Anda di halaman 1dari 203

Hubungan Konsentrasi PM10 dan Karakteristik Pekerja

Terhadap Keluhan Subjektif Gangguan Pernapasan Akut Pada Petugas

di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh:

YOLANDA MUTIARA CHRISTINA

NIM. 1112101000064

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

TAHUN 2017 M / 1438 H

i
ii
iv
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Maret 2017

YOLANDA MUTIARA CHRISTINA, NIM : 1112101000064

Hubungan Konsentrasi PM10 dan Karakteristik Pekerja Terhadap Keluhan


Subjektif Gangguan Pernapasan Akut pada Petugas di area Basement Parkir
Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

(xxvii+ 150 halaman, 12 tabel, 8 grafik, 2 diagram , 6 gambar, 4 bagan, 5


lampiran)

ABSTRAK

Partikulat berukuran 10 mikron (PM10) merupakan salah satu faktor determinan


penting terhadap timbulnya keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Selain itu,
karakteristik pekerja (usia, jenis kelamin, lama paparan, masa kerja, status merokok,
penggunaan masker) juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya ISPA.
Salah satu pekerja yang berisiko terkena ISPA adalah petugas parkir dan keamanan di
gedung perkantoran dan perdagangan. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk
mengetahui hubungan antara konsentrasi PM10 dan karakteristik pekerja terhadap
keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas di area parkir basement Mal
Blok M dan Poins Square tahun 2016.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross


sectional. Sampel pada penelitian ini ialah seluruh petugas parkir ataupun petugas
keamanan yang bertugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun
2016 sejumlah 60 orang yang diambil menggunakan teknik proportionate random
sampling. Selain analisa univariat, analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan uji
non parameterik Mann Whitney dan uji Chi-square dengan α = 0,05. Hasil menunjukkan
bahwa 70% petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di kedua area basement
parkir Mal memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut. Pada α 5% terdapat
hubungan yang bermakna antara konsentrasi PM10 (p = 0,026), usia (p = 0,034),
penggunaan masker (p = 0,021), lama paparan (p = 0,052), dan masa kerja petugas (p =
0,011) dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut.
Disarankan pada perusahaan untuk mengaktifkan seluruh sistem Fresh Air Ducting
di setiap lantai basement parkir pada jam ramai kendaraan guna mendapatkan sirkulasi

vi
udara yang baik, melakukan pemeriksaan dan pembersihan blower atau komponen
lainnya secara berkala, memberlakukan job rotation pada seluruh lapisan petugas tanpa
terkecuali untuk meminimalisir paparan PM10, serta menerapkan batas maksimum jam
kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kata Kunci : ISPA, PM10, karakteristik pekerja (usia, jenis kelamin, lama

paparan, masa kerja, status merokok, penggunaan masker), area

parkir basement.

Daftar Bacaan : 124 (1990-2016)

vii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergraduated Thesis, March 2017

YOLANDA MUTIARA CHRISTINA, NIM: 1112101000064

Relations Between The PM10 Concentration and Workers Characteristics to The


Subjective Complaints of Acute Respiratory Distress On Officers In The Mal
Blok M And Poins Square Basement Area In 2016

(xxvii + 150 pages, 12 tables, 8 graphs, 2 diagrams , 6 figures, 4 bagan, 5


attachments)

ABSTRACT

Particulate matter (PM10) is one of the important determinants of the onset


of the Acute Respiratory Infection (ARI) complaints. In addition, worker
characteristics (age, gender, length of exposure, length of employment, smoking
status, use of masks) is also a factor that can affect the incidence of ARI. The
purpose of this study was to determine the relationship between the concentration
of PM10 and the characteristics of workers to the subjective complaints of acute
respiratory distress to the workers at the Poins Square and Blok M Mall basement
parking area in 2016.

This study is a quantitative research with cross-sectional study design. The


samples in this research is all the parking attendants and security personnel who
duty in the basement area of Blok M Mall and Poins Square parking area in 2016,
with a number of 60 people were taken using proportionate random sampling
technique. Beside univariate, bivariate were analyzed using non parametric Mann
Whitney test and Chi-square test with α = 0.05. The results showed that 70% of
the parking attendants and security for both mall had subjective complaints of
acute respiratory distress. There is a significant relation between the concentration
of PM10 (p = 0.026), age (p = 0.034), use of masks (p = 0.021), length of exposure
(p = 0,052) and working period (p value = 0.011) with subjective complaints of
acute respiratory distress.

Its suggested for the company to turning whole Fresh Air Ducting system on
each floor of the basement parking in crowded situations of vehicles in order to

viii
get the good air circulation, conduct inspection and cleaning of the blower or
other components on a regular basis, imposed job rotation at all levels of workers
without exception to minimize exposure to PM10, apply a maximum limit of
working hour according local regulations.

Keyword : ARI, PM10, Workers Characteristic (age, gender, length of


exposure, length of employment, smoking status, use of masks), basement parking
area.

Bibliography : 124 (1990-2016)

ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Yolanda Mutiara Christina

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 10 Januari 1995

Agama : Islam

: Jln. Moch Kahfi 1, Gg. H. Tohir II rt 003 rw 04,


Alamat Rumah Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kode Pos

12620

Email : cyolandamutiara@gmail.com

Telepon : 0896-8230-1152

Pendidikan Formal

1999 – 2000 : TK Islam Al-Hidayah Cilandak, Jakarta

2000 – 2006 : SD N 01 Cilandak Timur, Jakarta

2006 – 2009 : SMP N 56 Jakarta

2009 – 2012 : SMA N 49 Jakarta

2012 – 2017 : S1 Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program

x
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Organisasi

: Staff 2 Bidang Pengembangan Pendidikan OSIS


2007 – 2009
SMP N 56 Jakarta

: Anggota Library Lovers Club (LLC) SMA N 49

2010 – 2011 Jakarta

: Anggota Divisi Pengembangan Sumber Daya

Manusia (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa

2012 – 2014 Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

: Divisi Badan Pengawas Harian (BPH) Subdiv.

Bendahara Seminar Profesi Kesehatan

Lingkungan UIN Jakarta tahun 2015; “Combat


2015
The Neglected Tropical Disease Towards

Filariasis-free Country by 2020”.

xi
: Anggota Pengurus Environmental Health Student

2015 – 2016 Association UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Divisi Komunikasi dan Media.

Pengalaman Kerja

2014 : Pengalaman Belajar Lapangan 1 dan 2 di RW 04

Wilayah Kerja Puskesmas Paku Alam Kota

Tangerang Selatan; Konsentrasi Penyakit

Tuberkulosis Paru

2016 : Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Bagian Instalasi

Sanitasi dan Pertamanan Rumah Sakit Umum

Pusat (RSUP) Fatmawati; Konsentrasi

Manajemen Pengolahan Limbah Cair RS

2017 : Program Internship, Dept. Life Administration,

PT Prudential Life Assurance (Maret – Juni)

xii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah s.w.t. yang atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
“Hubungan Konsentrasi PM10 dan Karakteristik Pekerja Terhadap Keluhan
Subjektif Gangguan Pernapasan Akut Pada Petugas di Area Basement Parkir Mal
Blok M dan Poins Square Tahun 2016”. Pada penulisan skripsi ini, penulis
merasa masih banyak kekurangan baik teknis maupun materi mengingat akan
kemampuan penulis yang belum mencapai kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat diharapkan bagi penulis demi kesempurnaan
proposal skripsi ini.
Dalam penulisan proposal skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan proposal penelitian ini, khususnya kepada :
1. Orang tua saya Bapak Gokhing Tua Marisi Napitupulu dan Ibu R. Utami
yang selalu mendoakan dan mendukung baik segi mori; maupun materil
dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Kakek tercinta Almarhum R. Sapari Kartaatmadja yang selalu mendidik saya
dari waktu kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang dan support yang
luar biasa.
3. Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Prof. Dr. H. Arif Sumantri,
SKM, M.Kes
4. Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes., Ph.D
5. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes., Ph.D selaku dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
6. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen Pembimbing II yang juga
telah memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.

xiii
7. Dosen penguji yaitu Ibu Yuli Amran, S.KM, M.KM, Bapak dr. Yuli
Prapancha Satar, MARS, Ph.D, dan Ibu Khadijah Azhar, M.KM yang telah
memberikan arahan dan masukan agar skripsi ini berjalan dengan baik.
8. Muhammad Luqman yang telah banyak membantu, memotivasi dan
mensupport seluruh tahapan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kak Nur Najmi Laila selaku laboran laboratorium HOC FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia mengawasi dan memberi arahan
selama proses turun lapangan berlangsung.
10. Bapak Agus Priyanto (HRD dan GA Manager) Mal Blok M dan Ibu Yayah
Nurmala (HRD) Poins Square yang telah memberikan izin untuk
dilakukannya penelitian ini serta selalu membantu dalam proses perizinan
pengambilan data.
11. Bapak Cecep Supriyatna, bapak Sorba Simbolon, bapak Tony, bapak
Makmun yang telah membantu dalam proses perizinan pengambilan data
pada petugas keamanan dan petugas parkir di Mal Blok M dan Poins Square.
12. Rekan-rekan petugas keamanan dan security parking Mal Blok M dan Poins
Square yang telah membantu dan bersedia untuk dijadikan sampel pada
penelitian ini.
13. Ika Nursyafitriany, Rr. Putri Annisya, Ofin Andina Putri, Yufa Zuriya, rekan
bimbingan Ibu Dewi dan Ibu Ela yang selalu mensupport, membantu proses
turlap dan bersedia berdiskusi terkait skripsi ini.
14. Sahabat se-perkuliahan “itik-itik” (Andini Septiani, Ika Nursyafitriany,
Nurazizah, Vira Rahmayanti, Tyas Widya Utami) yang selalu mendukung
agar skripsi ini cepat rampung.
15. Sahabat SMA “Nine” (Afifah, Annisol, Ayunda, Fadiah, Norin, Ratna, Reffi,
Tyas) yang selalu memberikan support dan motivasi agar bisa lulus segera di
tahun 2017 ini.
16. Sahabat masa kecil Icha dan Reni yang biarpun jarang bertemu namun selalu
mensupport dan memotivasi agar skripsi ini cepat selesai.
17. Rekan Kesling 2012 dan Kesmas 2012 yang saling memberikan semangat
dan arahan dalam diskusi- diskusi singkat selama penyusunan skripsi ini.

xiv
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran serta
pencerahan khususnya bagi penulis, sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, aamiin.

Jakarta, Maret 2017

Yolanda Mutiara Christina

xv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................. vi

ABSTRACT ......................................................................................................... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ x

KATA PENGANTAR ......................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................ xxiii

DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ xxiv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxv

DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xxvi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii

DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xxviii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................................... 8

1.4 Tujuan ....................................................................................................................... 9

1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 9

1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 9

1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................................. 10

1.5.1 Bagi Instansi Terkait ............................................................................. 10

1.5.2 Bagi Pekerja .......................................................................................... 10

1.5.3 Bagi Peneliti .......................................................................................... 10

1.5.4 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan .................................... 11

xvi
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................................ 11

BAB II ................................................................................................................... 13

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 13

2.1 Keluhan Subyektif Saluran Pernapasan .................................................................. 13

2.1.1 Pengertian Keluhan Subyektif Saluran Pernapasan .............................. 13

2.1.2 Sistem Pernapasan ................................................................................ 17

2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut............................................................................. 23

2.2.1 Pengertian ISPA .................................................................................... 23

2.2.2 Klasifikasi dan Gejala ISPA ................................................................. 24

2.2.3 Diagnosis ISPA ..................................................................................... 25

2.2.4 Etiologi ISPA ........................................................................................ 25

2.2.4 Mekanisme Terjadinya ISPA ................................................................ 26

2.2.5 Epidemiologi ISPA di Indonesia .......................................................... 28

2.2.6 Faktor risiko ISPA ................................................................................ 29

2.3 Pencemaran Udara ................................................................................................. 42

2.4 Kerangka Teori ........................................................................................................ 47

BAB III ................................................................................................................. 50

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................................ 50

3.1 Kerangka Konsep..................................................................................................... 50

3.3 Definisi Operasional ................................................................................................ 51

3.4 Hipotesis Penelitian ................................................................................................ 54

BAB IV ................................................................................................................. 55

METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 55

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian .............................................................................. 55

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................................... 55

xvii
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................................... 61

4.4 Pengumpulan Data.................................................................................................. 65

4.4.1 Data Primer ........................................................................................... 65

4.4.2 Instrumen Penelitian ............................................................................. 66

4.5 Uji validitas dan reliabilitas ..................................................................................... 71

4.6 Teknik Pengolahan Data ......................................................................................... 73

4.7 Analisis Data ............................................................................................................ 75

BAB V................................................................................................................... 78

HASIL PENELITIAN ........................................................................................... 78

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................................................ 78

5.1.1 Gambaran Umum Mal Blok M ............................................................. 78

5.1.2 Gambaran Umum Poins Square............................................................ 80

5.2 Analisis Univariat..................................................................................................... 82

5.2.1 Gambaran Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut Pada Petugas


di Area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square ..................... 82

5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan ISPA Ringan


Pada Petugas Parkir Dan Keamanan Di Area Basement Parkir Mal Blok
M Dan Poins Square ............................................................................. 86

5.3 Analisis Bivariat ....................................................................................................... 97

5.3.1 Hubungan antara Konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif gangguan


pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan
Poins Square ......................................................................................... 98

5.3.2 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif gangguan


pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan
Poins Square ......................................................................................... 99

5.3.3 Hubungan antara Variabel Independen Jenis Kelamin, Penggunaan


APD (Masker), Status Merokok, Lama Paparan, dan Masa Kerja

xviii
dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada Petugas di
area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016 ..... 100

BAB VI ............................................................................................................... 103

PEMBAHASAN ................................................................................................. 103

6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................................ 103

6.2 Distribusi Frekuensi Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut Pada Petugas di
Area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square ........................................... 104

6.3 Hubungan Konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut
pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square ................. 110

6.4 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan
akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square ......... 119

6.5 Hubungan Penggunaan APD (Masker) dengan Keluhan subjektif gangguan


pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins
Square ................................................................................................................... 121

6.6 Hubungan Status Merokok dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut
pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square ................. 124

6.7 Hubungan Lama Paparan dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut
pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square ................. 126

6.8 Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada
Petugas di area basment parkir Mal Blok M dan Poins Square ............................ 128

BAB VII .............................................................................................................. 130

PENUTUP ........................................................................................................... 130

7.1 Simpulan ....................................................................................................... 130

7.2 Saran .............................................................................................................. 131

7.3.1 Saran Bagi Perusahaan....................................................................... 131

7.3.2 Saran Bagi Petugas Parkir Maupun Petugas Kemanan ...................................... 133

7.3.3 Saran Bagi Peneliti Lain ..................................................................... 134

xix
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 135

LAMPIRAN ........................................................................................................ 147

xx
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Struktur dan Fungsi Sistem Pernapasan.................................... 21

Tabel 3.1 Definisi Operasional................................................................. 50

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Populasi Pada Masing-Masing Lokasi


62
Penelitian.....................................................................................

Tabel 4.2 Jumlah Sampel Pada Masing-Masing Area Kerja...................... 64

Tabel 5.1 Distribusi Konsentrasi PM10 di seluruh Area Parkir basement


Mal Blok M dan Poins Square.................................................... 86

Tabel 5.2 Distribusi Konsentrasi PM10 di masing-masing Area Basement


Parkir Mal Blok M dan Poins Square......................................... 87

Tabel 5.3 Distribusi Usia Petugas Parkir dan Keamanan di area


Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square........................ 88

Tabel 5.4 Distribusi Lama Merokok dan Rata-rata Jumlah Rokok Yang
Dihisap Per hari oleh Petugas..................................................... 92

Tabel 5.5 Hubungan antara Konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif


gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement
parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016..................... 97

Tabel 5.6 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif


gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement
parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016..................... 98

Tabel 5.7 Hubungan antara jenis kelamin, penggunaan APD (masker),


status merokok, lama paparan, dan masa kerja dengan keluhan
99
subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas di area

xxi
basement parkir Mal Blok M dan Poins Square.........................

Tabel 6.1 Distribusi Konsentrasi PM10, Suhu Dan Kelembaban Udara


Berdasarkan Area Kerja Petugas................................................ 111

xxii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut berdasarkan Lokasi Kerja di area Basement
Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016.................. 81

Grafik 5.2 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut Berdasarkan Profesi Kerja di Area
Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016........................................................................................... 82

Grafik 5.3 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut Berdasarkan Gejala Penyerta di area
Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016........................................................................................... 84

Grafik 5.4 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Jenis Kelamin di


area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016........................................................................................... 89

Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi Petugas Berdasarkan Kebiasaan


Penggunaan Masker di area Basement Parkir Mal Blok M
dan Poins Square Tahun 2016............................................... 90

Grafik 5.6 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Status Merokok di


area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016......................................................................................... 92

Grafik 5.7 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Lama Paparan di


area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016......................................................................................... 94

Grafik 5.8 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Masa Kerja di area


Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun
2016........................................................................................... 96

xxiii
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 5.1 Distribusi Petugas berdasarkan Jenis Masker yang digunakan


di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square
Tahun 2016............................................................................... 91

Diagram 5.2 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Derajat Merokok


Brinkman Index (BI) di area Basement Parkir Mal Blok M
dan Poins Square Tahun 2016................................................... 93

xxiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Layout denah lokasi A1 (area pengukuran P1) & A2 (area
pengukuran P2) (Mal Blok M)................................................. 56

Gambar 4.2 Layout denah lokasi B1 (area pengukuran P3) & B2 (area
pengukuran P4) (Mal Blok M)................................................. 57

Gambar 4.3 Layout lokasi area kerja basement B1 Poins


Square....................................................................................... 58

Gambar 4.4 Layout area kerja basement B2 poins square.......................... 59

Gambar 5.1 Peta Lokasi Mal Blok M.......................................................... 78

Gambar 5.2 Peta Lokasi Poins Square......................................................... 80

xxv
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Jalur Migrasi ISPA................................................................................37

Bagan 2.2 Kerangka Teori Penelitian....................................................................38

Bagan 3.1 Kerangka Konsep.................................................................................49

Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel....................................................................60

xxvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian....................................................................147

Lampiran 2 Informasi Tambahan...................................................................150

Lampiran 3 Hasil Uji Validitas.......................................................................152

Lampiran 4 Dokumentasi Turun Lapangan....................................................153

Lampiran 5 Hasil Uji Laboratorium Pengukuran PM10 dengan Haz-Dust EPAM

5000...........................................................................................155

xxvii
DAFTAR ISTILAH

ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut

PM10 : Particulate Matter ukuran ≤ 10µm

WHO : World Health Organization

ILO : International Labour Organization

PAK : Penyakit Akibat Kerja

NAAQS : National Ambient Air Quality Standards

OSHA : Occupational Safety And Health Administration

PEL : Permissible Exposure Limit

BMUA : Baku Mutu Udara Ambien

NAB : Nilai Ambang Batas

APD : Alat Pelindung Diri

NIOSH : National for Occupational Safety and Health

NMAM : NIOSH Manual of Analytical Methods

SNI : Standa Nasional Indonesia

MRT : Mass Rapid Transit

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

xxviii
xxix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dunia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut / ISPA merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular dimana tercatat sebanyak 156 juta

kasus baru per tahunnya dan 96,7% kasus tersebut terjadi di negara berkembang

(Kemenkes, 2012). Di Indonesia sendiri, prevalensi kejadian ISPA sebesar 25%

dimana DKI Jakarta termasuk dalam sepuluh besar provinsi dengan prevalensi

ISPA tertinggi (Kemenkes, 2013). Lebih lanjut Depkes RI (2013) menyebutkan

bahwa ISPA masih menjadi salah satu penyebab utama kunjungan pasien di

Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Pada tahun 2015 persentase

penduduk yang memiliki keluhan kesehatan di Indonesia mencapai 30,35%

dimana DKI Jakarta memiliki persentase di atas rata-rata persentase nasional

yakni sebesar 33,39% yang mana keluhan seperti batuk (49,92%) dan pilek

(48,93%) masih menjadi keluhan utama (BPS, 2015).

Perjalanan penyakit ISPA dapat berlangsung hingga 14 hari. Meskipun

berlangsung dalam waktu yang singkat, bila tidak segera ditangani penyakit ini

akan mengarah kepada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) (Blackler, Jones,

& Mooney, 2007). Pada lingkup pekerja, World Health Organization (WHO)

mencatat diantara Penyakit Akibat Kerja (PAK), PPOK seperti silikosis dan

pneumokoniosis memiliki proporsi antara 30%-50%. International Labour

Organization (ILO) juga mendeteksi bahwa setiap tahunnya terdapat 40.000 kasus

1
baru pneumokoniosis yang disebabkan oleh paparan debu di tempat kerja terjadi

di seluruh dunia (Abidin, Suwondo, & Suroto, 2015).

Salah satu faktor risiko terjadinya ISPA ialah pencemaran udara (Kemenkes,

Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, 2011). Penelitian yang

dilakukan oleh Hermawan, Hananto & Lasut (2016), menemukan korelasi yang

sangat kuat (0,779) antara kenaikan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)

dengan kasus ISPA. Berdasarkan lokasi terjadinya, pencemaran udara terbagi

menjadi pencemaran udara di luar ruangan (outdoor air pollution) dan

pencemaran udara di dalam ruang (indoor air pollution). Pencemaran udara dalam

ruang memiliki potensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya,

mengingat adanya paparan yang lebih besar dibandingkan dengan pencemaran

udara di luar ruang (Effendi & Makhfudli, 2009). WHO dalam Huboyo,

Istirokhatun, & Sutrisno (2016) menyatakan bahwa pencemaran udara dalam

ruang seribu kali lebih mampu mencapai paru-paru dibandingkan dengan

pencemaran udara luar ruang. Terdapat ± 3 juta kematian akibat polusi udara

setiap tahunnya, dimana 2,8 juta diantaranya akibat pencemaran udara dalam

ruang (Hidayat, 2012).

Pusat niaga/ perbelanjaan / mal merupakan salah satu tempat yang berisiko

terhadap terjadinya indoor air pollution. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Nukman. Dkk (2005), ditemukan bahwa di Jakarta, parameter pencemar udara

seperti partikulat matter ukuran ≤ 10 mikron (PM10) paling tinggi konsentrasinya

ditemukan pada tempat-tempat pusat perniagaan dibandingkan dengan kawasan

umum lainnya seperti terminal. Menurut Arief Rahardjo, Head of Research and

2
Advisory Cushman and Wakefield dalam Syailendra (2013), pertumbuhan mal di

Jakarta mencapai 3,9% tiap tahunnya. Hingga tahun 2013 kawasan Jakarta Selatan

merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan mal yaitu sebesar 21,8% atau

sekitar 854.700 m2. Selain itu, wilayah Jakarta Selatan terbukti memiliki jumlah

pusat perbelanjaan atau mal yang paling banyak dibandingkan wilayah lainnya di

Provinsi DKI Jakarta yakni sebanyak 28 buah (28,6%). Dari jumlah tersebut,

terdapat ± 19 mal yang memiliki parkir basement. Poins Square dan Mal Blok M

merupakan kedua mal di wilayah Jakarta Selatan yang memiliki parkir basement

dan termasuk dalam 5 (lima) besar mal dengan jumlah kendaraan masuk tertinggi

di wilayah Jakarta Selatan. Kedua mal tersebut memiliki karakteristik yang sama

yakni sama-sama berlokasi di dekat terminal dan berlokasi didekat proyek MRT

yang sedang berlangsung pada tahun 2016 sehingga lalu lintas di kedua lokasi

tersebut cenderung padat dan konsentrasi pencemar akan semakin tinggi. Dilihat

dari kondisi tersebut maka diasumsikan bahwa kedua mal tersebut dapat memiliki

potensi cemaran debu lebih besar dibandingkan mal lainnya di wilayah Jakarta

Selatan.

Pesatnya pertumbuhan mal tentunya dapat meningkatkan daya konsumtif

masyarakat yang berdampak pada peningkatan jumlah pengunjung di setiap mal.

Dengan meningkatnya jumlah pengunjung tidak dipungkiri bahwa jumlah

kendaraan yang masuk dan keluar dari mal tersebut juga turut dapat mengalami

peningkatan. Lonjakan jumlah kendaraan tersebut berdampak pada meningkatnya

risiko terjadinya indoor air pollution pada area basement parkir mal.

3
Sayangnya, penggunaan basement (lantai bawah tanah) sebagai area parkir

indoor seringkali tidak memperhatikan kecukupan ventilasinya, sehingga

mengakibatkan terakumulasinya gas-gas pencemar pada area parkir basement.

Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Astuti (2010) yang menemukan

bahwa beban cemaran di parkir basement salah satu mal di Jakarta telah

melampaui baku mutu. Penelitian serupa dilakukan oleh Huboyo, Istirokhatun, &

Sutrisno (2016) di salah satu mal di kota Semarang yang menyatakan bahwa

konsentrasi polutan di area basement secara umum lebih besar dibandingkan di

upperground (lantai atas) dan parameter yang melebihi baku mutu ialah debu.

Dalam SNI 03-6572-2001 disebutkan bahwa ruang parkir bawah tanah (basement)

yang terdiri dari lebih dari satu lantai, gas buang mobil pada setiap lantai tidak

boleh mengganggu udara bersih pada lantai lainnya.

Petugas parkir merupakan kelompok pekerja yang berisiko terhadap indoor

air pollution yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA pada pekerja.

Terlebih apabila petugas tersebut bertugas pada parkir basement dimana ventilasi

udara sangat minim ditemukan sehingga zat polutan akan terakumulasi pada area

tersebut dan dapat dengan mudah terhirup yang kemudian mengiritasi saluran

napas. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 20 sampel petugas

parkir basement mal di wilayah Jakarta Selatan pada bulan Juni-Juli 2016,

didapatkan bahwa terdapat 18 (90%) orang petugas parkir yang memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut. Beberapa keluhan tersebut diantaranya ialah

suara serak yang disertai atau tanpa disertai demam (20%), batuk (39%), pilek

(17%), dan keluarnya cairan dari telinga tanpa disertai rasa sakit (24%).

4
Debu partikulat dengan ukuran aerodinamik ≤ 10 mikron (PM10) merupakan

salah satu faktor pencetus terjadinya ISPA (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana,

2010). PM10 merupakan jenis partikulat yang dapat membahayakan dan paling

sering ditemukan akibat penggunaan kendaraan bermotor (WHO, 1996; Depkes

RI dalam Pudjiastuti, 2003). Pemakaian BBM dan BBG oleh kendaraan bermotor

dapat mengemisikan Suspended Particulate Matter (SPM) yang memiliki ukuran

beragam salah satunya PM10 (Nukman., dkk, 2005). Environmental Protection

Agency (EPA) menyebutkan bahwa paparan PM10 dapat menimbulkan efek pada

sistem pernafasan, kerusakan jaringan paru, iritasi mata, kanker, hingga kematian

dini. Smith (1996) memperkirakan kenaikan mortalitas sebesar 1,2-4,4% akibat

kenaikan per 10µg/m3 PM10 atau sekitar 2,3-3 juta per tahun. Di dunia, polusi

udara terkait partikulat menyebabkan kematian penyakit kardiopulmonal (3%),

kanker bronkus, kanker trakea serta kanker paru (5%) dan kematian anak akibat

infeksi pernapasan akut (1%). Secara keseluruhan diperkirakan 800.000 orang

mengalami kematian dini dan sekitar 6,4 juta orang kehilangan harapan hidup

akibat paparan debu partikulat (Nurjazuli, 2010). Beberapa penelitian juga

menyebutkan bahwa PM10 dapat meningkatkan risiko pekerja untuk terkena ISPA

(Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010; Yamani, 2013; Basti, 2014). Orangtua,

anak-anak, orang dengan penyakit paru kronis / PPOK seperti asma, emfisema

dan bronkhitis kronis sangat sensitif terhadap efek PM10 (EPA, 1995).

Berdasarkan data ISPU Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(KEMENLH), didapatkan bahwa hingga bulan Oktober 2016 Provinsi DKI

Jakarta memiliki tingkat pencemaran udara dengan parameter PM10 paling tinggi.

5
Diantara lima kotamadya di Jakarta, Jakarta Selatan merupakan wilayah dengan

pencemaran PM10 yang masuk kedalam kategori tidak sehat (149). Tingginya

tingkat pencemaran debu PM10 sejalan dengan tingginya tingkat kepemilikan

kendaraan bermotor di DKI Jakarta yang berjumlah hingga 81,24%, diatas rata-

rata kepemilikan nasional (BPS, 2015).

Di samping cemaran debu partikulat PM10, beberapa faktor risiko lain seperti

karakteristik individu turut menyumbang terjadinya ISPA. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Noer dan Martiana (2013) menyebutkan bahwa

usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA (p=0,017). Selain itu,

jenis kelamin juga termasuk dalam faktor risiko terjadinya ISPA seperti penelitian

yang dilakukan oleh Nelson dan William (2007) yang menyebutkan bahwa anak

dengan jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena ISPA mengingat kebutuhan

oksigen yang lebih besar dibandingkan perempuan. Karakteristik individu lainnya

yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA ialah masa kerja (Noer & Martiana,

2013; Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010), lama paparan terhadap polutan

(Kusnoputranto, 1995; Suma'mur, 1995; Febrianto, 2015; Nurgahaeni, 2004),

kebiasaan merokok (Suryo, 2010) dan penggunaan APD seperti masker (Fitriyani,

2011; Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010).

