Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2015 adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat
terwujud melalui terciptanya masyarkat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai
oleh penduduknya yang hidup dengan prilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah
Republik Indonesia. (Depkes RI, 2009 : 33)
Dalam menempuh seluruh siklus hidupnya manusia itu perlu kesehatan, baik
dari segi bio-psiko-sosial maupun spiritual, jika manusia itu merasa ada gangguan
pada kesehatannya maka ia akan mencari pertolongan yang ada diluar dirinya,
khususnya pada gangguan biologis / fisik, mereka biasanya akan mencari pengobatan
di rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya. (Depkes RI, 2009 :
36)
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani
terapy dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses
tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut

beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumaik dan penuh
dengan stress. (Yupi Supartini, 2004 : 188)
Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis pada kehidupan anak. Di rumah
sakit, anak harus menghadapi lingkungan yang asing, pemberi asuhan yang tidak di
kenal, dan gangguan terhadap gaya hidup mereka. Seringkali, mereka harus
mengalami prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian, dan berbagai
hal yang tidak diketahui. Interpretasi mereka terhadap kejadian, respon mereka
terhadap pengalaman, dan signifikansi yang mereka tempatkan pada pengalaman ini
secara langsung berhubungan dengan tingkat perkembangan. ( Donna L. Wong,
2003 : 333)
Hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada
semua tingkatan usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak factor, baik
faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru,
maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa
cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.
Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis
anak akan merasakan perubahan prilaku dari orang tua yang mendampinginya selama
perawatan (Marks, 1998 : 53).
Anak akan menjadi stress dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan,
yaitu menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Arder (1885)
bahwa pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit,
karena pada kondisi stress akan terjadi penekanan sistem imun (Subowo, 1992).
Pasien anak yang merasa nyaman selama perawatan dengan adanya dukungan sosial
2

keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh
dengan perhatian akan mempercepat proses penyembuhan. (Nursalam, 2005 : 1-2)
Anak dalam keadaan sakit memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal.
Namun demikian keadaan sakit dapat menjadikan pasien kurang tidur atau tidak dapat
tidur (Tarwoto dan Wartonah, 2004). Kualitas tidur anak dapat dipengaruhi oleh
faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik yang mempengaruhi kualitas tidur anak
dapat berupa kekurangan gizi (bayi/anak menjadi rewel dan tidak bisa tidur nyenyak),
gangguan dari bermacam penyakit seperti gangguan organ pencernaan atau adanya
luka dan gangguan jasmani lainnya. Sedangkan faktor psikologis yang dapat berupa
ketegangan batin, hatinya sangat teangsang (terlalu bersemangat), anak mengalami
kegelisahan, keresahan, cemas, takut karena adanya tekanan atau perubahan pada
lingkungan anak (Suherman, 2000).
Beberapa ahli berpendapat, tidur merupakan proses detoksifikasi (penetralan)
toksik atau racun yang terakumulasi dalam tubuh. Akumulasi toksin inilah yang
menyebabkan timbulnya rasa kantuk sehingga memicu seseorang untuk tidur. Ini
merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan seseorang terhadap tubuhnya
sewaktu tidur (teori hipotoksins). Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur
merupakan waktu untuk restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Selama tidur,
memungkinkan seseorang mengistirahatkan beberapa organ tubuh. Penggunaan
energi menurun sekitar 15-20 % dan konsumsi Oksigen menurun saat seseorang
tertidur. Hal ini memungkinkan seseorang mengkonservasi kembali energinya
sewaktu tidur. Selain itu, hormone pertumbuhan (growth hormone) terutama dilepas
waktu tidur.
3

Lama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia dan tahap
perkembangan. Semakin tua seseorang, semakin sedikit pula lama tidur yang
diperlukan (Priharjo, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2004), jumlah total
tidur dalam satu hari bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula
perbedaan yang besar antar individu mengenai kebutuhan tidur.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Ruang rawat Inap Anak RSU D Solok
bulan Juni sampai Agustus 2012, diperoleh jumlah anak yang dirawat meningkat
setiap bulannya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini:
Tabel. 1.1
Jumlah Pasien Selama 3 Bulan Terakhir Yang Dirawat
Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok
Bulan Juni Agustus 2012
No
Bulan
Jumlah pasien anak
1
Juni
28
2
Juli
32
3
Agustus
40
Jumlah
100
Sumber : Medical Record RSUD Solok
Dari Tabel 1.1 diatas dapat dilihat bawah terjadi peningkatan jumlah anak
yang dirawat tiap bulannya. Dan dari studi awal peneliti di Ruang Anak RSUD Solok
rata-rata anak yang dirawat di ruang RSUD Solok perminggu adalah 10 orang.
Sedangkan dari observasi di instalasi ruang rawat inap anak RSUD Solok Tanggal
20-21 Maret 2012 di temui reaksi stress yang berbeda terhadap anak yang dirawat di
ruang rawat inap anap RSUD Solok, dan 10 anak yang di amati dengan wawancara
terhadap orang tua nya, mereka merasa cemas dan takut dengan lingkungan rumah
sakit sehingga tidak mau tidur. Reaksi yang timbul pada 8 orang anak yang diamati

tersebut, mereka selalu ingin ditemani orang tua terutama ibu disebabkan anak tidak
mau tidur, 2 orang anak kelihatan lingkaran matanya bengkak dan merah.
Menurut Potter (2005) factor faktor yang mempengaruhi kuantitas dan
kualitas tidur adalah faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah
kualitas dan kuantitas tidur. Penyakit fisik yang diderita anak dapat menyebabkan
gangguan tidur. Beberapa penyakit dapat menimbulkan rasa nyeri maupun
ketidaknyamanan fisik, seperti kesulitan bernafas ataupun masalah suasana hati
seperti kecemasan atau depresi. Pada beberapa penyakit memaksa anak untuk tidur
dengan posisi yang tidak biasa. Selain itu, mungkin terjadi perubahan-perubahan
yang menyebabkan seseorang mempunyai masalah kesulitan tidur ataupun justru
tetap tertidur.
Dari data diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Hubungan
hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak yang Dirawat di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya hubungan
hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak yang Dirawat di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Untuk memperoleh Hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak
yang Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012.

1.3.2

Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahui distribusi frekuensi hospitalisasi anak yang dirawat di ruang rawat
inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.3.2.2 Diketahui distribusi frekuensi istirahat/ tidur pada anak yang dirawat di ruang
rawat inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.3.2.3 Diketahui hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada anak yang
dirawat di ruang rawat inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1

Bagi Peneliti
Untusk menambah wawasan dan mendapat hubungan hospitalisasi pada anak
dengan istirahat / tidur anak.

1.4.2

Bagi Karu Anak RSUD Solok


Sebagai bahan masukan bagi perawat yang bertugas di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok tentang hospitalisasi pada anak prasekalah dan dapat
mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah stres hospitalisasi pada anak
yang dirawat.

1.4.3

Bagi Orang Tua


Dapat membantu orang tua memahami penyebab stres yang dialami anaknya
pada saat dirawat di rumah sakit.
6

1.4.4

Bagi Peneliti Lain


Sebagai bahan masukan dan rujukan atau perbandingan untuk penelitian lebih
lanjut yang berhubungan dengan hubungan hospitalisasi dengan istirahat dan
tidur pada anak yang dirawat.

