Anda di halaman 1dari 27

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI KEPERAWATAN ANAK

Alhamdulillah, dalam kesempatan ini, Saya akan memposting contoh sebuah Proposal Skripsi
Keperawatan Anak secara ringkas. Semoga berguna.

Respon Anak Usia Todler (Usia 1 3 Tahun) terhadap Hospitalisasi di Paviliun .... Rumah
Sakit ... Kota ... tahun ...

Abstrak

Secara umum rumah sakit merupakan pusat pelayanan kesehatan, tetapi perbedaan
lingkungan antara rumah sakit dengan tempat tinggal, persepsi buruk terhadap sakit dan
kurangnya mekanisme koping menyebabkan lingkungan rumah sakit dapat menjadi suatu stresor
dan pengalaman yang menakutkan bagi pasien. Adanya respon negatif anak terhadap
hospitalisasi menimbulkan kendala dalam pelaksanaan perawatan sehingga menghambat proses
penyembuhan dan memperpanjang masa perawatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon anak usia todler terhadap
hospitalisasi di Paviliun .... Rumah Sakit ... Kota ... tahun .... Penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian cross sectional. Variabel yang diteliti, yaitu respon anak usia todler
terhadap hospitalisasi yang meliputi kecemasan karena perpisahan, kehilangan kontrol diri dan
rasa takut terhadap perlukaan pada tubuh. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner kepada ibu yang mempunyai anak usia todler (usia 1 3 tahun) yang
dirawat di Paviliun .... Rumah Sakit ... . Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis
univariat.
Hasil penelitian ini menunjukkan dari 30 anak usia todler yang dirawat di Paviliun
.... Rumah Sakit ... sebagian besar (66,7%) mengalami kecemasan karena perpisahan dengan
kategori sedang; sebagian besar (66,6%) anak usia todler yang dirawat mengalami kehilangan
kontrol diri dengan kategori sedang; dan sebagian besar (80%) anak usia todler yang dirawat
mengalami rasa takut terhadap perlukaan pada tubuh dengan kategori sedang.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan agar saat dirawat anak diperkenalkan
dengan perawat dan dokter yang akan merawatnya, melibatkan orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak dan tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan.

Daftar Pustaka : 23 (1995 2006)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar

yang diberikan kepada individu, baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis

dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Bentuk pemenuhan kebutuhan

dasar dapat berupa meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki

dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu (Nursalam,

2003).

Keperawatan anak merupakan salah satu bagian penting dari keperawatan. Keperawatan

anak atau pediatri muncul sebagai kekhususan dalam menanggapi meningkatnya kesadaran

bahwa masalah kesehatan anak berbeda dengan orang dewasa dan bahwa respon anak terhadap

sakit dan stres berbeda-beda sesuai dengan umurnya (Nelson, 1999).

Sebagian besar anak pasti pernah berobat. Mereka mungkin langsung masuk bangsal

akibat kecelakaan atau penyakit, mereka juga sering berobat ke puskesmas atau klinik sebagai

pasien rawat jalan yang dirujuk oleh dokter umum untuk dikonsultasikan kepada dokter spesialis

di rumah sakit (Hull, 1998).

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika

seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis, bahkan

trauma karena anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya

maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari serta anak mempunyai sejumlah

keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang

bersifat menekan (Nursalam, 2005).

Secara umum rumah sakit merupakan pusat pelayanan kesehatan, tetapi perbedaan

lingkungan antara rumah sakit dan tempat tinggal, persepsi buruk terhadap sakit dan kurangnya

mekanisme koping, maka lingkungan rumah sakit menjadi stressor dan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien dan keluarga. Saat anak di rumah sakit, stres yang diperlihatkan berupa

rasa ketakutan terhadap tindakan yang dianggap menyakitkan serta rutinitas di rumah sakit, anak

merasa diisolasi dan tindakan perawatan atau prosedur yang menyakitkan akan menjadikan anak

sangat stres (Whaley & Wong, 1999).

