Anda di halaman 1dari 186

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Enuresis atau mengompol merupakan masalah yang umum mempengaruhi

lebih dari 50 juta anak yang berusia 5 hingga 15 tahun. Hal ini dapat menjadi
masalah jika enuresis terjadi lebih dari satu kali dalam sebulan dan terjadi pada
seseorang yang berusia di atas 5 tahun (Supati, 2000). Menurut teori functional
bladder capacity dinyatakan bahwa anak dengan enuresis mempunyai kapasitas
fungsional kandung kemih yang lebih kecil dibanding anak yang tidak mengalami
enuresis (Wong, 1999). Sekitar 15-20 % anak usia 5-6 tahun mengalami enuresis
dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki (Norby, 2005). Hasil Studi
pendahuluan yang dilakukan di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri telah didapatkan dari 38 anak yang duduk di kelas 1
ada 13 anak yang mengalami enuresis dan dari 34 anak yang duduk di kelas 2 ada
3 anak yang mengalami enuresis, selain itu didapatkan data 2 dari 13 anak yang
mengalami enuresis setiap hari. Salah satu cara penanganan enuresis adalah
dengan bladder-retention training. Metode ini direkomendasikan untuk anak yang
berusia 6 tahun atau lebih (Robert, 2006). Penetapan metode ini didasarkan pada
pernyataan bahwa enuresis masih dianggap normal bila terjadi pada anak balita
(Harjaningrum, 2005). Pada anak usia sekolah, mulai dari 6 tahun, sebanyak 85 %
telah memiliki kendali penuh terhadap kandung kemih dan defekasi (Muscary,
2005). Bladder-retention training dilakukan dengan tujuan meningkatkan ukuran
fungsional kandung kemih dengan cara menyuruh anak minum air dalam jumlah

yang cukup banyak, kemudian anak diminta menahan diri untuk berkemih selama
mungkin (Pillitteri, 1999). Namun, sampai saat ini pengaruh bladder-retention
training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah
belum dapat dijelaskan.
Enuresis sering menimbulkan kebingungan orang tua. Orang tua
cenderung membiarkan saja (Harjaningrum, 2005). Menurut Houts (1991),
dikutip Wong (1999), pada 5 juta anak di Amerika Serikat prevalensi enuresis
pada anak usia 5 tahun adalah 7 % untuk laki laki dan 3 % untuk anak
perempuan, pada anak usia 10 tahun prevalensinya 3 % untuk anak laki-laki dan 2
% untuk anak perempuan, pada anak usia 18 tahun prevalensinya 1 % untuk anak
laki-laki dan sangat jarang untuk anak perempuan. Pada sebagian besar kasus,
enuresis pada anak memang dapat sembuh dengan sendirinya ketika anak berusia
10-15 tahun. Namun, jika hal ini diabaikan akan memberikan pengaruh tersendiri
bagi anak (Harjaningrum, 2005). Selain itu jika anak usia 8 tahun yang masih
sering mengalami enuresis tidak dilakukan penanganan, maka hanya memiliki
peluang 50% untuk sembuh pada usia 12 tahun (Supati, 2000). Kira-kira 15 %
kasus enuresis tipe nocturnal dimaklumi dan tidak dilakukan penanganan secara
tepat oleh orang tua. Jika hal ini dibiarkan akan dapat berlanjut hingga masa
remaja dan dewasa (Wong, 1999). Di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri telah didapatkan data dari 38 anak yang duduk di
kelas 1 terdapat 2 anak yang berusia 7 tahun, 9 anak berusia 8 tahun, dan 2 anak
berusia 10 tahun masih mengalami enuresis. Selain itu didapatkan data dari 34
anak yang duduk di kelas 2 terdapat 3 anak yang masing-masing usianya 8, 9, 10
tahun masih mengalami enuresis. Dampak secara sosial dan kejiwaan yang

ditimbulkan akibat enuresis sungguh mengganggu kehidupan seorang anak.


Biasanya anak menjadi tidak percaya diri, rendah diri, malu, dan hubungan sosial
dengan teman-temannya juga terganggu. (Harjaningrum, 2005).
Penyebab enuresis belum diketahui secara pasti. Harjaningrum (2005)
mengemukakan beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab enuresis, seperti :
keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP), faktor genetik,
gangguan tidur (deep sleep), kadar ADH (Anti Diuretic Hormone) dalam tubuh
yang kurang, kelainan anatomi (ukuran kandung kemih yang kecil), stres
kejiwaan, kondisi fisik yang terganggu, dan alergi. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa enuresis tipe primer dapat terjadi karena faktor keturunan
(Harjaningrum,2005). Penelitian lain yang dilakukan pada 11 keluarga penderita
enuresis telah berhasil mengidentifikasi gen (sepotong informasi dalam penurunan
sifat dari orang tua kepada anak) yang diduga dapat menyebabkan enuresis
(Harjaningrum,2005). Menurut sleep theory, berawal dari laporan orang tua, anak
yang mengalami enuresis tidur mendengkur dan sulit untuk dibangunkan atau
mengalami deep sleep. Namun, penelitian selanjutnya dengan menggunakan
elektroensefalografi menyatakan bahwa tidur yang dalam tidak menyebabkan
enuresis (Rappaport 1993, dalam Wong 1999). Penelitian urodinamik yang
dikemukakan Pompeius (1971), Troup & Hodgson (1971), Johnstone (1972),
Persson et al (1993), Robert et al (1993) yang dikutip Johnson (1998) menyatakan
bahwa anak yang mengalami enuresis tipe nocturnal sering menunjukkan
ketidakmampuan dalam mencegah kontraksi kandung kemih dan mempunyai
kapasitas fungsional kandung kemih yang lebih kecil daripada anak yang tidak
mengalami enuresis. Kandung kemih pada anak usia sekolah normalnya mampu

menahan 300-350 ml cairan/urin semalam selama tidur (Pilliterri, 1999).


Kapasitas fungsional kandung kemih yang kecil, menyebabkan kandung kemih
tidak dapat menampung sejumlah urin yang diproduksi malam hari (Johnson,
1998).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat sebagai edukator adalah
dengan mendidik anak bagaimana menangani enuresis yaitu dengan memberikan
pembelajaran bladder-retention training. Pendidikan kesehatan merupakan cara
untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran. Pendidikan kesehatan maupun
pembelajaran memiliki tujuan yang sama yaitu merubah perilaku/kemampuan.
Rusyam (1992) yang dikutip Hidayat (2002) menyatakan bahwa perilaku yang
akan diubah dapat berupa keterampilan intelektual, kemampuan kognitif,
kemampuan verbal, keterampilan motorik, sikap dan nilai yang berhubungan
dengan aspek emosional. Pembelajaran bladder-retention training diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan anak usia sekolah yang mengalami enuresis
untuk dapat melakukan bladder-retention training. Beberapa anak dengan
kapasitas fungsional kandung kemih yang kecil, penggunaan bladder-retention
training selama beberapa hari dapat membantu meningkatkan kapasitas
fungsional kandung kemih pada malam hari (Cendron, 1999). Dari uraian di atas,
penulis tertarik akan melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh bladder-retention training
enuresis pada anak usia sekolah.

terhadap perubahan kemampuan dan

1.2

Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh bladder retention training terhadap perubahan

kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah (7-10 tahun)?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan umum
Menjelaskan pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan

kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah (7-10 tahun).


1.3.2

Tujuan khusus
1.

Mengidentifikasi faktor dominan penyebab enuresis pada anak usia


sekolah.

2.

Mengidentifikasi kemampuan praktik bladder-retention training


anak usia sekolah sebelum dan sesudah pembelajaran.

3.

Mengidentifikasi frekuensi enuresis pada anak usia sekolah


sebelum dan sesudah dilaksanakan pembelajaran bladder-retention
training.

1.4

Manfaat

1.4.1

Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjelaskan pengaruh bladder-retention training

terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah sehingga
dapat digunakan sebagai kerangka dalam pengembangan ilmu keperawatan anak
yang berhubungan dengan penanganan enuresis pada anak usia sekolah.

1.4.2

Manfaat praktis
Bladder-retention training diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu

cara yang efektif dalam menurunkan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Pendidikan Kesehatan

2.1.1

Pengertian pendidikan kesehatan


Pendidikan kesehatan merupakan pendekatan pendidikan yang partisipatif,

yang ditujukan untuk mencegah penyakit, mempromosikan kesehatan, dan


memadukan aspek fisik, mental, serta sosial, kedalam kebutuhan pembelajaran.
Dalam keperawatan, pendidikan kesehatan merupakan satu bentuk intervensi
keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok,
maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan
pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai pendidik (Bastable,
2002).
2.1.2

Arti dan lingkup belajar


Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan kesehatan merupakan proses

pendidikan yang tidak lepas dari proses belajar karena proses belajar itu ada
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Perkembangan teori proses belajar
dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yakni teori stimulus-respons
yang berpangkal pada psikologi asosiasi yang dirintis oleh John Locke dan
Herbart yang kurang memperhitungkan faktor internal dan teori transformasi yang
berlandaskan pada psikologi kognitif yang dirumuskan oleh Neisser yang
memperhitungkan faktor internal.
Didalam teori stimulus-respons apa yang terjadi pada diri subyek belajar
merupakan rahasia atau disebut black box. Belajar adalah mengambil tanggapan-

tanggapan dan menggabung-gabungkan tanggapan dengan jalan mengulangulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus.
Makin banyak dan sering diberikan stimulus, maka makin banyak tanggapan pada
subyek belajar, tanpa memperhatikan faktor internal dalam diri subyek belajar.
Sedangkan pada teori transformasi proses belajar adalah transformasi dari
masukan (input) kemudian input tersebut direduksi, diuraikan, disimpan,
ditemukan kembali, dan dimanfaatkan. Transformasi dari masukan sensoris
bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan
(memory). Meskipun didasarkan pada psikologi kognitif, hal ini tidak membatasi
penelaahannya pada domain pengetahuan saja, melainkan juga meliputi domain
afektif dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2003). Menurut teori kognitif, reward itu
tidak diperlukan dalam pembelajaran, yang lebih penting adalah tujuan peserta
didik, harapan, dan pengalaman mereka (Bastable,2002). Belajar bukan hanya
proses intelektual, tetapi juga merupakan proses emosional. Hasil belajar sangat
ditentukan situasi psikologis saat belajar (Notoatmodjo, 2003).
Pembelajaran

merupakan

suatu

proses

individu

dan

merupakan

pengalaman yang aktif, holistik serta melibatkan manusia dan lingkungan


seutuhnya. Pembelajaran juga merupakan proses integrative untuk memasukkan
pembelajaran baru kedalam bidang persepsi, sehingga menyebabkan reorganisasi
bidang tersebut, dan ini menyebabkan peralihan pengetahuan atau ketrampilan
apabila terdapat relevansi antara makna pengalaman yang lama dengan makna
pengalaman yang baru (Binarwati, 2006).

2.1.3

Faktor yang mempengaruhi proses belajar


Menurut J. Guilbert et al yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) ada

beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu:


1. Faktor materi.
2. Faktor lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan
fisik antara lain terdiri dari suhu, kelembaban udara, dan kondisi tempat
belajar. Sedangkan lingkungan sosial yaitu manusia dengan segala
interaksinya.
3. Faktor instrumental, yang terdiri dari perangkat keras seperti perlengkapan
belajar, alat peraga, dan perangkat lunak seperti pengajar atau fasilitator
belajar, serta metode belajar.
4. Faktor individual subyek belajar, yang terdiri dari kondisi fisiologis seperti
kekurangan gizi, kondisi panca indera dan kondisi psikologis misalnya
intelegensi, pengamatan, daya tangkap, ingatan, motivasi.
2.1.4

Ruang lingkup pendidikan kesehatan


Cakupan atau ruang lingkup pendidikan kesehatan terdiri dari 3 dimensi,

yaitu (Notoatmodjo, 2003):


1. Ruang lingkup berdasarkan aspek kesehatan
1) Pendidikan kesehatan pada aspek promotif
2) Pendidikan kesehatan pada aspek pencegahan dan penyembuhan
a. Pencegahan tingkat pertama
b. Pencegahan tingkat kedua
c. Pencegahan tingkat ketiga

10

2. Ruang lingkup berdasarkan tatanan pelaksanaan


1) Pendidikan kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga)
2) Pendidikan kesehatan pada tatanan sekolah
3) Pendidikan kesehatan di tempat kerja
4) Pendidikan kesehatan di tempat-tempat umum
5) Fasilitas pelayanan kesehatan
3. Ruang lingkup berdasarkan tingkat pelayanan
1) Promosi kesehatan
2) Perlindungan khusus
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera
4) Pembatasan cacat
5) Rehabilitasi
2.1.5

Metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan


Metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan ditentukan berdasarkan

tujuan pendidikan yang ingin dicapai, materi atau pesan yang disampaikan,
pendidik atau yang menyampaikan pesan, alat-alat bantu/alat peraga yang
digunakan, serta sasaran pendidikan kesehatan seperti individu, kelompok, dan
massa (Notoatmodjo, 2003). Bentuk-bentuk metode pembelajaran dalam
pendidikan kesehatan yaitu, (Suliha, et al, 2001):
1. Metode ceramah
Ceramah ialah pidato yang disampaikan oleh seorang pemimpin di depan
sekelompok pengunjung.

11

2. Metode diskusi kelompok


Diskusi kelompok ialah percakapan yang direncanakan atau dipersiapkan
diantara tiga orang atau lebih tentang topik tertentu dengan seorang
pemimpin.
3. Metode panel
Panel adalah pembicaraan yang sudah direncanakan di depan pengunjung
tentang sebuah topik dan diperlukan tiga panelis atau lebih serta diperlukan
seorang pemimpin.
4. Metode forum panel
Forum panel adalah panel yang didalamnya pengunjung berpartisipasi
dalam diskusi.
5. Metode permainan peran
Permainan peran ialah pemeranan sebuah situasi dalam kehidupan
manusia dengan tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk
dipakai sebagai bahan analisis oleh kelompok.
1. Metode simposium
Simposium ialah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan
seorang pemimpin. Pidato-pidato tersebut mengemukakan aspek-aspek yang
berbeda dari topik tertentu.
7. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran yang menyajikan suatu
prosedur atau tugas, cara menggunakan alat, dan cara berinteraksi. Demonstrasi
dapat dilakukan secara langsung atau melalui media seperti video, film.

12

Setiap metode pembelajaran memiliki keuntungan dan kelemahan dalam


penggunaannya. Keuntungan penggunaan pembelajaran metode demonstrasi
adalah sebagai berikut: 1) Dapat membuat proses pembelajaran menjadi lebih
jelas dan lebih konkret; 2) Dapat menghindari verbalisme; 3) Lebih mudah
memahami sesuatu; 4) Lebih menarik; 5) Dapat menyesuaikan teori dengan
kenyataan dan dapat melakukan sendiri (redemonstrasi). Kelemahan penggunaan
pembelajaran metode demonstrasi adalah: 1) Alat-alat, biaya, dan tempat yang
memadai belum tentu tersedia; 2) Memerlukan persiapan dan perencanaan yang
matang.
Penggunaan metode demonstrasi kurang otokratis dibanding ceramah, tapi
juga kurang lunak dari diskusi. Strategi ini digunakan untuk mencapai tujuan
kognitif dan psikomotorik. Pada umumnya, metode demonstrasi adalah optimal
sebagai suatu strategi mengajar bagi sasaran yang berkemampuan rata-rata dan
dibawah rata-rata, dengan pendidik yang tidak terlatih dan tidak berpengalaman.
Metode ini terdiri dari tiga tahap (Muchtar, 2005 dalam Binarwati, 2006) yaitu:
1. Tahap pangantar
Pada tahap ini diberikan ceramah untuk menerangkan tujuan pembelajaran.
2. Tahap pengembangan
Pada tahap ini terjadi tanya jawab dan aktivitas-aktivitas lain.
3. Tahap konsolidasi
Pada tahap ketiga ini, bahan pembelajaran ditinjau kembali, direvisi, dan dites.
2.1.6

Alat bantu pembelajaran dalam pendidikan kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2003) alat bantu pendidikan kesehatan atau yang

disebut juga alat peraga adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam

13

menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Alat peraga ini disusun


berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima
atau ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan
untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian
atau pengetahuan yag diperoleh. Hal ini juga berarti bahwa alat peraga
dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin kepada suatu obyek
sehingga mempermudah pemahaman. Alat bantu pendidikan ada 3 macam, yaitu:
1) Alat bantu lihat; 2) Alat bantu dengar; 3) Alat bantu lihat dengar. Media
pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan. Berdasarkan
fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media ini dibagi menjadi 3,
yakni: 1) Media cetak yang meliputi booklet, leaflet, flyer, flif chart, rubrik atau
tulisan pada surat kabar mengenai masalah kesehatan, serta poster; 2) Media
elektronik yang meliputi televisi, radio, slide, serta film strip; 3) Media papan
atau billboard.

2.2

Konsep Perilaku

2.2.1

Pengertian perilaku
Notoatmodjo (2003) mendefinisikan perilaku sebagai tindakan atau

aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

14

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku


merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari
luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini
disebut teori S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons) (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003):
1.

Perilaku tertutup (convert behavior)


Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup (convert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Domain perilaku
Perilaku dibagi kedalam 3 domain (ranah atau kawasan). Ketiga domain
perilaku tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Bloom 1908, dalam
Notoatmodjo 2003).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,

15

atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran secara langsung yakni dengan
melakukan observasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003).
Dalam perkembangannya, teori Bloom di atas dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yaitu: 1) Pengetahuan (knowledge); 2)
Sikap (attitude); 3) Praktik atau tindakan (practice/action).
2.2.3

Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif


merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysis)

16

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu


obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
2.2.4

Sikap (Attitude)

1. Definisi Sikap
Sikap memiliki banyak definisi. Berkowitz (1972) yang dikutip oleh
Azwar (2003) menemukan adanya lebih dari tiga puluh definisi sikap yang pada
umumnya dapat dimasukkan kedalam salah satu diantara ketiga kerangka
pemikiran.
Kerangka pertama yang diwakili oleh para ahli psikologi dalam
pengukuran sikap seperti Louis Thurstone (1928) dan Rensis Likert (1932) yang
dikutip oleh Azwar (2003) mengemukakan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi
dan reaksi perasaan yang merupakan perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada obyek tersebut. Berkowitz (1972) yang dikutip oleh Azwar
(2003) secara lebih spesifik memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif
atau afek negatif terhadap suatu obyek psikologis.

17

Menurut Azwar (2003) pemikiran kedua diwakili kelompok ahli dibidang


psikologi sosial dan psikologi kepribadian seperti Chave (1928), Bogardus (1931),
Lapierre (1934), Mead (1934), dan Goron Allport (1935), dimana konsepsi
mengenai sikap lebih kompleks. Menurut mereka, sikap merupakan semacam
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan
disini dimaksudkan adalah kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara
tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respons. La Pierre (1934) dalam Allen, Guy, dan Edgley (1980)
mendefinisikan sikap sebagai pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,
sikap adalah respons terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Definisi
sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadik
(triadic scheme). Menurut kelompok ini suatu sikap terdiri dari komponenkomponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Secord & Backman
(1964) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2003).
Menurut para ahli, masing-masing aspek yang telah disebutkan memang
merupakan komponen yang konstrak teoritiknya berbeda satu sama lain. Sikap
merupakan konstrak multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan
konasi. Meskipun semua komponen berada pada suatu kontinum, akan tetapi

18

pernyataan masing-masing dapat berbeda (Brecklr, et al 1984; yang dikutip oleh


Azwar 2003).
Sikap seseorang terhadap suatu obyek selalu berperan sebagai perantara
antara respons dan obyek yang bersangkutan. Respons diklasifikasikan dalam tiga
macam, yaitu respons kognitif (respons perseptual dan pernyataan mengenai apa
yang diyakini), respons afektif (respons saraf simpatetik dan pernyataan afeksi),
serta respons perilaku atau konatif (respons berupa tindakan atau pernyataan
mengenai perilaku) masing-masing klasifikasi respons ini berhubungan dengan
ketiga komponen sikapnya (Azwar 2003).
2. Komponen Pokok Sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) yang dikutip Notoatmodjo (2003)
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima mempunyai arti bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Merespon mempunyai arti bahwa kegiatan memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
3) Menghargai (valuing)

19

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu


masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible)


Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Struktur Sikap
Menurut Azwar (2003) struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang
saling menunjang yaitu, kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif atau
pengetahuan merupakan representasi apa yang dipercayai seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah
terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai yang
diharapkan dari obyek tertentu sehingga kepercayaan itu terbentuk karena kurang
atau tidak adanya infomasi yang benar mengenai obyek sikap yang dihadapi.
Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional
subyektif terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen disamakan
perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada umumnya reaksi emosional yang
merupakan komponen afeksi ini dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang
dipercayai sebagai suatu yang benar dan berlaku bagi obyek tersebut. Komponen
konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang yang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya, kaitan ini
didasari oleh asumsi kepercayaan dan perasaan yang mempengaruhi perilaku
(Azwar, 2003).

20

4. Karakteristik Sikap
Menurut Brigham (1991) oleh Hudaniah (2003) yang dikutip Binarwati
(2006) ada beberapa ciri sifat (karakteristik) dasar dari sikap, yaitu:
1) Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
2) Sikap ditujukan mengarah kepada obyek psikologis atau kategori.
3) Sikap dipelajari.
4) Sikap mempengaruhi perilaku. Mengukur suatu sikap yang mengarah pada
suatu obyek memberikan suatu alasan untuk berperilaku mengarah pada
obyek itu dengan suatu cara tertentu.
5. Persuasi dan Pengubahan Sikap Manusia
Persuasi merupakan suatu usaha pengubahan sikap individu dengan
memasukkan ide, fikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan
komunikatif. Cacioppo dan Petty (1979) mengemukakan bahwa pengulangan
akan menaikkan perubahan sikap tapi kemudian kalau masih diteruskan juga
pengulangan itu justru akan menurunkan efeknya. Ternyata banyaknya
pengulangan yang optimal adalah tiga kali, jika lebih dari 3 kali individu akan
mengalami kebosanan dan dapat menolak pesan yang disampaikan (Watson, et
al,1984; yang dikutip Azwar, 2003).
Intelegensi juga mempunyai pengaruh terhadap proses pemahaman isi
pesan dan penerimaan persuasi. Orang yang lebih cerdas akan lebih mudah
memahami isi pesan-pesan persuatif yang komplek akan tetapi tidak mudah untuk
menerimanya. Karena perubahan sikap tergantung pada pemahaman dan
penerimaan sebagaimana dikatakan oleh Mc. Guire (1968) dalam Fishbein &
Ajzen (1975) maka probabilitas diterimanya pesan persuatif akan lebih besar bila

21

targetnya memiliki intelegensi dan faktor-faktor kepribadian lain dalam tingkatan


sedang (Azwar, 2003).

2.2.5

Praktik (Practice/Action)
Menurut Notoatmodjo (2003) suatu sikap belum otomatis terwujud dalam

suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu


perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau situasi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support).
Tingkatan dalam praktik adalah:
1. Persepsi(Perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (Guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
3. Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (Adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.

22

2.2.6

Perubahan (adopsi) perilaku dan indikatornya


Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks

dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau
seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui
tiga tahap yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik (practice).
Ketiga tahap adopsi perilaku tersebut merupakan indikator perilaku yang nantinya
akan diukur (Notoatmodjo, 2003).
2.2.7

Determinan perilaku
Determinan perilaku adalah faktor-faktor yang membedakan respons

terhadap stimulus yang berbeda. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi


dua, yaitu:
1. Determinan/faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin.
2. Determinan/faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik (Notoatmodjo, 2003).

