Secara luas diketahui bahwa bayi tidak dapat mengendalikan kandung kemih atau saluran
pembuangan. Seiring bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari untuk mulai melakukan
latihan buang air di toilet. Beberapa anak belajar menggunakan toilet pada usia 18 bulan,
yang lainpada usia 30 bulan, dan sebagainya. Pada usia berapanormalnya seorang anak sudah
harus mampu mengeridalikan kandung kemihnya? Jawabannya, ditentukan oleh norma-
norma budaya dan statistik, agak tidak pasti.
DSM-lV-TR dan berbagai sis tern klasifikasi lainnya membedakan anak-anak yang
mengompol ketika tidurdisebut enuresis nokturnal, anak-anak yang mengompol ketika
bangundisebut enuresis diurnal, dan anak-anak yang mengompol di siang dan malam hari.
Pengendalian di slang han dikuasai Iebih dahulu karena pengendalian kandung kemih jauh
lebih mudah saat seorang dalam keadaan tenjaga. Bila seorang anak tentinggal dan anak-anak
seusianya dalam pengendalian kandung kemih, biasanya hal itu terkait pengendalian pada
jam-jam tidur di malam han. DSM-IV-TR memperkirakan bahwa pada usia 5 tahun, 7 persen
anak lakilaki dan 3 persen anak perempuan masih mengompol; pada usia 10 tahun, 3 persen
anak laki-laki dan 2 persen anak perempuan; dan pada usia 18 tahun, 1 persen remaja laki-
laki dan kurang dan 1 persen remaja perernpuan. Di Amerika Serikat diagnosis enuresis
nokturnal tidak ditegakkan, menurut DSM-IV-TR, hingga si anak berusia 5 tahun.
Sebuah temuan konsisten mengenai enuresis menyatakan bahwa kemungkinan seorang anak
enuretik memiliki kerabat tingkat pertama yang juga mengompol sangat tinggi, mendekati 75
persen (Bakwin, 1973). Sebuah studi baru-baru mi di Denmark untuk pertama kalinya
menunjukkan keterkaitan genetik langsung dalam mengompol di malai harm; suatu bagian
kromosom 13 tampaknya mengandung gen bagi enuresis nokturnal (Eiberg, Berendt, &
Mohr, 1995).
Sebanyak 10 persen dan seluruh kasus enuresis disebabkan oleh kondisi medis murni, seperti
infeksi saluran unin, penyakit ginjal kronis, tumor, diabetes, dan kejang (Kolvin, McKeith, &
Meadows, 1973; Stansfield, 1973). Karena banyaknya insiden penyebab fisiologis enuresis,
sebagian besar profesional merujuk pasien enuretik ke dokter sebelum memberikan
penanganan psikologis.
Pengendalian kandung kemih, yaitu penghambatan suatu refleks alami hingga berkemih
dengan sengaja dapat dilakukan, merupakan keterampilan yang sangat kompleks. Bukti-bukti
medis mengenai aktivitas otototot panggul bawah mendukung pemikiran bahwa anak-anak
yang mengompol tidak dapat melakukan kontraksi spontan pada otot-otot tersebut di malam
hari (Norgaard, 1989a, 1989b).
Beberapa teori psikologis menganggap enuresis sebagai suatu simtorn gangguan psikologis
yang lebih umum, seperti kecernasan. Meskipun demikian, banyak peneliti berpendapat
bahwa masalah seperti kemarahan dan kecemasan merupakan reaksi atas rasa malu dan rasa
bersalah karena mengompol, bukan sebagai penyebab enuresis. Para teoris pembelajaran
berpendapat bahwa anak-anak mengompol karena mereka tidak belajar untuk terbangun di
malam han sebagai respons yang dikondisikan atas penuhnya kandung kemih atau untuk
menghambat relaksasi otot lingkar yang mengendalikan urinasi (Walker, 1995).
Penanganan Enuresis ( gangguan eliminasi )
Penanganan rumahan untuk mengompol telah melebar dan sekadar membatasi asupan cairan
hingga menidurkan anak-anak di atas bola-bola golf atau menggantungkan bukti kesalahan
seprei basahdi jendela (Houts, 1991). Sebagian besar strategi semacam itu tidak efektif.