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber

stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Sebagian besar stres yang terjadi pada anak

usia todler (usia 1 3 tahun) saat mengalami hospitalisasi adalah cemas karena perpisahan,

khususnya dengan ibu. Hal tersebut disebabkan karena hubungan anak dengan ibu merupakan

hubungan yang sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa

kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenal

olehnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.

Selain perasaan cemas karena perpisahan, stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit

dapat berupa kehilangan kontrol diri, sehingga anak merasa bahwa dirawat di rumah sakit

merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya dihambat.

Stressor yang juga sering dialami oleh anak yang dirawat di rumah sakit, yakni rasa takut

terhadap perlukaan pada tubuh. Dampak dari stressor tersebut pada anak dapat berupa

menyeringaikan wajah, menangis kuat, mengatupkan gigi, menggigit bibir, bahkan melakukan

tindakan agresif seperti menggigit, menendang, memukul atau berlari ke luar (Nursalam, 2005).

Adanya respon anak terhadap hospitalisasi menimbulkan kendala dalam pelaksanaan

perawatan yang akan diberikan sehingga menghambat proses penyembuhan. Hal tersebut

menyebabkan waktu perawatan yang lebih lama, bahkan akan mempercepat terjadinya

komplikasi-komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2005).


Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan anak telah

berkembang pesat, tindakan yang dilakukan pada anak tetap menimbulkan trauma, rasa nyeri,

marah, cemas dan takut pada anak. Oleh karena itu, perlu dikembangkan asuhan keperawatan

yang tidak menimbulkan trauma pada anak. Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik

yang diberikan oleh perawat dalam peran dan fungsinya sebagai pemberi asuhan keperawatan

anak, melalui tindakan yang dapat meminimalkan stressor yang dialami anak (Supartini, 2004).

Hasil penelitian Safitri (2004) dalam penelitiannya mengenai stres anak di Instalasi

Rawat Inap Anak Rumah Sakit xxx, didapatkan bahwa 60% klien anak (18 responden dari 30

responden) berperilaku agresif, seperti menggigit, menendang dan memukul pada saat dirawat.

Rumah Sakit ... memberikan pelayanan kesehatan berupa rawat jalan dan rawat inap.

Salah satu bentuk pelayanan rawat inap yang diberikan oleh ..., yakni bangsal perawatan anak

pada Paviliun .... Berdasarkan laporan RS ...tahun ... diketahui bahwa jumlah anak yang dirawat

di Paviliun ... sebanyak 1223 orang. Menurut laporan bulanan Paviliun ... RS... diketahui bahwa

jumlah anak usia todler yang dirawat pada bulan Januari tahun .... sebanyak 30 anak, sedangkan

pada bulan Pebruari sebanyak 27 anak, kemudian pada bulan Maret sebanyak 15 anak, pada

bulan April sebanyak 19 anak dan pada bulan Mei sebanyak 14 anak (RS..., 20..).

Selama waktu perawatan, pada umumnya dilakukan tindakan keperawatan secara

invasive terhadap anak usia todler. Tindakan ini menimbulkan nyeri sehingga anak merasa takut

dan stres. Bahkan, sebelum perawat melakukan tindakan, anak telah merasa takut dengan

kedatangan perawat, karena anak berpikir bahwa perawat adalah orang yang menakutkan dan

sering melakukan tindakan yang menyakitkan tubuhnya (Sacharin, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat bila dilaksanakan penelitian

mengenai respon anak usia todler terhadap hospitalisasi di Paviliun ... RS... .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Usia Todler

2.1.1 Pengertian

Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya,

artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan

dasarnya dan untuk belajar mandiri. Anak usia todler adalah anak yang berusia 1 sampai 3 tahun

(World Health Organization dalam Supartini, 2004).

2.1.2 Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh dalam arti

sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel tubuh dan juga

karena bertambah besarnya sel, sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan

struktur atau fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan serta

diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ dan sistemnya

yang terorganisasi (Nursalam, 2005).

