Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Neonatus


Bayi baru lahir (neonatus) mengalami perpindahan kehidupan dari
lingkungan intra uterin ke ekstra uterin agar dapat beradaptasi dan
mempertahankan kehidupannya.Pembahasan tentang neonatus diperlukan untuk
meningkatkan pengetahuan perawat dalam usaha memberikan asuhan
keperawatan yang profesional dan berkualitas.
2.1.1. Definisi
Neonatus merupakan manusia dari baru lahir sampai berusia 28 hari
(Hockenberry & Wilson, 2009). Menurut Potter dan Perry (2005), periode
neonatus adalah masa selama bulan pertama kehidupan yang mengalami
refleksi dalam fungsi fisik dan proses menstabikan sistem organ. Dapat
disimpulkan bahwa neonatus adalah bayi baru lahir sampai berusia 28 hari
yang memerlukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan setelah berada di
luar rahim agar dapat tumbuh dan berkembang seperti neonatus normal
lainnya.

2.1.2. Perubahan Segera Setelah Lahir


Perubahan-perubahan yang terjadi segera setelah lahir sebagai akibat
perubahan dari lingkungan intra uterin ke lingkungan ekstra uterin, dimana
neonatus menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, makanik dan
teknik.Hasil perangsangan ini membuat neonatus mengalami perubahan
metabolik, pernafasan, sirkulasi dan lain-lain (Bernet & Brown, 1999).
1. Perubahan metabolisme
karbohidrat Energi tambahan yang diperlukan neonatus pada jam-jam pertama
sesudah lahir diambil dari hasil metabolism asam lemak sehingga kadar gula
darah mencapai 100 -120 mg.
2. Perubahan suhu tubuh
Segera setelah lahir, neonatus akan berada pada suhu lingkungan yang lebih
rendah dari lungkungan didalam rahim. Suhu tubuh normal neonatus berkisar
36,5C – 37,5C. bila neonatus dibiarkan dalam suhu kamar (25C) maka
neonatus akan kehilangan 200 kalori/kgBB/menit melalui proses evaporasi,
konveksi dan radiasi.
3. Perubahan sistem pernafasan
Neonatus bernafas spontan pertama kali setelah 30 detik kelahiran.Pernafasan
ini terjadi akibat adanya aktifitas normal dari susunan syaraf pusat dan perifer
yang dibantu oleh beberapa rangsangan lainnya, misalnya tekanan mekanis
pada torak sewaktu melalui jalan lahir.Penurunan tekanan O2 dan kenaikan
CO2 pada paru-paru merangsang kemoreseptor yang teletak pada sinus carotis
sehingga neonatus segera bernafas.Gerakan pernafasan neonatus terutama
menggunakan otot perut dan bervariasi dalam waktu dan iramanya, tetapi rata-
rata pernafasan neonatus adalah 30-50x/menit.Neonatus dapat bernafas
melalui hidung sehingga penting untuk menjaga hidung untuk selalu tetap
bersih (Perry & Potter, 2005)
4. Perubahan sistem sirkulasi
Meningkatnya tekanan O2 dalam alveoli dan penurunan tekanan CO2 akan
meningkatkan aliran darah paru, akhirnya darah dari arteri pulmonalis
mengalir ke paru-paru dan duktus arteriosus menutup. Dengan terpotongnya
tali pusat menyebabkan arteri dan vena umbilikalis menciut, aliran darah dari
plaseta melalui vena kava superior dan foramen ovale ke atrium kiri terhenti,
sehingga paru-paru mulai berfungsi.Masuknya darah dari paru-paru ke atrium
kiri menyebabkan tekanan atrium kiri lebih tinggi dari tekanan atrium kanan
sehingga menyebabkan foramen ovale menutup, sehingga sirkulasi berubah
menjadi sirkulasi neonatus yang hidup di luar badan ibu.Denyut jantung
neonatus bertahap menurun dari denyut jantung janin 130-160x/menit menjadi
120-140x/menit (Potter & Perry, 2005).
5. Perkembangan bahasa
Kemampuan berbahasa berakar dari masa neonatus yang mulai tertarik
dengan suara, mulai menyadari kata-kata yang memiliki makna yang akhirnya
menggunakan suara untuk berkomunikasi.Koneksi susunan syaraf pusat
memberikan kontrol motorik halus otot-otot untuk berbicara. Pematangan
mulut, rahang, laring dan pertumbuhan tulang wajah dan pipi akan
mempengaruhi vokalisasi neonatus (James & Ashwill, 2007).
Perkembangan bahasa neonatus terjadi pada minggu ke 3-5 dan masih sangat
sederhana walaupun neonatus masih sangat suit mengkomunikasikan
keinginannya. Menurut Perry dan Potter (2005) belum ada kepastian apakah
menangis merupakan tanda penyempurnaan bahasa. Orang tua dapat
membedakan tangisan seperti pada saat lapar atau letih (Muscari, 2001).
Santrock (2001) menyatakan bahwa neonatus memiliki tiga tipe tangisan,
yaitu:
a. Tangisan dasar Umumnya neonatus memiliki pola tangisan berirama.Saat
menangis neonatus dapat diam sejenak, kemudian diikuti dengan tangisan
yang lebih tinggi dari tangisan awal.Neonatus lainnya ada yang
beristirahat sebelum tangisan berikutnya.Beberapa ahli neonatus percaya
bahwa salah satu kondisi yang mencetuskan tangisan dasar terjadi saat
neonatus merasa lapar dan haus.
b. Tangisan marah Tangisan ini merupakan variasi dari tangisan dasar
dimana lebih banyak udara yang dipaksa keluar melalui pita suara,
sehingga suaranya terdengar ditekan dan memiliki nada yang lebih tinggi.
c. Tangisan nyeri Tangisan ini muncul tiba-tiba dan panjang, diawali dengan
tangisan yang keras lalu diikuti dengan menarik nafas.Tidak ada rintihan
sebelum tangisan keras ini terjadi.Tangisan nyeri dapat dicetuskan oleh
stimulus yang memiliki intensitas tinggi, misalnya pada saat mendapat
suntikan.

