Anda di halaman 1dari 186

GAMBARAN FAKTOR PSIKOSOSIAL DI TEMPAT KERJA PADA

PEKERJA TEKSTIL PT. SANDRATEX CIPUTAT TAHUN 2016

SKRIPSI

Oleh:

ANIS ROHMANA MALIK

NIM: 1112101000080

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
i i
ii ii
iii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Desember 2016
Anis Rohmana Malik, NIM: 1112101000080

Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil PT.


Sandratex Ciputat Tahun 2016
(Xvi + 131 halaman, 11 tabel, 12 gambar, 3 lampiran)

ABSTRAK

Psikososial merupakan kondisi sosial yang mempengaruhi psikologi


seseorang. Kondisi psikososial di tempat kerja yang buruk dapat menimbulkan
gangguan kesehatan fisik maupun emosional para pekerja, seperti gangguan
muskuloskeletal, stres, dan penyakit psikomatis yang menjadi penyebab
meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan. Walaupun demikian, faktor
psikososial bisa dikendalikan agar tetap dalam kondisi yang baik dan tidak
berdampak buruk bagi kesehatan pekerja. Hasil studi pendahuluan di PT.
Sandratex menunjukkan bahwa 56% responden (14 dari 25 orang) dalam kondisi
yang cenderung bisa mendapatkan stres akibat kerja, sedangkan 44% responden
(11 orang) dalam kondisi sangat mudah terkena stres akibat kerja.
Penelitian bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor psikososial yang
berpotensi dalam menyebabkan masalah kesehatan pekerja. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah kuesioner COPSOQ II yang mencakup tujuh faktor
psikososial. Ketujuh faktor tersebut, antara lain: (1) tuntutan di tempat kerja; (2)
organisasi kerja dan konten pekerjaan; (3) hubungan interpersonal dan
kepemimpinan; (4) bekerja antarmuka individu; (5) nilai-nilai di level tempat
kerja; (6) kesehatan dan kesejahteraan; serta (7) perilaku ofensif. Penelitian ini
adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Sampelnya berjumlah
110 pekerja pada tiga unit kerja. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
sampel acak sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran kategori baik dari faktor
psikososial di PT. Sandratex sebesar 46%. Faktor perilaku ofensif mempunyai
besar persentase kategori baik paling tinggi (76,4%). Sedangkan kondisi terburuk
berada pada faktor tuntutan di tempat kerja (39,1%).
Untuk meminimalisir dampak buruk dari faktor psikososial di tempat
kerja, sebaiknya perusahaan mengupayakan sistem reward baik berupa materi
maupun apresiasi terhadap hasil kerja untuk meningkatkan motivasi bagi pekerja
serta menciptkan komunikasi secara lebih aktif antara manajemen dengan pekerja.
Kata kunci: faktor psikososial, tuntutan di tempat kerja, perilaku ofensif.
Daftar bacaan: 69 (1988-2015)

iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PROGRAM STUDY OF PUBLIC HEALTH
OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY
Undergraduated Thesis, December 2016
Anis Rohmana Malik, NIM: 1112101000080

Description of Psychosocial Factors at Work Place in Textile Workers of PT.


Sandratex Ciputat 2016

(Xvi + 131 pages, 11 tables, 12 images, 3 appendixes)

ABSTRACT

Psychosocial is a social conditions that influence a person’s psychology.


Psychosocial conditions in poor workplace can cause physical health and
emotional problems of workers, such as musculoskeletal disorders, stress and
psychosomatic illness which cause increasing of occupational diseases. However
psychosocial factors can be controlled in order to keep worker in good condition
and does not adversely affect their health. Study result in PT. Sandratex showed
that 56% of respondent (14 of 25 person) in the condition that can get work stress,
while 44% of respondent (11 person) in the condition very easy to get work stress.
This study aimed to analyze psychosocial factors that potentially cause
health problems of workers. The research instrument used was a questionnaire
COPSOQ II covering seven psychological factors. The seven factors are: (1) the
demands of the workplace; (2) the organization of work and job description; (3)
interpersonal relationships and leadership; (4) working in individual interfaces; (5)
the values at workplace level; (6) health and wellbeing; and (7) offensive
behavior. This study was a descriptive study with quantitative approach. The
samples were 110 employees at three works unit. Sampling was taken by simple
random sampling method.
The result showed that representation of psychosocial factor in a good
category at PT. Sandratex is 46%. Offensive behavior factor has the highest
percentage in good category (76,4%). Meanwhile, the worst condition are in
demand factors in the workplace (39,1%).
To minimize the adverse impacts of psychosocial factor in the workplace,
the company should to apply reward system, that can be given in material or
appreciation for hard work to increase worker motivation and to create active
communication between management and worker.
Key words: psychosocial factor, demand in workplace, offensive behavior.

References: 69 (1988-2015)

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS PERSONAL
Nama : Anis Rohmana Malik
Tempat, Tanggal Lahir : Trenggalek, 24 Januari 1995
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT 23 RT 09 Ds. Durenan, Kec. Durenan, Kab.
Trenggalek, Jawa Timur.
No. Telp. : 085648266919
Email : anisrohmana@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL
1999 – 2000 : TK Dharma Wanita III Durenan, Trenggalek
2000 – 2006 : SDN I Durenan, Trenggalek
2006 – 2009 : MTs Negeri Bandung, Tulungagung
2009 – 2012 : MAN 2 Tulungagung
2012 – Sekarang : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI
 Peer Educator Penanggulangan HIV/AIDS Mts Negeri Bandung (2008-
2009).
 OSIS Mts Negeri Bandung Departemen Pendidikan HAM, Demokrasi
Politik, dan Kepemimpinan (2008).
 Peserta semi final olimpiade Fisika Nasional-UNAIR (2011).
 Peserta 10 Besar olimpiade Matematika Tingkat MA se-Kabupaten
Tulungagung (2011).
 Jurnalistik MAN 2 Tulungagung (2009-2011).
 OSIS MAN 2 Tulungagung Departemen Pendidikan HAM, Demokrasi
Politik, dan Kepemimpinan (2009-2011).

vi
 Deputi PSDM PAMI (Pergerakan Anggota Muda IAKMI) Jakarta Raya
(2013-2014).
 Anggota Departemen Pengembangan Masyarakat BEM J Kesmas UIN
Jakarta (2013-2015).
 Ketua Departemen Kemahasiswaan HMPS Kesmas UIN Jakarta (2015-2016).
 Anggota Departemen IT FSK3 (Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja) UIN Jakarta (2013-2015).
 Anggota Departemen IT TCYC (Tobacco Control Youth Club) Batch I (2013-
2015).
 Anggota Departemen Science FSK3 (Forum Studi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) UIN Jakarta (2015-2016).
 Enumerator dan Peng-entry data Penelitian Riskesdas (2013).
 Peng-entry Data Penelitian Dompet Duafa (2014).
 Juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah pada ajang SAA (Student Achievement
Award) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2016).
 Asisten Dosen Biostatistik (2014-2016).
 Relawan PON (Pekan Olahraga Nasional) Jabar (2016).

PELATIHAN
 Peserta Pelatihan Peer Educator Penanggulangan HIV/ AIDS tahun 2008.
 Peserta LDK-BS (Latihan Dasar Kepemimpinan Bagi Siswa) MAN 2
Tulungagung tahun 2009.
 Peserta Pelatihan Jurnalistik MAN 2 Tulungagung Tahun 2009.
 Peserta Training “SMK3 Based on OHSAS 18001 dan PP No. 50 tahun
2012” tahun 2014.
 Peserta workshop “Keselamatan pada Proses Industri” tahun 2014.
 Peserta Tobacco Control Youth Camp: Pelatihan Advokasi Bagi Mahasiswa
dengan tema “Membangun Kerangka Kerja dan Peran Strategis Mahasiswa
dalam Upaya Advokasi Pengendalian Tembakau” tahun 2014.
 Peserta workshop “Manajemen Kebakaran” tahun 2015.

vii
 Peserta workshop “Analisis Risiko di Tempat Kerja” tahun 2015.
 Peserta workshop “Ergonomi di Tempat Kerja” tahun 2015.
 Peserta Capacity Building on Tobacco Control Movement di hotel Aston
tahun 2015.

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
nikmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran
Faktor Psikososial Di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil PT. Sandratex
Ciputat Tahun 2016” ini dengan semaksimal mungkin. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang mana atas seizin
Allah mampu membawa peradaban manusia dari zaman Jahiliyah menuju zaman
Islamiyah yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah skripsi yang terdapat
di semester VIII pada peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam proses penyusunan skripsi, peneliti mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Keluarga tercinta, kedua orang tua saya, Bapak Imam Malik dan Ibu
Istikomah, adik saya Alwi Maulana Malik, serta seluruh keluarga besar yang
tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, yang dengan do’a, restu serta dukungan
yang diberikan tanpa mengenal batas waktu hingga akhirnya peneliti mampu
mencapai pendidikan hingga saat ini di jenjang universitas.
2. Ibu Dr. Iting Shofwati, S.T, MKKK selaku pembimbing I dan Bapak dr. Yuli
Prapancha Satar, MARS selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan
arahan dan motivasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Farid Hamzens, M.Si selaku penguji I, Ibu Nur Najmi Laila, SKM,
MKKK selaku penguji II, dan Ibu Putri Handayani, SKM, MKKK selaku
penguji III yang dengan sabar memberikan saran serta arahan terhadap
penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta para dosen Kesehatan Masyarakat atas semua ilmu yang telah diberikan.

ix
5. Pihak manajemen dan karyawan PT. Sandratex yang telah memberikan izin
serta kerjasamanya selama proses penelitian dan penulisan skripsi.
6. Sahabat-sahabat saya (Halida dan Putri) yang selalu memberikan dukungan
dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman kosan (Ida, Tantri, Hanif, Ukhty, dan lain-lain) yang ikut mendukung
dalam penyelesaian skripsi.
8. Teman-teman peminatan K3, HMPS Kesehatan Masyarakat, serta C-ngers
Kesehatan Masyarakat 2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak
dapat saya sebutkan satu-persatu.
Dan hanya dengan do’a kepada Allah SWT yang bisa peneliti berikan untuk
mereka agar segala kebaikan mereka dicatat sebagai amal shaleh di hadapan Allah
SWT dan menjadi tambahan berat timbangan kebaikan di akhirat nanti.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan
saran yang membangun senantiasa peneliti harapkan agar dapat dijadikan
masukan di waktu mendatang.
Semoga skripsi ini dapat mendatangkan manfaat kepada peneliti khususnya
dan kepada seluruh pembaca secara keseluruhan.

Jakarta, Oktober 2016


Peneliti

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian.................................................................................................. 8
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 10
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 12

2.1 Definisi Psikososial .......................................................................................... 12


2.2 Proses Adaptasi Tubuh terhadap Kehadiran Faktor Psikososial ......................... 14
2.3 Gangguan Kesehatan Akibat Dampak Negatif dari Faktor Psikososial .............. 15
2.4 Faktor-faktor Pembentuk Psikososial ................................................................ 25
2.4.1 Tuntutan di Tempat Kerja ...................................................................... 26

2.4.2 Organisasi Kerja dan Konten Pekerjaan .................................................. 28

2.4.3 Hubungan Interpersonal dan Kepemimpinan .......................................... 30

xi
2.4.4 Bekerja antarmuka Individu ................................................................... 32

2.4.5 Nilai-nilai di Level Tempat Kerja ........................................................... 34

2.4.6 Kesehatan dan Kesejahteraan ................................................................. 35

2.4.7 Kepribadian ........................................................................................... 37

2.4.8 Perilaku Ofensif ..................................................................................... 38

2.5 Pengukuran Faktor Psikososial ......................................................................... 39


2.6 Pencegahan Dampak Negatif dari Faktor Psikososial ....................................... 47
2.7 Kerangka Teori ................................................................................................. 52
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 54

3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................. 54


3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 56
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 58

4.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 58


4.2 Lokasi dan Waktu .............................................................................................. 58
4.3 Populasi dan Sampel.......................................................................................... 58
4.4 Pengumpulan Data ............................................................................................ 60
4.5 Instrumen Penelitian .......................................................................................... 61
4.6 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Kuesioner ....................................................... 62
4.6.1 Uji Validitas ............................................................................................. 62

4.6.2 Uji Reliabilitas ......................................................................................... 63

4.7 Pengolahan Data................................................................................................ 64


4.8 Analisis Data ..................................................................................................... 68
BAB V HASIL .................................................................................................. 69

5.1 Profil PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan ................................................. 69


5.1.1 Gambaran Umum PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan..................... 69

5.1.2 Visi dan Misi PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan ........................... 70

5.1.3 Struktur Organisasi Ciputat Tangerang Selatan ......................................... 71

5.2 Gambaran Faktor Psikososial pada Pekerja Tekstil di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016....................................................................................................... 72

xii
5.3 Gambaran Faktor Psikososial pada Pekerja Tekstil di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016 berdasarkan Umur ......................................................................... 83
5.4 Gambaran Faktor Psikososial pada Pekerja Tekstil di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016 berdasarkan Masa Kerja ................................................................ 84
5.5 Gambaran Faktor Psikososial pada Pekerja Tekstil di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016 berdasarkan Unit Kerja .................................................................. 86
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 88

6.1 Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 88


6.2 Gambaran Faktor Psikososial pada Pekerja Tekstil di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016....................................................................................................... 88
6.2.1 Tuntutan di Tempat Kerja......................................................................... 93

6.2.2 Organisasi Kerja dan Konten Pekerjaan .................................................... 99

6.2.3 Hubungan Interpersonal dan Kepemimpinan .......................................... 103

6.2.4 Bekerja antarmuka Individu ................................................................... 107

6.2.5 Nilai-nilai di Level Tempat Kerja ........................................................... 112

6.2.6 Kesehatan dan Kesejahteraan ................................................................. 115

6.2.7 Perilaku Ofensif ..................................................................................... 119

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 123

7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 123


7.2 Saran ................................................................................................................ 125
7.2.1 Bagi Perusahaan..................................................................................... 125

7.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 129

LAMPIRAN .................................................................................................. 136

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan antara Stres Kerja dengan Burn Out ............................ 19

Tabel 2.2 Klasifikasi Depresi ...................................................................... 22

Tabel 2.3 Daftar Kuesioner Psikososial ....................................................... 44

Tabel 2.4 Faktor Psikososial ........................................................................ 46

Tabel 3.1 Definisi Operasional .................................................................... 56

Tabel 4.1 Daftar Jumlah Tenaga Kerja di PT. Sandratex Tahun 2016 .......... 58

Tabel 4.2 Jumlah Sampel per Unit ............................................................... 59

Tabel 4.3 Uji Reliabilitas Kuesioner Psikososial di PT. Argopantes Tahun


2016 ......................................................................................... 64

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Umur di PT.


Sandratex Ciputat Tahun 2016 .................................................. 83

Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Masa Kerja di


PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016 .............................................. 85

Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Unit Kerja di


PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016 .............................................. 86

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori ............................................................... 53

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep. ............................................................. 55

Gambar 5.1 Bagan Struktur Organisasi PT. Sandratex Ciputat ........................ 71

Gambar 5.2 Diagram Distribusi Proporsi Faktor Psikososial di PT. Sandratex


Ciputat Tahun 2016 ..................................................................... 72

Gambar 5.3 Grafik Distribusi Proporsi Faktor Psikososial di PT. Sandratex


Ciputat Tahun 2016 ..................................................................... 73

Gambar 5.4 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item Faktor Psikososial di PT.
Sandratex Ciputat Tahun 2016 .................................................... 76

Gambar 5.5 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Organisasi Kerja
dan Konten Pekerjaan ......................................................................

Gambar 5.6 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Hubungan
Interpersonal dan Kepemimpinan ................................................ 77

Gambar 5.7 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Bekerja
Antarmuka Individu .................................................................... 78

Gambar 5.8 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Nilai-nilai di
Level Tempat Kerja..................................................................... 79

Gambar 5.9 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Kesehatan dan
Kesejahteraan .............................................................................. 80

Gambar 5.10 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Perilaku Ofensif
.................................................................................................... 81

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lembar Legalitas Penelitian dari PT. Sandratex

Kuesioner Penelitian

Output SPSS

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenaga kerja mempunyai peranan yang penting bagi pembangunan

negara. Oleh karena itu, perlu diperhatikan mengenai aspek kesehatan dan

keselamatan mereka, khususnya ketika sedang berada di tempat kerja.

Terdapat banyak hal yang dapat mengganggu produktivitas tenaga kerja di

tempat kerja, seperti bahaya fisik, kimia, biologi, mekanis, ergonomi, dan

psikososial (Jeyaratnam dan Koh, 2009). Maka dari itu, tidak jarang berbagai

kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja sering dirasakan oleh para

pekerja.

Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO) tahun

2013 dalam Kementerian Kesehatan (2014), pada setiap 15 detik terdapat

setidaknya satu orang pekerja di dunia yang meninggal akibat kecelakaan

kerja dan sebanyak 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Sedangkan

pada tahun sebelumnya, ILO melaporkan bahwa angka kematian akibat

kecelakan dan penyakit akibat kerja (PAK) terdapat 2 juta kasus per tahun.

Hal ini membuktikan bahwa angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di

dunia masih sangat tinggi. Berdasarkan hasil laporan pelaksanaan kesehatan

kerja pada 26 Provinsi di Indonesia tahun 2013 diketahui terdapat 428.844

kasus penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Hal ini diungkapkan sebagai

angka yang tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya karena

1
banyak kasus yang tidak terdeteksi atau terdiagnosis. Oleh karena itu, masih

perlu dilakukan upaya promotif dan preventif yang lebih untuk mengatasi

kasus kecelakaan maupun penyakit akibat kerja di tempat kerja (Kementerian

Kesehatan, 2014).

Pada beberapa kasus di negara maju, faktor-faktor fisik, kimia, dan

biologi sudah cenderung bisa dikendalikan karena mudah terlihat, sehingga

gangguan kesehatan akibat faktor-faktor tersebut sudah banyak berkurang.

Namun saat ini justru faktor ergonomik dan faktor psikososial yang perlu

menjadi perhatian lebih (Irwandi, 2007). Faktor psikososial yang merupakan

salah satu bahaya di tempat kerja kerap kali tidak disadari oleh para pekerja

maupun pihak manajemen. Perlu diketahui bahwa pekerja sering mengalami

situasi dan lingkungan kerja yang tidak kondusif, seperti bekerja dalam shift,

beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan,

tidak jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Semua aspek

tersebut merupakan beberapa faktor psikososial yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan fisik, mental maupun emosional para pekerja, seperti

gangguan muskuloskeletal, stres, dan penyakit psikomatis yang menjadi

penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan (Kementerian

Kesehatan, 2011). Sedangkan pada beberapa hasil penelitian diketahui bahwa

stres, kelelahan, serta motivasi kerja termasuk ke dalam faktor yang sangat

rentan dalam menyebabkan kecelakaan kerja (Maurits dan Widodo, 2008).

Hasil penelitian Govindu dan Reeves (2014) terhadap 60 buruh di

Amerika menyebutkan bahwa faktor psikososial mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap kejadian low back pain, yang merupakan salah satu jenis

2
gangguan muskuloskeletal. Pada penelitian tersebut diperoleh data bahwa

faktor risiko paling dominan yang ada merupakan faktor psikososial dengan

presentase sebesar 36%, kemudian diikuti oleh faktor individu dengan

presentase 21%, dan faktor pekerjaan sebesar 18%. Sedangkan penelitian lain

yang dilakukan di Jepang terhadap pekerja usia pertengahan (middle-age)

diketahui bahwa terdapat 204 kasus gangguan kardiovaskular yang

berhubungan dengan lama jam kerja dan stres kerja. Dari 204 kasus yang ada,

123 diantaranya mengalami stoke, 50 orang mengalami gagal jantung akut,

27 orang mengalami infraksi miokardinal, dan 4 lainnya mengalami pecahnya

pembuluh aorta jantung. Pada kasus ini diketahui bahwa para pekerja

menghabiskan waktu lebih dari 60 jam selama seminggu, lembur berlebihan

yaitu lebih dari 50 jam setiap bulan, serta tetap bekerja lebih dari setengah

dari liburan tetap mereka (Uehata, 1991). Perlu diketahui bahwa waktu

maksimal yang diperkenankan untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam

atau 40 jam dalam seminggu. Bekerja melebihi jam yang seharusnya dapat

menyebabkan penurunan kebugaran tubuh dan kelelahan (UU No. 13 Tahun

2003). ILO menyatakan bahwa terdapat sebanyak dua juta pekerja meninggal

karena kecelakaan kerja akibat faktor kelelahan setiap tahun. Penelitian

Maurits dan Widodo (2008) membuktikan bahwa faktor kelelahan secara

signifikan dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Penelitian lain dari

Kurniawati dan Sholikhah (2012) dan Roshadi (2014) menyatakan bahwa

kelelahan kerja secara signifikan mempunyai hubungan negatif terhadap

kinerja dan produktivitas kerja karyawan. Artinya, semakin tinggi tingkat

kelelahan karyawan, semakin rendah kinerja dan produktivitas kerjanya.

3
Dari contoh penelitian yang disebutkan diketahui bahwa faktor

psikososial seringkali berada di sekitar tenaga kerja, baik disadari maupun

tidak disadari. Lama kerja yang melebihi batas maksimal akan membuat

beban kerja meningkat. Beban kerja merupakan salah satu faktor psikososial

yang perlu diwaspadai (Pejtersen dkk, 2010). Pada sebuah penelitian di

Indonesia ditemukan faktor psikososial lain berupa dukungan sosial.

Dukungan sosial yang rendah dapat mengakibatkan masalah kesehatan

tertentu terkait pekerjaan. Dalam hal ini ditemukan hubungan yang signifikan

antara dukungan sosial dengan stres kerja. Hubungan antara dukungan sosial

dan stres kerja di PT. Chanindo Pratama Piyungan Yogyakarta mempunyai p-

value sebesar 0,048. Ini berarti bahwa dukungan sosial mempunyai peranan

terhadap kejadian stres kerja di perusahaan tersebut (Setiawan dan Sofiana,

2013). Adapun faktor shift kerja juga sering ditemukan pada berbagai jenis

pekerjaan seperti pegawai hotel. Pada penelitian Putri (2014) diketahui

terdapat beban kerja yang sama antara pekerja shift pagi, sore, dan malam

dengan pengukuran beban kerja psikososial. Penelitian Marchira, Wirasto,

dan Sumarni (2007) menunjukkan bahwa faktor-faktor psikososial berupa

dukungan sosial dan tingkat religiusitas juga mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap kejadian depresi pada lansia.

Cahyoputro (2009) menjelaskan mengenai dampak lain dari faktor

psikososial pada lansia. Pada penelitiannya diketahui bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat kecemasan

pada lansia di Desa Luwang Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo. Selain

itu, penelitian lain menunjukkan hubungan antara sikap penyelesaian masalah

4
dan kebermaknaan hidup yang merupakan faktor psikososial dengan

somatisasi pada wanita karir (Handayani, 2008). Pada penelitian ini, hasil

yang didapatkan berupa hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi sikap

penyelesaian masalah atau tingkat kebermaknaan wanita karir maka

somatisasi yang dirasakan subjek rendah. Berbagai macam penelitian yang

disebutkan menunjukkan bahwa faktor psikososial dapat mempunyai dampak

kesehatan yang berbeda-beda pada setiap individu. Kemungkinan faktor lain

juga ikut berperan terhadap dampak kesehatan yang ditimbulkan. Stres kerja,

MSDS, dan penyakit kardiovaskuler yang ditemukan dalam penelitian

merupakan beberapa contoh dampak kesehatan yang dirasakan oleh pekerja.

PT. Sandratex merupakan salah satu perusahaan tekstil di Indonesia

yang telah berdiri sejak tahun 1980-an. Perusahaan ini terletak di daerah

Ciputat, Tangerang Selatan. Sejak berdirinya perusahaan tersebut, penjualan

kain yang dihasilkan mampu merambah sampai ke luar negeri. Untuk ekspor,

PT. Sandratex berhasil melakukan penjualan sampai Benua Amerika dan

Eropa. Sedangkan di dalam negeri, konsumen PT. Sandratex tersebar hampir

di seluruh wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa. Berbagai macam proses

industri dilakukan untuk menghasilkan kain dengan kualitas terbaik. Proses

produksi yang ada meliputi spinning (pemintalan) dan waving (merubah

benang menjadi kain). Kedua macam kegiatan tersebut tentu berpotensi

menghasilkan bahaya pada pekerja, baik bahaya keselamatan maupun

kesehatan kerja.

Berdasarkan hasil wawancara pada saat melakukan studi pendahuluan

terhadap beberapa orang karyawan, diketahui bahwa sering terjadi kasus

5
kecelakaan kerja ringan di PT. Sandratex seperti terjatuh, terpeleset, terjepit,

tergores, dan lain sebagainya.. Studi pendahuluan terkait stres kerja terhadap

25 orang karyawan menunjukkan bahwa sebanyak 56% (14 orang) dalam

kondisi yang cenderung bisa mendapat stres akibat kerja, dan 44% (11 orang)

dalam kondisi sangat mudah terkena stres akibat kerja. Berdasarkan 25

responden yang sama, ditemukan beberapa kondisi faktor psikososial yang

buruk di sekitar para pekerja. Diketahui bahwa 56% (14 orang) merasakan

tuntutan di tempat kerja yang buruk, 60% (15 orang) merasakan organisasi

kerja dan konten pekerjaan serta hubungan interpersonal dan kepemimpinan

yang buruk, 48% (12 orang) merasakan bekerja antarmuka individu yang

buruk, 40% (10 orang) merasakan nilai-nilai di level tempat kerja yang buruk,

56% (14 orang) merasakan kesehatan dan kesejahteraan yang buruk, dan 28%

(7 orang) merasakan perilaku ofensif di tempat kerja. Berdasarkan kondisi

tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran

Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil PT. Sandratex

Ciputat Tahun 2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Faktor psikososial merupakan salah satu penyebab kecelakaan kerja

yang sering kali tidak disadari kehadirannya di tempat kerja. Beberapa contoh

situasi kerja yang tidak kondusif seperti bekerja dalam shift, beban kerja yang

berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan, tidak jelasnya peran

kerja, serta konflik dengan teman kerja merupakan faktor psikososial yang

dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik maupun mental para pekerja.

6
Potensi bahaya dari faktor psikososial di setiap tempat kerja tidak selalu

sama, tergantung dari kemampuan pihak manajemen dalam mengatasinya.

PT. Sandratex yang merupakan salah satu perusahaan tekstil di

Indonesia diketahui mempunyai banyak risiko pekerjaan, baik bahaya

keselamatan maupun kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya

hubungan antara faktor psikososial dengan beberapa keluhan seperti stres

kerja, burn out, depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan somatoform.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, diketahui bahwa beberapa

orang responden dalam kondisi sangat mudah terkena stres kerja dan kondisi

psikososial di tempat kerja yang buruk. Kondisi ini menarik untuk diteliti

lebih lanjut mengenai kehadiran faktor psikososial yang berpotensi dalam

menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan pekerja. Berdasarkan hal

tersebut didapatkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana

gambaran faktor psikososial di tempat kerja pada pekerja tekstil PT.

Sandratex Ciputat tahun 2016?”

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran faktor psikososial di tempat kerja pada pekerja

tekstil di PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016?

2. Bagaimana gambaran faktor tuntutan di tempat kerja sebagai pembentuk

psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016?

3. Bagaimana gambaran faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan

sebagai pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex

Ciputat Tahun 2016?

7
4. Bagaimana gambaran faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan

sebagai pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex

Ciputat Tahun 2016?

5. Bagaimana gambaran faktor bekerja antarmuka individu sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016?

6. Bagaimana gambaran faktor nilai-nilai di level tempat kerja sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016?

7. Bagaimana gambaran faktor kesehatan dan kesejahteraan sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016?

8. Bagaimana gambaran faktor perilaku ofensif sebagai pembentuk

psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016?

9. Bagaimana gambaran faktor psikososial di tempat kerja pada pekerja

tekstil di PT. Sandratex Ciputat tahun 2016 berdasarkan umur, masa

kerja, dan unit kerja?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran faktor psikososial di tempat kerja pada pekerja

tekstil PT.Sandratex Ciputat tahun 2016.

8
2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran faktor tuntutan di tempat kerja sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016.

2. Diketahuinya gambaran faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan sebagai pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016.

3. Diketahuinya gambaran faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan sebagai pembentuk psikososial di PT. Sandratex

Ciputat Tahun 2016.

4. Diketahuinya gambaran faktor bekerja antarmuka individu sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016.

5. Diketahuinya gambaran faktor nilai-nilai di level tempat kerja

sebagai pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex

Ciputat Tahun 2016.

6. Diketahuinya gambaran faktor kesehatan dan kesejahteraan sebagai

pembentuk psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat

Tahun 2016.

7. Diketahuinya gambaran faktor perilaku ofensif sebagai pembentuk

psikososial pada pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat Tahun

2016.

9
8. Diketahuinya gambaran faktor psikososial di tempat kerja pada

pekerja tekstil di PT. Sandratex Ciputat tahun 2016 berdasarkan

umur, masa kerja, dan unit kerja.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Perusahaan

Memberikan gambaran mengenai faktor psikososial yang ada di PT.

Sandratex sehingga dapat dijadikan sebagai informasi dan evaluasi agar

perusahaan lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan para

pekerja.

2. Manfaat bagi Pekerja PT. Sandratex

Menambah pengetahuan pekerja mengenai faktor psikososial yang

berpotensi memicu berbagai gangguan kesehatan.

3. Manfaat bagi Peneliti

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti mengenai faktor

psikososial yang ada di PT. Sandratex.

4. Manfaat bagi Peneliti Lain

Dapat menambah informasi serta dasar perkembangan bagi peneliti lain

untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor psikososial.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor psikososial di

tempat kerja pada pekerja tekstil PT. Sandratex Ciputat tahun 2016, yang

dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Desember tahun 2016 dengan

menggunakan desain penelitian deskriptif cross sectional. Berdaarkan hasil

studi pendahuluan yang dilakukan, diketahui beberapa orang responden di

10
PT. Sandratex dalam kondisi sangat mudah terkena stres kerja dan psikososial

di tempat kerja yang buruk. Subjek yang diteliti adalah pekerja PT. Sandratex

tahun 2016 berjumlah 110 orang. Untuk pengukuran faktor psikososial,

digunakan kuesioner yang telah terstandardisasi dari Pejtersen dkk. (2010).

