Anda di halaman 1dari 114

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI FUNGSI PARU

PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI PT. MABAR FEED


INDONESIA TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh

ROSA NATALISA SINAGA


NIM. 161000179

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI FUNGSI PARU
PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI PT. MABAR FEED
INDONESIA TAHUN 2020

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSA NATALISA SINAGA


NIM. 161000179

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021

Universitas Sumatera Utara


i
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal : 14 Oktober 2020

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Muhammad Makmur Sinaga, M.S.


Anggota : 1. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K.
2. Umi Salmah, S.K.M., M.Kes.

ii
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis

Faktor yang Memengaruhi Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi PT.

Mabar Feed Indonesia Tahun 2020” beserta seluruh isinya adalah benar karya

saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-

cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat

keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam

daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang

dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap

etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian

karya saya ini.

Medan, Oktober 2020

Rosa Natalisa Sinaga

iii
Universitas Sumatera Utara
Abstrak

Setiap pekerjaan memiliki potensi bahaya dalam bentuk kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. Besarnya potensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja
tergantung pada jenis produksi, teknologi yang dipakai, bahan yang digunakan,
tata ruang, dan lingkungan bangunan serta kualitas manajemen dan tenaga-tenaga
pelaksana. Gangguan fungsi paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan
dan penyakit akibat kerja yang banyak dialami pekerja sektor formal maupun
informal yang mampu mempengaruhi produktivitas kerja. Penyakit paru akibat
kerja memperlihatkan insidensi rata-rata yakni sekitar satu kasus per 1000 pekerja
setiap tahun. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor host dan agent
yang dapat memengaruhi fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT Mabar
Feed Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan
pendekatan “Cross Sectional” dengan menggunakan uji regresi logistik terhadap
30 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 21
responden mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang berhubungan dengan
variabel gangguan fungsi paru (y) adalah kebiasaan merokok (p value 0,019),
penggunaan Alat Pelindung Diri (p value 0,001), dan kadar debu tepung (p value
0,042). Faktor yang berpengaruh dengan variabel gangguan fungsi paru (y) adalah
penggunaan Alat Pelindung Diri dengan P-value 0,019. Rekomendasi yang
diberikan sesuai dengan hierarki pengendalian risiko yaitu mewajibkan dan
mengawasi penggunaan masker secara ketat dan kontinyu pada pekerja,
pemeriksaan fungsi paru pekerja secara periodik, mengganti masker berjenis kain
tetra dengan menyediakan alat pelindung diri yang berjenis disposable dust mask
dan patuh terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) kepada pekerja yang
hendak masuk ke lingkungan kerja

Kata kunci : Pekerja, produksi, fungsi paru

iv
Universitas Sumatera Utara
Abstract

Every job has a potential hazard in the form of work accidents and occupational
diseases. The magnitude of the potential for accidents and occupational diseases
depends on the type of production, the technology used, the materials used, the
layout and the building environment as well as the quality of management and
personnel. Lung function disorders are still one of the health problems and
occupational diseases that are experienced by many formal and informal sector
workers which can affect work productivity. Occupational lung disease shows an
average incidence of about one case per 1000 workers per year. The purpose of
this study was to determine thefactors host and agent that can affect lung function
in the production workers of PT Mabar Feed Indonesia. This research is a type of
quantitative research with a "Cross Sectional"using a logistic regression test to
30 respondents. The results showed that of the 30 respondents, 21 respondents
had lung function disorders. Factors related to the variable lung function
disorders (y) were smoking habits (p value 0.019), use of personal protective
equipment (p value 0.001), and flour dust content (p value 0.042). The factor that
influences the variable lung function disorders (y) is the use of personal protective
equipment with a p-value of 0.019. The recommendations given are in accordance
with the risk control hierarchy namely monitoring and controlling the use of
masks strictly and continuously on workers, periodic inspections of workers lung
function, replace masks with a tetra type of cloth by providing Personal
Protective Equipment of the disposable dust mask type and compliance
occupational safety and health (OSH) for workers who want to enter the work
environment.