2.1.3. Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan neonatus dapat dilihat dalam penjelasan
berikut :
1. Pertumbuhan fisik
Neonatus sangat bergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan
fisiologis dan emosionalnya. Neonatus harus belajar cara baru untuk
mendapatkan makanan, oksigen dan membuang makanan, sementara itu
juga belajar beradaptasi dengan kehidupan keluarganya. Walau semua
organ sudah lengkap, tetapi belum semua organ matang dan berfungsi
maksimal.Pematangan organ berlangsung sepanjnag periode neonatus dan
berakhir pada masa remaja (Craven & Hirnle, 2003).
Menurut Hernandez 2003, panjang badan neonatus rata-rata adalah 45-55
cm dan bertambah 30% pada usia 5 bulan dan bertambah 50% pada saat
ulang tahun pertamanya. Berat badan neonatus berkisar 2500-4000 gram
dan meningkat dua kali lipat setelah berusia 4-5 bulan dan meningkat tiga
kali lipat setelah berusia 12 bulan.Penurunan berat badan lahir terjadi pada
minggu pertama karena kehiangan cairan melalui pernafasan, urin,
defekasi dan penurunan pemasukan.Berat lahir biasanya naik kembali
pada minggu kedua kehidupan, dan terjadi pola peningkatan secara
bertahap pada berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala (Potter &
Perry, 2005). Lingkar kepala neonatus berkisar antara 33-35 cm dan
biasanya seukuran dengan 2/3 dari lingkar kepala orang dewasa saat
setelah berusia 2 bulan.
2. Perkembangan psikososial
James dan Ashwill (2007) menjelaskan bahwa masa neonatus merupakan
mas anak mengembangkan dasar kepribadian dan harga diri mereka. Bila
neonatus menjalani kehidupannya dengan rasa ketidakpuasan secara terus
menerus terhadap kebutuhannya, maka akan timbul rasa kecurigaan dan
ketidakpercayaan.
Neonatus menanggapi positif terhadap kenyamanan, kepuasan dan respon
negatif terhadap nyeri.Neonatus memiliki temperamen yang berbeda yang
mempengaruhi respon mereka terhadap lingkungan dan
pengasuh.Biasanya pengasuh dapat memberikan rasa nyaman ketika
melakukan kontak mata langsung dan berbicara dengan neonatus hingga
percaya kebutuhannya mulai terpenuhi (Craven & Hirnle, 2003).
3. Perkembangan psikoseksual
Periode pertama perkembangan psikoseksual neonatus menurut Frued
adalah tahap oral, yang dimula dari lahir sampai usia 18 bulan. Daerah
erogenous adalah mulut dan aktivitas seksual dapat dilihat dalam bentuk
menghisap, menelan, mengunyah dan menggigit.Neonatus memenuhi
kebutuhan orlnya dengan menangis, mengecap, makan dan bersuara dini.
Neonatus menggunakan gigitan untuk mengendalikan lingkungan dan
mencapai rasa control yang lebih besar (Muscari, 2001).
4. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif neonatus secara internal dipengaruhi oleh berbagai
hal seperti bakat intelektual bawaan dan motivasi, kemampuan sensorik
neonatus, kontrol neuromuskuler serta keterampilan persepsi.Kualitas dan
kuantitas interaksi dengan orang tua dan stimulasi lingkungan juga
mempengaruhi perkembangan kognitif neonatus secara eksternal. Secara
bertahap pematangan dan pengalaman akan membuat neonatus mampu
membedakan dirinya dengan orang lain disekitarnya (James & Ashwill,
2007). Perkembangan kognitif menurut Pieget adalah tahap sensorimotor
yang dimulai dengan koordinasi, seperti aktivitas menampilkan reflek.

2.2. Konsep Nyeri Pada Neonatus


2.2.1. Definsi
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan dan berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau
potensial (International Association for the Study of Pain, 2011).Nyeri
bersifat individual dan subjektif, walaupun demikian tidak berarti bahwa
individu yang tidak mampu mengkomunikasikan rasa nyeri meniadakan
kemungkinan bahwa individu tersebut mengalami sakit dan membutuhkan
penatalaksanaan yang tepat.Nyeri juga merupakan suatu sensasi yang sulit
diingat (Buonocore & Bellini, 2008).
Nyeri adalah suatu fenomena yang sering dijumpai dan tidak memiliki
batas usia, baik usia bayi baru lahir sampai lansia (Rudolph, 2015). Menurut
The International Association forthe study of pain (IASP) nyeri adalah suatu
keadaan yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan aktual atau
potensial (Rudolph, 2015). Nyeri suatu perasaan yang bersifat subjektif, yang
terjadi akibat cidera atau luka (Potter & Perry, 2009). Dari ketiga pengertian
nyeri tersebut, dapat disimpulkan nyeri adalah suatu keadaan yang tidak
nyaman dirasakan oleh manusia yang bersifat subjektif yang terjadi akibat
cidera atau luka.
Nyeri neonatus menurut Internasional Assosiation For The Study of
Pain (IASP) suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan berhubungan dengan kerusakan aktual atau potensia. Penilain
dan pengelolaan nyeri pediatric terbagi menjadi empat kategori, diantaranya
nyeri yang berhubungan dengan penyakit (misalnya artitits, penyakit sel
sabit), nyeri yang berhubungan dengan trauma fisik yang dapat dilihat
(missalnya fraktur, luka bakar), nyeri yang berhubungan dengan penyakit,
atau cedera fisik yang jelas atau spesifik (missalnya Tension haeadache, nyeri
abdomen, nyeri yang berhubungan dengan tindakan medis dan dental (missal,
sirkumsisi, injeksi) (Rudolph, 2015).

2.2.2. Fisiologi Nyeri


Neonatus memiliki syaraf myelin yang tidak lengkap, namun mereka
mempunyai semua komponen system nociceptive (Merenstein & Gardner,
2002). Dorsal horn pada spinal cord mengintegrasikan rangsangan nyeri dan
rangsangan sensoris lainnya dan memodulasi persepsi nyeri. Menurut teori
gate control, mekanisme syaraf pada dorsal horn bertindak sebagai sebuah
gerbang yang mengubah aliran impuls syarat dari serat aferen didalam perifer
menuju ke sel-sel spinal cord yang memproyeksikan ke otak.Input somatik
bertugas memodulasi pengaruh mekanisme gerbang spinal didalam substansia
gelatinosa sebelum membangkitkan persepsi dan respon nyeri (Kenner &
McGrath, 2004). Sistem syaraf pusat fetus berkembang dengan baik setelah
usia kehamilan 24 minggu. Struktur perifer dan spinal yang mentransmisikan
informasi nyeri telah ada dan berfungsi pada trimester pertama dan kedua.
Aksis pituitary adrenal juga berkembang baik pada saat itu dan reaksi fight or
flight dapat diobservasi dalam pengeluaran katekolamin sebagai respon
terhadap stress (Wong, Perry, & Hockenberry, 2002).