1.5 Ruang Lingkup


Ruang lingkup penelitian ini adalah hubungan hospitalisasi dengan
istirahat/ tidur pada Anak yang Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok
Tahun 2012. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang anaknya dirawat
di ruang rawat inap anak RSUD Solok, dengan teknik pengambilan sampel
accidental sampling selama 3 minggu minimal sampel 30 orang. Penelitian ini
telah dilakukan pada tanggal 12 sampai 30 November tahun 2012.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hospitalisasi
2.1.1 Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani
terapy dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. ( Yupi Supartini,
2004 : 188)
2.1.2 Dampak Hospitalisasi
Dampak hospitalisasi secara umum dapat merubah kelakuan seseorang
dengan adanya sakit dan pengaruh hospitalisasi perubahan dapat terjadi secara besar.
Hospitalisasi biasanya mengganggu privacy seseorang, autonomy, istirahat / tidur,
roles dan ekonomi. ( Yupi Supartini, 2004 : 189)
2.1.2.1 Privacy
Saat pasien masuk kerumah sakit ia akan kehilangan privacy secara seketika.
Privacy dapat digambarkakn sebagai perasaan nyaman yang dipancarkan atas
persetujuan pada kemunduran social, luas dan lamanya di control oleh percobaan
individu terhadap privacy
Setiap orang butuh perubahan privacy dan menetapkan pembatasannya. Pada
saat pembatasan ini melenceng mereka merasa tersinggung karena pembatasan
rahasia pribadi sangat tinggi bagi seseorang, misalnya anak akan merasa nyaman jika

aktivitasnya dilakukan bersama dengan yang lainnya maka sangatlah penting bagi
perawat untuk memahami arti privacy seorang anak dan mencoba memberi dorongan
pada pasien sebisa mungkin. (Asmadi, 2008 : 36)
2.1.2.2 Autonomy
Autonomy adalah kondisi independen atau mandiri dan memimpin sendiri
tanpa control dari luar. Makna autonomy berbeda pada setiap orang, sebagian mereka
menganggap fungsi independen lebih banyak pada aktivitas hidup mereka
dibandingkan dengan yang lain. (Asmadi, 2008 : 37)
2.1.2.3 Istirahat / tidur
Nilai hospitalisasi mengubah istirahat / tidur seseorang karena sebagian besar
kegiatan yang dilakukan diatur oleh rumah sakit, misalnya kebiasaan tidur / istirahat
anak anak, kebiasaan bermain / beraktivitas dikurangi sehingga secara otomatis anak
harus mengubah kebiasaan mereka, begitu juga dengan makan mereka harus
memakan makanan yang disediakan rumah sakit. (Asmadi, 2008 : 37)
2.1.2.4 Roles
Frekuensi roles hidup pasien berubah saat mereka dirawat. Keseimbangan
mangacu pada kondisi tubuh yang konstan dan sudah stabil. Seseorang yang
mengalami stress tubuhnya akan menggunakan bermacam-macam system. Untuk
mengatur stress tubuh harus melakukan penyesuaian terhadap suatu nilai, keadaan
psikologi, mental dan emosi.

2.2 Stress
2.2.1 Pengertian Stress
Stress adalah setiap perubahan yang memerlukan penyesuaian yang dimulai
terhadap penilaian terhadap situasi. (Martha Davis, 1996 : 1)
Stress disebabkan karena reaksi terhadap ancaman, tekanan dan perubahan
lingkungan yang menyebabkan perubahan dalam tubuh. (Martha Davis, 1995 : 1)
Stress dapat didefinisikan sebagai, respon adaptif, dipengaruhi oleh
karakteristik individual dan / atau proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan,
situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan / atau psikologis
terhadap seseorang. (Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam kreitner dan Kinicki,
2004)
2.2.2 Pengertian Stress Hospitalisasi
Stress Hospitalisasi adalah stress yang ditimbulkan karena terjadinya
perubahan

terhadap penyesuaian lingkungan yang baru (rumah sakit), tekanan

terhadap penyakit, perubahan dari kebiasaan, status kebiasaan yang ditimbulkan dari
efek hospitalisasi (Wong Donna L, 1998).
2.2.3 Penyebab Stress Hospitalisasi
Kelompok anak usia ini menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit
ketakutan, malahan beberapa diantara mereka akan menolak masuk kerumah sakit
dan secara terbuka akan meronta dan tidak mau dirawat. Reaksi tergantung pada
tingkat kecerdasan dan bagaimana kondisi penderita anak (Rosa Sacharini, 1996).

10

a. Berpisah dengan Orang Tua


Meskipun anak usia sekolah lebih mampu untuk menanggulangi perpisahan
secara umum, namun pada stress yang dibebankan pada mereka seperti penyakitdan
hospitalisasi, meningkatkan kebutuhan akan perlindungan dan bimbingan dari orang
tua terutama pada anak sekolah. Mereka masih mengharapkan kehadiran orang tua
selama dirawat di rumah sakit (Wong Donna L, 1998).
Anak usia sekolah membutuhkan dan menginginkan orang tua / orang yang
lebih besar tapi mereka tidak mampu atau enggan mengatakannya, karena keinginan
mereka untuk tidak tergantung pada orang lain merupakan hal yang penting bagi
mereka, mereka enggan untuk meminta bantuan secara langsung karena takut mereka
terlihat lemah, kekanak-kanakan / ketergantungan.
Karena adanya hal demikian maka berpisah dengan orang tua saat dirawat
dirumah sakit akan menambah tekanan pada anak yang akan menimbulkan berbagai
reaksi stress terhadap perpisahan dengan orang tua.
b. Kehilangan Kontrol / Kendali (Loss Control)
Merupakan suatu perubahan yang terjadi pada anak dalam mengendalikan
kegiatan sehari-hari yang biasa mereka lakukan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi stress pada anak yang dirawat adalah faktor kemampuan
mengendalikan diri. Kehilangan kendali akan meningkatkan persepsi terhadap
ancaman dan dapat mempengaruhi stimulus tambahan dari rumah sakit seperti sinar,
bunyi-bunyian, bau-bauan yang berlebhan akan dapat meningkatkan kehilangan
kendali pada anak yang dirawat.

11

Penyebab utama dari kehilangan kendali adalah keterbatasan fisik, perubahan


dari aktivitas rutin dan tingkat ketergantungan anak (Wong Donna L, 1998)
Kehilangan kendali / kontrol pada anak menimbulkan reaksi stress yang
berbeda-beda, seperti anak menolak untuk makan, menolak minum obat, mandi,
makan dan menemukan tempat untuk BAB dan BAK sendiri.
c. Perlukaan Tubuh dan Nyeri
Ketakutan akan perlukaan tubuh dan nyeri sering sekali terjadi pada anak
karena merupakan segala sesuatu yang berbentuk tindakan invasif seperti injeksi,
pengambilan darah, pemasangan infuse akan menimbulkan tekanan, stress dan rasa
nyeri pada anak saat melakukan tindakan tersebut, dalam hal ini perawat harus
memberikan perhatian khusus terhadap respon stress dan nyeri sesuai dengan
perkembangan pada anak.
Anak usia sekolah lebih dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya
sehingga dapat menterjemahkan rasa nyerinya dengan baik, anak perempuan
cenderung mengekspresikan

rasa takut akan nyerinya secara berlebihan

dibandingkan dengan anak laki-laki.


Mereka lebih tahan terhadap tindakan instruktif yang menseksual tetapi pada
tindakan di daerah genitalia, mereka biasanya menjadi sangat stress khususnya pada
preadolesen. Perubahan masa pubertas pada anak usia sekolah 9/10 tahun
memperlihatkan sedikit perlawanan atau sudah dapat menahan nyeri. Umumnya
mereka mempelajari metode psitif untuk menghilangkan reaksi stress dan nyeri /
mengatupkan gigi atau mencoba untuk bersikap berani dengan meringis

menahannya. Mereka dapat mengungkapkan rasa nyeri secara verbal : lokasinya,


12

intensitasnya, dan gambarannya. Jika mereka tidak bisa menahan nyeri mereka
menunjukkan reaksi seperti : menggigit, menendang, mendorong, menolak, menangis
/ tawar-menawar.
2.3 Upaya Pencegahan Stress Hospitalisasi pada Anak
2.3.1 Melibatkan orang tua berperan aktif
Dalam perawatan anak dengan cara