Oleh karena beberapa pertimbangan di atas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian terkait hubungan konsentrasi PM10 dan karakteristik pekerja

terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas di area

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

6
1.2 Rumusan Masalah

Prevalensi kejadian ISPA di Indonesia cenderung tidak kunjung menurun dari

tahun ke tahun. Sementara itu, DKI Jakarta termasuk dalam 10 besar provinsi

dengan prevalensi ISPA tertinggi dalam skala nasional. Petugas basement parkir

mal merupakan kelompok orang yang berisiko terhadap terjadinya ISPA pada

pekerja yang diakibatkan oleh paparan debu partikulat, mengingat kondisi

basement parkir mal yang sangat tertutup sehingga polutan akan terakumulasi

pada lokasi tersebut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 20

sampel petugas basement parkir mal di wilayah Jakarta Selatan terdapat 18 (90%)

orang petugas parkir memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut.

Cemaran debu partikulat PM10 merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

ISPA. Berdasarkan data ISPU harian yang diambil pada bulan September dan

Oktober didapatkan bahwa cemaran PM10 tertinggi ialah berada pada wilayah

DKI Jakarta khususnya Jakarta Selatan. Di DKI Jakarta sendiri terdapat ± 19 buah

mal yang memiliki basement parkir. Bila dilihat dari jumlah kendaraan masuk per

hari, mal Blok M dan Poins Square merupakan kedua mal yang termasuk dalam 5

besar mal dengan jumlah kendaraan masuk tertinggi di wilayah Jakarta Selatan.

Disamping cemaran debu partikulat, karaktertistik pekerja juga dicurigai

memiliki pengaruh terhadap timbulnya keluhan ISPA pada pekerja. Karakteristik

tersebut diantaranya usia, lama paparan, masa kerja, kebiasaan merokok dan

penggunaan APD (masker). Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas, peneliti

bermaksud untuk melakukan penelitian terkait hubungan konsentrasi PM10 dan

7
karakteristik pekerja terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

1.3 Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana gambaran keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016?

b. Bagaimana gambaran konsentrasi PM10 di area basement parkir Mal Blok

M dan Poins Square tahun 2016?

c. Bagaimana gambaran karakteristik individu (usia, jenis kelamin, lama

paparan, masa kerja, penggunaan APD masker dan kebiasaan merokok)

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016?

d. Bagaimana hubungan antara konsentrasi PM10 terhadap keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas di area basement parkir Mal Blok

M dan Poins Square tahun 2016?

e. Bagaimana hubungan antara karakteristik pekerja (usia, jenis kelamin,

lama paparan, masa kerja, penggunaan APD masker dan kebiasaan

merokok) terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016?

8
1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan konsentrasi PM10 dan karakteristik individu

terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas di area

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016.

b. Diketahuinya gambaran konsentrasi PM10 di area basement parkir Mal

Blok M dan Poins Square tahun 2016.

c. Diketahuinya gambaran karakteristik individu (usia, jenis kelamin, lama

paparan, masa kerja, penggunaan APD masker dan kebiasaan merokok)

petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016.

d. Diketahuinya hubungan antara konsentrasi PM10 terhadap keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas di area basement parkir

Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

e. Diketahuinya hubungan antara karakteristik pekerja (usia, jenis kelamin,

lama paparan, masa kerja, penggunaan APD masker dan kebiasaan

merokok) terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

9
petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Instansi Terkait

a. Dapat berkontribusi dalam memberikan bahan pertimbangan bagi

pengambilan keputusan terkait upaya minimisasi cemaran debu PM10 pada

area basement parkir.

b. Dapat memberikan data terbaru terkait sebaran keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada petugas basement sehingga jika diperlukan dapat

menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukannya upaya pencegahan yang

tepat.

1.5.2 Bagi Pekerja

Dapat menambah wawasan dan kesadaran petugas terkait dampak

cemaran debu PM10 bagi kesehatan dan faktor risiko yang mempengaruhi

ISPA ringan di lingkungan kerja mereka.

1.5.3 Bagi Peneliti

Meningkatkan pengetahuan peneliti dan mendapatkan kesempatan

untuk mengaplikasikan teori kesehatan lingkungan terkait pencemaran

udara.

10
1.5.4 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Dapat menjadi referensi tambahan kepada mahasiswa Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan ataupun bagi peneliti selanjutnya

mengenai ISPA pada pekerja dan faktor risiko yang mempengaruhinya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsentrasi PM10 dan

karakteristik pekerja terhadap keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) ringan pada petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins

Square tahun 2016. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan

Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di area

parkir basement mal Blok M dan Poins Square pada bulan Desember tahun

2016.

Populasi pada penelitian ini ialah seluruh petugas parkir dan petugas

keamanan yang bekerja di area parkir basement mal di dua mal di wilayah

Jakarta Selatan yaitu Poins Square dan mal Blok M yang berjumlah 89 orang.

Besar sampel pada penelitian ini ialah sebanyak 60 responden dengan 8 titik

sampel pengukuran berdasarkan area kerja petugas. Teknik pengambilan

sampel menggunakan proportionate random sampling. Responden akan

diwawancarai apakah mengalami keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut, dan bagaimana karakteristik individu pada responden. Kemudian

dilakukan pengukuran konsentrasi debu PM10 pada 8 titik di area kerja

petugas di parkir basement. Desain penelitian yang digunakan ialah cross

11
sectional analitik. Data yang digunakan merupakan data primer hasil

pengukuran konsentrasi PM10 dengan instrumen Hazard-Dust EPAM 5000

(Environmental Particulate Air Monitor) dan pengukuran suhu dan

kelembaban dengan instrumen thermohygrometer. Selain itu data primer juga

didapatkan melalui wawancara terkait keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut dan variabel karakteristik individu seperti lama paparan, masa kerja, usia,

jenis kelamin, status merokok, dan penggunaan APD seperti masker.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluhan Subyektif Saluran Pernapasan

2.1.1 Pengertian Keluhan Subyektif Saluran Pernapasan

Data subyektif merupakan data yang didapatkan dari klien sebagai

suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut

tidak dapat ditentukan oleh tenaga medis seperti perawat ataupun lainnya

secara independen melainkan melalui suatu interaksi atau komunikasi

(Muttaqin, 2008). Maka dari itu, data subyektif merupakan data yang

diperoleh bukan berdasarkan hasil pengukuran, melainkan data yang

diperoleh berdasarkan interaksi tentang pendapat atau persepsi klien

(dalam hal ini penderita/pasien). Maka dari itu, keluhan subyektif dapat

diartikan sebagai sebuah keluhan yang dirasakan oleh penderita atau

pasien yang dirasakan berdasarkan persepsi orang tersebut.

Saluran pernapasan ialah organ mulai dari hidung sampai gelembung

paru (alveoli), beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga

tengah dan selaput paru (Depkes, Pedoman pemberantasan penyakit

infeksi saluran pernafasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada

balita, 2002). Saluran pernapasan berfungsi untuk menghantarkan udara

dari dan menuju permukaan paru. Melalui definisi tersebut, maka keluhan

subyektif saluran pernapasan merupakan satu ata5t6u beberapa keluhan

yang dirasakan oleh penderita akibat adanya gangguan pada saluran

13
pernapasan yang meliputi hidung hingga ke alveoli tanpa adanya

pemeriksaan fisik atau observasi atau bentuk pengukuran lainnya yang

dilakukan oleh tenaga medis.

Menurut Muttaqin (2008) keluhan utama pada sistem pernapasan ialah

batuk, batuk berdarah, produksi sputum berlebih, sesak napas, dan nyeri

dada.

a. Batuk

Batuk merupakan suatu respon imunologi dari sistem pernapasan

bagian bawah terhadap benda asing yang masuk kedalam saluran

pernapasan. Refleks protektif ini timbul akibat adanya iritasi

percabangan trakeabronkial ataupun pada laring. Batuk juga

merupakan gejala yang paling umum dari gangguan saluran

pernapasan lainnya.

Beberapa allergen yang menimbulkan rangsangan batuk

diantaranya ialah akibat inhalasi debu, asap, serta benda-benda asing

kecil lainnya. Batuk juga dapat mengindikasikan adanya suatu proses

peradangan hingga tumor dalam sistem pernapasan.

Batuk bermula ketika suatu zat asing mencapai salah satu reseptor

batuk di hidung, tenggorokan atau dada. Reseptor tersebut kemudian

menyampaikan pesan ke saraf pusat bahwa terdapat benda asing

masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dan selanjutnya

otak akan memberi perintah untuk batuk. Selanjutnya hidung

menghirup napas sementara epiglotis dan pita suara menutup rapat

14
sehingga udara terperangkap dalam paru-paru. Otot perut dan dada

kemudian berkontraksi dengan kuat sambil menekan sekat rongga

tubuh. Epiglotis dan pita suara akan terbuka dan udara yang

terperangkap tadi kemudian keluar sambil membantu mengeluarkan

benda asing tersebut (Junaidi, Penyakit Paru dan Saluran Napas,

2010).

Batuk dapat dibedakan menjadi dua yaitu batuk berdahak dan

batuk kering. Batuk berdahak disebabkan karena adanya sekret pada

tenggorokan. Batuk ini terjadi karena adanya allergen seperti paparan

debu ataupun karena kelembaban berlebih. Sedangkan batuk kering

terjadi karena adanya iritasi pada tenggorokan sehingga timbul rasa

sakit namun tidak menghasilkan sekresi dahak.

b. Sesak napas

Sesak napas merupakan gejala yang paling sering ditemukan

lainnya disamping batuk. Sesak napas mengindikasikan bahwa

sedang adanya gangguan pada trakeobronkial, parenkim paru,

ataupun rongga pleura. Sesak napas terjadi akibat adanya peningkatan

kerja pernapasan akibat bertambahnya resistensi elastisitas paru

akibat pneumonia, atelaktasis, penyakit pleura, atau meningkatnya

resistensi nonelastisitas (emfisema, asma, bronkhitis). Beberapa

faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sesak napas ialah faktor

psikis (keadaan emosi tertentu), faktor peningkatan kerja pernapasan

15
(biasa disebabkan karena adanya penyakit paru), otot pernapasan

yang abnormal (penyakit otot, berkurangnya fungsi mekanis otot).

c. Nyeri dada

Nyeri dada merupakan gejala yang timbul akibat adanya infeksi

pada pleura. Nyeri yang dirasakan seperti teriris benda tajam yang

kemudia diperberat oleh batuk, bersin, napas yang dalam/sesak napas.

d. Nyeri Tenggorokan

Sakit tenggorokan disebabkan karena adanya peradangan pada

tenggorokan karena adanya infeksi bakteri, virus atau alergen

lainnya. Tanda-tanda adanya sakit tenggorokan ialah adanya

kemerahan pada lapisan permukaan bagian tenggorokan dan

pembesaran pada kelenjar sekitar leher.

e. Pilek

Pilek merupakan reaksi yang timbul dari sistem immunologis

tubuh akibat adanya zat asing yang masuk pada saluran pernapasan

pertama (hidung). Respon imunologis tersebut keluar dari rongga

hidung berupa lendir berwarna bening untuk mengeluarkan zat asing

tersebut. Setelah 2-3 hari, lendir yang keluar berubah warna menjadi

putih atau kekuningan karena sel-sel kekebalan tubuh mulai

melawan. Kemudian lendir akan berubah kembali menjadi kehijauan

ketika bakteri /flora normal pada hidung kembali tumbuh. Terdapat

200 virus penyebab pilek dimana yang tersering ialah Rhinovirus

(khususnya pada orang dewasa) (Pujiarto, 2014).

16
2.1.2 Sistem Pernapasan

2.1.2.1 Definisi, Fungsi dan Komponen

Definisi sistem menurut Davis ialah kumpulan dari elemen-elemen yang

beroperasi bersama-sama untuk menyelesaikan suatu sasaran (Hutahaean,

2015). Pernapasan / respirasi merupakan serangkaian proses yang

menyebabkan pergerakan pasif oksigen (O2) dari atmosfer ke jaringan untuk

menunjang metabolisme sel, serta pergerakan pasif karbon dioksida (CO2)

yang merupakan produk sisa metabolisme dari jaringan ke atmosfer.

Sedangkan saluran pernapasan adalah saluran yang mengangkut udara antara

atmosfer dan alveolus. Maka dari itu, sistem pernapasan ialah sekumpulan

elemen yang bekerja bersama dalam mengangkut udara dari atmosfer ke

alveolus dengan tujuan memenuhi kebutuhan sel-sel tubuh akan oksigen dan

mengeluarkan karbon dioksida dari dalam tubuh ke atmosfer.

Fungsi pertama sistem pernapasan ialah untuk memperoleh O2 agar dapat

digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel

(Sherwood, 2001). Zat pencemar udara yang masuk ke lapisan bagian

troposfir bumi akan mudah terhirup terutama oleh manusia. Apabila terhirup,

hal tersebut dapat berpengaruh terhadap sistem pernapasan, sistem

kardiovaskuler, kulit, mata, dan selaput lendir. Pada sistem pernapasan, zat

pencemaram akan masuk melalui hidung, masuk ke tenggorokan (trakhea),

bronkhi, bronkhioli, hingga ke alveoli (Soemirat, 2011).

17
a. Hidung

Hidung ialah saluran pernapasan pertama yang dilalui oleh udara

ketika dihirup. Rongga hidung merupakan jalan masuk oksigen untuk

pernapasan, dan jalan keluar karbon dioksida serta uap air sisa

pernapasan. Di dalam rongga ini, udara yang masuk akan mengalami

tiga proses, yaitu proses filter / penyaringan, penghangatan, dan

pengaturan kelembapan (Mikrajuddin, Saktiyono, & Lutfi, 2007).

Ketika udara masuk melalui rongga hidung, udara akan disaring

terlebih dulu oleh rambut hidung dengan tujuan agar debu dan partikel

kotoran tidak masuk kedalam paru-paru. Proses penyaringan ini yang

umumnya menyebabkan rongga hidup menjadi kotor. Selanjutnya

udara akan dihangatkan oleh kapiler darah yang terdapat dalam

rongga hidung agar suhunya sesuai dengan suhu tubuh. Proses terakhir

ialah udara selanjutnya akan dilembapkan oleh lapisan lendir yang

terdapat dalam rongga hidung dengan tujuan agar kelembapannya

sesuai dengan kelembapan tubuh kita (Wasis & Irianto, 2008).

b. Silia / Cilia

Silia merupakan rambut-rambut halus yang berfungsi unuk

menyaring dan menahan kotoran yang masuk. Silia terletak pada

permukaan saluran napas dan dapat mengeluarkan mukus. Silia

bergerak lebih dari 1.000 kali per menit, sementara untuk silia yang

menggerakan lendir yang melapisi trakhea sekitar 0,5 cm – 1 cm per

18
menit. Paertikel yang terperangkap dalam lapisan mukus dikeluarkan

ke mulut kemudian selanjutnya ditelan (Pujiarto, 2014).

c. Faring

Faring merupakan saluran yang berupa tabung corong dengan

panjang 12,5-13 cm dan terletak dibelakang rongga hidung dan mulut.

Faring berfungsi sebagai jalan bagi udara dan makanan, serta terdapat

tonsil/amandel didalamnya (Mikrajuddin, Saktiyono, & Lutfi, 2007).

Di daerah faring dan sekitar hidung terdapat kelenjar limfoid yang

berfungsi memproduksi sel-sel imunitas (Pujiarto, 2014).

d. Laring

Laring atau pangkal tenggorokan terdapat diantara faring dan

trakea. Didalamnya terdapat epigotis dan pita suara yang dapat

membuka dan menutup. Pada saat menelan makanan, epiglotis

menutup sehingga makanan tidak masuk ke tenggorokan melainkan

menuju kerongkongan.

e. Batang tenggorokan / trakea

Trakea merupakan sebuah saluran berongga yang memiliki dinding

dari cincin-cincin tulang rawan. Trakea mengandung lendir dan silia

yang berfungsi untuk menyaring debu dan bakteri yang masuk

bersama udara agar tidak masuk ke paru-paru. Sayangnya, polutan

seperti asap rokok dan udara dingin dapat mengganggu kerja silia

(Wasis & Irianto, 2008). Trakea memiliki dua cabang (bronkus)

19
dimana cabang pertama menuju paru-paru kiri, dan cabang lainnya

menuju paru-paru kanan (Mikrajuddin, Saktiyono, & Lutfi, 2007).

f. Cabang batang tenggorok (bronkus)

Bronkus merupakan percabangan antara trakea dengan paru-paru

kiri ataupun paru-paru kanan. Cabang bronkus dinamakan bronkiolus.

Rongga bronkiolus masih memiliki silia.Pada bronkiolus yang paling

ujjung dinamakan bronkiolus respirasi. Dimana pada bronkiolus

respirasi tersebut terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.

Jumlah alveoli berkisar ± 300juta. Dinding alveoli sangatlah tipis dan

elastis serta terdiri dari satu lapis sel yang diliputi pembuluh darah

kapiler. Di dalam alveolilah tempat terjadinya pertukaran gas. Oksigen

diudara akan berdifusi kedalam darah, kemudian karbon dioksida dan

uap air dari darah berdifusi ke udara (Wasis & Irianto, 2008). Karena

alveoli merupakan tempat pertukaran gas, maka alveoli tidak

dilindungi oleh mukus dan silia. Sistem pertahanan pada alveoli ialah

menggunakan sel fagosit / makrofag alveoli. (Pujiarto, 2014).

g. Paru-paru / pulmo

Paru-paru terletak pada rongga dada bagian atas. Paru-paru terdiri

dari dua bagian (kanan-kiri). Paru-paru kanan terdiri dari tiga

gelambir, sedangkan paru-paru kiri terdiri dari dua gelambir.

Keduanya dibungkus dengan selaput tipis disebut pleura.

20
Tabel 2.1. Struktur dan Fungsi Sistem Pernapasan

Struktur Komponen Fungsi Umum

Rongga hidung - Filtrasi / penyaring


Saluran - Penghangat
pernapasan Nasofaring - Pelembab udara yang masuk
bagian atas
Orofaring

Laring - Saluran pernapasan yang


membawa dan mengonduksikan
Saluran Trakhea oksigen ke alveoli
pernapasan
bagian bawah Bronkhus

Alveoli

Ventrikel kanan - Membawa darah yang belum


teroksigenasi menuju paru
Arteri Pulmonaris - Membawa darah yang sudah
teroksigenasi untuk menuju
Arteriol pulmonaris sirkulasi
Sirkulasi
Kapiler pulmonaris
Pulmonal
Venula pulmonaris

Vena pulmonaris

Atrium kiri

Paru kanan 3 lobus - Merupakan gabungan antara


Paru saluran pernapasan bagian bawah
Paru kiri 2 lobus dan sirkulasi pulmonaris.

Melapisi rongga dada - Untuk mempermudah gerakan


(pleura parietalis) kedua permukaan selama
pernapasan dan sebagai pemisah
Rongga pleura Menyelubungi setiap antara paru dan rongga dada
paru (pleura viseralis) - Pada orang normal, cairan di
rongga berkisar antara 1-20 ml
Cairan pleura yang berguna sebagai pelumas

Otot inspirasi - Menyediakan mekanisme secara


fisik untuk proses respirasi, yaitu
Diafragma mendorong masuk dan keluarnya
Otot-otot gas dari tubuh
Interkostalis eksterna
pernapasan
Stemokleidomastoideus

Serratus anterior

21
Pektoralis minor

Otot erektus pada tulang


belakang

Skalenes

Otot ekspirasi

Abdominalis

Interkostalis interna

Serratus posterior
anterior

Sumber: (Muttaqin, 2008)

2.1.2.2 Mekanisme pernapasan

Saat bernapas, terdapat dua mekanisme yang bekerja yakni mekanisme

inspirasi / penghirupan udara dan fase ekspirasi / penghembusan udara. pada

saat inspirasi otot-otot dada dan diafragma saling berkontraksi dan rongga

dada membesar, kemudian paru-paru menggembung, disitulah udara masuk

ke paru-paru. Setelah udara berada dalam paru-paru selama beberapa detik

selanjutnya diafragma dan otot-otot pernapasan berelaksasi dan rongga dada

kembali normal. Disitulah udara keluar dari paru-paru dan dinamakan fase

ekspirasi (Wijaya, 2008).

Ketika oksigen masuk ke tubuh, oksigen dalam alveolus akan berdifusi

menuju kapiler darah. Di kapiler darah, oksigen akan mengikat haemoglobin

kemudian dibawa ke jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh. Sel-sel dalam

tubuh akan mengambil oksigen pada darah, dan darah akan menerima karbon

22
dioksida (CO2). Sebelum oksigen menuju jaringan, oksigen akan didifusikan

terlebih dulu dengan ke dalam cairan interstisial (cairan penghubungan antar

sel). Kemudian sel akan masuk ke jaringan dengan adanya perbedaan

tekanan. Karbon dioksida yang dikeluarkan berasal dari kapiler yang ada di

alveolus, dimana gas CO2 akan menembus mebran alveolus dan akhirnya

dikeluarkan melalui hidung dan mulut. Kurang lebih sebanyak 250 mL

oksigen masuk ke dalam tubuh per menit dan karbon dioksida dieksresikan

sebanyak 250 mL dalam satu kali pernapasan (Karmana & Fitriana, 2007).

2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut

2.2.1 Pengertian ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut / ISPA merupakan infeksi yang menyerang

salah satu bagian / lebih dari saluran napas mulai hidung sampai ke alveoli

termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga, pleura) (Kemenkes, Pedoman

Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, 2011). Istilah ISPA meliputi

tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Infeksi merupakan

masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala. Saluran pernafasan

merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya

seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi saluran

pernapasan ini dikatakan akut apabila timbul satu atau beberapa gejala yang

dapat berlangsung hingga 14 hari (Depkes, 2006). ISPA akibat polusi ialah

ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko polusi udara seperti asap rokok, asap

pembakaran rumah tangga, gas buang kendaraan bermotor dan industri,

23
kebakaran hutan damn lain-lain (Kemenkes, Pedoman Pengendalian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut, 2011).

2.2.2 Klasifikasi dan Gejala ISPA

Klasifikasi ISPA berdasarkan gejala yang timbul menurut Ditjen P2MPL

(2009) ialah dikelompokan kedalam tiga kategori yakni ISPA ringan , ISPA

sedang dan ISPA berat.

a. ISPA ringan: meliputi satu atau beberapa gejala seperti batuk (tanpa

pernapasan cepat < 40 kali / menit), pilek / keluarnya lendir dari rongga

hidung, serak (suara parau) yang disertai atau tanpa disertai demam (suhu

tubuh > 37oC), keluarnya cairan dari telinga tanpa rasa sakit.

b. ISPA sedang: gejala yang timbul meliputi satu atau beberapa gejala ringan

disertai gejala tambahan seperti suhu tubuh ≥ 39oc, pernapasan > 50 kali /

menit pada bayi usia ≤ 1 tahun, dan 40 kali / menit pada balita (usia 1-5

tahun), telinga mengeluarkan cairan disertai rasa sakit, kemerahan pada

tenggorokan, serta timbulnya suara mendengkur saat bernafas.

c. ISPA berat: gejala yang timbul meliputi gejala-gejala pada ISPA ringan

dan sedang ditambah dengan gejala tambahan seperti ada penarikan dada

ke dalam saat napas, kesadaran mulai menurun, nadi cepat ( ≥ 160 / menit)

serta sulit teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru

(sianosis), dehidrasi dan gelisah.

Sedangkan klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi terbagi menjadi dua,

ISPA atas, dan ISPA bawah Depkes (2005):

24
a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA): infeksi yang menyerang

hidung hingga ke bagian faring. Seperti pilek, otitis media, dan faringitis,

rhinitis.

b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA): infeksi yang menyerang

mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai ke alveoli. Infeksi tersebut

dinamakan sesuai dengan organ saluran napas yang terinfeksi seperti

epiglotitis, laringotrakeitis, bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia.

2.2.3 Diagnosis ISPA

Gejala ISPA biasanya muncul kurang lebih 3 (tiga) hari setelah seseorang

terkena infeksi dan kemudian mereda setelah 7 – 12 hari atau hingga 14 hari.

Diagnosis ISPA ditegakkan oleh dokter dengan tahapan sebagai berikut (Krishna,

2013):

1. Mendengarkan keluhan yang dirasakan oleh penderita dan memeriksa

badan terutama daerah hidung dan tenggorokan.

2. Pemeriksaan swab hidung atau tenggorokan.

3. Pemeriksaan sputum atau dahak dapat dilakukan.

4. Pemeriksaan rontgent biasanya dilakukan apabila ada kecurigaan infeksi di

daerah sinus atau bila dicurigai ISPA tersebut tidak sembuh dan berlanjut

menginfeksi paru.

2.2.4 Etiologi ISPA

Menurut Depkes RI (2005) penyebab ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri,

virus dan ricketsia. Beberapa bakteri penyebab ISPA diantaranya ialah:

25
Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus,

Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. Sedangkan

untuk virus, terdiri dari: Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,

cytomegalovirus. Untuk jamur, seperti: Mycoplasma pneumoces dermatitides,

Coccidiodes immitis, Aspergillus, Candida albicans.

Sementara itu, penyebab ISPA lainnya adalah asap pembakaran bahan bakar.

Asap bahan bakar tentunya mengandung gas-gas beracun dan partikulat-partikulat

yang sangat halus yang mudah masuk dan terhirup oleh manusia dan akhirnya

masuk hingga ke paru-paru.

ISPA yang disebabkan oleh alergi dan virus biasanya menimbulkan gejala

rhinitis dengan gejala pada hidung seperti hidung berair, hidung tersumbat,

demam, bersin, kelelahan, sakit tenggorokan dan suara menjadi parau/serak.

Sedangkan ISPA yang disebabkan oleh bakteri biasanya menimbulkan faringitis

dengan gejala sakit tenggorokan tanpa gejala pilek dan bersin. Dan ISPA yang

disebabkan oleh jamur biasanya menimbulkan gejala sinusitis (Krishna, 2013).

Sinusitis ialah peradangan pada sinus paralis dengan gejala hidung tersumbat,

ingus berbau, dan sakit di daerah sinus yang terserang (Surdijani, Sumala, &

Sugiarti, 2008).

2.2.4 Mekanisme Terjadinya ISPA

Beberapa jenis bakteri, virus dan ricketsia penyebab ISPA dapat masuk ke

tubuh manusia melalui inhalasi baik melalui droplet ataupun melalui partikulat

inhalable seperti PM10. Mikroorganisme penyebab ISPA dapat melekat pada debu

26
ataupun pakaian sehingga media yang telah terinfeksi tersebut dapat

menghantarkan infeksi (Mandal, Wilkins, Dunbar, & White, 2008). Ketika debu

seperti PM10 terhirup dan masuk ke saluran pernapasan, ia akan menimbulkan

reaksi alergi pada salauran napas. Pada saluran napas bagian atas seperti rongga

hidung dan trakhea, debu ataupun partikulat lainnya akan dihadang oleh sistem

pertahanan mukosiliar. Apabila polutan tersebut terhirup dalam jumlah yang

banyak ataupun memapar secara terus-menerus, maka sistem pertahanan ini akan

terganggu. Penumpukan partikulat tersebut akan merusak dan mengiritasi sel-sel

epitel mukosa sehingga fungsi sel dan gerak silia akan terganggu (Sari, 2013).

Iritasi yang terjadi pada saluran napas bagian atas seperti rongga hidung, laring,

faring dapat menyebabkan bersin, batuk, faringitis, laringitis. Bila sel-sel epitel

mukosa terganggu maka akan menimbulkan sekresi lendir yang berlebih. Sekresi

lendir berlebih yang menumpuk tersebut selanjutnya menjadi media pembiakan

bakteri yang terbawa pada pertikulat tersebut sehingga selain menimbulkan

infeksi primer yang diakibatkan oleh virus namun juga menimbulkan infeksi

sekunder dari bakteri (Rahajoe et al dalam Fitriyani, 2011). Respon tubuh akibat

terganggunya fungsi mukosiliar ini ialah bersin, batuk, pilek, hingga demam.

Pada saluran napas bagian bawah, jumlah mukosiliar akan semakin

berkurang. Sehingga apabila mikroorganisme ataupun polutan berhasil lolos dari

saluran napas bagian atas maka dapat dengan mudah menginfeksi saluran napas

bagian bawah. Infeksi akibat polutan ataupun mikroorganisme yang terbawa

hingga ke saluran napas bagian bawah seperti bronkhus dan bronkhiolus akan

menyebabkan iritasi dan menimbulkan penumpukan sekret yang dapat

27
menyebabkan sesak napas bagi penderita. Iritasi tersebut juga menimbulkan reaksi

imulogi dan membangun jaringan parut sehingga saluran napas menjadi lebih

sempit dan timbul sesak.

Pada alveoli, sistem pertahanan yang dimiliki ialah makrofag. Bila terjadi

infeksi makrofag akan dimobilisasi melalui alveoli ke tempat lain. Apabila

partikulat yang sangat halus berhasil lolos hingga ke alveoli maka reaksi yang

serupa juga akan terjadi. Sekret yang menumpuk pada kantung pertukaran udara

tersebut akan sangat mengganggu proses bernapas sehingga timbul rasa sesak.

Namun partikel tersebut juga dapat dicerna kembali ke bronkiolus akibat respon

sel imun protektif yang selanjutnya didorong ke saluran napas bagian atas

(Khairunnisa, 2014).