Wong, Perry dan Hockenberry (2002) menyebutkan bahwa nyeri pada


neonatus dapat dikaji berdasarkan respon perilaku, respon fisiologis
(autonomic) dan respon metabolik sebagai berikut:
1. Respon perilaku
Perilaku yang sering diperlihatkan neonatus sebagai respon terhadap nyeri
adalah bersuara dan menangis.Menangis akibat nyeri memiliki ciri khusus
yaitu melengkingdan terus meninggi serta ekspresi wajah menyeringai. Ciri
lain pada wajah yang diperlihatkan antara lain mata alis kontraksi, bibir
berkerut kedalam, lidah tegang dan bergetar serta mulut terbuka. Anand,
Gruneau dan Oberlander, (1997) menyatakan bahwa neonatus akan bereaksi
berupa fleksi dan aduksi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah sebagai
usaha menghindar dari respon nyeri. Bayi prematur memiliki ambang nyeri
rendah untuk inisiasi respon fleksi sehingga pemberi pelayanan kesehatan
bayi prematur tidak sedang mengalami nyeri (Wong, Perry, & Hockenberry,
2002).
2. Respon fisiologis (autonomik)
Perubahan signifikan dari denyut jantung, tekanan darah (meningkat atau
menurun), peningkatan tekanan intra kranial, tonus vagal, frekuensi
pernafasan dan saturasi oksigen terjadi selama stimulus nyeri (Franck &
Gregory, 1993).Stevens, dkk.(2009) menyatakan bahwa frekuensi denyut
jantung dan saturasi oksigen merupakan indikator utama respon fisiologis
terhadap nyeri pada bayi matur dan prematur.
3. Respon metabolic
Bayi akan mengeluarkan epineprin, noepineprin, glucagon, kortikosteron,
kortisol, laktat, piruvat dan glukosa dalam merespon adanya nyeri (Wong,
Perry, & Hockenberry, 2002).
Persepsi nyeri pada neonatus memiliki jarak yang sama dengan
dewasa. Stimulus mekanis, kimia atu termal akan merangsag nosiseptor dan
aliran listrik berjalan ke kornu dorsalis medulla spinalis melalui dua set
serabut syaraf yaitu serabut syaraf A-delta (beriameter kecil, bermyelin dan
membawa sinyal nyeri secara cepat) dan serabut syaraf C (berdiameter kecil,
tidak bermyelin, membawa sinyal nyeri secara lambat). Serabut syaraf
mengandung stimulus nyeri berasal dari neuron substasia gelatinosa.
Kemudian serabut syaraf berjalan kontra lateral membentuk jaras
spinotalamikus. Pada batang otak, informasi dari jaras spinotalamikus
melewati formasio retikularis mengirim sinyal ke talamus dan terjadi persepsi
nyeri (Triani & Lubis, 2006).

2.2.3. Tindakan yang Menimbulkan Nyeri pada Bayi


1. Pungsi Vena
Pungsi vena merupakan kegiatan mengumpulkan darah, memasukan obat,
memulai infuse IV (intra vena), atau menginjeksikan bahan radipaq untuk
pemeriksaan sinar-X dari bagian atau sistem tubuh, atau menginjeksikan
substansi untuk uji nuklir. Prosedur ini sama dengan mengambil spesimen
darah. Spuit yang digunakan untuk pungsi vena ini yaitu jarum 23 sampai
25G untuk anak-anak (Potter & Perry, 2009).
2. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif
(Ranuh, 2008). Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan antibodi
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, yang dimana bila seseorang
tersebut terserang antigen yang sama, maka seseorang tersebut tidak
menimbulkan penyakit di dalam tubuhnya (Ranuh, 2008). Jenis imunisasi
yang digunakan yaitu BCG, DPT-HB, POLIO (IVP), dan Campak.
3. Tindakan invasive
Tindakan medis lainnya yang sering menimbulkan nyeri pada neonatus
diantaranya pungsi vena (pemasangan invus, pengambilan darah),
bronkoskopi, endoskopi, heel lancing, lumbar tusukan, retinopati
pemeriksaan prematuritas, ketukan kandung kemih suprapubik,
venipuncture, terapeutik kateterisasi kandung kemih, penyisipan atau
penghapusan garis tengah, penyisipan atau pemindahan tabung dada,
fisioterapi dada, ganti baju, penyisipan tabung Gavage, injeksi
intramuskular, kateterisasi vena perifer, ventilasi mekanis, drainase
postural, penghapusan pita perekat, penghapusan jahitan, intubasi atau
ekstubasi trakea, pengisapan trakea, keran ventrikular, bedah penyunatan
prosedur pembedahan lainnya.