2.3 Konsep Adaptasi Roy


Sister Calista Roy yang dikutip Nursalam (2003) menyatakan bahwa
terdapat lima obyek utama dalam model adaptasi (adaptation model) yaitu:
1) manusia, 2) keperawatan, 3) konsep sehat-sakit, 4) lingkungan, 5) aplikasi:
tindakan keperawatan.
Manusia
Manusia sebagai penerima pelayanan keperawatan baik sebagai individu,
keluarga, kelompok, komunitas, atau masyarakat yang mempunyai perilaku yang

23

dapat dikategorikan sebagai respon adaptif atau mal adaptif. Manusia merupakan
sistem adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem yang terbuka tersebut berakibat
terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi, kejadian, energi antar
sistem dan lingkungan.
Roy mengidentifikasi stimulus sebagai suatu unit informasi, kejadian, atau
energi dari lingkungan, sedangkan proses kontrol dari individu sebagai suatu
sistem adaptasi dijelaskan melalui mekanisme koping. Adanya suatu stimulus
terhadap subsistem kognator mengakibatkan timbulnya umpan balik yang berupa
perilaku output. Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap proses informasi, pengambilan keputusan, dan emosi. Persepsi
proses informasi juga berhubungan dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan.
Belajar berhubungan dengan proses imitasi atau meniru dari reinforcement,
sehingga mekanisme belajar merupakan proses didalam sistem adaptasi
(cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi.
Mekanisme kognator bekerja pada individu sebagai sistem adaptasi.
Perilaku yang berhubungan dengan sistem adaptasi tersebut merupakan
manifestasi dari tingkat adaptasi individu dan mengakibatkan penggunaan
mekanisme koping. Koping yang konstruktif berdampak pada respons perubahan
perilaku pada individu.
Keperawatan
Keperawatan menurut Roy didefinisikan sebagai bentuk pelayanan
profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu
baik sehat maupun sakit. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa
meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki dari

24

suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu. Tujuan keperawatan adalah
meningkatkan respons yang adaptif dalam hubungannya dengan empat bentuk
(fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan ketergantungan) yang akan
dicapai dengan menggunakan informasi tentang tingkat adaptasi manusia,
pandangan atau pendapat, masalah dan stimulus. Kondisi koping seseorang atau
keadaan seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang. Tindakan keperawatan
yang diberikan pada teori Roy ini meliputi mempertahankan respons yang adaptif
dengan mendukung upaya klien menggunakan mekanisme koping yang positif
atau konstruktif.
Konsep sehat-sakit
Roy mendefinisikan sehat sebagai continum dari meninggal sampai
dengan tingkatan tertinggi yaitu sehat. Kesehatan adalah suatu kondisi dengan
proses yang terintegrasi dari kemampuan individu dalam mencapai tujuan untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi, dan memperoleh penguasaan.
Kesehatan menurut Roy merupakan suatu respon yang adaptif. Sedangkan definisi
sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradaptasi terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu.
Lingkungan
Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari
internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal ini dapat mempengaruhi dan
berakibat terhadap perkembangan dan perilaku individu atau kelompok.
Lingkungan internal dapat berupa pengalaman, kemampuan emosinal, kepribadian
maupun stresor biologis. Sedangkan lingkungan eksternal dapat berupa fisik,

25

kimiawi, ataupun psikologis yang diterima individu dan dipersepsikan sebagai


suatu ancaman.
Aplikasi: Tindakan keperawatan
Tindakan

keperawatan

adalah

tindakan

yang

diberikan

untuk

meningkatkan respons adaptasi pada situasi sehat dan sakit. Tindakan


keperawatan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk
memanipulasi stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual.
Stimulus fokal yaitu suatu respon yang diberikan secara langsung terhadap
ancaman/input yang masuk, stimulus kontekstual yaitu suatu stimulus seseorang
yang dapat diobservasi, dan stimulus residual pada individu yaitu karakteristik
dari seseorang dan timbul karena situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara
obyektif. Ketiga stimulus ini membangun suatu level adaptasi.
Input

Proses

Efektor

Stimulus
Tingkat
adaptasi

(Primary
adaptive)
Mekanisme
koping

Model
adaptasi

Output

Zona
Maladaptif
Kognator
Regulator

Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
Interdependen

Feet back

Zona
Adaptif
Zona
Maladdaptif

Stimulus

Fokal

Kontekstual

Residual

Gambar 2.1 Diagram Model Adaptasi Dari Roy (dikutip oleh Nursalam, 2002)

2.4

Konsep Bladder-Retention Training

26

2.4.1 Pengertian bladder -retention training


Bladder-retention training adalah suatu metode penanganan enuresis yang
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional kandung kemih (Johnson,
1998).
Rushton (1989) dalam definisi yang dikutip oleh Jonhson (1998)
mengemukakan bahwa bladder-retention training termasuk didalamnya usaha
secara sadar dan sengaja untuk meregangkan kandung kemih dengan
memperpanjang interval waktu berkemih.
Bladder-retention training merupakan metode penanganan enuresis yang
menghendaki anak untuk menahan berkemih sampai anak berada di toilet (Robert,
2006).
2.4.2 Waktu bladder-retention training
Menurut Robert (2006) Bladder-retention training tidak dilakukan pada
anak yang berusia kurang dari 6 tahun.
2.4.3 Manfaat bladder-retention training
Manfaat Bladder-retention training pada anak usia sekolah adalah:
1. Membantu otot detrusor beradaptasi dalam meningkatkan tekanan dan volume
kandung kemih (Butler,1994)
2. Membantu meningkatkan kapasitas fungsional kandung kemih terutama pada
waktu malam hari (Cendron, 2006)
3. Membuat anak lebih peka terhadap sensitivitas kandung kemih (Butler, 1994)
4. Memungkinkan anak untuk tidur sepanjang malam tanpa perlu bangun untuk
berkemih (Butler, 1994)
5. Mengurangi frekuensi enuresis (Johnson, 1998)

27

2.4.4 Pelaksanaan bladder-retention training


Prosedur pelaksanaan Bladder-retention training

dilaksanakan dengan

persepsi anak yang mengalami enuresis mempunyai penurunan kapasitas


fungsional kandung kemih sehingga menyebabkan ketidakmatangan kandung
kemih dalam pengosongan urin selama semalam (Cendron, 1999).
Menurut Berger et al (1983) yang dikutip oleh Johnson (1998)
mengemukakan bahwa untuk memperkirakan kapasitas normal kandung kemih
digunakan rumus:
Kapasitas kandung kemih (ons) = umur (tahun) + 2
Metode ini dilaksanakan dengan langkah-langkah (Butler,1994):
1. Bladder-retention training dilaksanakan satu kali pertemuan setiap hari
2. Menganjurkan anak minum 500 ml air putih
3. Anak diminta untuk menahan keinginan berkemih selama mungkin
4. Mencatat waktu ketika anak mengindikasikan keinginannya untuk berkemih
sebagai start
5. Ketika anak sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk berkemih,
anjurkan anak untuk berkemih di toilet
6. Mencatat waktu antara start dan berkemih
7. Memberi pujian untuk usaha anak menahan keinginan berkemih
8. Menggunakan grafik untuk memonitor waktu penundaan berkemih
9. Menganjurkan anak untuk menambah waktu penundaan berkemih pada
pertemuan berikutnya 1-2 menit
10. Memberi pujian untuk keberhasilan anak dalam peningkatan waktu penundaan
berkemih

28

2.5

Konsep Otot Polos

2.5.1

Karakteristik dan tipe otot polos


Otot polos terdiri atas banyak sekali serat kecil yang umumnya

berdiameter 2 sampai 5 mikrometer dan panjangnya hanya 20 sampai 500


mikrometer (Guyton & Hall, 1997).
Otot polos dibagi menjadi 2 tipe yaitu (Guyton & Hall, 1997):
1. Otot polos multi unit
Tipe otot polos ini terdiri dari serat otot polos yang mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Tiap serat bekerja tanpa bergantung pada serat lain dan sering kali
dipersarafi oleh sebuah ujung saraf, seperti yang terjadi pada serat otot rangka.
Permukaan luar serat ini ditutupi oleh lapisan tipis yang terdiri dari substansi
seperti membran basal, yakni campuran kolagen halus dan fibrila glikoprotein
yang membantu menyekat serat-serat yang terpisah. Sifat terpenting dari serat otot
polos multi unit adalah bahwa masing-masing serat dapat berkontraksi secara
tidak bergantung pada yang lain, dan pengaturannya terutama dilakukan oleh
sinyal saraf. Sifat tambahan lainnya adalah bahwa otot ini jarang menunjukkan
kontraksi yang spontan. Serat otot polos dari otot siliaris mata, iris mata, kelopak
mata bawah yang membungkus mata (pada beberapa binatang rendah) adalah
beberapa contoh dari otot polos multi unit.
2. Otot polos unit tunggal

29

Tipe otot polos ini disebut juga otot polos sinsisial, merupakan sebuah
massa otot seluruhnya yang terdiri dari ratusan hingga jutaan serat otot yang
berkontraksi bersama-sama sebagai suatu unit tunggal. Serat-serat ini biasanya
bersatu menjadi lembaran-lembaran atau berkas, dan membran sel berlekatan satu
sama lain pada banyak titik sehingga kekuatan yang terbentuk dalam satu serat
otot dapat dijalarkan ke serat berikutnya. Pada otot polos ini membran sel
dihubungkan oleh banyak taut rekah (gap junction) yang dapat dilalui oleh ionion secara bebas dari satu sel ke sel berikutnya, sehingga potensial aksi atau ion
yang sederhana dapat mengalir berjalan dari satu serat ke serat berikutnya dan
menyebabkan serat otot dapat berkontraksi bersama-sama.

Otot polos ini juga

disebut otot polos viseral karena banyak ditemukan pada dinding sebagian besar
visera tubuh seperti pada usus, duktus biliaris, ureter, kandung kemih, uterus, dan
pembuluh darah.
2.5.2

Proses kontraksi dan relaksasi dalam otot polos

1. Dasar kimiawi untuk kontraksi otot polos (Guyton & Hall, 1997).
Otot polos mengandung filamen aktin dan miosin, yang mempunyai sifat
kimiawi mirip dengan sifat kimiawi filamen aktin dan miosin dalam otot rangka.
Otot polos tidak mengandung kompleks troponin normal yang dibutuhkan dalam
pengaturan kontraksi otot rangka, sehingga mekanisme pengaturan kontraksinya
berbeda. Penelitian kimiawi telah menunjukkan bahwa aktin dan miosin yang
berasal dari otot polos akan saling berinteraksi satu sama lain dengan cara yang
hampir sama dengan aktin miosin yang berasal dari otot rangka. Proses kontraksi
selanjutnya diaktifkan oleh ion kalsium, dan adenosin trifosfat (ATP) dipecah
menjadi adenosin difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi.

30

2. Substansi

transmiter

perangsang

dan

penghambat

pada

sambungan

neuromuskuler (Guyton & Hall, 1997).


Substansi transmiter yang disekresi oleh saraf otonom yang mempersarafi
otot polos adalah acetil cholin dan norepinefrin, tetapi keduanya tidak pernah
disekresi oleh serat saraf yang sama. Pada beberapa organ, acetil cholin
merupakan substansi transmiter perangsang untuk serat otot polos tetapi juga
merupakan substansi penghambat untuk otot polos pada organ lainnya. Acetil
cholin dapat merangsang sebuah serat otot, saat acetil cholin merangsang sebuah
serat, norepinefrin biasanya

menghambatnya.

Acetil cholin juga dapat

menghambat sebuah serat otot, saat itu norepinefrin merangsangnya.


3. Stres-relaksasi otot polos (Guyton & Hall, 1997).
Gambaran penting dari otot polos khususnya jenis otot polos visera pada
banyak organ berongga adalah kemampuannya untuk kembali mendekati
kekuatan kontraksi asalnya dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit
setelah otot tersebut memanjang atau memendek. Pada peningkatan volume cairan
dalam kandung kemih yang berlangsung tiba-tiba dapat menimbulkan peregangan
otot polos dalam dinding kandung kemih, selanjutnya hal ini akan menghasilkan
peningkatan tekanan yang besar secara segera dalam kandung kemih Selama 15
detik berikutnya sampai bermenit-menit kemudian, meskipun terus terjadi
regangan pada dinding kandung kemih, tekanan akan kembali hampir tepat ke
nilai asalnya, kemudian bila volume meningkat lagi akibat penyebab yang lain,
akan kembali terjadi efek yang sama. Pada penurunan volume cairan dalam
kandung kemih secara tiba-tiba akan terjadi penurunan tekanan yang sangat
rendah tetapi dalam beberapa detik atau beberapa menit kemudian akan kembali

31

atau mendekati ke nilai asalnya. Fenomena ini disebut stres-relaksasi dan stresrelaksasi balik. Suatu organ berongga dapat mempertahankan besar tekanan yang
kurang lebih sama di dalam lumennya tanpa mempedulikan panjang serat otot
adalah kesimpulan dari pernyataan-pernyataan di atas.
4. Perangsangan otot polos visera oleh peregangan (Guyton & Hall, 1997).
Pada otot polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul potensial aksi
secara spontan bila diregangkan secukupnya. Respons terhadap peregangan ini
memungkinkan dinding otot polos visera berkontraksi secara otomatis dan karena
itu menahan regangan.
2.5.3

Mitokondria sebagai bagian dari sel


Mitokondria adalah organel yang mensuplai 95 % energi. Mitokondria

disebut sebagai rumah energi sel, tanpa mitokondria sel tidak akan dapat
menyadap jumlah energi yang bermakna dari bahan makanan dan oksigen, hal ini
dapat berakibat terhentinya semua fungsi sel. Pada dasarnya semua mitokondria
terdapat disemua bagian sitoplasma, tetapi jumlah total per sel sangat bervariasi
tergantung pada jumlah energi yang dibutuhkan oleh masing-masing sel (Guyton
& Hall, 1997).
Mitokondria terdiri dari dua membran protein lapis ganda yaitu sebuah
membran luar dan sebuah membran dalam. Banyak lipatan membran dalam
membentuk rak-rak yang merupakan tempat pelekatan enzim-enzim oksidatif.
Ruangan mitokondria bagian dalam dipenuhi dengan matriks yang mengandung
sejumlah besar larutan enzim yang dibutuhkan untuk menghisap energi dari bahan
makanan. Enzim-enzim ini bekerja sama dengan enzim-enzim oksidatif pada rak
untuk menyebabkan oksidasi dari bahan makanan, sehingga membentuk karbon

32

dioksida dan air. Energi yang dibebaskan digunakan untuk mensintesis sebuah
substansi berenergi tinggi yang disebut adenosin trifosfat (ATP). ATP kemudian
diangkut keluar dari mitokondria, dan berdifusi ke seluruh sel untuk
membebaskan energinya dimana saja dibutuhkan untuk melakukan fungsi sel
(Guyton & Hall, 1997).
2.5.4

Mekanisme latihan bladder-retention training


Bladder-retention training merupakan upaya untuk mengatasi enuresis.

Menurut Guyton dan Hall (1997), mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus
otot polos dinding kandung kemih (muskulus detrusor), dapat terjadi karena
rangsangan pada otot polos kandung kemih sebagai dampak dari latihan. Bladderretention training adalah latihan yang dapat menimbulkan rangsangan yang
meningkatkan aktifasi dari kimiawi, neuromuskuler, dan muskuler. Otot polos
kandung kemih (muskulus detrusor) mengandung filamen aktin dan miosin, yang
mempunyai sifat kimiawi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Proses
interaksi diaktifkan oleh ion kalsium, dan adeno trifosfat (ATP), selanjutnya
dipecah menjadi adeno difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi
muskulus detrusor kandung kemih. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat otot polos kandung kemih terutama saraf
parasimpatis yang merangsang untuk memproduksi acetil cholin, sehingga
mengakibatkan terjadinya regangan, kontraksi, dan peningkatan tonus otot
kandung kemih. Pada otot polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul
potensial aksi secara spontan bila diregangkan secukupnya. Respons terhadap
peregangan ini memungkinkan dinding otot polos visera berkontraksi secara
otomatis dan karena itu menahan regangan. Regangan pada muskulus detrusor

33

akan

mengakibatkan peningkatan kapasitas fungsional kandung kemih yang

selanjutnya akan terjadi peningkatan pengendalian kontraksi dan peningkatan


pengendalian tonus otot kandung kemih. Mekanisme melalui muskulus terutama
otot polos kandung kemih akan meningkatkan metabolisme pada mitokondria
untuk meningkatkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot polos kandung kemih
sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot polos kandung
kemih.

Peningkatan

kapasitas

fungsional

kandung

kemih,

peningkatan

pengendalian kontraksi serta peningkatan pengendalian tonus otot kandung kemih


akan mengakibatkan penurunan frekuensi enuresis.

2.6

Konsep Sistem Perkemihan

2.6.1

Organ yang berperan dalam sistem perkemihan


Sistem tubuh yang berperan dalam eliminasi urin antara lain:

1. Ginjal
Ginjal adalah organ retroperitoneal yang berjumlah dua buah, berada di
sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berfungsi mengatur komposisi
dan volume cairan tubuh dengan menyaring bagian dari darah untuk dibuang
dalam bentuk urin sebagai zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh, serta
menahan bagian-bagian yang masih diperlukan oleh tubuh. Nefron adalah unit
dari struktur ginjal yang berfungsi menyalurkan urin ke bagian pelvis kemudian
disalurkan melalui ureter ke kandung kemih (Hidayat, 2006).
2. Kandung kemih
Kandung kemih berfungsi sebagai penampung urin. Organ ini memiliki
bentuk menyerupai buah pir atau kendi. Kandung kemih terletak di dalam panggul

34

besar dan di belakang simpisis pubis. Basis adalah bagian terbawah dan fundus
adalah bagian atas. Dinding kandung kemih terdiri atas lapisan serus sebelah
luar,lapisan berotot, lapisan sub mukosa, dan lapisan mukosa dari epithelium
transisional (Nursalam, 2006). Detrusor adalah lapisan jaringan otot yang paling
dalam, memanjang di tengah dan melingkar. Pada dasar kandung kemih terdapat
lapisan tengah jaringan otot yang berbentuk lingkaran bagian dalam yang disebut
otot lingkar. Otot lingkar berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan
uretra, sehingga uretra dapat menyalurkan urin dari kandung kemih ke luar tubuh.
Kandung kemih bersambung dengan tiga saluran. Dua ureter bermuara secara
oblik di sebelah basis. Letak oblik ini dapat mencegah urin mengalir kembali ke
dalam ureter. Uretra keluar dari kandung kemih sebelah depan. Daerah segitiga
antara dua lubang ureter dan uretra disebut segitiga kandung kemih atau Trigonum
Vesika urinarius (Nursalam, 2006).
3. Uretra
Uretra merupakan organ yang memiliki fungsi untuk menyalurkan urin ke
bagian luar. Uretra dilapisi membran mukosa. Pada laki-laki panjang uretra 13,716,2 cm yang terdiri atas tiga bagian yaitu prostat, selaput (membran), dan bagian
yang berongga (ruang). Uretra berfungsi sebagai tempat pengaliran urin dan
sebagai sistem reproduksi. Pada perempuan hanya berfungsi menyalirkan urin ke
luar tubuh dan memiliki panjang 3,7-6,2 cm (Hidayat, 2006).
2.6.2

Proses berkemih
Berkemih ( mictio, mycturition, atau urination) adalah proses pengosongan

kandung kemih. Mekanisme berkemih terjadi ketika kandung kemih berisi urin.
Kemudian saraf-saraf akhir (reseptor) di dinding kandung kemih mendapat

35

rangsangan, dan rangsangan itu diteruskan melalui medulla spinalis ke pusat


pengontrol berkemih di korteks serebral. Pada anak-anak, kandung kemih dapat
menimbulkan rangsanan saraf akhir saat terisi 200-250 cc. Saat waktu berkemih
sudah tepat, otak mengenai impuls atau rangsangan melalui medula spinalis ke
neuromotorik di daerah sakral. Kemudian terjadi koneksasi otot detrusor dan
relaksasi otot sfingter internal. Urine dialirkan dari kandung kemih, tetapi masih
tertahan sfingter eksternal. Ketika sfingter eksternal relaksasi, urin akan
dikeluarkan dari tubuh (Hidayat, 2006).

Gambar 2.2 Saraf Membawa Sinyal Dari Otak Ke Kandung kemih Dan Sfingter
(National Institues of Diabetes and Digestives and Kidney Diseases, 2005)

2.7

Konsep Enuresis

2.7.1

Pengertian enuresis
Rosenstein

(1997)

mengemukakan

bahwa

enuresis

merupakan

pengeluaran urin secara involunter yang muncul setelah seorang anak mencapai
umur dimana pengontrolan kandung kemih biasanya sudah ada yaitu pada umur 4
tahun.

36

Enuresis adalah mengeluarkan urin di tempat tidur (biasanya malam hari),


atau ke dalam pakaian pada siang hari tanpa sengaja. Gangguan ini terjadi pada
anak-anak yang umumnya sudah lebih tua dimana kontrol kandung kemih
seharusnya telah mapan dan sempurna (Wong, 1999).
Menurut dunia kedokteran, enuresis atau ngompol adalah peristiwa tidak
dapat menahan keluarnya air kencing. Enuresis masih dianggap normal bila
terjadi pada anak balita. Tetapi hal ini perlu mendapat perhatian khusus jika terjadi
pada anak usia 5 atau lebih (Harjaningrum, 2005).
2.7.2

Penggolongan enuresis
Enuresis digolongkan dalam dua bagian, yaitu primer dan sekunder.

Enuresis primer adalah enuresis yang terjadi pada anak yang sejak lahir hingga
usia 5 tahun atau 6 tahun masih tetap ngompol. Enuresis sekunder adalah enuresis
yang terjadi pada anak yang pernah kering atau tidak mengompol selama
kurang lebih 6 bulan kemudian mendadak ngompol kembali (Harjaningrum,
2005).
Enuresis primer biasanya terjadi pada anak yang tidak pernah dapat
mengontrol kandung kemih, sedangkan enuresis sekunder biasanya terjadi pada
anak yang telah mempunyai kontrol kandung kemih tetapi tiba-tiba hilang. Pada
anak yang berusia kurang dari 5 tahun lebih sering mengalami enuresis primer,
sedangkan enuresis sekunder lebih sering terjadi pada anak yang berusia lebih dari
5 tahun (Rosenstein, 1997).
Enuresis dapat terjadi hanya waktu tidur malam hari (nocturnal), siang
hari (diurnal), atau keduanya. Tipe nocturnal adalah yang paling banyak terjadi
(Wong, 1999).

37

2.7.3

Etiologi dan patofisiologi enuresis


Penyebab enuresis belum dapat diketahui secara pasti. Menurut Gatzel

(1995), hal-hal yang diduga sebagai penyebab enuresis diantaranya adalah:


1. Enuresis primer, disebabkan karena adanya anomali kongenital dan penyakit
organik lain.
2. Enuresis sekunder, disebabkan karena adanya hal-hal berikut:
1) Riwayat krisis dirumah, seperti adanya kelahiran bayi.
2) Penyakit tersembunyi yang dapat menyebabkan poliuria, seperti:
Nefritis kronika, diabetes insipidus, diabetes mellitus.
3) Adanya beban psikologis.
Sedangkan menurut Harjaningrum (2005), ada beberapa penyebab
enuresis, yaitu:
1. Enuresis primer
Faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab enuresis primer adalah:
1) Keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP)
Pada anak yang normal, ketika kandung kemih sudah penuh oleh urin,
sistem syaraf di kandung kemih akan melapor ke otak, kemudian otak
akan mengirim pesan balik ke kandung kemih. Otak akan meminta
kandung kemih untuk menahan pengeluaran urin, sampai anak benarbenar telah siap di toilet. Tetapi pada anak dengan keterlambatan
matangnya SSP, proses ini tidak terjadi. Sehingga ketika kandung kemih
penuh, anak tidak dapat menahan keluarnya urin tersebut.
2) Faktor genetik

38

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa enuresis primer dapat terjadi


karena faktor keturunan. Jika orang tuanya mempunyai riwayat enuresis,
maka 77 % kemungkinan bahwa anak akan juga mengalami enuresis.
Sedangkan jika salah satu orang tua pernah mengalami enuresis, maka
terdapat kurang lebih 44 % kemungkinan anak akan mengalami hal yang
sama. Tapi jika tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami
enuresis, maka kemungkinan anak mengalami enuresis hanya 15 %.
Penelitian lain yang dilakukan pada 11 keluarga penderita enuresis, telah
berhasil mengidentifikasi gen (sepotong informasi dalam penurunan sifat
dari orang tua kepada anak) yang diduga dapat menyebabkan enuresis.
3) Gangguan tidur
Tidur yang sangat dalam (deep sleep) dapat menjadi penyebab enuresis.
Umumnya, pola tidur penderita normal. Tetapi, karena deep sleep tersebut,
anak menjadi tidak dapat terbangun ketika ingin berkemih.
4) Kadar ADH (Anti Diuretic Hormone) dalam tubuh yang kurang
Hormon ini akan menyebabkan tubuh seseorang memproduksi sedikit urin
pada malam hari. Tetapi, pada penderita enuresis primer, tubuh tidak
mampu menghasilkan ADH dalam jumlah yang cukup. Akibatnya, ketika
sedang tidur, tubuh akan menghasilkan urin dalam jumlah yang terlalu
banyak, dan terjadilah enuresis.
5) Kelainan anatomi seperti ukuran kandung kemih yang kecil
Hal ini bisa ditemukan pada penderita enuresis primer, biasanya disertai
gejala yang tampak pada siang hari.
2. Enuresis sekunder

39

Hal-hal yang biasanya dihubungkan dengan terjadinya enuresis sekunder


yaitu:

1) Stres kejiwaan
Pelecehan seksual, kematian dalam keluarga, pindah rumah, kelahiran
adik baru, perceraian orang tua merupakan keadaan yang dapat
menyebabkan stres kejiwaan yang akhirnya dapat menyebabkan enuresis
sekunder pada anak.
2) Kondisi fisik yang terganggu
Enuresis sekunder

juga bisa disebabkan oleh adanya infeksi saluran

kemih, diabetes mellitus, susah buang air besar.


