PENDAHULUAN
Enuresis adalah istilah untuk anak yang mengompol minimal dua kali dalam seminggu
dalam periode paling sedikit 3 bulan pada anak usia 5 tahun atau lebih, yang tidak
Di Amerika Serikat didapatkan 5-7 juta anak mengalami enuresis nokturnal, laki-laki
tiga kali lebih sering dibandingkan dengan perempuan. Sekitar 15%-25% enuresis
nokturnal terjadi pada umur 5 tahun. Makin bertambah umur, prevalensi enuresis makin
menurun. Dari seluruh kejadian enuresis didapatkan 80% adalah enuresis nokturnal, 20%
enuresis diurnal, dan sekitar 15%-20% anak yang mengalami enuresis nokturnal juga
Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk
Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan
jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan buang air kecil di usia prasekolah
mencapai 75 juta anak. Namun demikian, masih ada sekitar 30% anak umur 4 tahundan
10% anak umur 6 tahun yang masih takut ke kamar mandi terlebih pada saat malam hari.
Menurut Child Development Institute Toilet training pada penelitian American Psychiatric
Association, dilaporkan bahwa10-20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia10 tahun, hampir
Pada umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun. Pada anak usia 3
tahun, 75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari. Pada usia 5 tahun, sekitar
10-15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu. Pada usia 10 tahun
masih ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang masih
mengompol.
mengalami gangguan perilaku internal ataupun eksternal. Anak akan merasa rendah diri,
tidak percaya diri, atau lebih agresif. Walaupun sekitar 15% anak yang mengalami enuresis
dapat mengatasi sendiri atau remisi secara spontan tiap tahunnya, namun jika enuresis tidak
mendapatkan penanganan dini dan tepat akan berdampak terhadap perkembangan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Enuresis adalah pengeluaran urine involunter di waktu siang atau malam hari pada anak yang berumur
lebih dari empat tahun, tanpa ada kelainan fisik maupun penyakit organic. Menurut Behrman (2000),
enuresis adalah pengeluaran air kemih yang terjadi diluar kemauan serta kendali penderita, yang timbul
Enuresis adalah inkontinensia urin pada anak yang dianggap cukup umur cukup umur untuk dapat
mencapai kotinensi. Enuresis digolongan sebagai diurnal (siang hari) atau nocturnal (malam hari). Anak
diharapkan tetap kering pada siang hari pada usia 4 tahun. Kering pada malam hari diharapkan tercapai pada
usia 6 tahun. Klasifikasi enuresis yang lain adalah primer (inkontinensia pada anak yang belum pernah
kering) dan sekunder (inkontinensia pada anak yang sudah pernah kering selama sedikitnya 6 bulan)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari mengenai 20%
sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira-kira 15 % anak tersebut
setiap tahun.
Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal lebih cepat
dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia 6 tahun, 10% masih
mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun sebanyak 5% juga masih ada
pematangan sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus
tahun.
Rasio odds enuresis nocturnal pada anak laki-laki dibandingkan perempuan adalah 1,4
: 1. Prevalensi enuresis di siang hari lebih rendah dari pada enuresis nocturnal, namun
laki dan 3% pada perempuan berusia 7 tahun. Diantara anak dengan enuresis, 22% hanya
meng
Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dengan
komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun menurun menjadi 6%
laki-laki dan 4% perempuan. Maka harus ada penanganan dan penjelasan pada orang tua
mengenai “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami enuresis, 15% insidensinya berkurang
pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan encopresis (pengeluaran tinja secara tidak
Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan urin. Pada laki-laki
terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak
dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml.
a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal rongga pelvis.
b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang membentuk sudut
agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos,
yaitu lapisan dalam berupa longitudinal, tengah sirkular, dan luar longitudinal.
c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan muskularis.
2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang terletak
secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut
atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra.
Persarafan kandung kemih diurus oleh saraf yang berasal dari plexus vesicalis dan plexus prostaticus yang
• Serabut motoris yang bersifat parasimpatis untuk persarafan otot destrusor melalui nervus erigentes.
Preganglion neuron parasimpatis berlokasi pada nervus parasimpatis sakral di medula spinalis pada level
• Serabut sensoris yang bersifat simpatis melalui nervus hypogastricus akan terangsang pada peregangan
kandung kemih sehingga memberi rasa penuh, terbakar dan sesak kencing. Inervasi simpatis pada kandung
kemih dan uretra berasal dari intermediolateral nuclei di region torakolumbal (torakal-10 sampai dengan
• Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah. Inervasi somatik pada rhapdospinkter uretra dan
beberapa otot perineal yang diatur oleh nervus pudendal. Serabut-serabut ini berasal dari sfingter motor
neuron yang berlokasi di cabang ventral medula spinalis sakral (sakral-2 sampai dengan sakral-4) yang
• Refleks detrusor memulai kontraksi involunter dari otot kandung kemih karena peregangan dinding dan
terjadi melalui serabut aferen dan eferen system parasimpatis dari nervus splanchnicus pelvicus. Refleks
1. Medula Spinalis
Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem simpatis dan parasimpatis.