2.2.4. Teori Gerbang Kendali Nyeri (The Gate Control Theory)


Menurut Melzack dan Wall pada tahun 1959 dalam Zakiyah,
(2015:13) menjelaskan bahwa teori gerbang kendali nyeri menyatakan bahwa
terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau
memperlambat transmisi sinyal nyeri. Dapat dijelaskan juga bahwa dalam
teori ini impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan
di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya untuk menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri (Andarmoyo, 2013:19).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat
dua macam transmitter impuls nyeri, yaitu reseptor berdiameter kecil (Serabut
Delta A dan Delta C) dan reseptor berdiameter besar (Serabut Beta A),
dimana Serabut Beta A tersebut memiliki reseptor yang terdapat pada
permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu mentransmisikan
sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi hangat dan dingin, serta
terhadap tekanan halus (Joyce & Hawks, 2009 dalam Zakiyah, 2015:13)
Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa
rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis
posterior, di medula spinalis inilah terjadi interaksi antara dua serabut tersebut
(serabut berdiameter kecil & serabut berdiameter besar) di suatu area khusus
yang disebut “Substansia Gelatinosa (SG)”. Pada SG ini terjadi perubahan dan
modifikasi yang mempengaruhi apakah sensasi nyeri yang diterima medula
spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Sebelum impuls nyeri
diteruskan ke otak, kedua serabut tersebut berinteraksi di area SG yang
apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut besar,
maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan ke sel T (sel
pemicu/trigger cell) untuk kemudia dibawa ke otak yang akhirnya
menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh tubuh. Keadaan ketika impuls
nyeri dihantarkan ke otak inilah yang dinamakan “pintu gerbang terbuka/gate
open”. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut
berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit, sentuhan, getaran, sensasi
hangat atau dingin, serta sentuhan halus, maka impuls ini akan menghambat
impuls dari serabut berdiameter kecil sehingga sensasi yang dibawa serabut
kecil akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak oleh SG sehingga
tubuh tidak merasakan sensasi nyeri, atau kondisi ini disebut dengan “pintu
gerbang tertutupa/gate closed” (Zakiyah, 2015:13).
2.2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Badr, dkk. (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi respon nyeri neonatus saat dilakukan penusukan, yaitu usia
gestasi, paparan nyeri sebelumnya, status terjaga, skala kegawatan penyakit,
jenis kelamin dan pemakaian opioid, sedatif dan steroid.
1. Usia gestasi
Penelitian menyatakan bahwa bayi prematur memiliki ambang nyeri yang
rendah dan memperlihatkan respon fisiologis yang lebih saat dilakukan
prosedur yang menyakitkan (Anand, 2007). Kecenderungan terbanyak
menyebutkan bahwa respon perilaku bayi matur lebih terlihat jelas
dibanding bayi prematur dalam berespon terhadap nyeri (Gibbins et, al.
2007).
2. Paparan nyeri sebelumnya Pengalaman nyeri sebelumnya pada bayi
prematur berbanding terbalik dengan skor nyeri yang dialami. Pengkajian
nyeri pada bayi prematur yang dilakukan heel lanceselama peride delapan
minggu menemukan tidak adanya perubahan yang signifikan pada denyut
jantung maupun saturasi oksigen, juga tidak ditemukan perubahan
ekspresi wajah yang signifikan pada saat nyeri (Badr et, al. 2010).
3. Skala kegawatan penyakit. Evans, dkk.(2005) menyatakan bahwa dari 81
orang bayi prematur, bayi dengan keadaan lebih parah memiliki respon
nyeri lebih rendah terhadap nyeri dibanding bayi yang lebih sehat.
4. Jenis kelamin Badr, dkk.(2010) menyatakan bahwa jenis kelamin
berpengaruh terhadap respon nyeri bayi premature.
5. Pemakaian opioid, sedative dan steroid
Pemakaian opioid dan sedatif pada neonatus saat dilakukan prosedur
menyakitkan sangat bervariasi tergantung kebijakan rumah sakit.
Beberapa rumah sakit menggunakan opioid pada saat dilakukan prosedur
invasif, ada juga yang menggunakan opioid pada waktu-waktu tertentu
saja dan bahkan ada yang sama sekali tidak menggunakan opioid
walaupun dilakukan tindakan invasif yang menyakitkan (Badr et, al.
2010). Carbajal, dkk. (2005) menjelaskan bahwa penggunaan morpin intra
vena tidak memberikan efek analgetik yang adekuat terhadap nyeri akut
dalam tindakan invasif pada bayi prematur dibawah usia 33 minggu.