membolehkan mereka untuk tinggal

bersama anak selama 24 jam (rooming in). (Yupi Supartini, 2004 : 196)
Orang tua mengetahui tentang anak mereka, dan sensitive terhadap perubahan
perubahan dalam prilaku anak mereka. Kemampuan orang tua untuk mengenali rasa
nyeri pada anaknya sangat bervariasi. Disamping itu, orang tua juga mengetahui
bagaimana cara untuk membuat anaknya merasa nyaman, seperti mengayun-ngayun
anaknya, mengajak berputar-putar, atau bercerita. Agar mendapatkan hasil pengkajian
yang terbaik, sebaiknya perawat menanyakan kepada orang tua anak mengenai
bagaimana reaksi anak tersebut dalam menghadapi rasa nyeri. Hal ini sangat penting
untuk menunjang proses keperawatan. (Nursalam. 2005 : 24)
2.3.2 Kesempatan orang tua untuk mempertahankan kontak dengan anak
Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk
melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka.
Rooming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa, sebaiknya
orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak / komunikasi
antara orang tua anak.
Perpisahan juga merupakan hal yang sulit bagi orang tua, anak pada tahap
protes sangat sulit sekali untuk ditinggalkan. Orang tua sering mencari alasan atau
13

mencuri-curi untuk dapat meningalkannya. Disamping itu, orang tua selalu merasa
khawatir

mengenai prilaku anaknya setelah ditinggalkan. Banyak orang tua

berpikiran bahwa setelah ditinggalkan anak akan menangis berjam-jam dan ini
membuat orang tua merasa cemas. Untuk mengatasi hal tersebut, perawat dapat
menceritakan pada orang tua mengenai prilaku anaknya setelah ditinggalkan dan
mengatakan bahwa hal tersebut masih dalam batas normal supaya orang tua tidak
cemas. (Nursalam, 2005 : 25)
2.3.3 Modifikasi ruang perawatan
Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti
di rumah, diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak.
Membuat ruang perawatan seperti situasi dirumah dengan mendekorasi dinding
memakai poster / kartu bergambar sehingga anak merasa aman jika berada diruang
tersebut. (Nursalam, 2005: 26)
2.4 Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit
2.4.1 Cemas Karena Perpisahan
Hubungan anak dengan ibu adalah sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan
ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi
dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.
Respon prilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
2.4.1.1 Tahap Protes (Phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan
memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti
14

menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba untuk membuat


orang tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang lain. Secara
verbal, anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan pergi.
Prilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Perilaku protes tersebut, seperti menangis, akan terus berlanjut dan
hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan
orang asing yang tergesa-gesa akan protes.
2.4.1.2 Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif,
kurang berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri,
tidak

mau

berkomunikasi,

sedih,

apatis,

dan

regresi

(misalnya:mengompol atau mengisap jari). Pada tahap ini, kondisi anak


mengkhawatirkan karena ank menolak untuk makan, minum, atau
bergerak.
2.4.1.3 Tahap Menolak (Phase of Denial)
Pada tahap ini, secara samara-samar anak menerima perpisahan, mulai
tertarik dengan apa yang ada disekitarnya, dan membina hubungan
dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini
biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua. (Donna
L Wong, 2003 : 335)
2.4.2 Kehilangan Kendali
Akibat sakit dan dirawat dirumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan
pandangan

egosentris

dalam

mengembangkan

otonominya.

Hal

ini

akan
15

menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak


akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negativistis, terutama anak akan
menjadi cepat marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu
lama (karena penyakit kronis), maka anak akan kehilangan otonominya dan pada
akhirnya akan menarik diri dari hubungan interpersonal.
2.4.3 Luka pada tubuh dan rasa sakit (Rasa Nyeri)
Berdasarkan hasil pengamatan, bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut, atau
suhu pada anus akan membuat anak menjadi sangat cemas. Reaksi anak tetrhadap
tindakan yang tidak menyakitkan sama seperti reaksi terhadap tindakan yang sangat
menyakitkan.
Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah,
menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau
melakukan tindakan yang agresif seperti ; menggigit, menendang, memukul, atau
berlari keluar.
Anak biasanya sudah mampu mengomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami
dan menunjukan lokasi nyeri. Namun demikian, kemampuan mereka dalam
menggambarkan bentuk dan intensitas dari nyeri belum berkembang.
(Nursalam, 2005 : 18-19)
2.5 Reaksi Keluarga Terhadap Anak yang Sakit dan Dirawat di Rumah Sakit :
2.5.1 Reaksi Orang Tua
Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain :

16

2.5.1.1 Tingkat keseriusan penyakit anak.


2.5.1.2 Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit.
2.5.1.3 Prosedur Pengobatan.
2.5.1.4 Sistem pendukung yang tersedia.
2.5.1.5 Kekuatan ego individu.
2.5.1.6 Kemampuan dalam penggunaan koping.
2.5.1.7 Dukungan dari keluarga.
2.5.1.8 Kebudayaan dan kepercayaan.
2.5.1.9 Komunikasi dalam keluarga.
2.5.2

Reaksi Orang Tua antara lain :

2.5.2.1 Penolakan / Ketidakpercayaan (denial/disbelief).


Yaitu menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba
sakit serius.
2.5.2.2 Marah atau merasa bersalah atau keduanya.
Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit, maka reaksi orangtua adalah marah
dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak merawat anaknya
dengan benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal-hal yang telah
mereka lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh
sakit, atau mengingat kembali tentang hal-hal yang menyebabkan ankanya
sakit. Jika anaknya dirawat di rumah sakit, orang tua menyalahkan dirinya
sendiri karena tidak dapat menolong mengurangi rasa sakit yang dialami oleh
anaknya.

17

2.5.2.3 Ketakutan, cemas, dan frustasi.


Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe
prosedur medis. Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai
prosedur dan pengobatan, atau tidak familiar dengan peraturan rumah sakit.
2.5.2.4 Depresi.
Biasanya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering
mengeluh merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Orang tua mulai
merasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain, yang dirawat oleh
anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal-hal lain yang
membuat orang tua cemas dan depresi adalah kesehatan anaknya di masamasa yang akan dating, misalnya efek dari prosedur pengobatan dan juga
biaya pengobatan.
2.5.3 Reaksi saudara sekandung (sibling)
Reaksi saudara sekandung terhadap anak yang sakit dan dirawat di rumah sakit
adalah kesepian, ketakutan, khawatir, marah, cemburu, benci, dan merasa
bersalah. Orang tua seringkali mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap
anakyang sakit dibandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan
menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan anak merasa ditolak.
2.5.4 Penurunan peran anggota keluarga
Dampak dari perpisahan terhadap peran keluarga adalah kehilangan peran
orang tua, saudara, dan anak cucu. Perhatian orang tua hanya tertuju pada anak
yang sakit. Akibatnya, saudara-saudaranya yang lain menganggap bahwa hal
tersebut adalah tidak adil. Respon tersebut biasanya tidak disadari dan tidak
18

disengaja. Orang tua sering menyalahkan perilaku saudara kandung tersebut


sebagai perilaku antisocial. Sakit akan membuat anak kehilangan kebersamaan
dengan anggota keluarga yang lain atau teman sekelompok. (Nursalam, 2005 :
19-21)
2.5.5 Bermain untuk Mengurangi Stress Akibat Hospitalisasi
Bermain adalah penting untuk kesehatan mental, emosional, dan sosial. Oleh
karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak adalah sangat penting untuk
memberikan rasa aman dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan aktivitas
bermain di rumah sakit, perlu diperhatikan prinsip bermain dan permainan
yang sesuai dengan usia atau tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak,
sehingga tujuan bermain yaitu untuk mempertahankan proses tumbuh kembang
dapat dicapai secara optimal.
Disamping itu, keterlibatan orang tua dalam aktivitas bermain sangat penting
karena anak akan merasa aman, sehingga dia mampu mengekspresikan perasaannya
secara bebas dan terbuka.
2.5.5.1 Tujuan bermain di rumah sakit :
a. Dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama perawatan
sehingga tumbuh kembang tetap berlangsung terus tanpa terhambat
oleh keadaan anak.
b. Dapat mengekspresikan pikiran dan fantasi anak.
c. Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman permainannya
tepat.

