Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Enuresis adalah istilah untuk anak yang mengompol minimal dua kali dalam seminggu

dalam periode paling sedikit 3 bulan pada anak usia 5 tahun atau lebih, yang tidak

disebabkan oleh efek obat-obatan.

Di Amerika Serikat didapatkan 5-7 juta anak mengalami enuresis nokturnal, laki-laki

tiga kali lebih sering dibandingkan dengan perempuan. Sekitar 15%-25% enuresis

nokturnal terjadi pada umur 5 tahun. Makin bertambah umur, prevalensi enuresis makin

menurun. Dari seluruh kejadian enuresis didapatkan 80% adalah enuresis nokturnal, 20%

enuresis diurnal, dan sekitar 15%-20% anak yang mengalami enuresis nokturnal juga

mengalami enuresis diurnal.

Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk

Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan

jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan buang air kecil di usia prasekolah

mencapai 75 juta anak. Namun demikian, masih ada sekitar 30% anak umur 4 tahundan

10% anak umur 6 tahun yang masih takut ke kamar mandi terlebih pada saat malam hari.

Menurut Child Development Institute Toilet training pada penelitian American Psychiatric

Association, dilaporkan bahwa10-20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia10 tahun, hampir

2% anak usia 12-14tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih mengompol.

Pada umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun. Pada anak usia 3

tahun, 75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari. Pada usia 5 tahun, sekitar

10-15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu. Pada usia 10 tahun
masih ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang masih

mengompol.

Enuresis dapat memberikan dampak terhadap perkembangan anak. Anak akan

mengalami gangguan perilaku internal ataupun eksternal. Anak akan merasa rendah diri,

tidak percaya diri, atau lebih agresif. Walaupun sekitar 15% anak yang mengalami enuresis

dapat mengatasi sendiri atau remisi secara spontan tiap tahunnya, namun jika enuresis tidak

mendapatkan penanganan dini dan tepat akan berdampak terhadap perkembangan anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Enuresis adalah pengeluaran urine involunter di waktu siang atau malam hari pada anak yang berumur

lebih dari empat tahun, tanpa ada kelainan fisik maupun penyakit organic. Menurut Behrman (2000),

enuresis adalah pengeluaran air kemih yang terjadi diluar kemauan serta kendali penderita, yang timbul

setelah usia pencapaian penguasaan kandung kemih.

Enuresis adalah inkontinensia urin pada anak yang dianggap cukup umur cukup umur untuk dapat

mencapai kotinensi. Enuresis digolongan sebagai diurnal (siang hari) atau nocturnal (malam hari). Anak

diharapkan tetap kering pada siang hari pada usia 4 tahun. Kering pada malam hari diharapkan tercapai pada

usia 6 tahun. Klasifikasi enuresis yang lain adalah primer (inkontinensia pada anak yang belum pernah

kering) dan sekunder (inkontinensia pada anak yang sudah pernah kering selama sedikitnya 6 bulan)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari mengenai 20%

sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira-kira 15 % anak tersebut

setiap tahun.

Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal lebih cepat

dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia 6 tahun, 10% masih

mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun sebanyak 5% juga masih ada

yang mengalami nocturnal enuresis. Didapati 50% kasus mengalami keterlambatan

pematangan sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus

dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20% lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit


organik. Dan biasanya nocturnal enuresis fungsional berhenti pada usia kurang lebih 10

tahun.

Rasio odds enuresis nocturnal pada anak laki-laki dibandingkan perempuan adalah 1,4

: 1. Prevalensi enuresis di siang hari lebih rendah dari pada enuresis nocturnal, namun

terdapat predominasi anak perempuan. Prevalensnya di perkirakan sebesar 2 % pada laki-

laki dan 3% pada perempuan berusia 7 tahun. Diantara anak dengan enuresis, 22% hanya

meng

Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dengan

komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun menurun menjadi 6%

laki-laki dan 4% perempuan. Maka harus ada penanganan dan penjelasan pada orang tua

mengenai “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami enuresis, 15% insidensinya berkurang

pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan encopresis (pengeluaran tinja secara tidak

layak), dan 15% mengalami enuresis sekunder.

