Fisiologi defekasi
Usus Besar
Usus besar adalah bagian bawah dari saluran gastrointestinal. Disebut usus besar karena
organ ini mempunyaidiameter yang lebih besar dari usus halus. Usus besar terbagi atas caecum,
kolon, dan rektum. Usus besar merupakan organ utama dalam sistem eliminasi fekal. Kimus
yang diabsorpsi memasuki ususbesar pada caecum melalui katup ileosekalyang merupakan
lapisan otot sirkular untuk mencegah regurgitasi (makanan kembali ke usus halus). Kolon
mengeliminasi sejumlah besar sisa pencernaan dan gas dengan adanya bantuan dari lapisan otot
pada kolon.Kolon mempunyai fungsi untuk absorpsi, sekresi, dan eliminasi. Makanan yang telah
dicerna melewati usus halus akan direabsorpsi kandungan air, natrium dan kloridanya oleh usus
besar. Selanjutnya, fungsi sekresi usus yaitu membantu menajaga keseimbangan elektrolit.
Adapaun sekresi bikarbonat untuk menggantikan ion klorida. Kalium yang disekresikan oleh
kolon setiap harinya sebanyak 4-9 mEq.
Kimus umunya lembut dan berbentuk massa. Apabila kecepatan kontraksi peristaltik
cepat (abnormal), kolon akan kekurangan waktu untuk mengabsorpsi air dan feses menjadi
encer. Namun apabila kontraksi peristaltik lambat, air yang diabsorpsi banyak sehingga
terbentuk feses yang keras dan berisiko terjadinya konstipasi.Kemudian bagian terakhir usus
besar yaitu rektum. Pada rektum terdapat bakteri yang akan mengubah isi fekal menjadi bentuk
akhir fekal. Rektum berfungsi untuk mengosongkan produk-produk sisa sesaat sebelum feses
dikeluarkan. Rektum dibentuk oleh lipatan-lipatan jaringan yang tersusun dari vena dan arteri.
Lapisan tersebut tersusun secara vertikal dan transversal serta dapat membantu menahan fekal
selama defekasi.
Anus
Anus dan kanal anal merupakan bagian tubuh yang digunakan untuk mengeluarkan feses dan gas
dari rektum. Saraf simpatis dan parasimpatis mempengaruhi kontraksi dan relaksasi sfingter
internal dan eksternal yang digunakan untuk mengontrol defekasi. Selain itu, kanal anal
dilengkapi oleh saraf sensorik yang akan membantu mengontrol kontinensi fekal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal dan pola defekasi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal sebagai berikut (Potter &
Perry, 2010).
1) Umur
Pada bayi, makanan akan lebih mudah dan cepat melewati saluran cerna karena adanya
gerakan peristaltik yang cepat. Namun, neuromuskular pada bayi belum bekembang
sehingga bayi tidak dapat mengontrol buang air besar. Sementara pada lansia, gerakan
peristaltik mengalami perlambatan sehingga pengosongan esophagus berjalan lebih
lambat pula. Pada lansia, tonus otot pada dinding perineal dan sfingter anal juga
berkurang.
2) Diet
Gerakan peristaltik dalam proses pencernaan dapat dipelihara dan dipertahankan dengan
asupan makanan yang teratur. Adapun komponen diet ini seperti serat yaitu makanan
yang dapat membentuk bungkal sebagian besar feses. Terbentuknya bungkal diperoleh
dari makanan yang berasal dari gandum, buah segar, dan sayur yang dapat membantu
membuang lemak dan produk sisa dari tubuh. Mengkonsumsi makanan berserat dapat
meningkatkan pola eliminasi yang normal apabila faktor lainnya juga dalam keadaan
normal. Selain serat, makanan yang mengandung gas seperti bawang, kembang kol, dan
buncis juga dapat menstimulasi gerakan peristaltik. Gas menyebabkan distensi usus dan
dapat meningkatkan motilitas kolon (Potter & Perry, 2010).
3) Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh akan mempengaruhi karakteritik
feses. Cairan akan mengencerkan isi usus sehingga mempermudah gerakannya melewati
kolon. Kurangnya asupan cairan akan memperlambat gerakan makanan melalui usus dan
menjadikan feses mengeras. Pada kolon terjadi reabsorpsi cairan, sehingga apabila
asupan cairan kurang akan menyebabkan feses mengeras dan kering yang kemudian
diikuti dengan peningkatan risiko konstipasi (Wilson, 2005 dalam Potter & Perry, 2010).
4) Aktivitas Fisik
Adanya aktivitas fisik akan meningkatkan gerakan peristaltik, sedangkan imobilitas akan
menurunkan gerakan perilaltik. Aktivitas fisik dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
otot abdomen dan dinding pelvis agar dapat mengontrol tekanan intraabdomen dan
sfingter eksternal.
5) Faktor Psikologis
Faktor psikologis seperti stress emosional dapat mempengaruhi dan mengganggu system
pencernaan secara keseluruhan.Proses digestif terjadi secara cepat selama stress
emosional berlangsung dan akan meningkatkan gerakan peristaltik. Peningkatan gerakan
peristaltik ini akan memicu timbulnya diare dan distensi abdomen oleh adanya gas.
Sementara ketika seseorang depresi, penyampaian impuls oleh saraf otonom pada system
pencernaan akan melambat dan menurunkan gerakan peristaltik sehingga dapat memicu
konstipasi (Potter & Perry, 2010).