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Psikososial

Terdapat sebuah sumber yang mendefinisikan psikososial sebagai

faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial seseorang, atau

interaksi dengan orang lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap

perilaku seseorang, baik menghambat atau justru berdampak positif

(Djohan, 2006: 216). Menurut seorang ahli psikoanalisa bernama Erik H.

Erikson, tahapan perkembangan psikososial seseorang berlangsung melalui

delapan tahap. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa anak-

anak yang menjadi dasar pembentukan kepribadian seseorang, tahap kelima

terjadi pada masa remaja, dan tiga tahap terakhir terjadi pada masa dewasa

dan usia tua. Setiap tahap dalam perkembangan psikososial memiliki dua

komponen, yakni komponen yang baik dan komponen yang tidak baik

Erikson mengatakan bahwa faktor sosial turut berpengaruh terhadap

perkembangan hidup manusia (Nurdiansyah, 2011: 264). Menurut undang-

undang kesehatan dan praktik kedokteran (2009: 70) masalah psikososial

merupakan masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat

terjadinya perubahan sosial. Oleh karena itu, masalah atau bahaya

psikososial dapat terjadi sebagai akibat atau dampak negatif dari adanya

proses interaksi sosial seseorang yang buruk. Sebaliknya, psikososial dapat

12
menimbulkan dampak positif jika proses interaksi sosial seseorang

tergolong baik.

Dampak negatif dari psikososial merupakan salah satu jenis bahaya

yang berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan di tempat kerja

(Jeyaratnam dan Koh, 2009: 14). Menurut Kementerian Kesehatan (2011),

faktor psikososial dapat mengakibatkan perubahan dalam kehidupan

individu, baik bersifat psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh

cukup besar sebagai faktor penyebab terjadiya gangguan fisik dan psikis

pada diri individu tersebut. Faktor psikososial sering tidak disadari

kehadirannya oleh para pekerja. Kajian mengenai faktor psikososial di

tempat kerja juga masih belum banyak dilakukan. Adapun pembahasan

mengenai psikososial masih belum menyeluruh, meskipun telah diketahui

bahwa aspek-aspek yang ada di dalamnya cukup bervariasi. Salah satu

contoh penelitian yang ada mengenai hubungan antara dukungan sosial yang

merupakan faktor psikososial dengan kejadian stres kerja pada perawat di

salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta (Almasitoh, 2011).

Pada sebuah buku berjudul Ultra Metabolisme dikatakan bahwa faktor

psikososial merupakan salah satu faktor pemicu stres, yang berarti

merupakan sebuah peristiwa sosial atau psikologis yang membuat seseorang

tertekan (Hyman, 2006: 158). Diketahui pula bahwa psikososial berpotensi

menyebabkan gangguan muskuloskeletal dan penyakit psikosomatis yang

menjadi penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan

(Irwandi, 2007). Dari beberapa pernyataan yang telah disebutkan dapat

13
diketahui bahwa dampak negatif dari psikososial tidak hanya berupa stres

kerja.

Beberapa contoh faktor psikososial dalam kehidupan individu

berkaitan dengan peran dan harapan dari pekerjaan, keluarga, dan kegiatan

komunitas (Bastable, 2002: 130). Sumber lain menyebutkan ada beberapa

stresor psikososial yang layak dipertimbangkan antara lain: pekerjaan,

hubungan, situasi keuangan, anak-anak, kelainan psikologis (depresi,

kegelisahan, dan lain-lain), rendahnya rasa percaya diri, kondisi dunia

(masalah di lingkungan tempat tinggal, situasi politik internasional, dan

lain-lain). Stresor psikososial merupakan penyebab stres yang berasal dari

risiko bahaya potensial psikososial (Kementerian Kesehatan, 2011).

Sedangkan Kementerian Kesehatan (2011) menyebutkan beberapa contoh

faktor psikososial yang ada di tempat kerja meliputi: bekerja dalam shift,

beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan,

tidak jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Adapun

berbagai variasi faktor psikososial dari berbagai sumber pada dasarnya tetap

mempunyai ruang lingkup yang sama yakni berkaitan dengan kondisi

psikologi dan sosial seseorang.

2.2 Proses Adaptasi Tubuh terhadap Kehadiran Faktor Psikososial

Gangguan kesehatan akibat faktor psikososial tidak terjadi secara

langsung setelah paparan pertama. Para pekerja akan mengalami gejala

setelah mendapatkan pajanan secara terus-menerus dan melalui proses

adaptasi yang terdiri dari tiga fase sebagai berikut (Kementerian Kesehatan,

2011):

14
- Fase 1: reaksi kewaspadaan (alarm reaction).

Tubuh mulai mengenali paparan sebagai ancaman. Pada fase ini akan

terjadi peningkatan produksi berbagai macam hormon seperti hormon

adrenalin dan hormon kortison. Selain itu, terjadi perubahan koordinasi

dalam sistem saraf pusat dan seluruh sistem berubah siaga dalam waktu

cepat sehingga mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, jantung

berdebar-debar, serta darah mengalir cepat.

- Fase 2: reaksi perlawanan (resistancy reaction).

Tubuh akan berupaya melawan pajanan yang ada. Jika paparan

berlangsung lama secara terus-menerus, tubuh tidak akan mampu

mengatasinya karena keterbatasan kemampuan dan waktu penyesuaian

yang terbatas.

- Fase 3: reaksi kehabisan tenaga (exhaustion reaction).

Mekanisme pertahanan tubuh berangsur menurun dan terjadi kelelahan

sehingga muncul gangguan fisik.

2.3 Gangguan Kesehatan Akibat Dampak Negatif dari Faktor Psikososial

Berbagai macam gangguan kesehatan akibat dampak negatif dari

faktor psikososial berpotensi dirasakan oleh para pekerja di tempat kerja.

Kementerian Kesehatan (2011) menyebutkan setidaknya ada enam masalah

kesehatan sebagai akibat dari faktor psikososial di tempat kerja, antara lain:

1. Stres Akibat Kerja

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)

mendefinisikan stres akibat kerja sebagai respon fisik dan emosional

berbahaya yang timbul apabila tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan

15
kemampuan atau kebutuhan pekerja (Kementerian Kesehatan, 2011).

Stres di tempat kerja bukan merupakan fenomena baru. Penyebab dasar

terjadinya stres di tempat kerja dipicu oleh berbagai alasan. Adanya

perubahan ekonomi dan kemajuan teknologi yang pesat justru semakin

menambah tekanan para pekerja untuk menghasilkan lebih banyak

produk dalam waktu yang lebih singkat. Sebanyak dua dari tiga pekerja

di suatu perusahaan mengaku mengalami stres kerja. Terdapat pula

prakiraan klaim yang harus dikeluarkan perusahaan sebesar $200

milyar per tahun akibat stres kerja berupa masalah absen,

keterlambatan, kejenuhan, produktivitas yang semakin rendah, angka

keluar-masuk tinggi, kompensasi pekerja, dan peningkatan biaya

asuransi kesehatan (National Safety Council, 2003: 6).

Stres akibat kerja mempunyai gejala-gejala sebagai berikut

(Kementerian Kesehatan, 2011):

- Gejala fisiologis berupa otot tegang, jantung berdebar-debar, perut

mual, dan keringat dingin.

- Gejala psikologis berupa mudah marah, emosi meledak-ledak, serta

mudah panik.

- Gejala psikosomatik berupa gangguan muskuloskeletal (nyeri otot,

kram), gangguan sistem pernapasan (asma, spasmus bronchitis),

gangguan kardiovaskuler (migrain, hipertensi), gangguan kulit

(eksim, jerawat), gangguan kelenjar endokrin (hipertiroid, diabetes,

infertilitas), gangguan sistem saraf (neurostenia), gangguan mata

16
(glaucoma), gangguan gastrointestinal (gastritis, peptic ulcer,

diare), gangguan genitourinarial (dismenorhea, gangguan haid).

- Gejala perilaku berupa absensi, menghindari interaksi atau

komunikasi dengan orang lain, menghindari hal-hal yang biasa

disukai, sulit tidur, perubahan kebiasaan makan, banyak merokok,

gangguan tidur, tidak masuk kerja, serta penurunan prestasi kerja.

2. Burn Out (Kelelahan Berat/ Kejenuhan)

Burn out merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan

kelelahan berat yang prosesnya bertahap dan dalam responnya terhadap

stres maupun ketegangan fisik, mental, dan emosional yang

berkepanjangan, melepaskan diri dari pekerjaan dan hubungan

bermakna lainnya. Akibatnya, karyawan akan mudah mengalami

sinisme, kebingungan, perasaan yang terkuras, merasa tidak memiliki

sesuatu lagi untuk memberi, serta produktivitas menurun. Berikut

contoh penyebab burn out yang berkaitan dengan faktor psikososial

(Kementerian Kesehatan, 2011):

- Merasa hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada otoritas

dalam melaksanakan pekerjaannya.

- Kurangnya pengakuan atau reward atas pekerjaan yang baik.

- Ketidakjelasan fungsi atau tugasnya.

- Terlalu menuntut atau mempunyai harapan yang lebih terhadap

tempat dia bekerja.

- Melakukan pekerjaan yang monoton.

- Bekerja dalam suasana tegang.

17
Selain faktor pekerjaan, gaya hidup seseorang juga berpengaruh

terhadap kelelahan saat bekerja karena (Kementerian Kesehatan,

2011):

- Bekerja terlalu banyak atau berat tanpa diimbangi dengan waktu

untuk bersantai atau hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan

yang lain.

- Menjadi seseorang yang mempunyai banyak figur bagi orang lain.

- Mengambil cukup banyak tanggung jawab tanpa bantuan orang

lain.

- Kurang waktu tidur.

- Hubungan yang kurang baik dengan orang terdekatnya, seperti

keluarga.

- Mempunyai beberapa kecenderungan kepribadian: perfeksionis,

pesimistis dalam melihat diri sendiri dan dunia, kebutuhan untuk

berada pada posisi atas, keraguan untuk mendelegasikan kepada

orang lain, serta keinginan untuk selalu menjadi yang tertinggi atau

terbaik.

Beberapa gejala burn out antara lain: kecemasan dan depresi, sikap

sinis, sikap selalu curiga, penggunaan alkohol dan obat terlarang,

penampilan terlalu percaya diri, serta berulang-ulang merasa sakit

secara fisik dengan masalah sakit kepala, perut, masuk angin, dan lain

sebagainya. Berikut empat tahapan burn out (Kementerian Kesehatan,

2011):

18
1) Phase 1: Kelelahan fiisk, mental, dan emosional.

2) Phase 2: Merasa malu dan penuh keraguan, serta semua hal terasa

sulit.

3) Phase 3: Sinisme dan perasaan tidak nyamanberkepanjangan. Pada

fase ini seseorang hanya ingin dibiarkan sendiri, tidak punya energi

atau merasa tidak punya kepentingan lagi terhadap hal yang biasa

dilakukan.

4) Phase 4: Merasa jadi orang yang gagal, tidak berdaya, dan berada

dalam krisis yang ditandai denganputus asa, kesal, marah, dan

frustasi, serta kehilangan minat atau motivasi yang mendorong

untuk mengambil peran tertentu dalam pekerjaan atau kehidupan.

Terdapat beberapa perbedaan antara stres kerja dengan burn out.

Berikut perbedaan antara streskerja dengan burn out yang tercantum

pada tabel 2.1 (Kementerian Kesehatan, 2011):

Tabel 2.1 Perbedaan antara Stres Kerja dengan Burn Out

No Stres Kerja Burn Out


1 Emosi reaksi berlebihan Emosi yang tumpul
2 Menghasilkan urgensi dan hiperaktif Menghasilkan ketidakberdayaan dan keputusasaan
3 Kehilangan energy Kehilangan motivasi, cita-cita, dan harapan
4 Mengarah pada gangguan kecemasan Menghasilkan datasemen dan depresi
5 Kerusakan primer adalah fisik Kerusakan primer adalah emosional
6 Bisa membunuh secara prematur Mungkin membuat hidup tampak tidak berguna

19
3. Ansietas (Gangguan Cemas/ Gangguan Ansietas Menyeluruh)

Pada gangguan ansietas ini, pasien akan memperlihatkan gejala fisik

yang berkaitan dengan ketegangan, seperti: sefalgia, jantung berdebar

keras, insomnia. Selain gejala-gejala tersebut, terdapat ciri lain yang

dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik, antara lain (Kementerian

Kesehatan, 2011):

- Ketegangan mental (cemas, bingung, rasa tegang atau gugup,

konsentrasi menurun).

- Ketegangan fisik (gelisah, sefalgia, tremor, tidak bisa santai).

- Muncul gejala fisik (pusing, berkeringat, denyut jantung cepat,

mulut kering, nyeri perut). Gejala-gejala tersebut bisa berlangsung

selama berbulan-bulan dan sering muncul kembali bagi beberapa

orang yang mempunyai rasa kekhawatiran secara kronik.

4. Gangguan Penyalahgunaan Napza dan Alkohol

Seseorang diketahui telah mengalami penyalahgunaan napza atau

alkohol jika ditemukan tiga/ lebih gejala di bawah selama satu tahun:

- Adanya keinginan atau dorongan yang kuat untuk menggunakan

zat adiktif.

- Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat

terlarang.

- Keadaan putus zat secara fisiologis ketika dilakukan penghentian

penggunaan zat dengan menunjukkan gejala yang khas.

20
- Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan zat adiktif yang

diperlukan untuk memperolek efek yang sama ketika biasanya

diperoleh dengan dosis yang lebih rendah.

- Sering mengabaikan minat terhadap hal lain akibat penggunaan zat

adiktif.

- Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari efek merugikan

yang ditimbulkan bagi kesehatan.

5. Depresi

Depresi didefinisikan sebagai perasaan yang sedih dan kehilangan

minat terhadap segala sesuatu. Pada kondisi sedih, beberapa jenis

neurotransmitter akan mengalami perubahan dan terjadi pemindahan

intraneuronal di otak, yang kemudian akan menyebabkan hilangnya

fungsi neuron tertentu dan hambatan berlebih terhadap hubungan dalam

synaps. Kondisi ini bisa disebabkan oleh faktor risiko yang sama

dengan penyebab stres kerja. Gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain

(Kementerian Kesehatan, 2011):

1) Gejala utama: afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan,

mudah lelah (energi menurun).

2) Gejala lain:

a. Menurunnya konsentrasi dan perhatian.

b. Rasa kepercayaan diri atau harga diri berkurang.

c. Merasa tidak berguna dan selalu merasa bersalah.

d. Gagasan bunuh diri.

e. Tidur terganggu.

21
f. Nafsu makan berkurang.

g. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis.

3) Tanda-tanda:

a. Rasa lelah yang terus-menerus bahkan saat istirahat.

b. Hilangnya rasa senang yang biasa dinikmati.

c. Mulai menarik diri dari interaksi sosial.

Dari gejala dan tanda tersebut, seseorang dapat ditetapkan sebagai

penderita atau pasien depresi apabila:

- Sekurang-kurangnya mengalami dua dari tiga gejala utama.

- Sekurang-kurangnya mengalami dua gejala lainnya.

- Selamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya dua

minggu.

Tabel 2.2 Klasifikasi Depresi

Gejala Utama Gejala Lainnya


No. Depresi Fungsi Keterangan
Minimal Minimal
1. Ringan 2 2 Baik Distres ±
Berlangsung minimal
2. Sedang 2 3 dan 4 Terganggu
dua minggu
3. Berat 3 4 Sangat Terganggu Intensitas gejala berat
(Kementerian Kesehatan, 2011)

Kategori pada tabel 2.2 merupakan pengklasifikasian depresi secara

umum. Secara klinis praktis ada bentuk pengklasifikasian lain,

diantaranya:

22
1. Depresi agitatif: sering ditandai dengan aktivitas yang meningkat,

mondar-mandir, mengejar-ngejar orang, terus-menerus meremas-

remas tangan, dan lain-lain.

2. Depresi dan ansietas: gangguan cemas menyeluruh atau fobia dapat

terjadi bersamaan dengan depresi.

3. Depresi terselubung: ketidakmunculan gejala depresi bukan suatu

halangan untuk mendiagnosis depresi.

4. Somatisasi: gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang

sebenarnya dari gangguan depresi namun dapat juga diperberat

dengan adanya depresi.

5. Pseudodemensia: pasien depresi yang menunjukkan gangguan

memori bermakna seperti yang dialami pasien dimensia.

6. Depresi sekunder pada demensia: depresi yang ditemukan pada

stadium awal penyakit demensia, yang kemungkinan terjadi sebagai

akibat dari insight akan deteriorasi fungsi serta menurunnya

kemampuan secara progresif.

Pada kasus depresi, sering pula ditemukan adanya komorbiditas.

Komorbiditas merupakan sutu kondisi yang menggambarkan adanya

dua atau lebih gangguan psikistrik atau gangguan psikiatrik dengan

penyakit fisik lain pada seorang pasien pada waktu yang sama.

Beberapa kondisi komorbiditas yang sering dijumpai antara lain

(Kementerian Kesehatan, 2011):

- Gangguan depresi dan stroke.

- Gangguan depresi dan diabetes mellitus.

23
- Gangguan depresi dan infark miokard atau penyakit jantung

koroner.

- Gangguan depresi dan penyakit parkinson.

- Gangguan depresi dan penyakit lain (Alzheimer, huntington, dan

lain-lain).

6. Gangguan Somatoform Akibat Kerja

Gangguan somatoform didefinisikan sebagai sekumpulan

gangguan yang memiliki gejala fisik, seperti nyeri, mual, dan pusing

namun secara medis tidak ditemukan secara jelas apa penyebabnya.

Gangguan ini bukan merupakan gangguan buatan atau gangguan pura-

pura yang disadari. Pasien yang menderita gangguan somatoform akan

mengalami penderitaan emosional dan keluhan somatik yang sangat

mengganggu karena penyebabnya tidak bisa dihilangkan begitu saja

dengan perawatan medis (Kementerian Kesehatan, 2011).

Biasanya, gejala akan muncul dalam waktu tiga bulan setelah

peristiwa traumatis yang dialami. Penderita akan terlihat menghindari

atau tampak mati rasa, cemas, bahkan menunjukkan reaksi emosional

yang hebat jika diingatkan kembali atau dihubungkan dengan peristiwa

tersebut. Selain itu, penderita gangguan ini sering mengalami flashback

atau mimpi buruk tentang traumanya, emosi menjadi tidak stabil,

mudah marah atau sedih, mudah merasa takut, sulit berkonsentrasi,

bahkan sampai mengalami gangguan memor. Pada dasarnya, gejala-

gejala tersebut tidak selalu dirasakan oleh penderita namun akan

muncul jika terdapat hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa. Sebagai

24
contohnya adalah korban perkosaan yang merasa takut luar biasa saat

mendengar berita mengenai kasus perkosaan (Kementerian Kesehatan,

2011).

Untuk dapat dipastikan sebagai gangguan somatoform, biasanya

penderita akan mengalami (Kementerian Kesehatan, 2011):

- Berbagai macam keluhan-keluhan fisik yang tidak diketahui secara

pasti apa penyebabnya dan sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.

- Tidak mau menerima penjelasan dokter bahwa tidak ada kelainan

fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhan yang dialami.

- Mengalami disabilitas fungsi dalam keluarga dan masyarakatakibat

sifat keluhan-keluhan serta dampak dari perilakunya.

2.4 Faktor-faktor Pembentuk Psikososial

Banyak sumber yang mendefinisikan faktor-faktor pembentuk

psikososial. Berbagai macam penelitian mengungkapkan definisi yang

berbeda namun pada dasarnya memiliki aspek yang hampir sama. Karasek

dkk. (1998) mengidentifikasikan lima aspek utama yang membangun

kerangka psikososial, yaitu: decision latitude (kebebasan dalam mengambil

keputusan), physical demands (tuntutan fisik), psychological demands

(tuntutan psikologi), social support (dukungan sosial), organizational level

(mutu organisasi), job dissatisfaction (ketidakpuasan pekerjaan), dan job

insecurity (ketidakamanan dalam bekerja).

Faktor pembentuk psikososial secara utuh juga dikembangkan oleh

Tage Sondergard Kristensen dan Vilhelm Borg dari Danish National

Institute for Occupational Health di Copenhagen. Artikel penelitian

25
mengenai pengembangan COPSOQ I menjadi COPSOQ II dikeluarkan pada

tahun 2010 (Kristensen, 2010). Dari perkembangan tersebut diperoleh

beberapa penambahan aspek penting yang terkait dengan psikososial. Pada

kuesioner COPSOQ II, terdapat 3 jenis kuesioner yaitu: short questionnaire,

medium questionnaire, dan long questionnaire. Perbedaan masing-masing

kuesioner adalah banyaknya komponen faktor yang dianalisis. Faktor-faktor

yang tercakup di dalamnya antara lain: demands at work (tuntutan di tempat

kerja), work organization and job contents (organisasi kerja dan konten

pekerjaan), interpersonal relations and leadership (hubungan interpersonal

dan kepemimpinan), work individual interface (bekerja antarmuka

individu), values at workplace level (nilai-nilai di level tempat kerja), health

and well-being (kesehatan dan kesejahteraan), personality (kepribadian),

offensive behaviours (perilaku ofensif) (Pejtersen dkk, 2010).

Dalam penelitian ini faktor psikososial yang digunakan untuk

pengukuran merujuk pada kuesioner COPSOQ II. Kuesioner ini berisi 8

faktor psikososial yang terdiri dari 141 item pertanyaan. Dari kedelapan

faktor terdapat kompoen-komponen yang mampu memberikan gambaran

psikososial pekerja di area tempat mereka bekerja (Pejtersen, 2010).

2.4.1 Tuntutan di Tempat Kerja

Tuntutan di tempat kerja merupakan faktor pertama yang

membangun kuesioner COPSOQ II. Faktor ini meliputi 6 komponen,

yaitu: tuntutan kuantitatif, kecepatan kerja, tuntutan kognitif, dan

tuntutan emosional, tuntutan untuk menyembunyikan emosi, dan

tuntutan sensorik. Tuntutan kuantitatif berkaitan dengan jumlah

26
barang produksi yang diminta. Kecepatan kerja berhubungan dengan

kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu.

Tuntutan kognitif berhubungan dengan kemampuan untuk

memikirkan jawaban atau pemecahan atas suatu masalah. Tuntutan

emosional berkaitan dengan kondisi senang, sedih, marah, cemas,

takut, dan sebagainya. Tuntutan untuk menyembunyikan emosi

berkaitan dengan pengendalian diri tehadap suatu emosi ketika

berada di tempat kerja. Tuntutan sensorik berkaitan dengan pengaruh

dari luar yang diterima oleh panca indera manusia (Pejtersen, 2010).

Pada faktor ini dijelaskan bahwa emosi tenaga kerja menyiratkan

ekspresi emosi tertentu sebagai bagian dari tugas yang berhubungan

dengan klien, pelanggan, murid atau pasien (Eurofound, 2012). Pada

beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa tingginya tuntutan

kognitif dapat berpengaruh pada peningkatan risiko penyakit,

kecelakaan kerja, serta masalah kesehatan mental. Selain itu, dengan

tuntutan emosi tinggi dan tingkat kepuasan kerja yang rendah,

diperoleh beberapa risiko kesehatan berupa kelelahan, burnout, serta

tekanan psikologis (Eurofound, 2012).

Pada sebuah buku yang ditulis oleh Molloy (2010), sebuah

tuntutan dan beban kerja berlebih bisa memicu adanya stres di

tempat kerja. Penelitian dari Hariyati (2011) mengungkapkan bahwa

tuntutan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

terjadinya kelelahan kerja pada pekerja linting manual di PT. Djitoe

Indonesia Tobacco Surakarta. Penelitian lain dari Susetyo, Oesman,

27
dan Sudharman (2012) mengungkapkan bahwa tuntutan kerja berupa

perbedaan waktu kerja pagi atau siang berpengaruh terhadap tingkat

kelelahan pekerja. Untuk kelelahan subjektif diketahui pada pekerja

shift siang mempunyai tingkat kelelahan yang lebih tinggi daripada

pekerja shift pagi. Diketahui pula dari Oktaviana (2010) bahwa

ditemukan adanya hubungan penyesuaian diri dengan kecemasan

sebagai efek dari tuntutan kerja pada mahasiswa perawat praktek.

Dukungan lain dari penelitian Anwarsyah (2012) bahwa tuntutan

pekerjaan berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan kerja

karyawan.

2.4.2 Organisasi Kerja dan Konten Pekerjaan

Dalam COPSOQ II, faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan meliputi 6 komponen yaitu: pengaruh, kemungkinan

pengembangan, variasi, arti pekerjaan, komitmen di tempat kerja,

dan derajat kebebasan di tempat kerja. Pengaruh dimaksudkan

sebagai seberapa besar pengaruh seorang pekerja terhadap organisasi

di tempat dia bekerja. Kemungkinan pengembangan dimaksudkan

sebagai kemungkinan seorang pekerja untuk dapat berkembang di

tempat kerjanya. Variasi berhubungan dengan berbagai jenis

pekerjaan yang dilakukan pekerja di tempat kerja. Arti pekerjaan

merupakan seberapa besar arti pekerjaan tersebut bagi pekerja.

Komitmen di tempat kerja merupakan seberapa besar komitmen

pekerja terhadap pekerjaannya. Derajat kebebasan di tempat kerja

dimaksudkan untuk mengetahui apakah pekerja merasa terkekang

28
atau tidak selama bekerja (Pejtersen, 2010). Faktor ini hampir sama

dengan konsep job control yang terdapat di kuesioner JCQ milik

Karasek (1998). Pada faktor ini diuraikan mengenai keterampilan

kebijaksanaan dan pembangunan serta keputusan otoritas, seperti:

apakah pekerjaan tersebut menyaratkan pemecahan masalah yang

tidak terduga terhadap diri pekerja sendiri, apakah pekerja belajar

mengenai hal-hal baru atau monoton atau berulang-ulang, apakah

setiap pekerja tersebut mempunyai pengaruh terhadap permintaan

tugas atau keputusan, apakah seorang pekerja dapat beristirahat

ketika dia ingin, dan lain sebagainya (Eurofound, 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih (2001),

diketahui bahwa komitmen organisasi dan komitmen profesional

berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi dan kepuasan kerja.

Pada dasarnya, motivasi kerja merupakan hal yang penting dalam

menunjang kinerja karyawan saat bekerja (Chandraningtyas,

Musadieq, dan Utami, 2012). Motivasi kerja diketahui berhubungan

dengan kecenderungan dalam mengalami burn out Pada penelitian

yang dilakukan Tawale, Budi, dan Nurcholis (2011), terhadap

perawat di RSUD Serui-Papua diketahui bahwa terdapat hubungan

negatif antara motivasi kerja perawat dengan kecenderungan

mengalami burn out. Artinya, semakin tinggi motivasi kerja yang

dimiliki perawat maka kecenderungan untuk mengalami burn out

akan semakin rendah, dan begitu sebaliknya.

29
2.4.3 Hubungan Interpersonal dan Kepemimpinan

Faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan meliputi 10

komponen yang terdapat dalam kuesioner COPSOQ II, yaitu:

prediktabilitas, pengakuan (reward), kejelasan peran, konflik peran,

kualitas kepemimpinan, dukungan sosial dari atasan, dukungan

sosial dari rekan kerja, umpan balik, hubungan sosial, dan komunitas

sosial. Prediktabilitas merupakan kemungkinan untuk mendapatkan

informasi terkait pekerjaan di tempat kerja. Pengakuan atau reward

berhubungan dengan apresiasi yang didapat pekerja di tempat kerja.

Kejelasan peran berarti terdapat pembagian tanggung jawab yang

jelas di antara para pekerja. Konflik peran berkaitan dengan adanya

benturan dari dua atau beberapa peran yang harus dilakukan.

Kualitas kepemimpinan berkaitan dengan seberapa baik seorang

atasan dapat menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin.

Dukungan sosial dari atasan akan menunjukkan seberapa baik

hubungan antara bawahan dan atasan. Dukungan sosial dari rekan

kerja dimaksudkan untuk melihat seberapa baik hubungan antar

rekan kerja. Umpan balik dapat menggambarkan peranan aktif dari

pekerja di tempat kerja. Hubungan sosial dan komunitas sosial dapat

menggambarkan kondisi sosial antara atasan, bawahan, dan sesama

rekan kerja di tempat kerja (Pejtersen, 2010). Indikator yang terdapat

di dalam faktor ini berisi tentang dukungan dari rekan-rekan kerja

maupun supervisor, iklim sosial (social climate), dan job rewards.

Dari beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa dukungan sosial

30
yang rendah dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti

stres, penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner, gangguan

mental yang umum, depresi, serta sakit leher (Eurofound, 2012).

Untuk menjaga kualitas iklim sosial di tempat kerja biasanya

didukung oleh adanya dukungan sosial dari rekan kerja melalui

beberapa kesempatan kontak yang menyenangkan dan bermakna

karena merasa sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar,

serta memperoleh gambaran informasi strategis tentang kinerja diri

sendiri dan posisi kekuasaan informal di tempat kerja (Schabracq,

2003 dalam Eurofound, 2012).

Reward yang terdapat di dalam faktor ini sering dikenal pada

teori pertukaran sosial yang diungkapkan oleh Cosmides dan Tooby

(1992) dalam Eurofound (2012) bahwa reward diperlukan sebagai

akibat dari ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan yang tinggi

dan manfaat yang rendah. Ketidakseimbangan yang tidak dicari

penyelesaiannya diketahui dapat memicu timbulnya stres. Sedangkan

pada kuesioner COPSOQ II, reward berfokus pada keadilan sosial

atau harga diri.

