?
Pada
pelaksanaan
berikutnya apakah anak
mampu menahan keinginan
berkemih lebih lama dari
waktu penundaan berkemih
sebelumnya1-2 menit?
Lampiran 9
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:
Nama anak:
Tanggal mulai:
Senin
Minggu I
Minggu II
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
137
Minggu III
Minggu IV
Lampiran 10
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:
Nama anak:
Tanggal mulai:
Senin
Minggu I
Minggu II
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
138
Minggu III
Minggu IV
Lampiran 11
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA SEMUA RESPONDEN
No Responden
1
2
3
A1
A2
A3
4
5
6
A4
A5
A6
7
8
A7
A8
9
10
B1
B2
11
12
B3
B4
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
(Observasi pada
(Observasi pada
(Observasi
(Observasi pada
hari I minggu
pada hari I
hari I minggu V)
III)
minggu IV)
139
13
14
15
16
B5
B6
B7
B8
Keterangan :
Angka 1-8 pada A1-A8 dan B1-B8 menunjukkan kode nama responden
Lampiran 12
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR
No. Responden :
Usia
Tanggal Pengisian :
Kelas :
Jenis Kelamin : (Laki-laki / Perempuan)
Petunjuk Pengisian:
Pada halaman berikut ini terdapat beberapa kalimat yang menggambarkan kondisi
dan keadaan anak akhir-akhir ini. Anak diminta untuk memberikan jawaban YA
apabila kalimat tersebut sesuai dengan keadaan anak, dan memberi jawaban
TIDAK apabila kalimat tersebut tidak sesuai dengan keadaan anak. Caranya
adalah dengan memberi tanda silang ( X ) pada kotak jawaban yang sesuai.
1.
1
2
3
4
5
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
140
6
7
8
9
10
2.
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Akhir-akhir ini, apabila kamu mendapatkan perhatian dari orang tua yang
kurang, apakah kamu sering merasa :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3.
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Apabila kamu mendapatkan adik baru, kamu merasa perhatian dari orang
tua kamu berkurang, apakah hal itu menyebabkan kamu sering merasa :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Ketika kamu dituntut untuk masuk sekolah pagi, apakah kamu sering
merasa :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
141
5.
Ketika kamu mengalami situasi yang sulit seperti disiplin orang tua yang
ketat, apakah kamu sering merasa :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
6.
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7.
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
142
8.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Lampiran 13
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR GANGGUAN TIDUR ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
143
Petunjuk Pengisian :
No.
Apakah tanda-tanda
vital anak (nadi,
respirasi) menurun
secara
bermakna
dibanding selama
terjaga?
Apakah
anak
mengalami
tidur
dalam/pulas, sulit
dibangunkan malam
hari untuk ke kamar
mandi ?
Selalu
Sering
Nilai
Kadang- Tidak
kadang pernah
Lampiran 14
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN
Kode
144
Topik
Sasaran
Waktu
145
Demonstrasi
6. Alat Bantu / Media Pembelajaran
1. Lembar materi
2. SOP (Satuan Operasional Prosedur)
3. Leaflet
7. Kegiatan Pembelajaran
No.
1
Pengembangan
20 menit
Penutupan
5 menit
Kegiatan Sasaran
Menjawab salam
Memperhatikan
atau
menjawab
bila perlu
Menjelaskan
pengertian
bladder-retention training
Menjelaskan
waktu
bladder-retention training
Menjelaskan
manfaat
bladder-retention training
Menjelaskan
prosedur
bladder-retention training
Memberikan kesempatan
sasaran untuk menanyakan
penjelasan
yang
belum
dimengerti
Merangkum
materi
pembelajaran dengan sasaran
Membagikan leaflet
Melakukan pre-test dengan
menerima lembar observasi
frekuensi ngompol yang telah
diberikan kepada orang tua 1
minggu
sebelum
pembelajaran, serta dengan
Memperhatikan
Memperhatiakan
Menjawab
tentang
kesiapannya
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Bertanya
Menjawab secara
lisan
Melaksanakan
praktik
redemonstrasi
Mengumpulkan
146
wawancara langsung.
data
Melakukan
post-test
dengan
observasi pada
kemampuan praktik anak
setelah pembelajaran yang
terakhir diberikan
Melakukan post-test dengan
observasi pada frekuensi
enuresis
anak
setelah Menjawab salam
pembelajaran yang terakhir
dengan menerima lembar
observasi frekuensi ngompol
yang telah diberikan kepada
orang
tua
1
minggu
sebelumnya, serta dengan
wawancara langsung.