2.2.5 Epidemiologi ISPA di Indonesia

Hingga saat ini ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. ISPA merupakan penyakit penyebab morbiditas pertama di negara

maju, sedangkan pada negara berkembang meskipun angka morbiditasnya relatif

lebih kecil namun angka mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan karena

ISPbA (ISPA bagian bawah) seperti pneumonia. Proporsi kasus ISPA di

Indonesia hingga tahun 2013 ialah sebesar 25%. Kematian balita tahun 2005

sebagian besar disebabkan karena pneumonia (23,6%) (Kemenkes, 2012). Data

susenas tahun 2006 melaporkan bahwa di Indonesia keluhan infeksi saluran

pernapasan akut seperti batuk dan pilek menjadi keluhan utama. Didukung dengan

data dari Depkes RI (2013) yang menyebutkan bahwa ISPA merupakan salah satu

28
penyebab kunjungan utama pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit

(15%-30%).

2.2.6 Faktor risiko ISPA

Selain virus, bakteri, ricketsia dan jamur, faktori yang dapat memicu

timbulnya ISPA ialah pencemaran udara. Kemenkes RI (2012) menyebutkan

bahwa beberapa faktor risiko ISPA yang dapat menyebabkan ISPA diantaranya

ialah asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang sarana

transportasi dan industri, kebakaran hutan, dan lain sebgainya. Menurut Hafsari,

Ramadhian, & Saftarina (2015), faktor risiko utama terjadinya ISPA ialah

karena adanya polusi, kondisi lingkungan yang buruk misalnya polutan udara,

kelembaban, kebersihan, musim, dan suhu. Faktor lainnya yang dapat

mempengaruhi timbulnya gangguan saluran pernapasan pada pekerja ialah

kebiasaan merokok (Veronika, Santi, & Ashar, 2014). Sedangkan faktor

karakteristik individu yang menjadi faktor risiko ISPA diantaranya ialah usia,

jenis kelamin, perilaku merokok, masa kerja, lama pajanan dan penggunaan

masker yang berfungsi sebagai alat pelindung diri dari debu (Hafsari,

Ramadhian, & Saftarina, 2015).

A. Polusi Udara

Menurut Hendrik L. Bloom, lingkungan merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Kualitas udara

yang kotor akibat adanya pencemaran sangat erat hubungannya dengan

kejadian penyakit ISPA (Fitria dkk , 2008; Mundilarto & Istiyono, 2007).

29
Beberapa penelitian terdahulu terlah membuktikan adanya hubungan yang

signifikan antara konsentrasi ataupun keberadaan zat pencemar di udara

dengan kejadian ISPA (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010;

Lindawaty, 2010).

a. Particulate Matter 10 / PM10

Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 54 tahun 2008 yang

diadopsi melalui US EPA (Environmental Protection Agency), partikulat matter

10 / PM10 merupakan padatan atau cairan di udara dalam bentuk asap ataupun

debu dan uap yang dapat tinggal di udara dalam waktu yang lama dan berukuran

kurang dari 10 mikron (2,5-10 mikron). Kedalaman yang dapat ditempuh

pertikulat yang ada dalam udara sangat tergantung pada ukuran aerodinamika

partikulat tersebut. Partikulat yang berukuran > 10 mikron akan tersaring oleh

silia pada hidung, trakhea dan bronkus. Sementara, partikulat dengan ukuran lebih

kecil (< 0,1 mikron) akan mudah masuk ke alveoli namun mudah keluar kembali.

Jadi, partikulat yang dapat tinggal di dalam paru-paru memiliki diameter antara 2-

5 mikron (Soemirat, 2011). Semakin kecil diameter aerodinamis, maka semakin

besar probabilitas suatu partikulat akan menembus saluran pernapasan. Partikulat

dengan diameter < 10µm memiliki proporsi lebih besar untuk mencapai alveoli

hingga sekitar 2 mm (Shofwati & Satar, 2009). Menurut Gertrudis (2010) PM10

merupakan iritan dan partikulat dengan risiko kesehatan terbesar diantara ukuran

partikulat lainnya. PM10 merupakan indikator yang paling cocok untuk

pengukuran tingkat pencemaran partikulat yang dikaitkan dengn efek terhadap

gangguan saluran pernapasan sehingga kadarnya harus tetap dijaga (Rudianto,

30
2013). Efek pajanan singkat / akut terhadap partikel ini diantaranya ialah dapat

mempengaruhi reaksi radang paru, ISPA ataupun gangguan pernapasan lainnya,

gangguan pada sistem kardiovaskular, iritasi mata, kanker hingga kematian

(Lindawaty, 2010; EPA, 1995).

Menurut EPA (1995), orang dengan penyakit paru kronis / PPOK seperti

asma, emfisema dan bronkhitis kronis sangat sensitif terhadap efek PM10. Penyakit

paru obstruktif kronik / PPOK merupakan sekelompok penyakit paru menahun

yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernapasan akibat penyempitan

lumen saluran pernapasan bagian bawah. Pada asma, obstruksi saluran pernapasan

dapat disebabkan karena alergi yang dapat menimbulkan spasme / kejang otot

polos sehingga saluran pernapasan mengalami penyempitan / konstriksi. Selain

itu, asma jugap dapat disebabkan karena adanya penyumbatan pada saluran

pernapasan karena adanya mukus berlebih dan sangat kental. Peradangan atau

edema pada saluran pernapasan juga dapat menyebabkan asma karena peradangan

ataupun penebalan dinding saluran pernapasan tersebut dapat menyebabkan

konstriksi pada jalan napas.

Bronkhitis kronik merupakan peradangan kronik pada saluran napas bagian

bawah yang biasanya diakibatkan karena adanya pajanan berulang akibat asap

rokok, polusi udara, ataupun alergen. Iritasi kronik tersebut menyebabkan adanya

penebalan pada dinding saluran napas bagian dalam yang mengakibatkan saluran

pernapasan menyempit. Selain itu, bronkhitis kronik juga ditandai dengan adanya

produksi mukus yang berlebih dan kental pada bronkus. Akibat adanya iritasi

kronik, maka mukus siliaris menjadi lumpuh dan mukuspun tidak sepenuhnya

31
dapat dikeluarkan dari bronkus. Akibat selanjutnya ialah infeksi bakteri yang

dikarenakan penumpukan mukus tersebut telah menjadi medium

perkembangbiakan bakteri yang optimal.

Emfisema merupakan suatu kondisi gangguan yang tak dapat diubah pada

saluran napas akibat rusaknya dinding alveolus. Secara normal, saluran

penghubung antara bronkiolus dengan alveolus membentuk struktur yang kuat

dan menjaga saluran pernapasan agar tetap terbuka sehingga jalan udara masuk

tidak terhambat. Namun pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan

sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Akibatnya pada saat udara

akan dikeluarkan maka bronkioli akan mengerut. Emfisema dapat timbul akibat

pajanan berlebih akibat asap rokok atau iritan kimia lainnya (Anies, 2006).

b. Sumber PM10

Sumber PM10 dari aktifitas manusia / antropogenik ialah dari kendaraan

bermotor, hasil pembakaraan bahan bakar, dan proses industri (Lindawaty, 2010).

Serupa dengan yang disebutkan dalam US.EPA (2016) bahwa sumber langsung

yang berasal dari emisi diantaranya ialah lokasi konstruksi, jalanan beraspal,

lapangan, cerobong asap ataupun asap dari kebakaran. Sedangkan sumber alamiah

PM10 ialah dari aktivitas gunung berapi dan kebakaran hutan.

Lebih lanjut EPA menyebutkan bahwa sumber PM10 paling banyak berasal dari

pembakaran minyak bumi (38,6%), transportasi (25,4%), proses industri (25%),

dan lain-lain (11%) (Wright & Nebel, 2002). Harrison (1999) dalam bukunya

menyatakan bahwa penggunaan diesel dan petrol / bensin merupakan sumber

32
PM10 yang paling umum dan berkontribusi paling banyak terhadap timbulnya

PM10 di udara.

Secara lebih rinci US EPA (2004) menyebutkan sumber partikulat berdasarkan

ukuran diameternya, diantaranya sebagai berikut:

a. Partikel sangat halus /ultrafine (d ≤ 0,1µm) bersumber dari hasil

pembakaran, hasil reaksi SO2 dengan zat-zat organik di atmosfer serta

hasil proses kimia pada suhu tinggi.

b. Partikulat mode akumulasi (d= 0,1µm - 3 µm) bersumber dari hasil

pembakaran batu bara, minyak, bensin, solar dan kayu bakar, dan hasil

proses industri pada suhi tinggi (misal: peleburan logam atau proses

industri pabrik baja).

c. Partikulat Kasar / coarse particulate (d > 3 µm) bersumber dari

resuspensi partikulat industri, kegiatan konstruksi dan penghancuran,

pembakaran minyak dan batu bara yang tidak terkendali.

Sedangkan menurut Lange (2008), bila dikelompokkan berdasarkan jumlah

debu yang terpajan, dosis pajanan debu dikelompokkan menjadi beberapa bagian

yaitu debu total (total dust), debu terhirup (respirable dust), serta debu dosis

kumulatif (cumulative dust). Respirable dust merupakan jenis debu yang sangat

sering menimbulkan efek terhadap gangguan pernapasan karena ukuran

aerodinamiknya berkisar ≤ 10 mikron dengan ukuran aerodinamik rata-rata 4µm.

c. Mekanisme PM10 Masuk Ke Tubuh Manusia

33
Ketika manusia bernapas, PM10 di udara akan terbawa sampai masuk ke

saluran pernapasan manusia. Di dalam saluran tersebut partikel-partikel tersebut

akan berkumpul. Dengan ukuran yang sangat kecil maka partkel tersebut dapat

dengan mudah sampai ke alveoli. Partikel berukuran 5-30 µm akan mengendap

pada saluran pernapasan bagian atas seperti hidung dan tenggorokan. Sedangkan

partikel berdiameter 3-5 µm akan terkumpul di saluran pernapasan bagian bawah

seperti trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel dengan ukuran 1-3 mikron

mampu mencapai di permukaan alveoli. Sementara itu partikel dengan ukuran

0,5-1 mikron hingga di permukaan alveoli dan dapat menyebabkan firbrosis paru.

Dan partikel dengan ukuran lebih kecil yaitu 0,1-0,5 mikron dapat melayang di

permukaan alveoli. Pada saluran-saluran tersebutlah partikel akan mengendap dan

menimbulkan iritasi. Jika tidak, sistem pertahanan oleh mukosiliar akan

membawanya masuk terserap disaluran pencernaan. Partikel yang lebih halus lagi

dengan ukuran dibawah 1 µm dapat mencapai alveolus dengan mudah dan

tertimbun disana. Sementara dalam alveolus endapannya dapat diabsorpsi menuju

sistem sirkulasi maka dari itu paparan partikulat matter ini juga dapat

menimbulkan gangguan pada sistem kardiovaskular. Pada alveolus ini, sistem

pertahanan tubuh yang ada ialah sel-sel fagosit / makrofag yang dapat memakan

atau menghancurkan partikel tersebut (Widyastuti dalam Lindawaty, 2010).

Sementara itu partikel yang jauh lebih halus lagi akan keluar dari saluran

pernapasan saat nafas dihembuskan.

d. Nilai Ambang Batas / NAB PM10

34
Standar PM10 dalam udara ambien berdasarkan NAAQS / National Ambient Air

Quality Standards (2012) ialah 150µg / m3 (0,15 mg / m3). Sedangkan standar

occupational berdasarkan OSHA menyebutkan bahwa batas paparan yang

diizinkan pada tempat kerja / Permissible Exposure Limit (PEL) ialah sebesar

5000 µg / m3, ekivalen dengan 5 mg / m3.

Di Indonesia sendiri, standar yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan

Menteri Negara Lingkungan Hidup / Permenlh No. 12 tahun 2010 untuk Baku

Mutu Udara Ambien / BMUA Nasional ialah sebesar 150 µg / Nm3 (0,15 mg /

m3). Serupa dengan standar yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur DKI

Jakarta No. 54 tahun 2008 dan Permenkes No.48 tahun 2016 untuk parameter

debu respirable PM10 pada lingkungan kerja perkantoran ialah sebesar 150µg/m3

(0,15mg/m3).

e. Jalur Migrasi PM10 terhadap ISPA

Selain bakteri, virus, jamur, ricketsia, beberapa faktor pencetus

timbulnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) ialah faktor

pencemaran udara. Teori H. L. Blum menyatakan bahwa lingkungan

merupakan salah satu faktor penentu derajat kesehatan masyarakat, salah

satunya kualitas udara. Kualitas udara yang kotor akibat adanya pencemaran

sangat erat hubungannya dengan kejadian penyakit ISPA (Fitria dkk , 2008;

Mundilarto & Istiyono, 2007). Salah satu polutan yang paling sering

ditemukan dan dapat menimbulkan penyakit ISPA ialah PM10. Berdasarkan

beberapa penelitian disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

35
antara konsentrasi PM10 terhadap timbulnya penyakit ISPA (Yusnabeti,

Wulandari, & Luciana, 2010; Yamani, 2013; Basti, 2014; Lindawaty, 2010).

PM10 memiliki sumber antropogenik berasal dari proses industri dan

penggunaan kendaraan bermotor (Lindawaty, 2010; US.EPA, 2016). PM10

berada di udara atmosfer yang kemudian dengan mudah dapat dihirup oleh

manusia. PM10 dengan ukuran 5-30 µm dapat terhirup dan tersaring di

hidung oleh mukosiliar ataupun dapat masuk hingga ke tenggorokan. Untuk

partikel berukuran 3-5 µm dapat masuk hingga trakhea, bronkhus, hingga

bronkhiolus. Pada saluran ini masih terdapat mukosiliar namun sudah

semakin berkurang jumlahnya. Sedangkan untuk partikel 1-3 µm dapat

masuk hingga alveolus. Di alveolus, sistem pertahanan mukosiliar sudah

tidak ada, maka dari itu zat-zat asing termasuk polutan PM10 dengan mudah

mengiritasi alveolus. Sistem pertahanan yang ada pada alveolus ialah sel-sel

makrofag.

Berdasarkan EPA (1995), orang dengan penyakit PPOK seperti asma,

emfisema, dan bronkhitis kronik sangat rentan terhadap PM10. Beberapa

faktor lingkungan yang mempengaruhi kualitas pencemaran udara

diantaranya ialah suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Setelah

masuk ke organ target, PM10 akan mengendap dan menyebabkan iritasi.

Selain itu iritasi pada beberapa organ tersebut dapat menyebabkan

timbulnya mukus / lendir berlebih pada organ target dan menyebabkan

sesak napas dan pilek. Iritasi yang terjadi juga dapat menyebabkan sakit

pada tenggorokan yang juga ditandai dengan batuk dan gejala ISPA lainnya.

36
Iritasi juga dapat menyebabkan adanya penebalan pada organ targe dan hal

tersebut juga dapat membuat penderita mengalami sesak napas dan semakin

rentan terhadap polutan lainnya ataupun penyakit saluran pernapasan

lainnya.

37
Bagan 2.1 Jalur Migrasi ISPA

Simpul 1: Sumber Simpul 2: Wahana Simpul 3: Host / Simpul 4: Dampak


Lingkungan Manusia Kesehatan

Proses Industri
Mata
Kendaraan Bermotor (bensin,
Sistem Kardiovaskuler
solar)
5-30 µm
Kebakaran Hutan Saluran ISPA
Pernapasan
3-5 µm (Infeksi Saluran
Antropogenik Pernapasan Akut)
Hidung &
PM10 Udara
Tenggorokan

Alami
1-3 µm Trakhea, bronkhus,
Karakteristik
bronkhiolus
Individu
Kebakaran Hutan
Agen biologis: bakteri,
virus, ricketsia, jamur Alveolus
Aktivitas gunung berapi
Usia
Iklim Kerja
Masa Kerja
Perilaku
Suhu Udara
Lama Paparan
1. Kebiasaan
Merokok Kelembaban
2. Penggunaan
Keterangan: masker Kecepatan Angin

Tidak Diteliti

Variabel Berpengaruh
38
B. Karakteristik Pekerja

a. Usia

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar / Riskesdas pada tahun 2013,

karakteristik penduduk dengan ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-

4 tahun (balita). Pada kelompok pekerja, penelitian yang dilakukan oleh Noer

& Martiana (2013) telah menyebutkan usia merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA (p=0,017). Berdasarkan penelitiannya, pekerja

dengan usia ≥ 40 tahun memiliki risiko lebih besar untuk terkena ISPA. Hal

tersebut terjadi dikarenakan semakin bertambahnya usia seseorang maka

kerentanan terhadap efek paparan semakin meningkat. Semakin meningkat

usia seseorang, fungsi organ tubuh akan semakin menurun. Sejalan dengan

penelitian Daroham & Mutiatikum (2009), kelompok pekerja berusia diatas

15 tahun lebih banyak menderita sakit ISPA dibandingkan dengan umur

dibawah 15 tahun. Meskipun dalam range yang berbeda namun dibuktikan

bahwa semakin meningkatnya usia seseorang maka semakin meningkat pula

risiko seseorang terhadap ISPA. Diasumsikan bahwa seorang pekerja yang

semakin tua maka kapasitas vital parunya akan semakin menurun karena

adanya kemunduran fungsi organ sehingga lebih rentan terhadap paparan

polutan yang berakibat pada timbulnya gangguan pernapasan (Fitriyani,

2011).

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Departemen

Kesehatan RI, disebutkan bahwa faktor risiko ISPA terjadi pada anak yang

39
berjenis kelamin laki-laki (Khairunnisa, 2014). Hal yang serupa

disebutkan oleh Nelson & William (2007) dimana disebutkan bahwa risiko

laki-laki menderita ISPA lebih besar dibandingkan perempuan karena

kebutuhan oksigen laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. hal

Supraptini, Hananto, & Hapsari (2010) menyebutkan bahwa laki-laki lebih

berisiko terkena ISPA sebesar 1.038 kali dibandingkan perempuan. Laki-

laki juga memiliki lebih banyak aktivitas diluar rumah lebih banyak

dibandingkan perempuan sehingga cenderung mendapatkan pajanan yang

lebih besar terhadap agen penyakit (WHO, 2007).

c. Masa Kerja

Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak dia terpapar oleh

behaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Hal tersebut

dibuktikan oleh Noer & Martiana (2013) (p=0,017) dan Yusnabeti,

Wulandari, & Luciana (2010) (p=0,010). Menurut Yusnabeti, Wulandari, dan

Luciana (2010), pekerja yang bekerja ≥ 10 tahun lebih berisiko terkena ISPA

dibandingkan dengan pekerja yang bekerja < 10 tahun. Hal tersebut sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Noer dan Martiana (2013).

d. Lama Paparan

Menurut Kusnoputranto (1995) salah satu faktor yang mempengaruhi

gangguan pernapasan ialah intensitas dan lama paparan. Serupa dengan

yang disampaikan oleh Suma'mur (1995) bahwa lama pajanan debu

merupakan faktor seseorang mengalami gangguan pernapasan. Hal

40
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Febrianto (2015);

Nurgahaeni (2004); Yulaekah (2007).

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003

tentang ketenagakerjaan, bekerja selama 7 jam / hari dan 40 jam / minggu

untuk 6 hari dalam seminggu. Sedangkan kerja selama 8 jam/hari dan 40

jam / minggu untuk 5 hari dalam seminggu.

e. Kebiasaan Merokok

Berdasarkan penelitian, didapatkan hubungan yang bermakna antara

pajanan asap rokok dengan kejadian ISPA. Menurut (Suryo, 2010)

kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya ISPA hingga 2,2

kali. Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010) menyebutkan bahwa rokok

dapat meningkatkan kelainan paru dimana iritasi yang persisten pada

saluran pernapasan akibat rokok dapat menyebabkan adanya perubahan

pada struktur jaringan paru-paru. Perubahan tersebut jika dibiarkan akan

menyebabkan perubahan fungsi paru dan menjadi dasar terjadinya

obstruksi paru menahun (PPOK). Menurut WHO, seseorang dapat

dikatakan sebagai perokok (aktif) apabila mereka merokok setiap hari

dalam waktu minimal 6 bulan hingga saat survei dilakukan (Depkes,

2004).

f. Penggunaan APD (masker)

Masker merupakan suatu alat pelindung diri yang fungsinya untuk

melindungi dari paparan polutan inhalable (yang mudah terhirup) seperti

debu / PM10. APD tidaklah sempurna dapat melindungi tubuh, tetapi akan

41
dapat mengurangi atau memperlambat tingkat pajanan yang terjadi (Odjak

Turnip dalam Fitriyani, 2011). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

kebiasaan penggunaan APD seperti masker merupakan faktor risiko

terjadinya ISPA akibat paparan debu. Yusnabeti, Wulandari, & Luciana

(2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat 43 pekerja yang

mengalami ISPA dan hampir semua pekerja tersebut tidak menggunakan

APD seperti masker. Dalam penelitiannya, Fitriyani (2011) menyebutkan

bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD seperti masker akan

mempunyai peluang berisiko 3 kali lebih besar mengalami gejala ISPA

dibandingkan pekerja yang menggunakan APD.

N95 merupakan jenis masker yang direkomendasikan oleh NIOSH

untuk paparan partikulat PM10 (CDC, 2016). Kelas filter ini memiliki

spesifikasi yaitu untuk perlindungan terhadap paparan partikulat non-oil

dan 95% dapat menyaring partikulat hingga ukuran 0,3 mikron (NIOSH,

1996).

2.3 Pencemaran Udara

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup RI. No. KEP-03/MENKLH/II/1991, pencemaran udara didefinisikan

sebagai masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen

lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau

tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya. Pada umumnya pencemaran

42
udara dapat mengakibatkan gangguan bagi kesehatan sistem pernapasan, dan

organ penglihatan (Sumantri, Kesehatan lingkungan dan perspektif Islam, 2010).

Pencemaran Udara Dalam Ruang (PUDR) merupakan pencemaran udara yang

terjadi akibat masuknya / dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau

komponen lain ke udara ruang oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga

kualitas udara ruangan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara

menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya. Mengacu

pada Pergub DKI Jakarta No. 54 tahun 2008 yang dimaksud dengan ruangan yan

menjadi kawasan umum ialah ruangan tertutup yang dimanfaatkan oleh

masyarakat umum secara sendiri ataupun bersama-sama seperti ruangan parkir

kendaraan bermotor. Melalui peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruangan

parkir basement termasuk dalam kategori ruangan kawasan umum yang dikatakan

sebagai ruangan tertutup (indoor).

Pencemaran udara biasanya diawali dengan adanya emisi. Emisi merupakan

jumlah polutan yang dikeluarkan ke udara dalam satuan waktu (Sumantri,

Kesehatan lingkungan dan perspektif Islam, 2010). Emisi dapat bersumber dari

hasil proses alam maupun hasil kegiatan manusia (emisi antropogenik). Contoh

emisi yang bersumber dari kegiatan manusia ialah emisi hasil pembakaran bahan

bakar fosil seperti bensin. Umumnya jenis emisi ini seringkali ditemukan pada

penggunaan kendaraan bermotor. Suatu wilayah dimana memiliki jumlah

kepemilikan kendaraan bermotor yang sangat banyak, maka wilayah tersebut

dapat dikatakan berisiko terhadap pencemaran udara. Beberapa polutan yang

dikeluarkan dari emisi kendaraan bermotor diantaranya ialah karbon monoksida

43
(CO), Nitrogen oksida (NOx), Sulfur oksida (SOx), hidrokarbon, serta debu atau

partikel (Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan Ed. 3, 2004).

Manurut Sumantri (2015), pencemara udara terbagi atas dua jenis, pencemaran

primer, dan pencemaran sekunder.

a. Pencemaran Primer merupakan substansi pencemar yang ditimbulkan

langsung dari sumbernya. Beberapa contoh pencemar primer ialah

hidrokarbon, karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), sulfur

oksida (SOx), Amoniak (NH3), Nitrogen Oksida (NOx) dan Particulate

Matter / PM.

b. Pencemar sekunder merupakan substansi pencemar yang terbentuk dari

reaksi zat-zat pencemar primer di atmosfer. Contoh pencemar sekunder

ialah pembentukan ozon dan Proxy Acyl Nitrate (PAN).

Pencemaran udara khususnya yang bersumber dari kendaraan bermotor dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor iklim kerja. Beberapa diantaranya yaitu suhu

udara, kelembaban, arah dan kecepatan angin, topografi dan geografi (Wardhana,

1999).

1. Suhu udara

Suhu udara merupakan tingkat atau derajat kepanasan dari suatu benda

ataupun lingkungan. Suhu udara dinyatakan dalam satuan derajat celcius

Prawirawardoyo dalam Prasetyanto (2011). Penelitian yang dilakukan oleh

Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010) menyebutkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kejadian ISPA dengan suhu ruang kerja

44
(p= 0,191). Semakin tinggi suhu udara maka udara akan semakin renggang

sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah. Sebaliknya pada

suhu rendah / dingin maka kondisi udara akan semakin padat dan

konsentrasi pencemar akan semakin tinggi (Depkes, Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, 1990). Namun demikian,

pada suhu udara yang tinggi juga dapat menyebabkan bahan pencemar

terutama partikel diudara menjadi kering dan ringan sehingga cenderung

untuk bertahan lebih lama di udara. Berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan No. 829 tahun 1999, suhu udara nyaman berkisar antara 18-

30oc. Sedangkan berdasarkan Pergub DKI Jakarta No. 54 tahun 2008

dikatakan bahwa batas aman suhu pada ruang perkantoran ialah berkisar

antara 23-28oC. Sementara itu, berdasarkan SNI 03-6572-2001 disebutkan

bahwa suhu pada lingkungan tropis untuk mendapatkan kondisi yang

nyaman ialah berkisar antara 22,8oC-25,8oC.

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara ialah jumlah kandungan uap air yang ada di dalam

udara yang dinyatakan dalam persentase. Pada kelembaban udara yang

tinggi kadar uap air di udara akan bereaksi dengan polutan di udara. Uap

air pada udara akan mengikat polutan di udara seperti debu dan kemudian

akan menangkap kembali partikel polutan lainnya sehingga beberapa

bahan pencemar tersebut akan membentuk partikel yang berukuran lebih

besar sehingga lebih mudah mengendap ke permukaan bumi oleh gaya

tarik bumi (Depkes RI, 1990). Disebutkan dalam Kepmenkes no. 1077

45
tahun 2011 tentang pedoman penyehatan udara dalam ruang rumah dimana

kelembaban yang dikatakan aman ialah berkisar antara 40-70%.

Sedangkan berdasarkan Permenkes No.48 Tahun 2016 disebutkan bahwa

kelembaban yang nyaman untuk ruang kerja seperti lobi ataupun koridor

ialah sebesar 30-70%. Sementara itu dalam SNI 03-6572-2001 disebutkan

bahwa untuk daerah tropis, kelembaban udara relatif yang dianjurkan ialah

berkisar antara 40%-50%.

3. Kecepatan Angin

Kecepatan angin berbanding terbalik dengan konsentrasi polutan di

udara. Apabila kecepatan angin lemah, maka polutan semakin menumpuk

pada suatu tempat dan mengakibatkan konsentrasi polutan lebih padat.

Selain itu, kecepatan angin yang rendah dalam arti udara tidak bergerak

memungkinkan terjadinya inversi. Inversi merupakan suatu keaaan dimana

udara dingin terperangkap oleh lapisan udara panas diatasnya sehingga

udara dingin tidak dapat bergerak keatas dan bercampur dengan udara

diatasnya. Hal tersebut menyebabkan polutan tidak dapat menyebar dan

terakumulasi pada satu tempat tersebut (Budianto, 2008). Sebaliknya

apabila kecepatan angin tinggi maka polutan tidak mempunyai waktu

cukup untuk untuk mengumpul karena akan semakin terbawa dan

menyebar ke beberapa tempat lainnya dan mengakibatkan konsentrasi

polutan pada suatu tempat menurun. Kecepatan angin diukur dengan

menggunakan anemometer dalam satuan meter/menit. Untuk kecapatan

46
aliran udara pada bangunan dibawah tanah disarankan agar tidak lebih

kecil dari 0,15 - 0,20 m/s (Reverente, Weetman, & Wongphanick, 1993).

2.4 Kerangka Teori

Beberapa faktor risiko terjadinya ISPA diantaranya ialah usia, jenis kelamin,

lama paparan, masa kerja, penggunaan APD seperti masker serta kebiasaan

merokok. Usia merupakan umur seseorang terhitung mulai ia dilahirkan hingga

orang tersebut ikut serta dalam penelitian ini. Usia merupakan salah satu faktor

risiko ISPA karena semakin bertambah usia seseorang maka fungsi organ-

organ tubuh semakin menurun, imunitas juga akan semakin melemah. Maka

dari itu orang dengan usia lanjut semakin rentan terhadap pencemaran dan

penyakit infeksius seperti ISPA (Noer & Martiana, 2013; Daroham &

Mutiatikum, 2009; Fitriyani, 2011). Sama halnya dengan orang dengan

kelompok usia muda seperti balita juga sangat rentan terhadap ISPA. hal

tersebut dikarenakan sistem pembentukan imun dan organ tubuh masih belum

sempurna sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti ISPA.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Departemen Kesehatan RI

diperoleh bahwa anak berjenis kelamin laki-laki merupakan salah satu faktor

risiko ISPA (Khairunnisa, 2014). Hal yang serupa juga disampaikan oleh

Nelson dan William (2007) dan Supraptini dkk (2010).

Lama paparan merupakan salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi

terjadinya gangguan pernapasan (Kusnoputranto, 1995; Febrianto, 2015;

Suma'mur, 1995; Nurgahaeni, 2004; Yulaekah, 2007). Berdasarkan Undang-

47
Undang RI No. 132 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, bekerja selama 7

jam/hari dan 40 jam / minggu untuk 6 hari dalam seminggu sedangkan bekerja

selama 8 jam / hari dan 40 jam / minggu untuk 5 hari dalam seminggu.