3) Alergi
Alergi juga dapat menyebabkan enuresis sekunder.
2.7.4

Manifestasi kinik enuresis


Gejala utama enuresis adalah keadaan yang mendesak untuk berkemih,

keinginan segera berkemih, tidak dapat diam, disertai ketidaknyamanan yang tibatiba, dan frekuensi berkemih yang tidak tentu. Pada enuresis tipe nocturnal, anak
dapat ataupun tidak dapat merasakan keadaan yang mendesak untuk berkemih
tersebut. Meskipun anak merasakan keadaan yang mendesak untuk berkemih,
biasanya anak kesulitan bangun dari tidurnya, sehingga pengosongan spontan
(enuresis) terjadi ketika anak sedang tidur. Biasanya terjadi dalam beberapa
malam (Wong, 1999).
2.7.5

Evaluasi diagnostik enuresis

40

Gambaran penting pada tahap ini adalah jumlah dasar frekuensi enuresis
dan waktu terjadinya (Wong, 1999).
Hal-hal yang dilakukan pada tahap evaluasi diagnostik atau pengkajian
adalah:
1. Mengetahui riwayat kesehatan
Keluhan-keluhan yang muncul , penyakit yang diderita oleh keluarga, dan
riwayat alergi, dan obat-obatan yang sedang diminum ditanyakan untuk
mengetahui riwayat kesehatan. Selain itu, keluhan ketika berkemih seperti
urin tidak tuntas atau nyeri juga perlu ditanyakan (Harjaningrum, 2005).
Harus didapatkan pula riwayat enuresis pada anak, proses toilet training serta
usaha orang tua dalam menghadapi enuresis pada anak (Wong, 1999). Dalam
Santrock (2002) yang dikutip Binarwati (2006) menyatakan bahwa belum ada
data yang menyebutkan kapan waktu yang optimal untuk toilet training, tetapi
para ahli perkembangan menyatakan bahwa saat toilet training akan dimulai,
harus dilakukan dengan hangat, rileks, dan cara yang suportif. Menurut Mac
Keith (1973) yang dikutip oleh Douglas (1994) menggambarkan waktu
perkembangan kemampuan toilet training pada anak yaitu :
1) Usia 15-18 bulan

: anak sering merasa risih dengan baju yang basah


dan ingin diganti.

2) Usia 18-24 bulan

: anak sudah memiliki bahasa sendiri dalam


mengartikan feses dan urin.

3) Usia 24-36 bulan

: anak dapat mengkomunikasikan kebutuhannya


untuk buang air kecil atau buang air besar di
kamar mandi.

41

4) Lebih dari 3 tahun

: anak dapat menahan eliminasi untuk sementara


waktu.

Seringkali permasalahan yang sedang terjadi di rumah atau di sekolah juga


ditanyakan untuk menentukan tipe enuresis (Harjaningrum, 2005). Evaluasi
psikiatri perlu dilakukan jika yang terjadi adalah kesulitan secara psikis, atau
diduga etiologi primernya adalah gangguan kepribadian (Wong, 1999).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui etiologi fisik, seperti:
infeksi saluran kemih, kelainan stuktur perkemihan, defisit neurologis mayor,
nocturnal epilepsi, kelainan yang dapat meningkatnya urin out put (misalnya
diabetes mellitus, diabetes insipidus), serta kelainan yang mengganggu fungsi
ginjal (misalnya gagal ginjal kronis, penyakit sickle cell). Pemeriksaan ini
juga termasuk pemeriksaan kapasitas fungsional kandung kemih. Kapasitas
fungsional kandung kemih bisa didapatkan dengan menyuruh anak menahan
urinnya hingga dirasakan keinginan berkemih yang paling mendesak dan
paling kuat, kemudian mengosongkannya dengan berkemih di dalam tempat
khusus yang ada ukurannya. Volume kandung kemih 300-350 ml cukup untuk
menahan urin semalam (Wong, 1999). Schmitt (1990), yang dikutip Wong
(1999) menyatakan bahwa kapasitas fungsional kandung kemih anak usia 6
tahun adalah 8 ons.
3. Pemeriksaan tes urin
Pada umumnya tes urin juga dilakukan setelah diketahui riwayat kesehatan
dan pemeriksaan fisik. Walaupun biasanya hasil pemeriksaan tes urin pada
anak yang mengalami enuresis menunjukkan keadaan yang normal,

42

pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


penyebab lain (Harjaningrum, 2005).

2.7.6

Penanganan enuresis
Enuresis tidak selalu disebabkan oleh kelainan organik yang diketahui,

sehingga penanganannya pun dengan banyak cara (Wong, 1999). Menurut


Cendron (1999), penanganan enuresis dibagi dalam 2 kategori, yaitu: penanganan
dengan obat (pharmacologic therapy) dan tanpa menggunakan obat-obatan
(nonpharmacologic methods).
1. Terapi dengan obat (pharmacologic therapy)
Ada 3 jenis obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi enuresis yaitu:
1) Tricyclic antidepressant
2) Anticholinergic therapy
3) Desmopressin acetate (DDAVP)
2. Penanganan tanpa menggunakan obat (nonpharmacologic methods)
Beberapa metode yang digunakan dalam mengatasi enuresis pada anak yaitu:
1) Motivational therapy
2) Behavioral Conditioning
3) Bladder training exercises
Istilah ini juga dikenal dengan bladder-retention training. Metode ini
didasarkan pada anggapan yang benar bahwa anak yang mengalami
enuresis mempunyai penurunan kapasitas fungsional kandung kemih
(Johnson, 1998). Pada beberapa anak yang memiliki kapasitas kandung

43

kemih kecil, penggunaan bladder-retention training selama beberapa hari


dapat membantu meningkatkan kapasitas kandung kemih pada malam hari
(Cendron, 1999). Latihan ini dilakukan dengan menyuruh anak menahan
keluarnya urin selama beberapa waktu.
4) Hypnotherapy, diet therapy, dan psychotherapy
2.7.7

Dampak enuresis
Enuresis jika dibiarkan dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi

kehidupan anak di masa mendatang. Dampak secara sosial dan kejiwaan yang
ditimbulkan akibat enuresis sungguh mengganggu kehidupan seorang anak.
Biasanya anak menjadi tidak percaya diri, rendah diri, malu, dan hubungan sosial
dengan teman-temannya juga terganggu. (Harjaningrum, 2005). Anak menjadi
kurang bersosialisasi, takut tidur di luar rumah dan berkemah, anak merasa
berbeda dengan teman sebaya, merasa sedih, dan bersalah (Butler et al., 1994).
Butler et al. (1994) mengemukakan dampak enuresis pada kehidupan anak
yaitu:
1. Dampak psikologis
1) Anak menjadi kurang bersosialisasi, anak takut tidur di luar rumah, takut
berkemah, takut tidur bersama teman.
2) Anak takut keaadaannya diketahui oleh teman, anak menganggap ngompol
di usianya adalah hal yang memalukan sehingga perlu dirahasiakan.
3) Anak merasa berbeda dengan temannya, anak merasa malu dan
diperlakukan berbeda.
4) Anak menunjukkan reaksi emosional seperti bersedih, merasa bersalah.
2. Dampak non psikologis

44

1) Konsekuensi fisik seperti: menambah cucian kotor bagi orang tua, anak
terbangun dalam keadaan kotor.
2) Hygiene (kebersihan diri) seperti: kamar menjadi bau, mandi lebih pagi,
tidak bisa mengajak teman bermain di kamar.

2.8

Konsep Stres

2.8.1

Pengertian stres dan stresor

1.

Pengertian Stres
Konsep stres sebagai interaksi dan transaksi antara individu dengan

lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai model psikologi. Varian dari
model psikologi ini didominasi teori stres kontemporer dan terdapat dua tipe tegas
yang dapat diidentifikasi: interaksional dan transaksional ( Nursalam, 2005).
Menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan stain
(ketegangan) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan
lingkungan.

Interaksi

antara

manusia

dengan

lingkungan

yang

saling

mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional yang didalamnya terdapat


proses penyesuaian. Stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respons saja,
tetapi suatu agent yang aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi
perilaku, kognitif, dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stres yang
berbeda pada stresor yang sama (Nursalam, 2005).
Fokus pembentukan pada struktur hal yang penting dari interaksi individu
dengan lingkungannya, dimana terakhir ini telah banyak dikatakan dan didukung
dengan interaksi proses psikologi. Model transaksional adalah secara primer
diperhatikan dengan penghargaan kognitif dan koping. Dalam pengertiannya,

45

mereka menggambarkan sebuah pengembangan dari model interaksi (Nursalam,


2005).
Menurut Selye (1976) dalam Potter (2005) stres adalah segala situasi
dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespons
atau melakukan tindakan. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis
dan psikologis.
2. Pengertian Stresor
Stresor adalah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan.
Stresor menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan
tersebut bisa kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, spiritual, atau
kebutuhan kultural (Potter, 2005).
3. Sumber Stres
Stresor/sumber stres yang sering terjadi pada anak usia sekolah antara lain
(Muscari, 2005):
1) Kematangan seksual
2) Rasa malu
3) Kesehatan
4) Kompetisi
5) Tekanan dari teman sebaya
6) Keinginan untuk menggunakan obat-obatan
Terdapat 44 peristiwa penyebab stres bagi anak dalam sebuah skala yang
dikutip David Elkind dalam The Hurried Child. Stresor yang menyebabkan stres
paling tinggi adalah kematian orang tua dan perceraian orang tua. Selain itu, ada
beberapa stresor dari lingkungan sekolah, antara lain:

46

1) Kesulitan yang dialami di sekolah pada peringkat 13


2) Penyesuaian terhadap suasana baru di sekolah berada di peringkat 15
3) Mengalami peristiwa kekerasan di sekolah pada peringkat 20
4) Prestasi pribadi pada peringkat 25
5) Mengalami masalah dengan guru peringkat ke 30
6) Perubahan-perubahan atau pindah sekolah pada peringkat 33
7) Mendapat teman baru pada peringkat 36
Anak dapat mengalami stres yang bersumber dari keluarga, misalnya
kekurangan afeksi atau terlalu banyak afeksi dari orang tua, terlalu disiplin atau
dibebaskan oleh orang tua, sakit atau gangguan fisik, perubahan status keluarga.
Termasuk stres sekolah adalah hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas sekolah,
hubungan dengan guru, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan di
sekolah (Kisker 1987, dalam Iswinarti 1996).
Pada anak yang mengalami enuresis, bisa ditemukan adanya stres
kejiwaan. Stres ini dapat disebabkan oleh kondisi seperti pelecehan seksual,
kematian dalam keluarga, kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orang tua,
atau masalah psikis lainnya (Harjaningrum, 2005).
4. Mekanisme Stres
Stres tidak selalu bersifat negatif . Pada dasarnya stres merupakan responsrespons tertentu dari tubuh terhadap adanya tuntutan-tuntutan dari luar. Dengan
adanya berbagai tuntutan tersebut, tubuh manusia mengatasi dengan menciptakan
keseimbangan antara tuntutan luar, kebutuhan dan nilai-nilai internal, kemampuan
koping personal, dan kemampuan lingkungan untuk memberikan dukungan. Hasil
dari interaksi tersebut akan menghasilkan persepsi terhadap stres. Ketika stres

47

telah dipersepsikan secara positif dapat memotivasi manusia untuk lebih percaya
diri dan lebih berprestasi (Patel, 1996; dalam Wijayanti, 2006).
5.

Respons terhadap Stres

1)

Respons Fisiologis
Sistem limbik berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik, dan

sensori bawah sadar, serta perasan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan
(Lieben, 1999; Sholeh, 2005). Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus.
Selain berperan dalam mengatur perilaku, area ini banyak mengatur kondisi
internal tubuh seperti suhu tubuh osmolalitas cairan tubuh. Fungsi internal ini
disebut fungsi vegetatif otak, dan pengaturannya berhubungan erat dengan
perilaku (Guyton & Hall, 1997). Rangsangan pada hipotalamus menimbulkan
berbagai sekresi neurohormonal melalui HPA Axis yang merupakan dasar interaksi
immunoneurohormonal yang sangat sensitif

terhadap stres (Carlson, 1994;

Sholeh, 2003).
Peranan hipotalamus dalam hubungannya dengan fungsi emosional
vegetatif, dan endokrin dijelaskan pada alinea ini. Pengaruh emosi melalui
amigdala, dalam hal ini amigdala menerima signal neuronal dari semua bagian
kortek limbik seperti juga dari neokortek lobus temporal, parietal, dan oksipital,
terutama dari area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual. Karena hubungan
yang multipel ini amigdala disebut jendela yang dipakai oleh sistem limbik
untuk melihat kedudukan seseorang di dunia. Sebaliknya amigdala menjalarkan
sinyal-sinyal kembali (1) ke area kortikal yang sama; (2) ke hipokampus; (3)
septum; (4) talamus dan khususnya (5) ke hipotalamus. Efek yang dijalaran
melalui hipotalamus meliputi (1) peningkatan atau penurunan tekanan arteri; (2)

48

peningkatan atau penurunan frekuensi denyut jantung; (3) peningkatan atau


penurunan motilitas dan sekresi gastrointestinal; (4) defekasi dan miksi; (5)
dilatasi pupil atau konstriksi; (6) piloereksi; (7) sekresi beberapa hormon hipofisis
anterior, terutama hormon gonadotropin dan adrenokortikotropik (Guyton & Hall,
1997).
Stres dapat terjadi apabila stresor tidak dapat diatasi dan faktor penyebab
terlalu besar sehingga reaksi tubuh yaitu GAS mulai bekerja untuk melindungi
individu agar dapat bertahan hidup. GAS (General Adaptation Syndrome) pada
dasarnya merupakan reaksi fisiologis akibat rangsangan fisik dan psikososial.
Apabila individu terancam oleh stres, isyaratnya akan dikirim ke otak dan otak
mengirimkan informasi ini ke hipotalamus sehingga sistem saraf otonom, simpatis
terstimulasi. Akibatnya terjadi perubahan fisiologis berupa gejala sistem saraf
otonom yang akan mempersarafi untuk meningkatkan kerja medula adrenal
sehingga pelepasan epinefrin dan norepinefrin meningkat, dan akhrirnya terjadilah
stres (Suliswati, 2005).
2) Respon Psikologis
Perilaku adaptif psikologis individu membantu kemampuan seseorang
menghadapi stresor. Perilaku ini diarahkan pada penatalaksanaan stres dan
didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman. Perilaku adaptif psikologis
dapat konstruktif atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu individu
menerima

tantangan

untuk

menyelesaikan

konflik.

Perilaku

destruktif

mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan pemecahan masalah, kepribadian,


dan situasi yang sangat berat, kemampuan untuk berfungsi (Potter, 2005).
6. Gejala Stres

49

Menurut Goliszek (2005), gejala stres yang dialami seseorang meliputi:

1) Gejala Fisik:

Sakit kepala

Kelopak maa berkedip-kedip tanpa sadar

Hidung bergerak-gerak tanpa sadar

Rasa nyeri di muka atau di rahang

Mulut atau tenggorokan kering

Sulit menelan

Sariawan di lidah

Sakit leher

Pusing

Sulit berbicara, berbicara dengan ucapan yang kurang jelas

Sakit punggung

Nyeri otot, rasa lemah

Sembelit

Gangguan pencernaan, rasa mual, muntah

Sakit perut

Diare

Berat badan bertambah atau berkurang

Nafsu makan hilang atau selalu ingin makan

50

Kulit gatal-gatal dan merah, terkelupas

Sakit di bagian dada

Rasa panas di perut

Jantung berdebar-debar

Sering buang air kecil

Tangan dan kaki dingin

Berkeringat secara berlebihan

Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan

Hubungan seks tidak prima

Tekanan darah tinggi

Kelelahan kronis

Persendian bengkak

Alergi yang semakin sensitif

Sering menderita pilek dan flu

Gerakan otot gemetar dan atau gelisah tanpa sadar

Cenderung mengalami kecelakaan

Menstruasi secara berlebihan

Napas terengah-engah atau terganggu

2) Gejala Emosional

Mudah tersinggung

Suasana hati berubah-ubah

51

Depresi

Sikap agresif yang tidak normal

Kehilangan ingatan atau konsentrasi

Gelisah

Mimpi buruk

Berperilaku impulsif

Frustasi

Menarik diri dari orang lain

Tingkah laku neurotik

Amarah

Khawatir

Panik

Sering menangis

Mengalami periode kebingungan


Beberapa ahli seperti Davison dan Neale (1982), Atkinson (1990)

dalam Iswinarti (1996), mengungkapkan reaksi fisiologis dan psikologis yang


sering terjadi akibat stres adalah sebagai berikut:
1. Reaksi fisiologis: pusing, sakit kepala, capai lelah, sakit perut, mual-mual,
berdebar-debar, dada sakit, keringat dingin keluar.
2. Reaksi psikologis: sulit konsentrasi, ingin marah, mudah tersinggung, sedih,
gelisah, bingung, takut, cemas, khawatir, tidak punya semangat.
2.8.2

Mekanisme koping

52

Perilaku adaptif psikologis juga disebut mekanisme koping. Mekanisme


koping dapat berorientasi pada tugas, yang mencakup penggunaan teknik
pemecahan masalah secara langsung untuk menghadapi ancaman, atau dapat juga
mekanisme pertahanan ego, yang tujuannya adalah untuk mengatur distres
emosional dan dengan demikian memberikan perlindungan individu terhadap
ansietas dan stres. Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping terhadap
stres secara tidak langsung (Potter, 2005).

2.8.3

Penilaian tingkat stres anak


Penilaian tingkat stres anak dapat menggunakan skala tingkat stres anak

yang dibuat oleh Iswinarti (1996). Skala tingkat stres yang disusun berdasarkan
konsep stres yang merupakan reaksi fisiologis dan psikologis yang terjadi jika
seseorang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan
kemampuan tersebut.
Beberapa ahli seperti Davison dan Neale (1982), Atkinson (1990) dalam
Iswinarti (1996), mengungkapkan reaksi fisiologis dan psikologis yang sering
terjadi akibat stres adalah sebagai berikut :
1. Reaksi fisiologis: pusing, sakit kepala, capai lelah, sakit perut, mual-mual,
berdebar-debar, dada sakit, keringat dingin keluar.
2. Reaksi psikologis: sulit konsentrasi, ingin marah, mudah tersinggung, sedih,
gelisah, bingung, takut, cemas, khawatir, tidak punya semangat.

2.9 Konsep Tidur


2.9.1

Pengertian tidur

53

Tidur merupakan suatu kondisi penurunan kesadaran yang terjadi selama


periode tertentu, dimana setelah periode tersebut dilalui, seseorang merasa
mempunyai energi baru untuk melakukan aktifitas. Tidur beberapa saat mampu
menormalkan sistem tubuh, sehingga sistem tubuh bisa kembali berfungsi (Potter
& Perry, 1997).
2.9.2

Siklus tidur
Di dalam sekali tidur, anak normal bisa melewati beberapa siklus tidur,

yang terdiri dari: satu tahap tidur gerakan mata cepat (Rapid Eye Movement
Sleep/REM) dan empat tahap tidur gerakan mata lambat (Non Rapid Eye
Movement Sleep/NREM). Pola siklus dimulai dari NREM 1- NREM 2- NREM 3NREM 4- NREM 3- NREM 2 dan diakhiri tahap REM (Perry & Potter, 1997).
Tahapan siklus tidur menurut Potter (2005) yaitu:
1. Tahap NREM 1
1) Tahap yang meliputi tingkat paling dangkal dari tidur.
2) Tahap berakhir beberapa menit.
3) Pengurangan aktifitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara
bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme.
4) Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara.
5) Ketika terbangun, seseorang merasa seperti telah melamun.
2. Tahap NREM 2
1) Merupakan periode tidur bersuara.
2) Kemajuan relaksasi.
3) Untuk terbangun masih relatif mudah.
4) Tahap berakhir 10-20 menit.

54

5) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban.


3. Tahap NREM 3
1) Tahap yang meliputi tahap awal dari tidur dalam.
2) Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak.
3) Otot-otot dalam keadaan santai penuh.
4) Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur.
5) Tahap berakhir 15-30 menit.

4. Tahap NREM 4
1) Merupakan tahap tidur dalam.
2) Sangat sulit untuk dibangunkan.
3) Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama terjaga.
4) Tidur sambil bejalan dan enuresis dapat terjadi.
5. Tahap REM
1) Dapat terjadi mimpi yang penuh warna dan tampak hidup.
2) Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur.
3) Hal ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat,
fluktuasi jantung dan kecepatan respirasi serta peningkatan atau fluktuasi
tekanan darah.
4) Penurunan tonus otot skelet.
5) Peningkatan sekresi lambung.
6) Sangat sulit dibangunkan.
7) Durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20 menit.
2.9.3

Kebutuhan tidur

55

Menurut William (1971) dalam Carpenito (2000), jumlah kebutuhan tidur


berbeda pada tiap usia.
Tabel 2.1 Jumlah Kebutuhan Tidur Sesuai Usia
(William, 1971 dalam Carpenito, 2000)
Umur
Lama Tidur
(Jam)
Bayi baru lahir
14-18
6 Bulan
12-16
6 bulan-4 tahun
12-13
5-13 tahun
7-8,5
13-21 tahun
7-8,75
Dewasa kurang dari 60 tahun
6-9
Dewasa diatas 60 tahun
7-8
2.9.4 Gangguan tidur pada anak
Menurut Harjaningrum (2005), gangguan tidur yang bisa menyebabkan
enuresis terutama enuresis primer adalah anak mengalami tidur dalam (deep
sleep). Pola tidur secara umum normal, tapi akibat tidur yang sangat dalam
tersebut, anak sulit terbangun ketika ingin buang air kecil.
Gangguan tidur telah diklasifikasikan menjadi empat kategori utama
sesuai dengan modifikasi dari American Sleep Disorders Association:The
international classification of sleep disorder:diagnostic and coding manual,
Rochesters, 1990, Allen Press (Thorpy, 1994; dalam Potter, 2005).
Tabel 2.2 Klasifikasi Gangguan Tidur (Thorpy, 1994; dalam Potter, 2005)
Klasifikasi Gangguan Tidur

56

1. Disomnia
Gangguan tidur intrinsik
Insomnia psikofisiologis
Narkolepsi
Sindrom apnea tidur obstruktif
Gangguan gerakan ekstremitas
periodik
Gangguan tidur ekstrinsik
Higiene tidur yang tidak
adekuat
Sindrom tidur yang tidak
adekuat
Gangguan tidur tergantung
hipnotik
2. Parasomnia
Gangguan terjaga
Berjalan dalam tidur
Teror tidur
Gangguan
transisi
tidurbangun
Berbicara dalam tidur
Kram tungkai nokturnal
Parasomnia
biasanya
berkaitan dengan tidur REM
Mimpi buruk
Gangguan perilaku tidur REM

Parasomnia yang lain


Bruksisme
tidur
(menggeretakkan gigi)
Enuresis tidur (ngompol)
Sindrom kematian bayi
mendadak
Gangguan
tidur
tergantung alkohol
Gangguan
tidur
irama
sirkadian
Sindrom perubahan waktu tidur
(jet lag)
Gangguan tidur karena jam
kerja
Sindrom fase tidur tertunda

3.Gangguan tidur yang berhubungan 4.Gangguan tidur yang masih


diusulkan
dengan
Gangguan
tidur
yang
Gangguan medis/ psikiatrik
berhubungan dengan menstruasi
Gangguan alam perasaan
Sindrom tersedak sewaktu tidur
Gangguan kecemasan
Gangguan neurologis
Demensia
Parkinsonisme
Gangguan medis lainnya
Iskemia jantung nokturnal
Penyakit
paru
obstuktif
menahun

2.10 Konsep Anak Usia Sekolah


2.10.1 Pertumbuhan anak usia sekolah

57

Anak usia sekolah adalah periode yang dimulai saat anak berusia 6 tahun
dan berakhir pada usia 12 tahun. Selama periode ini anak menjadi lebih baik
dalam berbagai hal; misalnya, anak dapat berlari lebih cepat dan jauh sesuai
perkembangan kecakapan dan daya tahannya (Potter, 2005).
Pertumbuhan adalah perubahan pada kuantitas yang maknanya terjadi
pada jumlah dan ukuran sel (Pilliteri, 2002). Pertumbuhan berkaitan dengan
perubahan yang bersifat kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Akibat
proses ini, anak menjadi lebih besar secara fisik, ukuran dan struktur organ dalam
seperti otak juga meningkat. Anak tumbuh baik secara fisik maupun secara
mental. (Hurlock, 2005).
Pada anak usia sekolah laju pertumbuhan selama tahun pertama sekolah
lebih lambat dari pada setelah lahir tetapi meningkat secara tarus menerus. Anak
usia sekolah tampak lebih langsing daripada anak usia pra sekolah, sebagai akibat
dari perubahan distribusi dan ketebalan lemak. Rata-rata tinggi badan meningkat 5
cm per tahun dan berat badan yang lebih bervariasi, meningkat 2-3,5 kg per tahun
(Potter, 2005).
Perubahan lain pada anak usia sekolah antara lain:
1. Kardiovaskuler: frekuensi jantung rata-rata 70-90 denyut per menit dan
tekanan darah normal kira-kira 110/70 mmHg. Fungsi kardiovaskuler baik dan
stabil selama tahun usia sekolah. Pada akhir periode ini jantung 6 kali
ukurannya dari saat lahir dan umumnya sudah mencapai ukuran dewasa
(Potter, 2005).