Mengakhiri
pertemuan
dengan mengucap salam
8.
Evaluasi struktur
2) Evaluasi proses
Anak dan orang tua antusias terhadap materi pembelajaran Bladderretention training
Anak dan orang tua tetap berada di tempat pelatihan sampai kegiaatan
selesai
Anak dan orang tua aktif dalam kegiatan pembelajaran Bladderretention training
147
3) Evaluasi hasil
Sumber
Butler, RJ. (1994). Nocturnal Enuresis: The Childs Experience. Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, p: 132-135
Cendron, M. (1998). Articles Primary Nocturnal Enuresis: Current Concepts.
http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html (akses tanggal 29 September
2006 jam 11.15)
Harjaningrum, AT. (2005). Sudah Besar Masih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?
http://www.tonangardyanto.com/content/view//22/37/ (akses tanggal 27
September 2006 jam 14.30)
Johnson,
M.
(1998).
Articles
Noctunal
Enuresis.
http://www.duj.com/johnson.html (akses tanggal 29 September 2006 jam
09.30)
Robert. (2006). The Traditional Chinese Medicine (TCM) Approach to Bedwetting
(Enuresis). http://www.roberthelmer.ca/bedwetting07.html (akses tanggal
07 Maret 2007 jam 10.00)
Rosenstein, BJ. (1997). Intisari Pediatri: Panduan Praktis Pediatri Klinik.
Jakarta: Hipokrates, hal: 141
148
Lampiran 15
MATERI PEMBELAJARAN
Bladder-Retention Training
1)
Pengertian enuresis
Rosenstein
(1997)
mengemukakan
bahwa
enuresis
merupakan
pengeluaran urin secara involunter yang muncul setelah seorang anak mencapai
umur dimana pengontrolan kandung kemih biasanya sudah ada yaitu pada umur 4
tahun.
Menurut dunia kedokteran, enuresis atau ngompol adalah peristiwa tidak
dapat menahan keluarnya air kencing. Enuresis masih dianggap normal bila
terjadi pada anak balita. Tetapi hal ini perlu mendapat perhatian khusus jika terjadi
pada anak usia 5 atau lebih (Harjaningrum, 2005)
2)
Penyebab enuresis
Menurut Harjaningrum (2005), ada beberapa faktor yang diduga sebagai
149
Faktor genetik
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa enuresis primer dapat terjadi
karena faktor keturunan. Jika orang tuanya mempunyai riwayat enuresis,
maka 77 % kemungkinan bahwa anak akan juga mengalami enuresis.
Sedangkan jika salah satu orang tua pernah mengalami enuresis, maka
terdapat kurang lebih 44 % kemungkinan anak akan mengalami hal yang
sama. Tapi jika tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami
enuresis, maka kemungkinan anak mengalami enuresis hanya 15 %.
Penelitian lain yang dilakukan pada 11 keluarga penderita enuresis, telah
berhasil mengidentifikasi gen (sepotong informasi dalam penurunan sifat
dari orang tua kepada anak) yang diduga dapat menyebabkan enuresis.
Gangguan tidur
Tidur yang sangat dalam (deep sleep) dapat menjadi penyebab enuresis.
Umumnya, pola tidur penderita normal. Tetapi, karena deep sleep tersebut,
anak menjadi tidak dapat terbangun ketika ingin berkemih.
150
Hal ini bisa ditemukan pada penderita enuresis primer, biasanya disertai
gejala yang tampak pada siang hari.
Stres kejiwaan
Pelecehan seksual, kematian dalam keluarga, pindah rumah, kelahiran
adik baru, perceraian orang tua merupakan keadaan yang dapat
menyebabkan stres kejiwaan yang akhirnya dapat menyebabkan enuresis
sekunder pada anak.
Alergi
Alergi juga dapat menyebabkan enuresis sekunder.
3)
151
4)
152
Lampiran 16
retention training.