19

d. Agar anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stress karena
penyakit atau karena dirawat di rumah sakit, dan anak mendapatkan
ketenangan dalam bermain.
2.5.5.2 Prinsip bermain di rumah sakit
Dalam melakukan aktivitas bermain untuk anak yang dirawat di rumah
sakit, perawat hendaknya memperhatikan prinsip bermain, sebagai
berikut :
a. Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat, dan sederhana.
b. Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang.
c. Kelompok umur yang sama.
d. Permainan tidak bertentangan dengan pengobatan.
e. Semua alat permainan dapat dicuci.
f. Melibatkan orang tua (Nursalam, 2005 : 29-30)
2.5.5.3 Jenis permainan anak di rumah sakit
a. Bermain bahasa atau menyusun kata-kata, seperti puzzle
b. Bermain tebak gambar
c. Menulis, seperti menceritakan kejadian-kejadian selama anak di rumah
sakit
d. Mengenal organ tubuh, seperti melalui gambar
e. Berhitung. (Donna L Wong, 2003 : 284)
2.6 Peranan Perawat dalam Mengurangi Penyebab Reaksi Stress Hospitalisasi
Anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk
meminimalkan efek negatif dari hospitalisasi. Fokus dari intervensi keperawatan
20

adalah meminimalkan stressor perpisahan, kehilangan kontrol, dan perlukaan tubuh


atau rasa nyeri anak serta memberikan support pada keluarga, seperti membantu
perkembangan hubungan dalam keluarga dan memberikan informasi.
2.6.1 Upaya Pencegahan Dampak Perpisahan dengan Orang Tua
2.6.1.1 Partisipasi Orang Tua
Orang tua dapat diharapkan berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit,
terutama dalam perawatan yang bias dilakukan, misal memberikan kesempatan
kepada orang tua untuk menyiapkan makanan anak atau memandikan anak. Perawat
berperan sebagai health educator terhadap keluarga.
2.6.1.2 Membuat ruang perawatan seperti di rumah dengan mendekorasi dinding,
memakai poster / kartu bergambar sehinigga anak merasa aman jika beradadi
ruang tersebut.
2.6.1.3 Membantu anak mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah dengan
mendatangkan tutor khusus melalui kunjungan teman-teman sekolah, surat
menyurat / melalui telepon.
2.6.2 Mencegah Perasaan Kehilangan Kontrol
Untuk mencegah perasaan kehlangan control dapat dilakukan dengan cara :
2.6.2.1 Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Apabila anak harus diisolasi, lakukan modifikasi lingkungan
sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan oleh anak dan orang tua, pertahankan
kontak antara orang tua dan anak terutama pada bayi dan anak toddler utnuk
mengurangi stress.

21

2.6.2.2 Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan aktifitas lain
dalam perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan / kegiatan seharihari.
2.6.2.3 Fokuskan

intervensi

keperawatan

pada

upaya

untuk

mengurangi

ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil keputusan


dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan keperawatan.
(Yupi Supartini, 2004 : 196-197)
2.6.3 Meminimalkan Rasa Takut terhadap Perlukaan Tubuh dan Rasa Nyeri
Untuk meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri dapat
dilakukan dengan cara :
2.6.3.1 Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan
dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua.
2.6.3.2 Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak,
misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan
cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak.
2.6.3.3 Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan
tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak
dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini,
tawarkan pada anak dan orang tua untuk mempercayakan kepada perawat
sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut dilakukan.

22

2.6.3.4 Tunjukkan sikap empaty sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan. (Yupi supartini, 2004 : 197)
2.6.4 Memaksimalkan Manfaat dan Hospitalisasi
Walaupun hospitalisasi sangat membuat stress bagi anak dan keluarga, tetapi
hal tersebut juga membantu untuk memfasilitasi perubahan ke arah positif antara anak
dan anggota keluarganya.
2.6.4.1 Membantu perkembangan hubungan orang tua-anak
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada orang tua untuk belajar mengenai
pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika orang tua mengetahui reaksi anak
terhadap stress, seperti regresi dan agresif, maka mereka cepat memberikan
dukungan. Hal tersebut juga akan memperluas pandangan orang tua dalam merawat
anak yang sakit.
2.6.4.2 Memberikan kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada anak dan anggota keluarga untuk
belajar mengenai tubuh dan profesi kesehatan.
2.6.4.3 Meningkatkan pengendalian diri (self mastery)
Anak yang lebih muda termasuk balita mempunyai kesempatan untuk menguji
fantasinya melawan realita yang menakutkan. Mereka menyadari bahwa mereka tidak
sendirian dan tidak dihukum. Pada kenyataannya mereka dicintai dan dirawat.
2.6.4.4 Memberikan kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya, maka hal tersebut
akan membantu anak untuk belajar mengenai diri mereka. Sosialisasi juga dapat

23

dilakukan dengan tim kesehatan. Selain itu, orang tua juga memperoleh kelompok
sosial baru dengan orang tua anak yang mempunyai masalah yang sama.
2.6.5

Memberikan Dukungan pada Anggota Keluarga


Perawat dapat mendiskusikan tentang kebutuhan anak dan cara untuk

membantu orang tua. Seperti, mengidentifikasikan alasan spesifik dari perasaan dan
respons anak terhadap stress dan memberikan kesempatan kepada orang tua untuk
mengurangi beban emosinya.
2.6.5.1 Memberi informasi
Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah memberikan informasi
sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan serta prognosis, reaksi emosional
anak terhadap sakit dan dirawat, serta reaksi emosional anggota keluarga terhadap
anak yang sakit dan dirawat.
2.6.5.2 Melibatkan saudara kandung
Keterlibatan saudara kandung sangat penting untuk mengurangi stress pada
anak, misalnya, keterlibatan dalam program bermain, mengunjungi saudara yang
sakit secara teratur, dan sebagainya. (Nursalam, 2005 : 28-29)
2.7

Konsep Istirahat / Tidur Anak

2.7.1 Pengertian
Istirahat / Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami
seseorang, yang dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang
cukup (Priharjo, 2005). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkatan
kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses biologis tubuh, dan
penurunan respon terhadap rangsangan dari luar. Tidur merupakan kebutuhan dasar
24

yang dibutuhkan semua orang. Demikian pula orang yang sedang sakit, mereka juga
memerlukan istirahat dan tidur yang memadai.
Menurut Lumbantobing (2004), tidur dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu durasi
(lamanya) keadaan bangun dan waktu (dorongan) untuk tidur. Jadi, keinginan untuk
tidur pada suatu saat merupakan kombinasi kedua dorongan tersebut. Dalam
mengatur waktu tidur, kadang sangat sulit bagi anak karena sukar menciptakan
suasana tenang sebelum waktu tidur. Ada sebagian anak bersemangat pada malam
hari untuk belajar atau bermain, (Suherman, 2000). Kebiasaan-kebiasaan sebelum
tidur harus selalu dipenuhi, karena bila tidak anak akan susah tidur.
2.7.2 Mekanisme Istirahat / Tidur
Mekanisme terjadinya tidur telah banyak dipelajari dan para ahli
berkesimpulan bahwa tidur diatur secara hormonal. Tidur yang menyehatkan adalah
yang dapat mengikuti atau menyesuaikan ritme atau siklus tertentu yang dikenal
dengan istilah bioritme atau bioritme internal (ritme kebutuhan biologis yang terjadi
di dalam tubuh). Bioritme inilah yang sering dikenal dengan istilah ritme circardian
(Kozier, 2003). Irama sirkardian, termasuk irama tidur harian dipengaruhi oleh suhu
dan cahaya serta faktor-faktor eksternal seperti aktivitas social dan rutinitas
pekerjaan. Irama biologis tidur seringkali sinkron dengsn fungsi tubuh lainnya.
Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya
dapat secara berlawanan mempengaruhi kesehatan kesehatan seseorang, (Potter,
2005).
Mekanisme tidur, seperti yang dijelaskan Robinson (1993) dalam Potter
(2005) melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi
25