Masa kerja merupakan lama kerja seseorang dalam satuan tahun. Semakin

lama seseorang bekerja maka semakin banyak pula paparan polutan yang ia

dapat pada tempat kerjanya. Bekerja selama ≥ 10 tahun lebih berisiko terkena

ISPA dibandingkan pekerja yang bekerja dibawah 10 tahun (Yusnabeti,

Wulandari, & Luciana, 2010; Noer & Martiana, 2013).

Masker merupakan suatu alat pelindung diri yang berfungsi untuk

melindungi pekerja dari paparan debu partikulat dan bau. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa kebiasaan penggunaan masker merupakan faktor risiko

terjadinya ISPA pada pekerja (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010;

Fitriyani, 2011). Kebiasaan merokok juga memiliki hubungan yang bermakna

terhadap terjadinya ISPA. Rokok dapat menyebabkan kelainan paru akibat

iritasi yang persisten pada saluran napas akibat asap rokok sehingga lebih

rentan terserang penyakit ISPA (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010).

ISPA dapat disebabkan oleh lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia.

Sementara itu penyebab ISPA lainnya ialah akibat asap kendaraan bermotor,

pabrik dan sebagainya yang biasanya ditemukan dalam bentuk partikulat.

Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa konsentrasi PM10 dalam

udara merupakan faktor risiko terjadinya ISPA (Basti, 2014; Yusnabeti,

Wulandari, & Luciana, 2010; Yamani, 2013). Seluruh agen penyebab ISPA

48
tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim kerja seperti suhu, kelembaban,

arah dan kecepatan angin.

Bagan 2.2 Kerangka Teori

Karakteristik Individu
Pekerja:

- Usia
- Jenis Kelamin
- Lama Paparan
- Masa Kerja
- Penggunaan APD
(masker) Infeksi Saluran
Agen Infeksius
- Kebiasaan Merokok Pernapasan Akut
(ISPA)
Bakteri Virus Ricketsia

Polutan

PM10 SO2

Iklim Kerja:

- Suhu
- Kelembaban
- Kecapatan Angin

49
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,

selanjutnya didapatkan kerangka konsep untuk menjelaskan hubungan antar

variabel-variabel yang akan diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan konsentrasi PM10 dan karakteristik pekerja sebagai variabel

independen terhadap keluhan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) ringan

pada petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square sebagai

variabel dependen.

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Konsentrasi PM10

Karakteristik Pekerja: Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut
- Usia
- Jenis Kelamin
- Lama Paparan
- Masa Kerja
- Penggunaan APD
(Masker)
- Status Merokok

50
3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Skala

Variabel Dependen

1. Keluhan subyektif Ada / tidaknya satu atau beberapa gejala ISPA


gangguan ringan yang dirasakan responden selama ≤ 14
pernapasan akut hari yang meliputi batuk (tanpa pernafasan
cepat/sesak), pilek (keluarnya lendir dari 1. Ya
Wawancara Kuesioner Ordinal
rongga hidung), serak (suara parau) disertai 2. Tidak
atau tanpa disertai demam (> 37oC), keluarnya
cairan dari telinga tanpa rasa sakit (Ditjen
P2MPL, 2009).

Variabel Independent

2. Konsentrasi PM10 Jumlah banyaknya debu PM10 yang terkandung Pengukuran Haz-Dust
di udara lingkungan kerja basement parkir langsung; Metode EPAM mg/m3 Rasio
dalam satuan mg/m3 gravimetri 5000
3. Karakteristik Pekerja

- Usia Lama hidup responden sejak lahir sampai


Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
penelitian dilakukan dalam satuan tahun

51
Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Skala

- Jenis Kelamin Tanda fisik yang teridentifikasi pada responden Wawancara Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
dan dibawa sejak dilahirkan 2. Perempuan

- Lama paparan Lamanya waktu responden terpapar ditempat Wawancara Kuesioner 1. > 40 jam/minggu Ordinal
kerja basement selama seminggu dengan satuan (TMS)
jam/minggu
(Permenaker No. 13
tahun 2011)
2. ≤ 40 jam/minggu
(MS)

- Masa Kerja Lamanya waktu responden bekerja di area kerja Wawancara Kuesioner 1. > 10 tahun Ordinal
basement saat ini, terhitung sejak pertama kali
bekerja sampai penelitian dilakukan dalam 2. ≤ 10 tahun
satuan tahun.

*Kategori masa kerja petugas dikelompokkan


berdasarkan nilai median karena data tidak
terdistribusi normal.

- Penggunaan Tindakan berulang menggunakan masker 1. Selalu memakai


Wawancara Kuesioner 2. Kadang-kadang Ordinal
APD (masker) secara disiplin selama jam kerja
memakai

52
3. Tidak Pernah

Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Skala

- Status Kategori merokok responden setiap harinya Wawancara Kuesioner 1. Masih Perokok Ordinal
Merokok baik saat bekerja maupun tidak bekerja yang 2. Mantan Perokok
mengacu pada New
3. Bukan Perokok
Zealand Ministry of Health, 2015.

**Responden dikatakan masih merokok apabila


dalam jangka waktu minimal 6 bulan terakhir
ia masih mengkonsumsi rokok (WHO dalam
Depkes, 2004).

53
3.4 Hipotesis Penelitian

a. Terdapat hubungan antara konsentrasi PM10 dengan keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas di area basement parkir Mal Blok M

dan Poins Square tahun 2016

b. Terdapat hubungan antara karakteristik pekerja (jenis kelamin, usia, lama

paparan, masa kerja, status perokok, dan kebiasaan penggunaan APD /

masker) terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas

di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

54
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan

rancangan studi cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

hubungan antara variabel bebas (pajanan) yaitu konsentrasi debu PM10

terhirup dan karakteritistik pekerja (usia, jenis kelamin, masa kerja, lama

paparan, penggunaan APD (masker), status merokok) dengan variabel terikat

(outcome) yaitu keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas

parkir dan keamanan yang bertugas di area parkir basement Mal Blok M dan

Poins Square tahun 2016 dalam waktu yang bersamaan.

Desain studi cross sectional ialah desain studi yang bertujuan untuk

mempelajari dinamika hubungan dan mengetahui besarnya masalah antara

suatu pajanan dengan efek yang diukur dalam waktu yang bersamaan

sehingga mudah dilaksanakan, hemat biaya, waktu dan tenaga.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di 2 (dua) buah

mal di wilayah Jakarta Selatan yaitu Poins Square dan Mal Blok M. Berikut

detail lokasi penelitian pada masing-masing mal:

a. Basement A1 (Mal Blok M)

b. Basement A2 (Mal Blok M)

c. Basement B1 (Mal Blok M)

d. Basement B2 (Mal Blok M)

55
e. Basement B1 (Poins Square) (Area kerja security)

f. Basement B1 (Poins Square) (Area kerja petugas parkir)

g. Basement B2 (Poins Square) (Area kerja petugas parkir)

h. Basement B2 (Poins Square) (Area kerja security)

56
a) Layout denah lokasi A1 (area pengukuran P1) & A2 (area pengukuran P2) (Mal Blok M)

Gambar 4.1 Layout denah lokasi A1 (area pengukuran P1) & A2

(area pengukuran P2) (Mal Blok M)

57
b) Layout denah lokasi B1 (area pengukuran P3) & B2 (area pengukuran P4) (Mal Blok M)

Gambar 4.2 Layout denah lokasi B1 (area pengukuran P3) & B2 (area pengukuran P4) (Mal Blok M)

58
c) Basement B1 (Poins Square)

Gambar 4.3 Layout lokasi area kerja basement B1 Poins Square

59
d) Basement B2 (Poins Square)

Gambar 4.4 Layout area kerja basement B2 Poins Square

60
4.3 Populasi dan Sampel

a. Populasi

Alur Penentuan populasi dan pengambilan sampel dapat dilihat pada bagan

dibawah ini:
Total Populasi
N = 89

Eligible population
N = 72

Sampel minimum
n = 60

Wawancara Terstruktur Direct Measurement


n = 60 n = 60

Analisis Univariat
n = 60

Analisis Bivariat
n = 60

Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel

Populasi merupakan seluruh objek yang mungkin terpilih atau keseluruhan

ciri yang dipelajari (Nugroho, 2007). Populasi pada penelitian ini ialah

petugas parkir dan petugas keamanan yang bekerja di area basement parkir

Poins Square dan Mal Blok M tahun 2016 dengan jumlah populasi sebanyak

89 orang. Adapun populasi yang akan termasuk dalam penelitian ini harus

61
memiliki persamaan kriteria. Kriteria tersebut diantaranya ialah sebagai

berikut:

1. Kriteria inklusi:

- Merupakan petugas keamanan ataupun petugas parkir yang

bekerja di area basement parkir Mal Blok M dan Poins

Square

- Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini dengan

menandatangani inform concent

2. Kriteria eksklusi:

- Memiliki riwayat atau sedang menderita Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK), emfisema, bronkhitis kronik,

asma.

- Petugas yang bekerja mobile dari satu lantai basement ke

lantai basement lainnya atau ke area parkir lainnya.

Setelah melalui proses inklusi dan eksklusi, maka didapatkan jumlah

populasi menjadi 72 orang dimana populasi pada masing-masing area

kerja dapat digambarkan pada tabel dibawah ini:

62
Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Populasi Pada Masing-Masing Lokasi Penelitian

No. Lokasi Penelitian Area Kerja Jumlah Populasi

Basement A1 17

Basement A2 11
1. Mal Blok M
Basement B1 6

Basement B2 6

Basement B1 (area 2
kerja security)
Basement B1 (area 17
kerja petugas parkir)
2. Poins Square
Basement B2 (area 11
kerja petugas parkir)
Basement B2 (area 2
kerja security)
Total 72 orang

b. Sampel

Sampel merupakan representasi atau wujud perwakilan dari sebuah

populasi (Kastawan & Harmein, 2004). Perhitungan besar sampel pada

penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis beda 2 proporsi Lemeshow et

al (1997) dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

n : jumlah sampel

63
α : derajat kemaknaan yang ditetapkan peneliti. Dalam penelitian ini,

peneliti menentukan α = 0,05 sehingga Za-α/2 pada penelitian ini sebesar

1,96.

β : Kekuatan uji sebesar 80% sehingga Z1-β sebesar 0,84.

P1 : Proporsi responden dengan masa kerja > 10 tahun yang terkena ISPA

sebesar 62,1% (Noer & Martiana, 2013).

P2 : Proporsi responden dengan masa kerja ≤ 10 tahun yang terkena ISPA

25,0% (Noer & Martiana, 2013).


𝑃1+𝑃2
P : rata-rata proporsi = 0,4355
2

{1,96√[2(0,4355)(1−0,4355)]0,84√[0,621(1−0,621)+0,25(1−0,25)]}2
n=
(0,621−0,25)2

n= 27

Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan rumus uji hipotesis beda

dua proporsi didapatkan bahwa besar sampel minimum yang dibutuhkan ialah

27 orang. Dikarenakan desain penelitian menggunakan desain studi cross

sectional maka besar sampel dikalikan 2 sehingga besar sampel

sesungguhnya sejumlah 54 orang. Dalam upaya untuk menghindari

responden drop out maka ditambahkan jumlah sampel sebanyak 10% dan

dibulatkan menjadi 60 orang.

Oleh karena terdapat jumlah petugas pada masing-masing area kerja yang

berbeda-beda, maka pada penelitian ini digunakan teknik proportionate

random sampling dalam pengambilan sampel. Setiap area kerja akan diambil

sampelnya dengan jumlah tertentu sesuai dengan perhitungan proporsi

64
terhadap minimal sampel pada penelitian ini, proporsi tersebut dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.2. Jumlah Sampel Pada Masing-Masing Area Kerja

Jumlah Jumlah sampel


No. Area Kerja (ni)
Petugas
1. Basement A1 17 orang 14,166 ~ 14 orang

2. Basement A2 11 orang 9,166 ~ 9 orang

3. Basement B1 6 orang 4,999 ~ 5 orang

4. Basement B2 6 orang 4,999 ~ 5 orang

5. Basement B1 (area 1,666 ~ 2 orang


2 orang
kerja security)
6. Basement B1 (area 14,166 ~ 14 orang
17 orang
kerja petugas parkir)
7. Basement B2 (area 9, 166 ~ 9 orang
11 orang
kerja petugas parkir)
8. Basement B2 (area 1,666 ~ 2 orang
2 orang
kerja security)
Jumlah 72 orang 60 orang

Berdasarkan perhitungan diatas, maka didapatkanlah 60 petugas yang

akan dijadikan responden dalam penelitian ini.

4.4 Pengumpulan Data

4.4.1 Data Primer

Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan ialah data primer.

Data primer didapatkan berdasarkan hasil wawancara untuk identitas

responden, variabel karakteristik pekerja (usia, jenis kelamin, lama

65
paparan, masa kerja, status merokok, kebiasaan menggunakan masker)

dan variabel keluhan subjektif gangguan pernapasan akut. Selain itu, data

primer juga didapatkan melalui pengukuran langsung untuk variabel

konsentrasi PM10.

4.4.2 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pengukuran langsung dan

wawancara. Instrumen penelitian yang digunakan diantaranya ialah

sebagai berikut:

a. Kuesioner penelitian yang digunakan mencakup pertanyaan dari 2

(dua) vaiabel yakni sebagai berikut:

1. Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut

Pada variabel keluhan subjektif gangguan pernapasan akut terdapat

5 buah pertanyaan dengan jawaban menggunakan sekala guttman

(“Ya atau Tidak”). Selanjutnya pada jawaban bernilai positif maka

diberi kode 2, dan untuk jawaban bernilai negatif diberi kode 1. Pada

item pertanyaan B1-B4 dengan kode 2 maka akan direcode dengan

skor 1, dan jawaban dengan kode 1 akan direcode menjadi skor 0.

Kemudian pada item pertanyaan B terkait lama dirasakannya

keluhan tersebut pada responden, jika responden menjawab ≤ 14 hari

/ ≤ 2 minggu maka diberi kode 1, dan sebaliknya bila responden

menjawab > 14 hari / > 2 minggu maka diberi kode 2. Selanjutnya

pada item B5 yang memiliki jawaban dengan kode 1 maka memiliki

skor 1, dan jawaban dengan kode 2 akan direcode menjadi skor 0.

66
2. Karakteristik Pekerja

Pada variabel ini terapat 4 (empat) buah pertanyaan dengan

jawaban menggunakan skala guttman yaitu pada item A7, C5, C8,

C12. Apabila responden menjawab pertanyaan dengan jawaban

bernilai positif (“Ya”) maka diberi kode 1 dan sebaliknya bila

menjawab pertanyaan dengan jawaban bernilai negatf (“tidak”) maka

diberi kode 2. Pada item A7 (jenis kelamin) jawaban perempuan

diberi kode 1, dan jawaban laki-laki diberi kode 2. Selain itu, pada

variabel ini juga ditemukan beberapa pertanyaan terbuka seperti

pada item pertanyaan A3, C1, C2, C3, C4, C6, C7, C9, C10, C11,

dan C13. Pada item pertanyaan C12, responden diberi kode 1 jika

menjawab “Selalu”, kode 2 jika menjawab “kadang-kadang”, dan

kode 3 untuk jawaban “Tidak pernah”.

b. Pengukuran konsentrasi PM10 ambien dengan menggunakan Hazard-

Dust EPAM 5000 (Environmental Particulate Air Monitor) dari

Laboratorium Kesehatan Lingkungan (HEN) FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan metode gravimetric (filter weight). Alat

ini memiliki sensitivitas 0,001-20,0 mg/m3. Jumlah titik pengukuran

ialah sebanyak 8 titik yang terbagi pada masing-masing area kerja,

sebagai berikut:

a. Basement A1 (Mal Blok M): (P1)

b. Basement A2 (Mal Blok M): (P2)

c. Basement B1 (Mal Blok M): (P3)

67
d. Basement B2 (Mal Blok M): (P4)

e. Basement 1 / B1 (Area kerja security) (Poins Square): (P5)

f. Basement 1 / B1 (Area kerja petugas parkir) (Poins Square):

(P6)

g. Basement 2 / B2 (Area kerja petugas parkir) (Poins Square):

(P7)

h. Basement 3 / B3 (Area kerja security) (Poins Square): (P8)

Dasar pengambilan 8 (delapan) titik pengukuran ini ialah

dilandaskan pada Kep/205/Bapedal/07/1996 dimana disebutkan bahwa

penetapan lokasi pemantauan udara ambien dapat didasarkan pada titik

nilai ekstrim ataupun pada kawasan kehidupan makhluk hidup. Dalam

hal ini yang dimaksud kawasan kehidupan makhluk hidup ialah kawasan

yang sering ditempati oleh populasi atau disebut dengan area kerja. Lama

pengukuran pada masing-masing titik ialah 1 jam untuk mendapatkan

nilai konsentrasi dalam 8 jam / hari kerja. Pertimbangan tersebut

mengacu pada standar pengukuran PM10 di lingkungan kerja oleh NIOSH

0600 Respirable Dust Sampling.

Dalam mengukur konsentrasi PM10 digunakan alat pengukuran

Hazard-Dust EPAM 5000 dimana cara kerja alat ini ialah sebagai

berikut:

1. Melakukan pengecekkan baterai sebelum digunakan.

68
2. Melakukan tes laju alir udara dengan cara memasang alat laju alir

udara (Flow Audit Meter) di kepala sensor EPAM-5000, tekan Run,

pilih Continue. Selanjutnya dilihat angka di alat tes laju alir udara

tersebut, jika bola kecil menunjukkan angkan 4 Lpm maka laju alir

udara alat masih stabil dan dapat digunakan.

3. Memasang tabung penghisap debu dengan ukuran kepala (size-

selective empactor) 10 mikron.

4. Melakukan Manual-Zero dengan cara:

- Tekan Enter

- Pilih special function – system options – extended options – size

select - 10µm

- Pilih special functions – system options – sample rate – 1 second

- Pilih special functions – system options – Extended Options -

Calibration Options – Manual-Zero

- Kemudian tunggu hingga 99 detik, dan menu utama akan

muncul setelah proses Manual-Zero selesai.

5. Melakukan pengukuran data dengan cara yang sama seperti yang

telah dijelaskan pada langkah 4 dimulai dari size select 10 mikron,

memilih sampel rate, menyesuaikan tanggal dan waktu

pengukuran, kemudian pada menu utama pilih Run-Continue.

6. Melihat hasil pengukuran dengan cara:

- Pilih review data – statistic – new tag

- Tulis angka urutan yang tertera pada alat

69
- Tekan enter, kemudian catat hasil nilai minimum, maksimum,

average, dan STEL.

5. Matikan alat dengan menekan tombol enter

c. Pengukuran suhu dan kelembaban dengan menggunakan alat

Termohigrometer dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan (HEN)

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun prosedur penggunaan

alat tersebut ialah sebagai berikut:

1. Meletakkan alat di atas meja atau kursi

2. Perhatikan waktu saat mengukur suhu dan klembaban udara

selama 1 jam

3. Kemudian baca dan catat skala yang ditunjukkan, skala

kelembaban dibagian atas dan skala suhu di bagian tengah dengan

derajat celcius.

d. Pengukuran kecepatan angin dengan menggunakan anemometer

digital dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan (HEN) FKIK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Alat pengukuran ini memiliki tingkat

akurasi 0,5 m/s. Adapun prosedur penggunaan alat tersebut ialah:

- Memegang alat secara vertikal atau menaruhnya di atas

penyangga

- Tekan tombol ON/OFF pada alat

- Lakukan pengukuran selama 1 jam dengan mencatat hasil

pengukuran setiap 30 menit

70
- Tekan tombol HOLS untuk melihat hasil pengukuran,

kemudian catat nilai min, maks, dan rata-rata.

- Matikan alat kembali dengan menekan tombol ON/OFF.

e. Pengukuran keluhan subyektif ISPA ringan menggunakan kuesioner

yang berisikan item pertanyaan gejala ISPA ringan yang dirasakan

responden.

f. Pengukuran variabel karakteristik pekerja seperti usia, jenis kelamin,

perilaku merokok, lama paparan, masa kerja dan kebiasaan

penggunaan masker menggunakan kuesioner. Untuk status merokok

mengacu pada standar dari New Zealand Ministry of Health (2015)

yang membagi status perokok kedalam tiga kategori yaitu 1. Bukan

Perokok, 2. Mantan Perokok, 3. Masih Perokok, sedangkan derajat

merokok mengacu pada indeks brinkman dengan rumus sebagai

berikut:
IB = jumlah rata-rata rokok yang dihisap (batang) x lama merokok (tahun)

Kategori Indeks Brikman (PDPI, 2000):

1. Perokok Ringan (1-199)

2. Perokok Sedang (200-599)

3. Perokok Berat (≥ 600)

4.5 Uji validitas dan reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada subjek yang memiliki

karakteristik hampir sama dengan subjek penelitian yang dituju yakni petugas

basement parkir mal. Adapun sampel pada uji validitas dan reliabilitas dalam

71
penelitian ini ialah petugas basement parkir mal di Pondok Indah Mal 2.

Karakteristik mal tersebut serupa dengan lokasi penelitian bila ditinjau dari

beberapa aspek sebagai berikut:

- Berlokasi di wilayah Jakarta Selatan

- Memiliki jumlah pengunjung relatif sama yaitu 20.000-30.000

pengunjung/hari

- Memiliki Exhaust Fan sebagai tempat pertukaran udara di

parkir basement

- Memiliki kapasitas parkir 1.000-2.000 kendaraan bermotor

per-basement

Uji validitas dan reliabilitas ini dilakukan pada 20 orang responden

petugas parkir dan keamanan yang bekerja di wilayah basement parkir

Pondok Indah Mal 2, Jakarta Selatan. Adapun uji validitas yang digunakan

pada kuesioner penelitian ini ialah uji validitas isi (test content) yang

digunakan pada variabel berskala guttman seperti pada variabel keluhan ISPA

(B1-B5), dan karakteristik pekerja (A7, C5, C8, dan C12). Validitas isi / Test

Content digunakan untuk melihat respon responden saat menjawab

kuesioner. Masing-masing item pada kuesioner akan dinyatakan valid apabila

responden dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tanpa adanya keraguan

dalam memahami maksud pertanyaan tersebut serta menjawab dengan durasi

72
waktu yang tepat dengan estimasi durasi menjawab yang telah ditetapkan

oleh peneliti. Hasil uji validitas ini didapatkan bahwa terdapat beberapa item

pertanyaan yang tidak valid seperti pada item pertanyaan B1 dan B5. Pada

beberapa item pertanyaan yang tidak valid selanjutnya dilakukan perbaikan

redaksi kata hingga item tersebut dinyatakan valid.

Untuk uji reliabilitas dengan variabel berskala guttman pada penelitian ini

dilakukan dengan uji Kuder Richardson formula 20 dan atau uji Cronbach

Alpha. Berdasarkan perhitungan rumus Cronbach Alpha didapatkan nilai r

hitung 0,637> 0,444 (r tabel) dan nilai rKR 20 sebesar 0,6366. Berdasarkan

hasil perhitungan tersebut didapatkan bahwa koefisien korelasi berada antara

0-1, suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel jika koefisien korelasinya >

koefisien korelasi r tabel.

4.6 Teknik Pengolahan Data

Data primer yang telah terkumpul selanjutnya akan dilakukan

pengolahan data secara statistik yang terdiri dari beberapa tahapan yang

harus dilakukan. Beberapa tahapannya ialah sebagai berikut:

a. Penyuntingan Data / editting: dilakukan dengan pemeriksaan kelengkapan

pengisian dan ketepatan data sebelum data dimasukkan ke pengolah data.

Kegiatan penyuntingan data dilakukan segera mungkin ketika berada di

lapangan.

b. Coding : Pengkodean data digunakan untuk mengklasifikasikan data serta

memberi kode untuk masing-masing jawaban di kuesioner.

73
c. Entry : Setelah data sudah dinyatakan lengkap dan layak untuk diolah,

selanjutnya dalah memasukkan data dalam software komputer. Data

dimasukkan dalam software disertai kode yang telah dibuat sesuai dengan

kategorinya masing-masing.

d. Scoring : Skoring dilakukan untuk memberikan skor terhadap variabel yang

sebelumnya telah di coding dimana skor 1 untuk kategori indeks dan skor 0

untuk kategori pembanding. Hasil skoring akhir pada masing-masing

variabel setelah seluruh data di entry ialah sebagai berikut:

a) Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut

Untuk mendapatkan skor total dari item pertanyaan B1-B5, maka

dilakukan compute pada kelima item pertanyaan tersebut. Setelah

didapatkan skor total dari kelima item tersebut maka dapat dibuat cut of

point dari variabel keluhan gangguan pernapasan akut. Variabel baru

dengan skor < 1 (atau 0) artinya tidak memiliki keluhan gangguan

pernapasan akut, dan variabel ≥ 1 artinya memiliki keluhan gangguan

pernapasan akut.

b) Karakteristik Pekerja

- Jenis Kelamin:

0. Perempuan, recode jika jawaban pada item pertanyaan A7 adalah 1.

Perempuan

1. Laki-laki, recode jika jawaban pada item pertanyaan A7 adalah 2.

Laki-laki

- Status “masih” merokok:

74
0. Tidak, jika jawaban pada item pertanyaan C5 adalah 2. Tidak

1. Ya, jika jawaban pada item pertanyaan C5 adalah 1. Ya

- Riwayat merokok:

0. Tidak, jika jawaban pada item pertanyaan C8 adalah 2. Tidak

1. Ya, jika jawaban pada item pertanyaan C8 adalah 1. Ya

- Kebiasaan menggunakan masker:

0. Tidak Pernah Memakai, jika jawaban pada item pertanyaan C12

adalah 3. Tidak Pernah

1. Kadang-kadang, jika jawaban pada item pertanyaan C12 adalah 2.

Kadang-kadang

2. Selalu, jika jawaban pada item pertanyaan C12 adalah 1. Selalu

e. Cleaning : kegiatan ini merupakan tahap akhir dari manajemen data. Pada

tahap ini, data yang telah diolah dalam software komputer diperiksa kembali

untuk memastikan tidak ada data yang salah atau missed sehingga data

tersebut siap untuk di analisis. Cara yang dilakukan ialah dengan melihat

tabel frekuensi dari setiap variabel independen maupun dependen kemudian

dilihat berapa jumlah data yang missed untuk selanjutnya di crosscheck

ulang.

4.7 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mendeskripsikan dari masing-masing

variabel dependen maupun independen yang diteliti menggunakan tabel

distribusi frekuensi. Variabel yang diikutsertakan dalam penelitian ini ialah

75
keluhan subjektif gangguan pernapasan akut, konsentrasi PM10, serta variabel

karakteristik individu pekerja meliputi usia, jenis kelamin, lama paparan,

masa kerja, penggunaan APD masker, serta kebiasaan merokok, serta faktor

lingkungan kerja (suhu dan kelembaban). Setelah diketahui nilai mean,

median,standar deviasi dan prosentasenya, maka dilakukan tabulasi silang

(crosstab) untuk melihat proporsi keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut pada petugas berdasarkan karakteristik individu dan konsentrasi debu

partikulat PM10 yang memajan di ke 8 titik area parkir basement.

b. Analisis Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Analisis uji bivariat menggunakan uji

chi-square untuk melihat hubungan antara dua variabel kategorik yaitu

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut dengan lama paparan, keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut dengan penggunaan APD masker,

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut dengan jenis kelamin, keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut dengan status merokok, dan keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut dengan masa kerja.

Dengan derajat kepercayaan (CI) 95%, jika nilai P value ≤ 0,05 maka

perhitungan secara statistik menunjukan terdapat hubungan bermakna antara

variabel dependen dengan variabel independen. Selain itu, untuk menguji

variabel numerik dan kategorik pada penelitian dilakukan uji normalitas data

terlebih dulu. Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov – Smirnov

didapatkan bahwa ketiga variabel numerik tidak terdistribusi normal,

76
sehingga analisis yang digunakan ialah Mann Whitney U Test. Variabel

numerik yang dilakukan uji ini ialah keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut dengan konsentrasi debu PM10 terhirup dan keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut dengan usia.

Analisis keeratan hubungan antara variabel dependen dan independen

menggunakan nilai Odds Ratio (OR). OR dengan nilai > 1 memiliki arti

bahwa variabel yang diteliti dapat meningkatkan risiko. Jika nilai OR = 1

maka variabel yang diteliti tidak memiliki hubungan dengan variabel

dependen. Sementara untuk OR<1 maka variabel yang diteliti memperkecil

risiko.

77
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua) buah mal yang berlokasi di Jakarta

Selatan yakni Mal Blok M dan Poins Square. Kedua mal ini memiliki kesamaan

kriteria diantaranya ialah: 1) Memiliki kapasitas parkir 1000-2000 kendaraan

bermotor, 2) Memiliki rata-rata jumlah pengunjung ± 30000/hari, 3) berada pada

lokasi dekat terminal, busway, dan konstrusi Mass Rpid Transit / MRT.

5.1.1 Gambaran Umum Mal Blok M

Mal Blok M merupakan salah satu pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta

Selatan yang berlokasi di Jl. Hasanudin, Melawai Jakarta Selatan. Mal ini berada

di sentra bisnis Jakarta Selatan dengan luas lahan 3,5 Ha yang memiliki konsep

mal yang menyatu dengan taman kota dan terminal bus. Mal ini berada dibawah

terminal bus dan terdiri atas dua lapis bangunan di bawah permukaan tanah

dengan luas 29746 m2 dimana area yang dipergunakan untuk area pertokokan

seluas 19070 m2.