58

2. Pulmonal: frekuensi pernapasan stabil 19-21 kali per menit. Pertumbuhan


paru-paru minimal dan pernapasan menjadi lebih lambat, lebih dalam, dan
teratur (Potter, 2005).
3. Gastrointestinal: kematangan sistem gastrointestinal ditunjukkan dengan
penurunan gangguan perut, pemeliharaan level gula darah, dan peningkatan
kapasitas perut. Hal ini memungkinkan penyimpanan makanan dalam waktu
yang kebih lama (Whaley, 2001). Anak usia sekolah mempunyai kebutuhan
nutrisi yang menurun berhubungan dengan ukuran tubuh. Rata-rata kalori
yang dibutuhkan setiap hari adalah 2400 kalori. Selain nutrisi kesehatan gigi
pada anak usia sekolah juga harus diperhatikan. Pada anak usia sekolah mulai
usia 6 tahun, gigi permanen tumbuh dan secara bertahap anak kehilangan gigi
desidua. Karies, maloklusi, dan penyakit periodontal semakin jelas pada
kelompok usia ini (Muscari, 2005).
4. Neuromuskular: koordinasi otot besar meningkat dan kekuatannya menjadi
dua kali lipat sehingga anak menjadi lebih lentur. Banyak anak berlatih
keterampilan motorik dasar yaitu berlari, melompat, menyeimbangkan gerak
tubuh, melempar dan menangkap selama bermain, menghasilkan peningkatan
fungsi dan keterampilan neuromuskular (Potter, 2005).
5. Eliminasi: anak usia sekolah, mulai dari 6 tahun, sebanyak 85 % memiliki
kendali penuh terhadap kandung kemih dan defekasi. Pengeluaran defekasi
rata-rata 1-2 kali per hari, sedangkan pengeluaran urine terjadi 6-8 kali per
hari. Volume urine rata-rata 500-1000 ml per hari. Masalah yang umum terjadi
pada anak usia sekolah adalah enuresis dan encopresis (Muscari, 2005).
2.10.2 Perkembangan anak usia sekolah

59

Menurut Supartini (2002) perkembangan anak berhubungan dengan


perubahan yang terjadi secara kualitas, diantaranya terjadi peningkatan kapasitas
individu untuk berfungsi, yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan
dan pembelajaran. Hurlock (2005) menyatakan bahwa perkembangan berkaitan
dengan kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan didefinisikan sebagai deretan
progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. Kata progresif menandai
bahwa perubahan terarah membimbing anak maju bukan mundur. Kata teratur dan
koheren menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang terjadi,
yang telah mendahului, atau yang akan mengikutinya.
Berdasarkan teori perkembangan psikoseksual dari Freud, anak usia
sekolah memasuki fase laten. Pada fase ini anak memiliki sedikit ketertarikan
dalam seksualitasnya. Beberapa anak melakukan permainan seks dan masturbasi
secara sembunyi-sembunyi karena hal ini tidak diperbolehkan oleh orang tua.
Contoh lain yang menunjukkan ketertarikan seksualnya adalah keinginan anak
untuk melihat majalah dewasa. Dengan demikian edukasi dan penekanan tentang
seksualitas sangat dibutuhkan terutama darikelompokteman sebaya, orang tua, dan
guru (Potter, 2005).
Berdasarkan teori perkembangan psikososial dari Erikson, tugas
perkembangan anak usia sekolah adalah industri versus inferioritas. Dalam masa
ini anak berusaha untuk mendapatkan kompetensi dan keterampilan yang penting
bagi mereka. Anak usia sekolah yang memperoleh keberhasilan positif akan
merasa berharga. Sebaliknya, anak yang menghadapi kegagalan dapat merasakan
mediokritas (biasa saja) atau perasaan tidak berharga. Hal ini dapat

60

mengakibatkan perilaku menarik diri dari sekolah dan teman sebaya (Potter,
2005).
Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari Piaget, anak usia 7-11 tahun
berada dalam tahap kongkret operasional. Tahap ini ditandai dengan penalaran
induktif, tindakan logis, dan pikiran kongkret yang reversibel. Karakteristik
spesifik pada tahap ini antara lain (Muscari, 2005) :
1. Transisi dari egosentris ke pemikiran objektif, seperti bertanya, melihat dari
sudut pandang orang lain.
2. Berfokus pada kenyataan fisik saat ini disertai ketidakmampuan melihat untuk
melebihi kondisi saat ini.
3. Mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah yang jauh, masa depan atau
hipotesis.
4. Perkembangan berbagai klasifikasi mental dan aktifitas yang diminta.
5. Perkembangan prinsip konservasi yaitu: volume, berat, massa, dan angka.
Perkembangan bahasa sangat cepat selama masa kanak-kanak tengah.
Anak usia 6 tahun memiliki kosakata sekitar 3000 kata yang cepat berkembang
dengan meluasnya pergaulan serta kemampuannya membaca. Pada akhir periode
ini penggunaan bahasa sama dengan orang dewasa (Muscari, 2005).
Berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg, anak berada pada
fase konvensional tahap konformitas peran, biasanya pada usia 10-13 tahun.
Anak- anak mempunyai keinginan yang tinggi untuk menyenangkan orang lain.
Mereka juga ingin dianggap baik oleh orang-orang yang pendapatnya mereka
anggap penting (Muscari, 2005).
2.10.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

61

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.


Faktor satu dengan yang lain dapat saling tumpang tindih. Faktor-faktor tersebut
adalah (Markum, 1999):
1. Faktor genetik
Merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang.
Termasuk dalam faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal
maupun patologik, jenis kelamin, dan suku bangsa/bangsa (Markum, 1999).
Marlow (1988) yang dikutip Supartini (2002) mengemukakan bahwa faktor
pertumbuhan yang dapat diturunkan (herediter) adalah jenis kelamin, ras, dan
kebangsaan. Menurut Harjaningrum (2005), sebuah penelitian menunjukkan
bahwa enuresis, terutama enuresis primer dapat terjadi akibat faktor
keturunan. Sebanyak 77 % kemungkinan bahwa anak mengalami enuresis jika
orang tuanya mempunyai riwayat enuresis. Anak laki-laki lebih sering
mengalami enuresis dibandingkan dengan anak perempuan.

2. Faktor lingkungan
Berbagai keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang
anak lazim digolongkan menjadi lingkungan biopsikososial, yang meliputi
komponen biologis (fisis), psikologis, ekonomi, sosial, politik, dan budaya
(Markum, 1999).
1) Lingkungan biologis (fisis), meliputi :
a. Kesehatan tubuh atau organ (seperti keadaan sakit, hormon dan saraf).

62

Pengaruh penyakit kronis seperti tuberculosis, penyakit ginjal dapat


menghambat

pertumbuhan.

Faktor

lain

yang

mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak adalah hormon, tiga hormon


utama yaitu hormon somatotropin, hormon tiroid, dan hormon
gonadotropin. Selain hormon dan penyakit otak dan saraf juga
mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan. Otak sebagai growth
centre yang diperkirakan terletak di hipotalamus (Narendra, dkk,
2002).
b. Keadaan gizi
Untuk pertumbuhan secara normal, kecukupan pangan yang essensial
baik kualitas maupun kuantitas sangat diperlukan. Anak dapat
mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan karena kurang
adekuatnya asupan zat gizi (Narendra, dkk, 2002).
c. Perumahan,

kebersihan

lingkungan,

fasilitas

kesehatan,

serta

pendidikan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan


anak (Narendra, dkk, 2002). Musim dan iklim sebagai lingkungan
fisis juga mempengaruhi proses ini (Narendra, dkk, 2002).
2) Lingkungan psikologis berhubungan dengan keadaan sosial, meliputi:
a. Kesehatan jiwa atau keadaan emosi.
b. Faktor

emosi

dapat

berpengaruh

terhadap

pertumbuhan

dan

perkembangan, misalnya tekanan batin atau stres (Narendra, dkk,


2002). Orang tua yang menerapakan toilet training (tahapan
perkembangan anak untuk mengontrol buang besar dan buang air
kecil) terlalu cepat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan

63

perkembangan seperti enuresis . Hal ini terjadi karena anak


menjalaninya dengan penuh tekanan atau stress (Andaryani, 2003).
c. Pengaruh keluarga dan masyarakat, nilai sosial ekonomi, budaya,
tradisi, adat, dan agama (Narendra, dkk, 2002). Keluarga dengan latar
belakang pendidikan rendah juga sering kali tidak dapat, tidak mau,
atau tidak meyakini pentingnya penggunaan fasilitas kesehatan,
misalnya imunisasi atau stimulasi tumbuh kembang pada anak
(Supartini, 2002).
3) Lingkungan politik berhubungan dengan budaya, misalnya: dalam hal
menentukan prioritas, kebijakan tindakan, jumlah anggaran (Markum,
1999). Olahraga/latihan fisik juga memiliki dampak pada pertumbuhan
fisik maupun psikososial anak (Supartini, 2002). Lingkungan pranatal dan
faktor persalinan juga mempengaruhi tumbuh kembang anak (Narendra,
dkk, 2002).
3. Faktor perilaku
Perilaku yang sudah tertanam ketika masa anak-anak akan terbawa dalam
kehidupan selanjutnya. Belajar, sebagai aspek utama akulturasi, merupakan
proses pendidikan yang dapat mengubah dan membentuk perilaku anak
(Markum, 1999).

64

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1

Kerangka Konseptual

Faktor penyebab enuresis primer:


-Keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP)
-Faktor genetik

Faktor penyebab enuresis


sekunder:

-Gangguan tidur
-Kadar ADH dalam tubuh yang kurang
-Kelainan anatomi : ukuran kandung kemih yang kecil

-Kondisi fisik yang


terganggu
-Alergi

-Stres kejiwaan

65

Enuresis (+)

Pembelajaran
Bladder-retention training

Proses belajar: learning,


judgments, emotion.
Kognisi

Emosi (+)
Persepsi (+)
Koping (+)

Kemampuan bladder-retention training (+)

Pengetahuan ()

Sikap (+)

Praktik ()

Rangsangan Kimiawi ()
Aktin+Miosin
Ion kalsium&ATP

Rangsangan Muskuler (otot polos) ()


Rangsangan
Neuromuskuler
()
Rangsangan pada serat otot polos

Metabolisme pada mitokondria


Acetil Cholin

ADP
Energi
Keterangan :

Otot polos kandung kemih meregang


fungsional kandung kemih ()

kapasitas

ATP
Energi

Kontraksi&tonus otot kandung kemih ()

: Diukur

Frekuensi enuresis ()

: Tidak diukur
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Bladder-Retention Training Terhadap Perubahan
Kemampuan Dan Enuresis Pada Anak Usia Sekolah (7-10 tahun)

Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab enuresis. Beberapa


faktor itu adalah keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP),
faktor genetik, gangguan tidur, kadar ADH dalam tubuh yang kurang, kelainan
anatomi: ukuran kandung kemih yang kecil, stres kejiwaan, kondisi fisik yang
terganggu dan alergi (Harjaningrum,2005). Pada anak usia sekolah kemampuan
mengatasi enuresis kurang. Menurut Norby (2005) enuresis merupakan masalah
yang dapat membuat frustasi

orang tua. Enuresis juga dapat mempengaruhi

66

kehidupan anak, anak jadi pendiam, pemalu, bahkan rendah diri. Karena itu
enuresis pada anak usia sekolah harus ditangani dengan penanganan yang tepat.
Perawat sebagai edukator dapat membantu orang tua dan anak dalam
mengidentifikasi masalah serta memberikan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi enuresis pada anak usia sekolah. Pendidikan tersebut dapat melalui
pembelajaran bladder-retention training. Berdasarkan teori transformasi, proses
belajar adalah transformasi dari masukan (input) dalam hal ini berupa
pembelajaran bladder-retention training lalu direduksi, diuraikan, disimpan,
ditemukan kembali, dan dimanfaatkan. Transformasi dari masukan sensoris
bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan
(Notoatmodjo, 2003). Mekanisme belajar merupakan suatu proses di dalam sistem
adaptasi (cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi dengan kata
lain proses kendali kognisi berhubungan dengan fungsi otak yang tinggi terhadap
persepsi atau proses informasi, pengambilan keputusan, dan emosi baik dalam
bentuk implisit maupun eksplisit. Persepsi proses informasi juga berhubungan
dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan. Persepsi yang positif berdampak pada
koping yang positif. Penggunaan koping yang positif akan berpengaruh terhadap
perubahan perilaku manusia, dalam hal ini kemampuan bladder-retention training
(Nursalam, 2003). Perubahan kemampuan anak meliputi aspek pengetahuan,
sikap, dan praktik. Identifikasi peningkatan ketiga aspek ini menunjukkan adanya
perubahan

kemampuan

anak

sebagai

output.

Peningkatan

kemampuan

pengetahuan, sikap, dan praktik ini diharapkan akan dapat menurunkan frekuensi
enuresis pada anak usia sekolah.

67

Bladder-retention training merupakan upaya untuk mengatasi enuresis.


Menurut Guyton dan Hall (1997), mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus
otot polos dinding kandung kemih (muskulus detrusor), dapat terjadi karena
rangsangan pada otot polos kandung kemih sebagai dampak dari latihan. Bladderretention training adalah latihan yang dapat menimbulkan rangsangan yang
meningkatkan aktifasi dari kimiawi, neuromuskuler, dan muskuler. Otot polos
kandung kemih (muskulus detrusor) mengandung filamen aktin dan miosin, yang
mempunyai sifat kimiawi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Proses
interaksi diaktifkan oleh ion kalsium, dan adeno trifosfat (ATP), selanjutnya
dipecah menjadi adeno difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi
muskulus detrusor kandung kemih. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat otot polos kandung kemih terutama saraf
parasimpatis yang merangsang untuk memproduksi acetil cholin, sehingga
mengakibatkan terjadinya regangan, kontraksi, dan peningkatan tonus otot
kandung kemih. Pada otot polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul
potensial aksi secara spontan bila diregangkan secukupnya. Respons terhadap
peregangan ini memungkinkan dinding otot polos visera berkontraksi secara
otomatis dan karena itu menahan regangan. Regangan pada muskulus detrusor
akan

mengakibatkan peningkatan kapasitas fungsional kandung kemih yang

selanjutnya akan terjadi peningkatan pengendalian kontraksi serta peningkatan


pengendalian tonus otot kandung kemih. Mekanisme melalui muskulus terutama
otot polos kandung kemih akan meningkatkan metabolisme pada mitokondria
untuk meningkatkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot polos kandung kemih
sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot polos kandung

68

kemih.

Peningkatan

kapasitas

fungsional

kandung

kemih,

peningkatan

pengendalian kontraksi serta peningkatan pengendalian tonus otot kandung kemih


akan mengakibatkan penurunan frekuensi enuresis.

3.2

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang ditetapkan pada penelitian ini adalah:

H1 :

1. Ada pengaruh bladder-retention training terhadap peningkatan


kemampuan praktik bladder-retention training pada anak usia
sekolah.
2. Ada pengaruh bladder-retention training terhadap penurunan
frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.

BAB 4
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu metode pemilihan dan perumusan masalah


serta hipotesis untuk memberikan gambaran mengenai metode dan teknik yang
hendak digunakan dalam melakukan suatu penelitian (Tjokronegoro, 1999).

69

Menurut Nursalam & Pariani (2000) metode penelitian merupakan suatu cara
yang digunakan untuk memecahkan masalah menurut keilmuan. Dalam bab ini
akan diuraikan tentang: (1) desain penelitian, (2) kerangka kerja, (3) desain
sampling meliputi populasi, sampel, dan sampling (4) identifikasi variabel, (5)
definisi operasional, (6) pengumpulan data, (7) analisis data, (8) etik penelitian,
dan (9) keterbatasan dalam penelitian.

4.1

Desain Penelitian
Menurut Nursalam (2003) desain penelitian adalah suatu strategi

penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan

sebelum perencanaan akhir

pengumpulan data. Berdasarkan tujuan penelitian, maka desain penelitian yang


digunakan adalah Quasy Experiment Design bentuk Pre-Post Test Non
Randomized Control Group Design.

Subyek
K-A.
K-B.

Pra
O
O
Time 1.

Keterangan :
K-A.

: Subyek perlakuan

K-B.

: Subyek kontrol

Perlakuan
I
Time 2.

Post
O1-A.
O1-B.
Time 3.

70

: Observasi sebelum bladder-retention training

: Intervensi (bladder-retention training)

O1( A + B )

: Observasi kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah


(kelompok perlakuan dan kelompok kontrol)

4.2

Kerangka Kerja
Kerangka kerja merupakan salah satu tahap dalam penelitian. Pada

kerangka kerja disajikan alur penelitian, terutama variabel yang akan digunakan
dalam penelitian (Nursalam,2003). Kerangka kerja yang digunakan pada
penelitian disajikan pada bagan berikut:
Populasi terjangkau:anak usia sekolah yang mengalami
enuresis (N=16 anak)

71

Sampling
(purposive
sampling)

Pre test (8 anak)


Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan, frekuensi enuresis, stres, dan
gangguan tidur
Intervensi
Bladder-retention training

Tidak mendapat intervensi


(kelompok kontrol)

Sampel sesuai dengan kriteria


inklusi (n=16 anak)

Pengumpulan data

Pre test (8 anak)


Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan, frekuensi enuresis,stres, dan
gangguan tidur

Post test
Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan dan frekuensi enuresis

Post test
Observasi, & wawancara terstruktur untuk
kemampuan dan frekuensi enuresis

Analisis data
Wilcoxon Signed Rank test & Mann Whithney U Test
Paired T Test & Independent T Test

72

Hasil

Desiminasi hasil
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitien Pengaruh Bladder-retention Training Terhadap
Perubahan Kemampuan Dan Enuresis Pada Anak Usia Sekolah (7-10 tahun)

4.3

Desain Sampling

4.3.1

Populasi
Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia,

pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2003).


Menurut Sastroasmoro (2002), populasi dalam penelitian merupakan
sekelompok subyek atau data dengan karakteristik tertentu. Dikenal pula istilah
populasi target yaitu populasi yang memenuhi sampling kriteria dan dijadikan
sasaran akhir penelitian, dan populasi terjangkau yaitu populasi yang memenuhi
kriteria penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dalam kelompoknya
(Nursalam, 2003).
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua anak usia sekolah
yang mengalami enuresis di SDN. Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri pada bulan Maret-April 2007. Besar populasi
sebanyak 16 anak.
4.3.2

Sampel
Sampel

adalah

subset

atau

bagian

dari

populasi

yang

diteliti

(Sastroasmoro, 2002). Pengertian sampel menurut Nursalam (2003) adalah bagian


dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian
melalui sampling. Dari data tentang populasi di atas akan diseleksi kriteria sampel
yang terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel pada penelitian ini

73

ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subyek penelitian


dari suatu populasi target yang terjangkau oleh peneliti (Nursalam, 2003).
1) Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Anak usia (7-10 tahun)
2. Anak mengalami enuresis atau ngompol
3. Anak bersedia menjadi responden
4. Anak bersekolah di lokasi penelitian
5. Belum pernah mendapat pembelajaran bladder-retention training
6. Anak yang kooperatif
2) Kriteria eksklusi pada penelitian ini ditetapkan dengan mengeluarkan atau
menghilangkan subyek dari penelitian karena berbagai sebab dengan kata lain
tidak layak untuk diteliti atau tidak memenuhi kriteria inklusi pada saat
penelitian berlangsung (Nursalam & Pariani, 2000). Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah:
1. Anak yang menolak menjadi subyek penelitian
2. Anak memiliki cacat fisik dan mental
3. Anak yang sedang sakit
Besar sampel adalah banyaknya anggota yang dijadikan sampel (Zainudin,
1999). Penentuan besar sampel harus mempertimbangkan salah satunya unit
analisis yaitu faktor yang dipertimbangkan oleh peneliti dalam menentukan
besarnya sampel disamping pendekatan, ciri-ciri khusus yang ada pada populasi
dan keterbatasan yang ada (Arikunto, 2000). Besar sampel dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

74

N .Z 2 . p.q
n= 2
d ( N 1) z 2 . p.q

n=

16.(1,96) 2 .0,5.0,5
0,05 2 (16 1) (1,96) 2 0,5.0,5

n = 15,4
n = 16
Jadi perkiraan besar sampel adalah 16 anak.
Keterangan :
n

Perkiraan besar sampel

N :

Perkiraan besar populasi

Nilai standar normal untuk = 0,05 (1,96)

Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50 %

1 p (100% - p)

Tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)

(Nursalam, 2003)
4.3.3

Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2003). Teknik pengambilan sampel pada penelitian


ini dilakukan secara purposive sampling (judgement sampling) yaitu suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan
yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2003).

4.4

Identifikasi Variabel

4.4.1

Variabel independen

75

Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang nilainya


menentukan variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini variabel
independennya adalah bladder-retention training, stres, gangguan tidur.
4.4.2

Variabel dependen
Variabel dependen (variabel tergantung) adalah variabel yang nilainya

ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini variabel
dependennya adalah kemampuan anak dalam praktik serta frekuensi enuresis
pada anak usia sekolah.