tinggi aktivitas system saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam
system periferial, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan, dan muscular. Kontrol dan
pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang
mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tetinggi untuk mengontrol
tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain
menyebabkan tertidur. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel
tertentu pada otak bagian depan. Seseorang dapat tertidur atau tetap terjaga
tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi
(pikiran), reseptor sensori perifer (misalnya stimulus bunyi atau cahaya), dan system
limbic (emosi).
2.7.3 Jenis Istirahat / Tidur
Tidur dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tidur REM (Rapid Eye
Movement) yang sering disebut dengan tdur dengan gerak mata cepat dan tidur
NREM (Non Rapid Eye Movement) atau tidur dengan gerak mata lambat (Kozier,
2003). Tidur REM (Rapid Eye Movement) adalah tidur dengan gerakan mata cepat.
Merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial yang biasanya ditandai
dengan mimpi yang bermacam-macam, otot-otot kendor, kecepatan jantung dan
pernafasan tidak teratur, biasanya lebih
cepat, perubahan tekanan darah, gerakan otot tidak teratur, gerakan mata cepat,
pembebasan steroid, sekresi lambung meningkat, dan ereksi penis pada pria (Priharjo,
2005).
Tidur NREM (Non Rapid Eye Movement) merupakan tidur yang nyaman dan
biasa disebut tidur dengan gerakan mata lambat. Tanda-tanda tidur NREM adalah
26

mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun, kecepatan pernafasan turun,
metabolisme turun, dan gerakan mata lambat. Menurut Lumbantobing (2004), tidur
NREM dibagi dalam 4 stadium, yaitu stadium atau tingkat pertama, tingkat kedua,
tingkat ketiga, dan tingkat empat. Stadium atau tingkat pertama biasa disebut dengan
tidur ringan, dimana seseorang mengalami kesadaan mengantuk, waktu reaksi
terhadap rangsang melambat dan intelektual menurun, tetapi orang tersebut tidak
merasakannya. Saat di tempat tidur, seseorang dengan stadium pertama tidur ringan
dan bergerak atau menggeliat ringan. Sedangkan pada stadium atau tingkat kedua
disebut dengan tidur konsolidasi (consolidated sleep). Seseorang yeng tidur pada
tingkatan ini bila dibangunkan ia merasa memang benar-benar tidur. Biasanya,
individu merasa cukup sadar atau siaga terhadap keadaan sekelilingnya, namun tidak
menyadari seberapa jauh kesadarannya sudah menumpul. Pada stadium ketiga da
keempat, seseorang mengalami tidur dalam atau tidur gelombang lambat, biasa
disebut slow wave sleep (SWS). Merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai
dengan immobilitas dan lebih sulit dibangunkan. Transisi dari stadium ketiga dan
keempat ini biasanya sulit ditentukan.
2.7.4 Fungsi Istirahat / Tidur
Istirahat / Tidur merupakan salah satu hal penting bagi seseorang. Fungsi
tidur antara lain untuk melindungi tubuh, konservasi energi, restorasi otak,
homeostasis,

meningkatkan

(Lumbantobing, 2004).

fungsi

immunitas,

dan

regulasi

suhu

tubuh

Bebrapa ahli berpendapat, tidur merupakan proses

detoksifikasi (penetralan) toksik atau racun yang terakumulasi dalam tubuh.


Akumulasi toksin inilah yang menyebabkan timbulnya rasa kantuk sehingga memicu
27

seseorang untuk tidur. Ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan seseorang
terhadap tubuhnya sewaktu tidur (teori hipotoksins).
Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur merupakan waktu untuk
restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Selama tidur, memungkinkan seseorang
mengistirahatkan beberapa organ tubuh. Penggunaan energi menurun sekitar 15-20 %
dan konsumsi Oksigen menurun saat seseorang tertidur. Hal ini memungkinkan
seseorang mengkonservasi kembali energinya sewaktu tidur. Selain itu, hormone
pertumbuhan (growth hormone) terutama dilepas waktu tidur.
2.7.5 Lama Istirahat / Tidur Anak sesuai Tahap Perkembangan
Lama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia dan tahap
perkembangan. Semakin tua seseorang, semakin sedikit pula lama tidur yang
diperlukan (Priharjo, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2004), jumlah total
tidur dalam satu hari bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula
perbedaan yang besar antar individu mengenai kebutuhan tidur.
a. Pola istirahat / tidur berdasarkan tingkat usia/perkembangan anak
1) Tingkat perkembangan Pola tidur normal Bayi Baru Lahir (BBL) Tidur
antara 14 sampai 18 jam/hari, pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit Bayi
(0 sampai 1 tahun) Tidur 12 samapi 14 jam/hari Mungkin tidur sepanjang
malam
2) Toddler (2-3 tahun) Tidur sekitar 11 sampai 12 jam/hari
3) Anak usia Prasekolah (3-6 tahun) Tidur sekitar 11 jam/hari Anak usia
Sekolah
4) (6-12 tahun) Tidur sekitar 8 sampai 11 jam/hari
28

Berdasarkan penelitian para ahli, bahwa semakin bertambah umur, maka


waktu yang digunakan untuk tidur semakin berkurang. Hal ini karena kegiatan
fisiknya meningkat, seperti bermain (Suherman, 2000). Mengenai kapan anak tidur,
tergantung pada umur, kedaan kesehatan, kegiatan sehari-hari, dan bagaimana
keadaan anak. Perubahan pola tidur anak dapat mempengaruhi kualitas tidurnya.
Kualitas tidur tidak hanya diukur berdasarkan lamanya seseorang tidur dalam sehari.
Pola tidur normal berdasarkan tingkat usia atau perkembangan dapat menjadi salah
satu indikasi. Menurut Kozier (2003), tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih
penting jika dibandingkan dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang,
mereka merasa cukup dengan hanya tidur selama 5 jam saja setiap malam. Orang
dalam keadaan sakit memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal. Namun
demikian keadaan sakit dapat menjadikan pasien kurang tidur atau tidak dapat tidur
(Tarwoto dan Wartonah, 2004).
Kualitas tidur anak dapat dipengaruhi oleh faktor fisik dan factor psikologis.
Faktor fisik yang mempengaruhi kualitas tidur anak dapat berupa kekurangan gizi
(bayi/anak menjadi rewel dan tidak bisa tidur nyenyak), gangguan dari bermacam
penyakit seperti gangguan organ pencernaan atau adanya luka dan gangguan jasmani
lainnya. Sedangkan faktor psikologis yang dapat berupa ketegangan batin, hatinya
sangat
teangsang (terlalu bersemangat), anak mengalami kegelisahan, keresahan, cemas,
takut karena adanya tekanan atau perubahan pada lingkungan anak (Suherman, 2000).
Meskipun demikian, setiap bayi atau anak memiliki waktu tidur yang
berbeda-beda. Bayi atau anak yang sehat akan dapat tidur dengan nyenyak, tetapi ada
29

pula yang sulit sekali untuk tidur, atau ada yang tertidur tetapi tidak nyenyak.
Perubahan pola tidur pada anak usia prasekolah yang menjalani rawat inap selain
karena penyakit atau nyeri yang dideritanya, biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Manifestasinya dapat berupa selalu berguling-guling, menendangnendang selimut, miring ke kiri dan ke kanan, terkejut dan berjaga (tidak teratur)
setiap mendengar bunyi, merintih serta mengigau, (Suherman, 2000).
2.7.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi istirahat / Tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur (Potter, 2005).
Seringkali factor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Factor
fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Penyakit fisik yang diderita anak dapat menyebabkan gangguan tidur. Beberapa
penyakit dapat menimbulkan rasa nyeri maupun ketidaknyamanan fisik, seperti
kesulitan bernafas ataupun masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi. Pada
beberapa penyakit memaksa anak untuk tidur dengan posisi yang tidak biasa. Selain
itu, mungkin terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan seseorang mempunyai
masalah kesulitan tidur ataupun justru tetap tertidur.
Obat-obatan dan substansi yang diberikan kepada pasien selama masa
perawatan dapat memberikan kontribusi terhadap masalah tidur yang dialami
seseorang. Menurut Buysse (1991) yang dikutip oleh Potter (2005) terdapat 538 obat
resep dari daftar obat di PDR 1990 yang menimbulkan efek samping berupa rasa
kantuk, sedangkan 486 di antaranya menimbulkan insomnia atau kesulitan tidur, dan
218 jenis obat menyababkan kelelahan.