Keywords : Worker, production, lung function

v
Universitas Sumatera Utara
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan berkat-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor yang

Memengaruhi Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed

Indonesia Tahun 2020”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperolah gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Begitu banyak tantangan

dihadapi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun berkat bimbingan dari

berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes., selaku Ketua Departemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara

4. dr. Muhammad Makmur Sinaga, M.S., selaku Dosen Pembimbing

terimakasih atas bimbingan dan dukungan kepada penulis selama proses

penulisan skripsi ini sampai dengan selesai.

5. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K., sebagai Dosen Penguji I terimakasih atas

bimbingan dan dukungan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini

sampai dengan selesai.

vi
Universitas Sumatera Utara
6. Umi Salmah, S.K.M., M.Kes., sebagai Dosen Penguji II terimakasih atas

bimbingan dan dukungan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini

sampai dengan selesai.

7. Namora Lumongga Lubis, B.HSc., MSc., Ph.D., selaku Dosen Penasehat

Akademik selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Staf dan Dosen Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

9. Hamdan, S.H., selaku HRD PT. Mabar Feed serta semua pihak perusahaan

yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan

bantuan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Kepada orang tua penulis yaitu Luhut Parasian Sinaga dan Erny Farida

Nursanti Lumban Tobing yang sangat saya kasihi dan cintai yang telah

memberikan banyak doa, dukungan dan motivasi baik dari segi moral

maupun materi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Saudara penulis yaitu Charles Baringin Oloan Sinaga dan Stevanie Clarita

Sinaga yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis.

12. Kepada orang yang spesial Egi Anjas Sitepu yang selalu memberikan

semangat dan cinta kasihnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

13. Keluarga besar peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja angkatan 2016

yang selalu memotivasi dan membantu penulis dalam penyelesaian

penelitian ini.

vii
Universitas Sumatera Utara
14. Kepada teman-teman FKM USU dan semua pihak yang tidak bisa

disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang

dapat membangun saya agar dapat memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2020

Rosa Natalisa Sinaga

viii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Istilah xiv
Riwayat Hidup xv

Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7

Tinjauan Pustaka 8
Anatomi Pernapasan 8
Anatomi saluran pernapasan atas 8
Anatomi saluran pernapasan bawah 10
Pakan Ikan Mabar Feed 12
Fungsi Paru 15
Volume dan kapasitas fungsi paru 15
Mekanisme ekspirasi dan inspirasi paru 17
Penurunan fungsi paru oleh kualitas udara 18
Gejala penurunan fungsi paru 19
Gangguan fungsi paru 26
Debu 29
Debu tepung 29
Mekanisme penimbunan debu dalam paru 30
Pengaruh debu terhadap pernapasan 31
Penyakit akibat pencemaran debu di tempat kerja 32
Nilai ambang batas debu 32
Faktor yang Memengaruhi Fungsi Paru 33
Usia 33
Masa kerja 33
Alat penggunaan diri 34
Debu tepung 36

ix
Universitas Sumatera Utara
Kebiasaan merokok 37
Indeks Brinkman 38
Landasan Teori 38
Kerangka Konsep 40
Hipotesis Penelitian 41

Metode Penelitian 42
Jenis Penelitian 42
Lokasi dan Waktu Penelitian 42
Populasi dan Sampel 42
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 43
Metode Pengumpulan Data 45
Metode Pengukuran 45
Metode Analisis Data 47

Hasil Penelitian 49
Gambaran Umum PT. Mabar Feed Indonesia 49
Analisis Univariat 52
Distribusi proporsi fungsi paru 52
Distribusi proporsi faktor host 53
Distribusi proporsi faktor agent 54
Analisis Bivariat 55
Hubungan umur dengan fungsi paru 55
Hubungan masa kerja dengan fungsi paru 56
Hubungan kebiasaan merokok dengan fungsi paru 57
Hubungan penggunaan APD dengan fungsi paru 57
Hubungan kadar debu tepung dengan fungsi paru 58
Analisis Multivariat 59

Pembahasan 61
Variabel yang Signifikan terhadap Fungsi Paru 61
Penggunaan APD 61
Variabel yang Tidak Signifikan terhadap Fungsi Paru 65
Kebiasaan merokok 65
Kadar debu tepung 66
Keterbatasan Penelitian 67