3. Prosedur
Pelaksanaan bladder-retention training menurut Butler (1994, adalah sebagai
beikut:
1. Satu kali pertemuan setiap hari.
2. Menganjurkan anak minum 500 ml air putih.
153
154
155
Lampiran 18
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
Lampiran 19
NPar Tests
Descriptives
Descriptive Statistics
N
Pre test kemampuan
bladder-retention
training (intervensi)
Post test kemampuan
blader-retention
training (intervensi)
Pre test kemampuan
bladder-retention
training (kontrol)
Post test kemampuan
bladder-retention
training (kontrol)
Valid N (listwise)
Minimum
Maximum
1,88
,354
3,00
,000
1,75
,463
1,75
,463
Mean
Std. Deviation
167
Ranks
N
Post test kemampuan
blader-retention
training (intervensi) Pre test kemampuan
bladder-retention
training (intervensi)
Negative Ranks
Positive Ranks
8
0
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
0d
Total
Sum of Ranks
,00
,00
4,50
36,00
,00
,00
,00
,00
Ties
Ties
Mean Rank
8
8
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Post test
Post test
kemampuan
kemampuan
blader-retent
bladder-rete
ion training
ntion training
(intervensi) (kontrol) Pre test
Pre test
kemampuan
kemampuan
bladder-rete
bladder-rete
ntion training ntion training
(intervensi)
(kontrol)
-2,714a
,000b
,007
1,000
168
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
Post kemampuan
KelompokResponden
intervensi
kontrol
Total
N
8
Mean Rank
12,50
Sum of Ranks
100,00
4,50
36,00
16
169
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Post
Kemampuan
,000
Wilcoxon W
36,000
-3,703
,000
,000
170
171
172
173
Valid
Missing
Pendidikan
Ayah
7
1
Pekerjaan
Ayah
7
1
Pendidikan
Ibu
8
0
Pekerjaan Ibu
8
0
174
Frequency Table
Pendidikan Ayah
Valid
Missing
Total
lulus SD
lulus SMP/sederajat
Total
System
Frequency
2
5
7
1
8
Percent
25,0
62,5
87,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
28,6
100,0
Valid Percent
28,6
71,4
100,0
Pekerjaan Ayah
Valid
Missing
Total
swasta
wiraswasta
petani
Total
System
Frequency
1
1
5
7
1
8
Percent
12,5
12,5
62,5
87,5
12,5
100,0
Valid Percent
14,3
14,3
71,4
100,0
Cumulative
Percent
14,3
28,6
100,0
Pendidikan Ibu
Valid
Frequency
3
5
8
lulus SD
lulus SMP/sederajat
Total
Percent
37,5
62,5
100,0
Valid Percent
37,5
62,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
100,0
Pekerjaan Ibu
Valid
swasta
wiraswasta
petani
lainnya (TKW)
Total
Frequency
1
1
5
1
8
Percent
12,5
12,5
62,5
12,5
100,0
Valid Percent
12,5
12,5
62,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
12,5
25,0
87,5
100,0
Valid
Missing
Frequency Table
Pendidikan
Ayah
8
0
Pekerjaan
Ayah
8
0
Pendidikan
Ibu
8
0
Pekerjaan Ibu
8
0
175
Pendidikan Ayah
Valid
lulus SD
lulus SMP/sederajat
lulus SMA/sederajat
Total
Frequency
3
4
1
8
Percent
37,5
50,0
12,5
100,0
Valid Percent
37,5
50,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
87,5
100,0
Pekerjaan Ayah
Valid
wiraswasta
petani
Total
Frequency
4
4
8
Percent
50,0
50,0
100,0
Valid Percent
50,0
50,0
100,0
Cumulative
Percent
50,0
100,0
Pendidikan Ibu
Valid
lulus SD
lulus SMP/sederajat
lulus SMA/sederajat
Total
Frequency
3
4
1
8
Percent
37,5
50,0
12,5
100,0
Valid Percent
37,5
50,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
87,5
100,0
Pekerjaan Ibu
Valid
wiraswasta
petani
Total
Frequency
5
3
8
Percent
62,5
37,5
100,0
Valid Percent
62,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
62,5
100,0
176
Statistics
Valid
Missing
Jenis Kelamin
Anak
8
0
Usia Anak
8
0
Kelas Anak
8
0
Frequency Table
Jenis Kelamin Anak
Valid
laki-laki
perempuan
Total
Frequency
5
3
8
Percent
62,5
37,5
100,0
Valid Percent
62,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
62,5
100,0
Usia Anak
Valid
7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
