Anda di halaman 1dari 22

“PROPOSAL SKRIPSI KEPERAWATAN ANAK”

Hubungan Tingkat Stress Dengan Respon Anak Usia Todler di Paviliun Anggrek Rumah Sakit
Dr.Soesilo Slawi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar
yang diberikan kepada individu, baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis
dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Bentuk pemenuhan kebutuhan
dasar dapat berupa meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah,
memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh
individu (Nursalam, 2003).
Keperawatan anak merupakan salah satu bagian penting dari keperawatan. Keperawatan anak
atau pediatri muncul sebagai kekhususan dalam menanggapi meningkatnya kesadaran bahwa
masalah kesehatan anak berbeda dengan orang dewasa dan bahwa respon anak terhadap sakit
dan stres berbeda-beda sesuai dengan umurnya (Nelson, 1999).
Sebagian besar anak pasti pernah berobat. Mereka mungkin langsung masuk bangsal
akibat kecelakaan atau penyakit, mereka juga sering berobat ke puskesmas atau klinik sebagai
pasien rawat jalan yang dirujuk oleh dokter umum untuk dikonsultasikan kepada dokter
spesialis di rumah sakit (Hull, 1998).
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika
seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis, bahkan
trauma karena anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya
maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari serta anak mempunyai sejumlah
keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian
yang bersifat menekan (Nursalam, 2005).
Secara umum rumah sakit merupakan pusat pelayanan kesehatan, tetapi perbedaan lingkungan
antara rumah sakit dan tempat tinggal, persepsi buruk terhadap sakit dan kurangnya
mekanisme koping, maka lingkungan rumah sakit menjadi stressor dan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien dan keluarga. Saat anak di rumah sakit, stres yang diperlihatkan
berupa rasa ketakutan terhadap tindakan yang dianggap menyakitkan serta rutinitas di rumah
sakit, anak merasa diisolasi dan tindakan perawatan atau prosedur yang menyakitkan akan
menjadikan anak sangat stres (Whaley & Wong, 1999).
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres
yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Sebagian besar stres yang terjadi pada anak usia
todler (usia 1 – 3 tahun) saat mengalami hospitalisasi adalah cemas karena perpisahan,
khususnya dengan ibu. Hal tersebut disebabkan karena hubungan anak dengan ibu merupakan
hubungan yang sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa
kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenal
olehnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.
Selain perasaan cemas karena perpisahan, stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit
dapat berupa kehilangan kontrol diri, sehingga anak merasa bahwa dirawat di rumah sakit
merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya dihambat.
Stressor yang juga sering dialami oleh anak yang dirawat di rumah sakit, yakni rasa takut
terhadap perlukaan pada tubuh. Dampak dari stressor tersebut pada anak dapat berupa
menyeringaikan wajah, menangis kuat, mengatupkan gigi, menggigit bibir, bahkan melakukan
tindakan agresif seperti menggigit, menendang, memukul atau berlari ke luar (Nursalam,
2005).
Adanya respon anak terhadap hospitalisasi menimbulkan kendala dalam pelaksanaan
perawatan yang akan diberikan sehingga menghambat proses penyembuhan. Hal tersebut
menyebabkan waktu perawatan yang lebih lama, bahkan akan mempercepat terjadinya
komplikasi-komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2005).
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan anak telah berkembang
pesat, tindakan yang dilakukan pada anak tetap menimbulkan trauma, rasa nyeri, marah, cemas
dan takut pada anak. Oleh karena itu, perlu dikembangkan asuhan keperawatan yang tidak
menimbulkan trauma pada anak. Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang
diberikan oleh perawat dalam peran dan fungsinya sebagai pemberi asuhan keperawatan anak,
melalui tindakan yang dapat meminimalkan stressor yang dialami anak (Supartini, 2004).
Hasil penelitian Safitri (2004) dalam penelitiannya mengenai stres anak di Instalasi Rawat Inap
Anak Rumah Sakit xxx, didapatkan bahwa 60% klien anak (18 responden dari 30 responden)
berperilaku agresif, seperti menggigit, menendang dan memukul pada saat dirawat.
Hospitalisasi bagi keluarga dan anak dapat dianggap sebagai :
1.Pengalaman yang mengacam
2.Stressor
Keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga
Bagi anak hal ini mungkin terjadi karena :
1.Anak tidak memahami mengapa dirawat / terluka
2.Stress dengan adanya perubahan akan status kesehatan, lingkungan dan kebiasaan sehari-
hari
3.Keterbatasan mekanisme koping
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi dipengaruhi :
1.Tingkat perkembangan usia
2.Pengalaman sebelumnya
3.Support system dalam keluarga
4.Keterampilan koping
5.Berat ringannya penyakit
Stress yang umumnya terjadi berhubungan dengan hospitalisasi :
1.Takut
a. Unfamiliarity
b. Lingkungan rumah sakit yang menakutkan
c. Rutinitas rumah sakit
d. Prosedur yang menyakitkan
e. Takut akan kematian
2.Isolasi
Isolasi merupakan hal yang menyusahkan bagi semua anak terutama berpengaruh pada anak
dibawah usia 12 tahun
Pengunjung, perawat dan dokter yang memakai pakaian khusus ( masker, pakaian isolasi,
sarung tangan, penutup kepala ) dan keluarga yang tidak dapat bebas berkunjung.
3.Privasi yang terhambat
Terjadi pada anak remaja ; rasa malu, tidak bebas berpakaian