Kesimpulan dan Saran 68


Kesimpulan 68
Saran 69

Daftar Pustaka 70
Lampiran 75

x
Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Distribusi Proporsi Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi


PT. Mabar Feed Indonesia 53
2 Distribusi Proporsi Faktor Host pada Pekerja Bagian Produksi
PT. Mabar Feed Indonesia 53

3 Distribusi Proporsi Faktor Agent pada Bagian Produksi Pakan


Ikan PT. Mabar Feed Indonesia 54

4 Distribusi Proporsi Faktor Agent dan Responden pada Bagian


Produksi Pakan Ikan PT Mabar Feed Indonesia 55

5 Tabulasi Silang antara Umur dengan Fungsi Paru pada Pekerja


Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 56

6 Tabulasi Silang antara Masa Kerja dengan Fungsi Paru pada


Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 56

7 Tabulasi Silang antara Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru


pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 57

8 Tabulasi Silang antara Penggunaan APD dengan Fungsi Paru


pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 58

9 Tabulasi Silang antara Kadar Debu Tepung dengan Fungsi Paru


pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 58

10 Hasil Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed
Indonesia 2020 59

11 Variabel yang Berpengaruh terhadap Fungsi Paru pada Pekerja


Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020 60

xi
Universitas Sumatera Utara
Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Kerangka teori 39

2 Kerangka konsep 40

3 Jenis masker pekerja bagian produksi pakan ikan 62

4 Disposable dust mask 63

xii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian 75

2 Master Data 79

3 Output SPSS 83

4 Tingkat Debu Bagian Produksi Pakan Ikan 90

5 Surat Izin Penelitian 91

6 Surat Selesai Penelitian 92

7 Dokumentasi Penelitian 93

xiii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Istilah

APD Alat Pelindung Diri


CO2 Carbon Dioxide
FEV1 Forced Expiratory in 1 Second
FVC Forced Vital Capacity
IC Inspiratory Capacity
ILO International Labour Organization
K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Kemenaker Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Kemenkes Keputusan Menteri Kesehatan
NAB Nilai Ambang Batas
O2 Oxygen
Permenaker Peraturan Menteri Tenaga Kerja
TLC Total Lung Capacity
WHO World Health Organization

xiv
Universitas Sumatera Utara
Riwayat Hidup

Penulis bernama Rosa Natalisa Sinaga berumur 22 tahun, dilahirkan di

Jakarta pada tangal 08 Desember 1997. Penulis beragama Kristen Katolik, anak

kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Luhut Parasian Sinaga dan Erny Farida

Nursanti Lumban Tobing.

Pendidikan formal dimulai di TK Harapan Bunda Tahun 2003. Pendidikan

sekolah dasar di SD Harapan Bunda Tahun 2004-2010, sekolah menengah

pertama di SMP Santa Lusia Tahun 2010-2013, sekolah menengah atas di SMA

Pangudi Luhur II Servasius Tahun 2013-2016, selanjutnya penulis melanjutkan

pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Oktober 2020

Rosa Natalisa Sinaga

xv
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan

Latar Belakang

Setiap pekerjaan memiliki potensi bahaya dalam bentuk kecelakaan kerja

dan penyakit akibat kerja. Besarnya potensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja

tergantung pada jenis produksi, teknologi yang dipakai, bahan yang digunakan,

tata ruang, dan lingkungan bangunan serta kualitas manajemen dan tenaga-tenaga

pelaksana (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Berdasarkan data International

Labour Organization (ILO) (2013) menyatakan 160 pekerja di seluruh dunia

mengalami sakit akibat kerja.Selain itu, ILO mengungkapkan bahwa terjadinya

kasus penyakit akibat hubungan kerja menyebabkan 300.000 kematian di seluruh

dunia. Menurut Buku Keselamatan dan Kesehatan Kerja penerbit Markenan pada

Tahun 2004, yaitu hanya sedikit pekerja yang mempunyai akses terhadap

pelayanan kesehatan kerja yang memadai, yaitu sekitar 5-10% pekerja di Negara

berkembang dan 20-50% pekerja di negara industri.