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI KANDUNG KEMIH

Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan urin. Pada laki-laki

terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak

dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml.

Struktur kandung kemih berupa:

1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu:

a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal rongga pelvis.

b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang membentuk sudut

agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos,

yaitu lapisan dalam berupa longitudinal, tengah sirkular, dan luar longitudinal.
c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan muskularis.

d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional.

2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang terletak

secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut

atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra.

Persarafan kandung kemih diurus oleh saraf yang berasal dari plexus vesicalis dan plexus prostaticus yang

merupakan bagian hypogastrium inferior. Persarafan ini terdiri dari:

• Serabut motoris yang bersifat parasimpatis untuk persarafan otot destrusor melalui nervus erigentes.

Preganglion neuron parasimpatis berlokasi pada nervus parasimpatis sakral di medula spinalis pada level

sakral-2 sampai dengan sakral-4.

• Serabut sensoris yang bersifat simpatis melalui nervus hypogastricus akan terangsang pada peregangan

kandung kemih sehingga memberi rasa penuh, terbakar dan sesak kencing. Inervasi simpatis pada kandung
kemih dan uretra berasal dari intermediolateral nuclei di region torakolumbal (torakal-10 sampai dengan

lumbal-2) pada medula spinalis.

• Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah. Inervasi somatik pada rhapdospinkter uretra dan

beberapa otot perineal yang diatur oleh nervus pudendal. Serabut-serabut ini berasal dari sfingter motor

neuron yang berlokasi di cabang ventral medula spinalis sakral (sakral-2 sampai dengan sakral-4) yang

disebut nukleus onufis.

• Refleks detrusor memulai kontraksi involunter dari otot kandung kemih karena peregangan dinding dan

terjadi melalui serabut aferen dan eferen system parasimpatis dari nervus splanchnicus pelvicus. Refleks

detrusor menjadi aktif bila terisi 100-150 cc urin

Persarafan kandung kemih ini dikendalikan oleh:

1. Medula Spinalis

Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem simpatis dan parasimpatis.

Parasimpatis berasal dari medula spinalis sakral 2-4, yang keluar dari plexus pelvikus dan sakralis, menuju

kandung kemih sebagai nervus pudendal yang akan menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan

dilatasi sfingter interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal 11 sampai lumbal 2,

melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor a dan ß. Reseptor a terletak di bagian

leher kandung kemih dan otot polos sekitar pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah

kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi inhibisi, maka relaksasi

leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra, sehingga terjadilah miksi. Reseptor ß berada di korpus

kandung kemih, perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga terjadi

pengisian. Inhibisi menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan tekanan kandung kemih diikuti

pengosongan kandung kemih.

2. Otak
Otak memiliki pusat-pusat pengendali miksi yang diliputi oleh pontine micturition center, yaitu: pusat

perangsang miksi berupa pons anterior dan hipotalamus posterior, dan pusat inhibisi pada otak tengah. Pada

saat miksi, pusat-pusat ini akan mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakral untuk memulai refleks

miksi serta inhibisi kontraksi otot sfingter eksternum kandung kemih, sehingga terjadilah pengeluaran urin.

Pada kandung kemih terdapat penahan berupa ligamentum-ligamentum, yaitu:

• Ligamentum mediale puboprostaticum (pubovesicale), pada laki-laki melekat pada prostat dan dinding

belakang tulang pubis, sedangkan pada perempuan pada kolum vesika dan belakang pubis.

• Ligamentum laterale puboprostaticum yang melekat bersamaan dengan mediale menuju arcus tendineus

fascia pelvis.

• Ligamentum laterale vesicae yang melekat pada bagian posterolateral dari fundus vesicae dan berlanjut ke

plica rectovesicale pada laki-laki dan plica rectouterina pada perempuan.

