PENDAHULUAN
beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumaik dan penuh
dengan stress. (Yupi Supartini, 2004 : 188)
Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis pada kehidupan anak. Di rumah
sakit, anak harus menghadapi lingkungan yang asing, pemberi asuhan yang tidak di
kenal, dan gangguan terhadap gaya hidup mereka. Seringkali, mereka harus
mengalami prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian, dan berbagai
hal yang tidak diketahui. Interpretasi mereka terhadap kejadian, respon mereka
terhadap pengalaman, dan signifikansi yang mereka tempatkan pada pengalaman ini
secara langsung berhubungan dengan tingkat perkembangan. ( Donna L. Wong,
2003 : 333)
Hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada
semua tingkatan usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak factor, baik
faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru,
maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa
cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.
Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis
anak akan merasakan perubahan prilaku dari orang tua yang mendampinginya selama
perawatan (Marks, 1998 : 53).
Anak akan menjadi stress dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan,
yaitu menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Arder (1885)
bahwa pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit,
karena pada kondisi stress akan terjadi penekanan sistem imun (Subowo, 1992).
Pasien anak yang merasa nyaman selama perawatan dengan adanya dukungan sosial
2
keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh
dengan perhatian akan mempercepat proses penyembuhan. (Nursalam, 2005 : 1-2)
Anak dalam keadaan sakit memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal.
Namun demikian keadaan sakit dapat menjadikan pasien kurang tidur atau tidak dapat
tidur (Tarwoto dan Wartonah, 2004). Kualitas tidur anak dapat dipengaruhi oleh
faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik yang mempengaruhi kualitas tidur anak
dapat berupa kekurangan gizi (bayi/anak menjadi rewel dan tidak bisa tidur nyenyak),
gangguan dari bermacam penyakit seperti gangguan organ pencernaan atau adanya
luka dan gangguan jasmani lainnya. Sedangkan faktor psikologis yang dapat berupa
ketegangan batin, hatinya sangat teangsang (terlalu bersemangat), anak mengalami
kegelisahan, keresahan, cemas, takut karena adanya tekanan atau perubahan pada
lingkungan anak (Suherman, 2000).
Beberapa ahli berpendapat, tidur merupakan proses detoksifikasi (penetralan)
toksik atau racun yang terakumulasi dalam tubuh. Akumulasi toksin inilah yang
menyebabkan timbulnya rasa kantuk sehingga memicu seseorang untuk tidur. Ini
merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan seseorang terhadap tubuhnya
sewaktu tidur (teori hipotoksins). Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur
merupakan waktu untuk restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Selama tidur,
memungkinkan seseorang mengistirahatkan beberapa organ tubuh. Penggunaan
energi menurun sekitar 15-20 % dan konsumsi Oksigen menurun saat seseorang
tertidur. Hal ini memungkinkan seseorang mengkonservasi kembali energinya
sewaktu tidur. Selain itu, hormone pertumbuhan (growth hormone) terutama dilepas
waktu tidur.
3
Lama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia dan tahap
perkembangan. Semakin tua seseorang, semakin sedikit pula lama tidur yang
diperlukan (Priharjo, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2004), jumlah total
tidur dalam satu hari bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula
perbedaan yang besar antar individu mengenai kebutuhan tidur.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Ruang rawat Inap Anak RSU D Solok
bulan Juni sampai Agustus 2012, diperoleh jumlah anak yang dirawat meningkat
setiap bulannya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini:
Tabel. 1.1
Jumlah Pasien Selama 3 Bulan Terakhir Yang Dirawat
Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok
Bulan Juni Agustus 2012
No
Bulan
Jumlah pasien anak
1
Juni
28
2
Juli
32
3
Agustus
40
Jumlah
100
Sumber : Medical Record RSUD Solok
Dari Tabel 1.1 diatas dapat dilihat bawah terjadi peningkatan jumlah anak
yang dirawat tiap bulannya. Dan dari studi awal peneliti di Ruang Anak RSUD Solok
rata-rata anak yang dirawat di ruang RSUD Solok perminggu adalah 10 orang.
Sedangkan dari observasi di instalasi ruang rawat inap anak RSUD Solok Tanggal
20-21 Maret 2012 di temui reaksi stress yang berbeda terhadap anak yang dirawat di
ruang rawat inap anap RSUD Solok, dan 10 anak yang di amati dengan wawancara
terhadap orang tua nya, mereka merasa cemas dan takut dengan lingkungan rumah
sakit sehingga tidak mau tidur. Reaksi yang timbul pada 8 orang anak yang diamati
tersebut, mereka selalu ingin ditemani orang tua terutama ibu disebabkan anak tidak
mau tidur, 2 orang anak kelihatan lingkaran matanya bengkak dan merah.
Menurut Potter (2005) factor faktor yang mempengaruhi kuantitas dan
kualitas tidur adalah faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah
kualitas dan kuantitas tidur. Penyakit fisik yang diderita anak dapat menyebabkan
gangguan tidur. Beberapa penyakit dapat menimbulkan rasa nyeri maupun
ketidaknyamanan fisik, seperti kesulitan bernafas ataupun masalah suasana hati
seperti kecemasan atau depresi. Pada beberapa penyakit memaksa anak untuk tidur
dengan posisi yang tidak biasa. Selain itu, mungkin terjadi perubahan-perubahan
yang menyebabkan seseorang mempunyai masalah kesulitan tidur ataupun justru
tetap tertidur.