Dari contoh penelitian Almasitoh (2011), diketahui bahwa

konflik peran ganda dan dukungan sosial, yang merupakan faktor

psikososial berhubungan dengan kejadian stres kerja pada perawat di

salah satu rumah sakit swasta Yogyakarta. Hasil yang sama

diperoleh dari penelitian Murtiningrum (2005) bahwa konflik peran

pekerjaan keluarga dan dukungan sosial berpengaruh terhadap stres

31
kerja pada studi kasus guru kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten

Kendal. Adapun penelitian lain mengungkapkan bahwa konflik

peran ganda berhubungan dengan motivasi kerja pada karyawati di

rumah sakit Abdul Rivai-Berau (Rahmadita, 2013). Pada penelitian

ini, hubungan yang dihasilkan menunjukkan korelasi negatif, yang

berarti semakin rendah konflik peran ganda seseorang maka semakin

tinggi motivasi kerjanya, dan begitu pula sebaliknya. Pada

penjelasan sebelumnya diketahui bahwa motivasi kerja mempunyai

kecenderungan untuk menyebabkan kejadian burn out pada pekerja

(Tawale, Budi, dan Nurcholis, 2011).

2.4.4 Bekerja antarmuka Individu

Faktor ini membahas mengenai seberapa baik organisasi kerja

sesuai dengan kebutuhan dan komitmen individu, yang berhubungan

dengan keseimbangan kehidupan kerja dan keamanan kerja.

Terdapat 4 komponen yang terdapat pada faktor ini, yaitu:

ketidakamanan dalam bekerja, kepuasan kerja, konflik kerja-

keluarga, dan konflik keluarga-pekerjaan. Ketidakamanan dalam

bekerja berhubungan dengan gambaran kondisi kenyamanan pekerja

di tempat kerja serta untuk mengetahui apakah terdapat ancaman

yang mengganggu mereka di tempat kerja. Kepuasan kerja berkaitan

dengan rasa puas yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya.

Konflik kerja-keluarga berkaitan dengan pengaruh pekerjaan

terhadap masalah keluarga di rumah. Konflik keluarga-pekerjaan

32
berkaitan dengan pengaruh masalah rumah tangga terhadap

produktivitas pekerja di tempat kerja (Pejtersen, 2010).

Keseimbangan kehidupan kerja sering kali terkait dengan

konflik kerja-keluarga, yang mana pada beberapa penelitian tertentu

dapat berdampak buruk pada kesehatan pekerja seperti burnout dan

tekanan psikologis atau rendahnya kesejahteraan psikologis.

Sedangkan dalam hal keamanan kerja berhubungan dengan persepsi

pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan dan masa kerja mereka

di masa yang akan datang. Pada penelitian Gallie dkk (1998) dan

Artazcoz dkk (2005) dalam Eurofound (2012) dijelasakan bahwa

pekerja dengan status sosial ekonomi rendah akan lebih rentan

terhadap efek dari ketidakamanan kerja karena umumnya mereka

memiliki jumlah tabungan dan aset yang lebih rendah untuk

mengkompensasi kehilangan pekerjaan, serta keterampilan dan

pendidikan yang lebih rendah akan ikut berperan dalam mengurangi

masa kerja mereka di masa depan. Sama halnya dengan konflik

kerja-keluarga, efek yang ditimbulkan dari rasa ketidakamanan ini

akan berdampak pada kondisi mental yang buruk (Eurofound, 2012).

Pada penelitian Prestiana dan Putri (2013) diketahui bahwa

faktor psikologi berupa internal locus of control dan job insecurity

(ketidakamanan dalam bekerja) berhubungan dengan kejadian burn

out pada guru honorer sekolah dasar negeri di Bekasi Selatan. Pada

penelititan tersebut diketahui bahwa internal locus of control dengan

kejadian burn out mempunyai hubungan negatif. Sedangkan job

33
insecurity mempunyai hubungan positif terhadap kejadian burn out

pada guru honorer sekolah dasar negeri di Bekasi Selatan. Penelitian

lain dari Alteza dan Hidayati (2011) diketahui bahwa konflik kerja-

keluarga dapat mengakibatkan efek psikologi yang berbahaya bagi

diri pekerja sendiri maupun bagi lingkungan sosial di sekitarnya.

Pada penelitian lain ditemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh

terhadap komitmen organisasi (Seniati, 2006).

2.4.5 Nilai-nilai di Level Tempat Kerja

Terdapat 4 komponen pada faktor nilai-nilai di level tempat

kerja, yaitu: kepercayaan terhadap manajemen, saling percaya antar

karyawan, keadilan, dan inklusivitas sosial. Faktor ini

menggambarkan kepercayaan dan keadilan di tempat kerja, seperti

kepercayaan antar karyawan, perilaku karyawan terhadap

manajemen, serta kepercayaan antara karyawan dan manajemen.

Kepercayaan terhadap manajemen berkaitan dengan seberapa besar

kepercayaan pekerja terhadap pihak manajemen perusahaannya.

Saling percaya antar karyawan menggambarkan kondisi saling

percaya antar para pekerja, seperti apakah mereka saling membantu

tatkala salah satu di antara mereka membutuhkan bantuan. Keadilan

menggambarkan kondisi keadilan terhadap para pekerja di tempat

kerja, seperti keadilan dalam hal pembagian kerja, perlakuan yang

sama terhadap semua karyawan, dan penyelesaian konflik secara adil

atau tidak memihak. Inklusivitas sosial menggambarkan kemandirian

para pekerja sebagai upaya peningkatan kualitas hidup mereka di

34
tempat kerja. Hal ini dimaksudkan tentang kemandirian dan

kemampuan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri

sebagai salah satu bagian dari satuan pekerja lain yang memperoleh

perlakuan dan kesempatan yang sama (Pejtersen, 2010).

Kepercayaan terhadap manajemen dapat terjalin melalui gaya

kepemimpinan yang dilakukan. Diketahui dari penelitian Reza

(2010) bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kerja mempunyai

pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Selain itu, keadilan di

tempat kerja juga mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap

adanya kecurangan, baik kecurangan antar karyawan atau

kecurangan antara karyawan dengan manajemen (Herman, 2013 dan

Puspitadewi & Irwandi, 2012).

2.4.6 Kesehatan dan Kesejahteraan

Tedapat 10 komponen yang terdapat pada faktor kesehatan dan

kesejahteraan pada kuesioner COPSOQ II, yaitu: persepsi umum

terhadap kesehatan, burn out, stres, gangguan tidur, gejala depresi,

gejala stres somatik, gejala stres kognitif, kesehatan mental, vitalitas,

dan perilaku stres. Persepsi umum terhadap kesehatan menunjukkan

pengetahuan dasar pekerja terkait kesehatan. Burn out merupakan

kelelahan berat atau kejenuhan. Stres merupakan sebuah tekanan

yang tidak menyenangkan dan berasal dari luar diri seseorang.

Depresi dapat didefinisikan sebagai perasaan yang sedih dan

kehilangan minat terhadap segala sesuatu. Stres momatik merupakan

kondisi stres yang dipicu oleh kondisi fisik atau jasmani seseorang.

35
Stres kognitif merupakan kondisi stres yang dipicu hasil pemikiran-

pemikiran tertentu. Vitalitas menggambarkan kemampuan bertahan

hidup seseorang (Pejtersen, 2010). Faktor kesehatan dan

kesejahteraan merupakan faktor kunci yang berperan dalam

meningkatkan kehidupan individu dalam masyarakat karena

berhubungan langsung dengan isu-isu partisipasi dan produktivitas

kerja. Faktor ini mengkaji hubungan antara pekerjaan dengan

kesehatan dan kesejahteraan individu (Eurofound, 2012).

Pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan seseorang

karena dapat memberikan pendapatan dan merupakan sarana

kemajuan sosial. Kualitas pekerjaan yang baik akan berdampak

langsung pada kualitas hidup individu. Sedangkan pekerjaan juga

bisa dikatakan sebagai pusat kesehatan karena banyaknya berbagai

macam faktor risiko di tempat kerja yang dapat menyebabkan

kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Masalah yang berkaitan

dengan kesehatan mental seperti depresi dan stres merupakan fokus

utama yang dijadikan perhatian karena dapat menyebabkan

penurunan kesejahteraan pekerja dan berdampak pada

ketidakmampuan untuk bekerja (Eurofound, 2012).

Penelitian Marchira, Wirasto, dan Sumarni (2007)

menunjukkan bahwa dukungan sosial dan tingkat religiusitas

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian depresi pada

lansia. Tuntutan kerja diketahui juga berpengaruh terhadap

terjadinya kecemasan pada pekerja (Oktaviana, 2010). Dalam

36
penelitiannya Anwarsyah (2012) menegaskan bahwa tuntutan

pekerjaan berpengaruh signifikan terhadap kesehatan dan

kesejahteraan kerja karyawan.

2.4.7 Kepribadian

Faktor personality mencakup 5 komponen dalam kuesioner

COPSOQ II, yaitu: keyakinan diri, makna hubungan, pengendalian

masalah, pengendalian selektif, dan pengendalian untuk berhenti.

Pada faktor ini dapat diketahui gambaran tingkat kepercayaan diri

responden serta kemampuan mereka dalam memecahkan masalah

tidak terduga atau kesulitan dalam hidup (Pejtersen, 2010).

Penelitian Prestiana dan Purbandini (2012) menunjukkan

bahwa faktor psikososial berupa efikasi diri (self efficacy)

mempunyai korelasi yang tinggi terhadap kejadian kejenuhan kerja

(burn out) pada perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Dari

hasil penelitian didapatkan hasil koefisien korelasi sebesar r = -0,470

dan tingkat signifikansi 0,003 (p < 0,05). Artinya semakin tinggi

tingkat self efficacy seorang perawat maka semakin rendah tingkat

burn out-nya. Pada penelitian lain diketahui bahwa keterlibatan

kerja, komitmen organisasi dan lingkungan kerja berpengaruh positif

terhadap keyakinan diri (self-efficacy), yang selanjutnya

mempengaruhi motivasi kerja karyawan (Damarstuti, Djastuti, dan

Yuniawan, 2010). Pada akhirnya, motivasi kerja dapat menyebabkan

dampak lebih lanjut terhadap kondisi fisik atau psikis karyawan.

37
2.4.8 Perilaku Ofensif

Faktor ini meliputi 7 komponen yang terdapat pada kuesioner

COPSOQ II, yaitu: pelecehan seksual, ancaman kekerasan,

kekerasan fisik, intimidasi (bullying), godaan yang tidak

menyenangkan, konflik dan pertengkaran, gosip dan fitnah. Pada

faktor ini akan tergambarkan berbagai macam perilaku negatif yang

mungkin diterima karyawan di tempat kerja, baik dari sesama rekan

kerja maupun pihak manajemen (Pejtersen, 2010).

Perilaku bullying di tempat kerja jarang mendapatkan

perhatian khusus dari berbagai pihak. Perilaku ini cenderung

bertujuan untuk mengintimidasi atau merendahkan orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian pada sebuah rumah sakit di

Batusangkar, diketahui terdapat sebanyak 69,4% perawat mengalami

bullying dan 71,4% perawat mengalami penurunan motivasi kerja.

Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan

negatif antara perilaku bullying dan motivasi kerja pada perawat

(Zonedy, 2014). Selain pem-bully-an, kerap kali terjadi eksploitasi

fisik berupa pelecehan seksual dan eksploitasi ekonomi berupa

waktu kerja sampai malam hari, serta tidak terpenuhinya hak-hak

pekerja perempuan seperti faktor keselamatan dan hak untuk cuti.

Hal ini sering terjadi pada pekerja sales promotion girls (SPG) pada

industri rokok dan minuman (Lestari, 2012).

38
2.5 Pengukuran Faktor Psikososial

a) JCQ (Job Content Questionnaire)

JCQ merupakan sebuah kuesioner yang digunakan untuk menilai faktor

psikososial dari sebuah pekerjaan. Terdapat lima skala utama yang

digunakan pada JCQ, yaitu: decision latitude (kebebasan dalam

mengambil keputusan), physical demands (tuntutan fisik),

psychological demands (tuntutan psikologi), social support (dukungan

sosial), organizational level (mutu organisasi), job dissatisfaction

(ketidakpuasan pekerjaan), dan job insecurity (ketidakamanan dalam

bekerja). Semua skala tersebut digunakan untuk level mikro, dimana

mempunyai tujuan untuk menganalisis karakteristif pekerjaan, seperti:

menilai risiko relatif dari paparan yang diterima individu pada tempat

kerja yang berbeda dengan penyakit akibat kerja yang berhubungan,

stres psikologi, penyakit jantung koroner, penyakit muskuloskeletal,

dan kelainan organ reproduksi. Pada JCQ (Job Content Questionnaire)

terdapat variasi pilihan sebanyak empat jawaban, yaitu: 1 = sangat tidak

setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju (Karasek dkk,

1998).

b) PSS (Perceived Stress Scale)

PSS merupakan instrumen psikologi untuk mengukur persepsi stres

yang paling sering digunakan. Item skala yang terdapat di dalamnya

dapat menggambarkan tingkat stres yang sedang dihadapi oleh

seseorang, mencakup seberapa tidak terprediksikannya, seberapa tidak

bisa dikontrolnya, dan seberapa beratnya beban yang dirasakan oleh

39
responden dalam hidupnya. Semua item yang terdapat pada PSS ini

sangat mudah dimengerti karena berisi pertanyaan-pertanyaan umum

yang sering dialami. Pada kuesioner PSS (Perceived Stress Scale)

terdapat variasi pilihan sebanyak lima jawaban, yaitu: 0 = tidak pernah,

1 = hampir tidak pernah, 2 = kadang-kadang, 3 = cukup sering, 4 =

sangat sering (Cohen, 2015).

c) Life Event Scale

Kuesioner life event scale merupakan salah satu tools yang dapat

digunakan untuk mengukur stres kerja dengan cara megobservasi

perubahan-perubahan perilaku dan berisi mengenai intensitas

pengalaman psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik yang dialami

dalam peristiwa kehidupan seseorang. Kelebihan dari kuesioner ini

antara lain: dianggap paling manageable, biayanya murah, dapat

digunakan untuk meneliti ilmu sosial dan perilaku dan dapat

memprediksi kemungkinan menjadi stres karena suatu penyakit.

Sedangkan kekurangannya adalah terdapat banyak pertanyaan di

dalamnya. Kuesioner life event scale ini berisi 75 pertanyaan yang

berisi tentang intensitas gejala psikologis, fisiologis, dan perubahan

fisik. Terdapat 5 variasi pilihan jawaban, yaitu: 0 = tidak pernah, 1 =

jarang, 2 = kadang-kadang, 3 = sering, 4 = setiap hari. Untuk indikator

penilaian 0-70 dikatakan tidak mengalami stres sedangkan ≥ 71

mengalami stres (Rivai, 2014).

40
d) HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)

Kuesioner HARS merupakan kuesioner yang digunakan untuk

mengukur kecemasan seseorang yang didasarkan pada munculnya

gejala pada individu yang mengalami kecemasan. Terdapat 14 item

penilaian kecemasan yang terdapat pada HARS, diantaranya: perasaan

cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan,

perasaan depresi, gejala somatik (otot-otot), gejala sensorik, gejala

kardiovaskuler, gejala pernapasan, gejala gastrointestinal, gejala

urogenital, gejala autonom, dan tingkah laku pada wawancara

(Nursalam, 2004).

Terdapat 5 variasi pilihan jawaban, yaitu: 0 = tidak ada (tidak ada gejala

dari pilihan yang ada), 1 = ringan (satu gejala dari pilihan yang ada), 2

= sedang (kurang dari separuh dari pilihan yang ada), 3 = berat (separuh

atau lebih dari pilihan yang ada), 4 = sangat berat (semua gejala ada).

Untuk indikator penilaian, skor < 14 berarti tidak ada stres, skor 14-20

berarti stres ringan, skor 21-27 berarti stres sedang, skor 28-41 berarti

stres berat, skor 42-56 berarti stres berat sekali (Maier, 1988).

e) COPSOQ (The Copenhagen Psychosocial Questionnaire) II

COPSOQ II merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi

faktor psikososial yang ada di tempat kerja. Kuesioner ini melalui

perkembangan sejak tahun 2010 di Denmark setelah sebelumnya

dikenal dengan sebutan COPSOQ I. Terdapat tujuh faktor penting yang

terdapat pada COPSOQ II, yaitu: demands at work (tuntutan di tempat

kerja), work organization and job contents (organisasi kerja dan konten

41
pekerjaan), interpersonal relations and leadership (hubungan

interpersonal dan kepemimpinan), work individual interface (bekerja

antarmuka individu), values at workplace level (nilai-nilai di level

tempat kerja), health and well-being (kesehatan dan kesejahteraan),

personality (kepribadian), offensive behaviours (perilaku ofensif).

COPSOQ II ini memiliki 3 versi yaitu long version, medium length

version, dan short version. Perbedaan dari ketiganya yaitu dari jumlah

pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, pengguna diberikan

kebebasan dalam menggunakan kuesioner dengan versi yang diinginkan

sesuai dengan kebutuhan (Pejtersen, 2010).

1. COPSOQ II long version biasanya digunakan untuk penelitian

dengan jumlah 141 pertanyaan dan 30 pengukuran.

2. COPSOQ II medium length version biasanya digunakan untuk

lingkungan kerja profesional dengan jumlah 95 pertanyaan dan 26

pengukuran.

3. COPSOQ II short version biasanya digunakan untuk pengukuran

di tempat kerja dengan jumlah 44 pertanyaan dan 8 pengukuran.

COPSOQ II menggunakan skala likert untuk menyediakan respon dari

pertanyaan terkait psikososial. Skala likert yang digunakan biasanya

skala 4atau 5. Semua pertanyaan diberi rentang nilai 0-100. Apabila

menggunakan skala 5, nilainya adalah 0, 25, 50, 75, dan 100 sedangkan

jika menggunakan skala 4 maka penilaiannya adalah 0, 33,3, 66,7, dan

100. Semakin besar nilainya menunjukkan hal yang baik dan juga

42
sebaliknya. Walaupun ada beberapa pertanyaan yang mengandung

makna negatif (Kristensen, 2010).

f) DASS (Depression Anxiety Stress Scale)

DASS (Depression Anxiety Stress Scale) merupakan instrumen

penelitian yang biasa digunakan untuk mengukur tiga masalah

kesehatan akibat pekerjaan, yaitu: depresi, kecemasan, dan stres. DASS

terdiri dari 42 item pertanyaan dengan masing-masing skala berisi 14

item. Skala depresimeliputi: dysphoria, putusasa, devaluasi hidup, sikap

meremehkan diri, kurangnya minat/keterlibatan, anhedonia, dan inersia.

Skala kecemasan meliputi gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan

situasional, dan pengalaman subjektif dari mempengaruhicemas. Skala

stres sensitif terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah, seperti:

kesulitan santai, gairah saraf, dan menjadi mudah marah/gelisah,

mudahtersinggung/over-reaktif dan tidak sabar. Terdapat 4 skor

penilaian terhadap masing-masing skala, yaitu: 0 = tidak pernah, 1 =

jarang, 2 = sering, 3 = selalu (Damanik, 2006).

43
Tabel 2.3 Daftar Kuesioner Psikososial

No Nama Pembuat Kelebihan Kelemahan


Kuesioner Kuesioner
1 JCQ (Job Robert  Terdiri dari beberapa jenis faktor  Tidak adanya faktor
Content Karasek dkk psikososial sehingga terkait stres kerja
Questionnaire) pembahasannya akan lebih
mendetail
 Sangat cocok digunakan untuk
mengukur beban kerja psikososial
2 PSS Sheldon  Terdapat beberapa variasi jumlah  Tidak
(Perceived Cohen pertanyaan tergantung kebutuhan memperhitungkan
Stress Scale)  Fokus pada penilaian stess kerja faktor-faktor
psikososial yang lain
3 Life Event Holmes &  Alat pengukur stres kerja yang  Terlalu banyak
Scale Rahe dianggap paling manageable pertanyaan
 Biaya relatif murah  Lebih fokus terhadap
 Dapat digunakan untuk meneliti stres kerja
ilmu sosial dan perilaku
 Dapat memprediksi kemungkinan
menjadi stres karena penyakit
4 HARS M. Hamilton  Panduan cara pengisisan kuesioner  Hanya menilai tingkat
(Hamilton sudah jelas kecemasan saja
Anxiety Rating  Dapat menilai tingkat kecemasan
Scale) secara mendetail
5 COPSOQ (The Tage  Pembahasan faktor-faktor  Pertanyaan yang
Copenhagen Sondergard psikososial lebih mendetail cukup banyak
Psychosocial Kristensen &  Terdapat variasi jenis pertanyaan sehingga
Questionnaire) Vilhelm Borg sesuai dengan kebutuhan membutuhkan banyak
II  Kuesioner dapat digunakan untuk waktu dan sumber
berbagai macam pekerjaan dan daya
industri  Tidak ada
 Kombinasi data pada kuesioner perbandingan pada
merupakan gabungan dari data level nasional
subjektif dan objektif
 Prosedur analisis yang objektif
6 DASS Lovibond &  Dapat diberikan baik secara  Hanya dapat menilai
(Depression Lovibond kelompok maupun perorangan skala depresi,
Anxiety Stress  Sangat cocok digunakan untuk kecemasan, dan stres
Scale) responden dengan rentang umur
17 – 35 tahun
 Bagus digunakan apabila ingin
mengetahui etiologi, sifat, dan
mekanisme gangguan emosional

44
Pada penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah COPSOQ (The

Copenhagen Psychosocial Questionnaire) II. COPSOP II dipilih karena

dapat digunakan pada berbagai macam pekerjaan dan industri. Pada

COPSOP II terdapat beberapa variasi jumlah pertanyaan yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian. Jenis kuesioner yang dipilih juga dapat

disesuaikan dengan waktu dan biaya penelitian yang ada. Sehingga pada

penelitian ini peneliti memilih COPSOQ II versi short dengan pertimbangan

waktu penelitian dan kondisi pekerja di PT. Sandratex. Pekerja di PT.

Sandratex mayoritas mempunyai umur lebih dari 30 tahun sehingga sulit

memahami pertanyaan yang terlalu panjang dan banyak. Konten faktor

psikososial di dalam kuesioner COPSOQ II juga sesuai dengan kondisi

pekerjaan di PT. Sandratex. Selain itu, pembahasan faktor psikososial yang

terdapat di dalamnya lebih mendetail karena terdapat faktor penyebab

seperti faktor tuntutan di tempat kerja dan juga dampaknya yaitu faktor

kesehatan dan kesejahteraan.

45
Tabel 2.4 Faktor Psikososial

Faktor Psikososial
Decisi Physi Psych Social Orga Job Job Deman Work Interpe Work Values Health Person Offen
Nama on cal ologic Suppor nizati Dissatis Insecur ds at Organiz rsonal Individ at and ality sive
No Kuesio Latitu Dema al t onal faction ity Work ational Relatio ual Workpl Well- Behav
ner de nds Dema Level and Job ns and Interfa ace being iour
nds Content Leader ce Level
ship
1 JCQ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -
2 PSS - - - - - - - - - - - √ - - -
Life
3 Event - - - - - - - - - - - √ - - -
Scale
4 HARS - - - - - - - - - - - √ - - -
COPSO
5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
QII
6 DASS - - - - - - - - - - - √ - - -

46
2.6 Pencegahan Dampak Negatif dari Faktor Psikososial

Menurut Kementerian Kesehatan (2011) terdapat beberapa tahapan dalam

mencegah bahaya sebagai dampak negatif dari faktor psikososial di tempat kerja,

yaitu:

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer ditujukan bagi kelompok atau populasi yang bukan

termasuk ke dalam kelompok berisiko. Pencegahan ini berfungsi untuk

mengurangi risiko gangguan psikiatrik yang dilakukan dengan cara promosi

atau edukasi mengenai suatu bahaya kesehatan terkait jenis pekerjaan yang

dilakukan. Misalnya melakukan penyuluhan terkait dampak negatif dari

faktor psikososial.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan ketika pekerja sudah dicurigai mengalami

penyakit namun belum sampai parah atau fatal. Pencegahan ini bertujuan

untuk mengurangi lama penyakit dan mempercepat proses penyembuhannya.

Sebagai contohnya adalah edukasi terhadap kelompok perokok mengenai

bahaya kesehatan akibat rokok.

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan kepada kelompok yang telah mengalami

gangguan stres akibat kerja atau gangguan kesehatan lain terkait psikososial

yang diupayakan untuk dipulihkan kesehatannya. Pencegahan ini meliputi

konseling, pengobatan klinis, dan rehabilitasi mental.

Cara pencegahan secara umum dapat dilakukan dengan cara (Kementerian

Kesehatan, 2011):

47
1. Menghilangkan stresor kerja: menerapkan desain yang ergonomis,

pengendalian kognitif (konseling, psikoterapi), kegiatan relaksasi (olahraga,

rekreasi), kegiatan sosial, peningkatan gairah kerja (lingkungan yang

harmonis, upah yang memadai, lingkungan yang nyaman), metode

penanganan terhadap stres (relaksasi, menghindari rokok, berfikir positif,

pemeriksaan kesehatan).

2. Pelayanan promotif:

- KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang masalah psikososial

dan kesehatan jiwa melalui berbagai macam media kesehatan seperti

poster, leaflet, penyuluhan, dan media audiovisual.

- Penyuluhan mengenai kebiasaan buruk seperti penyalahgunaan napza,

merokok, serta mengkonsumsi alkohol.

- Membiasakan olahraga, meluangkan waktu rekreasi, serta memperbanyak

kegiatan keagamaan.

Berdasarkan faktor-faktornya, psikososial dapat ditanggulangi dengan cara

sebagai berikut:

1) Tuntutan di tempat kerja

Menurut Anwarsyah (2012), tuntutan pekerjaan berpengaruh terhadap

kesehatan dan kesejahteraan kerja karyawan. Pada salah satu kasus di

Jepang diketahui bahwa terdapat beberapa pekerja yang menghabiskan

waktu bekerja lebih dari 60 jam selama seminggu, lembur yang

berlebihan dengan waktu kerja lebih dari 50 jam setiap bulan, serta

bekerja pada saat liburan dengan waktu lebih dari setengah dari liburan

tetap mereka (Uehata, 1991). Sedangkan waktu maksimal yang

48
diperkenankan untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam atau 40 jam

selama seminggu (UU No. 13 Tahun 2003). Tuntutan kerja yang

sedemikian rupa dapat dicegah dengan cara menyesuaikan antara

kapasitas kerja karyawan dengan beban kerja yang dikerjakan.

Penyesuaian ini dapat mengacu pada standar nasional maupun

internasional yang ada. Sehingga apabila ditemukan tuntutan kerja

berlebih dapat dikurangi sesuai dengan kemampuan yang seharusnya.

2) Organisasi kerja dan konten pekerjaan

Untuk mengatasi kemungkinan kebijakan atau otoritas yang buruk di

tempat kerja, pekerja dapat melakukan advokasi kepada pemimpin

perusahaan untuk menyuarakan aspirasi mereka (Wiryawan, 2015).

Advokasi bisa dilakukan dengan cara aksi, namun dalam batas yang tidak

anarkis. Dengan adanya advokasi ini, diharapkan terdapat perubahan

kebijakan baru dari pihak organisasi yang sesuai dengan harapan para

pekerja.

3) Hubungan interpersonal dan kepemimpinan

Salah satu cara agar hubungan interpersonal dengan pihak manajemen

dapat selalu terjaga adalah dengan pemberian reward terhadap karyawan.

Pemberian reward yang dilakukan sebagaimana mestinya dapat

membentuk rasa percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri,

optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001). Selain itu, gaya

kepemimpinan seorang pemimpin juga turut berpengaruh terhadap

hubungan interpersonal yang diciptakan. Apabila terjadi konflik dalam

sebuah organisasi, peran manajemen sangat dibutuhkan untuk mengatasi

49
konflik yang terjadi karena dampak dari konflik tersebut akan berimbas

pada kinerja dan efektifitas pekerjaan diperusahaan. Peran tersebut dapat

dilakukan dengan cara menjalin komunikasi yang baik dengan para

pekerja (Anwar, 2015).

4) Bekerja antarmuka individu

Seringkali para pekerja merasa tidak aman ketika bekerja karena adanya

suatu konflik. Banyaknya karakter individu bisa memicu berbagai

permasalahan karena perbedaan pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut,

peran manajemen sangat penting untuk menjalin komunikasi yang baik

antara para pekerja (Anwar, 2015).

5) Nilai-nilai di level tempat kerja

Kepercayaan dan komitmen seorang pekerja sering kali terlihat dari

kinerja yang dilakukan sehari-hari. Dari penelitian Reza (2010) diketahui

bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kerja mempunyai pengaruh

positif terhadap kinerja karyawan. Untuk mewujudkan kepercayaan

tinggi dari pekerja, perlu diterapkan gaya kepemimpinan yang adil dan

merakyat. Artinya seorang pemimpin perusahaan harus bisa

mendengarkan aspirasi karyawannya. Sedangkan peningkatan motivasi

kerja salah satunya adalah dengan pemberian reward sesuai dengan hasil

kerja yang dilakukan (Geller, 2001).

6) Kesehatan dan kesejahteraan

Diketahui bahwa dukungan sosial dan tuntutan pekerjaan berhubungan

terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan di tempat kerja

(Marchira, Wirasto, dan Sumarni, 2007 dan Anwarsyah, 2012).

50
Terciptanya dukungan sosial di tempat kerja salah satunya dapat

dipengaruhi oleh peran manajemen. Manajemen secara tidak langsung

dapat menciptakan sebuah kondisi yang bisa membuat para pekerja

merasa saling membutuhkan dan menjaga (Anwar, 2015). Sedangkan

tuntutan kerja dapat diatasi dengan cara menyesuaikan antara kapasitas

kerja dengan beban kerja yang dibebankan terhadap pekerja.

7) Kepribadian

Kepribadian berhubungan dengan keyakinan dan pengendalian diri ketika

bekerja. Agar menumbuhkan kepribadian yang positif dibutuhkan

motivasi yang baik dari pihak manajemen. Dari sebuah penelitian

diketahui bahwa komitmen organisasi dan lingkungan kerja berpengaruh

positif terhadap keyakinan diri (self-efficacy) (Damarstuti, Djastuti, dan

Yuniawan, 2010). Oleh karena itu, peran manajemen sangat penting

dalam memberikan motivasi kerja terhadap karyawan sebagai langkah

awal dalam meningkatkan keyakinan diri mereka.

8) Perilaku ofensif

Pencegahan terhadap adanya perilaku ofensif yang menyimpang di

tempat kerja dapat dilakukan dengan menjalankan komitmen organisasi

untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku tindakan tersebut.

