Tujuan :
1. Mempertahankan gaya hidup sehat
2. Meyakinkan kepatuhan pasien berobat
3. Mendidik pasien dan keluarga tentang Penyakit jantung korone
4. Memotivasi pasien dan keluarga melakukan aktifitas secara bertahap hingga
mencapai aktifitas sebelumnya.
Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan yang diberikan adalah mengajak pasien dan keluarga untuk
mengubah gaya hidup yang sehat agar tidak terjadi infark berulang.
Gaya hidup
Pasien yang pernah mengalami IM secara khusus diberikan pemahaman untuk
memperbaiki kualitas hidupnya dan untuk mencegah terjadinya IM berulang dengan
berhenti merokok, memilih makanan sehat, melakukan aktifitas fisik sesuai
kemampuan. Menurunkan atau menghindari obesitas penting untuk pencegahan
primer. Dengan perubahan gaya hidup seperti ini keperluan untuk penggunaan terapi
seumur hidup dapat dihindari.
Berhenti merokok
Merokok dapat merusak transportasi oksigen sedangkan pada pasien paska IM perlu
sediaan oksigen yang baik. Dengan berhenti merokok dan menghindakan didi sebagai
perokok pasif diharapkan dapat memelihara dan mmemenuhi kebutuhan oksigen
dengan baik
Melakukan pemilihan makanan sehat
Peran keluarga penting dalam tanggung jawab untuk membeli dan menyiapkan
makanan. Anjuran diet yan diperlukan pasien adalah mengurangi konsusmsi lemak
jenuh atau konsumsi kolesterol kurang dari 300 mg/hari, meningkatkan konsumsi
sayur , gandum atau buah segar 800 gr/hari, mengurangi asupan kalori bila perlu
menurunkan berat badan, mengurangi konsumsi garam dan alcohol bila ada tekanan
darah tinggi.
Meningkatkan aktifitas pasien dengan memulai rehabilitasi dini paska IM
Memberikan pemahan pada pasien dan keluarga pentingnya aktifitas fisik secara
bertahap. Aktifitas yang dilakukan dapat memperlancar aliran darah sehingga
tmencegah terjadinya aliran gangguan kolateral. Selain itu dengan aktifitas fisik energi
terbakar sehingga membantu menurunkan berat badan dengan aktifitas pula dapat
mempengaruhi tonus otot abdomen sehingga dapat merangsang peristaltik dan
konstipasi dapat dihindari.
Menurunkan berat badan
Obesitas dapat meningkatkan tahanan perifer dan beban jantung serta meningkatkan
kerentaran faktor faktor lain seperti infeksi. Untuk itu penting bagi pasien paska IM
menurunkan berat badan dengan melakukan aktifitas fisik sehingga lemak yang ada
dalam tubuh dapat berkurang sehingga menurunkan resiko terjadinya plague arteri.
Mengontrol Tekanan Darah
Hipertensi menyebabkan peningkatan tahanan perifer yang merusak intima arteri dan
menyebabkan arterosklerosis. Dengan mengontrol tekanan darah diharapkan dapat
menurunkan resiko terjadi infark ulang.
Mengontrol gula darah
Mengotrol gula darah memiliki efek positif pada penyakit mikrovaskuler diabetes dan
komplikasi lainnya. Dalam hal ini derajat hiperglikemia berkaitan dengan peningkatan
resiko aterosklerosis. Penderita diabetes mempunyai resiko lebih tinggi infark ulang
dibanding yang nondiabetes.
Terapi farmakologi
Pasien dan keluarga perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya disiplin dalam
pengobatan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. Adapun obat obat
yang perlu dikonsumsi adalah :
a. F Aspirin (75 - 300 mg/ hari), atau ticlopidin bila tidak dapat mentolerir aspirin
b. F Penyekat Beta yang dapat menurunkan resiko terjadi infark berulang
c. F ACE pada penderita dengan gejala gagal jantung pada saat terjadi infark akut
atau disfungsi sistolik ventrikel kiri yang persisten (fraksi ejeksi < 40%)
d. F Antikoagulan paska Infark Miokard untuk pasien pasien dengan resiko
tromboemboli, termasuk mereka yang mengalami infark miokard luas, anurisma
atau thrombus ventrikel kiri, takiaritmia paroksismal, gagal jantung kronis dan
yang memiliki riwayat tromboemboli.
e. F Penurun Lipid. Pada pasien dengan kadar kolesterol tinggi sebaiknya diberikan
golongan statin sedang pada kadar LDL normal dan LDL rendah diberikan
golongan fibrat.