Sama dengan itu, rnenunggu hingga si anak dengan sendirinya tidak lagi mengalami masalah
tersebutjuga bukan tindakan yang memuaskan. Hanya sekitar 15 persen anak-anak enuretik
berusia antara 5 hingga 19 tahun yang menunjukkan kesembuhan spontan dalarn waktu satu
tahun (Forsythe & Redmond, 1974).
Dua macam penanganan yang paling banyak digunakan yang dirujuk oleh profesional adalah
pemberian obat atau sistem alarm urin. Penanganan yang disebutkan terakhir pertarna kali
muncul pada tahun 1938, ketika Mowrer dan Mowrer memperkenalkan lonceng dan bantalan.
Selama bertahun-tahun penanganan mi telah terbukti sangat berhasil mengurangi atau
menghentikan mengompol. Diperkirakan 75 persen anak-anak enuretik mampu tidak
mengompol sepanjang malam karena bantuani alat yang sangat sederhana ini.
Sebuah lonceng dan sebuah baterai tersambung dengan kabel ke sebuah bantalan yang terdiri
dan dua lembar kertas metalik, lembar di bagman atas berlubanglubang, dan di antara kedua
lembaran tersebut terdapat selapis kain penyenap (Gambar 15 a). Bantalan tensebut
dimasukkan ke dalam sarung bantal dan diletakkan di bawah tubuh si anak ketika tidur.
Ketika tetesan pertama urine, yang berfungsi sebagal elektrolit, membasahi kain, sirkuit
elektris akan tersambung di antara kedua lembar kertas. Tersambungnya sirkuit tersebut akan
membunyikan lonceng atau alarm, yang segera membangunkan si anak atau tidak lama
setelah mulai mengompol. Si anak umumnya kemudian berhenti berkemih, mematikan alat
tersebut, dan pergi ke kamar mandi.
Mowrer dan Mowrer (1938) menganggap lonceng dan bantalan tersebut sebagai prosedur
pengondisian kiasik di mana suatu stimulus tak terkondisi, yaitu lonceng, menyebabkan si
anak terjaga, yang merupakan respons tak terkondisi. Lonceng tersebut dipasangkan dengan
sensasi penuhnya kandung kemih sehingga sensasi tersebut akhirnya menjadi stimulus
terkondisi yang menghasilkan respons terkondisi dalam bentuk si anak terjaga sebelum
lonceng berbunyi. Ahli yang lain mempertanyakan teori pengondisian klasik, dan
berpendapat, dalam istilah pengondisian operant, bahwa lonceng tersebut, yang membuat si
anak terbangun, berfungsi sebagai hukuman sehingga mengurangi perilaku yang tidak
dikehendaki, yaitu mengompol (Walker, Milling, & Bonner, 1988). Dalam praktiknya
lonceng tersebut biasanya juga membangunkan orang tua si anak; reaksi mereka dapat
berfungsi sebagai insentif tambahan bagi si anak untuk tidak mengompol.
Metode lain yang menggunakan pendekatan pengondisian operant lanpa bantuan alarm urin
tidak seberhasil metode dengan alarm tersebut (Houts, 2000; Houts, Berman, & Abramson,
1994). Di sisi lain, keberhasilan yang lebih besar dapat dicapai dengan memberi tambahan
pada prosedur alarm urine dasar, seperti minum dalamjumlah yang lebih banyak selama
beberapa malam berturut-turut sebelum waktu tidur (agar si anak terbiasa menahan cairan di
kandung kemih tanpa mengompol) dan memastikan bahwa si anak terbangun dan mengganti
seprei setiap kali alarm berbunyi (untuk menambah konsekuensi negatif mengompol)
(Barclay & Houts, 1995; Mellon & Houts, 1998). Alarm urine yang terbaru dipakai di tubuh
dan lebih andal dibanding bantalan ash yang diletakkan di kasur.
Pendekatan yang lain adalah penanganan farmakologis. Sekitar sepertiga pasien enuretik
yang berupaya mendapatkan bantuan profesional diberi resep obat, seperti obat antidepresan
imipramin (Tofranil) dan, baru-baru mi, desmopresin, yang meningkatkan penyerapan air
dalam gmnjal. Pemberian obat semacam itu memberikan hasil dengan cara mengubah
reaktivitas otot yang digunakan dalam berkemih (imiprammn) atau dengan
mengonsentrasikan urine dalam kandung kemih (desmopresin). Meskipun efek positif
biasanya segera terlihat, dalam sebagian besar kasus si anak mengalami kekambuhan segera
setelah pemberian obat dihentikan (Houts, 1991), dan efek samping negatif imipramin
(masalah tidur, kelelahan, sakit perut) dapat menjadi masalah.