78
Gambar 5.1 Letak Lokasi Mal Blok M (Jl. Hasanudin, Melawai, Jakarta

Selatan)

Fasilitas pada mal ini meliputi lobby terminal, area parkir gedung (basement

dan outdoor) emplasement, plaza dan taman. Area atas mal ini merupakan

kegiatan terminal transit bus kota yang dikenal dengan terminal bus Blok M

dengan 6 (enam) jalur bus yang sudah didesain sedemikian rupa sehingga bus-bus

yang masuk diatur dengan menggunakan sistem traffic Frist in First Out.

Terminal bus Blok M merupakan tujuan awal dan akhir dari route busway koridor

I (Blok M – Kota) dan terdapat fasilitas bus Damri Blok M – Bandara Soekarno

Hatta. Selain itu, mal ini juga terletak pada salah satu lokasi konstruksi stasiun

layang Mass Rapid Transit / MRT (Blok M – stasiun sisingamangaraja). Tidak

kurang dari 150.000 penumpang perhari yang menggunakan fasilitas bus tersebut

dan sebagian besar penumpang (± 30.000 orang / hari) mengunjungi mal ini setiap

harinya.

79
Dikarenakan lokasi mal ini berada di bawah terminal bus Blok M, maka

seluruh kegiatan berada di dalam basement. Gedung plaza yang terdapat di dalam

basement digunakan untuk tempat perbelanjaan dengan fasilitas indoor dan full

AC. Sementara itu, pada area parkir basement juga terdapat area kantor yang juga

tertutup dan full AC sehingga paparan dari asap kendaraan bermotor pada area

parkir basement dapat diminimalisir. Area parkir basement pada lokasi ini terdiri

dari 4 lantai yakni parkir basement A1, A2, A3 dan A4. Sedangkan kelompok

yang sangat berisiko terhadap paparan asap kendaraan bermotor pada area

tersebut ialah petugas keamanan dan petugas parkir yang bertugas di area tersebut.

5.1.2 Gambaran Umum Poins Square

Poins Square Shopping Mall and Apartment merupakan salah satu pusat

perbelanjaan di wilayah Jakarta Selatan. Mal ini berlokasi di Jl. R.A. Kartini No.

1, Lebak Bulus, Cilandak, RT.9/RW.7, Lb. Bulus, Cilandak, Kota Jakarta Selatan.

Mal yang berdiri pada lahan seluas 2,5 Ha telah dibangun di kawasan yang sangat

strategis. Gedung yang memiliki 15 lantai apartemen ini memiliki jam operasional

selama 24 jam.

80
Gambar 5.2 Letak Lokasi Poins Square Shopping Mall & Apartment (Jl. RA

Kartini, Cilandak, Jakarta Selatan)

Poins Square berada pada lokasi konstruksi Mass Rapid Transit / MRT

(Lebak Bulus) yang saat ini sedang dalam tahap pengerjaan. Selain itu, mal ini

juga berdekatan dengan terminal Lebak Bulus dan halte busway Lebak Bulus. Mal

ini memiliki rata-rata jumlah pengunjung ± 30000 orang/hari.

Jumlah lantai pada parkir basement di lokasi ini ialah sebanyak 3 (tiga) lantai

yang terdiri dari B1, B2 dan B3. Kapasitas parkir pada area ini ialah 1000-2000

kendaraan bermotor per-basement. Namun dikarenakan parkir basement B3 tidak

dibuka untuk umum melainkan hanya untuk parkir mobil karyawan, maka tidak

ada petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area tersebut sehingga

lokasi B3 tidak dijadikan lokasi sampling udara.

Meskipun terdapat office pada area basement B3, namun area tersebut

merupakan tepat indoor dengan fasilitas full AC sehingga paparan polutan pada

81
parkir basement kepada petugas kantor dapat diminimalisir. Sementara itu petugas

yang bekerja full time pada area mobilisasi kendaraan parkir di basement ialah

petugas parkir dan keamanan sehingga sangat berisiko terpapar asap kendaraan

bermotor.

5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Gambaran Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut Pada

Petugas di Area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square

Dalam penelitian ini, seorang petugas dapat dikatakan memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut apabila petugas tersebut memiliki satu atau

beberapa gejala ISPA ringan yang telah dirasakan dalam kurun waktu satu

bulan terakhir terhitung hingga saat dilakukannya penelitian, yang kemudian

dirasakan ≤ 14 hari.

Grafik 5.1 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut berdasarkan Lokasi Kerja di area Basement Parkir Mal
Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=42)

100
90
80 70
70 59.5
60
50 40.5
40
30
20
10
Mal Blok M Poins Square Total Keluhan
Ada Keluhan

82
Berdasarkan grafik 5.1, diketahui bahwa sebagian besar petugas parkir

maupun petugas keamanan yang bertugas di area basement parkir memiliki

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut yakni sebanyak 42 orang (70%)

dari 60 orang petugas. Meskipun proporsi pada masing-masing lokasi hampir

merata, namun jika dilihat berdasarkan persentasenya maka proporsi keluhan

gangguan pernapasan akut pada responden di Mal Blok M lebih banyak

dibandingkan di Poins Square.

Jika dilihat berdasarkan profesi masing-masing petugas yang bekerja di

area basement parkir, berikut distribusi keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut yang ada:

Grafik 5.2 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan


Pernapasan Akut Berdasarkan Profesi Kerja di Area Basement Parkir Mal
Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=60)

100
90 81.8
80
70 63.16
60
50
36.84
40
30
18.2
20
10
Petugas Parkir Petugas Keamanan

Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan

Berdasarkan grafik 5.2, diketahui bahwa mayoritas petugas baik pada

kelompok petugas parkir maupun kelompok petugas keamanan yang bertugas

83
di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut. Namun bila dilihat distribusinya, keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut paling banyak ditemukan pada kelompok

petugas keamanan yakni sebanyak 18 orang (81,80%) dari 22 orang petugas

keamanan. Sementara pada petugas parkir ditemukan sebanyak 24 orang

(63,16%) dari 38 orang petugas parkir.

Menurut Ditjen P2MPL (2009) klasifikasi ISPA berdasarkan gejala yang

ditimbulkan ialah terbagi menjadi tiga kategori diantaranya ialah ISPA ringan,

ISPA sedang, dan ISPA berat. Dalam penelitian ini seorang petugas dikatakan

memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut apabila saat

diwawancarai terdapat keluhan berupa gejala-gejala yang tergolong kedalam

ISPA ringan, diantaranya ialah batuk, pilek (terdapat lendir pada rongga

hidung), serak (suara parau) disertai atau tanpa disertai demam, keluarnya

cairan dari telinga tanpa rasa sakit. Distribusi gejala-gejala tersebut pada

petugas parkir maupun keamanan di area basement parkir Mal Blok M dan

Poins Square ialah sebagai berikut:

84
Grafik 5.3 Distribusi Petugas dengan Keluhan Subjektif Gangguan
Pernapasan Akut Berdasarkan Gejala Penyerta di area Basement
Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=42)

100
90
80
66.7
70 59.5 61.9
60
50
40
30 21.4
20
10
Batuk (tanpa napas Pilek / hidung Suara serak Keluarnya cairan
cepat) tersumbat disertai atau tanpa dari telinga tanpa
disertai demam rasa sakit

Proporsi pada masing-masing gejala

Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa distribusi responden dengan

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut berdasarkan gejala penyerta

hampir merata. Namun dapat dilihat keluhan yang paling banyak dirasakan

oleh petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area basement parkir

mal Blok M dan Poins Square ialah keluhan pilek / hidung tersumbat yakni

sebanyak 28 orang (66,70%) dari 42 orang yang memiliki keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut.

85
5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan ISPA Ringan

Pada Petugas Parkir Dan Keamanan Di Area Basement Parkir Mal

Blok M Dan Poins Square

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan dapat muncul

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ialah faktor lingkungan dan

faktor karakteristik individu itu sendiri. Faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi kejadian ISPA ialah konsentrasi polutan di udara salah

satunya ialah Particulate Matter ukuran 10µ / PM10, sedangkan faktor

karakteristik individu yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA

diantaranya ialah usia, jenis kelamin, lama paparan, masa kerja, perilaku

penggunaan APD (masker), serta kebiasaan merokok.

1. Distribusi Konsentrasi PM10 di Mal Blok M dan Poins Square Tahun

2016

Data konsentrasi PM10 di lokasi penelitian diperoleh dari hasil

pengukuran dengan menggunakan alat Hazard Dust EPAM-5000.

Pengukuran konsentrasi dilakukan pada setiap titik area kerja petugas

parkir dan keamanan di lantai basement parkir dengan jumlah 8 (delapan)

titik pengukuran. Pengukuran konsentrasi PM10 dilakukan dalam waktu

dan posisi yang sama dengan pengukuran suhu dan kelembaban

lingkungan kerja yang menggunakan alat thermohygrometer.

Hasil pengukuran konsentrasi PM10 pada area basement parkir mal Blok

M dan Poins Square dapat dilihat pada tabel berikut:

86
Tabel 5.1 Distribusi Konsentrasi PM10 di seluruh Area Parkir

basement Mal Blok M dan Poins Square

Variabel Mean Median Min-Max 95% CI n

Konsentrasi
0,092 0,073 0,055-0,157 0,082-0,101 60
PM10

Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada variabel

konsentrasi PM10 didapatkan nilai p value sebesar 0,000, yang artinya

bahwa data variabel usia petugas tidak terdistribusi normal (< 0,05).

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa konsentrasi PM10 di seluruh area

kerja parkir basement mal Blok M dan Poins Square memiliki rata-rata

sebesar 0,092 mg/m3 dan nilai tengah sebesar 0,073 mg/m3 dengan tingkat

kepercayaan 95% berada pada rentang nilai 0,082-0,101. Konsentrasi

minimum yang didapat ialah sebesar 0,055 mg/m3 dan maksimum 0,157

mg/m3.

Sedangkan hasil pengukuran konsentrasi PM10 pada masing-masing

titik pengukuran dapat digambarkan pada tabel berikut:

87
Tabel 5.2 Distribusi Konsentrasi PM10 di masing-masing Area Basement
Parkir Mal Blok M dan Poins Square

Konsentrasi PM10 (mg/m3)


Titik
Area Kerja
Pengukuran Min-max AVG

P1 Parkir Basement A1 Mal Blok M 0,002-0,105 0,066

P2 Parkir Basement A2 Mal Blok M 0,047-0,280 0,157

P3 Parkir Basement B1 Mal Blok M 0,042-0,121 0,078

P4 Parkir Basement B2 Mal Blok M 0,025-0,361 0,119

P5 Parkir Basement B1 Poins Square (Area


Kerja Petugas Keamanan / Pintu Masuk 0,002-0,238 0,068

Basement)
P6 Parkir Basement B1 Poins Square (Loket 0,055
0,002-0,519
Keluar / Area Kerja Petuga Parkir)
P7 Parkir Basement B2 Poins Square (Area 0,115
0,011-1,220
Kerja Petugas Parkir)
P8 Parkir Basement B2 Poins Square (Area 0,118
0,002-0,161
Kerja Petugas Keamanan)

Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan (dapat dilihat pada

tabel 5.2), diketahui bahwa konsentrasi PM10 pada masing-masing area

basement parkir berbeda. Pada basement parkir Mal Blok M, didapatkan

konsentrasi PM10 pada area A1 sebesar 0,066 mg/m3, area A2 sebesar

0,157 mg/m3, area B1 0,078 mg/m3, dan area B2 sebesar 0,119 mg/m3.

Sementara itu, konsentrasi PM10 pada basement parkir Poins Square di

area B1 (pintu masuk basement parkir) sebesar 0,068 mg/m3, area B1

(loket keluar basement) sebesar 0,055 mg/m3, area B2 (lokasi jaga petugas

88
parkir) sebesar 0,115 mg/m3, dan area B2 (lokasi jaga petugas keamanan)

sebesar 0,118 mg/m3. Dari ke delapan titik pengukuran didapatkan

konsentrasi PM10 tertinggi pada titik pengukuran P2 basement parkir Mal

Blok M. Sementara jika dilihat berdasarkan nilai tengah (0,073 mg/m3),

terdapat tiga lima titik yang berada di atas nilai media yakni pada are P2,

P3, P4, P7, dan P8.

2. Distribusi Frekuensi Usia Petugas di area Basement Parkir Mal Blok

M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel usia pada penelitian ini diukur dengan menggunakan

kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden. Variabel ini

diukur dalam satuan tahun. Hasil pengukuran usia responden dapat dilihat

pada tabel 5.3 dibawah ini:

Tabel 5.3 Distribusi Usia Petugas Parkir dan Keamanan di area


Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel Mean Median Min-Max 95% CI n

B 60
Usia 33,28 29 20-56 30,46-36,10

erdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada variabel usia

didapatkan nilai p value sebesar 0,000, yang artinya bahwa data variabel

usia petugas tidak terdistribusi normal (< 0,05). Pada tabel 5.3, diketahui

bahwa usia seluruh petugas parkir dan keamanan pada area basement

parkir Mal Blok M dan Poins Square memiliki rata-rata 33 tahun dan nilai

89
tengah 29 tahun dengan tingkat kepercayaan 95% berada pada rentang

30,46-36,10. Usia minimum petugas ialah 20 tahun sedangkan usia

maksimum petugas ialah 56 tahun.

3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Petugas di area Basement Parkir

Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel jenis kelamin pada penelitian ini diukur dengan

menggunakan kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden.

Distribusi frekuensi jenis kelamin pada petugas dapat dilihat pada grafik

5.4 dibawah ini.

Grafik 5.4 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Jenis Kelamin di

area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=60)

100
86.7
90
80
70
60
50
40
30
20 13.3
10
Perempuan Laki-laki

Proporsi responden berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan grafik 5.4 diatas, dapat diketahui bahwa mayoritas

petugas parkir ataupun keamanan yang bertugas di area basement parkir

mal Blok M dan Poins Square berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak

52 orang (86,7%) petugas dari 60 orang petugas.

90
4. Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker pada Petugas di area

Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel penggunaan masker pada penelitian ini diukur melalui

kuesioner dengan menanyakan langsung kepada responden. Distribusi

frekuensi penggunaan masker pada responden dapat dilihat pada grafik

5.5.

Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi Petugas Berdasarkan Kebiasaan


Penggunaan Masker di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins
Square Tahun 2016 (n=60)

100
90
80
70
56.7
60
50 43.3
40
30
20
10
Tidak Menggunakan Menggunakan

Proporsi responden berdasarkan penggunaan masker

Berdasarkan grafik 5.6 diatas, diketahui bahwa distribusi responden

berdasarkan variabel penggunaan masker hampir merata pada kedua

kategori. Namun bila dilihat, lebih banyak petugas parkir maupun

keamanan yang bertugas di area basement parkir yang menggunakan

masker pada saat bertugas yakni sebanyak 34 orang (56,7%) petugas dari

60 orang, meskipun frekuensi penggunaannya hanya kadang-kadang saja.

91
Berikut distribusi jenis masker yang biasa digunakan oleh petugas di

area basement parkir Mal Blok M dn Poins Square:

Diagram 5.1 Distribusi Petugas berdasarkan Jenis Masker yang


digunakan di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square
Tahun 2016 (n=34)

Masker Kain Masker Medis

38%

62%

Berdasarkan diagram 5.1, dapat diketahui bahwa dari 34 orang

petugas parkir ataupun keamanan yang telah terbiasa menggunakan

masker, terdapat 61,76% petugas terbiasa menggunakan jenis masker

medis.

5. Distribusi Frekuensi Status Merokok pada Petugas di area Basement

Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Status merokok pada penelitian ini diukur melalui kuesioner yang

ditanyakan langsung kepada responden. Variabel ini diukur mengacu pada

standar New Zealand Ministry of Health (2015) yang membagi status

merokok kedalam tiga kategori; 1. Masih Perokok, 2. Bekas / mantan

92
Perokok, 3. Bukan Perokok. Distribusi frekuensi status merokok pada

responden dapat dilihat pada grafik 5.6.

Grafik 5.6 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Status Merokok


di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016
(n=60)
100
90
80
70
60
50 43.3
40 30
30 26.7
20
10
0
Masih Perokok Bekas Perokok Bukan Perokok
Proporsi responden berdasarkan status merokok

Pada grafik diatas diketahui bahwa proporsi status perokok pada

petugas parkir maupun keamanan yang bekerja di area basement parkir

Mal Blok M dan Poins Square ialah 43,3% orang merupakan bukan

perokok. Dari total seluruh petugas yang merokok (masih merokok

ataupun mantan perokok) didapatkan distribusi lama merokok dan rata-

rata jumlah batang rokok yang dihisap per harinya sebagai berikut:

Tabel 5.4 Distribusi Lama Merokok dan Rata-rata Jumlah Rokok


Yang Dihisap Per hari oleh Petugas

No. Variabel Mean Median Min-Max 95% CI n

93
1. Lama 34
11,41 8,50 2-30 8,42-14,40
Merokok
2. jumlah batang 34
9,85 11,00 2-20 7,88-11,82
rokok perhari
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa lama merokok petugas

parkir maupun keamanan yang bertugas di area basement parkir mal Blok

M dan Poins Square memiliki nilai tengah sebesar 8,5 tahun dengan

tingkat kepercayaan 95% berada pada rentang 8,42-14,40. Lama merokok

paling cepat ialah 2 tahun dan paling lama ialah 30 tahun.

Sementara itu, rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per

harinya oleh petugas petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di

area basement parkir mal Blok M dan Poins Square ialah 10 batang

dengan tingkat kepercayaan 95% berada pada rentang 8,42-14,40. Jumlah

batang rokok yang dihisap per hari oleh petugas paling sedikit ialah 2

batang, dan paling banyak ialah 20 batang.

Untuk melihat derajat merokok masing-masing petugas maka

digunakanlah Indeks Brinkman (IB). Indeks Brinkman didapatkan melalui

perhitungan rumus lama tahun merokok dikalikan dengan rata-rata jumlah

batang rokok yang dihisap perharinya. Berikut distribusi status / derajat

merokok pada petugas:

94
Diagram 5.2 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Derajat Merokok
Brinkman Index (BI) di area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square
Tahun 2016 (n=34)

29%
Perokok Ringan (1-199)

Perokok Sedang (200-


599)
71%

Berdasarkan diagram 5.2 diketahui bahwa mayoritas petugas parkir

maupun keamanan yang bekerja di area basement parkir mal Blok M dan

Poins Square merupakan perokok ringan, yakni sebanyak 24 orang

(70,60%) petugas dari 34 orang petugas yang merupakan perokok ataupun

mantan perokok.

6. Distribusi Frekuensi Lama Paparan pada Petugas di area Basement

Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel lama paparan pada penelitian ini diukur dengan

menggunakan kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden

dengan satuan jam/minggu. Mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga

Kerja No. 01 tahun 1997, variabel lama paparan pada penelitian ini

dikategorikan kedalam; 1. > 40 jam/minggu, 2. ≤ 40 jam/minggu.

Distribusi frekuensi lama paparan responden dapat dilihat pada grafik 5.8.

95
Grafik 5.7 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Lama Paparan di area
Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=60)

100
83.3
80

60

40
16.7
20

0
> 40jam/minggu ≤ 40 jam / minggu

Proporsi responden berdasarkan lama jam kerja

Untuk variabel lama paparan, dapat dilihat pada grafik 5.7 diatas,

diketahui bahwa mayoritas petugas parkir maupun keamanan yang bekerja

di area basement parkir mal Blok M dan Poins Square memiliki lama kerja

atau lama paparan > 40 jam/minggu yakni sebanyak 50 orang (83,3%)

petugas dari 60 orang.

7. Distribusi Frekuensi Masa Kerja pada Petugas di area Basement

Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016

Variabel masa kerja pada penelitian ini diukur dengan menggunakan

kuesioner yang juga ditanyakan langsung kepada responden dalam satuan

tahun. Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan

nilai p 0,000 sehingga disimpulkan bahwa data masa kerja petugas tidak

terdistribusi normal (< 0,05). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka

nilai median digunakan sebagai cut of point pada variabel ini dimana

diketahui bahwa nilai median pada variabel ini ialah 10 tahun. Sehingga

kategori masa kerja pada penelitian terbagi menjadi; 1. ≤ 10 tahun, 2. > 10

96
tahun. Distribusi frekuensi masa kerja pada responden dapat dilihat pada

grafik 5.8.

Grafik 5.8 Distribusi Frekuensi Petugas berdasarkan Masa Kerja di


area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016
(n=60)

100

80
61.7
60
38.3
40

20

0
> 10 tahun ≤ 10 tahun
Proporsi responden berdasarkan masa kerja

Berdasarkan grafik 5.8 diketahui bahwa sebagian besar petugas

parkir maupun keamanan yang bekerja di area basement parkir mal Blok

M dan Poins Square saat ini telah bekerja selama ≤ 10 tahun yaitu

sebanyak 37 orang (61,7%) dari 60 orang.

5.3 Analisis Bivariat

Pada penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara variabel jenis kelamin,

penggunaan masker, kebiasaan merokok, lama paparan, dan masa kerja terhadap

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut digunakan analisis uji chi-square.

Sementara untuk mengetahui hubungan antara variabel usia dan konsentrasi PM10

terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut digunakan analisis uji non-

97
parametrik Mann-Whitney dikarenakan data kedua variabel independent tersebut

tidak terdistribusi normal (P value < 0,05).

5.3.1 Hubungan antara Konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir

Mal Blok M dan Poins Square

Hubungan antara konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square dapat dilihat pada tabel 5.12

dibawah ini.

Tabel 5.5 Hubungan antara Konsentrasi PM10 dengan Keluhan


subjektif gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement
parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016 (n=60)

Keluhan subjektif
Frekuensi Mean
No. Variabel gangguan pernapasan P Value
(n) Rank
akut

1. Ada Keluhan 42 33,74


Konsentrasi
0,026
PM10
Tidak Ada Keluhan 18 22,94

Pada tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata konsentrasi PM10 pada petugas

dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut lebih besar dari pada

petugas yang tidak memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut.

Selain itu, berdasarkan hasil uji statistik non parametrik Mann Whitney

didapatkan p value sebesar 0,026 (< 0,05) yang artinya pada α 5% ada

perbedaan rata-rata konsentrasi PM10 yang signifikan antara kelompok petugas

yang memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut dengan yang tidak.

98
5.3.2 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif gangguan
pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M
dan Poins Square
Hubungan antara usia petugas dengan keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada petugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins

Square dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini.

Tabel 5.6 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif


gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok
M dan Poins Square Tahun 2016 (n=60)

Keluhan subjektif
Frekuensi Mean
No. Variabel gangguan P Value
(n) Rank
pernapasan akut

Ada Keluhan 42 33,62


1. Usia 0,034
Tidak Ada Keluhan 18 23,22

Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata usia pada petugas parkir maupun

keamanan dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut lebih besar dari

pada petugas parkir maupun keamanan yang tidak memiliki keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut. Berdasarkan uji statistik non paramterik Mann

Whitney didapatkan p value sebesar 0,034 (< 0,05) sehingga dapat disimpulkan

pada α 5% ada perbedaan rata-rata usia yang signifikan antara kelompok

petugas parkir maupun keamanan yang memiliki keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut dengan kelompok petugas yang tidak memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut.

99
5.3.3 Hubungan antara Variabel Independen Jenis Kelamin, Penggunaan
APD (Masker), Status Merokok, Lama Paparan, dan Masa Kerja
dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada Petugas di
area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016
Hubungan antara jenis kelamin, penggunaan APD (masker), kebiasaan

merokok, dan lama paparan dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut pada petugas di area basement parkir mal Blok M dan Poins Square

dapat dilihat pada tabel 5.7 dibawah ini.

Tabel 5.7 Hubungan antara jenis kelamin, penggunaan APD (masker),


status merokok, lama paparan, dan masa kerja dengan keluhan subjektif
gangguan pernapasan akut pada petugas di area basement parkir Mal Blok
M dan Poins Square (n=60)

Keluhan subjektif
gangguan
pernapasan akut Total OR P
No. Variabel Kategori
(95% CI) Value
Ya Tidak

n % n % n %

Penggunaan Tidak
27 84,4 5 15,6 32 100 4,680
1. APD Menggunakan 0,021
(masker) (1,397-15,68)
Menggunakan 15 53,6 13 46,4 28 100

Masih perokok 10 62,5 6 37,5 16 100

Mantan
Status 12 66,7 6 33,3 18 100
2. Perokok - 0,572
Merokok
Bukan
20 76,9 6 23,1 26 100
Perokok

>NAB (40
Lama 38 76 12 24 50 100 4,750
3. jam/minggu) 0,052
Paparan (1,146-19,69)
≤ NAB (40 4 40 6 60 10 100

100
jam / minggu)

> 10 tahun 21 91,3 2 8,7 23 100 8,000


4. Masa Kerja 0,011
≤ 10 tahun 21 56,8 16 43,2 37 100 (1,632-39,21)

Hasil analisis statistik yang disajikan dalam tabel 5.7 menunjukkan bahwa

pada 42 orang petugas yang memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut terdapat 27 orang petugas (84,4%) petugas yang tidak terbiasa

menggunakan masker dan 15 orang (53,6%) petugas yang terbiasa

menggunakan masker. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan p

value 0,021 (< 0,05), artinya pada α 5% terdapat hubungan yang bermakna

antara penggunaan masker dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut

pada petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area basement parkir

Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016. Hasil analisis keeratan hubungan

antara kedua variabel tersebut menunjukkan nilai OR 4,680 (95% CI; 1,397-

15,68) yang artinya petugas yang tidak terbiasa menggunakan masker saat

bekerja memiliki risiko 4,680 kali lebih besar terkena ISPA ringan

dibandingkan dengan petugas yang telah terbiasa menggunakan masker saat

bekerja.

Kemudian pada tabel 5.7, diketahui bahwa pada 42 orang petugas dengan

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut terdapat 10 orang (62,5%) petugas

dengan status masih perokok, 12 orang (66,7%) petugas merupakan mantan

perokok, dan 20 orangp(76,9%) petugas bukan perokok. Berdasarkan hasil uji

statistik chi square didapatkan p value sebesar 0,572 (> 0,05) yang artinya

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status perokok dengan keluhan

101
subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas parkir maupun keamanan

yang bertugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun

2016.

Untuk variabel lama paparan didapatkan bahwa pada 42 orang petugas

yang memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut, terdapat 38 orang

(76%) petugas bekerja lebih dari 40 jam / minggu dan hanya 4 orang (40%)

petugas yang bekerja ≤ 40 jam / minggu. Hasil uji statistik chi square

menunjukkan p value 0,052 (> 0,05) yang artinya pada α 5% tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas parkir maupun keamanan yang

bertugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

Sedangkan pada variabel masa kerja diketahui bahwa pada 42 orang

petugas dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut, terdapat 21 orang

(91,3%) petugas yang telah bekerja >10 tahun sementara terdapat 21 orang

(56,8%) petugas yang bekerja ≤ 10 tahun. Hasil uji statistik chi square

menunjukkan p value 0,011 (> 0,05) yang artinya pada α 5% terdapat

hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas parkir maupun keamanan yang

bertugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016.

Hasil analisis keeratan hubungan kedua variabel tersebut menunjukkan nilai

OR 8,000 (95% CI; 1,632-39,21) yang artinya petugas dengan masa kerja > 10

tahun memiliki risiko 8 kali lebih besar terkena ISPA ringan dibandingkan

petugas yang bekerja ≤ 10 tahun.

102
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Pengukuran per-titik tidak dapat dilakukan dalam jam yang sama

dikarenakan keterbatasan jumlah alat yang akhirnya berdampak pada

tingkat suhu dan kelembaban pada area tersebut. Sementara, suhu dan

kelembaban merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

konsentrasi PM10 di udara, sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian

ini. Hal tersebut diminimalisir dengan mengambil rentang pengukuran di

seluruh titik pada jam-jam dengan jumlah kendaraan masuk yang padat.

2. Pada variabel status merokok tidak ditanyakan terkait jenis rokok apa yang

biasanya dikonsumsi. Sementara jenis rokok baik filter ataupun non-filter

memiliki besar pengaruh yang berbeda-beda terhadap timbulnya gangguan

pernapasan sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.

3. Pengukuran konsentrasi PM10 tidak dapat dilakukan pada saat weekend

dimana jumlah pengunjung dan kendaraan masuk lebih banyak

dibandingkan saat weekdays. Hal tersebut berdampak pada tingkat

konsentrasi PM10 yang didapat pada lokasi penelitian yang cenderung

lebih kecil dari Nilai Ambang Batas.

103
6.2 Distribusi Frekuensi Keluhan subjektif gangguan pernapasan akut Pada

Petugas di Area Basement Parkir Mal Blok M dan Poins Square

Menurut Kemenkes (2012) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

merupakan penyakit infeksius yang menyerang saluran pernapasan mulai dari

hidung hingga ke alveoli serta organ adneksanya dan dapat berlangsung hingga

14 hari. ISPA dapat disebabkan oleh paparan bakteri, virus, ricketsia hingga

jamur. Selain itu, faktor lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, dan

polutan di udara lainnya turut memperparah dan dapat menyebabkan timbulnya

ISPA. Meskipun periode lamanya penyakit ini terbilang cepat, namun apabila

gejala-gejala yang timbul diabaikan maka dapat memperpanjang durasi sakit

dan dapat mengarah ke pneumonia, otitis media hingga Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK) (Krishna, 2013).