Rehabilitasi Jantung pada Infark Miokard
Tujuan dari suatu rehabilitasi jantung adalah untuk meminimalisasi efek samping secara
fisiologis maupun psikologis dari penyakit jantung, untuk menurunkan angka meninggal
mendadak, infark ulangan, untuk mengurangi gejala penyakit jantung, untuk
menstabilkan atau memutar balikkan proses atherosklerosis, dan mengembalikan
status psikologis penderitanya. Dalam pelaksanaan rehabilitasi jantung diarahkan oleh
dokter, tetapi pelaksanaannya dapat dilakukan oleh berbagai praktisi profesional
kesehatan. 1,8
Rehabilitasi Jantung sendiri terbagi lagi dalam 4 fase, yaitu:
Fase I : fase perawatan di rumah sakit
Tujuan dari rehabilitasi pada fase ini adalah untuk mempercepat proses pemulihan, dan
meminimalisasi resiko dari istirahat berkepanjangan dan immobilisasi, seperti deep vein
thrombosis dan pelemahan otot. Meskipun secara psikologis merupakan fase yang
sangat rawan, periode ini merupakan peluang yang sangat baik untuk memulai
perubahan gaya hidup, seperti berhenti merokok. Penelitian mengindikasikan
pemberian informasi / edukasi yang berkaitan dengan kesehatan pada fase ini terbatas,
dapat dimulai setelah 4 6 hari, dan lebih aman 1 2 minggu setelah infark myokard.
Komplikasi dari aktifitas terhadap infark miokard mencakup ruptur jantung, terbentuknya
aneurysma, perluasan daerah infark, gagal jantung dan aritmia. Sebelum
dilaksanakannya latihan fisik harus dilakukan seleksi terlebih dahulu untuk
kontraindikasi latihan fisik. 16
Protokol pelaksanaan latihan fisik rehabilitasi jantung pada penderita paska infark
myokard bersifat submaksimal atau dibatasi terhadap keluhan. Protokol submaksimal
memiliki hasil akhir yang telah ditentukan, yaitu denyut jantung maksimal 120 denyut
per menit atau 70 % dari perkiraan denyut jantung maksimal, atau setinggi 5 METs. Tes
yang dibatasi gejala dibentuk untuk terus melaksanakan latihan hingga munculnya
tanda dan gejala yang memaksa dihentikannya tes, protokol yang paling sering
dipergunakan adalah modified Bruce, modified Naughton dan Bruce standar. 3
Tabel 1. Kontraindikasi untuk tes Latihan Fisik 19
Infark Myokard Akut
Angina Pectoris tidak stabil
Emboli paru
Thrombus intrakardiak
Aorta stenosis sedang- berat
Aritmia ventrikel yang tidak tekontrol
Aneurysma ventrikel yang mambesar CHF yang tidak terkontrol
Perikarditis atau myookarditis akut
Diabetes yang tidak terkontrol
Penyakit sistemik akut atau demam
Stress emosional yang signifikan
Tekanan darah diastolic >120 mmHg atau tekanan darah sistolik >200 mmHg
Rehabilitasi Pasien Rawat Jalan
Setelah dipulangkan dari perawatan, pasien akan menjalani program rehabilitasi
selanjutnya yang disusun oleh tim rehabilitasi profesional. Program pada tahap ini
mencakup fase II dan fase III, di mana dalam pelaksanaannya melingkupi latihan fisik,
perubahan faktor resiko dan perubahan gaya hidup. Pada fase ini program juga
disesuaikan dengan hasil evaluasi awal, dan dalam perjalanannya juga disesuaikan
dengan perkembangan pasien. 16
Latihan Fisik
Latihan fisik didefinisikan sebagai mempertahankan kebiasaan beraktifitas fisik, pada
tingkatan yang lebih berat dari yang biasanya dikerjakan. Selama latihan fisik didapati
beberapa kompensasi kardiovaskular, sebagai tanggapan dari rangsangan yang
muncul. Pusat pengendalian system kardiovaskular yang terletak di medulla
ventrolateral akan memberikan respon terhadap rangsangan dari sentral maupun
periferal. Rangsangan sentral dapat berasal dari pusat somatometer, sementara
rangsangan periferal dihasilkan oleh mekanoreseptor (otot, sendi dan sistem pembuluh
darah), kemoreseptor (otot dan sistem pembuluh darah) serta baroreseptor (sistem
pembuluh darah). Latihan fisik akan meningkatkan denyut nadi secara cepat melalui
rangsangan pada otot mekanoreseptor dan penekanan respon vagal, selanjutnya
rangsangan simpatis dan katekolamin juga akan berperan. Isi sekuncup juga akan
mengalami peningkatan karena meningkatnya darah balik dan pengaruh langsung dari
neurohormonal. Peningkatan denyut jantung dan isi sekuncup tentunya akan diikuti
dengan peningkatan curah jatung, dan pengisian dari ventrikel. 3,17
Program latihan fisik dapat disusun untuk meningkatkan kekuatan otot, katahanan otot,
ataupun performa dinamis. Latihan Isometrik melibatkan pembentukan tegangan otot
terhadap tahanan dengan pergerakan yang minimal atau tanpa pergerakan. Meski
latihan ini meningkatkan massa otot tetapi tidak memberikan manfaat terhadap jantung.