4.5

Definisi Operasional
Menurut Nursalam (2003), definisi operasional adalah pemberian arti atau

makna pada masing-masing variabel berdasarkan karakteristik masing-masing


variabel untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi agar memberikan
pemahaman yang sama kepada setiap orang mengenai variabel-variabel yang
dirumuskan dalam suatu penelitian.
Tabel 4.1 Tabel Definisi Operasional Variabel Yang Diteliti:
Variable
Variabel
independen:
Bladderretention
training

Definisi

Bladderretention
training adalah
prosedur latihan
yang bertujuan
untuk
meregangkan
kandung kemih
sehingga dapat
menampung
volume
urin
yang lebih besar

Parameter

Alat Ukur

Latihan dilakukan SAP


3x seminggu selama
4
minggu,
tiap
pertemuan
@30
menit (disesuaikan).
Bladder-retention
training dilakukan
dengan
prosedur
sebagai berikut:
Menganjurkan
anak minum 500
ml air putih

Skala
data
-

Skor

76

Meminta
anak
untuk menahan
keinginan
berkemih selama
mungkin dengan
mengalihkan
perhatian
dari
keinginan
berkemih ke halhal yang lain
Mencatat waktu
ketika
anak
mengindikasikan
keinginannya
untuk berkemih
sebagai start
Meminta
anak
untuk berkemih di
toilet
Mencatat waktu
antara start dan
berkemih
Menganjurkan
anak
untuk
menambah waktu
penundaan
berkemih
pada
pertemuan
berikutnya
Memberi pujian
untuk usaha dan
keberhasilan anak
Menggunakan
grafik
untuk
memonitor waktu
penundaan
berkemih
Stres anak usia Respon
fisik
Wawancara Ordinal
sekolah
dan emosi yang
terstruktur
timbul
akibat 1. Respon fisik
Skala
adanya tuntutan Pusing,
sakit tingkat stres
pada anak usia
anak
kepala
sekolah
Capek, lelah
Sakit perut
Berdebar-debar,
deg-degan
Keringat dingin
2. Respon emosi
Sulit konsentrasi
Ingin
marah,
mudah

Terdiri dari 8
item penilaian
skala tingkat
stres
anak
dengan
rentang skor
penilaian
masingmasing item
0-8. Penilaian
sub item :
Jawaban YA
mendapat
nilai 1 dan
jawaban

77

tersinggung
Gelisah, bingung,
sedih
Cemas, khawatir,
takut
Merasa
malas,
tidak
punya
semangat

Gangguan tidur Keadaan yang


anak
usia tidak seimbang
sekolah
pada
pemenuhan
kebutuhan tidur
anak
usia
sekolah

Variable
dependen:
Kemampuan
anak :
Praktik

TIDAK
mendapat
nilai 0
Penggolongan
responden ke
dalam
2
kategori:

Stres=
56-100%
Tidak
stres==55
%
Wawancara
terstruktur

Ordinal

Keadaan yang tidak


seimbang
pada
pemenuhan
kebutuhan
tidur
anak usia sekolah,
terdiri dari :
Tanda-tanda vital
(tekanan darah,
nadi, respirasi)
menurun secara
bermakna
dibanding selama
terjaga
Tidur
sambil
berjalan
Tidur
dalam/
pulas,
sulit
dibangunkan
malam hari untuk
ke kamar mandi
Jarang bergerak
ketika tidur

Tindakan yang Tindakan anak saat Observasi


dilakukan anak pelaksanaan
Wawancara
dalam
bladder-retention
terstruktur

Selalu=3
Sering=2
Kadangkadang=1
Tidak
pernah=0
Kategori:
Ada
gangguan
tidur=56%100%
Tidak ada
gangguan
tidur=55
%

Ordinal

Ya=1
Tidak=0

78

pelaksanaan
bladderretention
training

Enuresis
anak
sekolah

training, dinyatakan
ya jika dilakukan,
dan tidak jika
tidak dilakukan:
Meminum 500 ml
air putih (No.1)
Mengkomunikasikan verbal dan
non
verbal
keinginan
berkemih (No.2)
Mampu menahan
keinginan
berkemih sampai
batas
toleransi
(No.3)

Mampu berkemih
di toilet (No.4)
Pada pelaksanaan
berikutnya anak
mampu
meningkatkan
waktu penundaan
keinginan
berkemih
1-2
menit dari waktu
penundaan
berkemih
sebelumnya
(No.5)
pada Enuresis adalah Frekuensi enuresis Observasi
usia peristiwa tidak (x/1 minggu)
Wawancara
dapat menahan
terstruktur
keluarnya urin/
ngompol pada
anak
yang
berusia
6-12
tahun

4.6

Pengumpulan Data

4.6.1

Instrumen

Kategori:
Baik=76100%
Cukup=5675%
Kurang=55
%(Arikunto,
1998)

Rasio

Frekuensi
enuresis
dalam
minggu
selama
minggu

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data untuk enuresis dan


kemampuan bladder-retention training berupa lembar observasi modifikasi

1
4

79

berdasarkan Butler (1994) dalam Nocturnal Enuresis serta lembar wawancara


terstruktur modifikasi menurut Nursalam (2003) dalam Konsep & Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Instrumen penelitian untuk stres anak
usia sekolah menggunakan wawancara terstruktur tentang Skala Tingkat Stres
Anak yang diadaptasi dari Skala Tingkat Stres Anak yang dibuat oleh Iswinarti
(1996) dan teori stres Andrew Goliszek (2005), serta Harjaningrum (2005) dalam
Sudah Besar Masih Ngompol yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Instrumen
penelitian untuk gangguan tidur menggunakan lembar wawancara terstruktur
menurut American Sleep Disorders Association: The international classification
of sleep disorder: diagnostic and coding manual, Rochesters, 1990, Allen Press
dalam Thorpy (1994) yang dikutip oleh Potter (2005) dan Harjaningrum (2005)
dalam Sudah Besar Masih Ngompol yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Data
yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi. Data yang dianggap memenuhi
syarat untuk selanjutnya diberi tanda khusus (coding) untuk menghindari
pencantuman identitas atau menghindari adanya kesalahan dan duplikasi entri
data.
4.6.2

Lokasi dan waktu penelitian


Penyusunan proposal dilakukan sejak awal bulan April 2007. Pengambilan

data awal dilakukan pada tanggal 11 April 2007 di SDN. Selodono, Desa
Selodono, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri. Penelitian dilaksanakan
mulai tanggal 5 Mei 4 Juni 2007 di SDN Selodono Kediri.
4.6.3

Prosedur pengambilan data


Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari bagian

akademik Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas

80

Airlangga yang kemudian juga mendapat izin dari kepala sekolah SDN. Selodono.
Peneliti kemudian mendatangi orang tua anak (responden). Pengumpulan data
dilakukan dengan mengacu pada kriteria inklusi. Untuk menentukan kelompok
kontrol dan kelompok intervensi, proporsi anak dengan usia 7-10 tahun beserta
proporsi jenis kelamin anak dibagi sama antara dua kelompok. Proses
menyamakan variabel perancu diantara dua kelompok (kontrol dan intervensi) ini
disebut proses matching. Informed consent diberikan terlebih dahulu sebelum
dilakukan bladder-retention training pada responden. Informed consent disetujui
dan ditandatangani oleh orang tua responden.
Bladder-retention training dilakukan secara berkelompok di sekolah dan
di rumah responden. Satu hari sebelum pelaksanaan bladder-retention training,
pada kedua kelompok dilakukan pre test untuk mengetahui skor awal dengan
melakukan

wawancara terstruktur pada orang tua dan observasi untuk

mengetahui kemampuan bladder-retention training dan frekuensi enuresis yang


terjadi pada anak selama 1 minggu sebelum dilakukan bladder-retention training.
Lembar observasi frekuensi enuresis telah diberikan kepada orang tua 1 minggu
sebelumnya. Penilaian terhadap skala tingkat stres dilakukan dengan wawancara
terstruktur pada anak. Untuk penilaian terhadap gangguan tidur dilakukan dengan
wawancara terstruktur pada orang tua dan anak. Hasil skor pada pre test tersebut
dijadikan sebagai data awal. Setelah dilakukan pre test, responden (kelompok
intervensi) dilakukan perlakuan berupa bladder-retention training selama 3 kali
dalam 1 minggu selama 4 minggu dengan durasi waktu masing-masing pertemuan
30 menit (disesuaikan). Hari pertama setelah bladder-retention training yang
pertama peneliti melakukan post test I (observasi I) pada kemampuan bladder-

81

retention training pada kedua kelompok (intervensi dan kontrol). Selanjutnya


dilakukan hal yang sama pada hari kedua dan ketiga pada setiap minggunya.
Wawancara terstruktur pada orang tua juga dilakukan untuk mengetahui
kemampuan bladder-retention training anak saat berada di rumah. Pengumpulan
data frekuensi enuresis dengan wawancara terstruktur hasil observasi yang
dilakukan oleh orang tua dilakukan pada hari pertama minggu kedua, ketiga,
keempat, dan kelima. Peneliti juga melakukan observasi frekuensi enuresis
dengan menanyakan langsung pada anak sebelum pelaksanaan bladder-retention
training. Analisis terhadap tingkat kemampuan anak dan frekuensi enuresis
dilakukan dengan memakai hasil pada post test XIII (observasi XIII) hari pertama
minggu kelima.

4.7

Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses yang dilakukan secara sistematis

terhadap data yang telah dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan supaya trends
dan relationship bisa dideteksi (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini setelah data
terkumpul, kemudian dilakukan

tabulasi data, dan analisis data dengan

menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test (uji komparasi 2 sampel
berpasangan) dengan derajat kemaknaan p 0,05, dengan rumus:
n(n 1)
4
n(n 1)(2n 1)
4
T

Z=

Keterangan:
T = Jumlah jenjang atau rangking yang kecil

82

N = Jumlah sampel
(Sugiyono, 2005)

Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai p 0.05 maka H o ditolak dan H1
diterima artinya ada pengaruh bladder-retention training terhadap peningkatan
kemampuan praktik bladder-retention training pada anak usia sekolah.
Uji

statistik

Mann-Withney

Test

(uji

komparasi

sampel

bebas/independen) dengan kemaknaan p 0,05 juga digunakan. Uji statistik ini


memiliki rumus:

U 1 = n1.n2 +
R1

Keterangan :

n1( n1 1)
2

U1 = n1.n2 +

n 2( n 2 1)
2

U1 = peringkat

n2R2
= jumlah sample 2

U2 = peringkat 2

R1 = jumlah rangking pada sampel n1

n1 = jumlah sampel 1

R2 = jumlah rangking pada sampel n2

(Sugiyono, 2005)

Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan praktik bladderretention training saat post test pada anak usia sekolah antara yang mendapatkan
perlakuan (bladder-retention training) dengan yang tidak mendapatkan perlakuan.
Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai p 0,05 maka Ho ditolak dan H1
diterima artinya ada perbedaan antara kemampuan praktik bladder-retention
training pada anak usia sekolah yang mendapatkan perlakuan bladder-retention
training dengan yang tidak mendapatkan perlakuan. Pada penelitian ini selain
digunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan uji Mann-Withney U Test,
juga digunakan uji Paired T Test dan Independent T Test. Data frekuensi enuresis
yang didapatkan pada saat pre test dan post test akan dikumpulkan dan dianalisis
dengan uji Paired T Test dengan nilai kemaknaan p 0,05. Artinya, bila uji t
berpasangan menghasilkan p 0,05 maka Ho ditolak dan H 1 diterima hal ini

83

berarti ada pengaruh bladder-retention training terhadap penurunan frekuensi


enuresis pada anak usia sekolah. Untuk mengetahui perbedaan rerata frekuensi
enuresis kelompok intervensi dan kelompok kontrol dianalisis dengan uji
Independent T Test dengan nilai kemaknaan p 0,05. Artinya, bila

uji

Independent T Test menghasilkan p 0,05 maka Ho ditolak dan H 1 diterima yaitu


ada perbedaan frekuensi enuresis antara post test kelompok intervensi dengan
post test kelompok kontrol. Dalam pengolahan data ini peneliti akan
menggunakan perangkat lunak komputer dengan sistem SPSS (Software Product
and Service Solution) Versi 12.0 agar uji statistik yang diperoleh lebih akurat.

4.8

Etik Penelitian
Peneliti memohon ijin kepada pihak terkait sebelum penelitian dilakukan.

Penelitian akan dimulai dengan melakukan beberapa prosedur yang berhubungan


dengan etika penelitian meliputi:
1. Informed Consent
Informed Consent merupakan lembar persetujuan yang diberikan kepada
responden yang akan diteliti yaitu yang akan mendapatkan intervensi bladderrention training. Peneliti memberikan penjelasan maksud dan tujuan
penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama pengumpulan data. Jika
responden bersedia, maka mereka harus menandatangani surat persetujuan
penelitian. Peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak responden
untuk menolak.
2. Anonimity

84

Kerahasiaan identitas responden harus dijaga. Peneliti menjaga kerahasiaan


identitas responden dengan tidak memplubikasikan nama responden.
3.

Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti karena
hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian.

4.9

Keterbatasan
Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian (Burn &

Grove, 1991). Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah:
1. Desain penelitian untuk penelitian ini masih perlu dikembangkan untuk
mencari desain yang tepat.
2. Instrumen pengumpulan data disusun oleh peneliti berdasarkan teori yang ada
karena belum ada standar yang baku untuk mengukur variabel tersebut.
3. Instrumen pengumpulan data tidak melalui uji validitas dan reliabilitas
terlebih dahulu.
4. Besar sampel yang tersedia terbatas sehingga hasilnya tidak dapat
digeneralisasikan.
5. Kemampuan peneliti yang masih terbatas dalam bidang riset karena pada
penelitian ini merupakan penelitian yang pertama.

85

BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian yang meliputi 1)


gambaran secara umum lokasi penelitian, 2) data umum orang tua responden
(pendidikan terakhir ayah-ibu, pekerjaan ayah-ibu), 3) data responden (data
demografi dan data enuresis), serta 4) variabel yang diukur yang berkaitan dengan
pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis
pada anak usia sekolah (7-10 tahun) di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 5 Mei
sampai dengan 4 Juni 2007. Bab ini juga akan membahas tentang pengaruh
bladder-retention training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada
anak usia sekolah (7-10 tahun), dengan melakukan test baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Secara kuantitatif dengan menggunakan perhitungan uji
statistik Wilcoxon Signed Rank Test, Mann Whitney U Test, Paired T Test, dan
Independent T Test dengan bantuan komputerisasi. Secara kualitatif dengan

86

menggunakan hasil analisis isi (wawancara terstruktur) dari proses observasi.


Hasil uji statistik tersebut dapat digunakan untuk mengetahui signifikansi
terhadap variabel sebelum dan sesudah diberikan intervensi bladder-retention
training pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol yang didukung
dengan data kuantitatif.

5.1

Hasil Penelitian

5.1.1

Gambaran umum lokasi penelitian


Penelitian ini dilakukan di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan

Ringinrejo Kabupaten Kediri. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai tanggal 5


Mei sampai dengan 4 Juni 2007 di sekolah dan rumah masing-masing responden.
SDN Selodono memiliki jumlah murid 224 anak, dari 38 anak yang duduk di
kelas 1 ada 13 anak yang mengalami enuresis dan dari 34 anak yang duduk di
kelas 2 ada 3 anak yang mengalami enuresis. Batas wilayah SDN Selodono adalah
sebagai berikut, sebelah Utara: makam umum desa Selodono; Selatan: balai desa
dan kantor desa Selodono; Barat: rumah penduduk desa Selodono; Timur: jalan
raya dan sawah penduduk desa Selodono.
5.1.2

Data umum orang tua responden


Data umum orang tua responden ini menguraikan tentang pendidikan

terakhir dan pekerjaan ayah-ibu.


a. Ayah
1) Karakteristik ayah responden berdasarkan pendidikan terakhir

87

Gambar 5.1 Distribusi Ayah Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Di


SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.1 menunjukkan karakteristik ayah responden
berdasarkan pendidikan terakhir. Pendidikan terakhir ayah responden pada
kelompok intervensi sebagian besar lulus SMP/sederajat (71%) yaitu sebanyak 5
orang. Pada kelompok kontrol sebagian besar lulus SMP/sederajat (49%) yaitu
sebanyak 4.
2) Karakteristik ayah responden berdasarkan pekerjaan

88

Gambar 5.2 Distribusi Ayah Responden Berdasarkan Pekerjaan Di SDN


Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.2 menunjukkan karakteristik ayah responden
berdasarkan pekerjaan. Pekerjaan ayah responden pada kelompok intervensi
sebagian besar sebagai petani (72%) yaitu sebanyak 5 orang. Pada kelompok
kontrol sebanyak 4 orang sebagai petani (50%) dan 4 orang bekerja sebagai
wiraswasta (50%).

89

b. Ibu
1) Karakteristik ibu responden berdasarkan pendidikan terakhir

Gambar 5.3 Distribusi Ibu Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Di SDN


Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.3 menunjukkan karakteristik ibu responden
berdasarkan pendidikan terakhir. Pendidikan terakhir ibu responden sebagian
besar lulus SMP/sederajat (62%) yaitu sebanyak 5 orang. Pada kelompok kontrol
sebagian besar lulus SMP/sederajat (49%) yaitu sebanyak 4 orang.
2) Karakteristik ibu responden berdasarkan pekerjaan

90

Gambar 5.4 Distribusi Ibu Responden Berdasarkan Pekerjaan Di SDN Selodono


Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.4 menunjukkan karakteristik ibu responden
berdasarkan pekerjaan. Pekerjaan ibu responden pada kelompok intervensi
sebagian besar sebagai petani (62,5%) yaitu sebanyak 5 orang. Pada kelompok
kontrol sebagian besar sebagai wiraswasta (62%) yaitu sebanyak 5 orang.
5.1.3

Data responden

a. Data Demografi
1) Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin anak

Gambar 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Di SDN


Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.5 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin anak. Jenis kelamin responden pada kelompok
intervensi dan kontrol masing-masing menunjukkan sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 5 anak (62%), dan responden berjenis
kelamin perempuan sebanyak 3 anak (38%).

91

2) Karakteristik responden berdasarkan usia anak

Gambar 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak Di SDN Selodono


Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.8 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan usia anak. Responden pada kelompok intervensi sebagian besar
berusia 8 tahun (62,5%) yaitu sebanyak 5 anak. Pada kelompok kontrol sebagian
besar berusia 8 tahun (49%) yaitu sebanyak 4 anak.
3) Karakteristik responden berdasarkan jenjang kelas anak

92

Gambar 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jenjang Kelas Anak Di SDN


Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.7 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan jenjang kelas anak. Responden pada kelompok intervensi sebagian
besar duduk di kelas 1 (87%) yaitu sebanyak 7 anak. Pada kelompok kontrol
sebagian besar duduk di kelas 1 (75%) yaitu sebanyak 6 anak.
b. Data Enuresis
1) Karakteristik responden berdasarkan periode berhenti mengompol anak
(lebih dari 6 bulan)

Gambar 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Periode Berhenti Mengompol


Anak Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.8 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan periode berhenti mengompol anak. Kelompok intervensi dan kontrol
masing-masing menunjukkan seluruh responden tidak pernah mengalami periode
berhenti mengompol (lebih dari 6 bulan) yaitu sebanyak 8 anak (100%).

93

2) Karakteristik responden berdasarkan saudara kandung yang mengompol


(sampai usia 5 tahun lebih)

Gambar 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Ada Atau Tidak Saudara


Kandung Yang Masih Mengompol (Sampai Usia 5 Tahun Lebih) Di
SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.9 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan ada atau tidak saudara kandung yang mengalami hal yang sama yaitu
enuresis sampai usia 5 tahun lebih. Responden pada kelompok intervensi sebagian
besar tidak memiliki saudara kandung yang mengalami enuresis sampai usia 5
tahun lebih (75%) yaitu sebanyak 6 anak. Pada kelompok kontrol sebagian besar
responden tidak memiliki saudara kandung yang mengalami enuresis sampai usia
5 tahun (62%) yaitu sebanyak 5 anak.

94

3) Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan anak sebelum tidur

Gambar 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Responden Sebelum


Tidur Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.10 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan kebiasaan responden sebelum tidur, pada kelompok intervensi tidak
ada anak yang memiliki kebiasaan khusus sebelum tidur. Pada kelompok kontrol
ada 1 anak yang memiliki kebiasaan minum susu (12,5%) dan 1 anak terbiasa
minum air putih sebelum tidur (12,5%).
4) Karakteristik responden berdasarkan jumlah air yang diminum anak dalam
1 hari

95

Gambar 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Air Minum Anak


Dalam
1 Hari Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo
Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.11 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan jumlah air yang diminum anak dalam 1 hari. Responden pada
kelompok intervensi dan kontrol sebagian besar minum 600-1000 ml air dalam 1
hari (62%) yaitu masing-masing sebanyak 5 anak.
5) Karakteristik responden berdasarkan riwayat kesehatan umum atau
penyakit yang pernah diderita anak

96

Gambar 5.12 Distribusi


Responden Berdasarkan Riwayat Kasehatan
Umum/Penyakit Yang Pernah Diderita Anak Di SDN Selodono
Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.12 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan riwayat kesehatan umum/penyakit yang pernah diderita anak. Pada
kelompok intervensi ada 2 anak yang memiliki penyakit lain-lain (25%) yaitu: 1
anak mengalami batuk, pilek, dan 1 anak mengalami sesak nafas; 1 anak
mengalami alergi (12,5%). Pada kelompok kontrol ada 1 anak yang memiliki
penyakit lain-lain (12,5%) yaitu: sesak dan batuk.

97

6) Karakteristik responden berdasarkan usia toilet training anak yang


diberikan oleh orang tua

Gambar 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Toilet Training Yang


Diberikan Pada Anak Oleh Orang Tua Di SDN Selodono
Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.13 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan usia toilet training diberikan oleh orang tua pada anak. Kelompok
intervensi sebagian besar responden diberikan toilet training pada usia kurang dari
15 bulan (75%) yaitu sebanyak 6 anak. Pada kelompok kontrol terdiri dari 3 anak
pada usia 15-18 bulan (37,5%), 3 anak pada usia 18-24 bulan (37,5%), dan 2 anak
pada usia < 15 bulan (25%).

98

7) Karakteristik responden berdasarkan obat/jamu yang dikonsumsi anak

Gambar 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ada Atau Tidak Jamu Yang
Dikonsumsi Anak Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo
Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.14 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan obat/jamu yang dikonsumsi anak, pada kelompok intervensi dan
kontrol menunjukkan semua anak tidak mengkonsumsi obat/jamu (100%).
8) Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan tidur siang anak

99

Gambar 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Tidur Siang Anak


Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri
Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.15 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan kebiasaan tidur siang anak. Pada kelompok intervensi dan kontrol
menunjukkan semua anak memiliki kebiasaan tidur siang (100%).
9) Karakteristik responden berdasarkan usaha orang tua mengatasi enuresis

100

Gambar 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Usaha Orang Tua Dalam


Mengatasi Ngompol Anak Di SDN Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.16 menunjukkan karakteristik responden
berdasarkan usaha yang telah dilakukan orang tua dalam mengatasi enuresis
(ngompol) anak, pada kelompok intervensi dan kontrol menunjukkan semua orang
tua membiarkan saja enuresis itu terjadi pada anaknya (100%).
5.1.4

Variabel yang diukur

101

Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian yang menunjukkan


pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis
pada anak usia sekolah (7-10 tahun).

1. Identifikasi faktor dominan penyebab enuresis pada anak usia sekolah.


1) Stres pada anak sebelum diberikan intervensi bladder-retention training
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Gambar 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Stres Pada Anak Sebelum


Diberikan Intervensi Bladder-Retention Training Pada Kelompok
Intervensi Dan Kelompok Kontrol Di SDN Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.17 menunjukkan hasil pengumpulan data
tentang stres pada anak sebelum diberikan intervensi bladder-retention training.
Berdasarkan gambar 5.17 responden pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol menunjukkan tidak mengalami stres (100%).

102

2) Gangguan tidur (deep sleep) pada anak sebelum diberikan intervensi


bladder-retention training pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol

Gambar 5.18

Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Tidur (deep sleep)


Pada Anak Sebelum Diberikan Intervensi Bladder-Retention
Training Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Di
SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri Pada
Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007

Gambar diagram batang 5.18 menunjukkan hasil pengumpulan data


tentang gangguan tidur (deep sleep) pada anak usia sekolah sebelum diberikan
intervensi bladder-retention training pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. Data yang didapatkan adalah pada kelompok intervensi sebagian besar
tidak mengalami gangguan tidur yaitu sebanyak 6 anak (75%) dan pada kelompok
kontrol sebagian besar tidak mengalami gangguan tidur yaitu 7 anak (87%).