Dari data diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Hubungan
hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak yang Dirawat di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012
Tujuan Umum
Untuk memperoleh Hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada Anak
yang Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahui distribusi frekuensi hospitalisasi anak yang dirawat di ruang rawat
inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.3.2.2 Diketahui distribusi frekuensi istirahat/ tidur pada anak yang dirawat di ruang
rawat inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.3.2.3 Diketahui hubungan hospitalisasi dengan istirahat/ tidur pada anak yang
dirawat di ruang rawat inap anak RSUD Solok tahun 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Peneliti
Untusk menambah wawasan dan mendapat hubungan hospitalisasi pada anak
dengan istirahat / tidur anak.
1.4.2
1.4.3
1.4.4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Hospitalisasi
2.1.1 Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani
terapy dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. ( Yupi Supartini,
2004 : 188)
2.1.2 Dampak Hospitalisasi
Dampak hospitalisasi secara umum dapat merubah kelakuan seseorang
dengan adanya sakit dan pengaruh hospitalisasi perubahan dapat terjadi secara besar.
Hospitalisasi biasanya mengganggu privacy seseorang, autonomy, istirahat / tidur,
roles dan ekonomi. ( Yupi Supartini, 2004 : 189)
2.1.2.1 Privacy
Saat pasien masuk kerumah sakit ia akan kehilangan privacy secara seketika.
Privacy dapat digambarkakn sebagai perasaan nyaman yang dipancarkan atas
persetujuan pada kemunduran social, luas dan lamanya di control oleh percobaan
individu terhadap privacy
Setiap orang butuh perubahan privacy dan menetapkan pembatasannya. Pada
saat pembatasan ini melenceng mereka merasa tersinggung karena pembatasan
rahasia pribadi sangat tinggi bagi seseorang, misalnya anak akan merasa nyaman jika
aktivitasnya dilakukan bersama dengan yang lainnya maka sangatlah penting bagi
perawat untuk memahami arti privacy seorang anak dan mencoba memberi dorongan
pada pasien sebisa mungkin. (Asmadi, 2008 : 36)
2.1.2.2 Autonomy
Autonomy adalah kondisi independen atau mandiri dan memimpin sendiri
tanpa control dari luar. Makna autonomy berbeda pada setiap orang, sebagian mereka
menganggap fungsi independen lebih banyak pada aktivitas hidup mereka
dibandingkan dengan yang lain. (Asmadi, 2008 : 37)
2.1.2.3 Istirahat / tidur
Nilai hospitalisasi mengubah istirahat / tidur seseorang karena sebagian besar
kegiatan yang dilakukan diatur oleh rumah sakit, misalnya kebiasaan tidur / istirahat
anak anak, kebiasaan bermain / beraktivitas dikurangi sehingga secara otomatis anak
harus mengubah kebiasaan mereka, begitu juga dengan makan mereka harus
memakan makanan yang disediakan rumah sakit. (Asmadi, 2008 : 37)
2.1.2.4 Roles
Frekuensi roles hidup pasien berubah saat mereka dirawat. Keseimbangan
mangacu pada kondisi tubuh yang konstan dan sudah stabil. Seseorang yang
mengalami stress tubuhnya akan menggunakan bermacam-macam system. Untuk
mengatur stress tubuh harus melakukan penyesuaian terhadap suatu nilai, keadaan
psikologi, mental dan emosi.
2.2 Stress
2.2.1 Pengertian Stress
Stress adalah setiap perubahan yang memerlukan penyesuaian yang dimulai
terhadap penilaian terhadap situasi. (Martha Davis, 1996 : 1)
Stress disebabkan karena reaksi terhadap ancaman, tekanan dan perubahan
lingkungan yang menyebabkan perubahan dalam tubuh. (Martha Davis, 1995 : 1)
Stress dapat didefinisikan sebagai, respon adaptif, dipengaruhi oleh
karakteristik individual dan / atau proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan,
situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan / atau psikologis
terhadap seseorang. (Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam kreitner dan Kinicki,
2004)
2.2.2 Pengertian Stress Hospitalisasi
Stress Hospitalisasi adalah stress yang ditimbulkan karena terjadinya
perubahan
terhadap penyakit, perubahan dari kebiasaan, status kebiasaan yang ditimbulkan dari
efek hospitalisasi (Wong Donna L, 1998).
2.2.3 Penyebab Stress Hospitalisasi
Kelompok anak usia ini menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit
ketakutan, malahan beberapa diantara mereka akan menolak masuk kerumah sakit
dan secara terbuka akan meronta dan tidak mau dirawat. Reaksi tergantung pada
tingkat kecerdasan dan bagaimana kondisi penderita anak (Rosa Sacharini, 1996).
10
11
intensitasnya, dan gambarannya. Jika mereka tidak bisa menahan nyeri mereka
menunjukkan reaksi seperti : menggigit, menendang, mendorong, menolak, menangis
/ tawar-menawar.