Klasifikasi ISPA berdasarkan tingkat keparahannya ialah terbagi menjadi

ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Gejala yang dapat timbul ketika

terkena ISPA ringan diantaranya ialah batuk (tanpa pernapasan cepat < 40

kali/menit), pilek (keluarnya cairan dari rongga hidung), serak (suara parau)

yang disertai atau tanpa disertai demam (suhu tubuh > 37oC), serta keluarnya

cairan dari telinga tanpa rasa sakit (Ditjen P2MPL, 2009). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa mayoritas (70%) petugas parkir dan keamanan di area

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square tahun 2016 memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut sesuai dengan gejala yang disebutkan oleh

Ditjen P2MPL (2009). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kasus ISPA

104
memang dapat ditemukan pada petugas yang bekerja di area parkir basement

mal.

Sebagaimana bila ditinjau dari segi fungsi dan kondisi area basement

parkir sendiri merupakan area dengan kondisi terisolasi dan merupakan tempat

berlalulalangnya kendaraan bermotor untuk parkir sehingga kualitas udara di

tempat tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu kondisi kesehatan pekerja di

sana.

Penelitian ini juga membuktikan bahwa petugas parkir maupun petugas

keamanan di area basement parkir mal merupakan petugas yang rentan terkena

ISPA ditunjukkan dengan proporsi keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut pada masing-masing petugas parkir (68,97%) dan keamanan (70,97%)

yang telah melebihi 50% dari total petugas. Meskipun proporsi keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut pada kedua mal hampir merata, namun

diketahui bahwa proporsi petugas di mal Blok M yang terkena ISPA ringan

lebih banyak dibandingkan dengan proporsi petugas yang memiliki keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut di Poins Square. Perbedaan tersebut dapat

disebabkan karena lebih tingginya rata-rata konsentrasi PM10 pada mal Blok

M dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi PM10 pada Poins Square. Hal

tersebut dikarenakan terdapat beberapa sistem Exhaust Air Ducting (EAD) dan

Fresh Air Ducting (FAD) di area parkir basement mal Blok M yang dinyalakan

secara bergantian guna mengehemat listrik, sehingga sirkulasi udara dalam area

basement parkir tersebut kurang dibandingkan dengan sirkulasi udara pada

basement parkir Poins Square.

105
Kemudian bila dilihat dari segi profesi petugas, didapatkan bahwa

81,80% petugas keamanan memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut sementara proporsi keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas parkir sebanyak 63,16%. Meski selisih persentase tidak terlalu besar,

namun diperkirakan bahwa perbedaan ini dikarenakan proporsi petugas

keamanan (68,2%) yang memiliki usia diatas 29 tahun lebih besar

dibandingkan proporsi petugas parkir (31,6%) yang memiliki usia diatas 29

tahun. Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Guyton & Hall (2008) yang

menyebutkan bahwa rata-rata pada usia 30-40 tahun seseorang akan

mengalami penurunan fungsi paru dimana kondisi tersebut akan bertambah

buruk dengan keadaan lingkungan yang berdebu dan faktor lainnya seperti

kebiasaan merokok dan lainnya. Didukung dengan teori yang dijelaskan oleh

Darmojo (2011) dimana dikatakan bahwa sistem respirasi sudah mencapai

kematangan pertumbuhan pada sekitar usia 20-25 tahun dan setelah itu akan

mulai menurun fungsinya mulai pada usia 30 tahun.

Berdasarkan distribusi gejala penyerta ISPA ringan, selanjutnya hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 59,5% petugas memiliki keluhan

batuk baik berdahak ataupun kering yang dirasakan tanpa pernapasan cepat.

Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul akibat adanya iritasi

percabangan trakeabronkial ataupun pada laring. Batuk berdahak muncul

akibat adanya reaksi terhadap alergen atau virus yang masuk ke dalam

tenggorokan dan mengiritasi sel-sel epitel mukosa saluran napas sehingga

fungsi sel dan gerak silia akan terganggu (Sari, 2013). Batuk kering biasanya

106
timbul akibat adanya zat iritan yang masuk sehingga tidak menimbulkan

adanya sekret, ataupun muncul pada saat fase terakhir dari pilek yang

disebabkan oleh infeksi virus.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan terdapat 66,7% petugas

memiliki keluhan pilek / hidung tersumbat. Proporsi keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut terbanyak pada petugas ialah keluhan pilek / hidung

tersumbat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena tingginya konsentrasi

PM10 pada beberapa area di basement parkir.

Sebagaimana diketahui bahwa organ pernapasan pertama yang dilalui

oleh udara yang dihirup seseorang ialah rongga hidung. Di dalam rongga

hidung, udara yang masuk akan mengalami tigas proses yakni filtrasi /

penyaringan dari partikulat debu dan lainnya, penghangatan dan pengaturan

kelembaban (Mikrajuddin, Saktiyono, & Lutfi, 2007). Proses filtrasi

mengandalkan rambut-rambut halus atau silia yang terletak pada permukaan

saluran napas yang dapat mengeluarkan mukus. Jika konsentrasi debu PM10

yang masuk atau terhirup dalam jumlah yang banyak dan secara terus-menerus,

maka sistem pertahanan pertama mukosiliar ini akan terganggu sehingga akan

terjadi penumpukan partikulat pada rongga hidung. Penumpukan tersebut

selanjutnya dapat mengiritasi sel-sel epitel mukosa sehingga fungsi sel dan

gerak silia makin terganggu (Sari, 2013).

Ketika sistem pertahanan sudah terganggu maka respon imunologis akan

keluar dari rongga hidung berupa lendir (mukus) dengan tujuan untuk

107
mengeluarkan zat asing tersebut (Pujiarto, 2014). Zat-zat yang sifatnya alergen

seperti debu, serbuk sari, bulu binatang peliharaan dapat memicu timbulnya

pilek atau disebut rhinitis alergi. Sedangkan pilek yang disebabkan oleh infeksi

virus biasa disebut selesma (common cold) dan influeza. Keduanya termasuk

dalam rhinitis virus namun memiliki jenis virus yang berbeda. Selesma biasa

diakibatkan oleh infeksi rhinovirus, sedangkan influeza disebabkan oleh virus

influeza. Keduanya memiliki gejala yang hampir mirip.

Dalam penelitian ini juga menunjukkan terdapat 61,9% petugas

mengeluhkan timbulnya suara serak / parau yang disertai atau tanpa disertai

demam. Suara serak dapat timbul akibat adanya iritasi atau peradangan pada

tenggorokan karena adanya infeksi bakteri, virus atau alergen lainnya.

Kemudian 21,4% petugas juga mengeluhkan keluarnya cairan dari telinga

tanpa rasa sakit. Keluarnya cairan dari telinga diakibatkan adanya sekret

berlebih pada rongga nasofaring (rongga di belakang lubang hidung) dan

menyebabkan fungsi tuba eustachius dapat terganggu sehingga terbentuk

cairan dalam rongga telinga tengah akibat refluks tersebut. Biasanya hal

tersebut diakibatkan karena flu / pilek dengan durasi yang lama atau adanya

radang tenggorokan yang menyebar melalui saluran eustachius (Hapsari,

2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil telaah daftar hadir petugas,

dimana didapatkan selama bulan Desember tahun 2016 terdapat 26 orang

petugas yang izin untuk tidak masuk karena sakit. Sejauh ini, penanganan

keluhan ISPA pada petugas bersifat kuratif. Dalam Permenaker no. 48 tahun

108
2016 dijelaskan bahwa penanganan penyakit di suatu perusahaan paling sedikit

meliputi pertolongan pertama pada penyakit dan mekanisme rujukan ke

fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara,

diperoleh informasi bahwa pertolongan pertama pada penyakit (dalam hal ini

penggunaan kotak P3K) berada pada masing-masing unit kerja salah satunya

pada kantor pos keamanan. Sehingga apabila ada petugas yang mengalami

sakit ringan seperti diare, flu dan batuk dapat mengambil persediaan obat

dalam kotak P3K. Selanjutnya diatur dalam hasil Konvensi ILO No. 120

dimana disebutkan bahwa setiap badan, lembaga atau kantor jasa, atau

bagiannya yang tunduk pada konvensi No. 120 harus memelihara persediaan

obat atau pos P3K. Selain itu, seluruh petugas juga telah memiliki jaminan

kesehatan berupa kartu BPJS sehingga bila mereka merasa ada keluhan

terhadap kesehatan mereka maka kartu BPJS dapat dengan mudah mereka

gunakan.

Lebih lanjut dalam Permenaker No. 48 tahun 2016, dijelaskan bahwa

pencegahan penyakit di perkantoran / tempat kerja paling sedikit meliputi

pengendalian faktor risiko dan penemuan dini kasus penyakit serta penilaian

status kesehatan. Berdasarkan pengamatan didapatkan bahwa lokasi atau area

kerja petugas pada basement parkir di kedua mal yang dijadikan lokasi

penelitian sudah melakukan upaya pengendalian faktor risiko yakni

pengendalian teknis atau rekayasa dengan menggunakan exhaust air ducting

untuk udara keluar dan fresh air ducting untuk udara masuk. Selain itu, upaya

pengendalian risiko lainnya yang sudah diterapkan yakni pengendalian

109
administratif yaitu job rotation, namun upaya ini hanya dilakukan pada

beberapa petugas saja seperti kepala siaga ataupun kepala regu. Sehingga

diharapkan perusahaan dapat memberlakukan job rotation ini pada seluruh

petugas. Sementara itu upaya yang terakhir yaitu penggunaan alat pelindung

diri belum dapat difasilitasi oleh perusahaan. Oleh karena itu diharapkan

perusahaan dapat meyediakan masker untuk petugas guna meminimalisir

paparan debu partikulat PM10.

Sementara itu upaya lainnya seperti penemuan dini kasus penyakit dan

penilaian status kesehatan belum dapat dilakukan oleh perusahaan. Salah satu

dari upaya tersebut yaitu pemeriksaan kesehatan berkala paling sedikit

dilakukan 1 (satu) kali setahun. Berdasarkan hasil wawancara, upaya tersebut

pernah dilakukan namun tidak secara berkala dan sudah dilakukan dalam

waktu yang sangat lama. Untuk menghindari komplikasi ISPA menjadi

penyakit yang lebih serius seperti PPOK atau penurunan fungsi paru,

diharapkan perusahaan dapat menerapkan pemeriksaan kesehatan secara

berkala dalam waktu minimal 1 tahun sekali kepada seluruh petugas mengingat

banyaknya proporsi petugas yang memiliki keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut.

6.3 Hubungan Konsentrasi PM10 dengan Keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan

Poins Square

Kualitas udara yang kotor akibat adanya pencemaran sangat erat

hubungannya dengan kejadian penyakit ISPA (Fitria dkk , 2008; Mundilarto &

110
Istiyono, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan, Hananto & Lasut

(2016), menemukan korelasi yang sangat kuat (0,779) antara kenaikan Indeks

Standar Pencemaran Udara (ISPU) dengan kasus ISPA.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata konsentrasi PM10 di area kerja

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square sebesar 0,092 mg/m3 dan memiliki

nilai tengah sebesar 0,073 mg/m3. Konsentrasi terkecil pada area kerja tersebut

sebesar 0,055 mg/m3 sementara konsentrasi terbesar ialah 0,157 mg/m3. Jika

dibandingkan dengan standar Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk

parameter PM10 sendiri masih terbilang aman karena batas yang ditentukan pada

udara ambien sebesar 0,150 mg/m3. Sementara hanya terdapat satu titik area kerja

yang memiliki konsentrasi diatas standar.

Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara konsentrasi PM10 dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

responden. Hal tersebut dapat disebabkan karena standar baku mutu yang

digunakan merupakan standar baku mutu udara ambien yang artinya belum

spesifik menuju standar kualitas udara di area kerja basement. Mengingat kondisi

area basement yang sangat tertutup, terlebih hasil pengukuran suhu pada area

basement parkir menunjukkan angka yang telah melampaui standar sehingga akan

berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 di area ini. Hasil peneltian ini sesuai

dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa salah satu faktor risiko

terjadinya ISPA ialah polutan di udara (Fitria dkk , 2008; Mundilarto & Istiyono,

2007) yang khususnya ialah konsentrasi PM10 (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana,

2010 (p = 0,045); Lindawaty, 2010 (p = 0,000).

111
Berdasarkan ukuran aerodinamiknya, PM10 merupakan partikulat pencemar

yang mudah tersuspensi dalam waktu yang cukup lama di udara sehingga

kecenderungan pekerja untuk menghirup udara yang mengandung partikulat ini

lebih besar dibandingkan partikulat dengan ukuran aerodinamik lainnya. Ketika

terhirup, partikulat akan mengiritasi sel epitel mukosiliar pada rongga hidung

sehingga menimbulkan respon imunologis berupa pengeluaran mukus (lendir)

yang dapat disebut rhinitis allergy. Ketika partikulat masuk ke organ lebih dalam

maka akan menimbulkan iritasi pada organ pernapasan lainnya dan menimbulkan

respon imunologis lainnya seperti batuk, sakit tenggorokkan hingga demam.

Kumpulan gejala tersebut merupakan gejala gangguan pernapasan akut.

Bila dianalisis berdasarkan area titik lokasi pekerja, didapatkan hasil

pengukuran konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi

yaitu suhu dan kelembaban udara sebagai berikut:

Tabel 6.1 Distribusi Konsentrasi PM10, Suhu Dan Kelembaban Udara

Berdasarkan Area Kerja Petugas

Titik Konsentrasi PM10 Suhu Kelembaban


Area Kerja (%)
Pengukuran (mg/m3) (oC)
Parkir Basement A1 Mal 0,066 31,98 53,0
P1
Blok M
Parkir Basement A2 Mal 0,157 38,46 45,3
P2
Blok M
Parkir Basement B1 Mal 0,078 31,75 51,5
P3
Blok M
Parkir Basement B2 Mal 0,119 30,90 49,5
P4
Blok M
Parkir Basement B1 Poins
P5 Square (Area Kerja 0,068 33,35 47,3
Petugas Keamanan / Pintu

112
Masuk Basement)

Titik Konsentrasi PM10 Suhu Kelembaban


Area Kerja (%)
Pengukuran (mg/m3) (oC)
Parkir Basement B1 Poins
P6 Square (Loket Keluar / 0,055 32,96 54,8
Area Kerja Petuga Parkir)
Parkir Basement B2 Poins
P7 Square (Area Kerja 0,115 32,47 45,3
Petugas Parkir)
Parkir Basement B2 Poins
P8 Square (Area Kerja 0,118 34,15 41,3
Petugas Keamanan)
Dari tabel diatas diketahui bahwa konsentrasi PM10 yang melebihi Nilai

Ambang Batas yang telah ditetapkan terdapat pada titik pengukuran P2. Setelah

dilakukan analisis lebih lanjut didapatkan bahwa pada area tersebut memiliki

derajat suhu udara area kerja paling tinggi (38,46oC) dibandingkan area kerja

lainnya. Meskipun memang seluruh area kerja jika dibandingkan dengan standar

yang telah ditetapkan melalui Permenkes No. 48 tahun 2016 (21-26oC) dan SNI

03-6572-2001 (22,8oC - 25,8oC) dapat dikatakan telah melampaui standar yang

ditetapkan. Sementara kelembaban pada beberapa area pengukuran juga telah

melampaui standar yang ditetapkan berdasarkan SNI 03-6572-2001 (40%-50%),

namun pada area pengukuran P2 masih terbilang aman.

Perbedaan tinggi / rendahnya suhu dan kelembaban udara pada masing-masing

area parkir basement dikarenakan sistem EAD dan FAD yang tidak stabil. Pada

saat dilakukan pengukuran di area dengan suhu dan konsentrasi tinggi seperti titik

P2, sistem Exhaust Air Ducting / EAD menyala namun untuk sistem Fresh Air

Ducting / FAD tidak menyala. Sehingga sirkulasi udara dari luar tidak dapat

113
masuk ke area ini, maka suhu menjadi lebih tinggi dan mengakibatkan partikulat

PM10 semakin aktif bergerak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Mikrajuddin,

Saktiyono, & Lutfi (2007) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu udara

maka gerakan partikel suatu zat akan semakin aktif. Partikel dalam wujud padat

seperti debu PM10 memiliki gerakan partikel yang terbatas hanya pada gerakan

ditempatnya (bergetar). Ketika suhu dinaikkan pada suhu tinggi maka gerakan

partikelnya akan semakin lincah sehingga akan lebih banyak tersuspensi di udara.

Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PM10 yang tertangkap akan semakin

tinggi. Apabila suhu udara terus dinaikkan maka pada suhu tertentu gaya tarik

antar partikel tidak dapat menahan partikel untuk tetap pada posisinya yang

akibatnya partikel akan bergerak bebas dan meninggalkan posisinya. Kondisi

tersebutlah yang mengakibatkan konsentrasi PM10 yang tertangkap pada suatu

area akan menjadi rendah. Diasumsikan bahwa partikulat dapat berpindah posisi

pada suhu panas jika dipengaruhi oleh kecepatan angin seperti pada udara

ambien. Namun hasil pengukuran kecepatan angin pada area kerja ini

menunjukkan nilai sebesar 0,0 m/s. Sehingga dalam penelitiannya ini, kecepatan

angin tidak dapat mempengaruhi konsentrasi PM10 pada lokasi penelitian.

Selain itu, konsentrasi PM10 pada penelitian ini juga dapat dipengaruhi oleh

kelembaban udara di area parkir basement. Hasil pengukuran kelembaban udara

menunjukkan bahwa area dengan konsentrasi PM10 tinggi (> 0,073 mg/m3

(median)) seperti pada titik P2, P4, P7, dan P8 memiliki kelembaban lebih rendah

dibandingkan pada area lainnya dan jika dibandingkan dengan standar SNI 03-

114
6572-2001 keempat area pengukuran tersebut memang masih terbilang aman,

sementara pada area lainnya dengan konsentrasi ≤ median (0,073 mg/m3)

didapatkan nilai kelembaban yang tinggi atau telah melampaui standar.

Hasil pengukuran tersebut sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Depkes RI

(1990) bahwa pada kelembaban udara yang tinggi kadar uap air di udara akan

bereaksi dengan polutan di udara. Uap air pada udara akan mengikat polutan di

udara seperti debu dan kemudian akan menangkap kembali partikel polutan

lainnya sehingga beberapa bahan pencemar tersebut akan membentuk partikel

yang berukuran lebih besar dan menjadi lebih mudah mengendap ke permukaan

bumi oleh gaya tarik bumi. Apabila partikel mengendap pada permukaan bumi

maka konsentrasi yang tertangkap pada udara suspensi akan semakin kecil.

Selain pengaruh suhu dan kelembaban area kerja, kepadatan jumlah kendaraan

yang parkir di masing-masing area tersebut juga kemungkinan dapat

mempengaruhi tingkat konsentrasi PM10. Penelitian yang dilakukan oleh Huboyo

dkk (2016) menemukan adanya peningkatan konsentrasi debu yang linier dengan

peningkatan jumlah kendaraan yang parkir di area basement Mal X Semarang.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah kendaraan yang parkir di area

konsentrasi rendah (P! Dan P3) jauh lebih sedikit dibandingkan pada area

konsentrasi tinggi (P2 dan P4). Hal tersebut dikarenakan lahan parkir pada area P3

dibatasi oleh area office sehingga sebagian area parkir di lantai tersebut dilarang

untuk digunakan. Sementara itu, area parkir P1 merupakan titik yang paling

115
dahulu dilakukan pengukuran di Mal Blok M, dimana mobilisasi kendaraan belum

terlalu ramai2dibandingkan pengukuran pada area titik lainnya.

Sedangkan hal yang berbeda terjadi di lokasi pengukuran Poins Square dimana

kepadatan kendaraan pada seluruh area parkir basement pada saat dilakukan

pengukuran sama rata. Sehingga faktor suhu dan kelembabanlah yang

menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi pada masing-masing titik

pengukuran di Poins Square.

Dalam upaya pengendalian faktor risiko gangguan kesehatan yang dapat terjadi

pada petugas parkir maupun keamanan yang bekerja di area basement, kedua mal

yang dijadikan sampel penelitian telah melakukan upaya pengendalian teknis /

engineering control yakni berupa penggunaan Exhaust Air Ducting (EAD)dan

Fresh Air Ducting (FAD) yang telah terpasang di setiap lantai basement parkir.

Fungsi dari EAD itu sendiri ialah untuk membuang udara dari dalam lahan parkir

basement keluar area tersebut. Sedangkan FAD berfungsi untuk mengalirkan

udara dari luar untuk masuk ke dalam area basement parkir agar terjadi pertukaran

udara. Meskipun instalasi ducting ini telah berjalan, namun berdasarkan informasi

diketahui bahwa terdapat beberapa lantai area parkir basement pada satu mal yang

kondisi EAD dan FAD nya tidak digunakan secara berkala guna menghemat

aliran listrik sehingga sirkulasi udara pada area basement menjadi kurang.

Kemudian jika dilihat hasil pengukuran suhu didapatkan hasil yang telah

melampaui standar pada seluruh area pengukuran. Menurut Mikrajuddin,

Saktiyono, & Lutfi (2007) suhu udara yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi

polutan pada udara tersuspensi. Maka dari itu perlu dilakukan pengendalian untuk

116
menekan tingginya suhu pada area kerja basement parkir salah satunya melalui

penggunaan sistem ventilasi mekanik seperti Fresh Air Ducting dan Exhaust Air

Ducting secara aktif. Hasil Konvensi ILO No. 120 pasal 8 mengatur bahwa semua

bangunan-bangunan yang digunakan oleh pekerja-pekerja harus mempunyai

ventilasi yang cukup dan sesuai, bersifat alami ataupun buatan atau kedua-duanya

yang memberi udara segar (Suma’mur, 1996).

Lebih lanjut diatur dalam SNI 03-6572-2001 bahwa sistem ventilasi mekanik

harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni. Selain berfungsi untuk

membuang udara kotor dari area basement parkir keluar, ventilasi mekanik juga

berfungsi untuk menstabilkan sirkulasi udara agar udara lebih sejuk dan nyaman.

Sebagaimana hal yang diatur dalam hasil Konvensi ILO No. 120 pasal 10 dimana

disebutkan bahwa suhu yang nyaman dan tetap harus dipertahankan dalam

bangunan yang dipergunakan oleh pekerja-pekerja (Suma’mur, 1996). Lebih

lanjut dalam SNI 03-6572-2001 ditentukan bahwa dengan temperatur ≥ 27oC

diperlukan kecepatan angin sebesar 0,35 m/s agar lingkungan menjadi lebih sejuk

dan nyaman. Artinya, untuk menekan suhu yang tinggi pada area kerja, maka

diperlukan kecepatan angin minimal 0,35 m/s pada area tersebut salah satunya

dengan memanfaatkan sistem ventilasi mekanik Fresh Air Ducting / FAD yang

telah terpasang dan digunakan secara aktif selama jam operasional basement

tersebut. Kemudian untuk nilai pertukaran udara / jam atau Air Change Ratio

(ACH) yang dianjurkan pada tempat parkir berdasarkan SNI tersebut ialah sebesar

6 ACH.

117
Selain itu, mengingat pola rotasi kerja pada petugas yang tidak fleksibel

dimana hanya beberapa petugas saja yang mendapatkan rotasi kerja dari basement

ke area lain, maka diharapkan perusahaan dapat memberlakukan job rotation pada

seluruh petugas sehingga paparan PM10 dengan jumlah besar pada area basement

parkir dapat diminimalisir. Penyediaan masker untuk petugas juga perlu dilakukan

untuk meminimalisisr paparan debu PM10 tersebut. Dalam hal ini masker dengan

standar respirator N95 merupakan jenis masker yang direkomendasikan oleh

NIOSH untuk paparan partikulat debu PM10 (CDC, 2016). N95 merupakan kelas

filter pada respirator yang direkomendasikan NIOSH dengan spesifikasi untuk

perlindungan terhadap paparan partikulat non-oil (N: Not resistant to oil) yang

95% dapat menyaring partikulat hingga ukuran 0,3 mikron (NIOSH, 1996).

Namun mengingat kondisi lahan parkir basement yang sangat tertutup (indoor)

dan dengan suhu di atas standar yang ditentukan, maka dikhawatiran pekerja akan

merasakan kesulitan untuk bernafas jika harus menggunakan masker jenis

tersebut. Seperti yang disebutkan oleh Washington State Department of Health

(2014) dan Ministry of Health Singapore ( 2016) bahwa masker N95 sebaiknya

digunakan hanya di luar ruangan dengan kadar oksigen minimal 19% (Setiadi,

2015). Sehingga pada kasus ini, disarankan untuk menggunakan surgical mask,

yang meskipun tidak 95% dapat menyaring partikulat ukuran ≤10 mikron namun

setidaknya dapat mengurangi paparan debu di lingkungan kerja. Alternatif lainnya

yang dapat dilakukan untuk meminimalisir konsentrasi debu di area basement

parkir ialah dengan meletakkan tanaman penjerap debu. Menurut hasil peneltian

Suchesdian (2013), selain bernilai estetika, tanaman hias jenis Heliconia, Pandan

118
Kuning, Rowelia Tegak, Sanseviera trifasciata / lidah mertua dan Kaca Piring

juga mampu menjerap debu yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Heliconia

mampu menjerap debu sebanyak 53,73 mg/hari dan merupakan tanaman dengan

tingkat serap paling tinggi diantara keempat jenis tanaman lainnya.

6.4 Hubungan antara Usia Petugas dengan Keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan

Poins Square

Usia merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi

timbulnya keluhan subjektif gangguan pernapasan akut. Usia dapat

mempengaruhi seseorang dalam aktivitas yang dilakukan pada kesehariannya.

Selain itu juga dapat mempengaruhi kondisi fungsi organ paru yang ditunjukkan

dengan nilai kapasitas vital parunya.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rata-rata usia petugas parkir

maupun keamanan yang bekerja di area basement parkir Mal Blok M dan Poins

Square ialah 33 tahun dengan nilai tengah yaitu 29 tahun. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa rata-rata usia petugas yang memiliki keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut ialah 34 tahun sedangkan rata-rata usia pada petugas

tanpa keluhan subjektif gangguan pernapasan akut ialah sebesar 23 tahun.

Secara statistik didapatkan bahwa perbedaan tersebut signifikan sehingga

disimpulkan bahwa pada α 5% terdapat hubungan yang bermakna antara usia

dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut ( p value 0,034 < 0,05). Hal

tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Noer & Martiana

119
(2013) (p= 0,017) dan Daroham & Mutiatikum (2009) (p = 0,000). Fitriyani

(2011) menyebutkan bahwa seorang pekerja yang semakin tua maka kapasitas

vital parunya akan semakin menurun karena adanya kemunduran fungsi organ,

sehingga lebih rentan terhadap paparan polutan yang berakibat pada timbulnya

gangguan pernapasan.

Melalui teori tersebut maka diasumsikan bahwa semakin bertambahnya usia

seseorang maka kerentanan terhadap efek paparan akan semakin meningkat. Hal

tersebut juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas kesehariannya termasuk

kecenderungan untuk merokok yang dapat memperparah kondisi fungsi parunya.

Pada penelitian ini, didapatkan bahwa 44,4% petugas yang berusia diatas 29 tahun

(median) memiliki status masih merokok, sementara untuk kelompok petugas

dengan usia kurang dari 29 tahun dan yang masih merokok hanya sebesar 12%.

Terlebih bila dilihat berdasarkan derajat merokoknya, kelompok pekerja dengan

usia diatas 29 tahun yang merupakan perokok sedang sebanyak 40%, sementara

kelompok pekerja dengan usia dibawah 29 tahun yang merupakan perokok sedang

hanya sebesar 14%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gold et al

(2005) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan dosis-respon antara kebiasaan

merokok dengan rendahnya level FEV1/FVC dan FEF 25-75%. Hal ini

membuktikan bahwa dengan usia yang semakin tua, diperparah dengan kondisi

lingkungan seperti paparan polutan dan kebiasaan merokok maka akan

meningkatkan risiko seseorang untuk terkena gangguan pernapasan akut.

Selain itu, pada dasarnya pengaruh usia terhadap gangguan pernapasan juga

dipengaruhi oleh imunitas atau daya tahan tubuh seseorang. Menurut Mukono

120
(2003) pada usia 18-21 tahun pertumbuhan paru dan imunitas seseorang sedang

mencapai tingkat yang sangat baik, sehingga risiko untuk terkena gangguan

saluran pernapasan dan penyakit infeksi lainnya cenderung rendah. Didukung

dengan teori yang dijelaskan oleh Nelson & William (2007) yang mengungkapkan

bahwa risiko ISPA lebih tinggi dan rentan terjadi pada kelompok umur kurang

dari 1 tahun dan kelompok umur lebih dari 24 tahun. Pada usia kurang dari 1

tahun sistem kekebalan tubuh seseorang belum terbentuk sempurna, sementara

pada usia lebih dari 24 tahun aktivitas individu umumunya sering dilakukan di

luar rumah sehingga risiko terpapar udara yang mengandung agen infeksius lebih

tinggi.