Tenaga kerja juga merupakan sumber daya manusia yang mempunyai

peranan utama didalam proses pembangunan industri. Berdasarkan Undang-

Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada

bagian perlindungan Pasal 86 ayat 2 menyebutkan bahwa untuk melindungi

keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal

diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Penjelasannya yaitu

upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan

keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja buruh dengan cara

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat

1
Universitas Sumatera Utara
2

kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi (Himpunan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia, 2008:48).

Menurut Buchari, 2007 dengan penelitiannya Penyakit akibat kerja dan

penyakit terkait kerja mengungkapkan data menunjukkan bahwa penyebab utama

kematian akibat PAK adalah kanker dengan persentase 34 % diikuti penyakit

kardiovaskular sebesar 25 % dan penyakit saluran pernafasan sebesar 21 %

dengan pneumokoniosis dan silikosis sebagai penyebabnya. Gangguan fungsi

paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyakit akibat kerja

yang banyak dialami pekerja sektor formal maupun informal yang mampu

mempengaruhi produktivitas kerja. Penyakit paru akibat kerja memperlihatkan

insi;densi rata-rata yakni sekitar satu kasus per 1000 pekerja setiap tahun.

Udara di lingkungan kerja yang penuh oleh debu, uap, gas dan lainnya

y;ang disatu pihak mengganggu produktifitas dan mengganggu kesehatan dipihak

lain. Hal ini sering menyebabkan gangguan pernafasan ataupun dapat

mengganggu kapasitas vital paru (Suma‟mur P.K., 2013). Dalam kondisi tertentu,

debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan

kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru bahkan dapat

menimbulkan keracunan umum (Depkes RI, 2003:44).

Hasil penelitian Antarudin pada tahun 2003 dengan judul penelitian yaitu

Pengaruh debu padi pada faal paru pekerja kilang padi yang merokok dan tidak

merokok, menyatakan bahwa debu merupakan salah satu komponen yang

menurunkan kualitas udara. Akibatnya terpapar debu, kenikmatan kerja akan

terganggu dan lambat laun dapat pula menimbulkan gangguan fungsi paru.

Universitas Sumatera Utara


3

Gangguan pernapasan akibat inhalasi debu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu

ukuran partikel, bentuk, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama pajanan, dan

faktor individu berupa mekanisme pertahanan tubuh. Ketika bernapas, udara yang

mengandung debu masuk ke dalam paru-paru. Tidak semua debu dapat menimbun

di dalam jaringan paru-paru, karena tergantung besar ukuran debu tersebut. Debu-

debu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan napas bagian atas,

sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan dibagian tengah jalan napas.

Partikel-partikel yang berukuran 1-3 mikron akan ditempatkan langsung

dipermukaan jaringan dalam paru-paru.

Hasil penelitian Nuraisyah pada tahun 2010 dengan judul penelitian

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Konsentrasi Debu terhadap Gangguan Faal

Paru pada Pekerja di Industri Pakan Ternak Medan Tahun 2010 yaitu kondisi faal

paru pekerja pada industri pakan PT. Gold Coin Indonesia adalah tidak

mengalami gangguan faal paru (normal) yaitu sebanyak 13 pekerja (38,23%),

sedangkan pekerja yang mengalami gangguan faal paru kategori obstriktif ringan

sebanyak 6 pekerja (17,64%), faal paru kategori restriktif ringan sebanyak 6

pekerja (17,64%), pekerja yang mengalami gangguan faal paru kategori campuran

sebanyak 9 pekerja (26,49%), dan tidak ditemukan pekerja dengan gangguan faal

paru kategori berat.

Debu yang masuk ke dalam saluran respirasi menyebabkan reaksi

mekanisme pertahanan non spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

mukosilier dan gangguan fagositosis makrofag. Sistem mukosilier juga

mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah dan otot polos

Universitas Sumatera Utara


4

di sekitar jalan nafas terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Bila lendir

makin banyak disertai mekanismenya tidak sempurna akan terjadi resistensi jalan

naf;as berupa obstruksi saluran pernafasan, yang secara umum bisa dikatakan

terjadi penurunan kapasitas vital paru. Keadaan ini biasanya terjadi pada kadar

debu melebihi nilai ambang batas yaitu 10 mg/m3 berdasarkan Surat Edaran

Menteri No. 1 Tahun 1997.