2.3 Upaya Pencegahan Stress Hospitalisasi pada Anak
2.3.1 Melibatkan orang tua berperan aktif
Dalam perawatan anak dengan cara
bersama anak selama 24 jam (rooming in). (Yupi Supartini, 2004 : 196)
Orang tua mengetahui tentang anak mereka, dan sensitive terhadap perubahan
perubahan dalam prilaku anak mereka. Kemampuan orang tua untuk mengenali rasa
nyeri pada anaknya sangat bervariasi. Disamping itu, orang tua juga mengetahui
bagaimana cara untuk membuat anaknya merasa nyaman, seperti mengayun-ngayun
anaknya, mengajak berputar-putar, atau bercerita. Agar mendapatkan hasil pengkajian
yang terbaik, sebaiknya perawat menanyakan kepada orang tua anak mengenai
bagaimana reaksi anak tersebut dalam menghadapi rasa nyeri. Hal ini sangat penting
untuk menunjang proses keperawatan. (Nursalam. 2005 : 24)
2.3.2 Kesempatan orang tua untuk mempertahankan kontak dengan anak
Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk
melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka.
Rooming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa, sebaiknya
orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak / komunikasi
antara orang tua anak.
Perpisahan juga merupakan hal yang sulit bagi orang tua, anak pada tahap
protes sangat sulit sekali untuk ditinggalkan. Orang tua sering mencari alasan atau
13
mencuri-curi untuk dapat meningalkannya. Disamping itu, orang tua selalu merasa
khawatir
berpikiran bahwa setelah ditinggalkan anak akan menangis berjam-jam dan ini
membuat orang tua merasa cemas. Untuk mengatasi hal tersebut, perawat dapat
menceritakan pada orang tua mengenai prilaku anaknya setelah ditinggalkan dan
mengatakan bahwa hal tersebut masih dalam batas normal supaya orang tua tidak
cemas. (Nursalam, 2005 : 25)
2.3.3 Modifikasi ruang perawatan
Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti
di rumah, diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak.
Membuat ruang perawatan seperti situasi dirumah dengan mendekorasi dinding
memakai poster / kartu bergambar sehingga anak merasa aman jika berada diruang
tersebut. (Nursalam, 2005: 26)
2.4 Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit
2.4.1 Cemas Karena Perpisahan
Hubungan anak dengan ibu adalah sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan
ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi
dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.
Respon prilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
2.4.1.1 Tahap Protes (Phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan
memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti
14
mau
berkomunikasi,
sedih,
apatis,
dan
regresi
egosentris
dalam
mengembangkan
otonominya.
Hal
ini
akan
15
16
17
19
d. Agar anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stress karena
penyakit atau karena dirawat di rumah sakit, dan anak mendapatkan
ketenangan dalam bermain.
2.5.5.2 Prinsip bermain di rumah sakit
Dalam melakukan aktivitas bermain untuk anak yang dirawat di rumah
sakit, perawat hendaknya memperhatikan prinsip bermain, sebagai
berikut :
a. Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat, dan sederhana.
b. Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang.
c. Kelompok umur yang sama.
d. Permainan tidak bertentangan dengan pengobatan.
e. Semua alat permainan dapat dicuci.
f. Melibatkan orang tua (Nursalam, 2005 : 29-30)
2.5.5.3 Jenis permainan anak di rumah sakit
a. Bermain bahasa atau menyusun kata-kata, seperti puzzle
b. Bermain tebak gambar
c. Menulis, seperti menceritakan kejadian-kejadian selama anak di rumah
sakit
d. Mengenal organ tubuh, seperti melalui gambar
e. Berhitung. (Donna L Wong, 2003 : 284)
2.6 Peranan Perawat dalam Mengurangi Penyebab Reaksi Stress Hospitalisasi
Anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk
meminimalkan efek negatif dari hospitalisasi. Fokus dari intervensi keperawatan
20
21
2.6.2.2 Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan aktifitas lain
dalam perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan / kegiatan seharihari.
2.6.2.3 Fokuskan
intervensi
keperawatan
pada
upaya
untuk
mengurangi
22
2.6.3.4 Tunjukkan sikap empaty sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan. (Yupi supartini, 2004 : 197)
2.6.4 Memaksimalkan Manfaat dan Hospitalisasi
Walaupun hospitalisasi sangat membuat stress bagi anak dan keluarga, tetapi
hal tersebut juga membantu untuk memfasilitasi perubahan ke arah positif antara anak
dan anggota keluarganya.
2.6.4.1 Membantu perkembangan hubungan orang tua-anak
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada orang tua untuk belajar mengenai
pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika orang tua mengetahui reaksi anak
terhadap stress, seperti regresi dan agresif, maka mereka cepat memberikan
dukungan. Hal tersebut juga akan memperluas pandangan orang tua dalam merawat
anak yang sakit.
2.6.4.2 Memberikan kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada anak dan anggota keluarga untuk
belajar mengenai tubuh dan profesi kesehatan.
2.6.4.3 Meningkatkan pengendalian diri (self mastery)
Anak yang lebih muda termasuk balita mempunyai kesempatan untuk menguji
fantasinya melawan realita yang menakutkan. Mereka menyadari bahwa mereka tidak
sendirian dan tidak dihukum. Pada kenyataannya mereka dicintai dan dirawat.