Enkopresis berasal dari bahasa Yunani en- dan kopros, yang artinya feses. Enkopresis
(encopresis) adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang air besar yang bukan
disebabkan oleh masalah organik. Anak harus memiliki usia kronologis minimal 4 tahun, atau
pada anak- anak dengan perkemabangan yang lambat, usia mentalnya minimal 4 tahun (APA,
2000). Sekitar 1% dari anak- anak usia 5 tahun mengalami enkopresis. Seperti halnya
enuresis, gangguan ini lebih umum terjadi pada anak laki- laki.
Enkopresis jarang terjadi pada remaja usia pertengahan kecuali mereka yang mengalami
retardasi mental yang parah atau intens. Soiling (mengotori) dapat dilakukan secara sengaja
maupun tidak dan bukan disebabkan oleh maslah organik, kecuali pada kasus dengan
konstipasi (APA, 2000). Faktor- faktor predisposisi yang mungkin di antaranya adalah toilet
training yang tidak konsisten atau tidak lengkap dan sumber stresspsikologis, seperti
kelahiran saudara sekandung atau mulai bersekolah.
Bila BAB tidak disengaja, biasanya terkait dengan konstipasi, impaction (jepitan), atau
retensi (penahanan) yang mengakibatkan penegeluaran beruntun. Konstipasi dapat
berhubungan dengan faktor- faktor psikologis, seperti ketakutan yang diasosiasikan dengan
BAB di tempat tertentu atau dengan pola perilaku negative atau menetang yang lebih umum.
Konstipasi juga dapat terkait dengan faktor- faktor fisiologis seperti komplikasi dari penyakit
atau pengobatan. Yang amat jarang terjadi adalah enkopresis yang disengaja.
Soiling, tidak seperti enuresis, lebih sering terjadi pada siang hari dibandingkan malam hari.
Jadi akan amat memalukan bagi bagi anak. Teman sekelas sering menghindari atau
mempermalukan anak dengan enkopresis. Karena tinja memiliki bau yang menyengat, guru-
guru merasa kesulitan untuk berperilaku seolah- olah tidak terjadi apa pun. Orang tua juga
akhirnya sakit hati karena masalah tersebut berulang dan dapat menigkatkan tuntutan mereka
terhadap self- control dan pemberian hukuman berat bila terjadi kegagalan. Karena hal- hal
tersebut, anak mungkin mulai menyembunyikan pakaian dalam yang kotor. Anak- anak ini
membuat jarak dengan teman- temannya atau pura- pura sakit agar bisa tinggal di rumah.
Kecemasan mereka sehubungan dengn soiling meningkat. Karena kecemasan
(keterangsangan cabang simpatis dari sistem saraf otonom) mendorong BAB, control menjadi
lebih sulit.
Metode operant conditioning dapat membantu dalam mengatasi soiling. Di sini diberikan
reward (dengan pujian atau cara- cara lain) untuk keberhasilan usaha self- control dan
hukuman untuk ketidaksengajaan (misalnya, dengan member peringatan agar lebih
memperhatikan rasa ingin BAB dan meminta anak untuk membersihkan pakaian dalamnya).
Bila enkopresis bertahan, direkomendasikan evaluasi medis dan psikologis untuk menentukan
kemungkinan penyebab dan penanganan yang tepat.
Belum diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab anak mengalami encopresis. Meski
begitu, kalau mau dirunut ada beberapa faktor yang mengontribusi terjadinya encopresis
yaitu:
1. Stres
Anak mengalami beban pikiran yang tak terselesaikan. Entah itu masalah di sekolah atau di
rumah. Misalnya, masalah pelajaran yang terlalu berat atau lingkungan sekolah yang
membuatnya tak nyaman. Permasalahan dengan orang tua, seperti merasa kurang
diperhatikan atau kurang kasih sayang, juga dapat menjadi beban pikiran.