Total
Frequency
1
5
1
1
8
Percent
12,5
62,5
12,5
12,5
100,0
Valid Percent
12,5
62,5
12,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
12,5
75,0
87,5
100,0
Kelas Anak
Valid
kelas 1
kelas 2
Total
Frequency
7
1
8
Percent
87,5
12,5
100,0
Valid Percent
87,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
87,5
100,0
177
Statistics
Valid
Missing
Jenis Kelamin
Anak
8
0
Usia Anak
8
0
Kelas Anak
8
0
Frequency Table
Jenis Kelamin Anak
Valid
laki-laki
perempuan
Total
Frequency
5
3
8
Percent
62,5
37,5
100,0
Valid Percent
62,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
62,5
100,0
Usia Anak
Valid
7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
Total
Frequency
1
4
2
1
8
Percent
12,5
50,0
25,0
12,5
100,0
Valid Percent
12,5
50,0
25,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
12,5
62,5
87,5
100,0
Kelas Anak
Valid
kelas 1
kelas 2
Total
Frequency
6
2
8
Percent
75,0
25,0
100,0
Valid Percent
75,0
25,0
100,0
Cumulative
Percent
75,0
100,0
178
Frequencies
Frequency Table
Berhenti Ngompol
Valid
tidak pernah
Frequency
8
Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Frekuensi Enuresis
Valid
3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total
Frequency
3
2
2
1
8
Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0
Valid Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
62,5
87,5
100,0
Valid
Ya
Tidak
Total
Frequency
2
6
8
Percent
25,0
75,0
100,0
Valid Percent
25,0
75,0
100,0
Cumulative
Percent
25,0
100,0
Percent
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
600-1000 ml
1000-1500 ml
Total
Frequency
5
3
8
Percent
62,5
37,5
100,0
Valid Percent
62,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
62,5
100,0
Riwayat Kesehatan
Valid
tidak ada
alergi
lain-lain
Total
Frequency
5
1
2
8
Percent
62,5
12,5
25,0
100,0
Valid Percent
62,5
12,5
25,0
100,0
Cumulative
Percent
62,5
75,0
100,0
100,0
179
Valid
Frequency
6
2
8
Percent
75,0
25,0
100,0
Valid Percent
75,0
25,0
100,0
Cumulative
Percent
75,0
100,0
Valid
tidak
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
ya
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
membiarkan saja
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
180
Berhenti Ngompol
Valid
tidak pernah
Frequency
8
Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Frekuensi Enuresis
Valid
3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total
Frequency
2
4
1
1
8
Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0
Valid Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
25,0
75,0
87,5
100,0
Valid
Ya
Tidak
Total
Frequency
3
5
8
Percent
37,5
62,5
100,0
Valid Percent
37,5
62,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
100,0
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
75,0
75,0
75,0
1
1
8
12,5
12,5
100,0
12,5
12,5
100,0
87,5
100,0
Valid
600-1000 ml
1000-1500 ml
Total
Frequency
5
3
8
Percent
62,5
37,5
100,0
Valid Percent
62,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
62,5
100,0
Riwayat Kesehatan
Valid
tidak ada
lain-lain
Total
Frequency
7
1
8
Percent
87,5
12,5
100,0
Valid Percent
87,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
87,5
100,0
181
Valid
Frequency
2
3
3
8
Percent
25,0
37,5
37,5
100,0
Valid Percent
25,0
37,5
37,5
100,0
Cumulative
Percent
25,0
62,5
100,0
Valid
tidak
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
ya
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
membiarkan saja
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
182
Stres Anak-Intervensi
Valid
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Stres Anak-kontrol
Valid
Frequency
8
Percent
100,0
Gangguan Tidur-Intervensi
Valid
Frequency
2
6
8
Percent
25,0
75,0
100,0