2.6.4.4 Memberikan kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya, maka hal tersebut
akan membantu anak untuk belajar mengenai diri mereka. Sosialisasi juga dapat
23
dilakukan dengan tim kesehatan. Selain itu, orang tua juga memperoleh kelompok
sosial baru dengan orang tua anak yang mempunyai masalah yang sama.
2.6.5
membantu orang tua. Seperti, mengidentifikasikan alasan spesifik dari perasaan dan
respons anak terhadap stress dan memberikan kesempatan kepada orang tua untuk
mengurangi beban emosinya.
2.6.5.1 Memberi informasi
Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah memberikan informasi
sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan serta prognosis, reaksi emosional
anak terhadap sakit dan dirawat, serta reaksi emosional anggota keluarga terhadap
anak yang sakit dan dirawat.
2.6.5.2 Melibatkan saudara kandung
Keterlibatan saudara kandung sangat penting untuk mengurangi stress pada
anak, misalnya, keterlibatan dalam program bermain, mengunjungi saudara yang
sakit secara teratur, dan sebagainya. (Nursalam, 2005 : 28-29)
2.7
2.7.1 Pengertian
Istirahat / Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami
seseorang, yang dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang
cukup (Priharjo, 2005). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkatan
kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses biologis tubuh, dan
penurunan respon terhadap rangsangan dari luar. Tidur merupakan kebutuhan dasar
24
yang dibutuhkan semua orang. Demikian pula orang yang sedang sakit, mereka juga
memerlukan istirahat dan tidur yang memadai.
Menurut Lumbantobing (2004), tidur dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu durasi
(lamanya) keadaan bangun dan waktu (dorongan) untuk tidur. Jadi, keinginan untuk
tidur pada suatu saat merupakan kombinasi kedua dorongan tersebut. Dalam
mengatur waktu tidur, kadang sangat sulit bagi anak karena sukar menciptakan
suasana tenang sebelum waktu tidur. Ada sebagian anak bersemangat pada malam
hari untuk belajar atau bermain, (Suherman, 2000). Kebiasaan-kebiasaan sebelum
tidur harus selalu dipenuhi, karena bila tidak anak akan susah tidur.
2.7.2 Mekanisme Istirahat / Tidur
Mekanisme terjadinya tidur telah banyak dipelajari dan para ahli
berkesimpulan bahwa tidur diatur secara hormonal. Tidur yang menyehatkan adalah
yang dapat mengikuti atau menyesuaikan ritme atau siklus tertentu yang dikenal
dengan istilah bioritme atau bioritme internal (ritme kebutuhan biologis yang terjadi
di dalam tubuh). Bioritme inilah yang sering dikenal dengan istilah ritme circardian
(Kozier, 2003). Irama sirkardian, termasuk irama tidur harian dipengaruhi oleh suhu
dan cahaya serta faktor-faktor eksternal seperti aktivitas social dan rutinitas
pekerjaan. Irama biologis tidur seringkali sinkron dengsn fungsi tubuh lainnya.
Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya
dapat secara berlawanan mempengaruhi kesehatan kesehatan seseorang, (Potter,
2005).
Mekanisme tidur, seperti yang dijelaskan Robinson (1993) dalam Potter
(2005) melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi
25
tinggi aktivitas system saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam
system periferial, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan, dan muscular. Kontrol dan
pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang
mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tetinggi untuk mengontrol
tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain
menyebabkan tertidur. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel
tertentu pada otak bagian depan. Seseorang dapat tertidur atau tetap terjaga
tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi
(pikiran), reseptor sensori perifer (misalnya stimulus bunyi atau cahaya), dan system
limbic (emosi).
2.7.3 Jenis Istirahat / Tidur
Tidur dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tidur REM (Rapid Eye
Movement) yang sering disebut dengan tdur dengan gerak mata cepat dan tidur
NREM (Non Rapid Eye Movement) atau tidur dengan gerak mata lambat (Kozier,
2003). Tidur REM (Rapid Eye Movement) adalah tidur dengan gerakan mata cepat.
Merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial yang biasanya ditandai
dengan mimpi yang bermacam-macam, otot-otot kendor, kecepatan jantung dan
pernafasan tidak teratur, biasanya lebih
cepat, perubahan tekanan darah, gerakan otot tidak teratur, gerakan mata cepat,
pembebasan steroid, sekresi lambung meningkat, dan ereksi penis pada pria (Priharjo,
2005).