4. Makanan/Minuman
Encopresis juga bisa dipicu oleh asupan makanan yang kurang baik yang menyebabkan
gangguan di saluran pencernaan. Misalnya sering menyantap makanan berlemak tinggi,
berkadar gula tinggi atau junk food. Minuman yang mengandung banyak gula dan soda juga
bisa mencetuskan terjadinya encopresis.
5. Trauma
Contohnya, akibat sembelit atau kesulitan mengeluarkan tinja karena keras. Lama-kelamaan
anak menjadi trauma karena setiap kali BAB ia merasa sakit. Untuk menghindari rasa sakit
itu, ia jadi sering menahan untuk tidak BAB.
6. Obat-obatan
Encopresis juga bisa terjadi karena efek obat-obatan yang bisa menyebabkan terhambatnya
pengeluaran kotoran. Misalnya, obat batuk yang mengandung zat seperti codein. Encopresis
terjadi karena obat tersebut tak cocok atau dipakai dalam jangka panjang.
7. Kegagalan toilet training
Pengajaran atau pelatihan buang air (toilet training) yang dilakukan dengan memaksa anak,
cepat atau lambat akan menjadi tidak efektif. Begitu pula kalau misalnya anak yang BAB di
celana lantas dimarahi orang tua.
Anak yang mengalami encopresis akan mengalami berbagai masalah emosi, seperti rendah
diri, tak mau bersosialisasi atau menarik diri dari pergaulan. Ia juga akan merasa malu, takut
dicemooh, atau khawatir dimarahi. Belum lagi secara fisik, anak mengalami nyeri di bagian
perut karena berusaha menahan BAB.
Akhirnya, kotoran yang harusnya dibuang tetapi tertahan di dalam perut. Dalam beberapa
kasus encopresis menyebabkan infeksi pada salurah kemih karena kebiasaan menahan BAB.
Ada juga yang mengalami gangguan iritasi kulit atau jamur karena kebersihan tak terjaga.
Kalau sudah begitu, anak juga akan kehilangan nafsu makan sehingga rentan sakit.
Salah satunya adalah terapi yang bisa dilakukan kalau anak selalu menahan BAB karena
merasa jijik dan tak mau masuk ke kamar mandi umum:
* Tanamkan bahwa tidak semua kamar mandi umum/sekolah akan resik dan wangi sesuai
dengan harapannya.
* Tak ada salahnya anak selalu dibekali tisu, masker, dan pengharum ruangan untuk lebih
menyamankannya saat di toilet umum.
* Yang pasti, jangan beri anak pembalut untuk mengatasi encopresis-nya. Ini justru tak
mendidik.
* Jika masalah psikologis anak tampak berat, sampai stres atau trauma misalnya, ada baiknya
orang tua dan anak duduk bersama membahas permasalahan yang dihadapi. Jika perlu
konsultasikan dengan psikolog.
* Terapkan pola makan yang baik dan teratur. Usahakan banyak mengonsumsi makanan
berserat, sayuran, buah-buahan, serta susu. Kurangi konsumsi makanan berlemak tinggi, junk
food, dan soft drink.
* Kepada anak yang selalu merasa nyeri saat mau BAB bisa diberikan obat-obatan untuk
pengencer tinja. Namun, penggunaanya harus tetap berdasarkan rekomendasi dokter.
* Ajarkan untuk melakukan BAB secara teratur, misalnya pagi atau malam hari.
* Yang pasti, anak jangan disalahkan atau dicemooh kalau mengalami encopresis.
Mestinya orang tua selalu mendukung dan membantu kesulitan anak.
1. A. Definisi
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria
atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas
gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang
mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002).
Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan
perasaan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan
perempuan.
Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan
dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara
kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender
role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas
kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau
feminim.
Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual
dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap
abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Gangguan identitas gender bermula di masa kanak-kanak hal itu dihubungkan dengan
banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian seperti lawan jenisnya, lebih suka
bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, dan melakukan permainan yang secara umum
dianggap sebagai permainan lawan jenisnya. Gangguan identitas gender pada anak-anak
biasanya teramati oleh orang tua ketika si anak berusia antara 2-4 tahun (Green & Blanchard,
1995).