Valid Percent
25,0
75,0
100,0
Cumulative
Percent
25,0
100,0
Gangguan Tidur-kontrol
Valid
Frequency
1
7
8
Percent
12,5
87,5
100,0
Valid Percent
12,5
87,5
100,0
Valid
kurang
cukup
Total
Frequency
1
7
8
Percent
12,5
87,5
100,0
Valid Percent
12,5
87,5
100,0
Cumulative
Percent
12,5
100,0
Valid
baik
Frequency
8
Percent
100,0
Valid Percent
100,0
Cumulative
Percent
100,0
Valid
kurang
cukup
Total
Frequency
2
6
8
Percent
25,0
75,0
100,0
Valid Percent
25,0
75,0
100,0
Cumulative
Percent
25,0
100,0
Cumulative
Percent
12,5
100,0
183
Valid
kurang
cukup
Total
Frequency
2
6
8
Percent
25,0
75,0
100,0
Valid Percent
25,0
75,0
100,0
Cumulative
Percent
25,0
100,0
Pre-Frekuensi Enuresis-Intervensi
Valid
3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total
Frequency
3
2
2
1
8
Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0
Valid Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
37,5
62,5
87,5
100,0
Post-Frekuensi Enuresis-Intervensi
Valid
0 kali/1 minggu
1 kali/1 minggu
2 kali/1 minggu
Total
Frequency
5
1
2
8
Percent
62,5
12,5
25,0
100,0
Valid Percent
62,5
12,5
25,0
100,0
Cumulative
Percent
62,5
75,0
100,0
Pre-Frekuensi Enuresis-kontrol
Valid
3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total
Frequency
2
4
1
1
8
Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0
Valid Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0
Cumulative
Percent
25,0
75,0
87,5
100,0
Post-Frekuensi Enuresis-kontrol
Valid
3 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
6 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total
Frequency
2
3
2
1
8
Percent
25,0
37,5
25,0
12,5
100,0
Valid Percent
25,0
37,5
25,0
12,5
100,0
Cumulative
Percent
25,0
62,5
87,5
100,0
184
Hasil Wawancara
Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Ngga, biasanya cuma 1 Selama latihan ini anak saya
gelas kecil
minum 500 ml air putih kok
mbak, saya takar pake gelas
yang ada ukurannya itu
185
Ibu 2
Ibu 3
Ibu 4
Ibu 5
Bapak 6
Ibu 7
Ibu 8
Ibu 9
Ibu 10
Bapak 11
Ibu 12
Ibu 13
Ibu 14
Tidak
pernah
mbak, Sesuai petunjuk mbak, anak
mungkin hanya 1 gelas kecil saya sudah bisa meminum 2
gelas tanggung sekali minum
untuk latihan ini
Tidak mbak, ya cuma 1-2 Sekarang sudah terbiasa
gelas kecil tho
mbak
Ya ngga pernah mbak, apa Sudah mbak, anak saya bisa
ga kembung perutnya?
minum 2 gelas tanggung
langsung
Tidak pernah mbak, anak Awalnya ya ga bisa mbak,
saya ga begitu suka minum karena
belum
terbiasa
mungkin, tapi sekarang sudah
bisa minum 2
gelas
tanggung
Ngga, paling-paling 1 Anak saya sudah terbiasa
gelas kecil, tapi kadang minum 2 gelas tanggung
lebih
langsung
Ngga pernah mbak,lawong Anak saya tetap ga bisa
saya aja cuma 1gelas kecil, mbak, waktu mau saya
anak saya juga begitu
tambahin lagi airnya ga mau
katanya mau muntah
Tidak pernah, minumnya Alhamdulillah bisa mbak,ya
dikit banget, paling cuma saya motivasi terus, supaya
gelas tanggung/1 gelas mau,
saya
iming-imingi
kecil
sepatu baru klo ga ngompol
lagi
Tidak, 500 ml kan banyak ngga pernah mbak, paling ya
mbak
1 gelas kecil
Tidak pernah, 1 hari aja Ya sama seperti kemarencuma 2 gelas tanggung, kemaren mbak, ga pernah
diminum dikit-dikit, kadang anak saya minum 500 ml air
kurang
putih sekaligus
500 ml? Banyak baget Memangnya 500 ml ga
mbak, ngga pernah mbak
kebanyakan mbak, apa ada
maksudnya? Klo anak saya,
ga
pernah
minum
air
sebanyak itu sekali minum,
paling 1-2 gelas sehari.
Tidak pernah
Anak saya sekali minum
cuma 1 gelas, kadang
sampai2 gelas kecil
Ngga pernah mbak, cuma 1 Ngga pernah mbak, cuma 1
gelas kecil, kadang ngga gelas kecil, kadang ngga
habis
habis
Tidak pernah
2-4 gelas tanggung itu
dalam 1 hari mbak, ngga
sekali minum
186
Bapak 15
Tidak penah
Ibu 16