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Hospitalisasi pada anak


1.Berpisah dengan orang tua dan sibling
2.Fantasi-fantasi dan unrealistic anxieties tentang kegelapan, monster, pembunuhan dan
binatang buas  diawali oleh situasi yang asing.
3.Gangguan kontak social jika pengunjung tidak diizinkan
4.Nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau penyakit
5.Prosedur yang menyakitkan
6.Takut akan cacat atau mati. 
Berdasarkan theory psychodynamic, sensasi yang berarti bagi infant adalah berada di sekitar
mulut dan genitalnya. Hal ini diperjelas apabila infant cemas karena perpisahan, kehilangan
control, gangguan body image dan nyeri infant biasanya menghisap jari, botol.
STRESSOR PADA ANAK USIA AWAL (TODDLER)
Reaksi emosional ditunjukan dengan menangis, marah dan berduka sebagai bentuk yang sehat
dalam mengatasi stress karena hospitalisasi.
Rumah Sakit Dr. Soesilo Slawo memberikan pelayanan kesehatan berupa rawat jalan dan rawat
inap. Salah satu bentuk pelayanan rawat inap yang diberikan, yakni bangsal perawatan anak
pada Paviliun Anggrek Berdasarkan laporan RS Dr. Soesilo Slawi diketahui bahwa jumlah anak
yang dirawat di Paviliun Anggrek sebanyak 1223 orang. Menurut laporan bulanan Paviliun
Anggrek RS Dr. Soesilo Slawi diketahui bahwa jumlah anak usia todler yang dirawat pada bulan
Januari tahun 2014 sebanyak 30 anak, sedangkan pada bulan Pebruari sebanyak 27 anak,
kemudian pada bulan Maret sebanyak 15 anak, pada bulan April sebanyak 19 anak dan pada
bulan Mei sebanyak 14 anak.
Selama waktu perawatan, pada umumnya dilakukan tindakan keperawatan secara invasive
terhadap anak usia todler. Tindakan ini menimbulkan nyeri sehingga anak merasa takut dan
stres. Bahkan, sebelum perawat melakukan tindakan, anak telah merasa takut dengan
kedatangan perawat, karena anak berpikir bahwa perawat adalah orang yang menakutkan dan
sering melakukan tindakan yang menyakitkan tubuhnya (Sacharin, 1996).
Berdasarkan uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat bila dilaksanakan penelitian
mengenai respon anak usia todler terhadap hospitalisasi di Paviliun Anggrek RS Dr. Soesilo Slawi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan yangakan diteliti
adalah :Hubungan Tingkat Stress Dengan Respon Anak Usia Todler di Paviliun Anggrek Rumah
Sakit Dr.Soesilo Slawi.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkatkecemasan
akibat hospitalisasi pada anak usiatoddler di bangsal perawatan anak
b. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui tingkat dukungan keluarga yang diberikan orang tuaselama
proses hospitalisasi anak di Paviliun Anggrek Rumah Sakit Dr.Soesilo Slawi.
- Untuk mengetahui tingkat kecemasan anak usia toddler yang sedangdirawat di
bangsal perawatan anak Paviliun Anggrek Rumah Sakit Dr.Soesilo Slawi.