1. B. Criteria Diagnostic
1. 1. Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan
bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya)
2. 2. Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya
3. 3. Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang
dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
4. 4. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai
dengan stereotip lawan jenisnya
5. 5. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana
biasanya pada usia anak anak lebih tertarik untuk mempunyai teman
bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa dapat
diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya,
berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
6. 6. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya
sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
7. 7. Tidak terdapat kondisi interseks.
8. 8. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau
sosialisasi atau yang lainnya.
9. 9. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak anak
mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung
sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau
lesbian.
2. C. Kriteria gangguan Identitas Gender dalam DSM IV-TR
Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simton seperti keinginan untuk menjadi
lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan
jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis.
Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa
terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut.
1. a. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya; pada laki-laki merasa
jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya
waktu; tidak menyukai permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak perempuan,
menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk; yakin bahwa penis akan tumbuh;
merasa tidak suka dengan payudara yang membesar dan menstruasi; merasa
benci/tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional
2. b. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal di antaranya;
keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui
pemberian hormone dan/atau operasi; yakni bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin
yang salah
1. D. Perspektif
1. a. Biologis
Jenis kelamin bayi manusia ditentukan oleh kromosom. Laki-laki memiliki kromosom Y,
selain kromosom X, sementara perempuan memiliki dua kromosom X. Kromosom Y
mengandung gen yang dikenal sebagai faktor penentu testis. Gen ini menyebabkan sel-sel
dalam embrio untuk membedakan dan mengembangkan alat kelamin laki-laki. Embrio tanpa
faktor penentu testis terus mengembangkan dibedakan sebagai perempuan.
Testis laki-laki yang baru terbentuk melepaskan sejumlah besar hormon laki-laki selama
bulan ketiga kehamilan, lebih meningkatkan diferensiasi laki-laki. Ini lonjakan tiba-tiba
terjadi lagi hormon pada pria kadang-kadang antara minggu kedua dan kedua belas setelah
kelahiran. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada lonjakan feminisasi sesuai urutan diamati
hormon pada wanita pada usia ini.
Teori biologistelah difokuskan padajumlahdan jenishormonantenatalyang datang
dalamkontak denganjanin. Secara khusus, jika janinterkenatingkat yang
sangattinggitestosteron, terdapat buktibahwa sepertijaninakan mengembangkanidentitaspria,
bahkan jikabayi lahirdan dibesarkansebagai seorang gadis. Juga, jika
janinterkenakelebihanandrogenatau kekuranganhormonandrogen, maka
genderatipikalperilaku telahdiamati dalamstudi penelitian(Cohen-Kettenis &Gooren, 1999).
KasusReimerdapat digunakansebagai sumberutamadukungan untukpenelitian denganteori-
teoribiologis seperti, karena itu adalahcontoh yang jelasalamversus pengasuhan, di mana
alamakhirnyamenang.
Menurut teori Toone, ketidakseimbangan hormon kehamilan dapat mempengaruhi individu
untuk thedisorder. Masalah dalam interaksi keluarga individu atau keluarga dynamicsmay
memainkan peran.
1. b. Psikologis
Teori Psikologis menunjukkan faktor lingkungan sebagai pengaruh kunci dalam etiologi
GID. Penelitian sampai saat ini menunjukkan perbedaan yang jelas berbagai penyebab GID
antara anak perempuan dan laki-laki. Namun, kesamaan dalam menyebabkan titik ke GID
sebagai mekanisme coping untuk stressor lingkungan yang dihadapi individu. Karena tidak
ada temuan yang jelas tentang kausalitas telah ditentukan, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengembangkan teori psikologi yang komprehensif tentang etiologi GID. Di sisi lain,
teori-teori psikologi mengidentifikasi pengaruh orang tua, kebutuhan primer, dan kognisi
pribadi sebagai faktor utama yang menyebabkan GID, dengan atau tanpa membutuhkan
diatesis biologis. Dalam makalah ini, ikhtisar dari beberapa teori psikologi akan disajikan.
Pengaruh orang tua adalah yang paling banyak dipelajari dan tampaknya menjadi kekuatan
yang paling kuat dalam genesis GID, terutama peran ibu. Pada atau bahkan sebelum rahim,
kebanyakan orangtua mengekspresikan preferensi seks untuk mereka anak-to-be. Menurut
Zucker dan Bradley (1995), sifat psikologis umum bahwa ibu dari anak laki-laki dengan GID
miliki adalah kebutuhan untuk memelihara dan dipelihara oleh seorang anak perempuan.
Sangat kecewa karena tidak memiliki anak perempuan, seorang ibu yang memutuskan untuk
menjaga anaknya bisa memberinya varian dari nama perempuan, lintas-baju dia, atau
memperlakukan dia seperti seorang gadis. Namun demikian, dalam mempelajari anak-anak
ini, hubungan ibu-anak yang terlalu dekat dan pelindung sering ditemukan.
1. c. Sosiokultural
Perspektif penting yang muncul dalam psikologi dalam beberapa tahun terakhir disebut
perspektif sosiokultural. Seperti teori belajar sosial, pendekatan sosial budaya didasarkan
pada asumsi bahwa kepribadian kita, keyakinan, sikap. dan keterampilan yang dipelajari dari
orang lain. Pendekatan sosial budaya berjalan lebih lanjut, namun, dalam menyatakan bahwa
adalah mustahil untuk memahami seseorang tanpa memahami budaya-nya, identitas etnis,
identitas gender, dan faktor-faktor lain yang patut incportant 'sosiokultural (Miller, 1999;
Phinney, 1996a).
Suatu istilah yang penting untuk perspektif sosial budaya adalah identitas gender. Istilah ini
mengacu pada pandangan seseorang tentang dirinya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan.
Sebagai anak laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan orang tua mereka. saudara. guru.
dan teman-teman, mereka belajar apa artinya menjadi seorang laki-laki atau perempuan
dalam masyarakat mereka. Di Amerika Serikat, misalnya. laki-laki secara tradisional telah
diajarkan untuk menjadi kuat dan tegas. sedangkan perempuan telah diajarkan untuk
memelihara dan lembut. Dan, meskipun langkah telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir
untuk mengurangi pembentukan dari dua jenis kelamin dalam peran seks yang sempit,
dampak sosialisasi semacam ini memiliki dampak pada masing-masing identitas gender kita.
1. E. Prevensi
Menyediakan gender yang sesuai pakaian dan mainan pada masa bayi dan anak usia dini
sangat membantu dalam mencegah atau mengurangi gangguan identitas gender. Menghindari
komentar menghina tentang mainan anak, pakaian, atau preferensi aktivitas mengurangi
potensi bahaya psikis sengaja.
Kebanyakan individu dengan gangguan identitas gender memerlukan dan menghargai
dukungan dari beberapa sumber. Keluarga, serta orang dengan gangguan tersebut, perlu dan
menghargai informasi dan dukungan. Lokal dan nasional kelompok dukungan dan layanan
informasi yang ada, dan penyedia perawatan kesehatan dan profesional kesehatan mental
dapat memberikan arahan.
Orang yang mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh
umumnya diminta untuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai
gender yang diinginkan (harry Benjamin Internasional Gender Dysphoria Assosiation, 1998).
Terapi umumnya tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin
dialami orang yang bersangkutan, namun juga pada berbagai pilihan yang ada untuk
mengubah tubuhnya. Banyak transeksual juga mengonsumsi hormone agar tubuh mereka
secara fisik lebih mendekati keyakinan mereka tentang gender mereka. Banyak yang
mengalami gangguan identitas gender tidak menggunakan metode yang lebih jauh dari itu,
namun beberapa orang mengambil langkah tambahan dengan menjalani operasi perubahan
kelamin.
Operasi perubahan kelamin adalah operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih
sama dengan kelamin lawan jenis. Dalam operasi perubahan kelamin laki-laki ke perempuan,
alat kelamin laki-laki hampir seluruhnya di buang dan beberapa jaringan dipertahankan untuk
membentuk vagina buatan. Minimal setahun sebelum operasi, berbagai hormone perempuan
dikonsumsi untuk memulai proses perubahan tubuh. Sebagian besar transeksual laki-laki ke
perempuan harus menjalani elektrolisis yang ekstensif dan mahal untuk menghilangkan bulu-
bulu di wajah dan tubuh dan mendapatkan pelatihan untuk menaikkan nada suara mereka,
hingga hormone-hormon perempuan yang dikonsumsi membuat bulu-bulu tidak lagi tumbuh
dan suaranya menjadi kurang maskulin. Operasi kelamin itu sendiri biasanya tidak dilakukan
sebelum berakirnya masa uji coba selama satu atau dua tahun. Hubungan seks heteroseksual
konvensional dimungkinkan bagi transeksual laki-laki ke perempuan, meskipun kehamilan
tidak akan mungkin terjadi karena alat kelamin bagian luar di ubah.
Proses perubahan kelamin perempuan ke laki-laki dalam beberapa hal lebih sulit, namun,
dalam beberapa hal lain lebih mudah. Di satu sisi, penis yang di buat melalui operasi
berukuran kecil dan tidak mengalami ereksi normal sehingga dibutuhkan alat bantu buatan
untuk melakukan hubungan seksual konvensional. Di sisi lain, lebih sedikit penanganan
kosmetik lanjutan yang diperlukan di banding pada transeksual laki-laki ke perempuan
karena hormon laki-laki yang yang di konsumsi perempuan yang ingin berubah gender secara
drastic mengubah distribusi lemak dan menstimulasi pertumbuhan bulu-bulu di wajah dan
tubuh. Operasi perubahan kelamin merupakan pilihan yang sering kali diambil oleh laki-laki
daripada perempuan.
B. Fisiologi rambut
V. DIAGNOSIS
VIII. PENATALAKSAAN
Penatalaksanaan utama pada trikotilomania adalah dengan terapi pengendalian
perilaku, namun obat-obatan juga dapat membantu. Terapi medikamentosa tidak dapat
menyembuhkan penyakit ini, tujuan pemberian obat-obatan hanya untuk mengurangi gejala
pada pasien sehingga pasien dapat menahan keinginan untuk tidak mencabut rambutnya
lagi.10
A. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
CBT adalah bentuk terapi yang bertujuan untuk mengubah perilaku dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu rambut tersebut ditarik.7 Terapi perilaku kognitif
dapat diperlihatkan ke pasien dan diajarkan strategi positif yang fleksibel, sering digabung
dengan latihan keterampilan sosial. metode CBT iniharus dilakukan olehpsikologterlatih
danberpengalaman dalamtrikotilomania.11,12
B. Terapi Farmakologi
Beberapa obat yang telah mengurangi keparahan gejala TTM pada beberapa
individu.Antidepresan, clomipramine,asam aminodan N-asetil sistein, telah menunjukkan
manfaat paling efektif.Sebuah golongan obat yang disebut sebagai selektif serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), yang paling umum dikenalprozac, telah menunjukkan hasil yang beragam.
Sebagian orang yang menggunakan obat ini mereka berhenti sama sekali menarik rambut
mereka. Sementara yang lain merasa tidak berpengaruh sama sekali.Tetapi ada juga orang
yang masih merasakan dorongan untuk menarik rambut merekanamun berkurang sedikit
demi sedikit selama beberapa periode waktu.Selain pengobatan di bidang psikiatri, terdapat
obat-obatan di bidang dermatologi yang dapat diberikan terutama untuk mengurangi gejala
yang dapat menyebabkan pasien mencabuti rambutnya. Rasa gatal dapat dikurangi dengan
pemberian kortikosteroid topikal atau dengan pemberian obat anti histamin.12,13
C. Terapi Alternatif
Ada laporan hasil penelitian bahwa beberapa orang dengan TTMtelah dibantu oleh
berbagai terapi alternatif,termasuk hipnosis, biofeedback, perubahan pola makan,
danberolahraga.10
IX. PENCEGAHAN
Referensi pencegahan gangguan trikotilomania belum banyak,kemungkinan dengan
tata laksana pada kondisi ketegangan yang dialami penderita bisa membuat hal ini tidak
terjadi. Teknik terapi perilaku yang dikenal sebagai "substitusi perilaku" atau teknik
"pengganti perilaku". Ini merupakan cara yang baik. Selain itu hindari faktor pencetus seperti
stress dandepresi dengan berupaya untuk rileks, perhatian orang tua juga berperan penting
dalam pencegahan trikotilomania ini.6
X. PROGNOSIS
Prognosis pasien trikotilomania ini bonam karena bila ditemukan pada usiamuda
perilaku kompulsif ini dapat hilang dalam waktu dekat dengan adanya dukungan dari orang
tua pasien. Sehingga bila ditemukan di usia muda semakin baik prognosisnya.5