Hasil penelitian Suyanto, S., dkk. pada tahun 2015 dengan judul Analisis

Pengaruh Kepadatan Debu dan Penggunaan APD Pekerja Pabrik Pakan Ikan

Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pabrik Pakan Ikan di Kecamatan

XIII Koto Kampar mengungkapkan bahwa kepadatan debu yang tidak normal

berisiko 29,7 kali mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan dengan

ke;padatan debu dalam ambang batas normal. Selain itu, Pekerja yang tidak

menggunakan APD berisiko 26,4 kali mengalami gangguan fungsi paru

dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan APD.

PT. Mabar Feed Indonesia merupakan salah satu perseroan dalam bidang

industri pakan ikan dan ternak di Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Lokasi

pabrik dan kantor berada di Jalan. Rumah Potong Hewan KM 9 No. 44 Mabar,

Medan 20242. PT. Mabar Feed memiliki 6 proses produksi. Proses pengolahan

pakan ikan pada PT. Mabar Feed Indonesia dimulai dari batching, grinding,

mixing, pembentukan, pengayakan, serta packing. Setiap proses kerja memiliki

faktor-faktor resiko yang terpapar terhadap pekerja bisa dari fisik, kimia, biologi,

maupun ergonomi.

Universitas Sumatera Utara


5

Bahan tambahan yang digunakan antara lain: minyak ikan (fish oil),

vitamin, obat-obatan, karung, benang jahit, dan jarum jahit karung. Pada proses

produksi di PT Mabar Feed yang terdapat pekerja dan terpapar debu tepung

berada pada bagian:

a) Penimbangan (Batching). Penimbangan merupakan tahap paling awal. Proses

penimbangan merupakan proses untuk memisahkan bahan baku dari sampah-

sampah yang terdapat pada bahan baku. Kadar debu pada proses penimbangan

cukup banyak karena letaknya paling belakang pada bagian produksi dan

berdekatan dengan gudang bahan baku. Debu timbul dan berasal dari tepung

ikan, tepung kedelai dan bahan baku lainnya.

b) Pengemasan (Packaging). Pengemasan merupakan tahap paling akhir. Proses

pengemasan dimulai dengan penentuan berat per netto produk jadi ditimbang

secara otomatis 50 Kg untuk pakan ikan teggelam dan 30 Kg untuk pakan ikan

terapung yang masuk ke dalam karung goni plastik. Pengemasan berada di

letak paling depan bagian produksi. Debu berasal pada dari pakan ikan yang

masuk ke dalam karung goni plastik dimana pekerja menunggu dan berdiri

pada mesin proses packing tersebut.

Setelah peneliti terjun langsung ke pabrik tersebut, sebagian besar hampir

semua pekerja bagian produksi yang telah diwawancarai sekilas terdapat keluhan

subjektif yang dirasakan seperti batuk dan sesak nafas. Alasan yang mendasari

yaitu konsentrasi debu hasil dari proses produksi yang terdapat pada lingkungan

kerja, debu yang timbul berupa partikel-partikel halus yang berasal dari bahan

baku pakan ikan berupa debu tepung. Selain itu, perilaku pekerja yang merokok di

Universitas Sumatera Utara


6

lingkungan kerja ketika istirahat yang akan membuat kondisi lingkungan kerja

dan pekerja itu sendiri lebih beresiko terhadap fungsi paru serta perilaku pekerja

yang buruk dalam penggunaan pelindung saluran pernapasan ketika bekerja.

Dengan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam

mengenai analisis faktor yang memengaruhi fungsi paru pada pekerja bagian

produksi.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam

penelitian yaitu belum diketahui faktor-faktor yang memengaruhi fungsi paru.

Penulis ingin mengetahui faktor yang memengaruhi fungsi paru pada pekerja

bagian produksi di PT. Mabar Feed Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Untuk mengetahui analisis faktor yang memengaruhi

fungsi paru pada pekerja bagian produksi di PT. Mabar Feed Indonesia.