Diketahui bahwa organisasi memiliki keputusan atau otoritas yang kuat

terhadap sebuah kebijkan perusahaan (Eurofound, 2012).

51
2.7 Kerangka Teori

Dari telaah pustaka diketahui beberapa faktor penting dalam aspek

psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan. Karasek dkk. (1998)

mengidentifikasi tujuh faktor utama yang membangun apsek psikososial, yaitu:

decision latitude (kebebasan dalam mengambil keputusan), physical demands

(tuntutan fisik), psychological demands (tuntutan psikologi), social support

(dukungan sosial), organizational level (mutu organisasi), job dissatisfaction

(ketidakpuasan pekerjaan), dan job insecurity (ketidakamanan dalam bekerja).

Pejtersen dkk. (2010) menguraikan faktor-faktor psikososial yang digunakan

untuk pengukuran yaitu: demands at work (tuntutan di tempat kerja), work

organization and job contents (organisasi kerja dan konten pekerjaan),

interpersonal relations and leadership (hubungan interpersonal dan

kepemimpinan), work individual interface (bekerja antarmuka individu), values at

workplace level (nilai-nilai di level tempat kerja), health and well-being

(kesehatan dan kesejahteraan), personality (kepribadian), offensive behaviours

(perilaku ofensif). Sehingga kerangka teori dapat digambarkan seperti pada bagan

2.1

52
Tuntutan di
Kepribadian tempat kerja

Organisasi
Perilaku kerja dan
konten
Ofensif
pekerjaan

Psikososial
Hubungan
Kesehatan dan interpersonal
kesejahteraan dan
kepemimpinan

Nilai-nilai di Bekerja
level tempat antarmuka
kerja individu

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori


Karasek dkk. (1998) dan Pejtersen dkk. (2010)

53
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Penggunaan kuesioner COPSOQ II untuk mengukur faktor-faktor psikososial

diketahui telah memiliki validitas dan realibilitas yang baik. Pada uji validitas yang

dilakukan oleh Nubling dkk. (2006), diperoleh alpha Cronbach sebesar > 0,7 pada

setiap skala psikososial. Oleh karena itu, peneliti memilih instrumen COPSOQ II

dalam melakukan penelitian terkait faktor psikososial di tempat kerja. Faktor

psikososial yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah tujuh faktor Faktor

kepribadian tidak ikut diteliti karena kuesioner COPSOQ II yang digunakan

merupakan tipe short, dimana faktor yang diukur hanya berjumlah tujuh faktor

yaitu: tuntutan di tempat kerja, organisasi kerja dan konten pekerjaan, hubungan

interpersonal dan kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, nilai-nilai di level

tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan, perilaku ofensif. Pemilihan tipe

kuesioner dilakukan berdasarkan pertimbangan waktu, tenaga, serta biaya

penelitian. Dalam hal kevalidan, tidak ada perbedaan signifikan antara kuesioner

tipe short, long, maupun medium. Berdasarkan hasil uji validitas, baik kuesioner

tipe short, long, maupun medium mempunyai alpha Cronbach sebesar > 0,7 pada

setiap skalanya, yang berarti telah memiliki validitas dan realibilitas yang baik

(Nubling dkk., 2006).

54
Faktor Psikososial:
Umur
1. Tuntutan di tempat kerja
2. Organisasi kerja dan konten pekerjaan
3. Hubungan interpersonal dan kepemimpinan
Masa Kerja 4. Bekerja antarmuka individu
5. Nilai-nilai di level tempat kerja
6. Kesehatan dan kesejahteraan
Unit Kerja 7. Perilaku ofensif

Gambar 3.1 Bagan


Kerangka Konsep

55
3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1. Psikososial Sebuah kondisi sosial yang berpengaruh terhadap psikologis COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika Ordinal
seseorang dan mempunyai pengaruh cukup besar sebagai & Pengisian > mean
penyebab terjadinya gangguan fisik dan psikis seseorang yang Kuesioner (73,01)
terdiri dari beberapa faktor, yaitu: tuntutan di tempat kerja, 2. Buruk, jika
organisasi kerja dan konten pekerjaan, hubungan interpersonal ≤ mean
dan kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, nilai-nilai di (73,01)
level tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan, perilaku
ofensif

2. Tuntutan di Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
tempat kerja psikologis pekerja yang terdiri dari tuntutan kuantitatif, (Item 1A – & Pengisian median (12)
kecepatan kerja, dan tuntutan emosional 3B), Alat Tulis Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
median (12)

3. Organisasi Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
kerja dan psikologis pekerja yang terdiri dari pengaruh, kemungkinan (Item 4A – & Pengisian mean (19,07)
konten pengembangan, arti pekerjaan, dan komitmen di tempat kerja 7B), Alat Tulis Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
pekerjaan mean (19,07)

4. Hubungan Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
interpersonal psikologis pekerja yang terdiri dari prediktabilitas, pengakuan (Item 8A – & Pengisian median (20)
dan (reward), kejelasan peran, kualitas kepemimpinan, dan 12B), Alat Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
kepemimpinan dukungan sosial dari atasan Tulis median (20)

56
No. Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
5. Bekerja Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
antarmuka psikologis pekerja yang terdiri dari kepuasan kerja dan konflik (Item 13 – & Pengisian median (5)
individu kerja-keluarga 14B), Alat Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
Tulis median (5)
6. Nilai-nilai di Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
level tempat psikologis pekerja yang terdiri dari kepercayaan terhadap (Item 15A – & Pengisian median (9)
kerja manajemen dan keadilan 16B), Alat Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
Tulis median (9)
7. Kesehatan dan Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
kesejahteraan psikologis pekerja yang terdiri dari persepsi umum terhadap (Item 17 – & Pengisian median (8)
kesehatan, burn out, dan stres 19B), Alat Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
Tulis median (8)
8. Perilaku Total skor dari kondisi sosial yang berpengaruh terhadap COPSOQ II Penyebaran 1. Baik, jika > Ordinal
ofensif psikologis pekerja yang terdiri dari pelecehan seksual, ancaman (Item 20 – 23), & Pengisian median (0)
kekerasan, kekerasan fisik, dan bullying Alat Tulis Kuesioner 2. Buruk, jika ≤
median (0)
9. Umur Lamanya waktu hidup seseorang yang dihitung mulai dari Kuesioner, Penyebaran 1. < 30 tahun Ordinal
tanggal lahir sampai ulang tahun terakhir Alat Tulis & Pengisian 2. ≥ 30 tahun
Kuesioner (Sa’abah, 2001)
10. Masa kerja Lamanya seseorang telah bekerja dihitung dari pertama kali Kuesioner, Penyebaran 1. ≤ 21 tahun Ordinal
bekerja hingga bulan Juli 2016 Alat Tulis & Pengisian 2. > 21 tahun
Kuesioner (21 = median)
11. Unit kerja Lokasi dimana pekerja melakukan tugas dan pekerjaannya Kuesioner, Penyebaran 1. Spinning Nominal
Alat Tulis & Pengisian 2. Weaving
Kuesioner 3. Office

57
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian

deskriptif cross sectional yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

setiap variabel yang diteliti.

4.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di PT. Sandratex Ciputat pada Bulan Februari sampai

dengan Bulan Desember 2016, termasuk dalam pembuatan proposal penelitian,

pengumpulan data primer dan data sekunder, serta pengolahan dan penyajian data.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT. Sandratex tahun

2016. Data lengkap populasi berdasarkan unit kerjanya dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Daftar Jumlah Tenaga Kerja di PT. Sandratex Tahun 2016

Unit Kerja Jumlah Tenaga Kerja


Spinning 252
Weaving 315
Office 84

Sedangkan sampel diambil dengan menggunakan metode simple random

sampling. Perhitungan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus estimasi

proporsi:

58
2
𝑍1−𝛼/2 × 𝑃 × (1 − 𝑃) 1,962 × 0,5 × (1 − 0,5)
𝑛= = = 96,04
𝑑2 0,12

Ket:

n = Besar sampel

P = Probabilitas dari penelitian terdahulu

Karena belum ditemukan penelitian terdahulu, diambil probabilitas sampel

maksimal (0,5)

d = Presisi/ketepatan sebesar 10% (0.1)

Z 1-α/2 = CI (derajat kepercayaan) 95% (1,96)

Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh besar sampel minimal yang

diperlukan pada penelitian ini sebesar 96,04 atau 97 orang. Untuk mencegah

terjadinya kekurangan sampel peneliti menambahkan cadangan sampel dengan total

110 responden. Jumlah sampel per unit dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Jumlah Sampel per Unit

Jumlah Sampel yang


Unit Kerja Jumlah Tenaga Kerja
Didistribusikan Kuesioner
Spinning 252 42
Weaving 315 54
Office 84 14
Jumlah 651 110

59
4.4 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan penyebaran kuisioner. Kuesioner merupakan metode pengumpulan

data dengan cara mengedarkan daftar pertanyaan berupa formulir-formulir untuk

diisi oleh responden. Pada penelitian ini, kuesioner digunakan untuk memperoleh

data mengenai faktor-faktor psikososial yang terdiri dari: demands at work

(tuntutan di tempat kerja), work organization and job contents (organisasi kerja dan

konten pekerjaan), interpersonal relations and leadership (hubungan interpersonal

dan kepemimpinan), work individual interface (bekerja antarmuka individu), values

at workplace level (nilai-nilai di level tempat kerja), health and well-being

(kesehatan dan kesejahteraan), offensive behaviours (perilaku ofensif) di PT.

Sandratex tahun 2016. Sebelum disebarkan kepada responden, kuesioner yang akan

digunakan harus melewati tahap uji coba terlebih dahulu untuk menguji validitas

dan reliabilitasnya sebagai instrumen pengumpul data. Berikut kriteria sampel

sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan:

1. Pekerja tetap PT. Sandratex.

2. Tidak mempunyai riwayat cedera/ injury.

3. Tidak mempunyai riwayat kecelakaan atau trauma.

4. Tidak mempunyai sakit pada otak.

5. Bekerja lebih dari satu tahun.

6. Tidak sedang hamil.

60
4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam penelitian untuk

memperoleh data, yaitu berupa lembaran kuesioner dengan bentuk pertanyaan

tertutup. Untuk mengetahui gambaran psikososial pekerja digunakan kuesioner

COPSOQ II yang berisikan 44 item pertanyaan, mencakup semua komponen-

komponen faktor psikososial. Sedangkan untuk mengetahui data demografi

responden seperti usia, masa kerja, dan unit kerja digunakan kuesioner yang berisi 3

item pertanyaan mencakup semua variabel. Kuesioner psikososial digunakan untuk

mengetahui kondisi sosial yang mempengaruhi psikologis pekerja yang ada di

perusahaan berdasarkan 7 faktor, yaitu: tuntutan di tempat kerja, organisasi kerja

dan konten pekerjaan, hubungan interpersonal dan kepemimpinan, bekerja

antarmuka individu, nilai-nilai di level tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan,

perilaku ofensif.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner COPSOQ II versi short

dengan pertimbangan waktu dan kondisi pekerja. Umur rata-rata pekerja di PT.

Sandratex adalah 44,35 tahun. Pada umur yang semakin tua, seseorang akan

cenderung mengalami kesulitan dalam memahami pertanyaan yang panjang dan

banyak. Pembahasan dalam kuesioner COPSOQ II juga lebih mendetail karena

terdapat faktor penyebab seperti faktor tuntutan di tempat kerja dan juga

dampaknya yaitu faktor kesehatan dan kesejahteraan.

COPSOQ II versi short memuat tujuh faktor yang dapat digambarkan dengan

44 item pertanyaan. Masing-masing faktor terdiri dari beberapa item pertanyaan

dengan jumlah yang berbeda. Gambaran faktor psikososial secara utuh dapat

diperoleh dengan menganalisis total skor dari 44 item pertanyaan. Sedangkan

61
gambaran per faktor psikososial dapat dilakukan dengan analisis terhadap item-item

pertanyaan pada masing-masing faktor, yaitu: tuntutan di tempat kerja sebanyak 6

item pertanyaan, organisasi kerja dan konten pekerjaan sebanyak 8 item pertanyaan,

hubungan interpersonal dan kepemimpinan sebanyak 10 item pertanyaan, bekerja

antarmuka individu sebanyak 3 pertanyaan, nilai-nilai di level tempat kerja

sebanyak 4 pertanyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebanyak 5 pertanyaan,

perilaku ofensif sebanyak 8 pertanyaan. Dari total skor yang diperoleh, dilakukan

uji normalitas dengan cut off point mean jika data berdistribusi normal dan median

jika data tidak berdistribusi normal. Hasil ukur dikatakan baik jika skor berada di

atas mean/ median dan buruk jika skor di bawah atau sama dengan mean/ median.

Adapun cut off poin dari variabel umur adalah 30 tahun. Diketahui bahwa

puncak perkembangan psikologi seseorang terjadi pada umur 30 tahun (Sa’abah,

2001). Sedangkan cut off point dari variabel masa kerja adalah 21 tahun. Angka ini

merupakan median dari variabel masa kerja. Beberapa penelitian terkait masalah

kesehatan akibat psikososial yang buruk mempunyai cut off point untuk variabel

masa kerja 5 tahun. Namun pada penelitian ini tidak digunakan cut off point 5 tahun

dikarenakan data akan bersifat homogen, melihat hampir seluruh pekerja telah

bekerja selama lebih dari 5 tahun.

4.6 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Kuesioner

4.6.1 Uji Validitas

Uji validitas merupakan sebuah uji yang dapat menunjukkan

kemampuan sebuah alat ukur untuk mengukur apa yang harus diukur.

Menurut Umar (1997) uji validitas berarti ketepatan kuesioner dalam

mengukur suatu variabel yang akan diteliti. Pada dasarnya, kuesioner

62
COPSOQ II ini merupakan kuesioner baku yang tidak harus memerlukan uji

validitas kembali. Namun karena harus mengalami penerjemahan dari bahasa

Inggris ke dalam bahasa Indonesia, uji validitas dilakukan terhadap 30

pekerja di perusahaan tekstil lain yaitu PT. Argopantes. Hasil uji dinyatakan

valid apabila mempunyai skor lebih dari 0,361. Dari uji validitas yang

dilakukan, diketahui bahwa terdapat beberapa pertanyaan yang dinyatakan

kurang valid karena mempunyai skor kurang dari 0,361. Untuk mengatasi hal

tersebut, peneliti melakukan perubahan redaksi pertanyaan yang terdapat pada

kuesioner.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan kekonsistensian kuisioner dalam

manghasilkan informasi yang sama ketika digunakan berkali-kali untuk

mengukur variabel yang sama (Lapau, 2013). Uji reliabilitas menggunakan

alpha Cronbach, dimana instrumen penelitian akan dinyatakan reliabel jika

diperoleh nilai alpha minimal 0,60. Uji kuesioner pada penelitian sebelumnya

menghasilkan alpha Cronbach sebesar > 0,7 pada setiap skala psikososial,

yang berarti kuesioner tersebut layak dan reliabel digunakan untuk penelitian

(Nubling dkk., 2006). Karena mengalami penerjemahan dari bahasa Inggris

ke dalam bahasa Indonesia, uji reliabilitas dilakukan kembali terhadap 30

pekerja di perusahaan tekstil lain yaitu PT. Argopantes. Nilai reliabilitas dari

masing-masing faktor psikososial dapat dilihat pada tabel 4.3

63
Tabel 4.3 Uji Reliabilitas Kuesioner Psikososial di PT. Argopantes
Tahun 2016

Faktor Psikososial Nomor Pertanyaan Alpha Coefficient


Tuntutan di tempat kerja 1A-3B 0,630
Organisasi kerja dan konten
4A-7B 0,688
pekerjaan
Hubungan interpersonal dan
8A-12B 0,721
kepemimpinan
Bekerja antarmuka individu 13-14B 0,804
Nilai-nilai di level tempat kerja 15A-16B 0,733
Kesehatan dan kesejahteraan 17-19B 0,765
Perilaku ofensif 20-23 0,764

Berdasarkan tabel 4.3 keseluruhan faktor psikososial telah memiliki

nilai alpha Cronbach ≥ 0,60 yang berarti bahwa kuesioner cukup reliabel

untuk menggambarkan faktor psikososial di tempat kerja. Nilai reliabilitas

tertinggi terdapat pada faktor bekerja antarmuka individu (α = 0,804) dan

nilai terendah pada faktor tuntutan di tempat kerja (α = 0,630).

4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak untuk

menganalisis data statistik yang meliputi proses kegiatan data coding, data editing,

data entry, dan data cleaning.

1. Data Coding

Merupakan kegiatan memberi kode atau merubah bentuk kode dari

bentuk kata menjadi angka, angka menjadi kata, atau merubah angka menjadi

bentuk angka yang lain untuk masing-masing kategori sesuai dengan tujuan

dikumpulkannya data. Semakin besar nilainya menunjukkan hal yang baik dan

64
begitu pula sebaliknya.Walaupun demikian, perlu diperhatikan mengenai

beberapa pertanyaan yang bermakna negatif.

Perhitungan dilakukan pada setiap faktor dengan cara menjumlah skor

pertanyaan pada faktor terkait. Kemudian hasil skor diinterpretasikan ke dalam

kategori baik dan buruk berdasarkan nilai mean atau median. Penentuan mean

atau median dilakukan berdasarkan uji normalitas data. Apabila data

berdistribusi normal, cut off point yang digunakan adalah mean. Sedangkan

untuk data yang tidak berdistribusi normal, cut off point yang digunakan adalah

median. Jenis pertanyan negatif akan terlebih dahulu peneliti rubah menjadi

bentuk pertanyaan positif, yakni pada pertanyaan nomor 3A, 14A, dan 14B.

Item COPSOQ II menggunakan 4 dan 5 skala Likert pada setiap faktornya

dengan rincian sebagai berikut:

a. Tuntutan di tempat kerja

Terdapat 6 pertanyaan (1A-3B) untuk faktor tuntutan di tempat kerja dengan

5 skala jawaban: selalu (4 poin), sering (3 poin), kadang-kadang (2 poin),

jarang (1 poin), tidak pernah (0 poin). Tuntutan di tempat kerja dikatakan

baik apabila jumlah skor berada di atas mean atau median dan berkategori

buruk jika berada di bawah mean atau median.

b. Organisasi kerja dan konten pekerjaan

Terdapat 8 pertanyaan (4A-7B) untuk faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan dengan 5 skala jawaban: selalu (4 poin), sering (3 poin), kadang-

kadang (2 poin), jarang (1 poin), tidak pernah (0 poin). Organisasi kerja dan

konten pekerjaan dikatakan baik apabila jumlah skor berada di atas mean

atau median dan berkategori buruk jika berada di bawah mean atau median.

65
c. Hubungan interpersonal dan kepemimpinan

Terdapat 10 pertanyaan (8A-12B) untuk faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan dengan 5 skala jawaban: selalu (4 poin), sering (3 poin),

kadang-kadang (2 poin), jarang (1 poin), tidak pernah (0 poin). Hubungan

interpersonal dan kepemimpinan dikatakan baik apabila jumlah skor berada

di atas mean atau median dan berkategori buruk jika berada di bawah mean

atau median.

d. Bekerja antarmuka individu

Terdapat 3 pertanyaan (13-14B) untuk faktor bekerja antarmuka individu

dengan 4 skala jawaban yang berbeda variasinya. Pada pertanyaan nomor 13

terdapat 4 skala jawaban: sangat puas (3 poin), puas (2 poin), tidak puas (1

poin), sangat tidak puas (0 poin). Sedangkan untuk pertanyaan 14A-14B

mempunyai 4 skala jawaban: ya, tentu saja (3 poin); ya, beberapa (2 poin);

ya, tapi hanya sedikit (1 poin); tidak (0 poin). Bekerja antarmuka individu

dikatakan baik apabila jumlah skor berada di atas mean atau median dan

berkategori buruk jika berada di bawah mean atau median.

e. Nilai-nilai di level tempat kerja

Terdapat 4 pertanyaan (15A-16B) untuk faktor nilai-nilai di level tempat

kerja dengan 5 skala jawaban: sangat besar (4 poin), besar (3 poin), sedikit

(2 poin), kecil (1 poin), sangat kecil (0 poin). Nilai-nilai di level tempat

kerja dikatakan baik apabila jumlah skor berada di atas mean atau median

dan berkategori buruk jika berada di bawah mean atau median.

66
f. Kesehatan dan kesejahteraan

Terdapat 5 pertanyaan (17-19B) untuk faktor kesehatan dan kesejahteraan

dengan 5 skala jawaban yang berbeda variasi. Pada pertanyaan nomor 17

terdapat 5 skala jawaban: baik sekali (4 poin), sangat baik (3 poin), baik (2

poin), lumayan (1 poin), buruk (0 poin). Sedangkan untuk pertanyaan 18A-

19B mempunyai 5 skala jawaban: sepanjang waktu (4 poin), sebagian besar

waktu (3 poin), sebagian waktu (2 poin), sedikit (1 poin), tidak semua (0

poin). Kesehatan dan kesejahteraan dikatakan baik apabila jumlah skor

berada di bawah mean atau median dan berkategori buruk jika berada di atas

mean atau median.

g. Perilaku ofensif

Terdapat 8 pertanyaan (20-23) untuk faktor perilaku ofensif dengan 5 skala

jawaban: ya, setiap hari (4 poin); ya, setiap minggu (3 poin); ya, setiap

bulan (2 poin); ya, beberapa waktu (1 poin); tidak (0 poin). Kemudian pada

setiap pertanyaan tersebut akan diikuti pertanyaan lanjutan yang mempunyai

pilihan jawaban tertutup jika responden memilih pilihan jawaban “ya”.

Pilihan jawaban tertutup yang dimaksud adalah: teman kerja (1), manajer

(2), bawahan (3), tamu (4). Perilaku ofensif dikatakan baik (rendah) apabila

jumlah skor berada di bawah mean atau median dan berkategori buruk

(tinggi) jika berada di atas mean atau median.

2. Data Editing

Merupakan proses penyuntingan yang dilakukan sebelum proses

pemasukan data untuk meihat apakah jawaban yang ada di kuisioner telah

67
lengkap, jelas, relevan, dan konsisten, yaitu dengan cara mengukur,

mengurutkan, mengelompokkan, dan mengkoreksi data yang telah terkumpul.

3. Data Entry

Merupakan proses memasukkan data ke dalam program atau fasilitas

analisis data setelah semua isian kuisioner telah terisi dengan penuh dan benar,

serta telah melewati proses pengkodingan. Program yang dipakai adalah

EPIDATA dan SPSS.

4. Data Cleaning

Merupakan proses pengecekan kembali data yang telah di-entry untuk

memastikan tidak adanya suatu kesalahan entry data.

4.8 Analisis Data

Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisa yang dilakukan untuk melihat distribusi

frekuensi karakteristik pekerja, faktor psikososial beserta faktor pembentuknya.

Data dianalisis dengan melihat nilai rata-rata, standar deviasi, dan median dari

faktor psikososial beserta tiap-tiap komponen dari faktor pembentuk psikososial:

tuntutan di tempat kerja, organisasi kerja dan konten pekerjaan, hubungan

interpersonal dan kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, nilai-nilai di level

tempat kerja, kesehatan dan kesejahteraan, perilaku ofensif.

68
BAB V

HASIL

5.1 Profil PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan

5.1.1 Gambaran Umum PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan

Sandratex pertama kali didirikan di Semarang pada tahun 1962 yang

berbentuk sebagai Perseroan Terbatas (PT). Dengan pengesahan dari

Departemen Kehakiman nomor JA.5/117/2, perusahaan ini resmi berdiri pada

tanggal 7 November 1962 atas nama Sie Kwan Djioe nomor 53. Nama

“Sandratex” berasal dari singkatan “Sandang Rakyat Textile”. Perusahaan

yang bergerak di bidang industri tekstil ini kemudian mengembangkan

usahanya di wilayah Rempoa Ciputat, Kabupaten Tangerang Selatan dengan

luas lahan 40 Ha dan mempunyai kantor pusat di Jalan Cikini II/2A Jakarta

Pusat. PT. Sandratex berdiri berdasarkan beberapa landasan sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan

(Persero)

2. Akte pendirian PT. Sandratex (akte notaris Sutedjo, SH.) berdasarkan

Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.

JA.13/225/8/1973 dengan buku register Notaris Pengadilan Negeri

Jakarta No. 2356, atas nama Presiden.

3. Peraturan Pemerintah No. 3tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan

Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum),

dan Perusahaan Perseroan (Persero).

69
4. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 967/KMK-

011/1985 tertanggal 12 Desember 1985 dan No. 547/KMK-011/1986

tertanggal 20 Juli 1986 tentang Pengangkatan dan Perberhentian Anggota

Direksi PT. Sandratex.

5.1.2 Visi dan Misi PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan

Visi dan misi PT. Sandratex terdiri dari dua aspek yaitu aspek sosial

dan ekonomi.

1. Aspek Sosial

Dari segi sosial, PT. Sandratex mempunyai peran yang cukup besar

dalam menunjang kehidupan masyarakat sekitar, antara lain:

a. Kesempatan Kerja

Perusahan ikut serta membantu pemerintah dalam usaha mengurangi

pengangguran melalui kebutuhan tenaga kerja.

b. Memerangi Kebodohan

Perusahaan berperan penting dalam hal pendidikan sesuai dengan

ketentuan dan syarat-syarat yang diajukan untuk menerima karyawan.

c. Meningkatkan Ketaqwaan terhadap Tuhan YME

Perusahaan ikut serta meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan YME

dengan cara terlibat langsung dalam pembangunan tempat

peribadatan di kompleks sekitar.

2. Aspek Ekonomi

Dari aspek ekonomi, PT. Sandratex turut serta dalam pertumbuhan

perekonomian negara.

a. Dapat Menghemat dan Menambah Devisa Negara

70
Selain menyediakan kebutuhan dalam negeri, perusahaan mencoba

mendistribusikan produk sampai ke luar negeri.

b. Bertambah dan Berkembangnya Usaha Sejenis

Perkembangan yang dicapai PT. Sandratex memicu pertumbuhan

perusahaan sejenis yang dikelola oleh pihak swasta.

c. Mengurangi Ketergantungan

Perkembangan industri sandang dalam negeri dapat mengurangi

ketergantungan masyarakat akan kebutuhan sandang dari negara lain.

5.1.3 Struktur Organisasi PT. Sandratex Ciputat Tangerang Selatan

Penelitian dilakukan berdasarkan unit kerja di PT. Sandratex. Struktur

organisasi pada tiap-tiap unit kerja dapat dilihat pada gambar 5.1

Direksi

General
Manager

Office Spinning Weaving


Manager Manager Manager

Kepala
Kepala Seksi Kepala Seksi
Seksi

Kepala Sub- Kepala Sub- Kepala Sub-


Seksi Seksi Seksi

PA I Foreman Foreman

PA II Kepala Regu Kepala Regu

Wakil Kepala Wakil Kepala


PA III
Regu Regu

Sekretaris Operator Operator

Gambar 5.1 Bagan Struktur Organisasi PT. Sandratex Ciputat


71
5.2 Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016

Gambaran terhadap psikososial dilakukan berdasarkan 7 faktor yang terdiri

dari 44 item pertanyaan pada kuesioner. Ketujuh faktor tersebut adalah: (1) tuntutan

di tempat kerja, (2) organisasi kerja dan konten pekerjaan, (3) hubungan

interpersonal dan kepemimpinan, (4) bekerja antarmuka individu, (5) nilai-nilai di

level tempat kerja, (6) kesehatan dan kesejahteraan, (7) perilaku ofensif.

Distribusi proporsi faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat tahun 2016

dapat dilihat pada gambar 5.2

Gambar 5.2 Diagram Distribusi Proporsi Faktor Psikososial di PT.


Sandratex Ciputat Tahun 2016

Berdasarkan gambar 5.2 diketahui bahwa kategori baik dan buruk dari faktor

psikososial mempunyai besar persentase yang hampir sama. Namun, kategori buruk

mempunyai kecenderungan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan

kategori baik yaitu sebesar 54%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah psikososial

72
di PT. Sandratex perlu mendapatkan perhatian karena dikhawatirkan dapat memicu

beberapa masalah kesehatan di masa mendatang jika tidak segera ditanggulangi.

Distribusi proporsi dari masing-masing faktor psikososial juga disajikan

untuk mengetahui bagian mana yang perlu mendapat perhatian lebih dari

perusahaan.

(%)

120

100
23,6
80
52,7 60 52,7 55,5 52,7
60,9
60

40 76,4

20 47,3 40 47,3 44,5 47,3


39,1

Baik Buruk
Gambar 5.3 Grafik Distribusi Proporsi Faktor Psikososial di PT. Sandratex Ciputat
Tahun 2016

73
Berdasarkan gambar 5.3 diketahui bahwa dari ketujuh faktor psikososial,

persentase kategori baik tertinggi adalah perilaku ofensif dengan persentase sebesar

76,4%, yang berarti bahwa di PT. Sandratex jarang terjadi perilaku ofensif di antara

para pekerja maupun pihak lain. Sedangkan kategori baik terendah adalah tuntutan

di tempat kerja dengan persentase sebesar 39,1%. Kondisi tuntutan di tempat kerja

yang buruk berkaitan erat dengan kurangnya kecepatan pekerja dalam

menyelesaikan pekerjaan, ketidakcukupan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan,

ketidaksesuaian antara beban kerja dan waktu kerja, serta pengaruh negatif

pekerjaan bagi mental atau emosiaonal pekerja, seperti rasa mudah marah.

Analisis tiap faktor pembentuk juga diperlukan untuk mengetahui item mana

yang perlu diperhatikan atau diperkuat. Responden berkategori baik apabila skor

yang didapatkan lebih dari nilai rata-rata atau mediannya.