Ada beberapa tahapan pertumbuhan dan perkembangan pada masa anak-anak. Menurut

Soetjiningsih (2002), tahapan tersebut, yaitu :

a) Masa Pranatal (konsepsi-lahir), terbagi atas :

1) masa embrio (mudigah) : masa konsepsi 8 minggu

2) masa janin (fetus) : 9 minggu - kelahiran

b) Masa Pascanatal, terbagi atas :

1) Masa neonatal : usia 0 28 hari


(1) Neonatal dini (perinatal) : 0 7 hari

(2) Neonatal lanjut : 8 28 hari

2) Masa bayi

(1) Masa bayi dini : usia 1 12 bulan

(2) Masa bayi akhir : 1 2 tahun

3) Masa prasekolah (usia 2 6 tahun), terbagi atas :

(1) Prasekolah awal (masa balita) : mulai 2 3 tahun

(2) Prasekolah akhir : mulai 4 6 tahun

4) Masa sekolah atau masa prapubertas, terbagi atas :

(1) Wanita : 6 10 tahun

(2) Laki-laki : 8 12 tahun

5) Masa adolesensi atau masa remaja, terbagi atas :

(1) Wanita : 10 18 tahun

(2) Laki-laki : 12 20 tahun

2.1.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Todler

Pada masa ini pertumbuhan fisik anak relatif lebih lambat dibandingkan dengan masa

bayi, tetapi perkembangan motoriknya berjalan lebih cepat. Anak sering mengalami penurunan

napsu makan sehingga tampak langsing dan berotot serta anak mulai belajar jalan. Pada mulanya

anak berdiri tegak dan kaku, kemudian berjalan dengan berpegangan. Sekitar usia 16 bulan, anak

mulai belajar berlari dan menaiki tangga, tetapi masih terlihat kaku. Oleh karena itu, anak perlu

diawasi, karena dalam beraktivitas anak tidak memperhatikan bahaya. Pada masa ini anak

bersifat egosentris, yaitu mempunyai sifat keakuan yang kuat sehingga segala sesuatu yang
disukainya dianggap sebagai miliknya (Hidayat, 2005).

2.1.4 Kebutuhan Dasar untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Menurut Soetjiningsih (2000), kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan perkembangan

anak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :

a) Asuh (Kebutuhan Fisik Biomedis)

Kebutuhan asuh meliputi :

(1) Nutrisi yang cukup dan seimbang

Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah dimulai sejak dalam kandungan,

yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir, harus

diupayakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, yakni pemberian ASI saja sampai

anak berumur 4 6 bulan. Sejak berumur 6 bulan, sudah waktunya anak diberikan makanan

tambahan atau makanan pendamping ASI. Pemberian makanan tambahan ini penting untuk

melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang mulai

meningkat pada masa bayi dan prasekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan

perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak.

(2) Perawatan kesehatan dasar

Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal diperlukan beberapa upaya, misalnya

imunisasi, kontrol ke puskesmas atau posyandu secara berkala serta diperiksakan segera bila

sakit. Dengan upaya tersebut keadaan kesehatan anak dapat dipantau secara dini, sehingga bila

ada kelainan, maka anak segera mendapatkan penanganan yang benar.

(3) Pakaian
Anak perlu mendapatkan

pakaian yang bersih dan nyaman dipakai karena aktivitas anak lebih banyak, hendaknya

pakaian tersebut dari bahan yang mudah menyerap keringat.

(4) Perumahan

Dengan memberikan tempat tinggal yang layak, maka hal tersebut akan membantu anak untuk

bertumbuh dan berkembang secara optimal.

(5) Higiene diri dan lingkungan

Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti sudah mengurangi risiko tertularnya

berbagai penyakit infeksi. Selain itu, lingkungan yang bersih akan memberikan kesempatan

kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain secara aman.

(6) Kesegaran jasmani (olahraga dan rekreasi)

Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk melatih kekuatan otot-otot tubuh dan membuang

sisa metabolisme, selain itu juga membantu meningkatkan motorik anak dan aspek

perkembangan lainnya.

b) Asih (Kebutuhan Emosi dan Kasih Sayang)

Kebutuhan asih meliputi :

(1) Kasih sayang orang tua

Orang tua yang harmonis akan mendidik dan membimbing anak dengan penuh kasih sayang.

Kasih sayang tidak berarti memanjakan atau tidak pernah memarahi, tatapi bagaimana orang tua

menciptakan hubungan yang hangat dengan anak sehingga anak merasa aman dan senang.