2.2.6. Pengkajian Nyeri Neonatus


Nyeri bersifat subjektif, oleh karena itu pengkaian nyeri pada anak
yang belum dapat berkomunikasi secara verbal khususnya pada neonatus agak
sulit dilakukan terutama bila pengkajian hanya dilakukan dengan menilai data
subjektif.Pengkajian nyeri pada neonatus umumnya menggunakan data
berdasarkan perubahan fisiologis dan observasi perilaku (Hockenberry &
Wilson, 2009). Ada beberapa instrumen pengkajian nyeri yang dapat
digunakan untuk menilai respon nyeri pada neonatus yang tertera pada tabel
berikut:
Indikator respons fisiologis dan respons perilaku yang ditunjukkan
oleh bayi dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan nyeri yang
dirasakan. Ukuran ekspresi wajah/respons perilaku yang ditunjukkan oleh
bayi tampak paling berguna dan spesifik untuk menilai respons nyeri yang
dirasakan (Mazur, Winnicki, & Szczepański, 2013:29).
1. FLACC
Skala nyeri FLACC dapat digunakan untuk menilai reaksi perilaku
terhadap rasa nyeri yang dirasakan oleh bayi dan anak-anak dari usia 2
bulan sampai 7 tahun, yang dimana bayi dan anak-anak tersebut tidak
dapat mengungkapkan rasa nyeri yang mereka rasakan (Gedam, 2013:26).
Skala nyeri FLACC merupakan alat pengkajian respons nyeri yang
mencakup lima kategori penilaian, yaitu Face (ekpresi muka), Legs
(gerakan kaki), Activity (aktivitas), Cry (menangis), dan Consolability
(kemampuan dihibur), dimana dalam setiap kategori mempunyai rentang
skor 0-2 dan dengan rentang total skor 0-10 (Sembiring, Novayelinda, &
Nauli, 2015:1494). Menurut Merkel, et al. (2003) dalam Azari, Safri, &
Woferst (2015:1280) bahwa skala nyeri FLACC memiliki kelebihan
diantara skala nyeri lainnya karena sederhana dan relatif mudah digunakan
sehingga sesuai diaplikasikan pada manajemen keperawatan.
NO. PARAMETER SKOR SKOR PENGKAJIAN
1. Face (Wajah) :
- Tidak ada ekspresi tertentu atau senyum, kontak 0
mata.
- Kadang menangis atau mengerutkan kening, 1
menarik diri, tidak teratur, wajah terlihat cemas,
alis diturunkan, mata sebagian tertutup, pipi
terangkat, mulut mengerucut.
2
- Sering cemberut, konstan, rahang terkatup, dagu
bergetar, kerutan yang dalam di dahi, mata
tertutup, mulut terbuka, garis yang dalam di
sekitar hidung atau bibir.
2. Leg (Kaki) :
- Posisi normal atau santai. 0
- Tidak nyaman, gelisah, tegang, tonus meningkat, 1
kaku fleksi atau ekstensi anggota badan
intermiten. 2
- Menendang atau kaki disusun, hipertonis fleksi
atau ekstensi anggota badan secara berlebihan,
tremor
3. Activity (Aktivitas) :
- Berbaring dengan tenang, posisi normal, 0
bergerak dengan mudah dan bebas.
- Menggeliat, menggeser maju mundur, tegang, 1
ragu-ragu untuk bergerak, menjaga tekanan pada
bagian tubuh.
- Melengkung, kaku, atau menyentak, posisi tetap,
goyang gerakan kepala dari sisi ke sisi,
menggososk bagian tubuh.
4. Consolability :
- Tenang, santai, tidak perlu dihibur. 0
- Perlu keyakinan dengan sekali-kali menyentuh, 1
sekali-kali memeluk, atau berbicara, perhatian
mudah beralih.
- Sulit untuk dibujuk atau dibuat nyaman. 2
TOTAL SKOR
KETERANGAN :
0 : Relaks dan nyaman/tidak nyeri (relaxed and comfortable)
1-3 : Sedikit tidak nyaman/nyeri ringan (mild discomfort/pain)
4-6 : Nyeri sedang (moderetae pain)
7-10 : Sangat tidak nyaman/nyeri berat (severe discomfort/pain)
Tabel 2.1`. Skala Nyeri FLACC
Sumber : Nursalam, (2017:370-3710)
2. POCIS
Pain Observation Scale for Young Children, (POCIS) adalah alat
pengkajian perilaku yang dirancang untuk digunakan pada anak yang
berusia antara 1 dan 4 tahun. Alat ini mengukur tujuh parameter, yaitu
ekspresi wajah, menangis, bernapas, torso, lengan dan jari, tungkai dan
jari kaki, dan tingkat kesadaran. Setiap parameter diberi nilai 0 atau 1;
nilai maksimal yang dapat diperoleh adalah 7. Semakin tinggi nilai,
semakin besar nyeri yang dialami oleh anak (Kyle & Carman, 2014).
3. RIPS
Rilay Infant Pain Scale (RIPS) adalah alat pengkajian perilaku yang
berguna untuk bayi yang kurang memiliki kemampuan verbal. Seperti
NIPS, RIPS mengukur enam parameter, yaitu ekspresi wajah, gerakan
tubuh, tidur, kemampuan verbal atau kata, kemampuan untuk dihibur, dan
respons terhadap gerakan dan sentuhan. Setiap parameter diberi nilai 0, 1
2, atau 3. Nilai kemudian dijumlahkan dan nilai maksimal yang dapat
diperoleh adalah 18. Nilai total yang lebih tinggi menunjukkan nyeri yang
lebih intens (Kyle & Carman, 2014).
4. NIPS
Skala nyeri bayi neonatus (Neonatus Infant Pain Scale, NIPS) adalah alat
pengkajian perilaku yang berguna untuk mengukur nyeri pada bayi
prematur dan bayi matur. Enam parameter yang diukur, yaitu ekspresi
wajah, menangis, pola napas, lengan, tungkai, dan tingkat kesadaran (Kyle
& Carman, 2014). Menurut Wong (2009) skala NIPS adalah sebagai
berikut:
NO. Parameter Kondisi Skor
1. Ekspresi wajah Rileks 0
Menangis 1
2. Mengangis Tidak menangis 0
Meringis 1
Menangis keras 1
3. Pola nafas Rileks 0
Perubahan pola 1
nafas
4. Lengan Rileks 0
Fleksi 1
ekstensi 1
5. Tungkai Tertahan 0
Rileks 0
Fleksi 1
ekstensi 1
6. Keadaan terangsang Tidur 0
Bangun 0
rewel 1

Tabel 2.2 Skala NIPS


Sumber : Kyle & Carman, 2014
Gambar 2.2 ekspresi nyeri neonatus

2.2.7. Peran Perawat Anak dalam Manajemen Nyeri


Peran perawat profesional mempunyai tanggung jawab untuk
memberikan perawatan berkualitas kepada klien. Prosedur invasif yang
dilaksanakan pada neonatus bisa merupakan stressor bagi mereka. Perawat
sebagai salah satu tim kesehatan yang berperan dalam mengatasi masalah
nyeri yang diakibatkan prosedur tindakan seperti tindakan pemasangan infus.
Salah satu peran perawat adalah sebagai care provider atau pemberi asuhan
utama (Potter & Perry, 2005). Perawat memberikan perawatan secara
langsung perawatan pada anak dan keluarganya saat sakit, dalam
penyembuhan atau bahkan dalam kondisi sehat.Perawatan pada anak
didasarkan pada pemahaman pada setiap tahap tumbuh kembangnya (James &
Ashwill, 2007).Perawat melakukan asuhan keperawatan untuk mengatasi
nyeri dengan melaksanakan manajemen nyeri non farmakologik dan
melakukan prosedur yang atraumatic care. Atraumatic care adalah asuhan
yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya bertujuan untuk
meminimalisir pengalaman distress psikologis dan fisik.
Hockenhberry dan Wilson (2009) menjelaskan prinsip dalam atraumatic care
yaitu :
1. Mencegah atau meminimalkan perpisahan pada anak dan keluarganya.
2. Mendorong timbulnya perasaan kontrol.
3. Meminimalkan cedera atau nyeri akibat intervensi yang menyakitkan.

2.2.8. Penatalaksanaan Nyeri Neonatus


Menurut Wong, Perry, dan Hockenberry (2002) penatalaksanaan nyeri
neonatus bertujuan untuk menimialisir intensitas, durasi dan dampak
fisiologis nyeri serta memaksimalkan koping agar pulih dari nyeri. Adapaun
penatalaksanaan nyeri pada neonatus yang dapat digunakan antara lain :
1. Farmakologik
a. Anastesi topical dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit
berhubungan dengan venipuncture, pungsi lumbal, dan penyisipan
kateter intravena, dan penggunaan anestesi topikal harus dilakukan
secara terbatas. Anasetesi topkal tersebut adalah EMLA, eutectic
mixture of local anasthetics (EMLA) krim dengan dosis pada bayi
prematur > 1500 gram 1 cm² atau 0,30 gram dan pada neonatus cukup
bulan 2 cm² atau 0,50 gram.
b. Anastesi regional, seperti blok syaraf perifer dan blok syaraf sentral
(spinal, epidural). Teknik ini harus dilakukan dengan hati-hati oleh
tenaga profesional terlatih serta memerlukan observasi yang ketat
(Buonocore & Bellini, 2008).
c. Analgetik sistemik, beberapa peneliti telah melaporkan bahwa
pengggunaan non steroid anti inflamatory drugs (NSAIDs) pada bayi
(Buonocore & Bellini, 2008), obat ini tidak digunakan sampai fungsi
ginjal matur. Carbajal,et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan
morpin secara intra vena secara terus menerus tidak memberikan
dampak yang signifikan terhadap respon nyeri pada bayi prematur
yang dilkukan prosedur pengambilan darah melalui tumit.
d. Penggunaan rutin infus morfin selama 7 hari atau kurang, fentanil,
atau midazolam dalam ventilasi kronis pada neonatus tidak dianjurkan
karena berkaitan dengan efek samping jangka pendek, namun efek
dalam jangka panjang belum diketahui.