74
(%)

120

100

80 38,2 47,3
50 53,6 55,5
60 70

40
61,8 52,7
20 50 46,4 44,5
30
0
Tambahan uang atau Kecukupan waktu Perlunya motivasi Bekerja dengan Situasi pekerjaan Kebiasaan pekerja
hadiah saat lembur untuk mengerjakan yang tinggi dalam motivasi yang tinggi yang mengganggu dalam menceritakan
pekerjaan di tempat bekerja setiap hari kondisi emosional masalah orang lain di
kerja pekerja tempat kerja
Baik Buruk

Gambar 5.4 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Tuntutan di Tempat Kerja

Berdasarkan gambar 5.4 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik yang paling tinggi dari item faktor tuntutan di tempat

kerja adalah kecukupan waktu untuk mengerjakan pekerjaan di tempat kerja (61,8%). Sedangkan persentase kategori baik yang paling

rendah adalah tambahan uang atau hadiah pada saat lembur (30%). Tambahan uang atau hadiah saat lembur mempunyai persentase

yang rendah karena kegiatan lembur jarang dilakukan. Walaupun demikian jam kerja yang dilakukan pekerja telah melewati standar

yang ada, dimana untuk ketentuan maksimal waktu kerja dalam seminggu yang seharusnya hanya 40 jam menjadi 48 jam selama

75
seminggu. Item-item lain yaitu ketidakcukupan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan, kurangnya motivasi dalam bekerja, serta

kondisi pekerjaan yang berpengaruh negatif terhadap kondisi emosional seseorang secara tidak langsung saling terakumulasi sehingga

menyebabkan faktor tuntutan di tempat kerja mempunyai persentase baik hanya sebesar 39,1%.
(%)

120

100

80 44,5 43,6
50,9 54,5
59,1 61,8
68,2 70
60

40

55,5 56,4
49,1 45,5
20 40,9 38,2
31,8 30

0
Pengaruh pekerja Kemampuan pekerja Kemungkinan pekerja Inisiatif dalam bekerja Pekerja merasa Pekerja merasa Perasaan pekerja Kemauan pekerja
terhadap pekerjaan dalam mengatur dapat mempelajari pekerjaannya sangat pekerjaannya penting bahwa tempat kerjanya untuk
banyaknya tugas-tugas sesuatu yang baru dari berarti mempunyai merekomendasikan
yang harus dikerjakan pekerjaannya kepentingan terhadap tempat kerjanya
dirinya

Baik Buruk
Gambar 5.5 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Organisasi Kerja dan Konten Pekerjaan

76
Berdasarkan gambar 5.5 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan adalah pekerja merasa pekerjaannya sangat berarti (56,4%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah perasaan

pekerja bahwa tempat kerjanya mempunyai kepentingan terhadap dirinya (30%). Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang kurang

antara pihak karyawan dengan manajemen serta rendahnya partisipasi karyawan terhadap pengambilan keputusan. Kedelapan item

dengan besar persentase sesuai pada gambar 5.5 secara tidak langsung dan dalam jangka waktu yang lama akan terakumulasi sehingga

menyebabkan besar persentase dari faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan hanya sebear 47,3%.

(%)

120
100
80
60,9 54,5 61,8 58,2
60 74,5 68,2 75,5 70,9 67,3
84,5
40
20 39,1 45,5 38,2 41,8
25,5 31,8 24,5 29,1 32,7
15,5
0
Tidak mudahnya Diperolehnya Pengapresiasian Perlakuan adil Kejelasan tujuan Harapan pekerja Tingkat kepuasan Pengaruh atasan Kedekatan atasan Bantuan atasan
pekerja dalam informasi yang pekerjaan terhadap pekerjaan terhadap pekerja terhadap dalam membuat dengan karyawan terhadap
mendapatkan dibutuhkan oleh karyawan oleh karyawan pekerjaannya pekerjaannya perencanaan karyawan
informasi tentang pekerja dalam manajer
keputusan penting melakukan
perusahaan pekerjaannya

Baik Buruk
Gambar 5.6 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Hubungan Interpersonal dan Kepemimpinan

77
Berdasarkan gambar 5.6 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan adalah pengapresiasian pekerjaan karyawan oleh manajer (45,5%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah

kedekatan atasan dengan karyawan (15,5%). Sama halnya dengan faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan, kondisi ini berkaitan

dengan komunikasi yang kurang antara pihak karyawan dengan manajemen sehingga karyawan kurang mendapat dukungan dalam hal

pengembangan diri.

(%)
120

100

80
57,3
66,4
60
92,7
40

20 42,7
33,6
0 7,3
Tingkat kepuasan pekerja Kondisi pekerjaan menguras banyak energi Kondisi pekerjaan menghabiskan banyak
waktu
Baik Buruk

Gambar 5.7 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Bekerja Antarmuka Individu
78
Berdasarkan gambar 5.7 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor bekerja antarmuka individu

adalah kondisi pekerjaan menguras banyak energi (42,7%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah tingkat kepuasan

pekerja (7,3%). Ketidakpuasan pekerja berkaitan dengan gaji yang diterima dan jenis pekerjaan yang selalu sama atau tidak mengalami

peningkatan, baik dalam hal jabatan maupun jenis pekerjaan yang dilakukan.

(%)

120

100

80
53,6 50,9
60 75,5 72,7

40

20 46,4 49,1
24,5 27,3
0
Kepercayaan pekerja terhadap Kepercayaan manajemen Keadilan pemecahan konflik Keadilan pembagian kerja
informasi dari manajemen terhadap pekerja
Baik Buruk

Gambar 5.8 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Nilai-nilai di Level Tempat Kerja

79
Berdasarkan gambar 5.8 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor nilai-nilai di level tempat kerja

adalah keadilan pembagian kerja (49,1%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah kepercayaan manajemen terhadap

pekerja (24,5%). Rendahnya kepercayaan manajemen terhadap pekerja berkaitan dengan komunikasi yang rendah antara karyawan dan

manajemen serta rendahnya partisipasi karyawan terhadap proses pengambilan keputusan perusahaan.

(%)

120

100

80
73,6 65,5
60 81,8 85,5
90,9
40

20 34,5
18,2 26,4
9,1 14,5
0
Persepsi umum terhadap Keletihan yang dirasakan Emosi negatif (rasa Stres pada pekerja Gangguan yang berasal
kesehatan pekerja marah) yang dirasakan dari suatu hal atau orang
pekerja ketika bekerja lain ketika bekerja
Baik Buruk

Gambar 5.9 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Kesehatan dan Kesejahteraan

80
Berdasarkan gambar 5.9 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor kesehatan dan kesejahteraan

adalah stres pada pekerja (34,5%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah emosi negatif yang dirasakan pekerja ketika

bekerja (9,1%). Rendahnya persentase tersebut dikarenakan pekerja sering mengalami rasa marah atau kesal ketika merasa letih atau

lelah dalam bekerja. Item-item lain yaitu persepsi umum pekerja terhadap kesehatannya, seperti merasa batuk atau flu; rasa letih yang

dirasakan selama bekerja, serta berbagai macam gangguan yang menyebabkan emosi marah ketika bekerja merupakan komponen

pembentuk kondisi buruk pada faktor kesehatan dan kesejahteraan.

(%)

105

100
4,5 4,5
95
12,7
16,4
90

85 95,5 95,5

87,3
80 83,6

75
Pelecehan Seksual Ancaman kekerasan Kekerasan fisik Gertakan di tempat kerja
Baik Buruk
Gambar 5.10 Grafik Distribusi Proporsi Setiap Item pada Faktor Perilaku Ofensif
81
Berdasarkan gambar 5.10 dapat diketahui bahwa persentase kategori baik tertinggi dari item faktor perilaku ofensif adalah

pelecehan seksual dan ancaman kekerasan (95,5%). Sedangkan persentase kategori baik terendah adalah gertakan di tempat kerja

(83,6%). Perilaku ofensif di PT. Sandratex jarang terjadi. Adapun jenis perilaku ofensif yang sering terjadi hanyalah jenis gertakan

ringan. Sedangkan pelecehan seksual dan ancaman kekerasan yang terjadi hanya dalam bentuk kata-kata. Untuk kekerasan fisik juga

hanya sebatas pukulan ringan pada tangan, yang sebenarnya jarang terjadi. Kondisi keempat item ini berpengaruh terhadap besar

persentase dari faktor perilaku ofensif. Besar persentase yang ada menunjukkan kondisi faktor perilaku yang baik di PT. Sandratex

dibandingkan dengan faktor-faktor psikososial yang lain.

82
5.3 Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016 berdasarkan Umur

Hasil penelitian mengenai faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat Tahun

2016 berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Umur di


PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016

Umur (tahun)
< 30 ≥ 30
Faktor Psikososial
Baik Buruk Baik Buruk
n % n % n % n %

Tuntutan di tempat kerja 4 44,4 5 55,6 39 38,6 62 61,4

Organisasi kerja dan


4 44,4 5 55,6 48 47,5 53 52,5
konten pekerjaan

Hubungan interpersonal
4 44,4 5 55,6 40 39,6 61 60,4
dan kepemimpinan

Bekerja antarmuka
3 33,3 6 66,7 49 48,5 52 51,5
individu

Nilai-nilai di level tempat


2 22,2 7 77,8 47 46,5 54 53,5
kerja

Kesehatan dan
2 22,2 7 77,8 50 49.5 51 50,5
kesejahteraan

Perilaku ofensif 6 66,7 3 33,3 78 77,2 23 22,8

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa rata-rata persentase kategori

baik dari faktor psikososial pada kelompok umur ≥ 30 tahun cenderung lebih besar

dibandingkan kelompok umur < 30 tahun yaitu pada faktor organisasi kerja dan

konten pekerjaan, bekerja antarmuka individu, nilai-nilai di level tempat kerja,

83
kesehatan dan kesejahteraan, serta perilaku ofensif. Pada kedua kelompok, baik

kelompok umur < 30 tahun maupun ≥ 30 tahun persentase tertinggi untuk kategori

baik berada pada faktor perilaku ofensif, yakni dengan persentase sebesar 66,7%

dan 77,2%. Persentase terendah untuk kategori baik pada kelompok umur < 30

tahun yaitu faktor nilai-nilai di level tempat kerja serta kesehatan dan kesejahteraan

dengan persentase sebesar 22,2%. Sedangkan persentase terendah untuk kategori

baik pada kelompok umur ≥ 30 yaitu faktor tuntutan di tempat kerja dengan

persentase sebesar 38,6%. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok umur ≥ 30

tahun cenderung mengalami kondisi psikososial yang lebih baik dari kelompok

umur < 30 tahun.

5.4 Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016 berdasarkan Masa Kerja

Hasil penelitian mengenai faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat Tahun

2016 berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada tabel 5.2

84
Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Masa
Kerja di PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016

Masa Kerja (tahun)


≤ 21 > 21
Faktor Psikososial
Baik Buruk Baik Buruk
n % n % n % n %
Tuntutan di tempat kerja 21 37,5 35 62,5 22 40,7 32 59,3

Organisasi kerja dan konten pekerjaan 26 46,4 30 53,6 26 48,1 28 51,9

Hubungan interpersonal dan


25 44,6 31 55,4 19 35,2 35 64,8
kepemimpinan

Bekerja antarmuka individu 27 48,2 29 51,8 25 46,3 29 53,7

Nilai-nilai di level tempat kerja 24 42,9 32 57,1 25 46,3 29 53,7

Kesehatan dan kesejahteraan 26 46,4 30 53,6 26 48,1 28 51,9

Perilaku ofensif 45 80,4 11 19,6 39 72,2 15 27,8

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa rata-rata persentase kategori

baik dari faktor psikososial pada kelompok masa kerja > 21 tahun cenderung lebih

besar dibandingkan kelompok umur ≤ 21 tahun yaitu pada faktor tuntutan di tempat

kerja, organisasi kerja dan konten pekerjaan, nilai-nilai di level tempat kerja, serta

kesehatan dan kesejahteraan. Pada kedua kelompok, baik kelompok masa kerja ≤

21 tahun maupun > 21 tahun persentase tertinggi untuk kategori baik berada pada

faktor perilaku ofensif, yakni dengan persentase sebesar 80,4% dan 72,2%.

Persentase terendah pada kelompok masa kerja ≤ 21tahun adalah faktor tuntutan di

tempat kerja dengan persentase sebesar 37,5%. Sedangkan persentase terendah

pada kelompok masa kerja > 21 adalah faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan dengan persentase sebesar 35,2%. Sehingga dapat dikatakan bahwa

85
kelompok masa kerja > 21 tahun cenderung mengalami kondisi psikososial yang

lebih baik dari kelompok umur ≤ 21 tahun.

5.5 Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016 berdasarkan Unit Kerja

Hasil penelitian mengenai faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat Tahun

2016 berdasarkan unit kerja dapat dilihat pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Faktor Psikososial berdasarkan Unit Kerja di


PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016

Unit Kerja
Spinning Weaving Office
Faktor Psikososial
Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk
n % n % n % n % n % n %
Tuntutan di tempat
19 45,2 23 54,8 20 37,0 34 63,0 4 28,6 10 71,4
kerja
Organisasi kerja
dan konten 21 50,0 21 50,0 27 50,0 27 50 4 28,6 10 71,4
pekerjaan
Hubungan
interpersonal dan 11 26,2 31 73,8 28 51,9 26 48,1 5 35,7 9 64,3
kepemimpinan
Bekerja antarmuka
15 35,7 27 64,3 30 55,6 24 44,4 7 50,0 7 50,0
individu

Nilai-nilai di level
22 52,4 20 47,6 22 40,7 32 59,3 5 35,7 9 64,3
tempat kerja

Kesehatan dan
13 31,0 29 69,0 32 59,3 22 40,7 7 50,0 7 50,0
kesejahteraan

Perilaku ofensif 32 76,2 10 23,8 40 74,1 14 25,9 12 85,7 2 14,3

86
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa rata-rata persentase kategori baik dari

faktor psikososial pada unit kerja weaving cenderung lebih tinggi dibandingkan unit

kerja spinning dan office yaitu pada faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, kesehatan dan kesejahteraan, serta

perilaku ofensif. Namun dari ketiga unit, unit kerja office mempunyai persentase

kategori baik tertinggi pada faktor perilaku ofensif (85,7%). Unit office merupakan

lingkungan kerja yang secara lokasi dekat dengan pihak manajemen sehingga

jarang terjadi perilaku ofensif di antara para pekerjanya.

87
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Tidak dilakukan pengambilan data secara observasi dan wawancara sehingga

tidak mendapatkan informasi mengenai psikososial secara lebih mendalam.

2. Distribusi kuesioner tidak dilakukan secara tatap muka langsung dengan seluruh

responden sehingga kurang maksimal proses penyampaian tujuan dari penelitian

ini dan dikhawatirkan terdapat bias informasi pada saat pengisian kuesioner.

3. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional deskriptif, di mana

hanya memberikan informasi mengenai gambaran karakteristik variabel tanpa

melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

4. Pada kuesioner tidak mencantumkan instruksi cara penandaan kuesioner atas

jawaban yang dipilih responden.

5. Kategori pengelompokan responden berdasarkan umur cenderung homogen

karena mayoritas responden sudah berumur lebih dari 30 tahun.

6. Kuesioner yang digunakan yakni COPSOQ II kurang mendeskripsikan secara

detail mengenai faktor-faktor psikososial.

6.2 Gambaran Faktor Psikososial di Tempat Kerja pada Pekerja Tekstil di PT.

Sandratex Ciputat Tahun 2016

Penelitian ini meliputi tujuh variabel yang diidentifikasi sebagai faktor

pembentuk dari psikososial berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pejtersen

dkk (2010). Ketujuh faktor pembentuk tersebut diharapkan dapat menggambarkan

88
kondisi psikososial yang ada di PT. Sandratex. Melalui hasil penelitian yang telah

diperoleh akan dapat terlihat bagian dari faktor mana yang perlu dilakukan

perbaikan dan peningkatan agar tidak mengakibatkan dampak keselamatan dan

kesehatan yang buruk pada pekerja di masa mendatang. Hal ini dikarenakan pada

beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor psikososial turut berpengaruh atau

berhubungan dengan keselamatan kerja atau penyakit akibat kerja (Maurist dan

Widodo, 2008; Marchira, Wirasto dan Sumarni, 2007; Handayani, 2008). Namun

demikian, kuesioner COPSOQ II short version memiliki kelemahan dari segi

jumlah pertanyaan yang terbatas sehingga kurang mewakili kondisi per faktor

pembentuk psikososial. Adapun pengambilan data juga tidak dilakukan secara

langsung oleh peneliti sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara

maupun observasi mendalam terhadap semua responden. Hal ini diharapkan untuk

mendapat perhatian lebih dari peneliti selanjutnya apabila ingin meneliti mengenai

topik yang sama terkait faktor psikososial di tempat kerja.

Beberapa faktor psikososial yaitu tuntutan di tempat kerja (seperti: bekerja

dalam shift, beban kerja berlebih, dan bekerja monotoni), organisasi kerja dan

konten pekerjaan (seperti: lingkungan kerja yang tidak kondusif), hubungan

interpersonal dan kepemimpinan (seperti: tidak jelasnya peran kerja), serta bekerja

antarmuka individu (seperti: konflik antar teman kerja), diketahui dapat

mengakibatkan gangguan fisik, mental atau emosional para pekerja. Gangguan atau

masalah kesehatan yang dimaksud seperti gangguan muskuloskeletal (MSDs), stres

kerja, dan penyakit psikosomatis yang dapat menyebabkan penyakit yang

berhubungan dengan pekerjaan (Kementerian Kesehatan, 2011). Sedangkan

Maurist dan Widodo (2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa stres

89
mempunyai pengaruh terhadap kejadian kecelakaan kerja. Penelitian lain dari

Govindu dan Reeves (2014) menyebutkan adanya hubungan yang berarti antara

faktor psikososial dengan kasus low back pain pada 60 buruh di Amerika.

Manifestasi lain dari kondisi psikososial yang buruk juga ditemukan pada

penelitian Marchira, Wirasto, dan Sumarni (2007) yang mengungkapkan bahwa

faktor psikososial berupa dukungan sosial dan tingkat religiusitas mempunyai

pengaruh cukut kuat terhadap kejadian depresi pada kelompok lansia. Penelitian

lain dari Handayani (2008) menunjukkan hubungan negatif antara faktor

psikososial berupa sikap penyelesaian masalah dan kebermaknaan hidup dengan

penyakit somatisasi pada wanita karir. Beberapa contoh penelitian tersebut

menunjukkan bahwa faktor psikososial perlu mendapat perhatian lebih di sebuah

industri, mengingat dampak yang bisa ditimbulkan dan kehadiran yang cenderung

tidak disadari.

PT. Sandratex yang merupakan perusahaan di bidang tekstil diketahui

memiliki potensi bahaya akibat psikososial. Hasil penelitian psikososial di PT.

Sandratex Ciputat menunjukkan bahwa hampir semua faktor dikatakan dalam

kondisi yang cenderung buruk. Hanya faktor perilaku ofensif yang mempunyai

persentase kategori baik cukup tinggi yaitu sebesar 76,4%. Hal ini menunjukkan

bahwa perlu adanya upaya perbaikan dan peningkatan terhadap faktor-faktor

tersebut.

Menurut Widyastuti dan Widyani (2007), faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap perkembangan psikososial meliputi: penerimaan kelompok, keamanan

status, tipe kelompok, perbedaan anggota kelompok, kepercayaan diri, dan

perkembangan intelektual. Penerimaan kelompok menunjukkan kemampuan

90
sosialisasi seseorang untuk bisa diterima di masyarakat. Keamanan status

merupakan perasaan aman yang dimiliki seseorang dalam suatu kelompok sehingga

dia bisa merasa bebas untuk mengutarakan segala kreatifitasnya. Tipe kelompok

dapat dilihat dari kedekatan hubungan seseorang. Semakin dekat hubungan antar

personal, perkembangan psikososialnya akan semakin besar. Arah perkembangan

positif atau negatif tergantung dari kelompok yang mempengaruhinya. Perbedaan

anggota kelompok menunjukkan situasi yang akan didominasi oleh anggota yang

mempunyai pengaruh kuat atau anggota populer. Kepercayaan diri berasal dari

motivasi yang telah tertanam dalam diri individu. Perkembangan intelektual berasal

dari faktor genetik maupun orang-orang terdekat yang ada di sekitarnya.

Perkembangan intelektual berkaitan dengan umur seseorang. Semakin banyak

umur seseorang semakin dewasa dan berkembang pula pemikirannya (Walters,

2004). Hal ini berarti bahwa secara tidak langsung umur berkaitan dengan kondisi

psikologi seseorang. Jika dilihat dari besar persentase, pekerja dengan kelompok

umur ≥ 30 tahun memiliki rata-rata persentase kategori baik yang cenderung lebih

besar dibandingkan dengan umur < 30 tahun pada beberapa faktor yaitu organisasi

kerja dan konten pekerjaan, bekerja antarmuka individu, nilai-nilai di level tempat

kerja, kesehatan dan kesejahteraan, serta perilaku ofensif. Pekerja yang berumur

lebih tua cenderung mempunyai pengalaman dan pengendalian diri yang lebih

dibandingkan dengan pekerja yang lebih muda. Namun secara keseluruhan besar

persentase faktor-faktor psikososial antara kelompok umur ≥ 30 tahun dan < 30

tahun hampir sama. Diketahui dari penelitian Gobel, Rattu, dan Akili (2014) serta

Haris, Rahim, dan Muis (2014) bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan

kejadian stres kerja yang merupakan salah satu manifestasi dari psikososial yang

91
buruk. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Yani (2010) yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan tingkat burnout pada agent

outbound call PT Telkom tbk divisi regional iv.

Pengalaman pekerja dalam melakukan pekerjaannya diketahui berkaitan

dengan masa kerja pada bidang yang ditekuni. Semakin lama seseorang bekerja di

suatu tempat kerja, maka dapat berpengaruh positif dengan bertambahnya

pengalaman serta ketrampilan yang lebih baik. Namun, perlu diketahui pula bahwa

terdapat dampak negatif berupa potensi paparan bahaya setiap hari dari tempat atau

lingkungan kerja (Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014). Sama halnya

dengan variabel umur, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa besar persentase

faktor-faktor psikososial antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun

hampir sama. Namun pekerja dengan masa kerja > 21 tahun memiliki rata-rata

persentase kategori baik yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan masa

kerja ≤ 21 tahun pada empat faktor psikososial yaitu tuntutan di tempat kerja,

organisasi kerja dan konten pekerjaan, nilai-nilai di level tempat kerja, serta

kesehatan dan kesejahteraan. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa semakin

bertambahnya masa kerja tidak selalu disertai dengan kondisi psikososial yang

buruk. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mochtar, Muis, dan

Rahim (2013) bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian stres

kerja yang merupakan salah satu manifestasi dari psikososial yang buruk pada

pedagang Pasar Daya Kota Makassar. Munandar (2001) menambahkan bahwa masa

kerja, baik masa kerja baru maupun lama pada dasarnya dapat memicu terjadinya

stres kerja dengan tambahan beban kerja yang berat.

92
Berdasarkan unit kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase

kategori baik dari faktor psikososial pada unit kerja weaving cenderung lebih tinggi

dibandingkan unit kerja spinning dan office yaitu pada faktor hubungan

interpersonal dan kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, kesehatan dan

kesejahteraan, serta perilaku ofensif. Dari ketiga unit, unit kerja office mempunyai

persentase kategori baik tertinggi pada faktor perilaku ofensif (85,7%). Namun,

persentase kategori buruk tertinggi terlihat di unit kerja spinning yaitu pada faktor

organisasi kerja dan konten pekerjaan (71,4%). Safitri dan Fihir (2013) menyatakan

bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja yang merupakan salah satu manifestasi

dari psikososial dengan faktor konteks pekerjaan lain yaitu lingkungan fisik kerja,

gaji, dan pengembangan karir.

Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa diperlukan langkah

peningkatan atau perbaikan untuk beberapa faktor psikososial yang mayoritas

cenderung berkategori buruk. Faktor dan aspek yang perlu ditingkatkan beserta cara

perbaikannya akan dijelaskan sebagai berikut.

6.2.1 Tuntutan di Tempat Kerja

Tuntutan di tempat kerja yang diketahui sebagai faktor pertama

pembangun kuesioner COPSOQ II merupakan salah satu faktor penting

psikososial. Hal ini dapat terlihat dari kuesioner lain yang juga

mencantumkan tuntutan di tempat kerja sebagai bagian dari faktor

psikososial (Karasek dkk., 1998). Tuntutan di tempat kerja meliputi 6 item

atau komponen, yaitu: tuntutan kuantitatif, kecepatan kerja, tuntutan

kognitif, dan tuntutan emosional, tuntutan untuk menyembunyikan emosi,

dan tuntutan sensorik. Tuntutan di tempat kerja yang buruk atau cenderung

93
berlebih dapat mengakibatkan efek negatif terhadap keselamatan dan

kesehatan pekerja. Pada kuesioner ini, terdapat 6 pertanyaan yang mewakili

setiap item. Pada dasarnya, hal ini menjadi kelemahan dari kuesioner karena

jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa menggambarkan kondisi

item-item pada faktor tuntutan di tempat kerja.

Beberapa studi menunjukkan adanya dampak keselamatan dan

kesehatan akibat item-item faktor tuntutan di tempat kerja. Beberapa

penelitian mengungkapkan adanya tuntutan kognitif yang tinggi dapat

berakibat pada peningkatan risiko penyakit, kecelakaan kerja, serta masalah

kesehatan mental. Selain itu, tuntutan emosi tinggi dan tingkat kepuasan

kerja yang rendah dapat berisiko terhadap kelelahan, burn out, dan tekanan

psikologis (Eurofound, 2012). Pada sebuah penelitian di Jepang diketahui

bahwa terdapat 204 kasus gangguan kardiovaskular pada pekerja usia

pertengahan. Dari 204 kasus, sebanyak 123 orang mengalami stroke, 50

orang mengalami gagal ginjal akut, 27 orang mengalami infraksi

miokardinal, dan 4 orang lain mengalami pecahnya pembuluh aorta jantung.

Diketahui pula pada kasus tersebut bahwa para pekerja mempunyai masalah

waktu kerja yang kompleks yaitu dengan menghabiskan waktu bekerja lebih

dari 60 jam selama seminggu, lembur yang berlebihan dengan waktu kerja

lebih dari 50 jam setiap bulan, serta bekerja pada saat liburan dengan waktu

lebih dari setengah dari liburan tetap mereka (Uehata, 1991). Sedangkan

waktu maksimal yang seharusnya dibebankan kepada pekerja dalam satu

hari kerja adalah 8 jam. Efek yang diakibatkan oleh jam kerja berlebih

adalah dapat menurunkan kebugaran tubuh dan kelelahan (UU No. 13

94
Tahun 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian Hariyati (2011) serta

Susetyo, Oesman, dan Sudharman (2012) yang mengungkapkan bahwa

tuntutan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya

kelelahan kerja.

Kelelahan sendiri diketahui turut memberikan kontribusi yang cukup

besar terhadap kejadian kecelakaan di tempat kerja. ILO menyatakan bahwa

setiap tahun terdapat setidaknya dua juta pekerja meninggal karena

kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor kelelahan. Hal ini sejalan

dengan penelitian Maurits dan Widodo (2008) yang menunjukkan bahwa

faktor kelelahan secara signifikan berpengaruh dalam menyebabkan

kecelakaan kerja. Efek lain dari kelelahan juga dijelaskan pada penelitian

Kurniawati dan Sholikhah (2012) dan Roshadi (2014) yang menyatakan

bahwa kelelahan kerja secara signifikan berhubungan negatif terhadap

kinerja dan produktivitas kerja karyawan. Artinya, semakin tinggi tingkat

kelelahan karyawan, semakin rendah kinerja dan produktivitas kerjanya.

Dari beberapa penelitian yang ada membuktikan bahwa faktor tuntutan di

tempat kerja merupakan pemicu yang dapat berdampak buruk terhadap

beberapa aspek di tempat kerja jika tidak dikelola dengan baik.

Hasil penelitian menunjukkan faktor tuntutan di tempat kerja

mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 11,35 dan median

12 sesuai pada tabel 5.1. Berdasarkan analisis terhadap skor median,

diketahui bahwa persentase faktor tuntutan di tempat kerja berkategori baik

hanya sebesar 39,1%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang ada belum

cukup memuaskan. Namun, jika dilihat berdasarkan umur, masa kerja, dan

95
unit kerja, diketahui tidak terlihat perbedaan persentase yang cukup besar di

antara setiap kategorinya. Pada dasarnya, rendahnya persentase faktor

tuntutan di tempat kerja di PT. Sandratex dikarenakan para pekerja sering

merasa lelah dengan pekerjaan yang dilakukan. Menurut hasil wawancara

dengan beberapa orang pekerja, jenis pekerjaan monoton yang mereka

lakukan dapat menambah rasa jenuh dan capek ketika bekerja.

Berdasarkan variabel umur, faktor tuntutan di tempat kerja antara

kelompok umur ≥ 30 tahun dan < 30 tahun menunjukkan besar persentase

yang hampir sama. Namun besar persentase dari kedua kelompok tersebut

cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok umur < 30

tahun (44,4%) lebih besar dibandingkan kelompok umur ≥ 30 tahun

(38,6%). Pada usia yang semakin menua, tubuh akan mengalami

perkembangan mundur. Kemampuan tubuh, baik secara fisik maupun

mental akan berangsur menurun (Tim IPA, 2007). Oleh karena itu, pekerja

dengan usia lanjut akan lebih cepat merasa lelah dibandingkan dengan

pekerja yang usianya lebih muda. Namun kedua kelompok umur masih

sama-sama termasuk ke dalam rentang umur produktif sehingga tidak terlalu

terlihat perbedaan yang besar.

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor tuntutan di tempat kerja

antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun menunjukkan besar

persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua kelompok

tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok masa

kerja > 21 tahun (40,7%) lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja ≤

21 tahun (37,5%). Lamanya masa kerja seseorang dapat berpengaruh positif

96
karena dapat menambah pengalaman serta ketrampilan yang lebih baik

(Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase antara unit kerja

spinning, weaving, dan office menunjukkan besar persentase yang hampir

sama. Besar persentase kategori baik dari unit kerja spinning (45,2%) lebih

besar dibandingkan unit kerja weaving (37%) dan office (28,6%).

Umumnya, pekerjaan di unit kerja office lebih monoton dan tidak dinamis

(Dermawan dan Saraswati, 2009). Hal ini seringkali membuat pekerja lebih

merasa tertekan dan lelah. Untuk mengatasi masalah di unit kerja office,

pihak perusahaan bisa menerapkan sistem pengaturan waktu istirahat yang

intensif di sela-sela pekerjaan minimal 2 jam sekali dan disertai dengan

gerakan senam kecil. Sedangkan pada unit kerja spinning dan weaving bisa

diberlakukan sistem reward untuk meningkatkan motivasi para pekerja.