6.5 Hubungan Penggunaan APD (Masker) dengan Keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal

Blok M dan Poins Square

Untuk mengurangi dampak bahaya kerja atau hazard terhadap seorang

pekerja terdapat beberapa cara untuk mengontrol bahaya tersebut yaitu dengan

mengontrol sumber, kontrol administratif dan penggunaan alat pelindung diri

(APD) (OSHA, 2003). APD merupakan suatu alat yang memiliki kemampuan

untuk melindungi seseorang dengan mengsiolasi sebagian atau seluruh tubuh dari

potensi hazard (Permenakertrans No. 8 tahun 2010). APD memang tidaklah dapat

melindungi tubuh dari paparan seutuhnya, namun dapat mengurangi atau

memperlambat tingkat pajanan yang terjadi (Odjak Turnip dalam Fitriyani, 2011).

Masker merupakan salah satu jenis APD yang fungsinya ialah untuk

melindungi sistem pernapasan (Kemenakertrans RI, 2010). Hasil penelitian

121
menunjukkan bahwa pada α 5% terdapat hubungan yang bermakna antara

penggunaan APD masker dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut

pada petugas parkir maupun keamanan di area basement parkir mal Blok M dan

Poins Square. Lebih lanjut penelitian ini menemukan bahwa petugas yang tidak

terbiasa menggunakan masker 4,7 kali lebih nerisiko terkena gangguan

pernapasan akut dibandingkan dengan petugas yang telah terbiasa menggunakan

masker. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2011) yang

menyatakan bahwa pekerja yang terpapar debu partikulat dan tidak terbiasa

menggunakan masker mempunyai peluang berisiko 3 kali lipat mengalami ISPA

dibandingkan dengan petugas yang tidak terbiasa menggunakan APD masker.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masih terdapat 43,3% petugas

yang belum terbiasa menggunakan masker di area kerja. Hasil wawancara

mengungkapkan bahwa alasan mereka tidak menggunakan masker ialah karena

petugas merasa sedikit tidak nyaman ketika berhadapan dengan pengunjung mal

saat mereka sedang mengenakan masker. Menurut Pey dalam Sudiman (2005)

perilaku penggunaan APD seperti masker sangat dipengaruhi oleh sikap dari

pekerja sementara sikap pekerja tersebut akan sangat dipengaruhi oleh

pengetahuannya. Sementara itu, berdasarkan informasi lebih lanjut diketahui

bahwa hingga saat ini belum ada kajian atau edukasi kepada petugas terkait

pentingnya penggunaan masker dengan risiko kerja pada lahan basement parkir.

Sedangakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 tahun 2016 diatur bahwa

perusahaan wajib melaksanakan peningkatan kesehatan kerja salah satunya ialah

dengan peningkatan pengetahuan kesehatan kerja. Sehingga diharapkan

122
perusahaan dapat memberikan kajian informasi dan edukasi (KIE) terkait

pentingnya penggunaan masker saat bekerja pada area berdebu dan dampak

kesehatan yang dapat timbul apabila terabaikan.

Jika dilihat distribusi jenis masker yang biasa digunakan oleh petugas,

diketahui bahwa 38,24% petugas menggunakan jenis masker kain dan 61,76%

petugas lainnya terbiasa menggunakan jenis masker medis / surgical mask.

Perbedaan proporsi tersebut menunjukkan adanya variasi penggunaan jenis

masker pada petugas. Hal tersebut dikarenakan masker yang digunakan oleh

petugas bukanlah didapat atau telah disediakan oleh perusahaan melainkan

kesadaran petugas untuk membeli sendiri. Persentase jenis masker medis lebih

banyak digunakan dikalangan petugas dikarenakan dari segi harga, masker medis

lebih murah untuk didapatkan dalam jumlah satuan, meskipun masker kain

terkesan lebih praktis dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama

namun sebagian petugas mengeluhkan penggunaan masker kain lebih

menimbulkan rasa pengap dan tidak nyaman terlebih jika digunakan pada suhu

yang panas.

Sementara itu, perlu diperhatikan bahwa alat pelindung diri seperti masker

harus sesuai dan adekuat untuk bahaya tertentu, resisten terhadap kontaminan

udara, dibersihkan dengan baik serta sesuai untuk pekerja yang memakainya

(Kusnoputranto H, 2000). Untuk paparan debu partikulat PM10, standar jenis

masker yang seharusnya digunakan ialah masker N95 karena masker ini 95%

mampu menyaring hingga ukuran partikel terkecil (0,3 mikron) (CDC, 2016).

Namun, mengingat kondisi parkir basement yang sangat tertutup dan hanya

123
mengandalkan sistem FAD untuk udara masuk terlebih dengan suhu lingkungan

di atas standar yang telah ditentukan, maka penggunaan masker jenis N95 tidak

diperuntukkan untuk digunakan oleh petugas di area ini. Dengan demikian,

perusahaan sebaiknya menyediakan APD masker medis / surgical mask sekali

pakai kepada petugas yang bekerja di area ini dengan tujuan untuk menghindari

adanya pemakaian berulang pada petugas seperti pada penggunaan masker kain

dan agar petugas merasa lebih nyaman menggunakannya.

6.6 Hubungan Status Merokok dengan Keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan

Poins Square

Rokok merupakan salah satu faktor risiko terhadap masalah gangguan

pernapasan (Nurussakinah, 2013). Status merokok dalam penelitian ini ialah

status konsumsi rokok setiap harinya oleh petugas baik saat bekerja maupun tidak

bekerja. Kategori status merokok pada penelitian ini mengacu pada standar yang

diberikan oleh New Zealand Ministry of Health (2015) yang mengkategorikan

status merokok kedalam 3 kategori yakni bukan perokok, mantan perokok, dan

masih perokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat 26,7% petugas parkir

maupun keamanan di area parkir basement mal Blok M dan Poins Square masih

merokok, sementara 43,3% lainnya yaitu kelompok bukan perokok. Hasil analisis

bivariat menemukan bahwa pada α 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara status merokok dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas parkir ataupun petugas keamanan yang bertugas di parkir basement mal

124
Blok M dan Poins Square (p value 0,572 > 0,05). Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutra (2009) dan Khairunnisa (2014) yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok

dengan kejadian ISPA pada pekerja. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan

dengan hasil penelitian Fitriyani (2011), Yusnabeti dkk (2010) dan (Naini, 2009).

Tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara status merokok dengan

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada penelitian ini dapat dikarenakan

proporsi petugas yang hingga saat ini masih merokok hanya 26,7% dibandingkan

dengan yang bukan perokok sebesar 46,3%. Bila dilihat dari distribusi derajat

merokok berdasarkan Indeks Brinkman (IB) didapatkan bahwa 70,6% petugas

merupakan kelompok perokok ringan sementara untuk status perokok berat tidak

ditemukan sama sekali (0%). Hasil penelitian Nugraha (2012) menyebutkan

bahwa perokok berat mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk terkena PPOK

daripada perokok ringan. Adanya PPOK tentunya akan meningkatkan kerentanan

seseorang untuk terkena gangguan pernapasan lainnya karena fungsi paru sudah

menurun.

Penelitian lainnya menemukan bahwa nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE)

pada orang dengan derajat merokok berat lebih kecil dibandingkan nilai APE pada

orang dengan derajat merokok ringan (Santosa, Purwito, & Widjaja, 2004). Hal

tersebut dikarenakan pada perokok berat sudah banyak fungsi organ paru yang

terganggu yang dipengaruhi oleh lama waktu merokok dan jumlah batang rokok

per hari yang dikonsumsi, sehingga jalur napas mengalami penyempitan akibat

iritasi terus menerus pada saluran napas. Semakin kecil APE berarti saluran napas

125
menjadi lebih sempit dan kemampuan organ pernapasan untuk menjalankan

fungsinya semakin berkurang. Dengan demikian polutan atau agen infeksius yang

terhirup semakin sulit untuk dikeluarkan kembali melalui respon imunologis

seperti batuk atau bersin. Ketika polutann dan infeksius semakin banyak ter-

rentensi di saluran pernapasan maka timbul lah gangguan pernapasan lainnya dan

dapat menimbulkan infeksi sekunder.

6.7 Hubungan Lama Paparan dengan Keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada Petugas di area basement parkir Mal Blok M dan

Poins Square

Dalam menghitung suatu pajanan tertentu harus diperhitungkan faktor waktu

yaitu berapa lama masing-masing individu terpajan oleh zat tertentu (Kurniasari,

2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada α 5% terdapat hubungan

yang bermakna antara lama paparan dengan keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut pada petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di

basement parkir Mal Blok M dan Poins Square (p value = 0,052). Hasil tersebut

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2011); Yusnabeti,

Wulandari, & Luciana (2010); Lindawaty (2010) yang menyakatakan terdapat

hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan ISPA.

Pada penelitian ini, terdapat 50 orang (83,3%) patugas yang bekerja > 40 jam

/ minggu dimana 52% dari total tersebut bekerja pada area kerja dengan

konsentrasi PM10 ≥ nilai median (0,073 mg/m3). Lamanya seseorang terpapar

polutan pada area kerja dapat memicu timbulnya gangguan kesehatan, terlebih

jika orang tersebut terpapar dengan konsentrasi polutan yang tinggi setiap harinya.

126
Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Kusnoputranto (2000) bahwa dosis

suatu zat toksik akan meningkat dengan besarnya konsentrasi, lama, dan

seringnya pemaparan dan cara masuk ke dalam tubuh. Sehingga disimpulkan

bahwa timbulnya gangguan pernapasan akut pada pekerja selain dipengaruhi oleh

tingkat konsentrasi yang diterima per harinya selama jam kerja, namun juga

dipengaruhi dengan seberapa besar lama polutan tersebut memapar pekerja.

Jika dibandingkan proporsinya berdasarkan ada atau tidaknya keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut ditemukan bahwa proporsi petugas yang

bekerja lebih dari 40 jam/minggu dan memiliki keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut lebih banyak (76%) dibandingkan proporsi petugas yang

memiliki keluhan subjektif gangguan pernapasan akut namun dengan lama kerja

≤ 40 jam/minggu. Sehingga didapatkan nilai OR 4,750 (95% CI: 1,146-19,69)

yang artinya petugas yang bekerja > 40 jam / minggu memiliki peluang terkena

ISPA ringan sebanyak 4,75 kali lipat dibandingkan petugas yang bekerja ≤ 40 jam

/ minggu.

Dalam kasus ini diketahui bahwa meskipun seluruh pekerja telah bekerja

dalam waktu 8 jam / hari, namun jika dilihat dalam waktu jam per-minggu

didapatkan bahwa mayoritas petugas bekerja > 40 jam / minggu. Sehingga

diharapkan perusahaan dapat menerapkan jam kerja yang sesuai dengan yang

dianjurkan oleh Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 tahun 1997 dimana

batas jam kerja ialah 8 jam / hari atau 40 jam / minggu.

127
6.8 Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut pada Petugas di area basment parkir Mal Blok M dan Poins Square

Dalam penelitian ini, masa kerja merupakan lama petugas bekerja di area

kerja basement saat ini terhitung sejak saat pertama kali ia bekerja sampai saat

penelitian dilakukan. Masa kerja merupakan salah satu faktor yang diduga dapat

mempengaruhi terjadinya gangguan pernapasan akut pada pekerja.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pada α 5% terdapat hubungan

yang bermakna antara masa kerja dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan

akut pada petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area basement parkir

mal Blok M dan Poins Square (p value < 0,05). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010)

(p=0,010); Noer & Martiana (2013) (p=0,017) yang menyatakan bahwa

kelompok pekerja yang telah bekerja > 10 tahun pada area dengan paparan debu

partikulat yang tinggi lebih berisiko terkena ISPA dibandingkan dengan pekerja

yang masa kerjanya ≤ 10 tahun.

Semakin lama petugas bekerja di suatu area kerja berdebu maka akan

semakin sering terpajan dan semakin banyak yang terhirup dari lingkungan kerja

tersebut (Suma'mur P, 2009). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa

meskipun 61,7% petugas parkir maupun petugas keamanan bekerja ≤ 10 tahun,

namun jika dilihat proporsinya berdasarkan keluhan subjektif gangguan

pernapasan akut mayoritas (91,3%) petugas yang bekerja > 10 tahun memiliki

keluhan subjektif gangguan pernapasan akut.

128
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa 52,17% petugas yang masa

kerjanya > 10 tahun bekerja pada area kerja dengan konsentrasi PM10 ≥

0,073mg/m3. Sehingga disimpulkan bahwa kelompok petugas tersebut memiliki

paparan yang lebih besar pada kondisi yang lebih rentan. Jika dilihat dari hasil uji

keeratan hubungan didapatkan bahwa petugas dengan masa kerja > 10 tahun

memiliki risiko 8 kali lebih besar dibandingkan petugas yang bekerja kurang dari

10 tahun. Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Price & Wilson

(1995) bahwa pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan kadar debu

tinggi dalam waktu yang lama memiliki risiko tinggi terkena obstruksi sehingga

fungsi paru semakin menurun dan menjadi rentan terkena penyakit saluran napas

lainnya.

129
BAB VII

PENUTUP

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan

sebagai berikut:

1. Proporsi petugas parkir maupun keamanan yang bertugas di area basement

parkir mal Blok M dan Poins Square dan memiliki keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut ialah sebanyak 42 (70%) orang dengan keluhan

pilek / hidung tersumbat sebagai keluhan terbanyak (66,7%).

2. Konsentrasi PM10 pada area basement parkir mal Blok M dan Poins Square

memiliki nilai tengah sebesar 0,073 mg/m3.

3. Proporsi berdasarkan karakteristik individu petugas parkir maupun

keamanan yang bertugas di area basement parkir Mal Blok M dan Poins

Square ialah terdiri dari 86,7% laki-laki, 56,7% terbiasa menggunakan

masker, 43,3% bukan perokok, 83,3% bekerja selama > 40 jam / minggu,

61,7% memiliki masa kerja ≤ 10 tahun, dan rata-rata usia 33 tahun dengan

nilai tengah 29 tahun.

4. Ada perbedaan yang signifikan antara konsentrasi PM10 dengan keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas yang bekerja di area

parkir basement mal Blok M dan Poins Square (p value ≤0,05).

130
5. Ada perbedaan yang signifikan antara usia petugas dengan keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas yang bekerja di area parkir

basement mal Blok M dan Poins Square (p value ≤0,05).

6. Ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan masker dengan keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas yang bekerja di area

parkir basement mal Blok M dan Poins Square (p value ≤0,05).

7. Ada perbedaan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan subjektif

gangguan pernapasan akut pada petugas yang bekerja di area parkir

basement mal Blok M dan Poins Square (p value ≤0,05).

8. Ada perbedaan yang signifikan antara lama paparan dengan keluhan

subjektif gangguan pernapasan akut pada petugas yang bekerja di area

parkir basement mal Blok M dan Poins Square (p value ≤0,05).

9. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan status

merokok, terhadap keluhan subjektif gangguan pernapasan akut pada

petugas yang bekerja di area parkir basement mal Blok M dan Poins Square

(p value > 0,05).

7.2 Saran

7.3.1 Saran Bagi Perusahaan

1. Pengendalian Teknis

- Mengaktifkan seluruh sistem Fresh Air Ducting (FAD) dan

sistem Exhaust Air Ducting (EAD) di setiap lantai basement

parkir pada kondisi ramai kendaraan (12.00-17.00) agar

131
suhu dan kelembaban tiap area basement parkir stabil dan

sirkulasi udara pada area tersebut dapat berjalan dengan

lancar (untuk menekan suhu yang tinggi ≥ 27oC pada area

kerja, maka diperlukan kecepatan angin minimal 0,35 m/s

dan pertukaran udara sebesar 6 ACH).

- Melakukan pemeriksaan dan pembersihan mesin blower

atau komponen air ducting lainnya secara berkala

- Meletakkan tanaman hias jenis Heliconia, Pandan Kuning,

Rowelia Tegak, Sanseviera trifasciata / lidah mertua dan

Kaca Piring di area basement parkir untuk menjerap debu

partikulat sehingga konsentrasi PM10 di area tersebut dapat

diminimalisir.

2. Pengendalian Administratif

- Memberlakukan job rotation pada seluruh petugas

keamanan dan parkir tanpa terkecuali agar paparan

konsentrasi debu PM10 pada area basement parkir dapat

diminimalisir.

- Menerapkan jam kerja yang sesuai dengan yang dianjurkan

oleh Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 tahun 1997

dimana batas jam kerja ialah 8 jam / hari atau 40 jam /

minggu.

- Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada seluruh

lapisan petugas sebagaimana yang telah diwajibkan oleh

132
Menkes RI dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 48

tahun 2016 pasal 17 angka 3 poin b.

- Melakukan kajian dan edukasi terkait risiko kerja di area

parkir basement serta pentingnya penggunaan masker pada

area paparan debu tinggi.

3. Pengendalian Alat Pelindung Diri / APD

- Sesuai dengan Permenakertrans No. 08 Tahun 2010,

perusahaan diwajibkan melaksanakan manajemen APD di

tempat kerja yag meliputi penggunaan, perawatan dan

penyimpanan. Dalam hal ini APD yang dimaksud ialah

yang dapat melindungi petugas dari paparan debu yaitu

masker. Penggunaan masker dapat dilakukan pada petugas

yang bekerja pada area konsentrasi PM10 tinggi (≥ NAB).

Mengingat masker jenis N95 tidak sesuai digunakan pada

area tertutup / indoor maka sebaiknya perusahaan

menyediakan masker medis yang juga dimaksudkan agar

menghindari adanya pemakaian berulang pada petugas.

7.3.2 Saran Bagi Petugas Parkir Maupun Petugas Kemanan

1. Rutin melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti

mencuci tangan, mengkonsumsi buah dan sayur, melakukan

aktivitas fisik, dan tidak merokok untuk meningkatkan imunitas

dan memperkecil risiko terkena penyakit infeksi.

133
2. Selalu menggunakan masker terlebih pada area dengan risiko

paparan debu tinggi seperti basement parkir.

7.3.3 Saran Bagi Peneliti Lain

1. Diharapkan dapat menggunakan teknik pengukuran udara ambien

(24 jam) sehingga dapat dilihat waktu-waktu yang rentan dan

berisiko tinggi terhadap cemaran debu partikulat, sehingga

pengendalian cemaran dapat dilakukan lebih optimal.

2. Diharapkan dapat menggali pertanyaan lebih mendalam pada tiap-

tiap variabel karakteristik pekerja seperti pada variabel status

merokok agar dapat ditanyakan jenis rokok yang biasa dikonsumsi

responden, sehingga hasil penelitian lebih maksimal.

2. Diharapkan dapat menggunakan alat pengukuran yang lebih

optimal untuk melihat nilai debu terhirup pada masing-masing

pekerja seperti penggunaan alat Personal Dust Sampler (PDS).

134
Daftar Pustaka

Emporis Poin City of Indonesia. 2000. Dipetik 2016, dari Skyscraper City:
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1790639

Emporis Poin CIty of Indonesia. 2000. Dipetik 2016, dari Skyscraper City:
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1790639

Abidin, F., Suwondo, A., & Suroto. 2015. Hubungan Paparan Debu Asbes
Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pembuat Asbes Di Area
Finishing Line Pt. X Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 3,
No.1, 364-374.

Adriskanda, Yunus, B., & Setiawan, F. 1997. Perbandingan nilai kapasitas difusi
paru antara orang yang terlatih dan tidak terlatih. Jurnal Respirologi
Indonesia, 17, 76-83.

Ahmadi, U. 2012. Dasar-dasar penyakit berbasis lingkungan. Jakarta: Rajawali


Press.

Anies. 2006. Waspada ancaman penyakit tidak menular, solusi pencegahan dari
aspek perilaku dan lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Arief, L. M. 2012. Local Exhaust Ventilation / Ventilasi Pengeluaran Setempat.

Astuti, S. K. 2010. Analisis Pembebanan Pencemaran Udara Akibat Emisi


Kendaraan Bermotor Pada Parkir Basement studi kasus Mall X. Skripsi
Program Studi Teknik Lingkungan UI.

Atmaja, A. S., & Ardyanto, D. 2007. Identifikasi kadar debu di lingkungan kerja
dan keluhan subyektif pernafasan tenaga kerja bagian finish mill. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, vol. 3, No.2, 161-172.

Basti, A. M. 2014. Kadar debu total dan gejala ISPA ringan pada pekerja
departemen pemintalan di Industri tekstil PT. Unitex, Tbk Bogor tahun
2014.

135
Blackler, L., Jones, C., & Mooney, C. 2007. Managing Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. England: John Wiley & Sons Ltd.

Badan Pusat Statistik (BPS) RI. 2015. Persentase Penduduk yang Mempunyai
Keluhan Kesehatan Selama Sebulan Terakhir menurut Provinsi, 2000-
2015. Dipetik Juli 2016, dari Badan Pusat Statistik:
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/921

BTS, B. C. 1997. BTS Guidelines for The Management of COPD. Thorax 52


(Suppl. 5), S1-S28.

Budianto, W. 2008. Analisis hubungan kualitas udara ambien dengan kejadian


penyakit ispa. Tesis Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.

C.A, Ika Nugraha. 2012. Hubungan derajat merokok berdasarkan indeks


brinkman dengan derajat berat PPOK. Jurnal Profesi (Profesional Islami)
Vol.9.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), C. f. 2016. The National
Personal Protective Technologi Laboratory (NPPTL). Dipetik March
2017, dari Centers for Disease Control and Prevention CDC:
https://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/respirators/disp_part/respsource3h
ealthcare.html

Chandra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.

Damri, Ilza, M., & Afandi, D. 2016. Analisis paparan CO dan SO2 pada petugas
parkir di basement mall ska di kota pekan baru. Dinamika Lingkungan
Indonesia, vol. 3, no. 1, 48-56.

Darmojo, B. R. 2011. Buku Ajar Geriatic (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia) ed.4.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Daroham, N. E., & Mutiatikum. 2009. Penyakit ISP hasil Riskesdas di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan Supplement, 50-55.

136
Depkes RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI.2002. Etiologi ISPA dan Pneumonia. Dipetik 2016, dari


http://litbang.depkes.co.id

Depkes RI. 2002. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan


akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta.

Depkes RI. 2003. Modul pelatihan bagi fasilitator kesehatan kerja. Jakarta:
Depkes.

Depkes RI. 2004. Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta: Pusat Promkes Depkes RI.

Depkes RI. 2005. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional dalam


Penanggulangan Pneumonia Balita tahun 2005-2009.

Depkes RI. 2006. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.

Dian, M. 2015. Hubungan Kualitas Udara Pencemar Dengan Jumlah Kasus Ispa
Di Kota Pekanbaru Tahun 2012-2014. Diploma Thesis OPT Perpustakaan
Unand.

Ditjen P2MPL Kemenkes RI. 2009. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit


ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita dalam Pelita VI.
Jakarta.

Effendi, F., & Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

EPA, U. 1995. Particulate Matter (PM-10). Dipetik 2016, dari U.S Environmental
Protection Agency; AIRT Trends 1995 Summary:
https://www3.epa.gov/airtrends/aqtrnd95/pm10.html

Erita Agustin Hardiyanti. 2008. Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan


Anak. Jakarta: EGC.

137
Febrianto, A. A. 2015. Hubungan antara paparan debu asap las (welding fume)
dan gas karbon monoksida (CO) dengan gangguan faal paru pada pekerja
bengkel las (Studi di kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo Kota
Surabaya). Skripsi.

Fitria, L., Wulandari, R. A., Hermawati, E., & Susanna, D. 2008. Kualitas Udara
Dalam Ruang Perpustakaan Universitas x Ditinjau dari kualitas biologi,
fisik dan kimiawi. Makara Kesehatan Vol 12, No. 2.

Fitriyani. 2011. Pajanan PM10 terhadap kejadian gejala ispa pada pekerja
pergudangan semen di kotamadya Palembang. Tesis Universitas Indonesia
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Gertrudis, T. 2010. Hubungan antara kadar partikulat PM10 udara dalam rumah
tinggal dengan kejadian ispa disekitar pabrik semen PT Indocement
Citeurep. Tesis FKM UI.

Gibson, R. 1990. Principles of nutritional assesment. New York: Oxford


University Press.

Gold, D., Wang, X., & Wypij, D. 2005. Effect of cigarette smoking on lung
function in adolescent boys and girls. NEJM No. 13, 1-4.

Guyton, A., & Hall, J. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11. Jakarta:
EGC.

Hafsari, D., Ramadhian, R., & Saftarina, F. 2015. Debu batu bara dan kejadian
infeksi saluran pernafasan akut pada pekerja pertambangan batu bara.
Majority, vol. 4, no. 9.

Hapsari, E. 2013. Kuping memerah dan Hangat Panas, mengapa ya? Dipetik
January 18, 2017, dari Republika.co.id:
http://www.republika.co.id/berita/konsultasi/dokter-kita/13/03/15/mjoslg-
kuping-memerah-dan-hangat-panas-mengapa-ya

138
Hermawan, A., Hananto, M., & Lasut, D. 2016. Peningkatan Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU) dan kejadian gangguan saluran pernapasan di
kota Pekanbaru. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.15 No.2, 76-86.

Hidayat, S. 2012. Pengaruh Polusi Udara dalam Ruangan Terhadap Paru.


COntinuing Medical Education. Jakarta: Universitas Indonesia.

Huboyo, H. S., Istirokhatun, T., & Sutrisno, E. 2016. Kualitas Udara Dalam
Ruang di Daerah Parkir Basement dan Parkir Upperground (Studi Kasus di
Supermarket Semarang). Jurnal Presipitasi vol 13 no.1.

Hutahaean, J. 2015. Konsep sistem informasi, ed.1. Yogyakarta: Deepublish.

Junaidi, I. 2010. Penyakit Paru & Saluran Napas: Cara mudah mengetahui,
mencegah, dan mengobatinya. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Junaidi, I. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer.

Kemenkes RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.


416/Menkes/Per/IX/1990. Jakarta.

Kemenkes RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999


tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Depkes RI.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.


Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.

Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.

139
Karmana, O., & Fitriana, R. 2007. Cerdas belajar Viologi untuk kelas XI Sekolah
menengah atas / madrasah aliyah program Ilmu Pengetahuan Alam jilid
2. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Kastawan, W., & Harmein, I. 2004. Statistik, ed. 3. Jakarta: Erlangga.

Khairunnisa, A. 2014. Hubungan antara pm10 dengan kejadian infeksi saluran


pernapasan akut (ISPA) pada pekerja industri mebel. Skripsi Universitas
Indonesia departemen kesehatan lingkungan FKM.

Krishna, A. 2013. Mengenali Keluhan Anda, Info Kesehatan Umum Untuk


Masyarakat. Informasi Medika.

Kurniasari, F. 2013. Analisis faktor lingkungan dengan kejadian infeksi saluran


pernapasan akut (ISPA) pada pekerja di industri pemotongan keramik dan
granit desa wanaherang, gunung putri, kabupaten Bogor tahun2013.
Skripsi Universitas Indonesia.

Kusnoputranto, H. 1995. Toksikologi Lingkungan. Jakarta: Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia.

Kusnoputranto, H. 2000. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Badan Penerbit


Kesehatan Masyarakat, FKM Universitas Indonesia, Dirjen Dikti,
Depdikbud.

Lindawaty. 2010. Partikulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi


Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita (Penelitian
Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010).
Tesis Universitas Indonesia.

Mandal, B., Wilkins, A. G., Dunbar, E. M., & White, R. T. 2008. Lecture Notes:
Penyakit Infeksi Ed. 6. Jakarta: Erlangga.

Mikrajuddin, Saktiyono, & Lutfi. 2007. IPA Terpadu SMP dan MTs untuk kelas
VIII semester 1 2A. Jakarta: Erlangga.

140
MRC, M. R. 1965. Definition and classification of chronic bronchitis for clinical
and epidemiological purposes. Lancet 1, 775-779.

Mukono, H. 2003. Pencemaran Udara dan pengaruhnya terhadap gangguan


saluran pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press.

Mundilarto, & Istiyono, E. 2007. Seri IPA Fisika 3 SMP Kelas IX. Jakarta:
Quadra.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Naini, I. 2009. Pajanan debu kapuk (PM10) dengan kejadian ISPA pada pekerja
industri kapuk. SKripsi FKM UI.

Nelson, K. E., & William, C. F. 2007. Infectious disease epidemiology: Theory


and practice. Boston: Jones adn Bartlett.

NIOSH (The National Institute for Occupational Safety and Health). 1996.
NIOSH Guide to the Selection and Use of Particulate Respirators. Dipetik
March 2017, dari Centers for Disease Control and Prevention:
https://www.cdc.gov/niosh/docs/96-101/

Noer, R. H., & Martiana, T. 2013. Hubungan karakteristik dan perilaku pekerja
dengan gejala ISPA di pabrik asam fosfat dept. produksi III PT.
Petrokimia Gresik. The Indonesian Journal uf Occupational Safety and
Health Vol.2, No. 2, 130-136.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, S. 2007. Dasar-dasar Metode Statistika. Jakarta: Grasindo.

Nukman, A., Rahman, A., Warouw, S., Setiadi, M. I., & Akib, C. R. 2005.
Analisis Manajemen Risiko Kesehatan Pencemaran Udara: Studi Kasus di
Sembilan Kota Besar Padat Transportasi. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.4,
270-289.

141
Nurgahaeni, F. S. 2004. Analisis Faktor Risiko Kadar Debu Organik di Udara
Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Penggilingan Padi
di Kabupaten Demak. Tesis Universitas Diponegoro.

Nurjazuli, O. S. 2010. Kapasitas fungsi paru pada pedagang kaki lima. J


Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol 6 No 1.

Nurussakinah. 2013. Faktor risiko lingkungan fisik kerja terhadap kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada pekerja bagian material, cutting,
dan sewing industri Garmen PT. X tahun 2013. Skripsi Universitas
Indonesia.