Latihan isometrik lebih meningkatkan tekanan terhadap jantung daripada peningkatan
aliran ke jantung, aliran tidak dapat banyak meningkat karena adanya tekanan yang
lebih tinggi pada aktifitas otot. Latihan dinamik, atau latihan isotonik, melibatkan
pergerakan banyak otot yang berirama, dan membutuhkan peningkatan curah jantung,
ventilasi dan oksigen. Jenis latihan seperti ini secara umum menyebabkan perubahan
pada jantung . Contoh latihan dinamik adalah bersepeda, jogging, lari, renang, dan
lainnya. Setiap latihan aerobik harus jeli mempertimbangkan jenis latihan, durasi,
intensitas dan frekuensi. Latihan yang baik dilakukan dengan frekuensi 3 5 kali
seminggu, dengan durasi 30 60 menit dan intensitas setidaknya 50 % dari
kemampuan maksimal mengambil oksigen tiap individu dan menghabiskan setidaknya
3000 kkal setiap sesinya.
Tujuan dari dilakukannya latihan fisik paska infark miokard adalah untuk menilai kapasitas
fungsional, menentukan jenis latihan yang diberikan, evaluasi perlunya modifikasi pengobatan,
menentukan prognosa dan perlu tidaknya dilakukan intervensi. Aritmia ventrikel yang tidak
terlihat pada istirahat dapat muncul pada saat latihan. Respon pasien terhadap latihan,
kapasitas kerja dan keterbatasan pasien dapat dievaluasi sebelum memulangkan pasien.
Proses latihan fisik ini sangat berguna sebelum memberikan instruksi latihan pasien di rumah,
untuk menjelaskan kepada penderita mengenai status terbarunya dan untuk melihat resiko
komplikasi. Semua data ini sangat berguna sebagai dasar dalam menganjurkan pasien
melanjutkan atau meningkatkan aktifitasnya dan kembali bekerja.
Pengaruh positif latihan fisik terhadap kondisi jantung sendiri sudah lama menjadi polemik
sebelum belakangan semakin diakui. Hipotesa yang sudah lama berkembang dan sangat
atraktif bagi para kardiolog, adalah latihan fisik mampu memperlambat atau memutar balikkan
proses atherosclerosis, ide ini pertama kali muncul pada era 1950-an sebelum ditentang keras
pada 1970-an hingga 1980-an, tapi pada 1990-an kembali dikonfirmasi fakta latihan fisik
meningkatkan perfusi miokard. Mekanisme yang dikembangkan adalah stabilisasi plaque dan
peningkatan cadangan aliran arteri koroner (coronary flow reserve). Melalui meta-analisa juga
didapatkan latihan fisik mengurangi angka kematian mendadak, hal ini diperantai oleh
meningkatnya ambang batas fibrilasi ventrikel, peningkatan aktifitas barorefleks, variabilitas
iskemik, di mana hanya penderita dengan kadar LDL yang tinggi saja mendapatkan manfaat
dari konsumsi alkohol.
Faktor Psikologis
Pasien dengan keterlibatan daerah infark miokard yang lebih luas cenderung memiliki tingkat
depresi yang lebih tinggi, di samping itu rasa cemas murni yang tidak dipengaruhi luasnya infark
juga dapat berperan. Tingkat depresi dan kecemasan berhubungan langsung dengan fungsi
jantung dan prognosis, karenanya setiap tim medis harus bersikap awas terhadap tiap tanda
kecemasan dan depresi pada tiap pasien. Depresi merupakan manifestasi langsung dari reaksi
psikososial terhadap infark miokard, dijumpai pada 13 - 19 % penderita infark miokard.