Tidur NREM (Non Rapid Eye Movement) merupakan tidur yang nyaman dan
biasa disebut tidur dengan gerakan mata lambat. Tanda-tanda tidur NREM adalah
26
mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun, kecepatan pernafasan turun,
metabolisme turun, dan gerakan mata lambat. Menurut Lumbantobing (2004), tidur
NREM dibagi dalam 4 stadium, yaitu stadium atau tingkat pertama, tingkat kedua,
tingkat ketiga, dan tingkat empat. Stadium atau tingkat pertama biasa disebut dengan
tidur ringan, dimana seseorang mengalami kesadaan mengantuk, waktu reaksi
terhadap rangsang melambat dan intelektual menurun, tetapi orang tersebut tidak
merasakannya. Saat di tempat tidur, seseorang dengan stadium pertama tidur ringan
dan bergerak atau menggeliat ringan. Sedangkan pada stadium atau tingkat kedua
disebut dengan tidur konsolidasi (consolidated sleep). Seseorang yeng tidur pada
tingkatan ini bila dibangunkan ia merasa memang benar-benar tidur. Biasanya,
individu merasa cukup sadar atau siaga terhadap keadaan sekelilingnya, namun tidak
menyadari seberapa jauh kesadarannya sudah menumpul. Pada stadium ketiga da
keempat, seseorang mengalami tidur dalam atau tidur gelombang lambat, biasa
disebut slow wave sleep (SWS). Merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai
dengan immobilitas dan lebih sulit dibangunkan. Transisi dari stadium ketiga dan
keempat ini biasanya sulit ditentukan.
2.7.4 Fungsi Istirahat / Tidur
Istirahat / Tidur merupakan salah satu hal penting bagi seseorang. Fungsi
tidur antara lain untuk melindungi tubuh, konservasi energi, restorasi otak,
homeostasis,
meningkatkan
(Lumbantobing, 2004).
fungsi
immunitas,
dan
regulasi
suhu
tubuh
seseorang untuk tidur. Ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan seseorang
terhadap tubuhnya sewaktu tidur (teori hipotoksins).
Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur merupakan waktu untuk
restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Selama tidur, memungkinkan seseorang
mengistirahatkan beberapa organ tubuh. Penggunaan energi menurun sekitar 15-20 %
dan konsumsi Oksigen menurun saat seseorang tertidur. Hal ini memungkinkan
seseorang mengkonservasi kembali energinya sewaktu tidur. Selain itu, hormone
pertumbuhan (growth hormone) terutama dilepas waktu tidur.
2.7.5 Lama Istirahat / Tidur Anak sesuai Tahap Perkembangan
Lama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia dan tahap
perkembangan. Semakin tua seseorang, semakin sedikit pula lama tidur yang
diperlukan (Priharjo, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2004), jumlah total
tidur dalam satu hari bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula
perbedaan yang besar antar individu mengenai kebutuhan tidur.
a. Pola istirahat / tidur berdasarkan tingkat usia/perkembangan anak
1) Tingkat perkembangan Pola tidur normal Bayi Baru Lahir (BBL) Tidur
antara 14 sampai 18 jam/hari, pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit Bayi
(0 sampai 1 tahun) Tidur 12 samapi 14 jam/hari Mungkin tidur sepanjang
malam
2) Toddler (2-3 tahun) Tidur sekitar 11 sampai 12 jam/hari
3) Anak usia Prasekolah (3-6 tahun) Tidur sekitar 11 jam/hari Anak usia
Sekolah
4) (6-12 tahun) Tidur sekitar 8 sampai 11 jam/hari
28
pula yang sulit sekali untuk tidur, atau ada yang tertidur tetapi tidak nyenyak.
Perubahan pola tidur pada anak usia prasekolah yang menjalani rawat inap selain
karena penyakit atau nyeri yang dideritanya, biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Manifestasinya dapat berupa selalu berguling-guling, menendangnendang selimut, miring ke kiri dan ke kanan, terkejut dan berjaga (tidak teratur)
setiap mendengar bunyi, merintih serta mengigau, (Suherman, 2000).
2.7.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi istirahat / Tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur (Potter, 2005).
Seringkali factor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Factor
fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Penyakit fisik yang diderita anak dapat menyebabkan gangguan tidur. Beberapa
penyakit dapat menimbulkan rasa nyeri maupun ketidaknyamanan fisik, seperti
kesulitan bernafas ataupun masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi. Pada
beberapa penyakit memaksa anak untuk tidur dengan posisi yang tidak biasa. Selain
itu, mungkin terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan seseorang mempunyai
masalah kesulitan tidur ataupun justru tetap tertidur.
Obat-obatan dan substansi yang diberikan kepada pasien selama masa
perawatan dapat memberikan kontribusi terhadap masalah tidur yang dialami
seseorang. Menurut Buysse (1991) yang dikutip oleh Potter (2005) terdapat 538 obat
resep dari daftar obat di PDR 1990 yang menimbulkan efek samping berupa rasa
kantuk, sedangkan 486 di antaranya menimbulkan insomnia atau kesulitan tidur, dan
218 jenis obat menyababkan kelelahan.
30
Gaya hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap pola tidur seseorang. Hal
ini dikarenakan rutinitas seseorang di siang hari akan mempengaruhi istirahatnya
pada malam hari. Anak-anak yang aktif pada siang hari akan cenderung kelelahan
pada malam hari. Pada beberapa anak, anak akan langsung tertidur atau bahkan
mengalami kesulitan tidur dengan nyaman. Selama dirawat di rumah sakit, terjadi
perubahan rutinitas dan gaya hidup anak sehingga memungkinkan pula terjadinya
perubahan kualitas tidur anak.