Berdasarkan item, semua item yang ada dalam faktor ini perlu

mendapat perhatian, khususnya tiga item dengan besar persentase terendah.

Ketiga item tersebut berkaitan dengan tambahan uang atau hadiah kepada

pekerja saat lembur, situasi pekerjaan yang mengganggu kondisi emosional

pekerja, dan kebiasaan pekerja dalam menceritakan masalah orang lain di

tempat kerja. Ketiga item ini perlu diperkuat dengan beberapa strategi dari

manajemen agar tidak lebih berdampak buruk ke depannya.

Strategi yang dapat diterapkan manajemen untuk menghadapi masalah

tersebut adalah dengan menyesuaikan antara kapasitas kerja karyawan

dengan beban kerja yang dikerjakan. Penyesuaian ini ditetapkan

97
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa waktu

maksimal yang diperkenankan untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam

atau 40 jam dalam seminggu. Sehingga apabila terdapat waktu kerja yang

melebihi jam sebenarnya atau waktu lembur, pihak perusahaan sebaiknya

menyiapkan gaji tambahan untuk mengganti waktu lebih yang dikeluarkan

oleh pekerja. Diketahui bahwa gaji rata-rata karyawan di PT. Sandratex

sebesar 2,3 juta. Jumlah ini berada di bawah UMK (Upah Minimum

Karyawan) Kota Tangerang Selatan yang seharusnya adalah 2,71 juta.

Selain itu, para pekerja di PT. Sandratex bekerja selama 48 jam dalam

seminggu, dengan rincian 8 jam perhari antara hari Senin sampai Sabtu.

Jumlah jam kerja ini diketahui melebihi aturan yang ditetapkan oleh

undang-undang sebanyak 8 jam kerja. Oleh karena itu, sebaiknya perlu

diipertimbangkan mengenai adanya kenaikan gaji bagi karyawan dengan

jam kerja penuh sesuai dengan standar yang ada. Namun jika tidak

memungkinkan, perusahaan dapat mengupayakan lingkungan kerja yang

lebih nyaman, setidaknya untuk mengurangi beban emosional pekerja

seperti mengupayakan sistem reward baik berupa materi maupun apresiasi

terhadap hasil kerja untuk meningkatkan motivasi bagi pekerja serta

menciptkan komunikasi secara lebih aktif antara manajemen dengan

pekerja. Selain itu, untuk item situasi pekerjaan mengganggu kondisi

emosional pekerja dan hal-hal yang berhubungan dengan personal orang

lain di tempat kerja seperti menceritakan masalah orang lain di tempat kerja

dapat diatasi oleh pemantauan dari top manajemen untuk sekedar melihat

98
kinerja sehari-hari dari pekerja. Sehingga apabila terlihat hal yang

menyimpang akan segera bisa diatasi.

6.2.2 Organisasi Kerja dan Konten Pekerjaan

Faktor kedua dari psikososial ini terdiri dari item-item yang di terdiri

dari pengaruh, kemungkinan pengembangan, variasi, arti pekerjaan,

komitmen di tempat kerja, dan derajat kebebasan di tempat kerja (Pejtersen,

2010). Sama halnya dengan faktor tuntutan di tempat kerja, faktor ini turut

ditemukan dalam kuesioner JCQ dari Karasek dkk. (1998) yang dalam

konsepnya dinamakan sebagai job control. Menjaga kondisi faktor

organisasi kerja dan konten pekerjaan yang baik juga menjadi salah satu

upaya yang harus dilakukan oleh manajemen agar tidak berdampak buruk

terhadap kondisi psikososial pekerja. Pada kuesioner ini, terdapat 8

pertanyaan yang mewakili setiap item. Pertanyaan yang mewakili setiap

item tidak lebih dari satu pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan dari

kuesioner karena jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa

menggambarkan kondisi item-item pada faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan.

Komitmen organisasi yang merupakan salah satu bentuk dari faktor

organisasi kerja dan konten pekerjaan diketahui secara signifikan

berpengaruh terhadap motivasi dan kepuasan kerja (Trisnaningsih, 2001).

Pekerja akan merasa termotivasi dan puas ketika bekerja jika pihak

organisasi atau manajemen benar-benar dapat melakukan apa yang telah

meraka janjikan di awal kepada para pekerja. Motivasi kerja merupakan

faktor penting yang dapat meningkatkan kinerja karyawan sast bekerja

99
(Chandraningtyas, Musadieq, dan Utami, 2012). Selain itu, motivasi kerja

mempunyai kecenderungan dalam menyebabkan burn out pada pekerja. Hal

ini dapat dibuktikan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tawale,

Budi, dan Nurcholis (2011) terhadap perawat di RSUD Serui-Papua yang

menunjukkan adanya hubungan negatif antara motivasi kerja perawat

dengan kecenderungan mengalain burn out. Artinya, semakin tinggi

motivasi kerja yang dimiliki perawat maka kecenderungan untuk mengalami

burn out akan semakin rendah, dan begitu sebaliknya.

Hasil penelitian menunjukkan faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 19,07

dan median 19. Berdasarkan analisis terhadap skor tersebut, diketahui

bahwa persentase faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan berkategori

baik hanya sebesar 47,3%. Hasil ini bisa dikatakan belum cukup

memuaskan. Jika dilihat berdasarkan variabel umur dan masa kerja,

diketahui tidak terlihat perbedaan persentase yang cukup besar di antara

setiap kategorinya. Namun berdasarkan unit kerja, diketahui bahwa unit

kerja office mempunyai persentase buruk dengan selisih yang cukup tinggi

dibandingkan dua unit kerja yang lain (71,4%).

Berdasarkan variabel umur, faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan antara kelompok umur ≥ 30 tahun dan < 30 tahun menunjukkan

besar persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua

kelompok tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada

kelompok umur ≥ 30 tahun (47,5%) lebih besar dibandingkan kelompok

umur < 30 tahun (44,4%). Menurut hasil wawancara terhadap para pekerja,

100
pekerja dengan usia lebih tua umumnya lebih bisa menghargai pekerjaannya

karena merasa sulit untuk mencari pekerjaan lain pada usianya.

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor organisasi kerja dan konten

pekerjaan antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 menunjukkan

besar persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua

kelompok tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada

kelompok masa kerja > 21 tahun (48,1%) lebih besar dibandingkan

kelompok masa kerja ≤ 21 tahun (46,4%). Lama masa kerja seseorang dapat

meningkatkan pengalaman dan ketrampilan dalam bidang yang ditekuni

(Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase ketiga kelompok unit

kerja cukup rendah. Besar persentase kategori baik dari unit kerja spinning

sama besar dengan unit kerja weaving (50%). Sedangkan persentase

kategori baik dari unit kerja office diketahui lebih kecil dibandingkan dua

unit kerja yang lain (28,6%). Berdasarkan hasil wawancara terhadap

karyawan PT. Sandratex, diketahui bahwa pekerjaan di unit kerja office

lebih bersifat monoton dan lebih banyak mengurusi berbagai keperluan

administrasi perusahaan yang kompleks. Sedangkan cara kerja dan alat kerja

yang digunakan masih bersifat sederhana, seperti mesin ketik yang

digunakan belum menggunakan komputer. Adapun penyebab lain

diakibatkan oleh beberapa kondisi buruk di area office sesuai dengan hasil

yang terlihat pada item organisasi kerja dan konten pekerjaan yang buruk,

yaitu pekerja tidak mempunyai pengaruh terhadap pekerjaan, pekerja tidak

dapat mempelajari sesuatu yang baru dari pekerjaannya, tidak adanya

101
inisiatif dalam bekerja, pekerja merasa pekerjaannya kurang penting,

pekerja merasa tempat kerjanya tidak mempunyai kepentingan yang tinggi

terhadap dirinya, serta pekerja merasa bahwa tempat kerjanya tidak layak

untuk direkomendasikan kepada temannya. Perasaan kurangnya pengaruh

diri pekerja terhadap pekerjaan, kurang pentingnya pekerjaan terhadap diri

pekerja maupun sebaliknya serta ketidaklayakan perekomendasian tempat

mereka bekerja diakibatkan oleh kurangnya interaksi antara pihak

manajemen dengan para pekerja. Para pekerja di PT. Sandratex dituntut

untuk datang dan bekerja. Selebihnya, jarang terjadi interaksi lain antara

pekerja dengan pihak manajemena sehingga komunikasi yang ada tidak

dapat terjalin dengan baik. Sedangkan kurangnya inisiatif dan mempelajari

hal baru dalam pekerjaan terjadi akibat monotonisasi jenis pekerjaan yang

dilakukan Adapun dua unit kerja lain mengalami kondisi tersebut namun

tidak lebih buruk dari unit kerja office.

Kondisi faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan yang cukup

buruk perlu untuk segera dilakukan tindakan perbaikan yang sesuai dan bisa

diterima dengan baik oleh pihak manajemen. Strategi yang dapat diterapkan

yaitu berupa peningkatan motivasi pekerja seperti pemberian reward dan

perbaikan komunikasi manajemen terhadap pekerja maupun sebaliknya. Hal

ini digunakan untuk mengatasi kondisi buruk pada item pengaruh pekerja

terhadap pekerjaan, pekerja merasa pekerjaannya kurang penting, pekerja

merasa tempat kerjanya tidak mempunyai kepentingan yang tinggi terhadap

dirinya, serta pekerja merasa bahwa tempat kerjanya tidak layak untuk

direkomendasikan kepada temannya. Dengan adanya perbaikan proses

102
interaksi dan komunikasi dengan pekerja diharapkan mampu memperbaiki

kondisi-kondisi buruk pada faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan

sehingga pekerja akan lebih percaya terhadap organisasi dan menganggap

dirinya memang pantas dan merasa memiliki peran yang penting di tempat

dia bekerja. Sedangkan untuk item pekerja tidak dapat mempelajari sesuatu

yang baru dan inisiatif dalam pekerjaannya dapat diatasi dengan sistem job

rotation atau rotasi pekerjaan. Pekerja yang biasa bekerja pada bagian

spinning perlu di rotasi ke bagian weaving, begitu pula sebaliknya agar tidak

terjadi monotonisasi dalam pekerjaan serta pekerja bisa belajar lebih banyak

menganai sesuatu yang baru di tempat dia bekerja. Sedangkan pada unit

kerja office bisa juga dilakukan job rotation pada setiap sub divisinya.

6.2.3 Hubungan Interpersonal dan Kepemimpinan

Faktor psikososial ketiga dalam penelitian ini adalah hubungan

interpersonal dan kepemimpinan. Di dalam faktor ini, terdapat 10 komponen

yang turut membangun kuesioner COPSOQ II, yaitu prediktabilitas,

pengakuan (reward), kejelasan peran, konflik peran, kualitas

kepemimpinan, dukungan sosial dari atasan, dukungan sosial dari rekan

kerja, umpan balik, hubungan sosial, dan komunitas sosial. Faktor ini kerap

kali menjadi perhatian khusus karena sering ditemukan sebagai faktor risiko

terhadap beberapa masalah kesehatan. Pada kuesioner ini, terdapat 10

pertanyaan yang mewakili setiap item. Pertanyaan yang mewakili setiap

item tidak lebih dari satu pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan dari

kuesioner karena jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa

103
menggambarkan kondisi item-item pada faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan.

Kondisi faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan yang buruk

dapat berdampak pada beberapa masalah kesehatan. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa kondisi dukungan sosial yang rendah dapat

berpengaruh terhadap peningkatan risiko masalah kesehatan seperti stres,

gangguan kardiovaskuler, penyakit jantung koroner, gangguan mental yang

umum, depresi, serta sakit leher (Eurofound, 2012). Untuk menjaga kualitas

iklim sosial di tempat kerja biasanya didukung oleh adanya dukungan sosial

dari rekan kerja melalui beberapa pertemuan dan kebersamaan yang

menyenangkan (Schabracq, 2003 dalam Eurofound, 2012). Pada penelitian

Almasitoh (2011), diketahui bahwa konflik peran ganda dan dukungan

sosial, yang merupakan faktor psikososial berhubungan dengan kejadian

stres kerja pada perawat di salah satu rumah sakit swasta Yogyakarta. Hal

ini sejalan dengan penelitian dari Murtiningrum (2005) bahwa konflik peran

pekerjaan keluarga dan dukungan sosial berpengaruh terhadap stres kerja

pada studi kasus guru kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal. Pada

penelitian lain diungkapkan bahwa konflik peran ganda ternyata

berhubungan dengan motivasi kerja pada karyawan. Hasil yang ditunjukkan

berupa hubungan negatif, yang astinya semakin rendah konflik peran ganda

seseorang maka semakin tinggi motivasi kerjanya, begitu pula sebaliknya.

Sedangkan pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa motivasi kerja

mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan kejadian burn out pada

pekerja (Tawale, Budi, dan Nurcholis, 2011).

104
Hasil penelitian menunjukkan faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah

20,34 dan median sebesar 20. Berdasarkan analisis terhadap skor median,

diketahui bahwa persentase faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan berkategori baik hanya sebesar 40%. Hal ini menunjukkan

nilai yang kurang memuaskan. Jika dilihat berdasarkan variabel umur dan

masa kerja, diketahui tidak terlihat perbedaan persentase yang cukup besar

di antara setiap kategorinya. Namun berdasarkan unit kerja, diketahui bahwa

unit kerja spinning mempunyai persentase buruk dengan selisih yang cukup

tinggi dibandingkan dua unit kerja yang lain (73,8%).

Berdasarkan variabel umur, faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan antara kelompok umur ≥ 30 tahun dan < 30 tahun

menunjukkan besar persentase yang hampir sama. Namun besar persentase

kedua kelompok tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada

kelompok umur < 30 tahun (44,4%) lebih besar dibandingkan kelompok

umur ≥ 30 tahun (39,6%). Pada usia yang semakin tua, tubuh secara alami

akan mengalami penurunan kemampuan fisik maupun mental (Tim IPA,

2007).

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor hubungan interpersonal dan

kepemimpinan antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun

menunjukkan besar persentase yang hampir sama. Namun besar persentase

kedua kelompok tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada

kelompok masa kerja ≤ 21 tahun (44,6%) lebih besar dibandingkan

kelompok masa kerja > 21 tahun (35,2%). Lama masa kerja seseorang juga

105
bisa berdampak negatif yaitu berupa potensi paparan bahaya setiap hari dari

tempat atau lingkungan kerja (Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni,

2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase ketiga kelompok unit

kerja cukup rendah. Diketahui bahwa besar persentase kategori baik dari

unit kerja spinning (26,2%) lebih kecil jika dibandingkan dengan dua unit

kerja weaving (51,9%) dan office (35,7%). Hal ini disebabkan oleh beberapa

kondisi buruk di area spinning sesuai dengan hasil yang terlihat pada item

faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan yang buruk, yaitu tidak

mudahnya pekerja dalam mendapatkan informasi tentang keputusan penting

perusahaan, tidak diperolehnya informasi yang dibutuhkan oleh pekerja

dalam melakukan pekerjaannya, kurangnya pengapresiasian pekerjaan

karyawan oleh manajer, kurangnya perlakuan adil terhadap karyawan,

tujuan pekerjaan yang kurang jelas, rendahnya harapan pekerja terhadap

pekerjaannya, kurangnya tingkat kepuasan pekerja terhadap pekerjaannya,

rendahnya pengaruh atasan dalam membuat perencanaan, kurangnya

kedekatan atasan dengan karyawan, serta kurangnya bantuan atasan

terhadap karyawan. Adapun item yang paling buruk adalah kurangnya

kedekatan atasan dengan karyawan (15,5%). Menurut hasil wawancara

terhadap karyawan spinning, pihak atasan memang jarang menanyakan

perihal masalah yang dihadapi pekerja. Hal pokok yang menjadi perhatian

pihak atasan adalah terselesaikannya pekerjaan tepat waktu. Padahal perlu

diketahui bahwa peran atasan sangat penting dalam membangun motivasi

106
karyawan. Adapun dua unit kerja lain mengalami kondisi tersebut namun

tidak lebih buruk dari unit kerja spinning.

Semua kondisi tersebut perlu segera dicarikan alternatif

pemecahannya agar tidak menimbulkan efek-efek negatif seperti yang telah

dipaparkan sebelumnya bedasarkan penelitian terdahulu. Penyelesaian

masalah yang dapat dilakukan adalah menjalin komunikasi yang baik antara

pihak manajemen dan pekerja (Anwar, 2015). Apabila terjadi konflik dalam

sebuah organisasi, peran manajemen sangat dibutuhkan untuk mengatasi

konflik yang terjadi karena dampak dari konflik tersebut akan berimbas

pada kinerja dan efektifitas pekerjaan di perusahaan. Hal itu juga sangat

dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan seorang atasan. Sejauh mana

pemimpin tersebut dapat berbuat adil dan bijaksana dalam meluruskan

sebuah perkara maka akan membawa dampak yang baik juga bagi hubungan

interpersonal di dalam organisasi atau perusahaannya. Maka dari itu,

diperlukan sesosok pemimpin adil dan demokratis sesuai dengan harapan

karyawan. Selain itu, sebagai tambahan untuk penyelesaian masalah pada

item pengapresiasian pekerjaan karyawan oleh manajer serta kepuasan

pekerja terhadap pekerjaannya sebaiknya diberlakukan sistem reward bagi

pekerja dengan tingkat loyalitas yang tinggi (Geller, 2001). Semua alternatif

penyelesaian tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah hubungan

interpersonal dan kepemimpinan di PT. Sandratex.

6.2.4 Bekerja antarmuka Individu

Faktor psikososial keempat yang membangun kuesioner COPSOQ II

adalah bekerja antarmuka individu. Faktor ini membahas mengenai seberapa

107
baik organisasi kerja sesuai dengan kebutuhan dan komitmen individu.

Terdapat 4 komponen yang dijelaskan dalam faktor ini, yaitu

ketidakamanan dalam bekerja, kepuasan kerja, konflik kerja-keluarga, dan

konflik keluarga-pekerjaan. Keempat kondisi tersebut seringkali tidak

disangka dapat menyebabkan bahaya kesehatan pada pekerja. Pada

kuesioner ini, terdapat 3 pertanyaan yang mewakili setiap item. Pertanyaan

yang mewakili setiap item tidak lebih dari satu pertanyaan. Hal ini menjadi

kelemahan dari kuesioner karena jumlah pertanyaan yang terbatas dan

kurang bisa menggambarkan kondisi item-item pada faktor bekerja

antarmuka individu.

Kondisi faktor bekerja antarmuka individu yang buruk dapat

berdampak pada beberapa masalah kesehatan. Diketahui dari beberapa

penelitian bahwa keseimbangan kehidupan kerja yang berkaitan erat dengan

konflik kerja-keluarga dapat berdampak buruk pada kesehatan pekerja

seperti burn out dan tekanan psikologis atau rendahnya kesejahteraan

psikologis. Sedangkan keamanan kerja biasanya dihubungkan dengan

persepsi pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan dari masa kerja mereka

di masa yang akan datang Eurofound (2012). Pada penelitian Gallie dkk

(1998) dan Artazcoz dkk (2005) dalam Eurofound (2012) dijelasakan bahwa

pekerja dengan status sosial ekonomi rendah akan lebih rentan terhadap efek

dari ketidakamanan kerja karena umumnya mereka memiliki jumlah

tabungan dan aset yang lebih rendah untuk mengkompensasi kehilangan

pekerjaan, serta keterampilan dan pendidikan yang lebih rendah. Sama

halnya dengan konflik kerja-keluarga, efek yang ditimbulkan dari rasa

108
ketidakamanan ini akan berdampak pada kondisi mental yang buruk

(Eurofound, 2012).

Penelitian dari Prestiana dan Putri (2013) mengungkapkan bahwa

faktor psikologi berupa internal locus of control dan job insecurity

(ketidakamanan dalam bekerja) berhubungan dengan kejadian burnout pada

guru honorer sekolah dasar negeri di Bekasi Selatan. Pada penelitian

tersebut arah hubungan yang dihasilkan antara internal locus of control

dengan kejadian burn out berupa hubungan negatif, sedangkan arah

hubungan yang dihasilkan antara job insecurity (ketidakamanan dalam

bekerja) dengan kejadian burn out berupa hubungan positif. Ini berarti

bahwa semakin tinggi internal locus of control dan semakin rendah job

security seseorang maka semakin rendah kejadian burn out yang mungkin

terjadi, begitu pula sebaliknya. Pada penelitian lain diketahui juga bahwa

konflik kerja-keluarga dapat mengakibatkan efek psikologi yang berbahaya

bagi diri pekerja sendiri maupun bagi lingkungan sosial di sekitarnya

(Alteza dan Hidayati, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan faktor bekerja antarmuka individu

mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 4,86 dengan nilai

median sebesar 5. Berdasarkan analisis terhadap skor median, pada hasil

akhir diketahui persentase kategori baik dari faktor bekerja antarmuka

individu hanya sebesar 47,3%. Pencapaian ini masih cukup jauh dari hasil

yang diharapkan. Jika dilihat berdasarkan variabel umur dan masa kerja,

diketahui tidak terlihat perbedaan persentase yang cukup besar di antara

setiap kategorinya. Namun berdasarkan unit kerja, diketahui bahwa unit

109
kerja spinning mempunyai persentase buruk dengan selisih yang cukup

tinggi dibandingkan dua unit kerja yang lain (35,7%).

Berdasarkan variabel umur, faktor bekerja antarmuka individu antara

kelompok umur ≥ 30 tahun dan < 30 menunjukkan besar persentase yang

hampir sama. Namun besar persentase kedua kelompok tersebut cukup

rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok umur ≥ 30 tahun

(48,5%) lebih besar dibandingkan kelompok umur < 30 tahun (33,3%).

Berdasarkan hasil wawancara, pekerja dengan usia lebih tua lebih bisa

menghargai pekerjaannya karena merasa sulit untuk mencari pekerjaan lain

pada usianya.

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor bekerja antarmuka individu

antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun menunjukkan besar

persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua kelompok

tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok masa

kerja ≤ 21 tahun (48,2%) lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja >

21 tahun (46,3%). Lama masa kerja seseorang juga bisa berdampak negatif

yaitu berupa potensi paparan bahaya setiap hari dari tempat atau lingkungan

kerja (Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase ketiga kelompok unit

kerja cukup rendah. Diketahui bahwa besar persentase kategori baik dari

unit kerja spinning (35,7%) lebih kecil jika dibandingkan dengan dua unit

kerja weaving (55,6%) dan office (50%). Hal ini disebabkan oleh beberapa

kondisi buruk di area spinning sesuai dengan hasil yang terlihat pada item

110
faktor bekerja antarmuka individu yaitu berkaitan dengan tingkat kepuasan

pekerja serta kondisi pekerjaan yang menguras banyak energi dan waktu

pekerja. Diketahui bahwa item paling buruk yaitu tingkat kepuasan pekerja

(7,3%). Salah satu penyebabnya adalah jumlah gaji yang tidak mengalami

kenaikan. Gaji yang diberikan kepada karyawan berada di bawah UMK

Kota Tangerang Selatan. Sedangkan waktu kerja yang mereka gunakan

penuh selama 8 jam kerja. Hal ini menjadi satu masalah yang seharusnya

segera diatasi yakni dengan mengupayakan adanya menambahan gaji sesuai

standar minimal yang ada. Adapun dua unit kerja lain mengalami kondisi

tersebut namun tidak lebih buruk dari unit kerja spinning.

Selain itu, beberapa cara lain yang mudah dan sesuai untuk mengatasi

masalah-masalah tersebut antara lain pemberian reward untuk menangani

masalah tingkat kepuasan pekerja (Geller, 2001). Tingkat kepuasan pekerja

nantinya juga akan berpengaruh terhadap kinerja serta motivasi pekerja dan

berdampak baik bagi kelangsungan produktifitas perusahaan. Sedangkan

untuk item kondisi pekerjaan yang menguras banyak energi dan waktu

pekerja dapat diatasi dengan kegiatan relaksasi dari pekerja pribadi ataupun

dari program yang ditetapkan perusahaan. Kegiatan relaksasi yang

dimaksud dapat berupa acara rekreasi atau liburan bersama oleh para

pekerja pada waktu tertentu untuk mengatasi rasa jenuh akibat energi dan

waktu yang sebagian besar mereka habiskan di tempat kerja (Kementerian

Kesehatan, 2011). Dengan begitu, diharapkan bahwa tidak ada rasa

ketidakpuasan atau dampak negatif yang dirasakan pekerja akibat

banyaknya energi dan waktu yang mereka habiskan di tempat kerja.

111
6.2.5 Nilai-nilai di Level Tempat Kerja

Nilai-nilai di level tempat kerja sebagai salah satu faktor psikososial

mempunyai empat komponen yang turut membangun kuesioner COPSOQ

II, yaitu kepercayaan terhadap manajemen, saling percaya antar karyawan,

keadilan, dan inklusivitas sosial. Faktor ini menggambarkan kepercayaan

dan keadilan di tempat kerja, seperti kepercayaan antar karyawan, perilaku

karyawan terhadap manajemen, serta kepercayaan antara karyawan dan

manajemen (Pejtersen, 2010). Pada kuesioner ini, terdapat 4 pertanyaan

yang mewakili setiap item. Pertanyaan yang mewakili setiap item tidak

lebih dari satu pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan dari kuesioner karena

jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa menggambarkan kondisi

item-item pada faktor nilai-nilai di level tempat kerja.

Kepercayaan terhadap manajemen dapat terbangun salah satunya

melalui gaya kepemimpinan top management atau atasan. Pada sebuah

penelitian diketahui bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kerja

mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan (Reza, 2010). Gaya

kepemimpinan yang demokratis dan tidak memihak merupakan salah satu

gaya kepemimpinan yang diharapkan para karyawan sehingga akan mudah

menumbuhkan rasa kepercayaan mereka terhadap atasannya. Rasa percaya

tersebut dapat menjadi motivasi tersendiri bagi karwayan sehingga dapat

meningkatkan kinerja mereka. Penelitian lain dari Herman (2013) dan

Puspitadewi & Irwandi (2012) menunjukkan bahwa keadilan yang

112
diterapkan di tempat kerja dapat menurunkan potensi kecurangan antar

karyawan atau kecurangan antara karyawan dengan manajemen.

Hasil penelitian menunjukkan faktor nilai-nilai di level tempat kerja

mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 9,03 dengan nilai

median sebesar 9. Berdasarkan analisis terhadap nilai median, diketahui

bahwa persentase faktor nilai-nilai di level tempat kerja berkategori baik

hanya sebesar 44,5%. Pencapaian ini masih cukup jauh dari hasil yang

diharapkan.

Berdasarkan variabel umur, besar persentase antara kelompok umur ≥

30 tahun dan < 30 tahun sama-sama rendah. Besar persentase kategori baik

pada kelompok umur ≥ 30 tahun (46,5%) lebih besar dibandingkan

kelompok umur < 30 tahun (22,2%). Berdasarkan hasil wawancara, pekerja

dengan usia lebih tua lebih bisa menghargai pekerjaannya karena merasa

sulit untuk mencari pekerjaan lain pada usianya.

Berdasarkan variabel masa kerja, besar persentase kategori baik dari

faktor nilai-nilai di level tempat kerja di antara kelompok masa kerja > 21

tahun dan ≤ 21 tahun juga cukup rendah. Besar persentase kategori baik

pada kelompok masa kerja > 21 tahun (46,3%) lebih besar dibandingkan

kelompok masa kerja ≤ 21 tahun (42,9%). Lama masa kerja seseorang

biasanya berdampak positif bagi peningkatan pengalaman dan ketrampilan

dalam bidang kerjanya (Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase ketiga kelompok unit

kerja cukup rendah. Diketahui bahwa besar persentase kategori baik dari

113
unit kerja office (35,7%) lebih kecil jika dibandingkan dengan dua unit kerja

spinning (52,4%) dan weaving (40,7%). Berdasarkan hasil wawancara

terhadap karyawan PT. Sandratex, diketahui bahwa pekerjaan di unit kerja

office lebih bersifat monoton dan lebih banyak mengurusi berbagai

keperluan administratif perusahaan yang kompleks. Adapun penyebab lain

diakibatkan oleh beberapa kondisi buruk di area office sesuai dengan enpat

item faktor nilai-nilai di tempat kerja. Sedangkan dua unit kerja lain

mengalami kondisi tersebut namun tidak lebih buruk dari unit kerja office.

Dari empat item yang ada di dalam faktor nilai-nilai di level tempat

kerja, semuanya mempunyai persentase kategori yang buruk. Keempat item

tersebut adalah: (1) Kepercayaan pekerja terhadap informasi dari

manajemen. Informasi yang dimaksud merupakan berbagai jenis informasi

yang berkaitan dengan pekerjaan di PT. Sandratex seperti informasi

deadline penyelesaian tugas, pergantian shift kerja, jadwal libur dan lain

sebagainya. (2) Kepercayaan manajemen terhadap pekerja, berkaitan dengan

kepercayaan terhadap kemampuan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaan

dengan baik dan tepat waktu. (3) Keadilan pemecahan konflik. Dalam hal

ini manajemen mempunyai peran utama dalam menyelesaikan masalah

secara adil di antara para pekerja ketika terjadi perselisihan atau konflik. (4)

Keadilan pembagian kerja. Hal ini berkaitan dengan persamarataan antara

hak dan kewajiban dari masing-masing pekerja. Akibat kondisi buruk pada

setiap item sehingga perlu dilakukan tindakan perbaikan secara tepat agar

tidak berdampak lebih buruk bagi PT. Sandratex di masa mendatang.

114
Sama halnya dengan faktor psikososial sebelumnya, strategi yang

sesuai untuk dilakukan adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang adil,

bijaksana, dan demokratis. Dari sebuah penelitian diketahui bahwa gaya

kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan

(Reza, 2010). Dengan meningkatnya kinerja karyawan dapat membuktikan

tingginya tingkat kepercayaan pekerja terhadap manajemen. Begitu pula

sebaliknya, manajemen akan merasa sepenuhnya percaya terhadap

karyawan yang bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya dan

hal ini dapat terlihat dari performance atau kinerja mereka. Untuk mengatasi

keadilan pemecahan konflik dan keadilan pembagian kerja bisa dengan

melakukan advokasi kepada pemimpin perusahaan untuk menyuarakan

aspirasi pekerja (Wiryawan, 2015). Advokasi ini dapat dilakukan apabila

terdapat ketidakadilan perlakuan yang diberikan oleh pihak manajemen atau

ketika terdapat kebijakan yang memberatkan bagi pekerja.