2.1      Anak Usia Todler
2.1.1    Pengertian
Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya,
artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya dan untuk belajar mandiri. Anak usia todler adalah anak yang berusia 1 sampai 3
tahun (World Health Organization dalam Supartini, 2004).
2.1.2    Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh dalam arti
sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel tubuh dan
juga karena bertambah besarnya sel, sedangkan perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan dan struktur atau fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur,
dapat diperkirakan serta diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh,
organ-organ  dan sistemnya yang terorganisasi (Nursalam, 2005).
Ada beberapa tahapan pertumbuhan dan perkembangan pada masa anak-anak. Menurut
Soetjiningsih (2002), tahapan tersebut, yaitu :
       a) Masa Pranatal (konsepsi-lahir), terbagi atas :
    1)   masa embrio (mudigah)     : masa konsepsi – 8 minggu
    2)   masa janin (fetus)              : 9 minggu – kelahiran
       b) Masa Pascanatal, terbagi atas :
     1)   Masa neonatal : usia 0 – 28 hari
(1)   Neonatal dini (perinatal) : 0 – 7 hari
(2)   Neonatal lanjut : 8 – 28 hari
2) Masa bayi
(1)   Masa bayi dini : usia 1 – 12 bulan
(2)   Masa bayi akhir : 1 – 2 tahun
            3)   Masa prasekolah (usia 2 – 6 tahun), terbagi atas :
                  (1)  Prasekolah awal (masa balita) : mulai 2 – 3 tahun
                  (2)  Prasekolah akhir : mulai 4 – 6 tahun
            4)   Masa sekolah atau masa prapubertas, terbagi atas :
                  (1)  Wanita    : 6 – 10 tahun
                  (2)  Laki-laki   : 8 – 12 tahun
          5)   Masa adolesensi atau masa remaja, terbagi atas :
                  (1)  Wanita     : 10 – 18 tahun
                  (2)  Laki-laki   : 12 – 20 tahun
 2.1.3    Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Todler
        Pada   masa   ini  pertumbuhan  fisik   anak   relatif   lebih lambat dibandingkan dengan
masa bayi, tetapi perkembangan motoriknya berjalan lebih cepat. Anak sering mengalami
penurunan napsu makan sehingga tampak langsing dan berotot serta anak mulai belajar jalan.
Pada mulanya anak berdiri tegak dan kaku, kemudian berjalan dengan berpegangan. Sekitar
usia 16 bulan, anak mulai belajar berlari dan menaiki tangga, tetapi masih terlihat kaku. Oleh
karena itu, anak perlu diawasi, karena dalam beraktivitas anak tidak memperhatikan bahaya.
Pada masa ini anak bersifat egosentris, yaitu mempunyai sifat keakuan yang kuat sehingga
segala sesuatu yang disukainya dianggap sebagai miliknya (Hidayat, 2005). 
2.1.4    Kebutuhan Dasar untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
                 Menurut Soetjiningsih (2000), kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
a)  Asuh (Kebutuhan Fisik – Biomedis)
        Kebutuhan asuh meliputi :
(1)   Nutrisi yang cukup dan seimbang
        Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah dimulai sejak dalam
kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir,
harus diupayakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, yakni pemberian ASI saja
sampai anak berumur 4 – 6 bulan. Sejak berumur 6 bulan, sudah waktunya anak diberikan
makanan tambahan atau makanan pendamping ASI. Pemberian makanan tambahan ini penting
untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang mulai
meningkat pada masa bayi dan prasekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak.
(2)   Perawatan kesehatan dasar
     Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal diperlukan beberapa upaya, misalnya
imunisasi, kontrol ke puskesmas atau posyandu secara berkala serta diperiksakan segera bila
sakit. Dengan upaya tersebut keadaan kesehatan anak dapat dipantau secara dini, sehingga bila
ada kelainan, maka anak segera mendapatkan penanganan yang benar.
(3)   Pakaian
       Anak  perlu  mendapatkan pakaian  yang  bersih  dan   nyaman   dipakai  karena  aktivitas
anak  lebih  banyak,  hendaknya pakaian  tersebut  dari  bahan yang mudah menyerap keringat.
(4)   Perumahan
      Dengan memberikan tempat tinggal yang layak, maka hal tersebut akan membantu anak
untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal.
(5)   Higiene diri dan lingkungan
     Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti sudah mengurangi risiko tertularnya
berbagai penyakit infeksi. Selain itu, lingkungan yang bersih akan memberikan kesempatan
kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain secara aman.
 (6)   Kesegaran jasmani (olahraga dan rekreasi)
       Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk melatih kekuatan otot-otot tubuh dan
membuang sisa metabolisme, selain itu juga membantu meningkatkan motorik anak dan aspek
perkembangan lainnya.
b)  Asih (Kebutuhan Emosi dan Kasih Sayang)
       Kebutuhan asih meliputi :
(1)   Kasih sayang orang tua
      Orang tua yang harmonis akan mendidik dan membimbing anak dengan penuh kasih sayang.
Kasih sayang tidak berarti memanjakan atau tidak pernah memarahi, tatapi bagaimana orang
tua menciptakan hubungan yang hangat dengan anak sehingga anak merasa aman dan senang.
(2)   Rasa aman
        Adanya  interaksi  yang  harmonis  antara orang tua dan anak akan memberikan rasa aman
bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
(3)   Harga diri
      Setiap anak ingin diakui keberadaan dan keinginannya, tetapi bila anak diacuhkan maka hal
ini dapat menyebabkan frustasi.
(4)   Dukungan atau dorongan
       Dalam melakukan aktivitas, anak perlu memperoleh dukungan dari lingkungan, tetapi bila
orang tua sering melarang aktivitas yang akan dilakukan, maka hal tersebut dapat
menyebabkan anak ragu-ragu dalam melakukan setiap aktivitasnya. Selain itu, orang tua perlu
memberikan dukungan agar anak dapat mengatasi stresor atau masalah yang dihadapi.
(5)   Mandiri
      Agar anak menjadi pribadi yang mandiri, maka sejak awal anak harus dilatih untuk tidak
selalu tergantung pada lingkungannya.