Fisiologi Miksi

Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk oleh ginjal, urin

disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga

kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal,

kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup. Mekanisme miksi bergantung pada

inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi

aktif otot detrusor, maka:

• Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang

diinervasi oleh neuron parasimpatis.

• Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa dibawah kendali

volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan sfingter.
Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga kurang dari 1 l per

harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari. Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-

reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat

menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan

reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor.

Selain refleks ini dimulai, refleks ini bersifat regenerasi sendiri.

Refleks berkemih terjadi dengan cara:

• Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalankan

melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.

• Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal dan eksternal.

Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan kandung kemih dengan

pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat

diinhibisi oleh otak. Selama miksi, proses yang terjadi berupa:

• Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut sehingga timbul keinginan

untuk miksi.

• Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga penghambatan uvula

menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar.

• Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya dan

dapat dibantu dengan tindakan valsava.

• Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar panggul akan

mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin

selanjutnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat menyebabkan tidak

sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks

kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan

atau tanpa inkontinensia urin.

Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak, medula spinalis, dan

ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi

keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan

pengeluaran.

Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun, jika kandung

kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan.

Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum tergang oleh relaksasi

volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan

kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter uretra eksterna dan meregangkan kandung

kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks

miksi. Pengosongan kandung kemih secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan

diafragma pernafasan yang meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk

mengosongkan isinya. Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari:

1. Kenaikan tekanan secara progresif

2. Periode tekanan menetap

3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal

Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama beberapa menit

hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan

terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat.


Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih

Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari:

• Kapasitas kandung kemih yang adekuat,

• Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan mengakhiri miksi.

• Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada berbagai tingkat

kapasitas kandung kemih.

Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:

• Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila jumlah urin

bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan

relaksasi otot sfingter eksternum kandung kemih.

• Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan parietalis otak.

Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.

• Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat mengendalikan kandung

kemih sesuai tempat dan waktu miksi.

• Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan miksi dalam

waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini

usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun

sudah tidak mengalami nocturnal enuresis (mengompol).

• Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap.

• Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan ditempatnya.

Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga menyebabkan rasa secara sadar

bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi. Persepsi kandung

kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga memberi peringatan
bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi yang dipelajari selama toilet

training pada masa anak-anak dini dapat mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung

kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung

kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak

tepat sementara refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah

dengan mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang

berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-

neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar .

2.4 ETIOLOGI

Penyebab dari nocturnal enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa kemingkinan yang

menjadi penyebab, seperti:

1. Faktor Genetik

Dari anamnesa didapati bahwa salah satu atau kedua orang tua mengalami enuresis. Dari beberapa penelitian

dasar genetik enuresis ditemukan pada kembar monozigotik (identik) dan dizigotik (faternal).

2. Faktor Urodinamik

Enuresis abnormal berhubungan denga kecilnya kapasitas kandung kemih yang dipengaruhi oleh kontraksi

detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak

adanya koordinasi antara otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter.

3. Faktor Antidiuretik

Nocturnal enuresis terjadi karena tingginya volume pengeluaran urin yang dipengaruhi adanya perubahan

ritme sikardian dari sekresi hormon antidiuretik (ADH).

4. Faktor Kematangan Neurofisiologi


Terlambatnya mekanisme korteks dalam mengendalikan refleks pembuangan urin dijadikan sebagai

hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal

enuresis didapati peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur

dalam dan pola tidur.

5. Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak

Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak yang terlambat berjalan juga akan

terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari

aspek individual dalam perkembangan.

6. Faktor Psikologis

Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres

psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran

saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah

disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal

enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian

orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari

perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan

kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit

psikologis.

7. Faktor Lain

Nocturnal enuresis dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti obstruksi uretra maupun infeksi

kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi

ginjal.
Enuresis fungsional adalah pengeluaran urin involunter pada waktu siang atau malam

hari pada anak yang berumur lebih dari 4 tahun, tanpa adanya kelainan fisik atau penyakit

organik.