(2) Rasa aman

Adanya interaksi yang harmonis antara orang tua dan anak akan memberikan rasa aman bagi

anak untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.


(3) Harga diri

Setiap anak ingin diakui keberadaan dan keinginannya, tetapi bila anak diacuhkan maka hal ini

dapat menyebabkan frustasi.

(4) Dukungan atau dorongan

Dalam melakukan aktivitas, anak perlu memperoleh dukungan dari lingkungan, tetapi bila orang

tua sering melarang aktivitas yang akan dilakukan, maka hal tersebut dapat menyebabkan anak

ragu-ragu dalam melakukan setiap aktivitasnya. Selain itu, orang tua perlu memberikan

dukungan agar anak dapat mengatasi stresor atau masalah yang dihadapi.

(5) Mandiri

Agar anak menjadi pribadi yang mandiri, maka sejak awal anak harus dilatih untuk tidak selalu

tergantung pada lingkungannya.

(6) Rasa memiliki

Anak perlu dilatih untuk mempunyai rasa memiliki terhadap barang-barang yang

dipunyainya sehingga anak tersebut akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memelihara

barangnya.

(7) Kebutuhan akan sukses, mendapatkan kesempatan dan pengalaman

Anak perlu diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan sifat-sifat

bawaannya. Tidak pada tempatnya jika orang tua memaksakan keinginannya untuk dilakukan

oleh anak tanpa memperhatikan kemauan anak.

c) Asah (Kebutuhan Stimulasi)

Stimulasi adalah adanya perangsangan dari lingkungan luar anak yang berupa latihan atau

bermain. Stimulasi merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan anak. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan stimulasi. Pemberian

stimulasi ini sudah dapat dilakukan sejak masa pranatal dan setelah lahir dengan cara

menyusukan bayi pada ibunya sedini mungkin. Asah merupakan kebutuhan untuk perkembangan

mental psikososial anak yang dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan.

2.2 Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Usia Todler

2.2.1 Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi atau rawat inap pada anak adalah suatu proses yang karena suatu alasan

yang berencana atau darurat yang menyebabkan anak harus tinggal di rumah sakit, menjalani

terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi

Menurut Steven (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi, yaitu:

2.2.2.1 Kepribadian Manusia

Tidak semua orang peka terhadap hospitalisasi atau rawat inap. Kita dapat melihat bahwa

ada orang yang sangat menderita dan sangat bergantung pada apa yang diberikan lingkungannya.

Ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Salah satu

faktor yang mempunyai pengaruh terhadap hospitalisasi adalah kepribadian manusia itu sendiri.

2.2.2.2 Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar

Klien atau keluarga yang tinggal di rumah sakit dengan terpaksa harus kehilangan kontak

yang telah dijalaninya selama ini. Kehilangan terhadap sebagian besar dari kehidupannya dan

orang-orang yang selalu ia hubungi.

2.2.2.3 Ada yang Memberikan Pertolongan


Ada perbedaan dalam tugas antara klien dan yang memberi pertolongan, ini terlihat jelas

dalam kegiatan sehari-hari klien. Biasanya klien menunggu dan perawat yang mengetahui hal-hal

yang dibutuhkan. Saat perawat menolong dengan giat dan aktif, maka ini sangat mempengaruhi

keadaan klien.

2.2.2.4 Faktor Perawat

Faktor yang timbul dari perawat ditentukan oleh sikap perawat, baik dari hubungan

antara sesama perawat maupun dengan sikap mereka terhadap klien, termasuk juga cara

berpakaian perawat serta suasana lingkungan rumah sakit. Hal tersebut dapat mempengaruhi

cepat atau lambatnya dampak hospitalisasi pada klien.

2.2.2.5 Obat-obatan

Obatan-obatan dapat memberikan pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan

dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti rawat inap dengan sendirinya.

Hal ini akan berdampak besar jika menggunakan obat-obatan yang merangsang adanya

sikap tersebut.

2.2.3 Keuntungan Hospitalisasi

Perawatan yang dilakukan di rumah sakit dapat menimbulkan stres pada anak-anak.