30

Gaya hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap pola tidur seseorang. Hal
ini dikarenakan rutinitas seseorang di siang hari akan mempengaruhi istirahatnya
pada malam hari. Anak-anak yang aktif pada siang hari akan cenderung kelelahan
pada malam hari. Pada beberapa anak, anak akan langsung tertidur atau bahkan
mengalami kesulitan tidur dengan nyaman. Selama dirawat di rumah sakit, terjadi
perubahan rutinitas dan gaya hidup anak sehingga memungkinkan pula terjadinya
perubahan kualitas tidur anak.
Stress emosional memberi dampak yang jelas terhadap perubahan pola tidur
seseorang. Kecemasan yang dialami pasien karena masalah yang dihadapinya
membuat anak menjadi tegang dan berusaha keras untuk tertidur. Stress yang
berlanjut dapat menyebabkan seseorang mempunyai kebiasaan tidur yang buruk.
Perasaan cemas akan hal yang dialaminya membuat anak sulit tidur, sering terbangun
tengah malam, perubahan siklus tidur, bahkan terlalu banyak tidur.
Lingkungan fisik maupun psikososial merupakan aspek penting yang terkait
dengan kemampuan anak untuk tertidur dan tetap tidur dengan nyaman. Tempat tidur
dan barang-barang lain yang ada di rumah sakit biasanya berbeda dengan keadaan
selama di rumah membuat anak merasa tidur di tempat yang asing. Selain itu, suara
dan suasana rumah sakit sering menimbulkan rasa tidak nyaman tersendiri bagi
pasien, baik anak maupun dewasa. Pencahayaan yang kurang maupun terlalu redup
dapat membuat klien kurang nyaman, ditambah campuran beberapa suara dan
aktivitas yang menganggu. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
tidur secara adekuat selama berada di ruang perawatan.

31

Asupan makanan dan kalori yang didapat klien selama di rumah sakit dapat
mempengaruhi kebiasaan tidurnya. Menurut Hauri dan Linde (1990) yang dikutip
oleh Potter (2005) menyatakan bahwa orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga
mengikuti kebiasaan makan yang baik adalah penting untuk kesehatan yang tepat dan
tidur.pada orang dewasa, konsumsi kafein dan alcohol dapat menyebabkan insomnia
atau sulit tertidur. Sedangkan pada anak, beberapa makanan yang menyebabkan alergi
dapat menimbulkan gangguan tidur. Selain itu, meningkatnya berat badan anak dapat
memperpanjang periode tidur dan mengurangi adanya interupsi pada malam hari.
Sebaliknya, penurunan berat badan anak dapat menyebabkan periode tidur anak
menjadi pendek dan terputus-putus.
2.7.7 Gangguan Istirahat / Tidur pada Anak
a. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik
kualitas maupun kuantitas (Priharjo, 2005). Insomnia bukan berarti tidak bisa tidur
sama sekali. Menurut Lumbantobing (2004), insomnia ialah tidur yang tidak adekuat
atau tidur yang tidak menyegarkan. Insomnia merupakan keadaan dimana seseorang
yang ingin tidur, misalnya karena sudah lelah, mengalami kesulitan untuk memulai
tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan tidur, dan bangun terlalu pagi.
Insomnia dapat disebabkan karena gangguan fisik, tetapi sering juga karena
gangguan mental akibat kecemasan yang meningkat atau karena gelisah (Kozier,
2003). Secara umum, insomnia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adanya
penyakit serta rasa nyeri, keadaan lingkungan yang tidak tenang atau tidak nyaman,
kelelahan, emosi tidak stabil (stress), serta penggunaan beberapa obat-obatan.
32

Pada anak usia prasekolah yang menjalani rawat inap dapat mengalami
tekanan karena merasa lingkungannya yang nyaman serta perasaan kehilangan
lingkungan bermain, permainan, dan teman bermainnya membuat anak menjadi stress
selama dirawat di rumah sakit. Pada kondisi ini, anak mengalami ketidakstabilan
emosi, sehingga sulit untuk memulai tidur atau tidak dapat tidur dengan tenang dan
mudah sekali terbangun.
b. Hipersomnia
Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia. Hipersomnia merupakan
kelebihan tidur lebih dari 9 jam pada malam hari. Hipersomnia biasanya berhubungan
dengan gangguan psikologis seperti depresi atau kegelisahan dan gangguan
metabolisme (Kozier, 2005). Klien memiliki kecenderungan untuk mudah jatuh tidur
(mengantuk). Anak usia prasekolah yang sedang dirawat di rumah sakit dapat
mengalami hipersomnia karena adanya masalah pada system metabolisme dalam
tubuhnya atau keletihan yang sangat maupun akibat kecemasan yang dialaminya.
c. Parasomnia
Parasomnia merupakan suatu rangkaian gangguan yang mempengaruhi tidur
anak, seperti somnambulisme (tidur berjalan), ketakutan, dan enuresis atau
mengompol, (Priharjo,2005). Parasomnia adalah kejadian yang tidak dikehendaki
yang terjadi pada waktu tidur. Parasomnia merupakan sekelompok gangguan tidur
yang terdiri dari fenomena fisik dan perilaku, yang terjadi terutama waktu tidur,
(Lumbantobing, 2004).
Tidur berjalan (sleep walking/somnambulisme) pada anak dapat dipicu oleh beberapa
keadaan seperti deprivasi (kurang tidur), demam, stres, medikasi, gangguan lain (rasa
33

sakit, ingin buang air, atau adanya suara keras). Sedangkan beberapa anak mengalami
sleep terror (terror waktu tidur; night terror; pavor nocturnus). Biasanya ditemui
pada anak usia 4-12 tahun, tetapi puncaknya terjadi pada usia 5-7 tahun.
d. Gangguan Siklus Tidur-bangun
Gangguan siklus tidur-bangun merupakan kelompok kejadian yang dapat
terjadi sewaktu transisi bangun ke tidur, tidur ke bangun, atau dari stadium tidur yang
satu ke stadium tidur lainnya, (Lumbantobing, 2004).Gangguan irama atau siklus
tidur bangun menggambarkan keadaan pasien yang pola irama tidurnya terganggu,
waktu tidur dan bangunnya tidak sebagaimana lazimnya. Mungkin anak menjadi
mengantuk dan tidur pada siang hari, sedangkan pada malam hari ia bangun dan sulit
tidur. Kejadian ini dapat diikuti dengan bicara sambil tidur (somniloqui), mulai dari
bunyi mengerang, kata-kata tanpa hubungan, sampai pada pidato yang panjang.
2.7.8 Akibat Kekurangan Istirahat / Tidur
Beberapa tanda klinis yang perlu diketahui terhadap pasien yang kurang
tidur, yaitu pasien mengungkapkan rasa capek, pasien mudah tersinggung dan kurang
santai, apatis, warna kehitam-hitaman di sekitar mata, konjungtiva merah, sering
kurang perhatian, pusing, dan mual. Apabila gangguan tidur ini berlangsung lama,
maka dapat terjadi gangguan tubuh. Beberapa gangguan yang perlu diperhatikan,
antara lain perubahan kepribadian dan perilaku, seperti agresif, menarik diri, atau
depresi, rasa capek meningkat, gangguan persepsi, halusinasi pandangan, bingung
dan disorientasi terhadap tempat dan waktu, koordinasi menurun, bicara tidak jelas.