Diagnosa enuresis fungsional menurut DSM-IV dapat ditegakkan apabila:

1.Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat tidur atau pakaian.

2.Sebagian besar tidak disengaja, tetapi kadang-kadang disengaja. Sekurang-kurangnya

terjadi 2 kali dalam 1 minggu selama ≥3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan yang

signifikan dibidang sosial, akademik atau fungsi penting lainnya.

3.Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal seharusnya telah

dicapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun. Sedangkan pada anak dengan

keterlambatan perkembangan, usia mental paling sedikit 5 tahun.

4.Tidak berhubungan dengan efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara

umum.

Enuresis dapat di klasifikasikan menjadi:

1.Enuresis nokturnal, yaitu enuresis yang terjadi hanya pada saat anak dalam keadaan tidur

(termasuk tidur siang), sedangkan enuresis diurnal, yaitu enuresis yang terjadi pada saat

anak dalam keadaan bangun.

2.Enuresis primer adalah suatu keadaan dimana anak tersebut tidak pernah mengalami

periode kontinensia atau tidak pernah kering secara konsisten. Sedangkan enuresis

sekunder adalah suatu keadaan dimana anak tersebut setidak-tidaknya mengalami kering

secara konsekutif paling sedikit selama 6 bulan.

2.5 DIAGNOSA
Pada nocturnal enuresis gejala yang dikeluhkan berupa pengeluaran urin dimalam hari,

tanpa adanya rasa panas atau terbakar. Tetapi warna urin tetap jernih. Untuk menegakkan

diagnosa dari nocturnal enuresis harus dilakukan:

1. Anamnesa

Dari anamnesa didapati onset untuk menentukan enuresis yang terjadi berupa enuresis

primer atau enuresis sekunder, frekuensi, keparahan dan bagaimana keluarga menangani

masalah ini, keadaan tidur atau saat terbangun, pancaran urin, diawali rasa sesak, dan

terjadi sekali-sekali atau terus menerus. Selain itu ditanyakan juga riwayat keluarga, dan

riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal

kronis, infeksi saluran kemih, konstipasi, serta tanyakan juga keadaan psikososial anak dan

keadaan keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi: inspeksi didaerah abdomen untuk melihat distensi abdomen

karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Sedangkan

palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum sesudah pengosongan urin dan serta awasi

kekuatan dan kualitas arus urin.

Selain itu lakukan juga pemeriksaan refleks sfingter, sensasi perineal, tonus anal, cara

berjalan dan tulang belakang apakah terdapat kelainan medula spinalis.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan berupa urinalisis yang diperoleh setelah puasa

1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas urin atau keduanya untuk

menyampingkan poliuria sebagai penyebab frekuensi inkontinensia.


Urinalisis yang dilakukan untuk melihat adanya infeksi (positif nitrat dan leukosit),

diabetes melitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria), dan penyakit ginjal

(proteinuria). Biakan urin dilakukan sebagai tes lanjutan bila urinalisis abnormal dan harus

dilakukan secara rutin untuk melihat patologi saluran kemih.

4. Pemeriksaan Penunjang Lain

Foto X-Ray pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang diambil segera setelah

miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu. Urethroscopy dan ultrasaound

ginjal dapat dilakukan, tetapi biasanya terlihat normal.

Berdasarkan PPDGJ III pedoman diagnostik dari enuresis adalah:

• Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air kecil tanpa kehendak, pada siang dan/atau

malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat dari kurangnya

pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan

struktural pada saluran kemih.

• Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia

seorang anak berhasil mencapai kemampuan pengendalian kandung kemihnya. Namun

demikian, enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau dengan

usia mental kurang dari 4 tahun.

• Bila enuresis berhubungan dengan suatu gangguan emosional atau perilaku, yang lazim

merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi sedikitnya beberapa kali dalam

seminggu.

• Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini enkopresis yang

diutamakan.