103

2. Identifikasi kemampuan praktik bladder-retention training anak usia sekolah


sebelum dan sesudah intervensi bladder-retention training

Gambar 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Bladder-Retention


Training Pada Anak Usia Sekolah Sebelum Dan Sesudah Diberikan
Intervensi Bladder-Retention Training Pada Kelompok Intervensi
Dan Kelompok Kontrol Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo
Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar diagram batang 5.19 menunjukkan hasil pengumpulan data
tentang kemampuan bladder-retention training anak usia sekolah sebelum dan
sesudah diberikan intervensi bladder-retention training. Kelompok intervensi
sebelum dilakukan intervensi (pre 1) didapatkan data sebagian besar anak
memiliki kemampuan yang cukup (87,5%) yaitu sebanyak 7 anak. Pada kelompok
kontrol (pre 2) sebagian besar anak memiliki kemampuan yang cukup (75%) yaitu
sebanyak 6 anak. Kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi (post 1)

104

didapatkan peningkatan kemampuan yaitu semua responden memiliki kriteria baik


sebanyak 8 anak (100%). Pada kelompok kontrol (post 2) yang tidak diberikan
intervensi tidak terjadi perubahan kemampuan dimana sebagian besar anak
memiliki kemampuan yang cukup yaitu sebanyak 6 anak (75%), dan 2 anak
memiliki kemampuan bladder-retention training kurang (25%).
3. Identifikasi frekuensi enuresis pada anak usia sekolah sebelum dan sesudah
intervensi bladder-retention training

Gambar 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Enuresis Pada Anak


Usia Sekolah Sebelum Dan Sesudah Diberikan Intervensi BladderRetention Training Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok
Kontrol Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten
Kediri Pada Tanggal 5 Mei - 4 Juni 2007
Gambar 5.20 menunjukkan hasil pengumpulan data tentang frekuensi
enuresis (ngompol) anak usia sekolah sebelum dan sesudah diberikan intervensi
bladder-retention training. Gambar di atas menunjukkan data sebelum dilakukan
intervensi pada kelompok intervensi (pre 1) sebagian besar anak memiliki

105

frekuensi enuresis 3 kali dalam 1 minggu yaitu sebanyak 3 anak. Pada kelompok
kontrol (pre 2) sebagian besar anak memiliki frekuensi enuresis 4 kali dalam 1
minggu. Pada kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi (post 1)
didapatkan penurunan frekuensi enuresis yaitu sebagian besar anak memiliki
frekuensi enuresis 0 kali dalam 1 minggu sebanyak 5 anak (62,5%), 2 anak 2 kali
(25%), dan 1 anak mengalami enuresis 1 kali dalam 1 minggu (12,5%). Pada
kelompok kontrol (post 2) yang tidak mendapatkan intervensi bladder-retention
training terjadi peningkatan rerata frekuensi enuresis

yaitu 5 kali dalam 1

minggu, dan sebagian besar anak memiliki frekuensi enuresis 5 kali dalam 1
minggu sebanyak 3 anak.
Analisis isi (content analyse) dari hasil wawancara terstruktur yang
digunakan merupakan penunjang dan pembanding hasil uji secara kuantitatif.
Jawaban dari pertanyaan: Berapa kali anak ibu ngompol dalam 1 minggu?
Sebelum intervensi (Pre):
Empat hari berturut-turut kemarin anak saya ngompol mbak, selasa, rabu,
kamis, jumat (Ibu 1).
Anak saya ngompol terus mbak, senin selasa ngompol, kamis jumat sabtu
juga ngompol, jadi 5 hari ya mbak (Ibu 3).
Sesudah intervensi (Post):
Anak saya sudah ngga ngompol lagi kok (Ibu 1).
Satu kali mbak, rabu kemarin, ini lebih baik dari pada yang dulu-dulu
(Ibu 3).

106

4. Pengaruh bladder-retention training terhadap peningkatan kemampuan praktik


bladder-retention training pada anak usia sekolah
Tabel 5.1

Mean
SD

Tingkat Kemampuan Bladder-Retention Training Anak Usia


Sekolah Di SDN Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten
Kediri Pada Tanggal 5 Mei 4 Juni 2007
Intervensi
Pre
Post
57,5
97,5
7,071
7,071
p = 0,007
Wilcoxon Signed
Rank Test

Kontrol
Pre
Post
55
55
9,258
9,258
p = 1,000
Wilcoxon Signed
Rank Test

Intervensi Kontrol
Post
Post
97,5
55
7,071
9,258
p = 0,000
Mann-Whitney U Test

Tabel 5.1 menyajikan perbandingan kemampuan anak sebelum dan


sesudah intervensi. Uji wilcoxon signed rank test menunjukkan nilai signifikansi
(p) = 0,007 yang berarti ada pengaruh bladder-retention training terhadap
peningkatan kemampuan pada anak usia sekolah. Hasil rerata yang semula 57,5
(pre test) meningkat menjadi 97,5 (post test), menunjukkan secara kuantitatif
bahwa kemampuan bladder-retention training pada anak usia sekolah meningkat
setelah diberikan intervensi. Uji statistik dengan mann-whitney u test
menunjukkan nilai signifikansi (p) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bladderretention training terhadap peningkatan kemampuan pada anak usia sekolah, hal
ini juga dapat dikatakan bahwa kemampuan bladder-retention training anak usia

107

sekolah yang mendapat intervensi bladder-retention training berbeda dengan


kelompok anak yang tidak mendapat intervensi.
Analisis isi (content analyse) dari hasil wawancara terstruktur yang
digunakan merupakan penunjang dan pembanding hasil uji secara kuantitatif.

Jawaban dari pertanyaan: Apakah anak meminum 500 ml air putih sekali minum?
Sebelum intervensi (Pre):
Tidak pernah mbak, mungkin hanya 1 gelas tanggung (Ibu 2).
Sesudah intervensi (Post):
Sesuai petunjuk mbak, anak saya sudah bisa meminum 2 gelas tanggung
sekali minum untuk latihan ini (Ibu 2).
Jawaban dari pertanyaan: Apakah anak mengkomunikasikan keinginan berkemih
secara verbal dan non verbal?
Sebelum intervensi (Pre):
Tidak selalu

mbak, anak saya kadang-kadang masih ngompol dicelana,

seperti jumat kemarin dia ngompol waktu bercanda dengan temannya siang
hari (Ibu 7).
Sesudah intervensi (Post):
Tiga minggu ini anak saya selalu bilang ke saya saat pengen pipis, ya..untuk
keberhasilan cara ini (Ibu 7).

108

5. Pengaruh bladder-retention training terhadap penurunan frekuensi enuresis


pada anak usia sekolah
Tabel 5.2 Pengaruh Bladder-Retention Training Terhadap Perubahan
Enuresis Pada Anak Usia Sekolah Di SDN Selodono Kecamatan
Ringirejo Kabupaten Kediri Pada Tanggal 5 Mei 4 Juni 2007
No
Responden
1
2
3
4
5
6
7
8
Mean
SD

Enuresis (x/minggu)
Kelompok Intervensi
Pre
4
3
5
4
7
3
5
3
4,25

Post Perubahan
0
-4
0
-3
1
-4
0
-4
2
-5
0
-3
2
-3
0
-3
0,625
- 3,625

1,389 0,916
p = 0,000
Paired t test

Enuresis (x/minggu)
Kelompok Kontrol
Pre
4
3
4
7
4
4
5
3
4,25

Post
5
3
6
7
3
6
5
5
5

Enuresis
(x/minggu)
Intervensi Kontrol
Perubahan
Post
Post
+1
0
5
0
0
3
+2
1
6
0
0
7
-1
2
3
+2
0
6
0
2
5
+2
0
5
0,75
0,625
5

1,282 1,414
p = 0,111
Paired t test

0,916
1,414
p = 0,000
Independent t test
post

Tabel 5.2 menunjukkan data bahwa pada kelompok intervensi terjadi


penurunan frekuensi enuresis pada semua anak. Ada 5 anak yang tidak mengalami
enuresis lagi, 2 anak mengalami enuresis 2 kali, dan 1 anak 1 kali dalam 1
minggu. Nilai rata-rata frekuensi enuresis mengalami penurunan yaitu pre test

109

4,25 kali dalam 1 minggu menjadi 0,625 kali dalam 1 minggu pada post test. Hasil
uji statistik paired t test diperoleh (p) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bladderretention training terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.
Tabel 5.2 menunjukkan data bahwa pada kelompok kontrol terjadi
peningkatan frekuensi enuresis pada 4 anak, penurunan frekuensi enuresis pada 1
anak, dan sebanyak 3 anak tidak mengalami perubahan frekuensi enuresis. Nilai
rerata frekuensi enuresis mengalami peningkatan yaitu pre test 4,25 kali dalam 1
minggu menjadi 5 kali dalam 1 minggu pada post test. Hasil uji statistik paired t
test diperoleh (p) = 0,111 yang berarti p > 0,05.
Tabel 5.2 juga menunjukkan hasil uji Independent t test yang menunjukkan
frekuensi enuresis

antara post test kelompok intervensi dengan post test

kelompok kontrol diperoleh nilai (p) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bladderretention training terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah,
hal ini juga dapat dikatakan bahwa frekuensi enuresis anak usia sekolah yang
mendapat intervensi bladder-retention training berbeda dengan kelompok anak
yang tidak mendapat intervensi.

5.2

Pembahasan
Bagian pembahasan ini akan mengulas mengenai faktor dominan

penyebab enuresis dan pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan


kemampuan praktik bladder-retention training serta perubahan frekuensi enuresis
pada anak usia sekolah sebelum dan sesudah intervensi.
Gambar diagram batang 5.17 menunjukkan hasil pengumpulan data
tentang stres pada anak usia sekolah sebelum diberikan intervensi bladder-

110

retention training pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Data yang
didapatkan adalah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan
tidak mengalami stres.
Lampiran 18 tentang stres anak menunjukkan data bahwa semua anak
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki skor < 55%, hal ini
berarti semua anak pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak
mengalami stres.
Gambar 5.18 menunjukkan data bahwa pada kelompok intervensi sebagian
besar tidak ada gangguan tidur yaitu 6 anak, dan ada gangguan tidur 2 anak. Pada
kelompok kontrol sebagian besar tidak ada gangguan tidur yaitu 7 anak , dan yang
mengalami gangguan tidur ada 1 anak.
Lampiran 18 tentang gangguan tidur (deep sleep) menunjukkan data
bahwa pada kelompok intervensi sebanyak 2 anak mengalami gangguan tidur
dengan skor > 55%, pada kelompok kontrol sebanyak 1 anak mengalami
gangguan tidur dengan skor 58,33%.
Pada anak yang mengalami enuresis, bisa ditemukan stres kejiwaan. Stres
ini dapat disebabkan oleh kondisi seperti pelecehan seksual, kematian dalam
keluarga, kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orang tua, atau masalah
psikis lainnya (Harjaningrum, 2005).
Gangguan tidur yang bisa menyebabkan enuresis adalah anak mengalami
tidur dalam (deep sleep). Pola tidur secara umum normal, tapi akibat tidur yang
sangat dalam tersebut, anak sulit terbangun ketika ingin buang air kecil
(Harjaningrum, 2005). Menurut Potter (2005) enuresis dan somnambulisme (tidur
sambil berjalan) dapat terjadi karena gangguan tidur (deep sleep) yaitu pada tahap

111

NREM IV. Pada saat mengalami deep sleep, tanda-tanda vital seperti tekanan
darah, frekuensi nafas, suhu, nadi mengalami penurunan secara bermakna
dibanding selama terjaga; dan anak menjadi sulit untuk dibangunkan.
Pada penelitian ini anak usia sekolah yang mengalami enuresis tidak
mengalami stres. Gangguan tidur (deep sleep) sebagai salah satu penyebab
enuresis ditemukan pada 2 responden kelompok intervensi dan 1 responden pada
kelompok kontrol sehingga gangguan tidur (deep sleep) merupakan faktor
dominan penyebab enuresis.
Analisis data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa ada pengaruh bladderretention training terhadap peningkatan kemampuan praktik bladder-retention
training pada anak usia sekolah. Hasil yang didapatkan signifikan (p=0,007).
Hasil rerata yang semula 57,5 (pre test) meningkat menjadi 97,5 (post test), hal ini
dipengaruhi oleh: 1) pemberian informasi yaitu pembelajaran bladder-retention
training, 2) tingkat pendidikan anak yaitu Sekolah Dasar dimana pada usia
sekolah perkembangan kognitif anak berada pada tahap konkret operasional, 3)
responden tidak mengalami stres (100%).
Pembelajaran bladder-retention training ini diberikan secara individu.
Evaluasi

terhadap

keberhasilan

pembelajaran

bladder-retention

training

didapatkan langsung setelah diberikan materi yaitu dengan demonstrasi ulang oleh
responden sebagai post test 1. Leaflet tentang pembelajaran bladder-retention
training dan enuresis juga diberikan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh
pembelajaran. Pembelajaran dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan kepada

112

anak sehingga terjadi perubahan perilaku dalam hal ini kemampuan bladderretention training. Proses kontrol cognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi atau proses informasi, pengambilan keputusan, dan
emosi, sehingga mekanisme belajar merupakan suatu proses di dalam sistem
adaptasi (cognator) yang mencakup mempersepsikan suatu informasi (Nursalam,
2003). Perubahan perilaku dalam hal ini kemampuan bladder-retention training
didahului oleh persepsi seseorang terhadap apa yang akan dijalani, sehingga
muncul persepsi berhubungan dengan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari
informasi. Informasi yang diterima bisa kurang jelas, dalam hal ini pembelajaran
bladder-retention training yang tidak optimal akan mempengaruhi persepsi
seseorang sehingga perubahan perilaku/kemampuan bladder-retention training
akan sulit didapatkan. Persepsi proses informasi juga berhubungan dengan seleksi
perhatian, kode, dan ingatan (Nursalam, 2003).
Sikap belum merupakan tindakan/aktifitas akan tetapi merupakan reaksi
tertutup terhadap suatu obyek (Notoatmodjo, 2003). Pembentukan sikap dapat
terjadi karena pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga moral maupun faktor
emosional (Azwar, 2003). Pendidikan kesehatan melalui kegiatan pembelajaran
sebagai sarana perubahan perilaku/kemampuan bladder-retention training
terutama domain afektif (sikap) diharapkan mampu membangun suatu
kepercayaan sehingga anak dapat memiliki kemampuan praktik bladder-retention
training yang benar.
Praktik merupakan domain perilaku yang ketiga setelah pengetahuan dan
sikap (Notoatmodjo, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003) setelah seseorang

113

mengetahui stimulus atau obyek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat


terhadap apa yang diketahui, kemudian seseorang diharapkan akan mampu
melaksanakan, mempraktikkan, atau memiliki kemampuan praktik terhadap apa
yang diketahui atau disikapi. Keadaan yang dapat mempengaruhi kemampuan
praktik bladder-retention training anak adalah pengalaman yang didapat, dalam
hal ini pengalaman yang didapat dari pembelajaran bladder-retention training.
Sesuai dengan kriteria inklusi bahwa responden yang dipilih adalah anak yang
belum pernah mendapat pembelajaran bladder-retention training, sehingga belum
memiliki

cukup

pengalaman

dalam

praktik

bladder-retention

training.

Pengalaman baru yang bersumber dari pengetahuan diberikan, hal ini iharapkan
kemampuan praktik yang sudah diadopsi tetap terpelihara (Notoatmodjo, 2003).
Kemampuan pengalihan perhatian dari keinginan berkemih ke hal-hal
yang lain untuk memperpanjang waktu penundaan berkemih didasarkan pada
teori bahwa apabila terdapat dua rangsangan yang terpisah, fokus pada salah satu
akan menghilangkan fokus pada yang lain (Price, 2005). Pembelajaran bladderretention training meliputi pemberian pengertian pada anak agar mengalihkan
keinginan berkemih ke hal-hal yang lain seperti konsentrasi pada pelajaran, tugas
dan penjelasan guru di kelas. Kemampuan kognisi, persepsi, dan koping yang
positif pada anak usia sekolah dapat meningkatkan kemampuan mengalihkan
perhatian dari keinginan berkemih dan selanjutnya dapat meningkatan
kemampuan praktik bladder-retention training anak usia sekolah.
Pendidikan dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Tingkat pendidikan
yang dimiliki seseorang menentukan tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).
Pada umumnya, metode demonstrasi optimal sebagai suatu strategi mengajar bagi

114

sasaran yang berkemampuan rerata dan dibawah rerata, dengan pendidik yang
tidak terlatih dan tidak berpengalaman. Pembelajaran demonstrasi juga dapat
mencapai tujuan kognitif menengah (Muchtar, 2005 dalam Binarwati, 2006). Pada
responden anak usia sekolah tidak selalu membuat seseorang tidak dapat
menerima

materi

secara

optimal

tetapi

dengan

menggunakan

strategi

pembelajaran tertentu, dalam hal ini menggunakan metode ceramah dan


demonstrasi maka materi dapat diterima secara optimal. Pernyataan ini sesuai
dengan yang dikemukakan Muchtar (2005) dalam Binarwati (2006) bahwa
pembelajaran metode demonstrasi dapat dipakai untuk mencapai tujuan
psikomotorik tingkat menengah.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari Piaget, anak usia 7-11 tahun
berada dalam tahap kongkret operasional. Tahap ini ditandai dengan penalaran
induktif, tindakan logis, dan pikiran kongkret yang reversibel. Karakteristik
spesifik pada tahap ini antara lain: transisi dari egosentris ke pemikiran objektif,
seperti bertanya, melihat dari sudut pandang orang lain. Berfokus pada kenyataan
fisik saat ini disertai ketidakmampuan melihat untuk melebihi kondisi saat ini juga
merupakan karakteristik yang lain dari tahap ini. Anak juga mengalami kesulitan
dalam menghadapi masalah yang jauh, masa depan atau hipotesis serta anak
mengalami perkembangan prinsip konservasi yaitu: volume, berat, massa, dan
angka (Muscari, 2005).
Menurut Selye (1976) dalam Potter (2005) stres adalah segala situasi
dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespons
atau melakukan tindakan. Respons atau tindakan ini termasuk respon fisiologis
dan psikologis. Notoatmodjo (2003) mengemukakan stres adalah salah satu

115

kondisi tingkat emosional seseorang yang merupakan faktor internal dari


determinan perilaku. Responden pada penelitian ini menunjukkan tidak
mengalami stres (100%). Tingkat stres yang merupakan faktor internal determinan
perilaku yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku dalam hal ini kemampuan
bladder-retention training pada anak. Stres yang tidak terjadi pada anak akan
berpengaruh terhadap proses penerimaan pembelajaran, peningkatan pengetahuan,
sikap, dan praktik bladder-retention training anak usia sekolah. Peningkatan
kemampuan pengetahuan, sikap, dan praktik ini diharapkan akan dapat
menurunkan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.
Prosedur praktik bladder-retention training pada anak usia sekolah yang
benar merupakan langkah terpenting dalam pembelajaran. Prosedur yang benar
dimaksudkan untuk menghindarkan pengalaman yang kurang nyaman bagi anak,
dimana enuresis jika dibiarkan dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi
kehidupan anak di masa mendatang. Anak menjadi kurang bersosialisasi, takut
tidur di luar rumah dan berkemah, anak merasa berbeda dengan teman sebaya,
merasa malu, sedih, dan bersalah.
Analisis data pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa ada pengaruh bladderretention training terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.
Hasil yang didapatkan signifikan (p = 0,000). Hasil rerata yang semula 4,25 (pre
test) menurun menjadi 0,625 (post test), hal ini dipengaruhi oleh: 1) kemampuan
anak dalam praktik bladder-retention training; dan 2) faktor penyebab enuresis.
Praktik merupakan domain perilaku yang ketiga setelah pengetahuan dan
sikap (Notoatmodjo, 2003). Anak mengalami penurunan frekuensi enuresis ketika
anak telah memiliki kemampuan praktik bladder retention training. Bladder-

116

retention training adalah latihan yang dapat menimbulkan rangsangan pada otot
polos kandung kemih yang meningkatkan aktifasi dari kimiawi, neuromuskuler,
dan muskuler. Menurut Guyton dan Hall (1997) otot polos kandung kemih
(muskulus detrusor) mengandung filamen aktin dan miosin, yang mempunyai sifat
kimiawi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Proses interaksi diaktifkan
oleh ion kalsium, dan adeno trifosfat (ATP), selanjutnya dipecah menjadi adeno
difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi muskulus detrusor
kandung kemih. Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan
rangsangan pada serat otot polos kandung kemih terutama saraf parasimpatis yang
merangsang untuk memproduksi acetil cholin, sehingga mengakibatkan terjadinya
regangan, kontraksi, dan peningkatan tonus otot kandung kemih. Ketika kandung
kemih terisi air dalam jumlah yang cukup banyak dalam sekali waktu, pada otot
polos visera (unit tunggal) biasanya akan timbul potensial aksi secara spontan bila
diregangkan secukupnya. Respons terhadap peregangan ini memungkinkan
dinding otot polos visera berkontraksi secara otomatis dan karena itu menahan
regangan.

Regangan

mengakibatkan

pada

peningkatan

muskulus
kapasitas

detrusor

kandung

kemih

akan

fungsional

kandung

kemih

yang

selanjutnya akan terjadi peningkatan pengendalian kontraksi serta peningkatan


pengendalian tonus otot kandung kemih. Mekanisme melalui muskulus terutama
otot polos kandung kemih akan meningkatkan metabolisme pada mitokondria
untuk meningkatkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot polos kandung kemih
sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot polos kandung kemih
(Guyton dan Hall, 1997). Peningkatan kapasitas fungsional kandung kemih,

117

peningkatan pengendalian kontraksi serta peningkatan pengendalian tonus otot


kandung kemih akan mengakibatkan penurunan frekuensi enuresis.
Faktor yang diduga sebagai penyebab enuresis antara lain: 1) enuresis
primer yang dapat disebabkan karena keterlambatan matangnya fungsi susunan
saraf pusat (SSP), faktor genetik, gangguan tidur (deep sleep), kadar ADH (Anti
Diuretic Hormone) dalam tubuh yang kurang, kelainan anatomi seperti ukuran
kandung kemih yang kecil; 2) enuresis sekunder yang biasanya dihubungkan
dengan terjadinya stres kejiwaan, kondisi fisik yang terganggu, dan alergi
(Harjaningrum, 2005).
Pada faktor genetik telah terkaji ada riwayat enuresis pada saudara
kandung responden. Pada faktor gangguan tidur, terdapat 2 responden (25%) dari
kelompok intervensi, 1 responden (12,5%) dari kelompok kontrol yang
mengalami gangguan tidur (deep sleep). Segi faktor stres kejiwaan telah terkaji
tidak adanya stres kejiwaan pada responden. Faktor kondisi fisik yang terganggu
juga dapat menyebabkan enuresis, dalam faktor ini ditemukan adanya riwayat
penyakit batuk, sesak nafas, namun riwayat penyakit yang berhubungan dengan
enuresis seperti diabetes mellitus, diabetes insipidus, dan infeksi saluran kemih
tidak ditemukan. Pada faktor alergi hanya ditemukan 1 responden yang
mengalami alergi. Segi faktor keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf
pusat, kadar ADH dalam tubuh yang kurang, dan kelainan anatomi seperti ukuran
kandung kemih yang kecil tidak dapat dikaji karena memerlukan kolaborasi
dengan tindakan medis.
Perbedaan perubahan frekuensi enuresis mungkin disebabkan karena
adanya faktor penyebab enuresis di atas, seperti gangguan tidur dan faktor

118

genetik. Faktor lain yang menyebabkan enuresis selama penelitian juga harus
diperhatikan seperti: kebiasaan anak sebelum tidur seperti minum susu, air putih,
atau teh, pergi ke toilet sebelum tidur; jumlah air yang diminum; riwayat
kesehatan dan penyakit; dan usia dilakukan toilet training pada anak oleh orang
tua. Semua hal yang mempengaruhi enuresis harus dikontrol agar enuresis tidak
terjadi lagi pada anak.
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dikemukakan simpulan dan saran dari hasil penelitian
tentang pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan kemampuan dan
enuresis pada anak usia sekolah di SDN Selodono Desa Selodono Kecamatan
Ringinrejo Kabupaten Kediri.

6.1

Simpulan

1. Gangguan tidur (deep sleep) merupakan faktor dominan penyebab enuresis


pada anak usia sekolah.
2. Pembelajaran bladder-retention training sebagai metode yang efektif dalam
merubah kemampuan praktik bladder-retention training pada anak yang
mengalami enuresis. Hal ini karena pembelajaran dapat menstimulasi kognisi
dalam mengembangkan persepsi dan koping positif yang ditunjukkan dengan
peningkatan kemampuan mengalihkan perhatian dari keinginan berkemih dan
selanjutnya terjadi peningkatan kemampuan praktik bladder-retention
training.

119

3. Bladder-retention training berperan sebagai salah satu alternatif intervensi


yang efektif dalam menurunkan frekuensi enuresis pada anak usia sekolah.