2. Non farmakologik
Penatalaksanaan Nyeri menurut Statement (2006) diantaranya :
a. Pemberian oral sukrosa/glukosa
Sukrosa menghilangkan elektroda perubahan sefalografi yang terkait
dengan prosedur yang menyakitkan. Salah satu studi endorfin endogen
konsentrasi tidak meningkat dengan pemberian sukrosa oral.
Konsentrat oral glukosa juga telah digunakan dan mengurangi rasa
sakit respon venipuncture, tapi tidak menurunkan konsumsi oksigen
atau pengeluaran energi, menyarankan mungkin masih ada respons
stres. Di Indonesia berbagai dosis sukrosa oral telah digunakan pada
neonatus untuk menghilangkan nyeri, tapi dosis yang optimal belum
dilakukan. Kisaran dosis sukrosa untuk mengurangi nyeri pada
neonatus adalah 0,012 sampai 0,12 g (0,05-0,5mL larutan 24%).
Beberapa dosis untuk prosedur (2 menit sebelumnya dan 1-2 menit
setelahnya) lebih efektif daripada single dosis. Hasil dari jurnal
penelitian (Kristiawati, Krisna Yetti, 2008) pemberian sukrosa pada
neonatus menunjukkan respon nyeri berkurang dan menurunkan lama
tangian bayi.
b. Non nutritive sucking
Sebuah meta-analisis dari efek NNS pada denyut jantung dan tekanan
oksigen transkutan (TcPaO2) dalam studi dari 30 tahun terakhir
menemukan bahwa NNS secara signifikan mengurangi denyut jantung
baik di hadapan dan tidak adanya stimulasi yang menyakitkan dan
secara signifikan meningkat TcPaO2. Total efek ukuran tertimbang
untuk denyut jantung selama rangsangan yang menyakitkan itu besar
(1,05) dan efek yang lebih besar di prematur dibandingkan pada
neonatus jangka (Johnston, Fernandes, & Campbell-Yeo, 2011) Dari
hasil penelitian Non nutritive succing (NNS) menurunkan respon
nyeri.(Kristiawati, Krisna Yetti, 2008).
c. Terapi music
Terapi musik dapat meningkatkan stabilitas fisiologis dan mengurangi
respon nyeri saat nyeri prosedural, bagaimanpun, jalan yang lebih
ketat diperlukan untuk konfirmasi. Paparan suara akrab telah positif
terkait dengan stabilitas ditingkatkan fisiologis (jantung menurun dan
tingkatpernapasan dan pengingkatan saturasi oksigen) (Johnston et al.,
2011).
d. ASI atau menyusui
ASI dan menyusui ditunjukkan untuk memberikan analgesia selama
nyeri prosedural rutin dari heelstick dan venepuncture. ASI saja tidak
muncul untuk menjadi seperti analgesik seperti rasa manis. Neonatus
pada kelompok ASI tambahan memiliki peningkatan secara signifikan
lebih tinggi dalam perubahan denyut jantung (MD 14; 95% CI 4-23)
dibandingkan dengan 25% sukrosa dan 30% glukosa (MD 7; 95% CI
1, 13). Hanya satu studi telah meneliti analgesia ASI pada bayi lebih
muda dari usia kehamilan jangka. Skogsdal diperiksa 128 bayi dengan
mean (SD) usia kehamilan saat lahir dari 35,5 (2,3) dan usia postnatal
5,4 (4,9) hari selama heelstick. Menangis durasi dan perubahan denyut
jantung dibandingkan antara empat kelompok ada intervensi, 1 ml
30% glukosa, 1 ml 10% glukosa dan 1 ml ASI. Menangis durasi
adalah 75% lebih rendah pada kelompok glukosa 30% (0-90 s)
dibandingkan dengan kontrol (0-270s; p < 0,01), sedangkan kedua
glukosa 10% dan ASI menurunkan menangis durasi sebesar 50% yang
tidak dilaporkan sebagai mencapai statistik signifikansi. Di sisi lain,
menyusui telah terbukti efektif sebagai sukrosa untuk menghilangkan
nyeri prosedural. Menangis waktu (detik) lebih pendek di kedua
sukrosa (9,56 ± 12,96) dan menyusui (28,62 ± 33,71) daripada
kelompok kontrol (103,50 ± 63,69). Tidak ada perbedaan yang
ditemukan dalam efek analgesik dari menyusui dibandingkan dengan
sukrosa, ketika dinilai dengan skor nyeri divalidasi.
e. Perawatan kanguru (skin to skin contac)
Baru-baru ini, dalam sebuah studi meneliti efek dari SSC pada
stabilitas otonom selama tumit tombak pada bayi sangat prematur (30-
32 minggu) variabilitas detak jantung (HRV) adalah secara signifikan
lebih stabil pada bayi dalam kondisi SSC dibandingkan dengan bayi
dalam inkubator. Perbedaan HRV antara SSC dan inkubator adalah
bahwa frekuensi rendah (LF) lebih tinggi pada SSC pada awal ( p < .
01) dan pada tumit tombak ( p < . 001), dan frekuensi tinggi (HF) lebih
tinggi dalam kondisi SSC daripada di kondisi inkubator ( p < . 05). LF
rasio / HF memiliki kurang fl risiko fluktuasi di seluruh periode di
SSC dari dalam kondisi inkubator dan secara signifikan lebih rendah
selama pemulihan di SSC daripada di inkubator ( p < . 001)
menunjukkan lebih negara regulasi yang matang. Dalam sidang yang
membandingkan plasebo, glukosa oral dan SSC untuk tumit tombak.
Ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok dengan skor
nyeri yang lebih rendah pada kelompok SSC. Penambahan goyang,
bernyanyi dan mengisap pada bayi usia 32-36 minggu kehamilan,
tidak membuktikan lebih baik dari SSC sendiri (Johnston et al., 2011)
f. Swaddling
Membatasi gerak bayi prematur dengan pelukan atau menggunakan
lengan untuk menempatkan lengandan kaki bayi dekat dengan tubuh
diposisi dekat uterus dengan anggota badan berada di tengah tubuh.
Teknik A flexed in utero posture ini mengacu pada teknik Facilited
Tucking yaitu, tipe posisi Flaxed fetal yaitu perawat atau orangtua
memeluk bayi pada neonatus berbaring. Efek Fasili Tucking telah
diteliti pada kedaua bayi, yaitu preterem dan very preterem, neonates
dibawah perkembangan. Yang sering ditunjukkan pada akhir prosedur
di NICU dan telah ditunjukkan untuk mengurangi besaarnya respon
sakit secarpsikologi dan perilaku. Serupa dengan Facilitated tacking
degan berfokus untk tindakan mengontrol, mempertahankan posisi
tengah. Swaddling merupakan cara membungkus bayi memakai
sepraei atau selimut, kepala, bahu, pinggul di dekatkan anggota badan
tanpa adanya putaran. Dan tangan dapat bergerak untuk ekspolrasi.
Namun di sisi lain, menimbulkan kekurangan dan tidur yanglebih
lama. Tinjauan ulang dari swaddling pada anak preterm telah
mengidentifikasi 3 kasus yang menunjukkan swaddling untuk nyeri
pada neonatus dan metaanalisis dari kasus di Tahiland melaporkan
skor nyeri selama nyeri tumit pada anak-anak 0,79 (95% cl : 0,53;
1,05) dan pada anak preterm 0,53 (95% CI = 0.27; 0.80).
Meningkatkan ventilasi danoksigenasi. Ditunjukkan dengan
menambah ketenangan tidur, mengurangi tangisan. Meskipun banyak
keuntungan, tidak ada studi yang menunjukkan bahwa prone postion
menyediakan kenyamnan untuk bayi selama prosedur yang
menyakitkan (Johnston et al., 2011).
g. Developmental care
Developmental care meliputi membatasi rangsangan lingkungan,
lateral yang positioning, penggunaan tempat tidur mendukung,dan
perhatian terhadap petunjuk perilaku. Langkahlangkah ini telah
terbukti berguna dalam prematur dan termneonates dalam mengurangi
rasa sakit dari tongkat tumit.