OSHA, O. S. 2003. Personal Protective Equipment. Dipetik 2017, dari


https://www.osha.gov/Publications/3430indoor-air-quality-sm.pdf

Pawenang, E. T. 2001. Hubungan antara faktor meteorologi, kualitas udara


ambien, dan kejadian gangguan saluran pernapasan di kecamatan
pedurungan Semarang. Thesis UI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, P. 2000. PPOK, tantangan dan pelaksanaan


di abad 21. Pertemuan Ilmiah Khusus 2000. PDPI.

Prasetyanto, N. 2011. Kadar H2S, NO2, dan debu pada peternakan ayam broiler
dengan kondisi lingkungan yang berbeda di kabupaten Bogor Jawa Barat.

Price, S., & Wilson, L. 1995)2. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit


Bagian 2, Ed. 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Pudjiastuti, W. 2003. Debu sebagai bahan pencemar yang membahayakan


kesehatan kerja. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI.

Pujiarto, P. S. 2014. Batuk pilek (common cold) pada anak.

Reverente, B., Weetman, D., & Wongphanick, M. 1993. Indoor air quality in
asia. Switzerland: Indoor Air International.

142
Roy M. Harrison. 1999. Understanding our environment, an introduction to
environmental, chemistry and pollution 3rd edition. Birmingham: The
Royal Society of Chemistry.

Rudianto. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ispa pada balita di
5 posyandu desa taman sari kecamatan pangkalan karawang tahun 2013.

Santosa, S., Purwito, J., & Widjaja, J. T. 2004. Perbandingan nilai arus puncak
eskpirasi antara perokok dan bukan perokok. Jurnal Kedokteran
Maranatha Vol.3, No.2, 59-70.

Sari, N. 2013. Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) ditinjau dari
pajanan PM10 dan karakteristik individu di lingkungan terminal kampung
rambutan Jakarta Timur tahun 2013. Skripsi Universitas Indonesia
Program Studi Kesehatan Masyarakat.

Setiadi. 2015. Fakta-fakta yang wajib anda ketahui dari masker N95. Dipetik
March 2017, dari Biosfer.info Membumi Merakyat:
http://www.biosfer.info/2015/10/fakta-fakta-yang-wajib-anda-ketahui.html

Setiawaty, N. H., Hiola, R. P., & Prasetya, E. 2014. Analisis Faktor Risiko
Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut di kawasan industri di
kelurahan mandidir unet kecamatan mandidir kota bitung sulawesi utara.

Sherwood, L. 2001. Fomisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed. 2 (Human


Physiology: From cells to systems). Jakarta: EGC.

Shofwati, I., & Satar, Y. P. 2009. Hygiene Industri. Jakarta: Lembaga Penelitian,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sihombing, D. T., Lubis, H. S., & Mahyuni, E. L. 2013. Hubungan kadar debu
dengan fungsi paru pada pekerja proses press packing di usaha
penampungan butut kelurahan tanjung mulia hilir medan tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara.

143
Silitonga, E. 2010. Pencemaran Udara. Dipetik 2016, dari Digital Library USU:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16641/3/Chapter%20II.pd
f

Singapore Ministry of Health. 2016. FAQ: Use of masks and availability of


masks. Dipetik 2017, dari Ministry of Health Singapore:
https://www.moh.gov.sg/content/moh_web/home/pressRoom/Current_Issu
es/2014/haze/faq--use-of-masks-and-availability-of-masks.html

Smith, K. 1996. Indoor air pollution in developing countries: Growing evidence of


its role in the global disease burden. International Conference on Indoor
air quality and Climate. Nagoya, Japan: Tokyo, Institute of Public Health.

Soemirat, J. 2011. Kesehatan Lingkungan Revisi. Yoyakarta: Gajah Mada


University Press.

Stella Tinia Hasianna. 2011. Perawatan Respirasi oleh Caia Francis. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Suchesdian, N. Z. 2013. Kemampuan tanaman hias dalam menjerap debu yang


dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Skripsi Institut Pertanian Bogor.

Sudiman, D. R. 2005. Kombinasi debu kayu dan formaldehid terhadap penurunan


nilai fungsi paru (studi kasus di industri kayu lapis). Disertasi FKM
Universitas Indonesia.

Suma'mur. 1995. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta: CV. Haji
Masagung.

Suma'mur. 1996. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta: CV. Haji
Masagung.

Suma'mur, P. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).


Jakarta: Sagung Seto.

Sumantri, A. 2010. Kesehatan lingkungan dan perspektif Islam. Jakarta: Kencana.

144
Sumantri, A. 2015. Kesehatan Lingkungan edisi revisi. Prenada Media.

Supraptini, Hananto, M., & Hapsari, D. 2010. Faktor-faktor pencemaran udara


dalam rumah yang berhubungan dengan kejadian ispa pada balita di
indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(2), 1238-1247.

Surdijani, D., Sumala, & Sugiarti, A. 2008. Kumpulan soal: Be SMART Ilmu
Pengetahuan Alam. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Suryo, J. 2010. Herbal penyembuhan gangguan sistem pernapasan. Yogyakarta:


Bentang Pustaka.

Sutra, D. E. 2009. Hubungan antara pemajanan pm10 dengan gejala ispa pada
pekerja tambang Cipatat kab.bandung barat tahun 2009. Skripsi FKM UI.

Syailendra. 2013. Data Pertumbuhan Mal di Kawasan Jakarta. Dipetik 2016, dari
Tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2013/09/18/083514312/data-
pertumbuhan-mal-di-kawasan-jakarta

Umakaapa, M., Rahim, M. R., & Saleh, L. M. 2012. Faktor-faktor yang


berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja bagian produksi
industri tekstil CV Bagabs Kota Makassar.

US.EPA (United States, Environmental Protection Agency). 2016. Particulate


Matter (PM) Basics. Dipetik 2016, dari Environmental Protection Agency:
https://www.epa.gov/pm-pollution/particulate-matter-pm-basics#effects

Veronika, E., Santi, D. N., & Ashar, T. 2014. Analisis kadar PM10 dan CO serta
keluhan gangguan saluran pernafasan akut pada petugas dinas
perhubungan terminal amplas medan tahun 2014. Lingkungan dan
Kesehatan Kerja vol.3, No. 3.

Washington State Department of Health. 2014. Wildfire Smoke and Face Masks.
Diambil kembali dari www.doh.wa.gov/Portals/1/Documents/Pubs/334-
353.pd

145
Wardhana, W. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.

Wardhana, W. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan Ed. 3. Yoyakarta:


Penerbit Andi.

Wasis, & Irianto, S. Y. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam Jilid 2 untuk SMP dan MTS
Kelas VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

World Health Organization (WHO). 2007. Addresing sex and gender in epidemic-
prone infection diseases. Dipetik January 2017, dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/SexGenderInfectDis.pdf

World Health Organization (WHO). 1996. Recommended Health Based Limit in


Occupational Exposure to Selected Mineral Dust (Silica, Coal). Genewa.

Wijaya, A. 2008. Biologi VIII untuk sekolah menengah pertama dan MTs Kelas
VIII. Jakarta: Grasindo.

Wright, R., & Nebel, B. 2002. Environmental Science: Toward a sustainable


future. New Jersey: Pearson Education.

Yamani, A. Z. 2013. Tinjauan Ergonomi Terhadap Ambang Debu dan Gangguan


Pernapasan Pada Pekerja (studi kasus di industri penyulingan Minyak
atsiri cengkeh Samigaluh Kulonprogo).

Yulaekah, S. 2007. Paparan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada pekerja
industri batu kapur (studi di desa Mrisi kecamatan Tanggungharjo
kabupaten grobogan). Tesis.

Yusnabeti, Wulandari, R. A., & Luciana, R. 2010. PM10 dan infeksi saluran
pernapasan akut pada pekerja industri mebel. Makara Kesehatan vol 14,
No. 1, 25-30.

146
LAMPIRAN

147
Hari/Tanggal:_____________
Pewawancara:____________

KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Konsentrasi PM10 dan Karakteristik Pekerja Terhadap Keluhan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Ringan Pada Petugas di area Basement
Parkir Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya Yolanda Mutiara Christina, Mahasiswi Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan penelitian mengenai
hubungan konsentrasi PM10 dan karakteristik pekerja terhadap keluhan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan pada petugas parkir / keamanan basement
mal Blok M dan Poins Square. Pengumpulan data ini digunakan sebagai salah
satu bahan dalam penyusunan skripsi peneliti.
Saya berharap saudara/i bersedia menjadi responden penelitian ini dengan
menjawab pertanyaan yang akan saya ajukan pada kuesioner ini dengan sejujur-
jujurnya. Informasi yang anda berikan akan saya jaga kerahasiaannya. Jika
anda bersedia dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah
disediakan.

Data Responden
1. Nomor Responden :____________________________
1. Nama Responden :____________________________
2. Tempat Bekerja :____________________________
Dengan ini bersedia menjadi responden pada studi pendahuluan penelitian ini.

Jakarta, 2016

Responden

148
Pewawancara:

Hari/Tanggal:

KUESIONER PENELITIAN

Hubungan Konsentrasi PM10 dan Karakteristik Pekerja Terhadap Keluhan


Subjektif Gangguan Pernapasan Akut Pada Petugas di area Basement Parkir
Mal Blok M dan Poins Square Tahun 2016
Kode
A. Identitas Responden (diisi oleh
peneliti)

A1 Nomor Responden: ( )

A2 Nama :_________________________ ( )

Umur :
A3 ( )
___/____/_______ (dd/mm/yyyy)

Alamat :__________________________
A4 ( )
__________________________________________

A5 No. Telephone :______-______-_______- ( )

A6 Tempat Bekerja :___________________ ( )

A7 Jenis Kelamin : a. Perempuan


( )
b. Laki-laki

B. Keluhan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) ringan

Apakah anda memiliki keluhan gangguan pernafasan seperti dibawah ini dalam 1 bulan
terakhir? (Lingkari jawaban yang sesuai)

Batuk (tanpa pernapasan cepat < 40 kali/menit / a. Ya


B1 tanpa disertai sesak) ( )
(Tidak termasuk berdeham) b. Tidak

B2 Pilek (keluarnya lendir dari rongga hidung) a. Ya ( )

149
b. Tidak

Suara serak (parau) yang disertai atau tanpa a. Ya


B3 ( )
disertai demam (>37oC) b. Tidak

a. Ya
B4 Keluarnya cairan dari telinga tanpa rasa sakit ( )
b. Tidak

B5 Berapa lama anda merasakan keluhan-keluhan tersebut?

a. > 2 minggu ( )

b. ≤ 2 minggu

C. Karakteristik Pekerja (Lingkari jawaban yang perlu!)

C1 Berapa lama jam kerja anda di wilayah basement parkir dalam satu
( )
hari?........jam/hari

C2 Berapa hari dalam 1 (satu) minggu anda bekerja di tempat


( )
ini?......hari/minggu

C3 Sudah berapa lama anda bekerja sebagai petugas parkir / keamanan di


( )
lantai basement parkir mal ini?...........tahun

Sejak tahun berapa anda bekerja sebagai petugas parkir/keamanan di


C4 ( )
basement mal ini? ...........

Apakah anda merokok dalam (minimal) 6 bulan terakhir?

C5 a. Ya ( )

b. Tidak (Lanjut ke pertanyaan No. C8)

C6 Sejak tahun berapa anda mulai merokok?........ ( )

C7 Rata-rata berapa batang rokok yang anda hisap perhari?......batang ( )

Apakah anda memiliki riwayat merokok?

C8 a. Ya

b. Tidak (Lanjut ke pertanyaan No. C12)

C9 Berapa umur anda ketika pertama kali merokok?.....tahun ( )

150
C10 Berapa umur anda ketika berhenti / tidak merokok sama
( )
sekali?.....tahun

Pada saat status anda masih perokok, berapa rata-rata jumlah batang
C11
rokok yang anda hisap perhari?......batang

C12 Selama bekerja, apakah anda terbiasa menggunakan masker?

a. Selalu
( )
b. Kadang-kadang

c. Tidak Pernah (Selesai)

C13 Masker jenis apa yang biasa anda gunakan untuk melindungi paparan
debu?

a. Masker kain ( )
b. Masker medis (warna hijau)

c. Lainnya, sebutkan..............

D. Hasil Pengukuran (diisi oleh peneliti)

D1 Konsentrasi debu PM10 terhirup = .............mg/m3

D2 Suhu =.............oC

D3 Kelembaban =............%

D4 Kecepatan Angin =............m/s

---Selesai---

151
INFORMASI TAMBAHAN

1. Bronkhitis Kronik merupakan salah salah satu penyakit yang bila diabaikan

dapat mengarah pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Gejala yang

teramati meliputi batuk, dada terasa sesak dan retensi cairan dan hipersekresi

mukus yang hebat pada sebagian besar hari selama tiga bulan berturut-turut

selama dua tahun berurutan atau lebih (MRC, 1965).

2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan suatu keadaan penyakit

yang dicirikan oleh obstruksi / terbatasnya aliran udara (penurunan FEV1 dan

rasio FEV1/FVC) yang tidak berubah secara bermakna setelah beberapa bulan

(BTS, 1997). Gejala yang umum ditemukan ialah peningkatan laju pernapasan,

sianosis, produksi sputum, edema perifer, penggunaan otot tambahan untuk

bernapas, kaheksia, kehilangan berat badan, mengi. Diagnosis ditegakkan

setelah dilakukannya uji fungsi paru dengan menggunakan spirometri dan laju

aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow, PEF) (Stella Tinia Hasianna,

2011). Hasil kunci yang didapat dari spirometri yang dapat mendukung

diagnosis PPOK adalah: 1) FEV1 kurang dari 80% nilai prediksi dan 2) rasio

FEV1/FVC kurang dari 70%.

3. Emfisema merupakan destruksi progesif pada alveolar dan kapiler yang

menyebabkan berkembangnya jalan napas dan ruang udara yang membesar

(Stella Tinia Hasianna, 2011). Gejala yang dirasakan meliputi napas pendek,

batuk dan mengi, penurunan kemampuan aktivitas fisik.

152
4. Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran napas mengalami penyempitan

karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan

peradangan dan penyempitan yang bersifat sementara. Gejala yang dirasakan

berupa serangan sesak, mengi, dan batuk berulang (Junaidi, Penyakit Paru &

Saluran Napas: Cara mudah mengetahui, mencegah, dan mengobatinya, 2010).

153
Hasil Uji Validitas Kuesioner: - D = durasi pengerjaan sesuai estimasi – P = petugas memahami pertanyaan

Petugas

Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P D P
Karakteristik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pekerja A7

Keluhan B1 √ √ √ X √ √ X X √ X √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ X √

Keluhan B2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Keluhan B3 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Keluhan B4 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Keluhan B5 √ √ √ √ X √ X √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Karakteristik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pekerja C5

Karakteristik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pekerja C8

Karakteristik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pekerja C12

154
a) Pengukuran konsentrasi PM10

b) Sistem ducting pada basement parkir Mal Blok M

155
c) Pengukuran di area kerja petugas parkir (loket
parkir) Poins Square

d) Pengukuran di area kerja petugas satpam Poins Square

156
OUTPUT HASIL ANALISIS DATA

a. hasil uji reliabilitas Cronbach alpha


Reliability Statistics
Case Processing Summary
Cronbach's
N %
Alpha Based
Cases Valid 20 100.0 on
Excludeda 0 .0 Cronbach's Standardized
Alpha Items N of Items
Total 20 100.0
a. Listwise deletion based on all .637 .638 9
variables in the procedure.

b. Analisis Univariat

1. Distribusi Keluhan ISPA Berdasarkan Gejala Penyerta

Keluhan ISPA ringan berupa batuk (dahak ataupun kering)


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak 17 40.5 40.5 40.5
Ya 25 59.5 59.5 100.0
Total 42 100.0 100.0

Keluhan ISPA ringan berupa hidung tersumbat atau pilek


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak 14 33.3 33.3 33.3
Ya 28 66.7 66.7 100.0
Total 42 100.0 100.0
Keluhan ISPA ringan berupa suara serak / parau disertai
atau tanpa disertai demam
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak 16 38.1 38.1 38.1
Ya 26 61.9 61.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
157
Keluhan ISPA ringan berupa keluarnya cairan dari telinga
tanpa rasa sakit
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak 33 78.6 78.6 78.6
Ya 9 21.4 21.4 100.0
Total 42 100.0 100.0

Keluhan ISPA Ringan


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak Ada 18 30.0 30.0 30.0
Ada 42 70.0 70.0 100.0
Total 60 100.0 100.0

2. Distribusi Keluhan ISPA ringan berdasarkan lokasi Petugas bekerja

Mal dimana tempat responden bekerja * Keluhan ISPA Ringan


Crosstabulation
Count
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
Mal dimana tempat Mal Blok M 8 25 33
responden bekerja Poins Square 10 17 27
Total 18 42 60

158
3. Distribusi Profesi Pekerja di area Basement Parkir

Profesi responden pada tempat kerja basement parkir


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Petugas Parkir 38 63.3 63.3 63.3
Satpam 22 36.7 36.7 100.0
Total 60 100.0 100.0

Profesi responden pada tempat kerja basement parkir * Keluhan ISPA Ringan
Crosstabulation
Count
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
Profesi responden pada Petugas Parkir 14 24 38
tempat kerja basement Satpam
parkir 4 18 22

Total 18 42 60

4. Distribusi Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin responden


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Perempuan 8 13.3 13.3 13.3
Laki-laki 52 86.7 86.7 100.0
Total 60 100.0 100.0

159
Statistics
Usia reponden terhitung sejak
tanggal dilahirkan hingga pada 5. Variabel Usia Responden
saat diwawancarai
N Valid 60

Missing 0
Mean 33.28
Median 29.00
Mode 21 Tests of Normality
Minimum 20 Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Maximum 56 Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Usia reponden terhitung
sejak tanggal dilahirkan
.203 60 .000 .885 60 .000
hingga pada saat
diwawancarai
a. Lilliefors Significance Correction
Ranks
Keluhan
ISPA
Ringan N Mean Rank Sum of Ranks
Usia reponden terhitung Tidak Ada 18 23.22 418.00
sejak tanggal dilahirkan Ada 42 33.62 1412.00
hingga pada saat
Total 60
diwawancarai

Test Statisticsa
Usia
reponden
terhitung
sejak tanggal
dilahirkan
hingga pada
saat
diwawancarai
Mann-Whitney U 247.000

160
Wilcoxon W 418.000
Z -2.117
Asymp. Sig. (2-
.034
tailed)
a. Grouping Variable: Keluhan
ISPA Ringan

6. Variabel Jenis Kelamin Responden

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin
responden * Keluhan 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
ISPA Ringan

Jenis kelamin responden * Keluhan ISPA Ringan


Crosstabulation
Count
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
Jenis kelamin Perempuan 2 6 8
responden Laki-laki 16 36 52
Total 18 42 60
Chi-Square Tests

161
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .110a 1 .740
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .113 1 .737
Fisher's Exact Test 1.000 .550
Linear-by-Linear
.108 1 .742
Association
N of Valid Casesb 60
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,40.
b. Computed only for a 2x2 table

7. Variabel Lama Paparan Responden

Kategori lama kerja


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Kurang dari sama
10 16.7 16.7 16.7
dengan 40 jam / minggu
Lebih dari 40 jam /
50 83.3 83.3 100.0
minggu
Total 60 100.0 100.0
Kategori lama kerja * Keluhan ISPA Ringan Crosstabulation
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
Kategori lama Kurang dari sama Count 6 4 10
kerja dengan 40 jam / minggu Expected
3.0 7.0 10.0
Count
Lebih dari 40 jam / Count 12 38 50
minggu Expected
15.0 35.0 50.0
Count
Total Count 18 42 60
Expected
18.0 42.0 60.0
Count

162
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.143a 1 .023
Continuity Correctionb 3.571 1 .059
Likelihood Ratio 4.735 1 .030
Fisher's Exact Test .052 .033
Linear-by-Linear
5.057 1 .025
Association
N of Valid Casesb 60
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kategori
lama kerja (Kurang dari
sama dengan 40 jam / 4.750 1.146 19.689
minggu / Lebih dari 40
jam / minggu)
For cohort Keluhan
ISPA Ringan = Tidak 2.500 1.233 5.068
Ada
For cohort Keluhan
.526 .242 1.142
ISPA Ringan = Ada
N of Valid Cases 60

8. Variabel Masa Kerja Responden

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.

163
Lama kerja responden di
bagian basement parkir
terhitung saat ia mulai
bekerja di lokasi tersebut .204 60 .000 .902 60 .000
sampai pada saat
responden diwawancarai
dalam satuan tahun
a. Lilliefors Significance Correction

Descriptives
Statistic Std. Error
Lama kerja responden Mean 12.38 1.187
di bagian basement 95% Confidence Lower Bound 10.01
parkir terhitung saat ia Interval for Mean Upper Bound 14.76
mulai bekerja di lokasi
tersebut sampai pada 5% Trimmed Mean 12.00
saat responden Median 10.00
diwawancarai dalam
Variance 84.478
satuan tahun
Std. Deviation 9.191
Minimum 1
Maximum 33
Range 32
Interquartile Range 14
Skewness .672 .309
Kurtosis -.789 .608
kategori masa kerja
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid <= 10 tahun 37 61.7 61.7 61.7
> 10 tahun 23 38.3 38.3 100.0
Total 60 100.0 100.0

164
kategori masa kerja * Keluhan ISPA Ringan
Crosstabulation
Count
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
kategori masa <= 10 tahun 16 21 37
kerja > 10 tahun 2 21 23
Total 18 42 60

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 8.061a 1 .005
Continuity Correctionb 6.500 1 .011
Likelihood Ratio 9.098 1 .003
Fisher's Exact Test .008 .004
Linear-by-Linear
7.927 1 .005
Association
N of Valid Casesb 60
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,90.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for kategori
masa kerja (<= 10 tahun / > 8.000 1.632 39.212
10 tahun)
For cohort Keluhan ISPA
4.973 1.258 19.664
Ringan = Tidak Ada
For cohort Keluhan ISPA
.622 .457 .846
Ringan = Ada
N of Valid Cases 60

165
9. Variabel Penggunaan Masker Responden

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kebiasaan responden
menggunakan masker
di area kerja basement 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
setiap harinya *
Keluhan ISPA Ringan

Kebiasaan responden menggunakan masker di area kerja basement setiap harinya


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 28 46.7 46.7 46.7
Tidak 32 53.3 53.3 100.0
Total 60 100.0 100.0

Chi-Square Tests
Kebiasaan responden menggunakan maskerAsymp.
di areaSig. Exact
kerja Sig. (2- Exact Sig. (1-
basement
Value ISPA
setiap harinya * Keluhan dfRingan(2-sided) sided)
Crosstabulation sided)
PearsonCount
Chi-Square 6.747a 1 .009
b
Continuity Correction 5.360 1Keluhan ISPA
.021 Ringan
Likelihood Ratio 6.893 1Tidak Ada.009 Ada Total
Fisher's Exact
Kebiasaan Test
responden Ya (kadang- .012.010
13 15 28
Linear-by-Linear
menggunakan masker di kadang)
6.635 1 .010
areaAssociation
kerja basement Tidak
setiap harinya 5 27 32
N of Valid Casesb 60
a. 0 cells (,0%) Total 18 5. The minimum
have expected count less than 42 60
expected count is 8,40.
b. Computed only for a 2x2 table

Jenis masker yang biasa dilakukan oleh responden pada area kerja
basement
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
166
Valid Tidak
26 43.3 43.3 43.3
memakai
Masker kain 13 21.7 21.7 65.0
Masker medis 21 35.0 35.0 100.0
Total 60 100.0 100.0

167
10. Variabel Kebiasaan Merokok Responden

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Lama responden
.212 34 .000 .861 34 .000
merokok
Jumlah batang rokok
yang dihisap responden .148 34 .056 .919 34 .015
perharinya
a. Lilliefors Significance Correction
Kat_IB
Frequen Percen Valid Cumulativ
cy t Percent e Percent
Vali Perokok ringan
24 70.6 70.6 70.6
d (1-199)
Perokok sedang
10 29.4 29.4 100.0
(200-599)
Total 34 100.0 100.0

Kebiasaan responden merokok dalam minimal 6 bulan terakhir


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Bukan
26 43.3 43.3 43.3
Perokok
Bekas Perokok 18 30.0 30.0 73.3
Masih
16 26.7 26.7 100.0
Merokok
Total 60 100.0 100.0

168
Kebiasaan responden merokok dalam minimal 6 bulan terakhir * Keluhan ISPA
Ringan Crosstabulation
Keluhan ISPA
Ringan
Tidak Ada Ada Total
Kebiasaan responden Bukan Count 6 20 26
merokok dalam Perokok Expected
minimal 6 bulan 7.8 18.2 26.0
Count
terakhir
Bekas Perokok Count 6 12 18
Expected
5.4 12.6 18.0
Count
Masih Count 6 10 16
Merokok Expected
4.8 11.2 16.0
Count
Total Count 18 42 60
Expected
18.0 42.0 60.0
Count

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.117a 2 .572
Likelihood Ratio 1.129 2 .569
Linear-by-Linear
1.045 1 .307
Association
N of Valid Cases 60
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 4,80.

169
Descriptives
Statistic Std. Error
Jumlah konsentrasi Mean .09165 .004710
PM10 di udara tempat 95% Confidence Lower Bound .08222
responden bekerja Interval for Mean Upper Bound .10108
dalam satuan mg/m3
5% Trimmed Mean .09006
Median .07300
Variance .001
Std. Deviation .036485
Minimum .055
Maximum .157
Range .102
Interquartile Range .052
Skewness .650 .309
Kurtosis -1.012 .608
Usia reponden terhitung Mean 33.28 1.410
sejak tanggal dilahirkan 95% Confidence Lower Bound 30.46
hingga pada saat Interval for Mean Upper Bound 36.10
diwawancarai
5% Trimmed Mean 32.87
Median 29.00
Variance 119.291
Std. Deviation 10.922
Minimum 20
Maximum 56
Range 36
Interquartile Range 22
Skewness .486 .309
Kurtosis -1.255 .608

170
11. Variabel Konsentrasi PM10

Descriptives
Statistic Std. Error
Jumlah konsentrasi Mean .09165 .004710
PM10 di udara tempat 95% Confidence Lower Bound .08222
responden bekerja Interval for Mean Upper Bound .10108
dalam satuan mg/m3
5% Trimmed Mean .09006
Median .07300
Variance .001
Std. Deviation .036485
Minimum .055
Maximum .157
Range .102
Interquartile Range .052
Skewness .650 .309
Kurtosis -1.012 .608
Usia reponden terhitung Mean 33.28 1.410
sejak tanggal dilahirkan 95% Confidence Lower Bound 30.46
hingga pada saat Interval for Mean Upper Bound 36.10
diwawancarai
5% Trimmed Mean 32.87
Median 29.00
Variance 119.291
Std. Deviation 10.922
Minimum 20
Maximum 56
Range 36
Interquartile Range 22
Skewness .486 .309
Kurtosis -1.255 .608

171
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Jumlah konsentrasi
PM10 di udara tempat
.242 60 .000 .819 60 .000
responden bekerja
dalam satuan mg/m3
a. Lilliefors Significance Correction

Ranks
Keluhan
ISPA
Ringan N Mean Rank Sum of Ranks
Jumlah konsentrasi Tidak Ada 18 22.94 413.00
PM10 di udara tempat Ada 42 33.74 1417.00
responden bekerja
Total 60
dalam satuan mg/m3

Test Statisticsa Statistics


Jumlah konsentrasi Kelembaban Jumlah
PM10 di udara tempat Suhu udara di udara di konsentrasi
responden bekerja tempat tempat PM10 di
dalam satuan mg/m3 responden responden udara tempat
bekerja dalam bekerja dalam responden
Mann-Whitney U 242.000
satuan derajat satuan bekerja dalam
Wilcoxon W 413.000 celcius persentase satuan mg/m3
Z -2.231
N Valid 60 60 60
Asymp. Sig. (2-
.026 Missing 0 0 0
tailed)
Mean 33.2630 50.113 .09165
a. Grouping Variable: Keluhan ISPA
Ringan Median 32.4700 51.500 .07300
Std. Deviation 2.30704 4.1658 .036485
Minimum 30.90 41.3 .055
Maximum 38.46 54.8 .157

172
Crosstab antar variabel

Jenis kelamin responden * Lokasi responden bekerja pada titik pengukuran ke berapa Crosstabulation
Count
Lokasi responden bekerja pada titik pengukuran ke berapa T
o
t
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 a
l
Perempuan 0 1 1 1 1 4 0 0 8
Jenis kelamin
responden 5
Laki-laki 14 8 4 4 1 10 9 2
2
6
Total 14 9 5 5 2 14 9 2
0

kategori usia berdasarkan nilai median * Profesi responden pada tempat kerja
basement parkir Crosstabulation
Count
Profesi responden pada
tempat kerja basement parkir
Petugas
Parkir Satpam Total
kategori usia usia kurang dari sama
27 6 33
berdasarkan nilai dengan 29 tahun
median usia lebih dari 29 tahun 2 25 27
Total 29 31 60

173
Lokasi responden bekerja * kategori masa kerja Crosstabulation
Count
kategori masa kerja
<= 10 tahun > 10 tahun Total
Lokasi responden bekerja P1 7 7 14
pada titik pengukuran ke P2 5 4 9
berapa
P3 3 2 5
P4 3 2 5
P5 2 0 2
P6 10 4 14
P7 5 4 9
P8 2 0 2
Total 37 23 60

174

Anda mungkin juga menyukai