6.2

Saran

1. Pembelajaran bladder-retention training perlu diberikan pada anak usia


sekolah yang mengalami enuresis dengan memasukkan pembelajaran ini pada
kegiatan ekstrakurikuler sekolah seperti UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan
olah raga.
2. Memberikan standar pembelajaran di sekolah wilayah setempat tentang
bladder-retention training dalam rangka peningkatan kesehatan anak usia
sekolah guna mencapai tumbuh kembang yang optimal.
3. Hubungan antara perawat/petugas kesehatan perlu ditingkatkan baik secara
kualitas maupun kuantitas sehingga menjadikan support system dan motivator
dalam mengatasi masalah enuresis anak usia sekolah melalui kegiatan UKS
(Usaha Kesehatan Sekolah) yang merupakan salah satu program puskesmas.
4. Pada penanganan anak yang mengalami enuresis tidak hanya memperhatikan
keadaan fisiknya saja tetapi kondisi mental dan psikologis anak juga perlu
diperhatikan. Keterlibatan orang tua dalam penanganan enuresis perlu
dilakukan dengan cara memberikan dukungan emosional, menerima keadaan
anak serta menghindari sikap menyalahkan atau menghukum anak karena hal
ini dapat menguatkatn rasa tidak berdaya dan putus asa pada anak.
5. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat dikembangkan dengan menggunakan
variabel yang lebih spesifik seperti pengaruh bladder-retention training

120

terhadap perubahan kapasitas fungsional kandung kemih dan enuresis pada


anak usia sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Andaryani
H,
L.
(2003).
Mengapa
masih
mengompol.
http://www.indomedia.com/sripo/2003/12/21/2112mom2.htm
(akses
tanggal 08 Maret 2007 jam 09.00)
Arikunto, S. (1998) . Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hal: 42-45
Arikunto, S. (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, hal: 135
Azwar, S. (2003). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal: 13-17
Bastable, SB. (2002). Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. Jakarta: EGC, hal: 40
Binarwati, D. (2006). Pengaruh Pembelajaran Metode Demonstrasi terhadap
Perubahan Perilaku Orang tua dan Kemampuan Toilet Training pada
Anak Todler (15-36 Bulan). Tidak Dipublikasikan. Skipsi Universitas
Airlangga, hal: 8, 12
Burns, N., & Grove, SK., (1991). The Practice of Nursing Research: Conducts,
Critiques and Utilisation. (2nd ed.). Philadelphia: W.B Saunders Co, p: 7
Butler, RJ. (1994). Nocturnal Enuresis: The Childs Experience. Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, p: 132-135
Carpenito, LJ. (2000). Diognosa Keperawatan Aplikasi dan Praktis Klinis. Edisi
6. Alih Bahasa Tim penerjemah PSIK-UNPAD. Jakarta: EGC, hal: 9

121

Cendron, M. (1998). Articles Primary Nocturnal Enuresis: Current Concepts.


http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html (akses tanggal 29 September
2006 jam 11.15)
Douglas, R. (1994). Helping Children Learn to Use the Toilet.
http://www.nncc.org/Child.Dev (akses tanggal 29 September 2006 jam
12.05)
Gatzel, P. (1995). Kapita Selekta Pediatri. Jakarta: EGC, hal: 368
Goliszek, A. (2005). Manajemen Stres. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, hal: 12-15
Guyton & Hall (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, hal: 14,
119, 120, 122, 124, 126
Harjaningrum, AT. (2005). Sudah Besar Masih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?
http://www.tonangardyanto.com/content/view//22/37/ (akses tanggal 27
September 2006 jam 14.30)
Hidayat, AA. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika, hal: 97-99
Hidayat, AA. (2006). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika, hal: 4
Hurlock, EB. (2005). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: EGC, hal: 23, 28
Iswinarti. (1996). Tingkat Stres dan Prestasi Belajar Anak Usia Sekolah Yang
Memperoleh Pengayaan. Thesis. Tidak diterbitkan. Yogya: Program Pasca
Sarjana UGM, hal: 16, 30
Johnson,
M.
(1998).
Articles
Noctunal
Enuresis.
http://www.duj.com/johnson.html (akses tanggal 29 September 2006 jam
09.30)
Landgraf, Jeanne M, et al (2004). Coping, Commitment, and Attitude:
Quantifying the Everyday Burden of Enuresis on Children and Their
Families.
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/113/2/334/T4 (akses
tanggal 28 Maret 2007 jam 09.40)
Markum, AH. (1999). Buku Ajar: Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI, hal: 9-10
Muscari, ME. (2005). Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik. Ed.3. Jakarta:
EGC, hal: 76-77, 79-80

122

Narendra, MB. dkk. (2002). Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.
Jakarta: Sagung Seto, hal: 8-11, 51-16
National Institue of Diabetes and Digestives and Kidney Diseases. (2005). Nerve
Disease
and
Bladder
Control.
http://kidney.niddk.nih.gov/kudisease/pubs/nervedisease/index.htm (akses
tanggal 07 Maret 2007 jam 10.15)
Norby,

B.
(2005).
Bedwetting
(Enuresis).
http://www.netdoctor.co.uk/disease/facts/bedwetting.html (akses tanggal
29 September 2006 jam 11.00)

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta, hal: 27-32, 36-49, 120-131
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skipsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta:
Salemba Medika, hal: 16-21
Nursalam. (2005). Efek Model Pendekatan Asuhan Keperawatan (PAKAR)
Terhadap Perbaikan Respons Kognisi Dan Biologis Pada Pasien
Terinfeksi HIV. Tidak Dipublikasikan. Disertasi Universitas Airlangga,
hal: 7
Nursalam. (2006). Asuhan Keperawatan pada Pasien Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika, hal: 2-6
Nursalam & Pariani. (2000). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.
Surabaya: FK. Unair, hal: 23
Pilliteri, A. (1999). Child Health Nursing care of the Child and Family.
Philadelphia: Lippincott, p: 789
Pilliteri, A. ( 2002 ). Buku Saku Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:
EGC, hal: 21
Potter & Perry (1997). Fundamental of Nursing, Concepts, Process and Practice.
Fourth Edition. St. Louis: Mosby-Year Book, p: 477
Potter, PA. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Ed/4, Vol.1. Jakarta: EGC, hal: 476, 482
Potter, PA. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Ed/4, Vol.2. Jakarta: EGC, hal: 1473, 1480
Price, SA. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Alih
bahasa Bhram U. Editor Huriawati Hartono. Volume 2. Edisi 6. Jakarta:
EGC, hal: 16-17

123

Robert. (2006). The Traditional Chinese Medicine (TCM) Approach to Bedwetting


(Enuresis). http://www.roberthelmer.ca/bedwetting07.html (akses tanggal
07 Maret 2007 jam 10.00)
Rosenstein, BJ. (1997). Intisari Pediatri: Panduan Praktis Pediatri Klinik.
Jakarta: Hipokrates, hal: 141
Sastroasmoro, S.(2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung Seto, hal: 39-40
Sholeh, M. (2003). Tahajud. Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal: 14-15
Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, hal: 133, 148
Suliha, U, et al. (2001). Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta:
EGC, hal: 25
Suliswati (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan. Jakarta: EGC, hal: 24,
26, 27
Supati,

V.
(2000).
Mengompol
(Enuresis).
http://www.balitaanda.indoglobal.com/ngompol.html (akses tanggal 27
September 2006 jam 14.40)

Supartini Y. (2002). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC, hal:
49-55
Tim PSIK Unair. (2004). Buku Panduan Penyusunan Proposal dan Skripsi. PSIK
Surabaya: FK Unair, hal: 14-15
Wong, DL. (1999). Nursing Care of Infants and Children. St. Louis: Mosby Year
Co, p: 866-869
Whaley, LF. (2001). Nursing care of Infants and Children, Second Edition. St.
Louis: Mosby Year Co, p: 661-663
Wijayanti, A. (2006). Pengaruh Senam Otak Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Anak Usia Sekolah di SDN Nginden Jangkungan I Surabaya. Tidak
Dipublikasikan Skripsi Universitas Airlangga, hal: 19, 24-26

124

125

Kediri, 11 Mei 2007

Nomor : 422/028/47.112.396/2007

K E PADA

Perihal : Ijin Penelitian

Yth. Ketua Program Studi


S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Unair
di
Surabaya

Dengan surat ini kami menyatakan bahwa mahasiswa Program Studi S1


Ilmu Keperawatan UNAIR yang bernama Walida Pangestuti, kami ijinkan
melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Bladder-Retention Training
terhadap Perubahan Kemampuan dan Enuresis pada Anak Usia Sekolah (7-10
tahun) di SDN. Selodono Desa Selodono Kecamatan Ringinrejo Kabupaten
Kediri.
Demikian atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

126

Mengetahui
Kepala SDN Selodono

Drs. Sulistiyono
NIP : 131 334 000
Lampiran 3
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Walida Pangestuti
NIM

: 010210594 B

Adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga Surabaya, akan melakukan penelitian dengan judul :
Pengaruh Bladder-Retention Training terhadap Perubahan Kemampuan
dan Enuresis pada Anak Usia Sekolah (7-10 Tahun)
Untuk maksud di atas, maka saya mohon dengan hormat kepada Bapak / Ibu
untuk mengizinkan anak Bapak / Ibu menjadi responden dalam penelitian ini :
1) Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ada pengaruh bladderretention training terhadap perubahan kemampuan dan enuresis pada anak
usia sekolah.
2) Kesediaan Bapak / Ibu untuk menandatangani informed consent
3) Identitas Bapak / Ibu dan anak akan dirahasiakan sepenuhnya oleh peneliti.
4) Kerahasiaan informasi yang diberikan Bapak / Ibu dan anak dijamin oleh
peneliti karena hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan
sebagai hasil penelitian.

127

Atas perhatian dan Partisipasi Bapak / Ibu sekalian saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surabaya,

2007

Hormat saya,

Walida Pangestuti

Lampiran 4
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan mengizinkan anak


saya untuk menjadi peserta / responden penelitian yang dilakukan oleh Walida
Pangestuti mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya yang berjudul :
Pengaruh Bladder-Retention Training terhadap Perubahan Kemampuan
dan Enuresis pada Anak Usia Sekolah (7-10Tahun)
Persetujuan ini saya buat dengan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

128

Kode Responden :

Kediri,.................2007
Yang menyetujui,

(...................................)

Lampiran 5
LEMBAR KUESIONER DATA ORANG TUA RESPONDEN
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:

Diisi oleh orang tua

Beri tanda silang pada jawaban yang dianggap benar

Jangan memberi tanda apapun pada kotak disebelah kanan

I.

Ayah

1. Pendidikan terakhir:
a)

Tidak sekolah

b)

Lulus SD

c)

Lulus SMP/ sederajat

d)

Lulus SMA/ sederajat

e)

Akademik/ Perguruan Tinggi

a)

Pegawai Negeri

b)

Swasta

c)

Wiraswasta

d)

Petani

2. Pekerjaan:

129

II.

e)

Tidak bekerja

f)

Lainnya

Ibu

1. Pendidikan terakhir:

2.

a)

Tidak sekolah

b)

Lulus SD

c)

Lulus SMP/ sederajat

d)

Lulus SMA/ sederajat

e)

Akademik/ Perguruan Tinggi

a)

Pegawai Negeri

b)

Swasta

c)

Wiraswasta

d)

Petani

e)

Tidak bekerja

f)

Lainnya..

Pekerjaan:

130

Lampiran 6
LEMBAR KUESIONER DATA RESPONDEN
No. Responden :
Petunjuk pengisian:

Tanggal Pengisian :

Diisi oleh orang tua

Berilah tanda silang pada jawaban yang dianggap benar

Jangan memberi tanda apapun pada kotak disebelah kanan

A.

Data Demografi

1. Jenis kelamin anak:


a) Laki-laki
b) Perempuan
2. Usia anak:
a) 7 tahun
b) 8 tahun
c) 9 tahun
d) 10 tahun
3.

Anak sekarang duduk di kelas:


a) 1

131

b) 2

B.

Data Enuresis

1. Apakah anak pernah berhenti mengompol pada beberapa waktu yang


cukup lama (lebih dari 6 bulan)?
a)

Pernah, kapan................(umur)

b)

Tidak pernah

2. Berapa frekuensi ngompol anak dalam 1 minggu?


a)

1 kali

b)

2 kali

c)

3 kali

d)

4 kali

e)

5 kali

f)

6 kali

g)

7 kali

3. Apakah anak memiliki ada saudara kandung yang mengalami hal yang
sama (mengompol sampai usia 5 tahun lebih)?
a)

Ya

b)

Tidak

4. Apakah kebiasaan anak sebelum tidur?


a)

Minum teh

b)

Minum susu

c)

Minum air putih

132

d)

Pergi ke toilet untuk berkemih

5. Berapa jumlah air yang diminum anak dalam 1 hari?


a)

Kurang dari 600 ml (2,5 gelas tanggung)

b)

600-1000 ml (2,5-4,5 gelas tanggung)

c)

1000-1500 ml (4,5-7 gelas tanggung)

d)

Lebih dari 1500 ml (7-8 gelas tanggung)

6. Riwayat kesehatan umum atau penyakit yang pernah diderita anak:

7.

a)

Cemas

b)

Buang air besar di celana

c)

Warna kemerahan pada kulit

d)

Susah buang air besar

e)

Berkemih tidak tuntas

f)

Nyeri ketika berkemih

g)

Penyakit kencing manis

h)

Alergi

i)

Lain-lain, sebutkan

Pada usia berapa toilet training (latihan berkemih di kamar mandi)


diberikan pada anak?

8.

9.

a)

Kurang dari15 bulan

b)

15-18 bulan

c)

18-24 bulan

d)

24-36 bulan

e)

Lebih dari 3 tahun

Apakah anak sedang mengkonsumsi obat/ jamu?


a)

Ya

b)

Tidak

Obat-obatan/ jamu yang dikonsumsi anak:

133

sebutkan......................................................
.....................................................................
10.

Apakah anak biasa tidur siang?


a)

Ya
Pada jam berapa?......................

b)

11.

Tidak

Apa usaha yang telah dilakukan orang tua dalam mengatasi enuresis
(ngompol) pada anak selama ini?
a)

Membiarkan saja

b)

Menghukum anak
(misalnya : mencuci baju sendiri)

c)

Memberikan obat-obatan, sebutkan.........

d)

Pergi ke dokter

e)

Lain-lain.......................

134

Lampiran 7
LEMBAR OBSERVASI UNTUK ANAK
KEMAMPUAN BLADDER-RETENTION TRAINING PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk Pengisian:

Berikan tanda check list ( ) pada kotak nilai

Dinilai oleh peneliti

No.

Kemampuan bladderretention training

Meminum 500 ml air putih

Mengkomunikasikan
verbal dan non verbal
keinginan berkemih

Mampu
menahan
keinginan berkemih sampai
batas toleransi

Nilai
Ya

Tidak

Kode

135

Mampu berkemih di toilet

Pada
pelaksanaan
berikutnya anak mampu
menahan
keinginan
berkemih lebih lama dari
waktu penundaan berkemih
sebelumnya1-2 menit

Lampiran 8
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR
KEMAMPUAN BLADDER-RETENTION TRAINING PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk Pengisian:

Dinilai berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua

No.

Kemampuan bladderretention training

Apakah anak meminum


500 ml air putih?

Apakah
anak
mengkomunikasikan secara
verbal dan non verbal
keinginan berkemih?

Apakah
anak
mampu
menahan
keinginan
berkemih sampai batas
toleransi?

Nilai
Ya

Tidak

Kode

136

Apakah
anak
mampu
berkemih di toilet?

Pada
pelaksanaan
berikutnya apakah anak
mampu menahan keinginan
berkemih lebih lama dari
waktu penundaan berkemih
sebelumnya1-2 menit?

Lampiran 9
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:

Diisi oleh orang tua

Berikan tanda positif ( + ) jika anak mengompol

Berikan tanda negatif ( - ) jika anak tidak mengompol

Jangan memberi tanda apapun pada kotak disebelah kanan atas

Nama anak:

Tanggal mulai:
Senin

Minggu I

Minggu II

Selasa

Rabu

Kamis

Jumat

Sabtu

Minggu

137

Minggu III

Minggu IV

Lampiran 10
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Petunjuk pengisian:

Diisi oleh peneliti dengan bertanya langsung pada anak

Berikan tanda positif ( + ) jika anak mengompol

Berikan tanda negatif ( - ) jika anak tidak mengompol

Nama anak:

Tanggal mulai:
Senin

Minggu I

Minggu II

Selasa

Rabu

Kamis

Jumat

Sabtu

Minggu

138

Minggu III

Minggu IV

Lampiran 11
LEMBAR OBSERVASI FREKUENSI ENURESIS (MENGOMPOL)
PADA SEMUA RESPONDEN

Diisi oleh peneliti

No Responden

1
2
3

A1
A2
A3

4
5
6

A4
A5
A6

7
8

A7
A8

9
10

B1
B2

11
12

B3
B4

Minggu I

Minggu II

Minggu III

Minggu IV

(Observasi pada

(Observasi pada

(Observasi

(Observasi pada

hari I minggu II)

hari I minggu

pada hari I

hari I minggu V)

III)

minggu IV)

139

13
14
15
16

B5
B6
B7
B8

Keterangan :

A : kode kelompok intervensi

B : kode kelompok kontrol

Angka 1-8 pada A1-A8 dan B1-B8 menunjukkan kode nama responden

Pada kolom tiap-tiap minggu diisi dengan frekuensi enuresis selama 1


minggu.

Lampiran 12
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR

Skala Tingkat Stres Anak


Nama :

No. Responden :

Usia

Tanggal Pengisian :

Kelas :
Jenis Kelamin : (Laki-laki / Perempuan)
Petunjuk Pengisian:

Berikan tanda silang ( X ) pada jawaban yang sesuai

Dinilai oleh peneliti

Pada halaman berikut ini terdapat beberapa kalimat yang menggambarkan kondisi
dan keadaan anak akhir-akhir ini. Anak diminta untuk memberikan jawaban YA
apabila kalimat tersebut sesuai dengan keadaan anak, dan memberi jawaban
TIDAK apabila kalimat tersebut tidak sesuai dengan keadaan anak. Caranya
adalah dengan memberi tanda silang ( X ) pada kotak jawaban yang sesuai.
1.

Ketika kamu mengalami situasi yang sulit seperti kematian, perceraian,


perpisahan orang tua apakah kamu sering merasa :

1
2
3
4
5

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual

YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

140

6
7
8
9
10

2.

Gelisah, bingung, sedih


Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Akhir-akhir ini, apabila kamu mendapatkan perhatian dari orang tua yang
kurang, apakah kamu sering merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

3.

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Apabila kamu mendapatkan adik baru, kamu merasa perhatian dari orang
tua kamu berkurang, apakah hal itu menyebabkan kamu sering merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

4.

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Ketika kamu dituntut untuk masuk sekolah pagi, apakah kamu sering
merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

141

5.

Ketika kamu mengalami situasi yang sulit seperti disiplin orang tua yang
ketat, apakah kamu sering merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

6.

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Ketika kamu mendapatkan tugas-tugas dari sekolah (PR), apakah kamu


sering merasa:

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

7.

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Ketika mendapatkan tuntutan berprestasi di sekolah (memperoleh nilai


yang tinggi) dari orang tua, apakah kamu sering merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

142

8.

Ketika melakukan penyesuaian dengan suasana baru di sekolah (guru,


teman sebaya), apakah kamu sering merasa :

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pusing, sakit kepala


Sulit konsentrasi
Capek, Lelah
Ingin marah, mudah tersinggung
Sakit perut, mual-mual
Gelisah, bingung, sedih
Berdebar-debar, deg-degan
Cemas, khawatir, takut
Keringat dingin keluar
Merasa malas, tidak punya semangat

YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Lampiran 13
LEMBAR WAWANCARA TERSTRUKTUR GANGGUAN TIDUR ANAK
No. Responden :
Tanggal Pengisian :

143

Petunjuk Pengisian :

No.

Dinilai berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan orang tua


Gangguan tidur
yang terjadi

Apakah tanda-tanda
vital anak (nadi,
respirasi) menurun
secara
bermakna
dibanding selama
terjaga?

Apakah anak tidur


sambil berjalan?

Apakah
anak
mengalami
tidur
dalam/pulas, sulit
dibangunkan malam
hari untuk ke kamar
mandi ?

Apakah anak jarang


bergerak
ketika
tidur ?

Selalu

Sering

Nilai
Kadang- Tidak
kadang pernah

Lampiran 14
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN

Kode

144

Topik

: Bladder-Retention Training pada Anak Usia Sekolah

Sasaran

: Anak usia sekolah yang mengalami enuresis di SDN. Selodono


Ds. Selodono Kec. Ringinrejo Kab. Kediri serta orang tuanya

Waktu

: disesuaikan (30 menit)

Tempat: SDN. Selodono Ds. Selodono Kec. Ringinrejo Kab. Kediri


1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah pembelajaran / pendidikan kesehatan, kemampuan praktik bladderretention training anak meningkat.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah pembelajaran / pendidikan kesehatan selama 30 menit :
1) Seluruh anak dapat menjelaskan pengertian bladder-retention training
2) Seluruh anak dapat menjelaskan waktu bladder-retention training
3) Seluruh anak dapat menjelaskan manfaat bladder-retention training
4) Seluruh anak dapat menjelaskan prosedur bladder-retention training
5) Orang tua dapat mengerti pelaksanaan prosedur bladder-retention training
3. Sasaran
Anak usia sekolah yang mengalami enuresis di SDN. Selodono Ds. Selodono
Kec. Ringinrejo Kab. Kediri serta orang tuanya
4. Materi Pembelajaran
1. Pengertian bladder-retention training
2. Waktu bladder-retention training
3. Manfaat bladder-retention training
4. Prosedur bladder-retention training
5. Metode Pembelajaran
Ceramah

145

Demonstrasi
6. Alat Bantu / Media Pembelajaran
1. Lembar materi
2. SOP (Satuan Operasional Prosedur)
3. Leaflet
7. Kegiatan Pembelajaran
No.
1

Tahap dan Waktu


Pembukaan
5 menit

Pengembangan
20 menit

Penutupan
5 menit

Kegiatan Pendidik / Pengajar


Memberi
salam
dan
memperkenalkan diri.
Mengingatkan
kontrak
pembelajaran (kapan, materi,
siapa pengajar)
Menyampaikan tujuan
Menanyakan
kesiapan
sasaran

Kegiatan Sasaran
Menjawab salam
Memperhatikan
atau
menjawab
bila perlu

Menjelaskan
pengertian
bladder-retention training
Menjelaskan
waktu
bladder-retention training
Menjelaskan
manfaat
bladder-retention training
Menjelaskan
prosedur
bladder-retention training
Memberikan kesempatan
sasaran untuk menanyakan
penjelasan
yang
belum
dimengerti
Merangkum
materi
pembelajaran dengan sasaran
Membagikan leaflet
Melakukan pre-test dengan
menerima lembar observasi
frekuensi ngompol yang telah
diberikan kepada orang tua 1
minggu
sebelum
pembelajaran, serta dengan

Memperhatikan

Memperhatiakan
Menjawab
tentang
kesiapannya

Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Bertanya

Menjawab secara
lisan
Melaksanakan
praktik
redemonstrasi
Mengumpulkan

146

wawancara langsung.
data

Melakukan
post-test
dengan
observasi pada
kemampuan praktik anak
setelah pembelajaran yang
terakhir diberikan
Melakukan post-test dengan
observasi pada frekuensi
enuresis
anak
setelah Menjawab salam
pembelajaran yang terakhir
dengan menerima lembar
observasi frekuensi ngompol
yang telah diberikan kepada
orang
tua
1
minggu
sebelumnya, serta dengan
wawancara langsung.

Mengakhiri
pertemuan
dengan mengucap salam
8.