Parasimpatis berasal dari medula spinalis sakral 2-4, yang keluar dari plexus pelvikus dan sakralis, menuju
kandung kemih sebagai nervus pudendal yang akan menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan
dilatasi sfingter interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal 11 sampai lumbal 2,
melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor a dan ß. Reseptor a terletak di bagian
leher kandung kemih dan otot polos sekitar pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah
kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi inhibisi, maka relaksasi
leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra, sehingga terjadilah miksi. Reseptor ß berada di korpus
kandung kemih, perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga terjadi
pengisian. Inhibisi menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan tekanan kandung kemih diikuti
2. Otak
Otak memiliki pusat-pusat pengendali miksi yang diliputi oleh pontine micturition center, yaitu: pusat
perangsang miksi berupa pons anterior dan hipotalamus posterior, dan pusat inhibisi pada otak tengah. Pada
saat miksi, pusat-pusat ini akan mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakral untuk memulai refleks
miksi serta inhibisi kontraksi otot sfingter eksternum kandung kemih, sehingga terjadilah pengeluaran urin.
• Ligamentum mediale puboprostaticum (pubovesicale), pada laki-laki melekat pada prostat dan dinding
belakang tulang pubis, sedangkan pada perempuan pada kolum vesika dan belakang pubis.
• Ligamentum laterale puboprostaticum yang melekat bersamaan dengan mediale menuju arcus tendineus
fascia pelvis.
• Ligamentum laterale vesicae yang melekat pada bagian posterolateral dari fundus vesicae dan berlanjut ke
Fisiologi Miksi
Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk oleh ginjal, urin
disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga
kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal,
kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup. Mekanisme miksi bergantung pada
inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi
• Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang
• Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa dibawah kendali
volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan sfingter.
Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga kurang dari 1 l per
harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari. Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-
reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat
menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan
reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor.
• Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalankan
• Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal dan eksternal.
Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan kandung kemih dengan
pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat
• Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut sehingga timbul keinginan
untuk miksi.
• Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga penghambatan uvula
• Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya dan
• Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar panggul akan
mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin
selanjutnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat menyebabkan tidak
sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks
kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan
Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak, medula spinalis, dan
ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi
keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan
pengeluaran.
Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun, jika kandung
kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan.
Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum tergang oleh relaksasi
volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan
kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter uretra eksterna dan meregangkan kandung
kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks
miksi. Pengosongan kandung kemih secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan
diafragma pernafasan yang meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk
mengosongkan isinya. Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari:
Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama beberapa menit
hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan
Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari:
• Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan mengakhiri miksi.
• Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada berbagai tingkat
• Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila jumlah urin
bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan
• Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan parietalis otak.
Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.
• Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat mengendalikan kandung
• Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan miksi dalam
waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini
usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun
• Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap.
• Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan ditempatnya.
Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga menyebabkan rasa secara sadar
bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi. Persepsi kandung
kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga memberi peringatan
bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi yang dipelajari selama toilet
training pada masa anak-anak dini dapat mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung
kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung
kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak
tepat sementara refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah
dengan mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang
berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-
neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar .
2.4 ETIOLOGI
Penyebab dari nocturnal enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa kemingkinan yang
1. Faktor Genetik
Dari anamnesa didapati bahwa salah satu atau kedua orang tua mengalami enuresis. Dari beberapa penelitian
dasar genetik enuresis ditemukan pada kembar monozigotik (identik) dan dizigotik (faternal).
2. Faktor Urodinamik
Enuresis abnormal berhubungan denga kecilnya kapasitas kandung kemih yang dipengaruhi oleh kontraksi
detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak
3. Faktor Antidiuretik
Nocturnal enuresis terjadi karena tingginya volume pengeluaran urin yang dipengaruhi adanya perubahan
hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal
enuresis didapati peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur
Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak yang terlambat berjalan juga akan
terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari
6. Faktor Psikologis
Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres
psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran
saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah
disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal
enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian
orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari
perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan
kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit
psikologis.
7. Faktor Lain
Nocturnal enuresis dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti obstruksi uretra maupun infeksi
kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi
ginjal.
Enuresis fungsional adalah pengeluaran urin involunter pada waktu siang atau malam
hari pada anak yang berumur lebih dari 4 tahun, tanpa adanya kelainan fisik atau penyakit
organik.
1.Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat tidur atau pakaian.
terjadi 2 kali dalam 1 minggu selama ≥3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan yang
3.Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal seharusnya telah
dicapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun. Sedangkan pada anak dengan
4.Tidak berhubungan dengan efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara
umum.