Stress emosional memberi dampak yang jelas terhadap perubahan pola tidur
seseorang. Kecemasan yang dialami pasien karena masalah yang dihadapinya
membuat anak menjadi tegang dan berusaha keras untuk tertidur. Stress yang
berlanjut dapat menyebabkan seseorang mempunyai kebiasaan tidur yang buruk.
Perasaan cemas akan hal yang dialaminya membuat anak sulit tidur, sering terbangun
tengah malam, perubahan siklus tidur, bahkan terlalu banyak tidur.
Lingkungan fisik maupun psikososial merupakan aspek penting yang terkait
dengan kemampuan anak untuk tertidur dan tetap tidur dengan nyaman. Tempat tidur
dan barang-barang lain yang ada di rumah sakit biasanya berbeda dengan keadaan
selama di rumah membuat anak merasa tidur di tempat yang asing. Selain itu, suara
dan suasana rumah sakit sering menimbulkan rasa tidak nyaman tersendiri bagi
pasien, baik anak maupun dewasa. Pencahayaan yang kurang maupun terlalu redup
dapat membuat klien kurang nyaman, ditambah campuran beberapa suara dan
aktivitas yang menganggu. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
tidur secara adekuat selama berada di ruang perawatan.
31
Asupan makanan dan kalori yang didapat klien selama di rumah sakit dapat
mempengaruhi kebiasaan tidurnya. Menurut Hauri dan Linde (1990) yang dikutip
oleh Potter (2005) menyatakan bahwa orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga
mengikuti kebiasaan makan yang baik adalah penting untuk kesehatan yang tepat dan
tidur.pada orang dewasa, konsumsi kafein dan alcohol dapat menyebabkan insomnia
atau sulit tertidur. Sedangkan pada anak, beberapa makanan yang menyebabkan alergi
dapat menimbulkan gangguan tidur. Selain itu, meningkatnya berat badan anak dapat
memperpanjang periode tidur dan mengurangi adanya interupsi pada malam hari.
Sebaliknya, penurunan berat badan anak dapat menyebabkan periode tidur anak
menjadi pendek dan terputus-putus.
2.7.7 Gangguan Istirahat / Tidur pada Anak
a. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik
kualitas maupun kuantitas (Priharjo, 2005). Insomnia bukan berarti tidak bisa tidur
sama sekali. Menurut Lumbantobing (2004), insomnia ialah tidur yang tidak adekuat
atau tidur yang tidak menyegarkan. Insomnia merupakan keadaan dimana seseorang
yang ingin tidur, misalnya karena sudah lelah, mengalami kesulitan untuk memulai
tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan tidur, dan bangun terlalu pagi.
Insomnia dapat disebabkan karena gangguan fisik, tetapi sering juga karena
gangguan mental akibat kecemasan yang meningkat atau karena gelisah (Kozier,
2003). Secara umum, insomnia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adanya
penyakit serta rasa nyeri, keadaan lingkungan yang tidak tenang atau tidak nyaman,
kelelahan, emosi tidak stabil (stress), serta penggunaan beberapa obat-obatan.
32
Pada anak usia prasekolah yang menjalani rawat inap dapat mengalami
tekanan karena merasa lingkungannya yang nyaman serta perasaan kehilangan
lingkungan bermain, permainan, dan teman bermainnya membuat anak menjadi stress
selama dirawat di rumah sakit. Pada kondisi ini, anak mengalami ketidakstabilan
emosi, sehingga sulit untuk memulai tidur atau tidak dapat tidur dengan tenang dan
mudah sekali terbangun.
b. Hipersomnia
Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia. Hipersomnia merupakan
kelebihan tidur lebih dari 9 jam pada malam hari. Hipersomnia biasanya berhubungan
dengan gangguan psikologis seperti depresi atau kegelisahan dan gangguan
metabolisme (Kozier, 2005). Klien memiliki kecenderungan untuk mudah jatuh tidur
(mengantuk). Anak usia prasekolah yang sedang dirawat di rumah sakit dapat
mengalami hipersomnia karena adanya masalah pada system metabolisme dalam
tubuhnya atau keletihan yang sangat maupun akibat kecemasan yang dialaminya.
c. Parasomnia
Parasomnia merupakan suatu rangkaian gangguan yang mempengaruhi tidur
anak, seperti somnambulisme (tidur berjalan), ketakutan, dan enuresis atau
mengompol, (Priharjo,2005). Parasomnia adalah kejadian yang tidak dikehendaki
yang terjadi pada waktu tidur. Parasomnia merupakan sekelompok gangguan tidur
yang terdiri dari fenomena fisik dan perilaku, yang terjadi terutama waktu tidur,
(Lumbantobing, 2004).
Tidur berjalan (sleep walking/somnambulisme) pada anak dapat dipicu oleh beberapa
keadaan seperti deprivasi (kurang tidur), demam, stres, medikasi, gangguan lain (rasa
33
sakit, ingin buang air, atau adanya suara keras). Sedangkan beberapa anak mengalami
sleep terror (terror waktu tidur; night terror; pavor nocturnus). Biasanya ditemui
pada anak usia 4-12 tahun, tetapi puncaknya terjadi pada usia 5-7 tahun.
d. Gangguan Siklus Tidur-bangun
Gangguan siklus tidur-bangun merupakan kelompok kejadian yang dapat
terjadi sewaktu transisi bangun ke tidur, tidur ke bangun, atau dari stadium tidur yang
satu ke stadium tidur lainnya, (Lumbantobing, 2004).Gangguan irama atau siklus
tidur bangun menggambarkan keadaan pasien yang pola irama tidurnya terganggu,
waktu tidur dan bangunnya tidak sebagaimana lazimnya. Mungkin anak menjadi
mengantuk dan tidur pada siang hari, sedangkan pada malam hari ia bangun dan sulit
tidur. Kejadian ini dapat diikuti dengan bicara sambil tidur (somniloqui), mulai dari
bunyi mengerang, kata-kata tanpa hubungan, sampai pada pidato yang panjang.