Namun demikian, terdapat juga keuntungan dari rawat inap, yaitu kesembuhan dari penyakit,

memberikan kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pengalaman sosial yang baru dan

meluaskan hubungan interpersonal (Whaley & Wong, 1999).

2.2.4 Dampak Hospitalisasi

Rawat inap atau hospitalisasi pada klien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada

semua tingkatan usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari
petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang

mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan anaknya,

pengobatan dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap

anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang

mendampinginya selama perawatan. Anak menjadi semakin stres sehingga hal ini berpengaruh

pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon imun. Adanya penurunan sistem imun

inilah yang akan berakibat pada penghambatan proses penyembuhan. Hal tersebut menyebabkan

waktu perawatan yang lebih lama, bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi selama

perawatan (Nursalam, 2005).

2.2.5 Reaksi Anak yang Mengalami Hospitalisasi

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika

seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena

anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun

lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak tersebut mempunyai sejumlah

keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah ataupun kejadian-kejadian yang

bersifat menekan. Reaksi anak dalam mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat

perkembangan usia, pengalaman sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, sistem dukungan

(support system) yang tersedia serta keterampilan koping dalam menangani stres (Nursalam,

2005).

2.2.6 Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit


Stres merupakan suatu stimulus yang menuntut dan juga akibat dari fisiologis dan emosi pada

stimulus lingkungan yang disebabkan oleh adanya interaksi antara individu dengan

lingkungannya (Abraham, 1997). Bila seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut

akan mudah mengalami stres akibat perubahan status kesehatan dan lingkungannya dalam

kebiasaan sehari-hari. Menurut Nursalam (2005), stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit,

yaitu :

2.2.6.1 Cemas Karena Perpisahan

Sebagian besar stres yang terjadi pada anak adalah cemas karena perpisahan. Anak belum

mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai dan memiliki pengertian

yang terbatas terhadap realita. Hubungan anak dengan ibu merupakan hubungan yang sangat

dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan

orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada

akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.

Respon anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :

1) Tahap Protes (Phase of Protest)

Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya atau

menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba

untuk membuat orang tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal, anak

menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan pergi. Perilaku tersebut dapat berlangsung

dari beberapa jam sampai beberapa hari. Perilaku protes tersebut, seperti menangis, akan terus

berlanjut dan hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang asing

yang tergesa-gesa akan meningkatkan protes.

2) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)


Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk

bermain, tidak ada napsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis,

mengompol dan mengisap jari. Pada tahap ini, kondisi anak mengkhawatirkan karena anak

menolak untuk makan, minum atau bergerak.

3) Tahap Menolak (Phase of Denial)

Pada tahap ini, secara samar-samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik dengan apa yang

ada di sekitarnya dan membina hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan

gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua.

2.2.6.2 Kehilangan Kontrol Diri

Anak berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya. Hal ini terlihat jelas

dalam perilaku mereka dalam hal kemampuan motorik, bermain, melakukan hubungan

interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan komunikasi.

Anak telah mampu menunjukkan kestabilan dalam mengendalikan dirinya dengan cara

mempertahankan kegiatan-kegiatan rutinnya tersebut. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit,

anak akan kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan otonominya. Hal

ini dapat menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak

akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negativitas, terutama anak akan menjadi cepat

marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu yang lama (karena penyakit

kronis), maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari

hubungan interpersonal.

2.2.6.3 Rasa Takut terhadap Perlukaan Tubuh


Konsep tentang citra tubuh (body image), khususnya pengertian mengenai perlindungan

tubuh, sedikit sekali berkembang pada anak. Biasanya bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut

atau suhu pada anus akan membuat anak menjadi sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan

yang tidak menyakitkan sama seperti reaksi terhadap tindakan yang sangat menyakitkan.

Reaksi anak terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi, namun jumlah variabel

yang mempengaruhi responnya lebih kompleks dan bermacam-macam. Anak akan bereaksi

terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit

bibir, membuka mata dengan lebar atau melakukan tindakan yang agresif, seperti menggigit,

menendang, memukul atau berlari keluar.