6) Kebiasaan Diri
Kebiasaan seseorang dalam bereliminasi akan mempengaruhi fungsi ususnya. Risiko
konstipasi dapat meningkat pada individu yang tidak memberikan respon tepat terhadap
defekasi. Hal tersebut seringkali disebabkan oleh waktu yang tidak tepat dan/ atau tempat
yang kurang nyaman.
7) Posisi saat buang air besar
Posisi duduk merupakan posisi yang normal selama buang air besar. Posisi ini dapat
meningkatkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot paha yang disebabkan oleh
bersandarnya tubuh ke arah depan. Hal tersebut akan mempertahankan kemampuan untuk
berdefekasi.
8) Nyeri
Pada beberapa keadaan yang menimbulkan nyeri atau ketidaknyamanan seperti akibat
dari pembedahan rektum dan abdomen, akan menyebabkan klien menahan keinginannya
untuk berdefekasi. Keinginan berdefekasi yang tertahan dapat mengakibatkan konstipasi.
9) Kehamilan
Saat kehamilan berkembang, janin akan membesar dan menimbulkan penekanan pada
rektum. Tekanan yang bertambah akan menghambat atau mempersempit jalan keluarnya
feses.
10) Pembedahan dan Anestesi
Agen anestesi yang digunakan dalam pembedahan dapat mengalangi impuls parasimpatis
ke otot intestinal sehingga memperlambat dan menghentikan gelombang
peristaltik.Selain itu, beberapa pembedahan yang memanipulasi usus besar secara
angsung, dapat menghentikan gerakan peristaltik untuk sementara waktu.
11) Medikasi
Terdapat beberapa obat yang dapat mempunyai reaksi tertentu pada ususseperti obat
untuk mengontrol diare. Laksatif dan kantartik dapat melembekkan konsistensi feses dan
mendukung gerakan peristatik (Potter & Perry, 2010).
12) Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dapat menyebabkan perubahan pola eliminasi seperti yang
disebabkan oleh pengurangan asupan makanan dan minuman sebelum dimulainya
prosedur pada beberapa pemeriksaan.
Berikut ini karakteristik feses normal dan abnormal (Potter & Perry, 2010).
Endoskopi
Endoskopi merupakan visualisasi secara langsung mengenai sistem gastrointestinal
dengan menggunakan selang fleksibel dan dilengkapi dengan sinar (Black & Hawks, 2014).
endoskopi memungkinkan visualisasi esophagus, lambung, dan duodenum(Potter & Perry,
1999).
Implikasi keperawatan sebelum prosedur tes meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Klien menandatangani surat persetujuan tindakan
- Klien berpuasa setelah tengah malam
- Perawat memberikan obat penenang dan antikolinergik
Implikasi selama tesmeliputi hal-hal sebagai berikut:
- Perawat menjelaskan langkah-langkah pemeriksaan
- Perawat meletakkan spesimen jaringan pada wadah berlabel dan menutupnya dengan
rapat.
- Perawat menyediakan peralatan kedaruratan untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi
pernapasan.
Implikasi keperawatan setelah tesmeliputi hal-hal sebagai berikut:
- Sehubungan dengan anestesi tenggorokan, perawat menginstrusikan klien untuk tidak
makan atau minum hingga releks menelan pulih (2-4 jam). Refleks menelan dapat
diperiksa dengan menempatkan spatel lidah di bagian belakang lidah klien.
- Perawat menjelaskan bahwa suara serak dan luka pada tenggorokan elama beberapa hari
merupakan hal yang wajar. Suara serak dapat diredakan dengan cairan dingin dan
berkumur menggunakan salin.
- Perawat mengobservasi adanya demam, perdarahan, nyeri abdomen, serta kesulitan
menelan dan bernafas.
Proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi merupakan pemeriksaan endoskopik menggunakan dua instrumen
yaitu protoskop dan sigmoidoskop (Black & Hawks, 2014). Protoskop memungkinkan
visualisasi anus dan rektum, sigmoidoskop memungkinkan visualisasi pada kolon sigmoid
bagian distal, rektum, dan anus (Potter & Perry, 1999). Adapun indikasi penggunaan instrument
tersebut ialah adanya perubahan pola defekasi, nyeri abdomen bawah dan perineal, prolapse
rektal saat defekasi, pruritus anal, serta keluarnya darah, mukus, atau nanah pada feses.
Implikasi keperawatan sebelum prosedur tes meliputi hal-hal berikut ini:
- Klien menandatangani surat persetujuan tindakan
- Klien mendapatkan enema pada malam sebelum tes dan pagi hari setelah tes dilakukan.
- Perawat menjelaskan bahwa saat instrumen dimasukkan klien akan merasa tidak nyaman
dan ingin defekasi.
- Perawat menjelaskan bahwa klien akan merasa kembung karena dokter menggunakan
udara untuk mengembangkan usus.
- Perawat memposisikan klien dengan menekuk lutut ke dada dan kepala ke bawah atau
posisi sims ke kiri.
- Perawat menutupi klien dengan selimut untuk menghindari terpaparnya bagian tubuh
tidak perlu dan menjaga privasi klien.
Daftar Pustaka
Black, J.M., Hawks, J.H. (2014). Medical-Surgical Nursing 8th ed . Diterjemahkan oleh Joko
Mulyanto dkk. Singapura: Elsevier.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (1999). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice
4th Edition. Diterjemahkan oleh Renata Komalasari, Dian Evriyani, Enie Novieastari,
Alfrina Hany, dan Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2010). Fundamentals of Nursing 7th Edition. Diterjemahkan oleh
Diah Nur Fitriani, Onny Tampubolon, dan Farah Diba. Jakarta: Salemba Medika.