6.2.6 Kesehatan dan Kesejahteraan

Kesehatan dan kesejahteraan sebagai salah satu faktor psikososial

mempunyai 10 komponen di dalamnya, yaitu persepsi umum terhadap

kesehatan, burn out, stres, gangguan tidur, gejala depresi, gejala stres

somatik, gejala stres kognitif, kesehatan mental, vitalitas, dan perilaku stres.

Faktor ini merupakan salah satu faktor penting yang tidak tercantum dalam

kuesioner JCQ dan merupakan bagian istimewa dari kuesioner COPSOQ II.

Faktor kesehatan dan kesejahteraan merupakan faktor kunci yang berperan

dalam meningkatkan kehidupan individu dalam masyarakat karena

berhubungan langsung dengan isu-isu partisipasi dan produktivitas kerja.

115
Faktor ini mengkaji hubungan antara pekerjaan dengan kesehatan dan

kesejahteraan individu (Eurofound, 2012). Pada kuesioner ini, terdapat 5

pertanyaan yang mewakili setiap item. Pertanyaan yang mewakili setiap

item tidak lebih dari satu pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan dari

kuesioner karena jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa

menggambarkan kondisi item-item pada faktor kesehatan dan kesejahteraan.

Pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan seseorang karena dapat

meningkatkan kualitas hidupnya dari pendapatan yang diperoleh. Kualitas

pekerjaan yang baik akan berpengaruh pada kualitas hidup individu.

Walaupun demikian, perlu diingat pula bahwa banyaknya faktor risiko di

tempat kerja berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat

kerja. Masalah yang berkaitan dengan kesehatan mental seperti depresi dan

stres merupakan fokus utama yang dijadikan perhatian karena dapat

menyebabkan penurunan kesejahteraan pekerja dan berdampak pada

ketidakmampuan untuk bekerja (Eurofound, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang berarti

antara beberapa faktor psikososial di tempat kerja dengan masalah

kesehatan dan kesejahteraan pekerja. Dari penelitian Marchira, Wirasto, dan

Sumarni (2007) diketahui bahwa bahwa dukungan sosial dan tingkat

religiusitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian depresi

pada lansia. Tuntutan kerja diketahui juga berpengaruh terhadap terjadinya

kecemasan pada pekerja (Oktaviana, 2010). Dalam penelitiannya

Anwarsyah (2012) menegaskan bahwa tuntutan pekerjaan berpengaruh

signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan kerja karyawan.

116
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kesehatan dan

kesejahteraan mendapatkan skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 7,74

dengan nilai median sebesar 8. Berdasarkan analisis terhadap skor median,

diketahui bahwa persentase faktor kesehatan dan kesejahteraan berkategori

baik hanya sebesar 47,3%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang ada

belum cukup memuaskan.

Berdasarkan variabel umur, besar persentase antara kelompok umur ≥

30 tahun dan < 30 tahun sama-sama rendah. Besar persentase kategori baik

pada kelompok umur ≥ 30 tahun (49,5%) lebih besar dibandingkan

kelompok umur < 30 tahun (22,2%). Berdasarkan hasil wawancara, pekerja

dengan usia lebih tua lebih bisa menghargai pekerjaannya karena merasa

sulit untuk mencari pekerjaan lain pada usianya.

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor bekerja antarmuka individu

antara kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun menunjukkan besar

persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua kelompok

tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok masa

kerja > 21 tahun (48,1%) lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja ≤

21 tahun (46,4%). Lama masa kerja seseorang biasanya berdampak positif

bagi peningkatan pengalaman dan ketrampilan dalam bidang kerjanya

(Adinugroho, Kurniawan, dan Wahyuni, 2014).

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase ketiga kelompok unit

kerja cukup rendah. Diketahui bahwa besar persentase kategori baik dari

unit kerja spinning (31%) lebih kecil jika dibandingkan dengan dua unit

117
kerja weaving (59,3%) dan office (50%). Hal ini disebabkan oleh beberapa

kondisi buruk di area spinning sesuai dengan hasil yang terlihat pada item

faktor kesehatan dan kesejahteraan. Adapun dua unit kerja lain mengalami

kondisi tersebut namun tidak lebih buruk dari unit kerja spinning.

Secara keseluruhan, item-item pada faktor ini juga mempunyai

persentase kategori buruk yang cukup tinggi. Sehingga dari hasil data yang

ada dapat diketahui bahwa persepsi umum pekerja terhadap kesehatannya

adalah tidak selalu dalam kondisi yang fit ketika bekerja, pekerja merasa

sering letih ketika bekerja, pekerja sering merasakan beban emosional yang

negatif (marah atau kesal) ketika lelah bekerja, pekerja merasa sering stres

setelah bekerja, serta merasa sering mendapat gangguan oleh suatu hal atau

orang lain ketika bekerja sehingga membuat cepat marah. Untuk mengatasi

kondisi faktor kesehatan dan kesejahteraan yang buruk di PT. Sandratex,

salah satunya diperlukan adanya dukungan sosial dari pihak manajemen

maupun karyawan lain. Dari sebuah penelitian diketahui bahwa dukungan

sosial dan tuntutan pekerjaan berhubungan terhadap kesehatan dan

kesejahteraan karyawan di tempat kerja (Marchira, Wirasto, dan Sumarni,

2007 dan Anwarsyah, 2012). Peran manajemen dan adanya dukungan dari

sekitar akan dapat membantu mengurangi beban mental maupun emosi dari

pekerja. Manajemen secara tidak langsung dapat menciptakan sebuah

kondisi yang bisa membuat para pekerja merasa saling membutuhkan dan

menjaga (Anwar, 2015). Sedangkan untuk masalah tuntutan kerja yang

berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan dapat diatasi dengan cara

menyesuaikan antara kapasitas kerja dengan beban kerja yang dibebankan

118
terhadap pekerja. Selain itu, masalah ini dapat juga diatasi dengan

diadakannya penyuluhan terkait kebiasaan buruk pekerja yang berakibat

buruk terhadap kesehatannya (Kementerian Kesehatan, 2011). Sehingga

diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pekerja untuk lebih menjaga

kesehatan diri mereka sendiri dari hal-hal yang dapat menyebabkan kondisi

fisik dan mental menurun.

6.2.7 Perilaku Ofensif

Faktor psikososial terakhir yang membangun kuesioner COPSOQ II

dalam penelitian ini adalah perilaku ofensif. Faktor ini juga merupakan

salah satu faktor istimewa yang tidak selalu dapat ditemukan pada kuesioner

lain. Faktor ini meliputi tujuh komponen yang terdiri dari pelecehan seksual,

ancaman kekerasan, kekerasan fisik, intimidasi (bullying), godaan yang

tidak menyenangkan, konflik dan pertengkaran, gosip dan fitnah. Pada

faktor ini akan tergambarkan berbagai macam perilaku negatif yang

mungkin diterima karyawan di tempat kerja, baik dari sesama rekan kerja

maupun pihak manajemen (Pejtersen, 2010). Pada kuesioner ini, terdapat 8

pertanyaan yang mewakili setiap item. Pertanyaan yang mewakili setiap

item tidak lebih dari dua pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan dari

kuesioner karena jumlah pertanyaan yang terbatas dan kurang bisa

menggambarkan kondisi item-item pada faktor perilaku ofensif.

Kejadian di tempat kerja yang berkaitan dengan faktor perilaku

ofensif dan jarang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak adalah

perilaku bully. Perilaku ini cenderung bertujuan untuk mengintimidasi atau

merendahkan orang lain. Dari penelitian yang dilakukan oleh Zonedy

119
(2014) pada sebuah rumah sakit di Batusangkar, diketahui terdapat

sebanyak 69,4% perawat mengalami bullying dan 71,4% perawat

mengalami penurunan motivasi kerja. Hasil penelitian menunjukkan adanya

hubungan signifikan negatif antara perilaku bullying dan motivasi kerja

pada perawat. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi perilaku bully yang

dilakukan maka semakin dapat menurunkan motivasi kerja. Selain perilaku

bullying, perilaku ofensif yang sering kali ditemukan di antara para pekerja,

khususnya kaum perempuan adalah tindakan eksploitasi fisik berupa

pelecehan seksual dan eksploitasi ekonomi berupa waktu kerja sampai

malam hari, serta tidak terpenuhinya hak-hak pekerja perempuan seperti

faktor keselamatan dan hak untuk cuti. Pekerja yang sering mengalami hal

tersebut adalah sales promotion girls (SPG) pada industri rokok dan

minuman (Lestari, 2012). Beberapa penelitian yang ada menunjukkan

bahwa perilaku ofensif dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak

manajemen, pekerja, bahkan orang lain yang sengaja berkunjung ke tempat

kerja.

Hasil penelitian menunjukkan faktor perilaku ofensif mendapatkan

skor rata-rata dari keseluruhan item adalah 0,69 dengan nilai median 0. Nilai

yang ditunjukkan cenderung kecil karena memang di PT. Sandratex jarang

sekali ditemukan kasus perilaku ofensif pada pekerja. Diketahui pula faktor

ini merupakan satu-satunya faktor psikososial di PT. Sandratex yang

mempunyai nilai persentase kategori baik cukup tinggi yaitu sebesar 76,4%.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan umur, masa kerja, dan unit kerja,

diketahui tidak terlihat perbedaan persentase yang cukup besar di antara

120
setiap kategorinya. Keempat item yang terdapat di dalam pertanyaan

perilaku ofensif juga mempunyai persentase kategori baik yang tinggi.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali kasus yang terjadi.

Oleh karena itu, tetap diperlukan upaya perbaikan pada tiap item agar bisa

melindungi pekerja dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Berdasarkan variabel umur, faktor perilaku ofensif antara kelompok

umur ≥ 30 tahun dan < 30 tahun menunjukkan besar persentase yang hampir

sama. Namun besar persentase kedua kelompok tersebut cukup rendah.

Besar persentase kategori baik pada kelompok umur ≥ 30 tahun (77,2%)

lebih besar dibandingkan kelompok umur < 30 tahun (66,7%). Bagi para

pekerja usia lebih tua, tidak ada gunanya untuk melakukan tindakan-

tindakan yang dapat merugikan diri mereka sendiri. Menurut hasil

wawancara terhadap para pekerja, pekerja dengan usia lebih tua umumnya

lebih bisa menghargai pekerjaannya karena merasa sulit untuk mencari

pekerjaan lain pada usianya.

Berdasarkan variabel masa kerja, faktor perilaku ofensif antara

kelompok masa kerja > 21 tahun dan ≤ 21 tahun menunjukkan besar

persentase yang hampir sama. Namun besar persentase kedua kelompok

tersebut cukup rendah. Besar persentase kategori baik pada kelompok masa

kerja ≤ 21 tahun (80,4%) lebih besar dibandingkan kelompok masa kerja >

21 tahun (72,2%). Lama masa kerja seseorang juga dapat berpengaruh

negatif akibat paparan terus-menerus dari tempat kerja. (Adinugroho,

Kurniawan, dan Wahyuni, 2014). Pekerja bisa cenderung lebih berpotensi

121
mendapatkan perilaku ofensif yang buruk karena telah lama bekerja di

tempat kerjanya

Berdasarkan variabel unit kerja, besar persentase antara unit kerja

spinning, weaving, dan office menunjukkan besar persentase yang hampir

sama. Namun besar persentase ketiga kelompok tersebut cukup rendah.

Besar persentase kategori baik dari unit kerja office (85,7%) lebih besar

dibandingkan unit kerja spinning (76,2%) dan weaving (74,1%). Diketahui

tempat kerja office berdekatan dengan pihak atasan sehingga kecil sekali

kemungkinan terjadinya perilaku ofensif di kalangan karyawan office.

Pada beberapa kasus yang telah terjadi di PT. Sandratex yaitu berupa

bentuk pelecehan dalam hal kata-kata, ancaman terhadap tindakan

kekerasan, kekerasan fisik ringan, serta gertakan ringan, strategi

penyelesaian masalah yang bisa dilakukan yaitu dengan menjalankan

komitmen organisasi untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku

tindakan tersebut. Diketahui bahwa organisasi memiliki keputusan atau

otoritas yang kuat terhadap sebuah kebijkan perusahaan (Eurofound, 2012).

Adanya sanksi tersebut juga perlu ditampilkan ke dalam bentuk pamflet atau

poster, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pekerja dan pihak

manajemen sendiri agar lebih menjadi perhatian dari semua pihak.

122
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Gambaran faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat tahun 2016

mempunyai persentase kategori baik sebesar 46% dan kategori buruk sebesar

54% .

2. Gambaran faktor tuntutan di tempat kerja mempunyai persentase kategori

baik sebesar 39,1%. Item terendah dalam faktor ini berkaitan dengan

tambahan uang atau hadiah kepada pekerja saat lembur.

3. Gambaran faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan mempunyai

persentase kategori baik sebesar 47,3%. Item terendah dalam faktor ini adalah

perasaan pekerja bahwa tempat kerjanya mempunyai kepentingan terhadap

dirinya.

4. Gambaran faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan mempunyai

persentase kategori baik sebesar sebesar 40%. Item terendah dalam faktor ini

adalah kedekatan atasan dengan karyawan.

5. Gambaran faktor bekerja antarmuka individu mempunyai persentase kategori

baik sebesar 47,3%. Item terendah dalam faktor ini adalah tingkat kepuasan

pekerja.

6. Gambaran faktor nilai-nilai di level tempat kerja mempunyai persentase

kategori baik sebesar 44,5%. Item terendah dalam faktor ini adalah

kepercayaan manajemen terhadap pekerja.

123
7. Gambaran faktor kesehatan dan kesejahteraan mempunyai persentase kategori

baik sebesar 47,3%. Item terendah dalam faktor ini adalah emosi yang

dirasakan pekerja.

8. Gambaran faktor perilaku ofensif mempunyai persentase kategori baik cukup

tinggi yaitu sebesar 76,4%. Keempat item yang terdapat di dalam pertanyaan

perilaku ofensif juga mempunyai persentase kategori baik yang cukup tinggi.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali kasus yang terjadi.

Oleh karena itu, tetap diperlukan upaya perbaikan pada tiap item agar bisa

melindungi pekerja dari hal-hal yang tidak diinginkan.

9. Gambaran faktor psikososial di PT. Sandratex Ciputat tahun 2016

berdasarkan umur, masa kerja, dan unit kerja didapatkan informasi sebagai

berikut:

a. Berdasarkan umur, kelompok umur ≥ 30 tahun memiliki persentase

kategori baik yang lebih besar dibandingkan dengan umur < 30 tahun

pada beberapa faktor yaitu organisasi kerja dan konten pekerjaan, bekerja

antarmuka individu, nilai-nilai di level tempat kerja, kesehatan dan

kesejahteraan, serta perilaku ofensif.

b. Berdasarkan masa kerja, kelompok masa kerja > 21 tahun memiliki

persentase kategori baik yang lebih besar dibandingkan dengan masa

kerja ≤ 21 tahun pada empat faktor psikososial yaitu tuntutan di tempat

kerja, organisasi kerja dan konten pekerjaan, nilai-nilai di level tempat

kerja, serta kesehatan dan kesejahteraan.

c. Berdasarkan unit kerja, bagian unit kerja weaving diketahui memiliki

persentase kategori baik paling besar dibandingkan unit kerja spinning

124
dan office pada tiga faktor psikososial yaitu hubungan interpersonal dan

kepemimpinan, bekerja antarmuka individu, serta kesehatan dan

kesejahteraan.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Perusahaan

Untuk meminimalisir dampak negatif dari faktor psikososial yang buruk di

tempat kerja diperlukan beberapa hal pada masing-masing faktor sebagai

berikut:

a. Faktor tuntutan di tempat kerja:

- Menyesuaikan antara kapasitas kerja karyawan dengan beban kerja

yang dikerjakan sesuai UU No. 13 Tahun 2003.

- Sebaiknya perusahaan mengusahakan lingkungan kerja yang lebih

nyaman dengan cara mengupayakan sistem reward baik berupa materi

maupun apresiasi terhadap hasil kerja untuk meningkatkan motivasi

bagi pekerja serta menciptkan komunikasi secara lebih aktif antara

manajemen dengan pekerja.

- Sebaiknya perusahaan mempertimbangkan adanya kenaikan gaji bagi

karyawan dengan jam kerja penuh sesuai dengan standar.

b. Faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan:

- Peningkatan motivasi pekerja seperti pemberian reward. Dengan

adanya pemberian reward, diharapkan mampu meningkatkan

kepercayaan pekerja terhadap organisasi sehingga menganggap

dirinya memang pantas dan merasa memiliki peran yang penting di

tempat dia bekerja.

125
- Pemberlakuan sistem job rotation atau rotasi pekerjaan agar tidak

terjadi monotonisasi dalam pekerjaan serta pekerja bisa belajar lebih

banyak menganai sesuatu yang baru di tempat dia bekerja.

c. Faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan:

- Menjalin dan memperbaiki komunikasi yang baik antara pihak

manajemen dan pekerja. Apabila terjadi konflik dalam sebuah

organisasi, peran manajemen sangat dibutuhkan untuk mengatasi

konflik yang terjadi karena dampak dari konflik tersebut akan

berimbas pada kinerja dan efektifitas pekerjaan di perusahaan.

d. Faktor bekerja antarmuka individu:

- Pemberian reward untuk meningkatkan kinerja serta motivasi pekerja

dan berdampak baik bagi kelangsungan produktifitas perusahaan.

- Melakukan kegiatan relaksasi baik dari pekerja pribadi ataupun dari

program yang ditetapkan perusahaan untuk mengatasi kondisi

pekerjaan yang menguras banyak energi dan waktu.

e. Faktor nilai-nilai di level tempat kerja:

- Melakukan komunikasi lebih aktif untuk menumbuhkan kepercayaan

pekerja terhadap pihak manajemen dalam hal penyampaian informasi

terkait pekerjaan, dan mempercayai kemampuan pekerja dalam

menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. Memastikan

pekerja merasa adil dalam pembagian kerja, dan meningkatkan gaya

kepemimpinan yang demokratis dan tidak memihak jika terjadi

perselisihan atau konflik pada para pekerja.

126
f. Faktor kesehatan dan kesejahteraan:

- Meningkatkan dukungan sosial berupa motivasi dan sikap kepedulian

dari pihak manajemen maupun karyawan lain. Peran manajemen dan

adanya dukungan dari sekitar, misalnya dalam hal sekedar saling

menyemangati atau menunjukkan kepedulian di saat ada teman kerja

yang mengalami masalah akan dapat membantu mengurangi beban

mental maupun emosi dari pekerja.

- Menyesuaikan antara kapasitas kerja dengan beban kerja yang

dibebankan terhadap pekerja (40 jam kerja dalam seminggu).

- Diadakannya penyuluhan terkait menjaga pola hidup sehat bagi

pekerja.

g. Faktor perilaku ofensif:

- Memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku tindakan tersebut.

Adanya sanksi tersebut juga perlu ditampilkan ke dalam bentuk

pamflet atau poster, yang kemudian dikomunikasikan kepada para

pekerja dan pihak manajemen sendiri agar lebih menjadi perhatian

dari semua pihak.

7.2.2 Bagi Pekerja

Untuk meminimalisir dampak negatif dari faktor psikososial yang buruk di

tempat kerja:

a. Pekerja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pihak perusahaan

apabila terdapat hal-hal yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan yang

ada.

127
b. Pekerja seharusnya melaporkan kejadian buruk yang terjadi di tempat

kerja.

c. Pekerja sebaiknya melakukan advokasi kepada pihak perusahaan apabila

terdapat perlakuan yang kurang adil dalam pembagian kerja atau

semacamnya.

d. Pekerja dapat memberikan kritik dan saran kepada pihak perusahaan

terkait peran dan tanggung jawab mereka kepada pekerja.

7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Untuk mendapat hasil penelitian yang lebih baik terkait faktor psikososial di

tempat kerja:

a) Peneliti selanjutnya sebaiknya memperhatikan metode pengumpulan data

yang lebih tepat seperti pendistribusian kuesioner secara langsung agar

bisa mengurasi kemungkinan bias yang terjadi.

b) Peneliti selanjutnya sebaiknya mencantumkan instruksi cara pengisian

kuesioner dengan jelas.

c) Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian secara kualitatif

dengan metode wawancara dan observasi untuk mendapatkan gambaran

secara lebih lengkap mengenai faktor psikososial di tempat kerja.

d) Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan analisis lebih lanjut sampai

tahap bivariat untuk melihat hubungan antara faktor individu maupun

pekerjaan dengan faktor psikososial.

e) Peneliti selanjutnya sebaiknya mengkombinasikan atau menggunakan

kuesioner lain dalam penelitian agar bisa mendapatkan gambaran secara

lebih detail mengenai faktor-faktor psikososial.

128
DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, N., Kurniawan, B., dan Wahyuni, I. (2014). Faktor yang Berhubungan
dengan Praktik Safety Driving pada Pengemudi Angkutan Kota Jurusan
Banyumanik-Johar Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. (e-Journal),
2(6), 332-338
Almasitoh, Ummu Hany. (2011). Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Ganda dan
Dukungan Sosial pada Perawat. Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8(1), 63-82.
Alteza, Muniya dan Lina Nur Hidayati. (2011). Work-Family Conflict pada Wanita
Bekerja: Studi tentang Penyebab, Dampak dan Strategi Coping. (Online). Tersedia:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/muniya-alteza-sem-si/work-
family-conflict-pada-wanita-bekerjastudi-tentang-penyebab-dampak-dan-strategi-
coping.pdf (21 Juni 2016 pukul 15 38 WIB)

Anwar, Coerul. (2015). Manajemen Konflik untuk Menciptakan Komunikasi yang


Efektif. Jurnal Interaksi, 4 (2), 148-157.
Anwarsyah, Wanda Irawan. (2012). Hubungan antara Job Demands dengan Workplace
Well-being pada Pekerja Shift. Jurnal Psikologi Pitutur, 1(1), 32-44
Bastable, Susan B. (2002). Perawat sebagai Pendidik: Prinsip-prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. Jakarta: EGC

Cahyoputro, Damar. (2009). Hubungan antara Faktor Jenis Kelamin dan Dukungan
Sosial dengan Tingkat Kecemasan pada Lansia di Desa Lwang Gatak Sukoharjo.
Skripsi S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Chandraningtyas, Iva, A. Al Musadieq, dan Hamidah Nayati Utami. (2012). Pengaruh
Kepuasan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan melalui Komitmen
Organisasional. Jurnal Profit, 6(2), 32-43
Cohen, S. (2015). Dr. Cohen’s Scales. (Online). Tersedia:
http://www.psy.cmu.edu/~scohen/scales.html (8 Desember 2015 pukul 09.55
WIB).
Damanik, Evelina Debora. (2006).Pengujian Reliabilitas, Validitas, Analisis Item
Danpembuatan Norma Depression Anxiety Stress Scale (DASS): Berdasarkan
Penelitian Pada Kelompok Sampel Yogyakarta dan Bantul yang Mengalami
Gempa Bumi dan Kelompok Sampel Jakarta dan Sekitarnya yang Tidak
Mengalami Gempa Bumi. Tesis S2 Fakultas Psikologi, UI, Depok
Damarstuti, Lelyana Martha, Indi Djastuti, dan Ahyar Yuniawan. (2010). Analisis
Variabel Antecedents bagi Keyakinan Diri (Seld-Efficacy) yang Berpengaruh pada
Motivasi Pra Pelatihan (Studi Guru di SMA Negeri Se-Kota Semarang). Jurnal
Bisnis dan Ekonomi, 8(1), 1-24.

129
Dermawan, Rahmansyah dan Desi Saraswati. (2009). Cari Duit dari Freelance. Jakarta:
Penebar Plus
Djohan. (2006). Terapi, Musik, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress
Eurofound. (2012). Health and Well-being at Work: A Report Based on the Fifth
European Working Conditions Survey. Dublin
Geller, E. S. (2001). The Psychology of Safety Handbook. USA: CRC Press LLC
Gobel, Ryo S., Joy A. M. Rattu, dan Rahayu H. Akili. (2014). Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Stress Kerja pada Perawat di Ruang ICU dan UGD RSUD
Datoe Binangkang Kabupaten Bolaang Mongondow. (Online). Tersedia:
http://fkm.unsrat.ac.id/wp-
content/uploads/2014/11/JURNAL_RYO_GOBEL_091511073.pdf (30 Oktober
2016 pukul 20.15 WIB)

Govindu, N. K., & Babski-Reeves, K. (2014). Effects of personal, psychosocial and


occupational factors on low back pain severity in workers. International Journal of
Industrial Ergonomics, 44(2), 335-341.
Handayani, Tri Retno Wuri. (2008). Hubungan antara Sikap Penyelesaian Masalah dan
Kebermaknaan Hidup dengan Somatisasi pada Wanita Karir. Skripsi S1 Fakultas
Psikologi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Haris, Ahmad Fauzi, Muh. Rum Rahim, dan Masyitha Muis. (2014). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Stres Kerja pada Pekerja Unit Produksi IV PT. Semen
Tonasa. (Online). Tersedia:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11896/AHMAD%20FA
UZI%20HARIS%20K11109341.pdf;sequence=1 (30 Oktober 2016 pukul 21.10
WIB)

Hariyati, Maulina. (2011). Pengaruh Beban Kerja terhadap Kelelahan Kerja pada
Pekerja Linting Manual di PT. Djitoe Indonesia Tobacco Surakarta. Skripsi
Diploma IV Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.
Herman, Lisa Amelia. (2013). Pengaruh Keadilan Organisasi dan Sistem Pengendalian
Intern terhadap Kecurangan. Jurnal Akuntansi, 1(1), 1-21
Hyman, Mark. (2006). Ultra Metabolisme. Yogyakarta: B-first

Irwandi, Riska Denie. (2007). Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja.
Skripsi S1 Fakultas Teknik USU, Medan.
Jeyaratnam, J. dan David Koh. (2009). Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta:
EGC
Karasek, R., Chantal Brisson, Norito Kawakami, Irene Houtman, Paulien Bongers.
(1998). TheJob Content Questionnaire (JCQ): An Instrument for Internationally
Comparative Assessment of Psychosocial Job Characteristics. Journal of
Occupational Health Psychology, 3(4), 322-355.

130
Karasek, R., Chantal Brisson, Norito Kawakami, Irene Houtman, Paulien Bongers.
(1998). TheJob Content Questionnaire (JCQ): An Instrument for Internationally
Comparative Assessment of Psychosocial Job Characteristics. Journal of
Occupational Health Psychology, 3(4), 322-355.
Kementerian Kesehatan. (2011). Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja bagi
Petugas Kesehatan: Gangguan Kesehatan Akibat Faktor Psikososial di Tempat
Kerja
Kementerian Kesehatan. (2014). 1 Orang Pekerja di Dunia Meninggal Setiap 15 Detik
karena Kecelakaan Kerja. (Online). Tersedia:
www.depkes.go.id/article/view/201411030005/1-orang-pekerja-di-dunia-
meninggal-setiap-15-detik-karena-kecelakaan-kerja.html (12 Januari 2016 pukul
10.51 WIB)
Kristensen, Tage Sondergard. (2010). A questionnaire Is More Than A Questionnaire.
Scandinavian Journal of Public Health, 38(3), 149-155
Kurniawati, Dian dan Sholikah. (2012). Hubungan Kelelahan Kerja dengan Kinerja
Perawat di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Islam Fatimah Kabupaten Cilacap.
Jurnal KES MAS, 6(2), 162-232.
Lapau, Bukhari. (2013). Metode Penelitian Kesehatan Metode Ilmiah Penulisan Skripsi,
Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Lestari, Nur Afta. (2012). Eksploitasi pada Perempuan Sales Promotion Girls. Journal
Unnes, 4(2), 139-147.
Maier, W, dkk. (1988). Hamilton Skala Kecemasan: Keandalan Validitas dan
Sensitivitas terhadap Perubahan Kecemasan dan Gangguan Depresif. 61-68.
Marchira, R., Wirasto, R.T., Sumarno. (2007). Pengaruh Faktor-faktor Psikososial dan
Insomnia terhadap Depresi pada Lansia di Kota Yogyakarta. Jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol. 12, No. 2.
Maurist, Lientje Setyawati dan Imam Djati Widodo. (2008). Faktor dan Penjadualan
Shift Kerja. Jurnal Teknoin, 12 (2), 11-22.
Mochtar, Sartika Dewi, Masyitha Muis, Muh. Rum Rahim. (2013). Faktor yang
Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pedagang Tradisional Pasar Daya Kota
Makassar Tahun 2013. (Online). Tersedia:
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5666 (16 Oktober 2016 pukul
21.39 WIB)
Molloy, Andrea. (2010). Success: Sukses Bukan Mimpi. Depok: Raih Asa Sukses
Munandar, Ashar Sunyoto. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Tangerang:
Universitas Indonesia Press
Murtiningrum, Afina. (2005). Analisis Pengaruh Konflik Pekerjaan Keluarga terhadap
Stress Kerja dengan Dukungan Sosial sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus

131
pada Guru Kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal). Tesis S2 Magister
Manajemen, UNDIP, Semarang.
National Safety Council. (2003). Manajemen Stres. Jakarta: EGC
Nubling, Matthias dkk. (2006). Measuring Psichological Stress and Strain at Work:
Evaluation of the COPSOQ Questionnaire in Germany. GMS Psycho-Social-
Medicine, 3, 1-14.
Nurdiansyah, Nia. (2011). Buku Pintar Ibu & Bayi. Jakarta: Bukune

Nursalam. (2004). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan.Salemba Medika: Jakarta.
Oktaviana, Rina. (2010). Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Kecemasan dalam
Menghadapi Tuntutan Kerja pada Mahasiswa Perawat Praktek. Jurnal Ilmu
Psikologi, 4(1), 1-14.
Pejtersen, Jan Hyld et all. (2010). The Second Version of the Copenhagen Psychosocial
Questionnaire. Scandinavian Journal of Public Health, 38(3), 8-24
Prestiana, Novita Dian Iva dan Dewanti Purbandini. (2012). Hubungan antara Efikasi
Diri (Self Efficacy) dan Stres Kerja dengan Kejenuhan Keja (Burn out) pada
Perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Jurnal Soul, 5(2), 1-14.
Prestiana, Novita Dian Iva dan Trias Xandria Andari Putri. (2013). Internal Locus of
Control dan Job Insecurity terhadap Burn out pada Guru Honorer Sekolah Dasar
Negeri di Bekasi Selatan. Jurnal Soul, 6(1), 57-76.
Puspitadewi, Paramita dan Soni Agus Irwandi. (2012). Hubungan Keadilan
Organisasional dan Kecurangan Pegawai dengan Moderating Kualitas
Pengendalian Internal. The Indonesian Accounting Review, 2(2), 159-172.
Putri, Adhisty Destian. (2014). Pengujian Signifikansi Perbedaan Beban Kerja Pekerja
Shift Hotel Bintang dan Non Bintang di Yogyakarta. Skripsi S1 Fakultas
Teknologi Industri Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Rahmadita, Irma. (2013). Hubungan antara Konflik Peran Ganda dan Dukungan Sosial
Pasangan dengan Motivasi Kerja pada Karyawati di Rumah Sakit Abdul Rivai-
Berau. eJurnal Psikologi, 1(1), 58-68.
Reza, Regina Aditya. (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Disiplin
Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT. Sinar Santosa Perkasa Banjarnegara.
Skripsi S1 Fakultas Ekonomi, UNDIP, Semarang.
Rivai, A. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja
Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di
Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta Tahun 2014. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, UIN Jakarta, Jakarta.