2.7.8 Akibat Kekurangan Istirahat / Tidur
Beberapa tanda klinis yang perlu diketahui terhadap pasien yang kurang
tidur, yaitu pasien mengungkapkan rasa capek, pasien mudah tersinggung dan kurang
santai, apatis, warna kehitam-hitaman di sekitar mata, konjungtiva merah, sering
kurang perhatian, pusing, dan mual. Apabila gangguan tidur ini berlangsung lama,
maka dapat terjadi gangguan tubuh. Beberapa gangguan yang perlu diperhatikan,
antara lain perubahan kepribadian dan perilaku, seperti agresif, menarik diri, atau
depresi, rasa capek meningkat, gangguan persepsi, halusinasi pandangan, bingung
dan disorientasi terhadap tempat dan waktu, koordinasi menurun, bicara tidak jelas.
34
perawatan. Metode yang diterapkan Williamson ini mampu membuat pasien merasa
lebih nyaman ketika hendak tidur. Dengan stimulasi yang diberikan mampu
meredakan stress klien yang di rawat di rumah sakit. Perubahan suasana
yangditimbulkan dengan memperdengarkan suara laut pada pasian mampu
mengurangi ketidaknyamanan klien dan mengembalikan pola tidur normal selama
masa perawatan.
36
BAB III
KERANGKA KONSEP
Stres Hospitalisasi
Dependen
Istirahat/ tidur
37
Hospitalisasi
Istirahat /
tidur
Definisi
Cara Ukur
Operasional
Stress yang
wawancara
ditimbulkan
karena
terjadinya
perubahan
terhadap
penyesuaian
lingkungan
yang baru
(rumah sakit)
Keadaan
wawancara
dimana
individu,
seseorang
mengalami
suatu perubahan
dalam kuantitas
Alat
Ukur
Kuesioner
Skala
Ukur
Ordinal
Hasil Ukur
Kuesioner
Ordinal
Terganggu
bila jumlah
jam tidur <
11
Stres bila
mean
Tidak stres
bila mean
Tidak
Terganggu
bila jumlah
jam tidur <
11
3.3 Hipotesa
3.3.1
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
39
Rawat Inap Anak RSUD Solok yang ada pada saat penelitian selama 3 minggu
berjumlah 30 orang.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner melalui wawancara dan
langsung dengan responden. Sebelum wawancara responden diminta untuk mengisi
lembar persetujuan menjadi responden dengan menandatangi informed consent
terlebih dahulu. Setiap jawaban yang diberikan responden, diisi oleh peneliti dengan
memberi tanda silang pada pilihan jawaban yang disediakan.
4.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
4.5.1 Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif dalam pengolahan data tersebut dilaksanakan langkah-langkah.
4.5.1.1 Penyuntingan data (editing)
Melakukan pengecekan terhadap isian kuesioner apakah jawaban yang sudah
dibuat sudah lengkap, jelas dan jawaban sudah relevan dengan pertanyaan.
4.5.1.2 Pengkodean data (coding)
Memberikan kode pada setiap informasi yang sudah terkumpul pada setiap
pertanyaan dalam kuesioner untuk memudahkan dalam mengolah data.
Kegunaan dari coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan
juga mempercepat pada saat entri data. Untuk variabel stres hospitalisasi ada
diberi nilai 1, tidak diberi nilai 0. Pernyataan istirahat / tidur < 11 jam kategori
1 dan 11 jam dikategorikan 0.
40
Analisa Data
: sample
41
Tidak stres
Tidak terganggu
a. Kemudian data numerik diubah menjadi data kategorik dan disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi
4.5.2.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk dua variabel yang diduga
berhubungan. (Notoatmodjo, 2005). Untuk menguji hipotesa, apakah ada hubungan
antara
variabel
independent
menggunakan
sistem
komputerisasi dengan melihat nilai p value, apabila nilai p > 0,05 berarti ada
hubungan yang bermakna dan p value 0,05 tidak ada hubungan yang bermakna.
4.6 Pertimbangan Etik
Untuk menjamin bahwa responden yang menjadi subjek penelitian tidak
mendapatkan paksaan dan atas dasar sukarela, maka sebelum penelitian diberikan
penjelasan tentang tujuan penelitian dan cara penggunaannya. Responden diminta
untuk menandatangani surat persetujuan pada informed consent (terlampir ) demi
terjaminya kerahasiaan data yang diberikan.
42
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Solok (RSUD) merupakan sarana kesehatan
pemerintah yang memiliki tipe B, dimana RSUD ini memiliki 9 (Sembilan) ruang
rawat inap. Salah satu diantaranya adalah ruang Anak yang memiliki luas 120 m.