2.3. Konsep Pemberian Imunisasi


Imunisasi merupakan suatu usaha dalam memberikan kekebalan pada bayi
dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh bayi dan anak tersebut,
yang nantinya tubuh akan membuat zat antibodi untuk mencegah penyakit
tertentu, sehinggaa berdampak dalam menurunkan angka morbiditas (kematian)
dan mortalitas (kesakitan) serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit
tertentu (Hidayat, 2009:101). Imunisasi dapat diberikan melalui beberapa cara,
antara lain melalui oral, disuntikkan melalui subcutan atau di bawah kulit,
intracutan atau di dalam kulit, dan melalui intramuskular atau dalam otot, pada
pemberian imunisasi melalui teknik intramuskular ini diharapkan vaksin akan
langsung diabsorbsi oleh darah (Achmadi, 2006:44 ; Hidayat, 2009:101).

2.3.1. Jenis-jenis pemberian Imunisasi


1. Imunisasi Hepatitis B
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
hepatitis, dengan mengandung HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi
pemberian imunisasi Hepatitis B adalah sebanyak tiga kali dengan waktu
pemberian pada usia 0-11 bulan dan dapat diberikan dengan cara
disuntikkan melalui intramuskular (Hidayat, 2009:104).
2. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
TBC yang berat seperti TBC pada selaput otak, TBC Milier (pada seluruh
lapang paru) atau TBC tulang, sebab penyakit TBC yang primer atau yang
ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG. Vaksin ini
mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan. Frekuensi pemberian
imunisasi BCG adalah satu kali dengan waktu pemberian pada usia 0-11
bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi usia 2 atau 3 bulan,
dan dapat diberikan dengan cara disuntikan melalui intradermal/intracutan
(Hidayat, 2009:103).
3. Imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis, dan Tetanus)
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
diphteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin ini mengandung racun kuman difteri
yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih dapat merangsang
pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi ini adalah
sebanyak tiga kali, dengan maksud pada saat pemberian pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan
mengaktifkan organorgan tubuh untuk membuat zat anti, pada saat
pemberian kedua dan ketiga telah terbentuk zat anti yang cukup. Waktu
pemberian imunisasi DPT ini adalah antara usia 2-11 bulan dengan interval
4 minggu, dan dengan cara pemberian disuntikkan melalui intamuskular
(Hidayat, 2009:103).
4. Imunisasi Polio
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Vaksin ini
mengandung virus poliomyelitis yang dilemahkan. Frekuensi pemberian
imunisasi polio adalah sebanyak empat kali dengan waktu pemberian pada
usia 0-11 bulan, dengan interval pemberian 4 minggu, dan dengan cara
pemberian melalui oral (Hidayat, 2009 : 103).
5. Imunisasi Campak
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
campak, dengan mengandung virus campak yang dilemahkan. Frekuensi
pemberian imunisasi ini adalah satu kali, dengan waktu pemberian pada
rentang usia antara 9-11 bulan, dan dapat diberikan dengan cara
disuntikkan melalui subkutan (Hidayat, 2009:104).
Usia Jenis imunisasi yang diberikan
>7 hari Hepatitis B
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB 3, Polio 4
9 bulan Campak

Table 2.3 Jadwal pemberian imunisasi Dasar Lengkap bagi Bayi


Sumber: kementrian kesehatan RI, (2014:1)