Kecemasan dan depresi yang terjadi dapat terjadi berhubungan dengan masalah finansial,
hubungan seksual, kemampuan aktifitas fisik atau kurangnya daya konsentrasi. Kondisi ini
menimbulkan rasa takut akan perceraian, kehilangan, ataupun pengangguran. Secara klinis
kondisi ini juga dihubungkan dengan peningkatan resiko mortalitas, angina, aritmia, perawatan
ulangan, dan melanjutkan merokok. Manajemen stress dilakukan dengan penggunaan tehniktehnik kognitif yang spesifik, seperti tes memerintahkan diri sendiri, uji kognitif, dan/atau
penggunaan beberapa strategi khusus untuk menanggulangi stress. Di samping itu didapati
juga beberapa strategi yang tidak spesifik, seperti edukasi, konseling, serta perubahan faktor
resiko seperti merokok dan menghindari rasa marah.
Masalah
Meski rehabilitasi jantung telah terbukti banyak memberikan manfaat pada penderita paska
infark miokard, angka keberhasilan dan keuntungan dari latihan fisik secara langsung
bergantung dengan jumlah latihan yang sebenarnya dijalankan oleh pasien. Angka kepatuhan
dalam menjalankan instruksi latihan fisik mencapai 80% 3 bulan sepulangnya dari perawatan, 1
tahun sesudahnya menurun hingga 45 60% dan pada 4 tahun semakin menurun hingga 30
55%. Hasil ini menyerupai data lainnya di mana partisipasi sebesar 80% pada 2 bulan dan
menurun tajam hingga 13% setelah 3 tahun. Data ini tentu saja sangat mengecewakan, dan
memerlukan perhatian khusus.
Data dari Amerika Serikat menunjukkan hanya 30% penderita yang tetap patuh menjalankan
rehabilitasi sesuai instruksi. Beberapa populasi khusus ternyata rentan untuk tidak menjalani
rehabilitasi seperti pada wanita, usia tua (>65 tahun), tidak berkulit putih dan penderita yang
tidak ditanggung asuransi. Faktor penghalang lainnya adalah rendahnya rujukan ke rehabilitasi,
kurangnya motivasi pasien, asuransi yang tidak mencakup pelayanan rehabilitasi dan
keterbatasan geografi atau kesulitan dalam mencapai unit rehabilitasi. 13, 27, 28
Beberapa pilihan yang tersedia untuk meningkatkan kepatuhan adalah adanya kontrol dari tim
ahli, membentuk program latihan yang nyaman untuk menghindari frustasi dan rasa fisik tidak
nyaman, menggunakan variasi termasuk permainan untuk menghindari kebosanan,
menggabungkan kegiatan dengan acara sosial lainnya, menghubungi kembali pasien yang
absen, melibatkan keluarga pasien atau pasangan hidup dalam pelaksanaan dan melibatkan
pasien langsung selaku pengawas diri sendiri untuk memonitor perkembangan.
Kesimpulan
Rehabilitasi jantung kini telah diakui keberadaannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dalam tata laksana prevensi sekunder paska infark miokard, di mana berbagai perkembangan
rehabilitasi semakin mengokohkan posisinya. Strategi rehabilitasi jantung modern untuk infark
miokard yang dianut sekarang lebih agresif dari periode sebelumnya. Secara garis besar
rehabilitasi dibagi dalam rehabilitasi dalam masa perawatan dan sesudah masa perawatan,
yang dalam pelaksanaannya merupakan sebuah kerja tim yang dibentuk dari berbagai tenaga
professional yang tidak hanya terfokus pada permasalahan medis, tetapi juga masalah
psikologis dan psikososial. Penderita sendiri beserta keluarganya juga diberi peran yang lebih
aktif dalam program rehabilitasi, dengan program yang disesuaikan dengan latar belakang
masing-masing individu. Di samping semua kemajuan yang sudah diperoleh, dalam teknis
pelaksanaannya masih didapati beberapa masalah serius yang menghalangi, seperti kurangnya
rujukan ke unit rehabilitasi, keterbatasan dalam tenaga ahli rehabilitasi, keterbatasan dalam
fasilitas rehabilitasi dan tingkat kepatuhan penderita yang masih rendah.