2.2.7 Reaksi Orang tua terhadap Anaknya yang Dirawat di Rumah Sakit

Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit dipengaruhi oleh

berbagai faktor, antara lain :

1) Tingkat keseriusan penyakit anak

2) Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit

3) Prosedur pengobatan

4) Sistem pendukung yang tersedia

5) Kekuatan ego indvidu

6) Kemampuan dalam penggunaan koping

7) Dukungan dari keluarga

8) Kebudayaan dan kepercayaan

9) Komunikasi dalam keluarga

Adapun bentuk reaksi orang tua tersebut, antara lain :


a) Penolakan atau ketidakpercayaan (denial or disbelief)

Menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba sakit serius.

b) Marah atau merasa bersalah atau keduanya

Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, maka reaksi orang tua,

terutama ibu adalah marah dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak merawat

anaknya dengan benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal-hal yang telah mereka

lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh sakit atau mengingat

kembali tentang hal-hal yang menyebabkan anaknya sakit.

c) Ketakutan, cemas dan frustasi

Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe prosedur medis.

Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai prosedur dan pengobatan atau tidak

familiar dengan peraturan rumah sakit.

d) Depresi

Biasanya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering mengeluh merasa lelah

baik secara fisik maupun mental. Orang tua mulai merasa khawatir terhadap anak-anak mereka

yang lain yang dirawat oleh anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal-hal lain

yang membuat orang tua cemas dan depresi adalah kesehatan anaknya di masa-masa yang akan

datang, misalnya efek dari prosedur pengobatan dan juga biaya pengobatan.

2.2.8 Intervensi Keperawatan dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi

Sebagai salah satu anggota tim kesehatan, perawat memegang posisi kunci untuk

membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan anaknya di

rumah sakit karena perawat berada di samping klien selama 24 jam dan fokus asuhan adalah
peningkatan kesehatan anak melalui pemberdayaan keluarga. Asuhan yang berpusat pada

keluarga dan atraumatic care menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Untuk itu berkaitan dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun

orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit, fokus intervensi keperawatan adalah

meminimalkan stresor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis

pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Supartini,

2004).

2.2.8.1 Upaya Meminimalkan Stresor atau Penyebab Stres

Menurut Supartini (2004), upaya untuk meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara

mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol diri dan

mengurangi atau meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh.

a) Upaya mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan

(1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka

untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in);

(2) Bila tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat

dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka;

(3) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah, di

antaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak;

(4) Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, di antaranya dengan memfasilitasi pertemuan

dengan guru, teman sekolah dan membantunya melakukan surat menyurat dengan siapa saja

yang anak inginkan.

b) Upaya mencegah perasaan kehilangan kontrol diri


(1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan. Bila anak

harus diisolasi, lakukan modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan oleh anak

dan orang tua, pertahankan kontak antara orang tua dan anak terutama pada bayi dan anak todler

untuk mengurangi stres;

(2) Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain dan aktivitas lain dalam perawatan

untuk menghadapi perubahan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari;

(3) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara

memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam

perencanaan kegiatan asuhan keperawatan.

c) Upaya meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh

(1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur

yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan

memberikan dukungan psikologis pada orang tua;

(2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya dengan

cara bercerita, mengambar, menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan

atau prosedur yang akan dilakukan pada anak;

(3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat dilakukan tindakan atau prosedur yang

menimbulkan rasa nyeri terhadap anak, bila anak tersebut tidak dapat menahan diri, bahkan

menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan orang tua untuk

mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut dilakukan;

(4) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur

yang menyakitkan.
2.2.8.2 Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi pada Anak

Perawat dapat memaksimalkan manfaat hospitalisasi pada anak dengan cara :

a) Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak terhadap stresor yang dihadapi selama
dalam perawatan di rumah sakit;
b) Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu, perawat dapat memberi

kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat dan prosedur

keperawatan yang dilakukan kepada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya;

c) Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada

anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya

hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan bayi. Berikan selalu

penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian dan dorongan atas kemampuan anak;

d) Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama klien yang ada, teman sebaya

atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan membagi pengalamannya.

Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus di fasilitasi oleh

perawat karena selama di rumah sakit, orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang

baru.

2.2.8.3 Memberikan Dukungan kepada Anggota Keluarga Lain

Perawat dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga lain dengan cara :

a) Berikan dukungan kepada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit;

b) Bila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli agama karena

sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerlukan

bantuan ahli;
c) Beri dukungan kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang

diyakininya;

d) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak bila diperlukan keluarga dan berdampak

positif pada anak yang dirawat maupun saudara kandungnya.

2.2.8.4 Mempersiapkan Anak untuk Mendapat Perawatan di Rumah Sakit

Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada adanya asumsi bahwa

ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang nyata.

Pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :

a) Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit dengan peralatan yang

diperlukan;

b) Bila anak harus dirawat secara berencana 1 2 hari, sebelum dirawat diorientasikan dengan

situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.

Pada hari pertama dirawat dilakukan tindakan :

1) Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya;

2) Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat

digunakan;

3) Perkenalkan dengan klien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya;

4) Berikan identitas pada anak, misalnya pada papan nama anak;

5) Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang akan diikuti;

6) Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan;

7) Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang diprogramkan.
2.3 Penelitian Terkait

Sesuai dengan hasil penelitian Eka (2005) mengenai peran perawat terhadap penurunan

tingkat stres anak usia 1-3 tahun di IRNA Anak RSMH Palembang, didapatkan 52,9% klien anak

(18 responden dari 34 responden) mengalami stres hospitalisasi.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1

Kerangka Konsep

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Alat
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Ukur
1. Kecemasan Ekspresi tidak aman pada Wawancara Kuesioner Kecemasan dibagi Ordinal
karena anak usia todler akibat menjadi 4 kategori,
perpisahan berpisah dengan orang yang yaitu :
pada anak terdekat (ibu) dan 1. Tidak ada
usia todler lingkungannya, yang dinilai
kecemasan, bila
dari gejala dan tanda yang
ditunjukkan anak nilai 0 - 4

2. Ringan, bila nilai 5


- 10
3. Sedang, bila nilai
11 - 19
4. Berat, bila nilai 20
- 40
2. Kehilangan Menurunnya kemampuan Wawancara Kuesioner Kehilangan kontrol Ordinal
kontrol diri anak dalam diri pada anak
pada anak mempertahankan otonomi dibagi menjadi 4
usia todler dan mengendalikan dirinya kategori, yaitu :
akibat keterbatasan karena 1. Stabil, bila nilai 0
sakit, yang dinilai dari -4
gejala dan tanda yang 2. Ringan, bila nilai 5
ditunjukkan anak - 10
3. Sedang, bila nilai
11 - 19
4. Berat, bila nilai 20
40
3. Rasa takut Reaksi (ekspresi) Wawancara Kuesioner Rasa takut pada Ordinal
terhadap negativitas anak terhadap anak usia todler
perlukaan tindakan pengobatan dan dibagi menjadi 4
tubuh pada perawatan yang dilakukan kategori, yaitu :
anak usia kepadanya karena 1. Tidak takut, bila
todler menganggap tindakan dan nilai 0 - 4
prosedur perawatan 2. Ringan, bila nilai 5
mengancam integritas - 10
tubuhnya, yang dinilai dari 3. Sedang, bila nilai
gejala dan tanda yang 11 - 19
ditunjukkan anak 4. Berat, bila nilai 20
- 40

BAB IV

METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei

deskriptif. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional.

Studi rancangan penelitian cross sectional adalah rancangan penelitian yang semua variabelnya

diobservasi atau dikumpulkan sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2002).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah

semua ibu yang mempunyai anak usia todler yang dirawat di Paviliun ... RS ... pada bulan Juni

tahun 20...

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili. Besarnya sampel dalam

penelitian ini menggunakan rumus dalam Nursalam (2003) sehingga besar sampel dalam

penelitian ini adalah 16 orang sampel.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara accidental sampling. Adapun

kriteria inklusi sampel penelitian ini sebagai berikut :

1) Ibu yang mempunyai anak yang baru pertama kali dirawat di Paviliun ... RS...;

2) Usia anak 1 3 tahun;

3) Anak dalam keadaan sadar;


4) Ibu bersedia menjadi responden.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bayi (usia 0 11 bulan);

2) Balita (usia 4 -12 tahun);

3) Anak yang mengalami syok;

4) Anak yang apatis;

5) Anak yang coma.

4.3 Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian

Setiap variabel dalam penelitian ini diukur dan diamati dengan menggunakan kuesioner.

Adapun kriteria pengukuran dan pengamatan masing-masing variabel tersebut sebagai berikut :

A. Penilaian

0 = Tidak ada gejala sama sekali

1 = Satu gejala dari pilihan yang ada

2 = Separuh dari gejala yang ada

3 = Lebih dari separuh dari gejala yang ada

4 = Semua gejala ada

Tabel 4.1

Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian

No. Variabel Nomor Soal Kriteria Hasil

1. Kecemasan karena Kecemasan dibagi menjadi 4 kategori,


A
perpisahan pada anak 1 10 yaitu :

usia todler (10 soal) 1. Tidak ada kecemasan, bila nilai 0 - 4


2. Ringan, bila nilai 5 - 10

3. Sedang, bila nilai 11 19

4. Berat, bila nilai 20 - 40

2. Kehilangan kontrol Kehilangan kontrol diri pada anak

diri pada anak usia dibagi menjadi 4 kategori, yaitu :


B
todler 1. Stabil, bila nilai 0 - 4
11 20
2. Ringan, bila nilai 5 - 10
(10 soal)
3. Sedang, bila nilai 11 19

4. Berat, bila nilai 20 40

3. Rasa takut terhadap Rasa takut pada anak usia todler dibagi

perlukaan tubuh pada menjadi 4 kategori, yaitu :


C
anak usia todler 1. Tidak takut, bila nilai 0 - 4
21 30
2. Ringan, bila nilai 5 - 10
(10 soal)
3. Sedang, bila nilai 11 19

4. Berat, bila nilai 20 40

B. Penilaian Derajat Kecemasan / Kehilangan Kontrol / Rasa takut

TINGKAT KECEMASAN / KEHILANGAN KONTROL /


SKOR
RASA TAKUT

0-4 Tidak ada kecemasan / Stabil / Tidak takut

5 10 Ringan

11 19 Sedang

20 - 40 Berat
4.4 Pengumpulan dan Manajemen Data

4.4.1 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Penyusunan kuesioner

dan hasil ukur dalam penelitian ini berpedoman dan memodifikasi klasifikasi tingkat kecemasan

menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam Nursalam (2003).

4.4.2 Data Primer

Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan

kuesioner kepada ibu yang mempunyai anak usia todler (umur 1 3 tahun) yang baru pertama

kali dirawat di Paviliun .. RS....

Data primer yang dikumpulkan adalah data anak usia todler yang meliputi kecemasan

karena perpisahan, kehilangan kontrol diri dan rasa takut terhadap perlukaan pada tubuh.

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dan dibantu oleh orang lain yang

sebelumnya para petugas telah diberi pelatihan teknik pengumpulan data.

4.4.3 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui profil RS... tahun 20.. dan laporan bulanan Paviliun ...

tahun 20... Dari laporan tersebut juga diketahui bahwa pada 5 bulan terakhir (Januari sampai Mei

20...) klien anak yang dirawat di Paviliun ... sebanyak 105 orang anak.

4.4.4 Pengolahan Data


Data yang terkumpul kemudian diolah melalui tahap-tahap berikut :

1) Editing, yaitu meneliti kembali setiap lembar jawaban dari kuesioner, apakah jawaban pada

kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten;

2) Coding, yaitu upaya mengklasifikasikan jawaban atau hasil yang ada menurut macamnya dalam

bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode-kode;

3) Transfering, yaitu proses pemindahan atau penyusunan data yang telah diberi kode sesuai

kelompoknya masing-masing untuk mempermudah pengolahan data;

4) Entry Data, yaitu proses memasukkan data ke dalam program pengolahan data komputer;

5) Cleaning, yaitu proses pengecekan ulang dan pembersihan data dari kesalahan.

4.4 Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat. Analisis

univariat adalah analisis yang dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan

persentase dari variabel.

Anda mungkin juga menyukai