34

2.9 Stress dan Perubahan Pola Istirahat / Tidur


Stress merupakan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami setiap
hari. Kejadian yang satu dengan yang lain dapat saling mempengaruhi. Demikian
juga klien yang dirawat di rumah sakit dapat mengalami berbagai stress yang
mungkin ia sudah tidak mampu mengatasinya (Keliat, 1998). Sebagai akibatnya,
terjadi perubahan-perubahan pada diri seseorang manjalani perawatan, salah satunya
perubahan kualitas tidurnya. Stress emosional memberi dampak yang jelas terhadap
perubahan pola tidur seseorang (Potter, 2005). Dalam penelitian yang dilakukan di
instalasi rawat inap badan RSUD Dr. M. Ashari Kabupaten Pemalang, dengan jumlah
responden sebanyak 68 orang didapatkan hasil 36 orang atau sebanyak 52,9 %
menunjukkan gangguan pola tidur selama di rawat di rumah sakit. Sedangkan 32
orang lainnya menyatakan tidak mengalami gangguan pola tidur (Triyanto, 2006).
Hal ini dipengaruhi oleh stress dan masalah psikologis akibat penyakit yang
dideritanya selama dirawat di rumah sakit.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Williamson menunjukkan
bahwa suasana di rumah sakit sering membuat seseorang merasa sulit tidur. Untuk
itu, responden diminta untuk mendengarkan rekaman suara laut sebelum berangkat
tidur. Penelitian yang dilakukan di Amerika ini menunjukkan bahwa kelompok
dengan suara laut mengalami tidur dalam dengan kualitas lebih baik. Hal ini terbukti
dengan keadaan lebih sedikit terbangun di malam hari dan sedikit kesulitan untuk
berangkat tidur kembali (Potter, 2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
lingkungan sekitar pasien sangat berpengaruh terhadap munculnya stress. Sedangkan
stress dapat memicu timbulnya gangguan pola tidur seseorang selama masa
35

perawatan. Metode yang diterapkan Williamson ini mampu membuat pasien merasa
lebih nyaman ketika hendak tidur. Dengan stimulasi yang diberikan mampu
meredakan stress klien yang di rawat di rumah sakit. Perubahan suasana
yangditimbulkan dengan memperdengarkan suara laut pada pasian mampu
mengurangi ketidaknyamanan klien dan mengembalikan pola tidur normal selama
masa perawatan.

36

BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep


Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani
terapy dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses
tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut
beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatic dan penuh
dengan stress. (Yupi Supartini, 2004 : 188)
Penelitian mengenai hubungan hospitalisasi Pada Anak yang Dirawat dengan
istirahat/ tidur di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok tahun 2012. Kerangka konsep
penelitian ini digambarkan pada skema sebagai berikut :
Independen

Stres Hospitalisasi

Dependen

Istirahat/ tidur

37

3.2 Definisi Operasional


No Variabel
1

Hospitalisasi

Istirahat /
tidur

Definisi
Cara Ukur
Operasional
Stress yang
wawancara
ditimbulkan
karena
terjadinya
perubahan
terhadap
penyesuaian
lingkungan
yang baru
(rumah sakit)
Keadaan
wawancara
dimana
individu,
seseorang
mengalami
suatu perubahan
dalam kuantitas

Alat
Ukur
Kuesioner

Skala
Ukur
Ordinal

Hasil Ukur

Kuesioner

Ordinal

Terganggu
bila jumlah
jam tidur <
11

Stres bila
mean
Tidak stres
bila mean

Tidak
Terganggu
bila jumlah
jam tidur <
11

3.3 Hipotesa
3.3.1

Adanya hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak yang


Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012

38

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan Cross Sectional
Study tentang hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak yang Dirawat
di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012. Dimana data yang menyangkut
variabel dependen dan variabel independen akan dikumpulkan dalam waktu
bersamaan
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok. pada
tanggal 12 sampai 30 November 2012.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek dalam penelitian. (Notoadmodjo, 2005 :
79) Populasi dalam penelitian adalah ibu dengan anak yang dirawat di ruang rawat
inap anak RSUD Solok bulan November tahun 2012.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. (Arikunto, 2002 :
109) Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Accidental Sampling, yaitu keseluruhan ibu dengan anak yang dirawat di Ruang

39

Rawat Inap Anak RSUD Solok yang ada pada saat penelitian selama 3 minggu
berjumlah 30 orang.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner melalui wawancara dan
langsung dengan responden. Sebelum wawancara responden diminta untuk mengisi
lembar persetujuan menjadi responden dengan menandatangi informed consent
terlebih dahulu. Setiap jawaban yang diberikan responden, diisi oleh peneliti dengan
memberi tanda silang pada pilihan jawaban yang disediakan.
4.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
4.5.1 Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif dalam pengolahan data tersebut dilaksanakan langkah-langkah.
4.5.1.1 Penyuntingan data (editing)
Melakukan pengecekan terhadap isian kuesioner apakah jawaban yang sudah
dibuat sudah lengkap, jelas dan jawaban sudah relevan dengan pertanyaan.
4.5.1.2 Pengkodean data (coding)
Memberikan kode pada setiap informasi yang sudah terkumpul pada setiap
pertanyaan dalam kuesioner untuk memudahkan dalam mengolah data.
Kegunaan dari coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan
juga mempercepat pada saat entri data. Untuk variabel stres hospitalisasi ada
diberi nilai 1, tidak diberi nilai 0. Pernyataan istirahat / tidur < 11 jam kategori
1 dan 11 jam dikategorikan 0.

40

4.5.1.3 Pemprosesan data (Entery Data)


Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga sudah
melewati pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data
agar dapat dianalisa. Pemprosesan data dilakukan secara komputerisasi
dengan menggunakan master tabel yang telah dibuat terdiri dari baris dan
kolom.
4.1.5.4 Pembersihan data (Cleaning)
Data yang telah dimasukkan dicek kembali untuk memastikan data tersebut
telah bersih dari kesalahan.
4.5.2

Analisa Data

4.5.2.1 Analisa Univariat


Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu variabel atau
analisa yang dilakukan tiap variabel dari hasil penelitian (Notoatmodjo, 2005). Data
yang telah disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisa dengan teknik analisa
data deskriptif yang menghendaki perhitungan persentase dari setiap kategori dengan
rumus :
(Mean) X = Xi
n
Keterangan : X : Nilai rata-rata
: Jumlah alternatife / Jumlah Rata-rata
Xi : Nilai yang di observasi
n

: sample

41

Untuk variabel hospitalisasi


Stres

: Bila hasil nilai mean

Tidak stres

: Bila hasil nilai < mean

Untuk variabel Istirahat / Tidur


Terganggu

: Bila jumlah jam tidur < 11 jam

Tidak terganggu

: Bila jumlah jam tidur 11 jam

a. Kemudian data numerik diubah menjadi data kategorik dan disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi
4.5.2.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk dua variabel yang diduga
berhubungan. (Notoatmodjo, 2005). Untuk menguji hipotesa, apakah ada hubungan
antara

variabel

dependent dan variabel

independent

menggunakan

sistem

komputerisasi dengan melihat nilai p value, apabila nilai p > 0,05 berarti ada
hubungan yang bermakna dan p value 0,05 tidak ada hubungan yang bermakna.
4.6 Pertimbangan Etik
Untuk menjamin bahwa responden yang menjadi subjek penelitian tidak
mendapatkan paksaan dan atas dasar sukarela, maka sebelum penelitian diberikan
penjelasan tentang tujuan penelitian dan cara penggunaannya. Responden diminta
untuk menandatangani surat persetujuan pada informed consent (terlampir ) demi
terjaminya kerahasiaan data yang diberikan.