2.6 DIAGNOSA BANDING


Diagnosa banding dari nocturnal enuresis dapat berupa:

1. Diurnal enuresis. Diurnal enuresis merupakan keadaan enuresis yang terjadi pada siang

hari.

2. Obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pada penyakit ini terjadi penurunan pancaran

urin, nyeri, miksi terjadi siang dan malam, pyuria, demam, serta sering terjadi distensi

kandung kemih. Pada urogram didapati dilatasi kandung kemih dan saluran kemih bagian

atas. Karena terjadi obstruksi kuat yang disebabkan spasme di otot dinding pelvis

menyebabkan kerusakan kandung kemih dan ginjal.

3. Infeksi saluran kemih. Infeksi yang terjadi tidak berhubungan dengan obstruksi

menimbulkan gejala frekuensi pada siang hari dan malam hari. Penyakit ini disertai nyeri

saat miksi, demam, anemi, dan pada urinalisis dijumpai sel nanah atau bakteri atau

keduanya yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal.

4. Penyakit Neurogenik. Pada anak dengan kelainan cabang atau batang saraf sakralis

dapat terjadi kegagalan dalam kontrol miksi baik disiang hari maupun malam hari.

2.7 PENATALAKSANAAN

Farmakologi

Obat-obat yang digunakan dalam menangani kasus-kasus enuresis berupa:

1. Desmopresin Acetate, merupakan antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi air. Obat

ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan ke hidung. Desmopresin dapat

digunakan dalam mengurangi nocturnal enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak

memiliki efek samping, dan menunjukkan efek antienuretik yang signifikan. Tetapi

desmopresin kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenic purpura.


2. Imipramin, merupakan obat antidepresan trisiklik yang diminum 25 mg sebelum makan

malam. Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada saat

tidur. Respon klinis obat ini bergantung pada kadar plasma dalam darah, efek sampingnya

berupa toksik dan lethal overdosis bila digunakan dalam dosis besar. Efek samping yang

terjadi dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan, mual dan muntah.

3. Obat-obat parasimpatolitik seperti atropine atau Belladona berguna menurunkan tonus

otot detrusor. Dapat juga digunakan Methaline bromide 25-27 mg sebelum tidur.

4. Obat simpatomimetik seperti dextroamphetamine sulfate 5-10 mg sebelum

Tidur. Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan

mengalami relaps saat penggunaan obat dihentikan.

Non Farmakologi

Terapi yang dapat dilakukan berupa:

1. Perubahan kebiasaan, yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur, latihan menahan

miksi untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi menjadi lebih

lama, memberi hadiah bila anak tidak mengompol.

2. Miksi sebelum tidur, dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang air kecil

sebelum tidur pada setiap malamnya.

3.Psikoterapi, dengan cara adanya konseling pada anak dan harus dijelaskan pada orang tua

bahwa hal ini akan berhenti dengan sendirinya dan agar lebih efektif dilakukan beberapa

terapi, jadi diharapkan agar orang tua tidak menghukum anak karena nocturnal enuresis

akan memperberat keadaan anak tersebut.

2.8 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Nocturnal enuresis dapat sembuh spontan tanpa diobati pada 10-20% kasus per tahun.

Penyembuhan terjadi bila orang tua dan anak sabar menunggu. Akan tetapi, bila tidak ada

penanganan dan peran orang tua dalam mengatasi nocturnal enuresis, dapat berkembang

menjadi gangguan psikogenik atau kecemasan.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

 Behrman, Richard E. & Vaughan, Victor C. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta: EGC.

 Hockenberry & Wilson. (2007). Wong’s Nursing care of Infants and Children 8 th ed. St Louis

Missouri: Elsevier.

 Klukylo, William M. & Kay, Jerald. (2005). Clinical child psychiatry 2nd ed. West Sussex: Wiley.

Makmur, A.H., dkk. (2001). Buku ajar kesehatan anak jilid 1. Jakarta: Penerbit FKUI. Sherwood,

Lauree. (2007).

 Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai