Anda di halaman 1dari 11

Clinical Science Session

KORIOAMNIONITS

Oleh:

Miqdad Arya Putra 1410311118

Sahyudi Darma Asepti 1410311122

Preseptor:

dr. Pom Harry Satria, SpOG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi intrauteri (IIU) merupakan infeksi bakteri di dalam uterus terjadi


antara jaringan ibu dan membran janin (yaitu di dalam rongga koriodesidua), di
dalam membrane bayi (amnion dan korion), di dalam plasenta, di dalam cairan
amnion, atau di tali pusat atau janin.1
Infeksi intrauteri atau yang sering dikenal dengan korioamnionitis yang
disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme telah diketahui sebagai penyebab
paling sering pada beberapa kasus ketuban pecah, persalinan preterm atau keduanya.
Kurang lebih 40% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi intrauteri. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Cox, 1996 didapatkan bakteri pada amniosentesis dari
20% wanita yang mengalami persalinan preterm tanpa gejala klinik infeksi atau
selaput ketuban utuh. Penelitian yang dilakukan Hauth dkk menunjukkan adanya
hubungan signifikan antara korioamnionitis dan meningkatnya kejadian persalinan
preterm spontan. Persalinan preterm masih merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas pada neonatus dan menyebabkan 75% kematian neonatal tiap
tahunnya tanpa disertai anomaly kongenital.1

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Korioamnionitis
Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan
amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari
chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus
preterm.2,3
Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan
pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan
berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh
beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-
kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis
meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. 3

Gambar 2.1

1.2.1 Etiologi

3
Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari
traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus,
atau rektum dan menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor
resiko terjadinya korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama.
Mycoplasma genital, seperti ureaplasma urealyticum dan mycoplasma hominis
(genital mycoplasma), organisme ini memicu efek reaksi inflamasi mempengaruhi
ibu dan fetus khususnya pada mur kehamilan preterm. Biasanya organisme ini
terisolasi dalam cairan amnion pada persalinan preterm atau pada ketuban pecah dini
tanpa tanda-tanda korioamnionitis. Genital mycoplasma ditemukan pada traktus
genital bawah (vagina atau servik) sedangkan keberadaannya di traktus genital atas
( uterus dan atau tuba falopi) dan korioamnion sangat jarang terjadi (<5%) pada saat
tidak saat bersalin atau ketuban pecah.4

Bakteri anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti


Gardnerella vaginalis dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B
Streptococcus (GBS 15 %) dan bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli.
Organisme-organisme ini merupakan flora normal vagina dan flora normal enterik.
Biasanya korioamnionitis disebabkan oleh penyebaran secara hematogen ke placenta
karena bakteri dan virus.4,5

1.2.2 Patogenesis
Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi
korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya
disebabkan oleh infeksi secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia
bawah (cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan
infeksi iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik
villous jarang menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via
tuba falopi. Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari
maternal dan fetal sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin
dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan
tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin,

4
pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm atau preterm pada
umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon
inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white matter, yang
akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka pendek
dan jangka panjang lainnya.4

Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi


intramnion, namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam
pencegahan infeksi. Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang
terdapat di placenta dan membrannya memberikan perlindungan barier untuk
mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus. Lactobacillus yang memproduksi
peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora normal juga dapat
menahan virulensi mikroorganisme pathogen.3,4

Gambar 2.2

1.2.3 Manifestasi Klinis

5
Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain
demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau
keluar dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik,
gejala-gejala tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin
dapat diperiksa dengan ultrasound dan kardiotokografi.2,5

Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan


suhu 38 celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada
ibu selama persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh
korioamnionitis kecuali dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan
janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus. Leukositosis material semata-mata
tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis.4

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala pada Korioamnionitis

Demam Temperatur > 38 C

Maternal Takikardi >100/menit

Fetal Takikardi >160 / menit

Nyeri tekan pada fundus Nyeri pada palpasi

Lochea Lochea yang bau.

1.2.4 Pemeriksaan Penunjang

Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau


kultur pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis

6
biasanya dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan
apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah
induksi perlu dilakukan). Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari
differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan
memperediksi kematangan paru.4

Tabel 2.2 Parameter Cairan Amniotik

Kultur Pertumbuhan mikroba

Pewarnaan gram Bakteri atau leukosit

Kadar glukosa <15 mg/dl

IL-6 >7,9 mg/ml

Matrix metalloproteinase +

Jumlah leukosit >30/mm

Leukosit esterase Positif (dipstick)

1.2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba,


antipiretik, dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus
dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di
vagina dan serviks. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap
6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5
mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari. Klinadamisin, 900 mg setiap 8
jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk
pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin. Antibiotik

7
biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak
demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum.4,6,7

Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan


perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau
akselerasi persalinan.6 Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca
persalinan. Hal ini akan mencegah / menghambat invasi mikroorganisme melalui
sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus.4

1.2.6 Komplikasi

a. Komplikasi Maternal

Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara


perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses
pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum
hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena
adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang
positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi
lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang terjadi.4

b. Komplikasi Fetus

Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis


neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. 3,4

c. Komplikasi jangka panjang untuk neonatus

Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat


menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul
termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia,

8
intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan
kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.3,4

2.7 Prognosis

Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan


prognosis, segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan
memperburuk prognosa janin.6 Hasil penelitian Alexander JM, Gilstrap LC, Cox SM,
McIntire DM, dan Leveno KJ menunjukkan adanya hubungan antara indeks
korioamnionitis dan beberapa klinis morbiditas neonatal pada bayi berat badan lahir
sangat rendah.8 Korioamnionitis tampaknya membuat bayi berat lahir sangat rendah
sangat rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka pendek bagi
neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi.
Morbiditas kelainan neurologi pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat
persalinan, bukan karena komplikasi karena korioamnionitis.8

Segera berikan antibiotika profilaksis pada neonatus yang lahir dari ibu
dengan korioamnionitis. Sehingga dapat memberikan prognosa yang baik bagi
neonatus. Ibu dengan korioamnionitis yang tidak segera melahirkan anaknya dapat
meningkatkan morbiditas terjadinya sepsis bagi ibu. Sehingga prognosa buruk dapat
didapatkan oleh ibu yang tidak dapat melahirkan segera bayinya.3

1.2.8 Pencegahan

Manajemen dari Preterm Premature Rupture Membrane (PPROM) adalah


penyebab utama terjadinya korioamnionitis. Pemberian antibiotik profilaksis atau
latency, biasanya ampicillin dan eritromisin telah diuji dalam menurunkan angka
kematian neonatus, penyakit paru kronis,atau hasil ultrasound cerebral yang
abnormal. Antibiotic telah menunjukkan menurunkan insiden korioamnionitis dan
sepsis neonatus dan pada persalinan dengan partus lama dengan ketuban pecah dini
kecuali pada persalinan fase aktif dengan ketuban utuh. Amoksisilin / klavulanik

9
kombinasi antibiotic harus dihindari untuk indikasi ini karena potensial meningkatkan
resiko necrotizing enterocolitis.3,4

DAFTAR PUSTAKA

10
1. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL,
eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA:
Churchill Livingston; 2002:1301-3
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
3. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology, 12 nd. 2012: chapter 8.
Baltimore, Maryland: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Cunningham, F.Gary. Obstetri Williams, 21 nd. Vol 2. 2005. Jakarta : EGC.
5. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on
the internet) Diunduh tanggal 8 Agustus 2016. Pada
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/.
6. Intauterine infection and preterm delivery, NEJM vol 342 no 20

7. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants Diunduh
tanggal 8 Agustus 2016. Pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142.
8. William Obstetricss, 22 nd. “ Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and
Membranes”. 2007; chapter 36. New York : The McGraw-Hill Companies. Inc.

11

Anda mungkin juga menyukai