42

BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Solok (RSUD) merupakan sarana kesehatan
pemerintah yang memiliki tipe B, dimana RSUD ini memiliki 9 (Sembilan) ruang
rawat inap. Salah satu diantaranya adalah ruang Anak yang memiliki luas 120 m.
Ruang Anak ini memiliki jumlah tenaga kesehatan 17 orang yang terdiri dari :
-

1 orang dokter Spesialis Anak dan

1 orang dokter residen

3 orang tamatan S 1 Keperawatan

11 orang tamatan D III Keperawatan

Pada ruang Anak ini terdapat 1 (satu) ruang tindakan lengkap, 1 (ruang)
dokter, 1 (satu) ruang kepala ruangan, 1 ruangan perawat dan 5 (lima) ruang rawatan.
Jumlah tenaga perawat sebanyak 11 orang dan dibagi 3 x shif dinas setiap hari.
5.2 Karakteristik Responden
a. Pendidikan Responden
Pendidikan responden dikelompokan menjadi pendidikan dasar (SD dan
SLTP), pendidikan menengah (SMU, SMK / sederajat), pendidikan tinggi (perguruan
tinggi dan sederajat). distibusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

43

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden Dengan Anak Yang
Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012
Pendidikan
Pendidikan Dasar

f
19

%
63,3

Pendidikan menengah

10

33,3

Pendidikan Tinggi
Jumlah

1
30

3,3
100

Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (63,3 %) responden
berpendidikan dasar.
b. Pekerjaan Responden
Pekerjaan responden terdiri dari tani, swasta dan PNS, distibusi frekuensi
pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012
Pekerjaan
Tidak bekerja (IRT)

f
25

%
83,3

Swasta

3,3

PNS

6,7

Tani
Jumlah

2
30

6,7
100

Dari tabel 5.2 dapat dilihat sebagian besar (83,3 %) responden tidak bekerja
(IRT).

5.3 Analisa univariat


5.3.1 Hospitalisasi pada anak
44

Nilai rata-rata responden adalah 10 dengan nilai terendah 8 dan nilai tertinggi
13, hospitalisasi dikategorikan stres jika nilai responden dari 10 dan dikategorikan
tidak stres jika nilai responden < 10. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hospitalisasi Pada Anak
Di Ruang Inap Anak RSUD Solok
Tahun 2012
Hospitalisasi
Tidak stres

f
11

%
36,7

Stres
Jumlah

19
30

63,3
100

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (63,3 %) anak
responden mengalami stres.
5.3.2 Istirahat / tidur anak responden
Istirahat b/ tidur anak dikategorikan ternganggu bila jumlah tidur < 11 jam dan
tidak terganggu bila jumlah jam tidur < 11 jam . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini :

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Istirahat / Tidur Di Ruang Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012
Istirahat / Tidur Anak
Tidak Terganggu

f
12

%
40

45

Terganggu
Jumlah

18
30

60
100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (60 %) anak
responden mengalami gangguan istirahat / tidur.
5.4 Hasil Analisa Bivariat
5.4.1

Hubungan hospitalisasi dengan istirahat / tidur anak

Tabel 5.5
Hubungan Hospitalisasi dengan Istirahat / Tidur Anak Di Ruang Inap Anak
RSUD Solok Tahun 2012

Hospitalisasi
Tidak stres
Stres
Jumlah

Istirahat / Tidur
Tidak
Terganggu
Terganggu
f
%
f
%
9
81,8
2
18,2
3
15,8
16
84,2
12
12
18
66

Jumlah
f
11
19
30

%
100
100
100

OR

24

P
value
0,001

Dari tabel 5.5 diketahui bahwa dari 11 responden yang anak

tidak

mengalami stres sebagian besar 81,8 % tidak terganggu istirahat / tidur. Dan dari
19 responden yang anaknya mengalami stres hospitalisasi, sebagian besar 84,2 %
reponden yang anaknya terganggu istirahat / tidur.
Hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa nilai pvalue = 0,001 dimana
menunjukan bahwa p value < 0,05, artinya terdapat hubungan antara hospitalisasi
anak dengan istirahat / tidur. Nilai Odds Ratio (OR) dalam analisa bivariat antara
hospitalisasi dengan istirahat/tidur adalah 24. Nilai OR ini menjelaskan bahwa
anak yang mengalami stres hospitalisasi peluang terganggu istirahat / tidur, yaitu

46

sebesar 24 kali dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stres


hospitaalisasi.

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Hubungan hospitalisasi dengan istirahat / tidur anak

47

Setelah dilakukan uji statistik ternyata ada hubungan antara hospitalisasi


anak dengan istirahat / tidur dilihat dari nilai P value < 0,05, dimana nilai pvalue =
0,001. Dengan Odds Ratio (24) artinya anak responden yang mengalami stres
hospitalisasi peluang terganggu istirahat / tidur, yaitu sebesar 24 kali dibandingkan
dengan anak yang tidak mengalami stres hospitaalisasi
Menurut Potter (2005) faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur.
Seringkali factor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Factor
fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Penyakit fisik yang diderita anak dapat menyebabkan gangguan tidur. Beberapa
penyakit dapat menimbulkan rasa nyeri maupun ketidaknyamanan fisik, seperti
kesulitan bernafas ataupun masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi. Pada
beberapa penyakit memaksa anak untuk tidur dengan posisi yang tidak biasa. Selain
itu, mungkin terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan seseorang mempunyai
masalah kesulitan tidur ataupun justru tetap tertidur.
Menurut Potter (2005) stress emosional memberi dampak yang jelas
terhadap perubahan pola tidur seseorang. Kecemasan yang dialami pasien karena
masalah yang dihadapinya membuat anak menjadi tegang dan berusaha keras untuk
tertidur. Stress yang berlanjut dapat menyebabkan seseorang mempunyai kebiasaan
tidur yang buruk. Perasaan cemas akan hal yang dialaminya membuat anak sulit tidur,
sering terbangun tengah malam, perubahan siklus tidur, bahkan terlalu banyak tidur.
Kenyataan ditemukan di lapangan sebagian kecil 18,2 % responden yang
anaknya tidak mengalami stres tapi mengalami gangguan tidur, hal ini disebabkan
karena anak sering terbangun dan juga disebabkan sebelum sakit anak sudah
48

mengalami masalah tidur. Dan sebagian kecil 15,8 % responden yang anaknya
mengalami stres tapi tidak terganggu istirahat / tidur , hal ini disebabkan karena
responden setelah menangis kuat akan tertidur pulas dan juga disebabkan efek dari
obat yang diberikan dapat menyebabkan kantuk.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

49

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dengan
30 responden di ruang Anak RSUD Solok dari tanggal 12 sampai 30 November 2012
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Lebih dari sebagian (63,3 %) anak responden mengalami stres di ruang rawat
inap Anak RSUD Solok tahun 2012
2. Lebih dari sebagian (60 %) anak responden mengalami gangguan istirahat /
tidur di ruang rawat inap Anak RSUD Solok tahun 2012
3. Ada hubungan antara hospitalisasi dengan istirahat / tidur di ruang rawat inap
Anak RSUD Solok tahun 2012
7.2 Saran
Untuk mengurangi stres hospitalisasi anak di ruang rawat Inap RSUD Solok
tahun 2012, peneliti menyarankan :
1.

Bagi Institusi tempat penelitian / RSUD


Diharapkan dapat sebagai masukan bagi tenaga kesehatan di RSUD Solok
khususnya di ruang Anak dalam memberikan penyuluhan kepada orang tua
dalam mengurangi stres hospitalisasi pada anak dengan cara mengalihkan
perhatian anak terhadap rasa nyeri.

2. Bagi Bidang Keperawatan


Agar terus memotivasi pelaksanaan keperawatan untuk mengikuti pelatihan,
seminar khususnya tentang hospitalisasi pada anak agar dapat di memberikan

50

penyuluhan kepada orang tua yang anaknya dirawat serta melakukan terapi
bermain.
3. Bagi Peneliti lain
Agar dapat melakukan penelitian dengan metode dan varibel yang berbeda

51

52

Anda mungkin juga menyukai