Kriteria Evaluasi Pembelajaran


1)

Evaluasi struktur

Semua responden yang memenuhi kriteria inklusi hadir dalam


kegiatan pembelajaran Bladder-retention training

Penyelenggaraan kegiatan pembelajaran Bladder-retention training


dilakukan di SDN. Selodono kegiatan pembelajaran Bladder-retention
training dilakukan 3 hari sebelumnya

2) Evaluasi proses

Anak dan orang tua antusias terhadap materi pembelajaran Bladderretention training

Anak dan orang tua tetap berada di tempat pelatihan sampai kegiaatan
selesai

Anak dan orang tua aktif dalam kegiatan pembelajaran Bladderretention training

147

3) Evaluasi hasil

Menjelaskan pengertian bladder-retention training yang benar

Menjelaskan waktu pelaksanaan bladder-retention training

Menjelaskan manfaat bladder-retention training

Pelaksanaan prosedur bladder-retention training

Sumber
Butler, RJ. (1994). Nocturnal Enuresis: The Childs Experience. Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, p: 132-135
Cendron, M. (1998). Articles Primary Nocturnal Enuresis: Current Concepts.
http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html (akses tanggal 29 September
2006 jam 11.15)
Harjaningrum, AT. (2005). Sudah Besar Masih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?
http://www.tonangardyanto.com/content/view//22/37/ (akses tanggal 27
September 2006 jam 14.30)
Johnson,
M.
(1998).
Articles
Noctunal
Enuresis.
http://www.duj.com/johnson.html (akses tanggal 29 September 2006 jam
09.30)
Robert. (2006). The Traditional Chinese Medicine (TCM) Approach to Bedwetting
(Enuresis). http://www.roberthelmer.ca/bedwetting07.html (akses tanggal
07 Maret 2007 jam 10.00)
Rosenstein, BJ. (1997). Intisari Pediatri: Panduan Praktis Pediatri Klinik.
Jakarta: Hipokrates, hal: 141

148

Lampiran 15
MATERI PEMBELAJARAN
Bladder-Retention Training
1)

Pengertian enuresis
Rosenstein

(1997)

mengemukakan

bahwa

enuresis

merupakan

pengeluaran urin secara involunter yang muncul setelah seorang anak mencapai
umur dimana pengontrolan kandung kemih biasanya sudah ada yaitu pada umur 4
tahun.
Menurut dunia kedokteran, enuresis atau ngompol adalah peristiwa tidak
dapat menahan keluarnya air kencing. Enuresis masih dianggap normal bila
terjadi pada anak balita. Tetapi hal ini perlu mendapat perhatian khusus jika terjadi
pada anak usia 5 atau lebih (Harjaningrum, 2005)
2)

Penyebab enuresis
Menurut Harjaningrum (2005), ada beberapa faktor yang diduga sebagai

penyebab enuresis, yaitu :

Keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP)


Pada anak yang normal, ketika kandung kemih sudah penuh oleh urin,
sistem saraf di kandung kemih akan melapor ke otak, kemudian otak akan
mengirim pesan balik ke kandung kemih. Otak akan meminta kandung
kemih untuk menahan pengeluaran urin, sampai anak benar-benar telah
siap di toilet. Tetapi pada anak dengan keterlambatan matangnya SSP,
proses ini tidak terjadi. Sehingga ketika kandung kemih penuh, anak tidak
dapat menahan keluarnya urine tersebut.

149

Faktor genetik
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa enuresis primer dapat terjadi
karena faktor keturunan. Jika orang tuanya mempunyai riwayat enuresis,
maka 77 % kemungkinan bahwa anak akan juga mengalami enuresis.
Sedangkan jika salah satu orang tua pernah mengalami enuresis, maka
terdapat kurang lebih 44 % kemungkinan anak akan mengalami hal yang
sama. Tapi jika tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami
enuresis, maka kemungkinan anak mengalami enuresis hanya 15 %.
Penelitian lain yang dilakukan pada 11 keluarga penderita enuresis, telah
berhasil mengidentifikasi gen (sepotong informasi dalam penurunan sifat
dari orang tua kepada anak) yang diduga dapat menyebabkan enuresis.

Gangguan tidur
Tidur yang sangat dalam (deep sleep) dapat menjadi penyebab enuresis.
Umumnya, pola tidur penderita normal. Tetapi, karena deep sleep tersebut,
anak menjadi tidak dapat terbangun ketika ingin berkemih.

Kadar ADH (Anti Diuretic Hormone) dalam tubuh yang kurang


Hormon ini akan menyebabkan tubuh seseorang memproduksi sedikit urin
pada malam hari. Tetapi, pada penderita enuresis primer, tubuh tidak
mampu menghasilkan ADH dalam jumlah yang cukup. Akibatnya, ketika
sedang tidur, tubuh akan menghasilkan urin dalam jumlah yang terlalu
banyak. Dan terjadilah enuresis.

Kelainan anatomi seperti ukuran kandung kemih yang kecil

150

Hal ini bisa ditemukan pada penderita enuresis primer, biasanya disertai
gejala yang tampak pada siang hari.

Stres kejiwaan
Pelecehan seksual, kematian dalam keluarga, pindah rumah, kelahiran
adik baru, perceraian orang tua merupakan keadaan yang dapat
menyebabkan stres kejiwaan yang akhirnya dapat menyebabkan enuresis
sekunder pada anak.

Kondisi fisik yang terganggu


Enuresis sekunder

juga bisa disebabkan oleh adanya infeksi saluran

kemih, diabetes mellitus, susah buang air besar.

Alergi
Alergi juga dapat menyebabkan enuresis sekunder.

3)

Pengertian bladder-retention training


Bladder-retention training adalah suatu metode penanganan enuresis yang

bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional kandung kemih (Johnson,


1998).
Rushton (1989) dalam definisi yang dikutip oleh Jonhson (1998)
mengemukakan bahwa bladder-retention training termasuk didalamnya usaha
secara sadar dan sengaja untuk meregangkan kandung kemih dengan
memperpanjang interval waktu berkemih.
Bladder-retention training merupakan metode penanganan enuresis yang
menghendaki anak untuk menahan berkemih sampai anak berada di toilet (Robert,
2006).

151

4)

Waktu bladder-retention training


Menurut Robert (2006) Bladder-retention training tidak dilakukan pada

anak yang berusia kurang dari 6 tahun.


5)

Manfaat bladder-retention training


Manfaat Bladder-retention training pada anak usia sekolah adalah:

1. Membantu otot detrusor beradaptasi dalam meningkatkan tekanan dan volume


kandung kemih (Butler,1994)
2. Membantu meningkatkan kapasitas fungsional kandung kemih terutama pada
waktu malam hari (Cendron, 2006)
3. Membuat anak lebih peka terhadap sensitivitas kandung kemih (Butler, 1994)
4. Memungkinkan anak untuk tidur sepanjang malam tanpa perlu bangun untuk
berkemih (Butler, 1994)
5. Mengurangi frekuensi enuresis (Johnson, 1998)

152

Lampiran 16

SATUAN OPERASIONAL PROSEDUR


PELAKSANAAN BLADDER-RETENTION TRAINING PADA ANAK USIA
SEKOLAH
1. Definisi
Bladder-retention training adalah suatu metode penanganan enuresis /
mengompol termasuk didalamnya usaha secara sadar dan sengaja untuk
meregangkan kandung kemih dengan memperpanjang interval waktu
berkemih. yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional kandung
kemih.
2. Tujuan
1. Mengajari cara pelaksanaan bladder-retention training pada anak usia
sekolah yang sesuai.
2. Memberikan perasaan nyaman pada anak

saat pelaksanaan bladder-

retention training.
3. Prosedur
Pelaksanaan bladder-retention training menurut Butler (1994, adalah sebagai
beikut:
1. Satu kali pertemuan setiap hari.
2. Menganjurkan anak minum 500 ml air putih.

153

3. Anak diminta untuk menahan keinginan berkemih selama mungkin dengan


mengalihkan perhatian dari keinginan berkemih ke hal-hal yang lain.
4. Mencatat waktu ketika anak mengindikasikan keinginannya untuk
berkemih sebagai start.
5. Ketika anak sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk berkemih,
anjurkan anak untuk berkemih di toilet.
6. Mencatat waktu antara start dan berkemih.
7. Memberi pujian untuk usaha anak menahan keinginan berkemih.
8. Menggunakan grafik untuk memonitor waktu penundaan berkemih.
9. Menganjurkan anak untuk menambah waktu penundaan berkemih pada
pertemuan berikutnya 1-2 menit.
10. Memberi pujian untuk keberhasilan anak dalam peningkatan waktu
penundaan berkemih.

154

155

Lampiran 18

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

Lampiran 19
NPar Tests
Descriptives
Descriptive Statistics
N
Pre test kemampuan
bladder-retention
training (intervensi)
Post test kemampuan
blader-retention
training (intervensi)
Pre test kemampuan
bladder-retention
training (kontrol)
Post test kemampuan
bladder-retention
training (kontrol)
Valid N (listwise)

Wilcoxon Signed Ranks Test

Minimum

Maximum

1,88

,354

3,00

,000

1,75

,463

1,75

,463

Mean

Std. Deviation

167

Ranks
N
Post test kemampuan
blader-retention
training (intervensi) Pre test kemampuan
bladder-retention
training (intervensi)

Negative Ranks

Post test kemampuan


bladder-retention
training (kontrol) - Pre
test kemampuan
bladder-retention
training (kontrol)

Positive Ranks

8
0

Total

Negative Ranks
Positive Ranks

0d

Total

Sum of Ranks

,00

,00

4,50

36,00

,00

,00

,00

,00

Ties

Ties

Mean Rank

8
8

a. Post test kemampuan blader-retention training (intervensi) < Pre test


kemampuan bladder-retention training (intervensi)
b. Post test kemampuan blader-retention training (intervensi) > Pre test
kemampuan bladder-retention training (intervensi)
c. Post test kemampuan blader-retention training (intervensi) = Pre test
kemampuan bladder-retention training (intervensi)
d. Post test kemampuan bladder-retention training (kontrol) < Pre test
kemampuan bladder-retention training (kontrol)
e. Post test kemampuan bladder-retention training (kontrol) > Pre test
kemampuan bladder-retention training (kontrol)
f. Post test kemampuan bladder-retention training (kontrol) = Pre test kemampuan
bladder-retention training (kontrol)
Test Statisticsc

Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

Post test
Post test
kemampuan
kemampuan
blader-retent
bladder-rete
ion training
ntion training
(intervensi) (kontrol) Pre test
Pre test
kemampuan
kemampuan
bladder-rete
bladder-rete
ntion training ntion training
(intervensi)
(kontrol)
-2,714a
,000b
,007
1,000

a. Based on negative ranks.


b. The sum of negative ranks equals the sum of
positive ranks.
c. Wilcoxon Signed Ranks Test

168

NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
Post kemampuan

KelompokResponden
intervensi
kontrol
Total

N
8

Mean Rank
12,50

Sum of Ranks
100,00

4,50

36,00

16

169

Test Statisticsb

Mann-Whitney U

Post
Kemampuan
,000

Wilcoxon W

36,000

-3,703

Asymp. Sig. (2-tailed)

,000

Exact Sig. [2*(1-tailed


Sig.)]

,000

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok Responden

170

171

172

173

TABEL FREKUENSI DATA ORANG TUA RESPONDEN


Pada Kelompok Intervensi
Frequencies
Statistics

Valid
Missing

Pendidikan
Ayah
7
1

Pekerjaan
Ayah
7
1

Pendidikan
Ibu
8
0

Pekerjaan Ibu
8
0

174

Frequency Table
Pendidikan Ayah

Valid

Missing
Total

lulus SD
lulus SMP/sederajat
Total
System

Frequency
2
5
7
1
8

Percent
25,0
62,5
87,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
28,6
100,0

Valid Percent
28,6
71,4
100,0

Pekerjaan Ayah

Valid

Missing
Total

swasta
wiraswasta
petani
Total
System

Frequency
1
1
5
7
1
8

Percent
12,5
12,5
62,5
87,5
12,5
100,0

Valid Percent
14,3
14,3
71,4
100,0

Cumulative
Percent
14,3
28,6
100,0

Pendidikan Ibu

Valid

Frequency
3
5
8

lulus SD
lulus SMP/sederajat
Total

Percent
37,5
62,5
100,0

Valid Percent
37,5
62,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
100,0

Pekerjaan Ibu

Valid

swasta
wiraswasta
petani
lainnya (TKW)
Total

Frequency
1
1
5
1
8

Percent
12,5
12,5
62,5
12,5
100,0

Valid Percent
12,5
12,5
62,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
12,5
25,0
87,5
100,0

Pada Kelompok Kontrol


Frequencies
Statistics

Valid
Missing

Frequency Table

Pendidikan
Ayah
8
0

Pekerjaan
Ayah
8
0

Pendidikan
Ibu
8
0

Pekerjaan Ibu
8
0

175

Pendidikan Ayah

Valid

lulus SD
lulus SMP/sederajat
lulus SMA/sederajat
Total

Frequency
3
4
1
8

Percent
37,5
50,0
12,5
100,0

Valid Percent
37,5
50,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
87,5
100,0

Pekerjaan Ayah

Valid

wiraswasta
petani
Total

Frequency
4
4
8

Percent
50,0
50,0
100,0

Valid Percent
50,0
50,0
100,0

Cumulative
Percent
50,0
100,0

Pendidikan Ibu

Valid

lulus SD
lulus SMP/sederajat
lulus SMA/sederajat
Total

Frequency
3
4
1
8

Percent
37,5
50,0
12,5
100,0

Valid Percent
37,5
50,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
87,5
100,0

Pekerjaan Ibu

Valid

wiraswasta
petani
Total

Frequency
5
3
8

Percent
62,5
37,5
100,0

Valid Percent
62,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
62,5
100,0

TABEL FREKUENSI DATA DEMOGRAFI RESPONDEN


Pada Kelompok Intervensi
Frequencies

176

Statistics

Valid
Missing

Jenis Kelamin
Anak
8
0

Usia Anak
8
0

Kelas Anak
8
0

Frequency Table
Jenis Kelamin Anak

Valid

laki-laki
perempuan
Total

Frequency
5
3
8

Percent
62,5
37,5
100,0

Valid Percent
62,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
62,5
100,0

Usia Anak

Valid

7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
Total

Frequency
1
5
1
1
8

Percent
12,5
62,5
12,5
12,5
100,0

Valid Percent
12,5
62,5
12,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
12,5
75,0
87,5
100,0

Kelas Anak

Valid

kelas 1
kelas 2
Total

Frequency
7
1
8

Percent
87,5
12,5
100,0

Valid Percent
87,5
12,5
100,0

Pada Kelompok Kontrol


Frequencies

Cumulative
Percent
87,5
100,0

177

Statistics

Valid
Missing

Jenis Kelamin
Anak
8
0

Usia Anak
8
0

Kelas Anak
8
0

Frequency Table
Jenis Kelamin Anak

Valid

laki-laki
perempuan
Total

Frequency
5
3
8

Percent
62,5
37,5
100,0

Valid Percent
62,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
62,5
100,0

Usia Anak

Valid

7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
Total

Frequency
1
4
2
1
8

Percent
12,5
50,0
25,0
12,5
100,0

Valid Percent
12,5
50,0
25,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
12,5
62,5
87,5
100,0

Kelas Anak

Valid

kelas 1
kelas 2
Total

Frequency
6
2
8

Percent
75,0
25,0
100,0

Valid Percent
75,0
25,0
100,0

Cumulative
Percent
75,0
100,0

TABEL DATA FREKUENSI ENURESIS RESPONDEN


Pada Kelompok Intervensi

178

Frequencies
Frequency Table
Berhenti Ngompol

Valid

tidak pernah

Frequency
8

Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Frekuensi Enuresis

Valid

3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total

Frequency
3
2
2
1
8

Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0

Valid Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
62,5
87,5
100,0

Saudara Kandung Yang Ngompol

Valid

Ya
Tidak
Total

Frequency
2
6
8

Percent
25,0
75,0
100,0

Valid Percent
25,0
75,0
100,0

Cumulative
Percent
25,0
100,0

Kebiasaan Sebelum Tidur


Frequency
Valid

tidak punya kebiasaan


sebelum tidur

Percent

Valid Percent

100,0

Cumulative
Percent

100,0

Jumlah Air Minum 1 Hari

Valid

600-1000 ml
1000-1500 ml
Total

Frequency
5
3
8

Percent
62,5
37,5
100,0

Valid Percent
62,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
62,5
100,0

Riwayat Kesehatan

Valid

tidak ada
alergi
lain-lain
Total

Frequency
5
1
2
8

Percent
62,5
12,5
25,0
100,0

Valid Percent
62,5
12,5
25,0
100,0

Cumulative
Percent
62,5
75,0
100,0

100,0

179

Usia Toilet Training

Valid

kurang dari 15 bulan


15-18 bulan
Total

Frequency
6
2
8

Percent
75,0
25,0
100,0

Valid Percent
75,0
25,0
100,0

Cumulative
Percent
75,0
100,0

Konsumsi Obat Atau Jamu

Valid

tidak

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Tidur Siang Anak

Valid

ya

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Usaha Orang Tua Atasi Enuresis

Valid

membiarkan saja

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Pada Kelompok Kontrol


Frequencies
Frequency Table

Cumulative
Percent
100,0

180

Berhenti Ngompol

Valid

tidak pernah

Frequency
8

Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Frekuensi Enuresis

Valid

3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total

Frequency
2
4
1
1
8

Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0

Valid Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
25,0
75,0
87,5
100,0

Saudara Kandung Yang Ngopol

Valid

Ya
Tidak
Total

Frequency
3
5
8

Percent
37,5
62,5
100,0

Valid Percent
37,5
62,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
100,0

Kebiasaan Sebelum Tidur


Frequency
Valid

tidak punya kebiasaan


sebelum tidur
minum susu
minum air putih
Total

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

75,0

75,0

75,0

1
1
8

12,5
12,5
100,0

12,5
12,5
100,0

87,5
100,0

Jumlah Air Minum 1 Hari

Valid

600-1000 ml
1000-1500 ml
Total

Frequency
5
3
8

Percent
62,5
37,5
100,0

Valid Percent
62,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
62,5
100,0

Riwayat Kesehatan

Valid

tidak ada
lain-lain
Total

Frequency
7
1
8

Percent
87,5
12,5
100,0

Valid Percent
87,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
87,5
100,0

181

Usia Toilet Training

Valid

kurang dari 15 bulan


15-18 bulan
18-24 bulan
Total

Frequency
2
3
3
8

Percent
25,0
37,5
37,5
100,0

Valid Percent
25,0
37,5
37,5
100,0

Cumulative
Percent
25,0
62,5
100,0

Konsumsi Obat Atau Jamu

Valid

tidak

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Tidur Siang Anak

Valid

ya

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Usaha Orang Tua Atasi Enuresis

Valid

membiarkan saja

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

TABEL FREKUENSI DATA VARIABEL YANG DIUKUR


Frequencies
Frequency Table

182

Stres Anak-Intervensi

Valid

tidak ada stres

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Stres Anak-kontrol

Valid

tidak ada stres

Frequency
8

Percent
100,0

Gangguan Tidur-Intervensi

Valid

ada gangguan tidur


tidak ada gangguan tidur
Total

Frequency
2
6
8

Percent
25,0
75,0
100,0

Valid Percent
25,0
75,0
100,0

Cumulative
Percent
25,0
100,0

Gangguan Tidur-kontrol

Valid

ada gangguan tidur


tidak ada gangguan tidur
Total

Frequency
1
7
8

Percent
12,5
87,5
100,0

Valid Percent
12,5
87,5
100,0

Pre-Kemampuan Bladder-retention training-Intervensi

Valid

kurang
cukup
Total

Frequency
1
7
8

Percent
12,5
87,5
100,0

Valid Percent
12,5
87,5
100,0

Cumulative
Percent
12,5
100,0

Post-Kemampuan Bladder-retention training-Intervensi

Valid

baik

Frequency
8

Percent
100,0

Valid Percent
100,0

Cumulative
Percent
100,0

Pre-Kemampuan Bladder-retention training-kontrol

Valid

kurang
cukup
Total

Frequency
2
6
8

Percent
25,0
75,0
100,0

Valid Percent
25,0
75,0
100,0

Cumulative
Percent
25,0
100,0

Cumulative
Percent
12,5
100,0

183

Post-Kemampuan Bladder-retention training-kontrol

Valid

kurang
cukup
Total

Frequency
2
6
8

Percent
25,0
75,0
100,0

Valid Percent
25,0
75,0
100,0

Cumulative
Percent
25,0
100,0

Pre-Frekuensi Enuresis-Intervensi

Valid

3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total

Frequency
3
2
2
1
8

Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0

Valid Percent
37,5
25,0
25,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
37,5
62,5
87,5
100,0

Post-Frekuensi Enuresis-Intervensi

Valid

0 kali/1 minggu
1 kali/1 minggu
2 kali/1 minggu
Total

Frequency
5
1
2
8

Percent
62,5
12,5
25,0
100,0

Valid Percent
62,5
12,5
25,0
100,0

Cumulative
Percent
62,5
75,0
100,0

Pre-Frekuensi Enuresis-kontrol

Valid

3 kali/1 minggu
4 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total

Frequency
2
4
1
1
8

Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0

Valid Percent
25,0
50,0
12,5
12,5
100,0

Cumulative
Percent
25,0
75,0
87,5
100,0

Post-Frekuensi Enuresis-kontrol

Valid

3 kali/1 minggu
5 kali/1 minggu
6 kali/1 minggu
7 kali/1 minggu
Total

Frequency
2
3
2
1
8

Percent
25,0
37,5
25,0
12,5
100,0

Valid Percent
25,0
37,5
25,0
12,5
100,0

Cumulative
Percent
25,0
62,5
87,5
100,0

184

DATA ANALISIS ISI (WAWANCARA TERSTRUKTUR)


Kemampuan Bladder-Retention Training Anak Usia Sekolah
Jawaban dari pertanyaan:
Apakah anak meminum air putih 500 ml dalam 1 kali minum?
No. Responden
Ibu 1

Hasil Wawancara
Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Ngga, biasanya cuma 1 Selama latihan ini anak saya
gelas kecil
minum 500 ml air putih kok
mbak, saya takar pake gelas
yang ada ukurannya itu

185

Ibu 2

Ibu 3
Ibu 4
Ibu 5

Bapak 6
Ibu 7

Ibu 8

Ibu 9
Ibu 10

Bapak 11

Ibu 12
Ibu 13
Ibu 14

Tidak
pernah
mbak, Sesuai petunjuk mbak, anak
mungkin hanya 1 gelas kecil saya sudah bisa meminum 2
gelas tanggung sekali minum
untuk latihan ini
Tidak mbak, ya cuma 1-2 Sekarang sudah terbiasa
gelas kecil tho
mbak
Ya ngga pernah mbak, apa Sudah mbak, anak saya bisa
ga kembung perutnya?
minum 2 gelas tanggung
langsung
Tidak pernah mbak, anak Awalnya ya ga bisa mbak,
saya ga begitu suka minum karena
belum
terbiasa
mungkin, tapi sekarang sudah
bisa minum 2
gelas
tanggung
Ngga, paling-paling 1 Anak saya sudah terbiasa
gelas kecil, tapi kadang minum 2 gelas tanggung
lebih
langsung
Ngga pernah mbak,lawong Anak saya tetap ga bisa
saya aja cuma 1gelas kecil, mbak, waktu mau saya
anak saya juga begitu
tambahin lagi airnya ga mau
katanya mau muntah
Tidak pernah, minumnya Alhamdulillah bisa mbak,ya
dikit banget, paling cuma saya motivasi terus, supaya
gelas tanggung/1 gelas mau,
saya
iming-imingi
kecil
sepatu baru klo ga ngompol
lagi
Tidak, 500 ml kan banyak ngga pernah mbak, paling ya
mbak
1 gelas kecil
Tidak pernah, 1 hari aja Ya sama seperti kemarencuma 2 gelas tanggung, kemaren mbak, ga pernah
diminum dikit-dikit, kadang anak saya minum 500 ml air
kurang
putih sekaligus
500 ml? Banyak baget Memangnya 500 ml ga
mbak, ngga pernah mbak
kebanyakan mbak, apa ada
maksudnya? Klo anak saya,
ga
pernah
minum
air
sebanyak itu sekali minum,
paling 1-2 gelas sehari.
Tidak pernah
Anak saya sekali minum
cuma 1 gelas, kadang
sampai2 gelas kecil
Ngga pernah mbak, cuma 1 Ngga pernah mbak, cuma 1
gelas kecil, kadang ngga gelas kecil, kadang ngga
habis
habis
Tidak pernah
2-4 gelas tanggung itu
dalam 1 hari mbak, ngga
sekali minum

186

Bapak 15

Tidak penah

Ibu 16

Ngga mbak, anak saya


minum ya terserah dia,
kadang 1 gelas kecil, kadang
nya

Tidak pernah, paling banyak


mungkin 2 gelas
Tidak pernah mbak, anak
saya minum ya terserah dia,
mungkin
tergantung
aktivitasnya, kadang 1 gelas
kecil, kadang 1 gelas kecil itu
tidak habis

Anda mungkin juga menyukai