Tujuan khusus. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor host yang dapat memengaruhi fungsi paru pada

pekerja bagian produksi PT. Mabar Feed Indonesia

2. Untuk mengetahui faktor agent yang berasal dari partikel debu produksi

pakan ikan di lingkungan tempat kerja bagian produksi PT. Mabar Feed

Indonesia

Universitas Sumatera Utara


7

Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi PT. Mabar Feed Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi PT. Mabar Feed Indonesia dalam

melaksanakan program Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) dan upaya

pengendalian untuk pencegahan gangguan fungsi paru bagi tenaga kerja.

2. Bagi Tenaga Kerja

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada tenaga kerja khususnya

pada pekerja bagian produksi PT. Mabar Feed Indonesia mengenai kesehatan

lingkungan kerja serta dampak kesehatan yang diterima tenaga kerja sehingga

dapat dilakukan pencegahan.

3. Peneliti Selanjutnya

Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan bagi penulis

serta sarana pengaplikasian teori yang telah diterima dari bangku kuliah

terhadap kenyataan di lapangan terutama mengenai permasalahan yang

diteliti.

Universitas Sumatera Utara


Tinjauan Pustaka

Anatomi Pernapasan

Anatomi saluran pernafasan atas. Anatomi saluran napas atas terdiri

atas lubang hidung (cavum nasalis), sinus paranasalis, faring, laring, diantaranya

yaitu:

1. Hidung. Dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Rongga

hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring

(filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa)

hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut

mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke

dalam saluran pernafasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang

hidung terdapat reseptor.

Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur udara, pengatur

kelembapan udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring

udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung

dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim

lisozim.Vibrissa adalah rambut pada vestibulum nasi yang bertugas sebagai

penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan

kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada

lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan oleh reflex bersin (Soemantri, 2008).

2. Sinus Paranasalis. Merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.

Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus

ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxilarris.

8
Universitas Sumatera Utara
9

Sinus berfungsi untuk:

a) Membantu menghangatkan dan humidifikasi

b) Meringankan berat tulang tengkorak

c) Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi

3. Faring. Merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (± 13 cm) yang letaknya

bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus

pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat

digestion (menelan) seperti pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya, faring

dibagi menjadi tiga yaitu di belakang hidung (naso-faring) yang merupakan

muara tube eustachius, belakang mulut (oro-faring) yang berfungsi untuk

menampung udara dari naso faring dan makanan dari mulut, dan belakang

laring (laringo-faring) yang merupakan bagian terbawah faring yang

berhubungan dengan esophagus dan pita suara (vocal cord) yang berada dalam

trachea. Laringo faring berfungsi pada saat menelan dan respirasi (Soemantri,

2008).

4. Laring. Disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitelium lined yang

berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah). Fungsi laring yaitu

untuk pembentukan suara, sebagai proteksi jalan napas bawah dari benda asing

dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas:

a. Epiglotis : katup kartilago yang menutup dan membuka selama

menelan

b. Glottis : lubang antara pita suara dan laring

Universitas Sumatera Utara


10

c. Kartilago tiroid : kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian

yang membentuk jakun (Adam‟s apple).

d. Kartilago krikoid : cincin kartilago yang utuh di laring (terletak

dibawah kartilago tiroid)

e. Kartilago arytenoid : digunakan pada pergerakan pita suara bersama

dengan kartilago tiroid

f. Pita suara: sebuah ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang

menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring (Soemantri,

2008).

Anatomi saluran pernafasan bawah. Saluran pernapasan bagian bawah

terdiri atas:

1. Saluran Udara Konduktif. Merupakan percabangan trakheobronkhialis

(tracheobronchial tree) yang terdiri atas trakhea, bronkhus, dan bronkhiolus.

a. Trakhea. Trakhea merupakan perpanjangan dari laring yang bercabang

menjadi dua bronchus. Ujung cabang trachea disebut carina. Trachea

bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan

cincin kartilago berbentuk huruf C (Soemantri, 2008).

b. Bronkus dan Bronkiolus. Cabang bronkus kanan lebih pendek, lebih

lebar, dan cenderung lebih vertikal daripada cabang yang kiri. Hal

tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam

cabang sebelah kanan daripada cabang bronkus sebelah kiri. Bronkus

disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus yang berakhir

pada alveoli, tidak mengandung kartilago (Soemantri, 2008).

Universitas Sumatera Utara


11

2. Saluran Respiratorius Terminal. Memiliki fungsi yaitu sebagai penyalur

(konduksi) gas masuk dan keluar dari satuan respiratorius terminal (saluran

pernapasan paling ujung), yang merupakan tempat pertukaran gas yang

sesungguhnya.

a. Alveoli. Alveoli merupakan kantung udara yang berukuran sangat

kecil, dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga

memungkinkan pertukaran O2 dan CO2 (Soemantri, 2008).

b. Paru-paru. Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut

yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada

pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan

paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Paru-paru kanan dan kiri

dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum. Jantung, aorta, vena

cava, pembuluh paru-paru, esophagus, bagian dari trakea dan bronkus,

serta kelenjar timus terdapat pada mediastinum (Soemantri, 2008).

c. Dada, Diafragma, dan Pleura. Tulang dada (sternum) berfungsi

melindungi paru-paru, jantung, dan pembuluh darah besar. Diafragma

terletak di bawah rongga dada. Diafragma berbentuk seperti kubah

pada keadaan relaksasi. Pleura merupakan membran serosa yang

menyelimuti paru-paru. Pleura ada 2 macam, yaitu pleura parietal

yang bersinggungan dengan rongga dada (lapisan luar paru-paru) dan

pleura visceral yang menutupi setiap paru-paru (lapisan dalam paru-

paru). Di antara kedua pleura terdapat cairan pleura seperti selaput tipis

yang memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama

Universitas Sumatera Utara


12

lain selama respirasi, dan mencegah pelekatan dada dengan paru-paru.

Apabila terserang penyakit, pleura akan mengalami peradangan

(Soemantri, 2008).

d. Sirkulasi Pulmoner. Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah

yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Arteri bronkhialis

berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior

bronkus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena

pulmonalis. Arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kanan yang

mengalirkan darah vena ke paru-paru di mana darah tersebut

mengambil bagian dalam pertukaran gas (Soemantri, 2008).

Pakan Ikan Mabar Feed

Bahan baku. Bahan baku merupakan bahan utama yang digunakan dalam

proses produksi untuk mengahasilkan sebuah produk. bahan ini memiliki

persentase yang relative besar dalam produk dbandingkan dengan bahan-bahan

lainnya. Kualitas bahan baku yang digunakan sangat menentukan kualitas produk

yang dihasilkan. Bahan baku dari pakan ikan yaitu BKK (Bungkil Kacang

Kedelai), cumi-cumi, dedak, jagung, tepung ikan lokal, tepung terigu, MBM

(Tepung Daging), tepung chili, tepung lokal, PMM (tepung).

Proses produksi. Proses produksi merupakan suatu kegiatan yang

melibatkan sumber daya manusia, bahan serta peralatan untuk menghasilkan

produk yang berguna. Berikut merupakan proses produksi pakan ikan pada PT

Mabar Feed Indonesia:

Universitas Sumatera Utara


13

a) Penimbangan (Batching). Bahan baku dimasukkan terlebih dahulu ke lubang

intake, yaitu tempat pemasukan bahan baku yang kemudian akan dialirkan

dengan chains conveyor untuk memisahkan bahan baku dari sampah-sampah

yang terdapat pada bahan baku. Pada saat bahan baku dimasukkan ke lubang

intake, debu timbul dan terhirup oleh pekerja sehingga pekerja mengalami

sesak nafas.

b) Penggilingan (Grinding). Bahan baku yang masuk ke penggilingan akan

terpukul dan terlempar masuk ke ayakan yang terpasang sepanjang sisi pisau

yang berputar. Bahan yang masuk akan diputar dengan hembusan angin

berkecepatan tinggi dan akan membentur mata pisau sehingga bahan akan

hancur dan menjadi tepung. Bahan baku yang sudah halus akan diteruskan ke

ayakan lalu dimasukkan ke bin bahan halus. Pada tahap ini, pekerja tidak

terlibat karena bahan baku sudah masuk ke dalam mesin.