2.4. Konsep Non Nutritive Sucking (NNS)


Non Nutritive Sucking (NNS) adalah aktivitas menghisap dengan tidak
adanya cairan atau nutrisi lainnya yang diberikan pada bayi, dimana ditandai
dengan gerakan semburan yang pendek, cepat, dan dengan pola jeda yang
sangat teratur (Gardner et al., 2016:429 ; Polin & Ditmar, 2011:470). Non
Nutritive Sucking merupakan kemampuan dasar pada bayi baru lahir, juga
merupakan perilaku oromotor yang berasal dari periode awal janin dan hadir
pada satu tahun pertama kehidupan (Kacho et al., 2017:4512). Non Nutritive
Sucking mengacu pada penggunaan dummy (atau dot) oleh bayi untuk
mempromosikan pengisapan tanpa ASI atau susu formula (Cignacco et al.,
2007 dalam Twycross, Dowden, & Brucc, 2009:79). Dapat disimpulkan bahwa
Non Nutritive Sucking adalah terapi non farmakologis dengan cara memberikan
pacifier atau dot atau empeng ke mulut bayi untuk merangsang refleks hisap
bayi tanpa memberikan ASI atau nutrisi lainnya.
Refleks mengisap (sucking reflex) adalah refleks primitif yang muncul
pada usia kehamilan 15-16 minggu (Gardner et al., 2016:428). Menurut
Santrock, (2011:207), refleks hisap (sucking reflex) terjadi ketika bayi yang
baru lahir secara otomatis menghisap objek yang ditaruh di mulutnya dan
memungkinkan bayi untuk mendapatkan makanan sebelum ia menegosiasikan
puting dengan makanan, serta berfungsi sebagai mekanisme penenangan atau
pengaturan diri. Non Nutritive Sucking dapat mengurangi respons fisiologis
dan respons perilaku terhadap rasa nyeri akibat tindakan prosedural, serta dapat
meningkatkan ketenangan pada bayi prematur, bayi cukup bulan, dan pada bayi
yang lebih tua (Gibbins & Stevens, 2001:25).
Di dalam penelitian oleh Astuti, Rustina, & Waluyanti pada tahun (2016),
dijelaskan bahwa pemberian empeng yang dapat menurunkan respons nyeri
pada BBLR berhubungan dengan stimulasi orotaktil dan mekanoreseptor.
Pemberian empeng menghambat impuls nosiseptif pada serabut aferen yang
dapat menyebabkan gerbang (gate) tertutup. Hal tersebut sesuai dengan
mekanisme Gate Control Theory. Pemberian empeng pada BBLR selama
pengambilan darah vena mengaktifkan hormon serotonin yang dikeluarkan oleh
batang otak, yang selanjutnya menstimulus pengeluaran beta endorfin. Kedua
hormon tersebut akan berpengaruh terhadap respon fisiologis dan perilaku pada
saat pengambilan darah, sehingga terjadi penurunan denyut jantung,
peningkatan saturasi oksigen, serta penurunan respons perilaku terhadap nyeri
akibat pengambilan darah vena. Pemberian empeng juga memenuhi kebutuhan
oral sesuai dengan teori psikoanalitik Freud. Teori tersebut menyatakan bahwa
pada masa neonatus, BBLR berada pada tahap perkembangan oral, sehingga
penghisapan akan memberikan rasa nyaman. Di dalam International Journal of
Nursing Studies tahun (2015) oleh Yin et al., dijelaskan bahwa Non Nutritive
Sucking dapat mengurangi respons nyeri yang dirasakan oleh bayi dengan cara
memfasilitasi perilaku menghisap oleh bayi, yang dimana dengan menghisap
dapat memodulasi nosiseptor oleh stimulus orotaktil pada jalur yang
melepaskan non opioid endogen.
Non Nutritive Sucking memiliki manfaat dalam menstabilkan respons
fisiologis dan respons perilaku bayi terhadap nyeri, antara lain oksigenasi yang
lebih baik, perilaku yang lebih tenang, penurunan ketegangan, peningkatan
sekresi insulin dan gastrin yang dapat merangsang pencernaan dan
penyimpanan nutrisi, dan kesiapan yang lebih baik untuk pemberian oral
(Gardner et al., 2016:429). Dijelaskan juga bahwa Non Nutritive Sucking sehat
untuk bayi, dimana Non Nutritive Sucking dapat mengurangi ketegangangan
(tekanan darah, denyut jantung, dll) dan dapat merangsang pelepasan mediator
kimia penghilang rasa nyeri alami di otak bayi, sehingga dapat mengurangi rasa
nyeri akibat dari dilakukannya penyuntikan, tes darah, atau khitan (Karp,
2004:53).

2.5. Kerangka Konsep

NEONATUS

Faktor-faktor yang mempengaruhi


Tindakan yang menimbulkan nyeri :
nyeri pada bayi :
1. Usia
1. Pungsi vena 2. Paparan nyeri sebelumnya
2. Imunisasi 3. Jenis kelamin
3. Tindakan invasive 4. Kegawatan penyakit
5. Pemakaian opioid, sedative dan
steroid

Nyeri

Farmakologi : Non farmakologi :


1. Anastesi topical 1. Pemberian sukrosa/glukosa
2. Anastesi regional 2. Non Nutritif sucking
3. Analgetik sistemik 3. Menyusui
4. Penggunaan rutin infus 4. Metode kangguru/skin to skin
morfin 5. Swaddling
6. Development care

Manfaat NNS:
1. bayi tenang
Kerangka konsep adalah diagram yang menunjukkan jenis dan hubungan
antar variabel yang diteliti dan variable lainnya yang terkait (Sastroasmoro& Ismael,
2010). Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa
saja yang ditetapkan oleh peneliti sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut
dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Adapun variabel yang akan
diukur dalampenelitian ini adalah :

2.5.1. Variabel Dependen (Variable Terikat)


Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhiatau yang menjadi
akibat karena adanya variabelbebas (Sugiyono,2007). Variabel dependen pada
penelitian ini adalah respon nyeri neonatus yang dilakukan pemberian
imunisasi HB0.
2.5.2. Variabel lIndependen (Variable Bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruh iatau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variable dependen (Sugiyono, 2007).
Variabel independen pada penelitian ini adalah pemberian kombinasi NNS
pada neonatus.
2.5.3. Variabel Confounding (Variable Perancu)
Variabel confounding yaitu variable perancu merupakan jenis variabel yang
berhubungan dengan variable bebas dan variable terikat tetap ibukan
merupakan variable antara. Variabel confounding dalam penelitian ini adalah
Usia, Paparan nyeri sebelumnya, Jenis kelamin, Kegawatan penyakit,
Pemakaian opioid, sedative dan steroid. Dimana variable independen
mempengaruhi variable dependen, demikian pula dengan variable
confounding yang akan memberikan kontribusi pada pengaruhi variable
lindependen terhada pvariabel dependen.

Anda mungkin juga menyukai