1.Enuresis nokturnal, yaitu enuresis yang terjadi hanya pada saat anak dalam keadaan tidur
(termasuk tidur siang), sedangkan enuresis diurnal, yaitu enuresis yang terjadi pada saat
2.Enuresis primer adalah suatu keadaan dimana anak tersebut tidak pernah mengalami
periode kontinensia atau tidak pernah kering secara konsisten. Sedangkan enuresis
sekunder adalah suatu keadaan dimana anak tersebut setidak-tidaknya mengalami kering
2.5 DIAGNOSA
Pada nocturnal enuresis gejala yang dikeluhkan berupa pengeluaran urin dimalam hari,
tanpa adanya rasa panas atau terbakar. Tetapi warna urin tetap jernih. Untuk menegakkan
1. Anamnesa
Dari anamnesa didapati onset untuk menentukan enuresis yang terjadi berupa enuresis
primer atau enuresis sekunder, frekuensi, keparahan dan bagaimana keluarga menangani
masalah ini, keadaan tidur atau saat terbangun, pancaran urin, diawali rasa sesak, dan
terjadi sekali-sekali atau terus menerus. Selain itu ditanyakan juga riwayat keluarga, dan
riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal
kronis, infeksi saluran kemih, konstipasi, serta tanyakan juga keadaan psikososial anak dan
keadaan keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi: inspeksi didaerah abdomen untuk melihat distensi abdomen
karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Sedangkan
palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum sesudah pengosongan urin dan serta awasi
Selain itu lakukan juga pemeriksaan refleks sfingter, sensasi perineal, tonus anal, cara
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan berupa urinalisis yang diperoleh setelah puasa
1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas urin atau keduanya untuk
diabetes melitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria), dan penyakit ginjal
(proteinuria). Biakan urin dilakukan sebagai tes lanjutan bila urinalisis abnormal dan harus
Foto X-Ray pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang diambil segera setelah
miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu. Urethroscopy dan ultrasaound
• Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air kecil tanpa kehendak, pada siang dan/atau
malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat dari kurangnya
pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan
• Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia
demikian, enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau dengan
• Bila enuresis berhubungan dengan suatu gangguan emosional atau perilaku, yang lazim
merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi sedikitnya beberapa kali dalam
seminggu.
• Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini enkopresis yang
diutamakan.
1. Diurnal enuresis. Diurnal enuresis merupakan keadaan enuresis yang terjadi pada siang
hari.
2. Obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pada penyakit ini terjadi penurunan pancaran
urin, nyeri, miksi terjadi siang dan malam, pyuria, demam, serta sering terjadi distensi
kandung kemih. Pada urogram didapati dilatasi kandung kemih dan saluran kemih bagian
atas. Karena terjadi obstruksi kuat yang disebabkan spasme di otot dinding pelvis
3. Infeksi saluran kemih. Infeksi yang terjadi tidak berhubungan dengan obstruksi
menimbulkan gejala frekuensi pada siang hari dan malam hari. Penyakit ini disertai nyeri
saat miksi, demam, anemi, dan pada urinalisis dijumpai sel nanah atau bakteri atau
4. Penyakit Neurogenik. Pada anak dengan kelainan cabang atau batang saraf sakralis
dapat terjadi kegagalan dalam kontrol miksi baik disiang hari maupun malam hari.
2.7 PENATALAKSANAAN
Farmakologi
ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan ke hidung. Desmopresin dapat
digunakan dalam mengurangi nocturnal enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak
memiliki efek samping, dan menunjukkan efek antienuretik yang signifikan. Tetapi
malam. Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada saat
tidur. Respon klinis obat ini bergantung pada kadar plasma dalam darah, efek sampingnya
berupa toksik dan lethal overdosis bila digunakan dalam dosis besar. Efek samping yang
terjadi dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan, mual dan muntah.
otot detrusor. Dapat juga digunakan Methaline bromide 25-27 mg sebelum tidur.
Tidur. Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan
Non Farmakologi
1. Perubahan kebiasaan, yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur, latihan menahan
miksi untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi menjadi lebih
2. Miksi sebelum tidur, dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang air kecil
3.Psikoterapi, dengan cara adanya konseling pada anak dan harus dijelaskan pada orang tua
bahwa hal ini akan berhenti dengan sendirinya dan agar lebih efektif dilakukan beberapa
terapi, jadi diharapkan agar orang tua tidak menghukum anak karena nocturnal enuresis
Penyembuhan terjadi bila orang tua dan anak sabar menunggu. Akan tetapi, bila tidak ada
penanganan dan peran orang tua dalam mengatasi nocturnal enuresis, dapat berkembang
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E. & Vaughan, Victor C. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta: EGC.
Hockenberry & Wilson. (2007). Wong’s Nursing care of Infants and Children 8 th ed. St Louis
Missouri: Elsevier.
Klukylo, William M. & Kay, Jerald. (2005). Clinical child psychiatry 2nd ed. West Sussex: Wiley.
Makmur, A.H., dkk. (2001). Buku ajar kesehatan anak jilid 1. Jakarta: Penerbit FKUI. Sherwood,
Lauree. (2007).