(6)   Rasa memiliki
       Anak  perlu  dilatih  untuk  mempunyai  rasa  memiliki  terhadap barang-barang yang
dipunyainya sehingga anak tersebut akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memelihara
barangnya.
(7)   Kebutuhan akan sukses, mendapatkan kesempatan dan pengalaman
     Anak perlu diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan sifat-
sifat bawaannya. Tidak pada tempatnya jika orang tua memaksakan keinginannya untuk
dilakukan oleh anak tanpa memperhatikan kemauan anak.
c)  Asah (Kebutuhan Stimulasi)
        Stimulasi adalah adanya perangsangan dari lingkungan luar anak yang berupa latihan atau
bermain.  Stimulasi merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan stimulasi. Pemberian
stimulasi ini sudah dapat dilakukan sejak masa pranatal dan setelah lahir dengan cara
menyusukan bayi pada ibunya sedini mungkin. Asah merupakan kebutuhan untuk
perkembangan mental psikososial anak yang dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan.

2.2      Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Usia Todler


2.2.1    Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi atau rawat inap pada anak adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat yang menyebabkan anak harus tinggal di rumah sakit, menjalani terapi
dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004).
2.2.2    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi
Menurut Steven (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi, yaitu:
2.2.2.1  Kepribadian Manusia
Tidak semua orang peka terhadap hospitalisasi atau rawat inap. Kita dapat melihat bahwa ada
orang yang sangat menderita dan sangat bergantung pada apa yang diberikan
lingkungannya. Ada juga yang menangani  sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu
saja.Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap hospitalisasi adalah kepribadian
manusia itu sendiri. 
2.2.2.2  Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar
Klien atau keluarga yang tinggal di rumah sakit dengan terpaksa harus kehilangan kontak yang
telah dijalaninya selama ini.Kehilangan terhadap sebagian besar dari kehidupannya dan orang-
orang yang selalu ia hubungi.
2.2.2.3  Ada yang Memberikan Pertolongan
Ada perbedaan dalam tugas antara klien dan yang memberi pertolongan, ini terlihat jelas dalam
kegiatan sehari-hari klien. Biasanya klien menunggu dan perawat yang mengetahui hal-hal yang
dibutuhkan. Saat perawat menolong dengan giat dan aktif, maka ini sangat mempengaruhi
keadaan klien.
2.2.2.4  Faktor Perawat
Faktor yang timbul dari perawat ditentukan oleh sikap perawat, baik dari hubungan antara
sesama perawat maupun dengan sikap mereka terhadap klien, termasuk juga cara berpakaian
perawat serta suasana lingkungan rumah sakit. Hal tersebut dapat mempengaruhi cepat atau
lambatnya dampak hospitalisasi pada klien.
2.2.2.5  Obat-obatan
Obatan-obatan dapat memberikan pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan dapat
mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti rawat inap dengan sendirinya. Hal   ini
akan   berdampak   besar   jika  menggunakan obat-obatan  yang merangsang adanya sikap
tersebut.
2.2.3    Keuntungan Hospitalisasi
Perawatan yang dilakukan di rumah sakit dapat menimbulkan stres pada anak-anak.
Namun demikian, terdapat juga keuntungan dari rawat inap, yaitu kesembuhan dari penyakit,
memberikan kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pengalaman sosial yang baru dan
meluaskan hubungan interpersonal (Whaley & Wong, 1999).
2.2.4    Dampak Hospitalisasi
              Rawat inap atau hospitalisasi pada klien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres
pada semua tingkatan usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun
keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan
perkembangan anaknya, pengobatan dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak
bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku
dari orang tua yang mendampinginya selama perawatan. Anak menjadi semakin stres sehingga
hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon imun. Adanya
penurunan sistem imun inilah yang akan berakibat pada penghambatan proses penyembuhan.
Hal tersebut menyebabkan waktu perawatan yang lebih lama, bahkan akan mempercepat
terjadinya komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2005).
2.2.5    Reaksi Anak yang Mengalami Hospitalisasi
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika
seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena
anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun
lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak tersebut mempunyai sejumlah
keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah ataupun kejadian-kejadian
yang bersifat menekan. Reaksi anak dalam mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan usia, pengalaman sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, sistem
dukungan (support system) yang tersedia serta keterampilan koping dalam menangani stres
(Nursalam, 2005).
2.2.6    Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit
            Stres merupakan suatu stimulus yang menuntut dan juga akibat dari fisiologis dan emosi
pada stimulus lingkungan yang disebabkan oleh adanya interaksi antara individu dengan
lingkungannya (Abraham, 1997). Bila seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut
akan mudah mengalami stres akibat perubahan status kesehatan dan lingkungannya dalam
kebiasaan sehari-hari. Menurut Nursalam (2005), stressor pada anak yang dirawat di rumah
sakit, yaitu :
        2.2.6.1 Cemas Karena Perpisahan
                Sebagian besar stres yang terjadi pada anak adalah cemas karena perpisahan. Anak 
belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai dan memiliki
pengertian yang terbatas terhadap realita. Hubungan anak dengan ibu merupakan hubungan
yang sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada
anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga
pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.
                     Respon anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
        1) Tahap Protes (Phase of Protest)
        Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya atau
menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit,
mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain. Secara
verbal, anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi”. Perilaku tersebut
dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Perilaku protes tersebut, seperti
menangis, akan terus berlanjut dan hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan.
Pendekatan dengan orang asing yang tergesa-gesa akan meningkatkan protes.
        2) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
        Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat
untuk bermain, tidak ada napsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis,
mengompol dan mengisap jari. Pada tahap ini, kondisi anak mengkhawatirkan karena anak
menolak untuk makan, minum atau bergerak.
       3) Tahap Menolak (Phase of Denial)
       Pada tahap ini, secara samar-samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik dengan apa
yang ada di sekitarnya dan membina hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai
kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua. 
2.2.6.2 Kehilangan Kontrol Diri
                Anak berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya. Hal ini terlihat
jelas dalam perilaku mereka dalam hal kemampuan motorik, bermain, melakukan hubungan
interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan komunikasi.
         Anak telah mampu menunjukkan kestabilan dalam mengendalikan dirinya dengan cara
mempertahankan kegiatan-kegiatan rutinnya tersebut. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit,
anak akan kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan otonominya.
Hal ini dapat menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit.
Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negativitas, terutama anak akan menjadi
cepat marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu yang lama (karena
penyakit kronis), maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri
dari hubungan interpersonal.
2.2.6.3 Rasa Takut terhadap Perlukaan Tubuh
Konsep tentang citra tubuh (body image), khususnya pengertian mengenai perlindungan tubuh,
sedikit sekali berkembang pada anak. Biasanya bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut atau
suhu pada anus akan membuat anak menjadi sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan
yang tidak menyakitkan sama seperti reaksi terhadap tindakan yang sangat menyakitkan.
Reaksi anak terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi, namun jumlah variabel yang
mempengaruhi responnya lebih kompleks dan bermacam-macam. Anak akan bereaksi terhadap
rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir,
membuka mata dengan lebar atau melakukan tindakan yang agresif, seperti menggigit,
menendang, memukul atau berlari keluar.
2.2.7    Reaksi Orang tua terhadap Anaknya yang Dirawat di Rumah Sakit
                Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain :
1)  Tingkat keseriusan penyakit anak
2)  Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit
3)  Prosedur pengobatan
4)  Sistem pendukung yang tersedia
5)  Kekuatan ego indvidu
6)  Kemampuan dalam penggunaan koping
7)  Dukungan dari keluarga
8)  Kebudayaan dan kepercayaan
9)  Komunikasi dalam keluarga
Adapun bentuk reaksi orang tua tersebut, antara lain :
        a) Penolakan atau ketidakpercayaan (denial or disbelief)
            Menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba sakit serius.
       b) Marah atau merasa bersalah atau keduanya
      Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, maka reaksi
orang tua, terutama ibu adalah marah dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak
merawat anaknya dengan benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal-hal yang telah
mereka lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh sakit atau
mengingat kembali tentang hal-hal yang menyebabkan anaknya sakit.
      c) Ketakutan, cemas dan frustasi
     Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe prosedur medis.
Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai prosedur dan pengobatan atau
tidak familiar dengan peraturan rumah sakit.
     d) Depresi
     Biasanya  depresi  ini  terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering mengeluh merasa
lelah baik secara fisik maupun mental.Orang tua mulai merasa khawatir terhadap anak-anak
mereka yang lain yang dirawat oleh anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal-
hal lain yang membuat orang tua cemas dan depresi adalah kesehatan anaknya di masa-masa
yang akan datang, misalnya efek dari prosedur pengobatan dan juga biaya pengobatan.
2.2.8  Intervensi Keperawatan dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi
                 Sebagai salah satu anggota tim kesehatan, perawat memegang posisi kunci untuk
membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan anaknya di
rumah sakit karena perawat berada di samping klien selama 24 jam dan fokus asuhan adalah
peningkatan kesehatan anak melalui pemberdayaan keluarga. Asuhan yang berpusat pada
keluarga dan atraumatic care menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
                   Untuk itu berkaitan dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak
maupun orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit, fokus intervensi
keperawatan adalah meminimalkan stresor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi,
memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum
dirawat di rumah sakit (Supartini, 2004).
        2.2.8.1 Upaya Meminimalkan Stresor atau Penyebab Stres
            Menurut Supartini (2004), upaya untuk meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan
cara mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol
diri dan mengurangi atau meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh.
a) Upaya mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan
(1)   Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan
mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in);
(2)   Bila tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak
setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka;
(3)   Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah,
di antaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak;
(4)   Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, di antaranya dengan memfasilitasi
pertemuan dengan guru, teman sekolah dan membantunya melakukan surat menyurat
dengan siapa saja yang anak inginkan.
b) Upaya mencegah perasaan kehilangan kontrol diri
(1)   Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Bila anak harus diisolasi, lakukan modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu
dirasakan oleh anak dan orang tua, pertahankan kontak antara orang tua dan anak
terutama pada bayi dan anak todler untuk mengurangi stres;
(2)   Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain dan aktivitas lain dalam
perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari;
(3)   Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan
dengan cara memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan dan melibatkan
orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan keperawatan.
  c) Upaya meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh
(1)   Mempersiapkan  psikologis  anak  dan  orang tua untuk tindakan prosedur
yang menimbulkan  rasa nyeri,  yaitu  dengan  menjelaskan apa  yang akan dilakukan dan
memberikan dukungan psikologis pada orang tua;
(2)   Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya
dengan cara bercerita, mengambar, menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan
dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak;
(3)   Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat dilakukan tindakan atau
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri terhadap anak, bila anak tersebut tidak dapat
menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan
orang tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama
prosedur tersebut dilakukan;
(4)   Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat
prosedur yang menyakitkan.
2.2.8.2  Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi pada Anak
                    Perawat dapat memaksimalkan manfaat hospitalisasi pada anak dengan cara :
a) Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang tua
mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak terhadap stresor yang dihadapi selama
dalam perawatan di rumah sakit;
b) Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu, perawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat
dan prosedur keperawatan yang dilakukan kepada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas
belajarnya;
c) Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan
pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri.
Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan bayi. Berikan
selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian dan dorongan atas kemampuan
anak;
d)  Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama klien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan membagi
pengalamannya.Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus
di fasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit, orang tua dan anak mempunyai
kelompok sosial yang baru.
2.2.8.3  Memberikan Dukungan kepada Anggota Keluarga Lain
                    Perawat dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga lain dengan cara :
        a) Berikan dukungan kepada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit;
b) Bila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli agama karena
sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerlukan
bantuan ahli;
c) Beri dukungan kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang
diyakininya;
d) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak bila diperlukan keluarga dan
berdampak positif pada anak yang dirawat maupun saudara kandungnya.
2.2.8.4 Mempersiapkan Anak untuk Mendapat Perawatan di Rumah Sakit
                 Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada adanya asumsi
bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang nyata.
        Pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :
a)  Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit dengan peralatan
yang diperlukan;
b)  Bila anak harus dirawat secara berencana 1 – 2 hari, sebelum dirawat diorientasikan dengan
situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.
         Pada hari pertama dirawat dilakukan tindakan :
1)  Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya;
2) Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat
digunakan;
3)  Perkenalkan dengan klien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya;
4)  Berikan identitas pada anak, misalnya pada papan nama anak;
5)  Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang akan diikuti;
6)  Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan;
7)  Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang diprogramkan.
2.3Penelitian Terkait
      Sesuai dengan hasil penelitian Eka (2005) mengenai peran perawat terhadap penurunan
tingkat stres anak usia 1-3 tahun di IRNA Anak RSMH Palembang, didapatkan 52,9% klien anak
(18 responden dari 34 responden) mengalami stres hospitalisasi.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1   Kerangka Konsep 


Gambar 3.1
Kerangka Konsep

Kecemasan karena
perpisahan pada
anak usia toddler

Kehilangan Stressor pada anak usia


todler saat mengalami
Kontrol Diri hospitalisasi

Rasa takut terhadap


perlukaan pada
tubuh

3.2   Variabel dan Definisi Operasional


No   Alat    Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur
. Ukur Ukur
1. Kecemasan Ekspresi tidak aman Wawancara Kuesioner Kecemasan Ordinal
karena pada anak usia dibagi menjadi
perpisahan todlerakibat berpisah 4 kategori,
pada dengan orang yang yaitu :
anakusia terdekat (ibu) dan 1. Tidak ada
todler lingkungannya, yang kecemasan,
dinilai dari gejala dan bila nilai 0 - 4
tanda yang 2.   Ringan,
ditunjukkan anak bila nilai 5 - 10
3.   Sedang,
bila nilai 11 -
19
4.   Berat, bila
nilai 20 - 40
2. Kehilangan Menurunnya   Kuesioner Kehilangan  
kontrol diri kemampuan anak Wawancara kontrol diri Ordinal
pada dalam pada anak
anakusia mempertahankan dibagi menjadi
todler otonomi dan 4 kategori,
mengendalikan yaitu :
dirinya akibat 1.   Stabil, bila
keterbatasan karena nilai 0 - 4
sakit, yang dinilai dari 2.   Ringan,
gejala dan tanda yang bila nilai 5 - 10
ditunjukkan anak 3.   Sedang,
bila nilai 11 -
19
4.   Berat, bila
nilai 20 – 40
3. Rasa takut Reaksi (ekspresi) Wawancara Kuesioner Rasa takut Ordinal
terhadap negativitas anak pada anak usia
perlukaan terhadap tindakan todlerdibagi
tubuh pada pengobatan dan menjadi 4
anak usia perawatan yang kategori,
todler dilakukan kepadanya yaitu :
karena menganggap 1.   Tidak
tindakan dan takut, bila nilai
prosedur perawatan 0-4
mengancam 2.   Ringan,
integritas tubuhnya, bila nilai 5 - 10
yang dinilai dari 3.   Sedang,
gejala dan tanda yang bila nilai 11 -
ditunjukkan anak 19
4.   Berat, bila
nilai 20 - 40

Anda mungkin juga menyukai