Ruang Anak ini memiliki jumlah tenaga kesehatan 17 orang yang terdiri dari :
-
Pada ruang Anak ini terdapat 1 (satu) ruang tindakan lengkap, 1 (ruang)
dokter, 1 (satu) ruang kepala ruangan, 1 ruangan perawat dan 5 (lima) ruang rawatan.
Jumlah tenaga perawat sebanyak 11 orang dan dibagi 3 x shif dinas setiap hari.
5.2 Karakteristik Responden
a. Pendidikan Responden
Pendidikan responden dikelompokan menjadi pendidikan dasar (SD dan
SLTP), pendidikan menengah (SMU, SMK / sederajat), pendidikan tinggi (perguruan
tinggi dan sederajat). distibusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
43
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden Dengan Anak Yang
Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Solok Tahun 2012
Pendidikan
Pendidikan Dasar
f
19
%
63,3
Pendidikan menengah
10
33,3
Pendidikan Tinggi
Jumlah
1
30
3,3
100
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (63,3 %) responden
berpendidikan dasar.
b. Pekerjaan Responden
Pekerjaan responden terdiri dari tani, swasta dan PNS, distibusi frekuensi
pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012
Pekerjaan
Tidak bekerja (IRT)
f
25
%
83,3
Swasta
3,3
PNS
6,7
Tani
Jumlah
2
30
6,7
100
Dari tabel 5.2 dapat dilihat sebagian besar (83,3 %) responden tidak bekerja
(IRT).
Nilai rata-rata responden adalah 10 dengan nilai terendah 8 dan nilai tertinggi
13, hospitalisasi dikategorikan stres jika nilai responden dari 10 dan dikategorikan
tidak stres jika nilai responden < 10. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hospitalisasi Pada Anak
Di Ruang Inap Anak RSUD Solok
Tahun 2012
Hospitalisasi
Tidak stres
f
11
%
36,7
Stres
Jumlah
19
30
63,3
100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (63,3 %) anak
responden mengalami stres.
5.3.2 Istirahat / tidur anak responden
Istirahat b/ tidur anak dikategorikan ternganggu bila jumlah tidur < 11 jam dan
tidak terganggu bila jumlah jam tidur < 11 jam . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Istirahat / Tidur Di Ruang Inap
Anak RSUD Solok Tahun 2012
Istirahat / Tidur Anak
Tidak Terganggu
f
12
%
40
45
Terganggu
Jumlah
18
30
60
100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian (60 %) anak
responden mengalami gangguan istirahat / tidur.
5.4 Hasil Analisa Bivariat
5.4.1
Tabel 5.5
Hubungan Hospitalisasi dengan Istirahat / Tidur Anak Di Ruang Inap Anak
RSUD Solok Tahun 2012
Hospitalisasi
Tidak stres
Stres
Jumlah
Istirahat / Tidur
Tidak
Terganggu
Terganggu
f
%
f
%
9
81,8
2
18,2
3
15,8
16
84,2
12
12
18
66
Jumlah
f
11
19
30
%
100
100
100
OR
24
P
value
0,001
tidak
mengalami stres sebagian besar 81,8 % tidak terganggu istirahat / tidur. Dan dari
19 responden yang anaknya mengalami stres hospitalisasi, sebagian besar 84,2 %
reponden yang anaknya terganggu istirahat / tidur.
Hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa nilai pvalue = 0,001 dimana
menunjukan bahwa p value < 0,05, artinya terdapat hubungan antara hospitalisasi
anak dengan istirahat / tidur. Nilai Odds Ratio (OR) dalam analisa bivariat antara
hospitalisasi dengan istirahat/tidur adalah 24. Nilai OR ini menjelaskan bahwa
anak yang mengalami stres hospitalisasi peluang terganggu istirahat / tidur, yaitu
46
BAB VI
PEMBAHASAN
47
mengalami masalah tidur. Dan sebagian kecil 15,8 % responden yang anaknya
mengalami stres tapi tidak terganggu istirahat / tidur , hal ini disebabkan karena
responden setelah menangis kuat akan tertidur pulas dan juga disebabkan efek dari
obat yang diberikan dapat menyebabkan kantuk.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
49
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dengan
30 responden di ruang Anak RSUD Solok dari tanggal 12 sampai 30 November 2012
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Lebih dari sebagian (63,3 %) anak responden mengalami stres di ruang rawat
inap Anak RSUD Solok tahun 2012
2. Lebih dari sebagian (60 %) anak responden mengalami gangguan istirahat /
tidur di ruang rawat inap Anak RSUD Solok tahun 2012
3. Ada hubungan antara hospitalisasi dengan istirahat / tidur di ruang rawat inap
Anak RSUD Solok tahun 2012
7.2 Saran
Untuk mengurangi stres hospitalisasi anak di ruang rawat Inap RSUD Solok
tahun 2012, peneliti menyarankan :
1.
50
penyuluhan kepada orang tua yang anaknya dirawat serta melakukan terapi
bermain.
3. Bagi Peneliti lain
Agar dapat melakukan penelitian dengan metode dan varibel yang berbeda
51
52