132
Roshadi, Istafada. (2014). Hubungan Kelelahan Kerja dengan Produktivitas Kerja
Karyawan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sa’abah, Marzuki Umar. (2001). Bagaimana Awet Muda dan Panjang Usia. Jakarta:
Gema Insani Press
Safitri, Ludia dan Izhar M. Fihir. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stres
Kerja pada Karyawan Pusat Administrasi Universitas Indonesia Tahun 2013.
(Online). Tersedia: http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-08/S-Ludia%20Safitri (30
Oktober 2016 pukul 22.21 WIB)
Seniati, Liche. (2006). Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadian, Kepuasan Kerja, dan
Iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada Universitas Indonesia. Jurnal
Makara Sosial Humaniora, 10(2), 88-97.
Setiawan, Dwi Adi dan Liena Sofiana. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Stres Kerja di PT. Chanindo Pratama Piyungan Yogyakarta. Jurnal Kesehatan, 6
(2), 134-144.
Susetyo, Joko, Titin Isna Oesman, dan Sigit Tri Sudharman. (2012). Pengaruh Shift
Kerja terhadap Kelelahan Karyawan dengan Metode Bourdo Wiersma dan 30 Item
of Rating Scale. Jurnal Teknologi, 5(1), 32-39.
Tawale, Efa Novita, Widjajaning Budi, dan Gartinia Nurcholis. (2011). Hubungan
antara Motivasi Kerja Perawat dengan Kecenderungan Mengalami Burn out pada
Perawat di RSUD Serui-Papua. Jurnal INSAN 13(2), 74-84.
Tim IPA. (2007). IPA Terpadu 2A. Jakarrta: Yudhistira.

Trisnaningsih, Sri. (2001). Pengaruh Komitmen terhadap Kepuasan Kerja Auditor:


Motivasi sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Kator Akuntan Publik di
Jawa Timur). Tesis S2 Program Studi Magister Akuntansi, UNDIP, Semarang.
Uehata, Tetsunojo. (1991). Long Working Hours and Occupational Stress-Related
Cardiovascular Attacks Among Middle-Aged Workers in Japan. Journal Human
Ergol., 20, 147-153.
Umar, Husein. (1997). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Undang-undang Kesehatan dan Praktik Kedokteran. (2009). Undang-undang Kesehatan
dan Praktik Kedokteran. Yogyakarta: Best Publisher
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Walters, J. Donald. (2004). Education for Life. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Widyastuti, Danis dan Retno Widyani. (2007). Panduan Perkembangan Anak. Jakarta:
Niaga Swadaya
Wiryawan, I Wayan Gde. (2015). Relevansi Kebebasan Berserikat dengan
Perlindungan Pekerja pada Era Reformasi. Jurnal Advokasi, 5(1), 89-103.

133
Yani, Ahmad. (2010). Hubungan Karakteristik Individu dan Beban Kerja terhadap
Tingkat Burnout pada Agent Outbound Call PT Telkom TBK Divisi Regional IV.
Skripsi S1 Fakultas Psikologi, UNDIP, Semarang.

Zonedy, Friska Ladia. (2014). Hubungan Perilaku Bullying dengan Motivasi Kerja
Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD. Prof. Dr. MA. Hanafiah, SM Batusangkar.
Skripsi S1 Fakultas Keperawatan, UNAND, Padang.

134
135
LAMPIRAN II

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama :
Alamat :
Nomor HP/ Telp. :

Bersedia secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan judul “Faktor
Psikososial pada Pekerja Tekstil PT. Sandratex Ciputat Tahun 2016”. Telah
mendengarkan penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilakukan dan sadar akan
manfaat dan adanya risiko yang mungkin terjadi dalam penelitian ini. Saya akan
memberikan informasi yang benar sejauh yang saya ketahui dan saya ingat.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak
manapun.

Jakarta, April 2016

Peneliti Yang membuat pernyataan

Anis Rohmana Malik (................................................)


Tanda tangan dan nama terang

136
KUESIONER PENELITIAN

Nomor Responden

Umur :
Masa Kerja :
Unit Kerja :

No. Pertanyaan Selalu Sering Kadang- Jarang Tidak


kadang Pernah
Skor
4 3 2 1 0
A. TUNTUTAN DI TEMPAT KERJA
1A Apakah anda mendapatkan
sesuatu dari pekerjaan anda
setelah lembur (seperti uang
tambahan atau hadiah)?
1B Apakah waktu yang tersedia
cukup bagi anda untuk
mengerjakan pekerjaan di tempat
kerja?
2A Apakah anda membutuhkan
motivasi yang tinggi dalam
bekerja (seperti motivasi
mendapatkan upah)?
2B Apakah anda bekerja dengan
motivasi yang tinggi setiap hari
(seperti motivasi mendapatkan
upah)?
3A Apakah situasi pekerjaan anda
itu menggangu kondisi
emosional anda?
3B Apakah anda pernah
menceritakan masalah pribadi
orang lain di tempat kerja anda?
B. ORGANISASI KERJA DAN KONTEN PEKERJAAN
4A Apakah diri anda cukup
berpengaruh terhadap pekerjaan
di tempat anda bekerja?
4B Dapatkah anda mengatur
banyaknya tugas-tugas yang
harus anda kerjakan?

137
No. Pertanyaan Sangat Besar Sedikit Kecil Sangat
Besar Kecil
Skor
4 3 2 1 0
5A Apakah anda punya kemungkinan
untuk mempelajari sesuatu yang baru
dari pekerjaan anda?
5B Apakah pekerjaan anda memerlukan
untuk mengambil inisiatif?
6A Apakah pekerjaan anda sangat
berarti?
6B Apakah anda merasa perkerjaan yang
anda kerjakan itu penting?
7A Apakah anda merasa tempat kerja
anda mempunyai kepentingan yang
tinggi untuk anda?
7B Apakah anda mau
merekomendasikan teman baik anda
untuk mendaftar di satu posisi di
tempat kerja anda?
C. HUBUNGAN INTERPERSONAL DAN KEPEMIMPINAN
8A Apakah di tempat kerja anda bisa
mendapat informasi tentang
keputusan yang penting, perubahan,
rencana untuk kedepannya?
8B Apakah anda menerima semua
informasi yang anda butuhkan untuk
melakukan pekerjaan anda dengan
baik?
9A Apakah pekerjaan anda
diapresiasikan dan dikenal oleh
manajer?
9B Apakah anda diperlakukan secara
adil dan tidak dibeda-bedakan dengan
karyawan lain di tempat kerja?
10A Apakah tujuan pekerjaan anda jelas?
10B Apakah anda tahu persis apa yang
diharapkan dari pekerjaan anda?
11A Sebesar apa anda nyatakan bahwa
atasan langsung anda memperhatikan
kepuasan kerja anda?
11B Bagaimana pengaruh atasan anda
dalam membuat perencanaan terkait
pekerjaan secara langsung?

138
No. Pertanyaan Selalu Sering Kadang- Jarang Tidak
kadang Pernah
Skor
4 3 2 1 0
12A Seberapa sering atasan
yang dekat dengan anda
mau mendengarkan
masalah anda terkait
pekerjaan?
12B Seberapa sering anda
mendapatkan bantuan dan
dukungan dari atasan
terdekat anda?

No. Pertanyaan Sangat Puas Tidak Sangat


puas Puas Tidak
Puas
Skor
3 2 1 0
D. BEKERJA ANTARMUKA INDIVIDU
13 Bagaimana tingkat kepuasan anda
terhadap pekerjaan yang anda
lakukan?

No. Pertanyaan Ya, tentu Ya, Ya, tapi Tidak


saja beberapa hanya
sedikit
Skor
3 2 1 0
14A Apakah anda merasa bahwa pekerjaan
anda menghabiskan banyak energi
anda yang bisa membuat efek negatif
dikehidupan pribadi anda?
14B Apakah anda merasa bahwa pekerjaan
anda menghabiskan banyak waktu
anda yang bisa membuat efek negatif
pada kehidupan pribadi anda?

139
No. Pertanyaan Sangat Besar Sedikit Kecil Sangat
Besar Kecil
Skor
4 3 2 1 0
E. NILAI-NILAI DI LEVEL TEMPAT KERJA
15A Apakah anda
mempercayai informasi
yang anda dapat dari
manajemen?
15B Apakah manajemen
mempercayai bahwa anda
bekerja
dengan baik?
16A Apakah konfik dipecahkan
dengan secara adil?
16B Apakah pembagian kerja
anda adil?

No. Pertanyaan Baik Sangat Baik Lu- Buruk


Sekali Baik mayan
Skor
4 3 2 1 0
F. KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN
17 Secara umum,
bagaimana kesehatan
anda?

No. Pertanyaan Sepanjang Sebagian Sebagian Sedikit Tidak


Waktu Besar Waktu Semua
Waktu
Skor
4 3 2 1 0
18A Dalam sehari-hari seberapa
sering anda merasa letih?
18B Seberapa sering anda merasa
emosi
dalam bekerja?
19A Seberapa sering anda stres
(dapat tertekan)?
19B Seberapa sering anda merasa
terganggu oleh suatu hal atau
seseorang ketika bekerja?

140
No. Pertanyaan Ya, Ya, Ya, Ya, Tidak
Setiap Setiap Setiap Beberapa
Hari Minggu Bulan Waktu
G. PERILAKU OFENSIF
20 Apakah anda pernah
mendapatkan pelecehan
seksual (seperti dipegang
tanpa izin) di tempat kerja
selama 12 bulan terakhir?

Teman Manajer Bawahan Tamu


Kerja
Jika ya dari siapa?

21 Apakah anda pernah


berkemungkinan mengalami
kekerasan di tempat kerja
selama 12 bulan terakhir?
Teman Manajer Bawahan Tamu
Kerja
Jika ya dari siapa?

22 Apakah anda pernah tidak


terlindung dari kekerasan
fisik di tempat kerja selama
12 bulan terakhir?
Teman Manajer Bawahan Tamu
Kerja
Jika ya dari siapa?

23 Apakah anda pernah tidak


terlidung dari gertakan di
tempat kerja anda selama 12
bulan terakhir?
Teman Manajer Bawahan Tamu
Kerja
Jika ya dari siapa?

141
LAMPIRAN III

Output SPSS

Distribusi Frekuensi dan Uji Normalitas Data Studi Pendahuluan

Descriptives

Statistic Std. Error

TUNTUTAN Mean 14.6800 .69933

95% Confidence Interval for Lower Bound 13.2366


Mean
Upper Bound 16.1234

5% Trimmed Mean 14.7444

Median 13.0000

Variance 12.227

Std. Deviation 3.49667

Minimum 8.00

Maximum 20.00

Range 12.00

Interquartile Range 5.50

Skewness .056 .464

Kurtosis -.931 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TUNTUTAN .205 25 .008 .936 25 .117

a. Lilliefors Significance Correction

142
Descriptives

Statistic Std. Error

ORGANISASI Mean 21.4400 .98163

95% Confidence Interval for Lower Bound 19.4140


Mean
Upper Bound 23.4660

5% Trimmed Mean 21.5111

Median 21.0000

Variance 24.090

Std. Deviation 4.90816

Minimum 12.00

Maximum 30.00

Range 18.00

Interquartile Range 7.00

Skewness -.287 .464

Kurtosis -.372 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

ORGANISASI .136 25 .200* .946 25 .202

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

143
Descriptives

Statistic Std. Error

HUBUNGAN Mean 20.8800 1.57090

95% Confidence Interval for Lower Bound 17.6378


Mean
Upper Bound 24.1222

5% Trimmed Mean 20.7778

Median 19.0000

Variance 61.693

Std. Deviation 7.85451

Minimum 9.00

Maximum 35.00

Range 26.00

Interquartile Range 11.00

Skewness .434 .464

Kurtosis -.809 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

HUBUNGAN .145 25 .189 .930 25 .086

a. Lilliefors Significance Correction

144
Descriptives

Statistic Std. Error

BEKERJA Mean 5.7200 .35365

95% Confidence Interval for Lower Bound 4.9901


Mean
Upper Bound 6.4499

5% Trimmed Mean 5.7889

Median 6.0000

Variance 3.127

Std. Deviation 1.76824

Minimum 2.00

Maximum 8.00

Range 6.00

Interquartile Range 2.50

Skewness -.765 .464

Kurtosis -.672 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

BEKERJA .245 25 .000 .859 25 .003

a. Lilliefors Significance Correction

145
Descriptives

Statistic Std. Error

NILA_NILAI Mean 8.2400 .74895

95% Confidence Interval for Lower Bound 6.6942


Mean
Upper Bound 9.7858

5% Trimmed Mean 8.3000

Median 9.0000

Variance 14.023

Std. Deviation 3.74477

Minimum 1.00

Maximum 15.00

Range 14.00

Interquartile Range 5.50

Skewness -.489 .464

Kurtosis -.486 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

NILA_NILAI .180 25 .035 .939 25 .138

a. Lilliefors Significance Correction

146
Descriptives

Statistic Std. Error

KESEHATAN Mean 7.8400 .54675

95% Confidence Interval for Lower Bound 6.7116


Mean
Upper Bound 8.9684

5% Trimmed Mean 7.6778

Median 8.0000

Variance 7.473

Std. Deviation 2.73374

Minimum 4.00

Maximum 15.00

Range 11.00

Interquartile Range 3.00

Skewness .661 .464

Kurtosis .847 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

KESEHATAN .136 25 .200* .937 25 .128

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

147
Descriptives

Statistic Std. Error

PERILAKU Mean .5200 .20913

95% Confidence Interval for Lower Bound .0884


Mean
Upper Bound .9516

5% Trimmed Mean .3667

Median .0000

Variance 1.093

Std. Deviation 1.04563

Minimum .00

Maximum 4.00

Range 4.00

Interquartile Range 1.00

Skewness 2.320 .464

Kurtosis 5.129 .902

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

PERILAKU .411 25 .000 .576 25 .000

a. Lilliefors Significance Correction

148
Uji Validitas dan Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.764 5

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

duapuluh .4000 4.800 .000 .815

duasatu .4000 4.800 .000 .815

duadua .2667 2.133 1.000 .500

duatiga .3333 3.333 1.000 .640

PERILAKU .2000 1.200 1.000 .593

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.765 6

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

tujuhbelas 11.0000 15.103 .480 .748

delpanA 11.5667 17.840 -.037 .804

delpanB 12.4000 14.800 .547 .738

sembilasA 13.0667 12.685 .889 .666

sembilasB 12.8667 12.947 .792 .682

KESEHATAN 6.7667 4.461 1.000 .689

149
Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.733 5

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

limabelasA 19.8000 7.890 .523 .692

limabelasB 19.4000 9.766 .035 .796

enambelasA 19.6333 6.240 .746 .592

enambelasB 19.1000 8.162 .557 .695

NILA_NILAI 11.1333 2.533 1.000 .461

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.804 4

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

tigabelas 6.0667 11.720 -.004 .915

empatbelasA 6.9000 5.955 .947 .587

empatbelasB 7.3667 7.757 .877 .693

BEKERJA 4.0667 2.961 1.000 .616

150
Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.721 11

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

delapanA 57.3000 42.838 .190 .721

delapanB 56.3333 39.816 .668 .687

sembianA 57.0667 39.237 .446 .694

sembilanB 56.5667 43.082 .273 .716

sepuluhA 56.1667 39.661 .711 .685

sepuluhB 56.3000 39.597 .617 .687

sebelasA 56.6667 41.333 .454 .702

sebelasB 56.6000 42.524 .288 .714

duabelasA 56.6333 43.482 .175 .722

duabelasB 56.5667 38.392 .602 .680

HUBUNGAN 29.8000 11.269 1.000 .689

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.688 9

151
Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

empatA 46.1333 37.223 .082 .711

empatB 45.9333 36.961 .242 .683

limaA 46.3000 36.631 .427 .670

limaB 46.4667 33.223 .558 .639

enamA 45.7667 36.668 .474 .669

enamB 45.8000 36.579 .485 .668

tujuhA 46.0000 36.207 .399 .669

tujuhB 47.6000 30.731 .574 .621

ORGANISASI 24.6667 9.954 1.000 .510

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.630 7

Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted

satuA 25.1333 21.223 .673 .454

satuB 23.9667 36.033 -.044 .664

duaA 24.1333 36.120 -.063 .670

duaB 24.1667 33.799 .127 .643

tigaA 26.4000 29.145 .415 .578

tigaB 26.9000 32.162 .459 .597

TUNTUTAN 13.7000 9.045 1.000 .194

152
Uji Normalitas Per Item Faktor Psikososial

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

satuA .416 110 .000 .596 110 .000

satuB .368 110 .000 .696 110 .000

duaA .311 110 .000 .752 110 .000

duaB .294 110 .000 .790 110 .000

tigaA .245 110 .000 .821 110 .000

tigaB .277 110 .000 .801 110 .000

empatA .215 110 .000 .826 110 .000

empatB .324 110 .000 .741 110 .000

limaA .176 110 .000 .900 110 .000

limaB .143 110 .000 .902 110 .000

enamA .338 110 .000 .740 110 .000

enamB .295 110 .000 .773 110 .000

tujuhA .248 110 .000 .853 110 .000

tujuhB .312 110 .000 .736 110 .000

delapanA .254 110 .000 .828 110 .000

delapanB .222 110 .000 .867 110 .000

sembianA .161 110 .000 .878 110 .000

sembilanB .162 110 .000 .905 110 .000

sepuluhA .252 110 .000 .814 110 .000

sepuluhB .214 110 .000 .883 110 .000

a. Lilliefors Significance Correction

153
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

sebelasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

sebelasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duabelasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duabelasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

tigabelas 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

empatbelasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

empatbelasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

limabelasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

limabelasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

enambelasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

enambelasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

tujuhbelas 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

delpanA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

delpanB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

sembilasA 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

sembilasB 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duapuluh 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duasatu 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duadua 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

duatiga 110 100.0% 0 .0% 110 100.0%

154
Distribusi Frekuensi Per Item Faktor Psikososial

Statistics

satuA satuB duaA duaB tigaA tigaB empatA empatB limaA limaB enamA enamB tujuhA tujuhB delapanA delapanB sembianA sembilanB sepuluhA

N Valid 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean .83 3.18 2.53 2.58 1.34 .90 1.96 3.10 1.95 1.86 3.34 3.30 2.75 .81 1.18 2.68 2.22 1.92 3.09

Median .00 4.00 3.50 3.00 2.00 1.00 2.00 4.00 2.00 2.00 4.00 3.00 3.00 .00 1.00 3.00 2.00 2.00 3.00

Std. Deviation 1.452 1.213 1.674 1.541 1.221 .938 1.619 1.219 1.284 1.324 .881 .819 1.159 1.113 1.258 1.108 1.436 1.293 .934

Statistics

sepuluh sebelas sebelas Dua Dua Tiga Empat Empat Lima Lima Enam Enam Tujuh delpan delpan sembilas sembilas Dua Dua Dua Dua
B A B belasA belasB belas belasA belasB belasA belasB belasA belasB belas A B A B puluh satu dua tiga

N Valid 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.57 1.72 1.89 1.79 1.28 1.77 1.81 1.28 2.34 2.72 1.68 2.29 1.96 2.09 1.52 .96 1.21 .05 .12 .25 .27

Median 3.00 2.00 2.00 2.00 1.00 2.00 2.00 1.00 2.00 3.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00 .00 .00 .00 .00

Std. Deviation 1.177 1.158 1.184 .996 1.228 .659 1.105 1.134 1.144 1.042 1.141 1.259 .845 1.028 .843 .898 .743 .209 .570 .771 .716

155
Deskripsi Frekuensi Faktor Psikososial

Statistics

TUNTUTAN

N Valid 110

Missing 0

Mean 11.3545

Median 12.0000

Std. Deviation 4.43834

Statistics

ORGANISASI HUBUNGAN BEKERJA NILA_NILAI KESEHATAN PERILAKU

N Valid 110 110 110 110 110 110

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean 19.0727 20.3455 4.8636 9.0273 7.7455 .6909

Median 19.0000 20.0000 5.0000 9.0000 8.0000 .0000

Std. Deviation 5.50514 6.61585 1.93223 3.51265 2.55737 1.82614

156
Uji Normalitas Faktor Psikososial

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TUNTUTAN .112 110 .002 .979 110 .077

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

ORGANISASI .077 110 .128 .985 110 .250

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

HUBUNGAN .121 110 .000 .985 110 .239

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

BEKERJA .149 110 .000 .942 110 .000

a. Lilliefors Significance Correction

157
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

NILA_NILAI .113 110 .002 .969 110 .012

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

KESEHATAN .106 110 .004 .981 110 .127

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

PERILAKU .411 110 .000 .431 110 .000

a. Lilliefors Significance Correction

158
Distribusi Frekuensi Umur, Masa Kerja, dan Unit Kerja

Statistics

Umur

N Valid 110

Missing 0

Mean 44.35

Median 45.00

Mode 45

Std. Deviation 9.115

Minimum 22

Maximum 64

Statistics

Masakerja

N Valid 110

Missing 0

Mean 18.99

Median 21.00

Mode 25a

Std. Deviation 11.756

Minimum 1

Maximum 43

a. Multiple modes exist. The smallest


value is shown

159
Unitkerja

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid office 14 12.7 12.7 12.7

spinning 42 38.2 38.2 50.9

weaving 54 49.1 49.1 100.0

Total 110 100.0 100.0

Crosstabs Variabel Umur-Faktor Psikososial

umur_2 * TUNTUTAN_2 Crosstabulation

TUNTUTAN_2

BAIK BURUK Total

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 39 62 101

% within umur_2 38.6% 61.4% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 4 5 9

% within umur_2 44.4% 55.6% 100.0%

Total Count 43 67 110

% within umur_2 39.1% 60.9% 100.0%

umur_2 * ORGANISASI_2 Crosstabulation

ORGANISASI_2 Total

160
BAIK BURUK

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 48 53 101

% within umur_2 47.5% 52.5% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 4 5 9

% within umur_2 44.4% 55.6% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within umur_2 47.3% 52.7% 100.0%

umur_2 * HUBUNGAN_2 Crosstabulation

HUBUNGAN_2

BAIK BURUK Total

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 40 61 101

% within umur_2 39.6% 60.4% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 4 5 9

% within umur_2 44.4% 55.6% 100.0%

Total Count 44 66 110

% within umur_2 40.0% 60.0% 100.0%

umur_2 * BEKERJA_2 Crosstabulation

BEKERJA_2

BAIK BURUK Total

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 49 52 101

% within umur_2 48.5% 51.5% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 3 6 9

% within umur_2 33.3% 66.7% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within umur_2 47.3% 52.7% 100.0%

umur_2 * NILAI_2 Crosstabulation

NILAI_2 Total

161
BAIK BURUK

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 47 54 101

% within umur_2 46.5% 53.5% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 2 7 9

% within umur_2 22.2% 77.8% 100.0%

Total Count 49 61 110

% within umur_2 44.5% 55.5% 100.0%

umur_2 * KES_2 Crosstabulation

KES_2

BAIK BURUK Total

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 50 51 101

% within umur_2 49.5% 50.5% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 2 7 9

% within umur_2 22.2% 77.8% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within umur_2 47.3% 52.7% 100.0%

umur_2 * PER_2 Crosstabulation

PER_2

BAIK BURUK Total

umur_2 LEBIH DARI 30 Count 78 23 101

% within umur_2 77.2% 22.8% 100.0%

KURANG DARI 30 Count 6 3 9

% within umur_2 66.7% 33.3% 100.0%

Total Count 84 26 110

% within umur_2 76.4% 23.6% 100.0%

162
Crosstabs Variabel Masa Kerja-Faktor Psikososial

masakerja_2 * TUNTUTAN_2 Crosstabulation

TUNTUTAN_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 21 35 56

% within masakerja_2 37.5% 62.5% 100.0%

lebih dari 21 Count 22 32 54

% within masakerja_2 40.7% 59.3% 100.0%

Total Count 43 67 110

% within masakerja_2 39.1% 60.9% 100.0%

masakerja_2 * ORGANISASI_2 Crosstabulation

ORGANISASI_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 26 30 56

% within masakerja_2 46.4% 53.6% 100.0%

lebih dari 21 Count 26 28 54

% within masakerja_2 48.1% 51.9% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within masakerja_2 47.3% 52.7% 100.0%

163
masakerja_2 * HUBUNGAN_2 Crosstabulation

HUBUNGAN_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 25 31 56

% within masakerja_2 44.6% 55.4% 100.0%

lebih dari 21 Count 19 35 54

% within masakerja_2 35.2% 64.8% 100.0%

Total Count 44 66 110

% within masakerja_2 40.0% 60.0% 100.0%

masakerja_2 * BEKERJA_2 Crosstabulation

BEKERJA_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 27 29 56

% within masakerja_2 48.2% 51.8% 100.0%

lebih dari 21 Count 25 29 54

% within masakerja_2 46.3% 53.7% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within masakerja_2 47.3% 52.7% 100.0%

masakerja_2 * NILAI_2 Crosstabulation

NILAI_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 24 32 56

% within masakerja_2 42.9% 57.1% 100.0%

lebih dari 21 Count 25 29 54

% within masakerja_2 46.3% 53.7% 100.0%

Total Count 49 61 110

% within masakerja_2 44.5% 55.5% 100.0%

164
masakerja_2 * KES_2 Crosstabulation

KES_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 26 30 56

% within masakerja_2 46.4% 53.6% 100.0%

lebih dari 21 Count 26 28 54

% within masakerja_2 48.1% 51.9% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within masakerja_2 47.3% 52.7% 100.0%

masakerja_2 * PER_2 Crosstabulation

PER_2

BAIK BURUK Total

masakerja_2 kurang dari sama Count 45 11 56

% within masakerja_2 80.4% 19.6% 100.0%

lebih dari 21 Count 39 15 54

% within masakerja_2 72.2% 27.8% 100.0%

Total Count 84 26 110

% within masakerja_2 76.4% 23.6% 100.0%

165
Crosstabs Variabel Unit Kerja-Faktor Psikososial

Unitkerja * TUNTUTAN_2 Crosstabulation

TUNTUTAN_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 19 23 42

% within Unitkerja 45.2% 54.8% 100.0%

WEAVING Count 20 34 54

% within Unitkerja 37.0% 63.0% 100.0%

OFFICE Count 4 10 14

% within Unitkerja 28.6% 71.4% 100.0%

Total Count 43 67 110

% within Unitkerja 39.1% 60.9% 100.0%

Unitkerja * ORGANISASI_2 Crosstabulation

ORGANISASI_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 21 21 42

% within Unitkerja 50.0% 50.0% 100.0%

WEAVING Count 27 27 54

% within Unitkerja 50.0% 50.0% 100.0%

OFFICE Count 4 10 14

% within Unitkerja 28.6% 71.4% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within Unitkerja 47.3% 52.7% 100.0%

166
Unitkerja * HUBUNGAN_2 Crosstabulation

HUBUNGAN_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 11 31 42

% within Unitkerja 26.2% 73.8% 100.0%

WEAVING Count 28 26 54

% within Unitkerja 51.9% 48.1% 100.0%

OFFICE Count 5 9 14

% within Unitkerja 35.7% 64.3% 100.0%

Total Count 44 66 110

% within Unitkerja 40.0% 60.0% 100.0%

Unitkerja * BEKERJA_2 Crosstabulation

BEKERJA_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 15 27 42

% within Unitkerja 35.7% 64.3% 100.0%

WEAVING Count 30 24 54

% within Unitkerja 55.6% 44.4% 100.0%

OFFICE Count 7 7 14

% within Unitkerja 50.0% 50.0% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within Unitkerja 47.3% 52.7% 100.0%

167
Unitkerja * NILAI_2 Crosstabulation

NILAI_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 22 20 42

% within Unitkerja 52.4% 47.6% 100.0%

WEAVING Count 22 32 54

% within Unitkerja 40.7% 59.3% 100.0%

OFFICE Count 5 9 14

% within Unitkerja 35.7% 64.3% 100.0%

Total Count 49 61 110

% within Unitkerja 44.5% 55.5% 100.0%

Unitkerja * KES_2 Crosstabulation

KES_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 13 29 42

% within Unitkerja 31.0% 69.0% 100.0%

WEAVING Count 32 22 54

% within Unitkerja 59.3% 40.7% 100.0%

OFFICE Count 7 7 14

% within Unitkerja 50.0% 50.0% 100.0%

Total Count 52 58 110

% within Unitkerja 47.3% 52.7% 100.0%

168
Unitkerja * PER_2 Crosstabulation

PER_2

BAIK BURUK Total

Unitkerja SPINNING Count 32 10 42

% within Unitkerja 76.2% 23.8% 100.0%

WEAVING Count 40 14 54

% within Unitkerja 74.1% 25.9% 100.0%

OFFICE Count 12 2 14

% within Unitkerja 85.7% 14.3% 100.0%

Total Count 84 26 110

% within Unitkerja 76.4% 23.6% 100.0%

169

Anda mungkin juga menyukai