c) Pencampuran (Mixing). Pada pengolahan pakan ikan tenggelam (sinking),

dapat dilakukan pengadukan pada mixer 2 dan mixer 3, sedangkan pakan ikan

terapung (floating) hanya dapat diaduk pada mixer 3 saja. Bahan yang sudah

masuk ke mixer 2 dan mixer 3 dicampur dengan memasukkan bahan-bahan

tambahan seperti mineral, vitamin dan obat-obatan.

Pada tahap ini terdapat pekerja pada lantai 4 sekali sekali datang

memberikan vitamin karena tidak setiap saat pemberian vitamin, hanya dilakukan

pada saat pencampuran bahan baku. Pada pakan ikan tenggelam (sinking),

pencampuran minyak ikan yang dialirkan melalui pipa kecil, sampai tercampur

Universitas Sumatera Utara


14

merata. Pencampuran dilakukan selama 5 menit, Sedangkan untuk pakan ikan

terapung (floating) pelapisan minyak ikan dilakukan di mesin spray.

d) Pembentukan. Ada dua proses pembentukan pakan ikan pada PT. Mabar Feed,

yaitu:

1. Proses pembentukan pakan tenggelam (sinking). Bahan yang telah

tercampur dilanjutkan dengan feeder ke conditionermachine. Pada

conditioner machine ini dilakukan proses steam dengan temperatur

berkisar 80 - 95 °C. Setelah proses steam, dilakukan pembentukan

pellet (pemelletan) pada mesin pellet mill. Pembentukan pellet ini

dicetak pada lubang-lubang yang berukuran tertentu (ukuran die).

2. Proses pembentukan pakan terapung (floating). Campuran bahan dari

bin floating di masukkan ke bin scale extrudder , kemudian dialirkan ke

conditioner machine untuk dilakukan proses steam dengan temperatur

berkisar 80 - 100 °C. Dikatakan pakan ikan terapung apabila pelet

tersebut tetap berada di permukaan air minimal selama semenit,

kemudian akan tenggelam. Pelet terapung yang ditumbuk akan berubah

;menjadi pelet tenggelam. Sedangkan pakan ikan tenggelam akan

langsung jatuh ke dasar air tanpa terapung terlebih dahulu. pelet

tenggelam dikeringkan dalam waktu yang lama, maka sifatnya akan

berubah menjadi pelet apung.

e) Pengayakan (Cooler). Pakan dibawa dengan conveyor dan bucketelevator ke

pengayakan untuk memisahkan debu yang tedapat pada pakan. Debu dari hasil

Universitas Sumatera Utara


15

pengayakan dibawa kembali ke proses pembentukan untuk dilakukan

pembentukan ulang.

f) Pengemasan (Packaging) Proses pengemasan dimulai dengan penentuan berat

per netto produk jadi ditimbang secara otomatis 50 Kg untuk pakan ikan

teggelam dan 30 Kg untuk pakan ikan terapung yang masuk ke dalam karung

goni plastik. Selanjutnya, produk yang sudah di packing dibawa ke gudang

bahan jadi dengan menggunakan fork lift.

Fungsi Paru

Fungsi paru adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara

luar yang masuk ke dalam saluran pernapasan dan terus ke dalam darah. Oksigen

digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada

proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke luar udara (Yunus, 2006). Proses

respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

a. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

b. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta

keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.

c. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk

dialirkan ke seluruh tubuh.

Volume dan kapasitas fungsi paru. Volume dan kapasitas fungsi paru

merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem respirasi. Dengan mengetahui

besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas

Universitas Sumatera Utara


16

ventilasi maupun ada tidaknya kelainan ventilasi pada seseorang. Beberapa

parameter volume fungsi paru diantaranya:

1. Volume Alun Napas (Tidal Volume – TV)

Volume udara yang masuk dan keluar paru-paru pada pernapasan biasa dalam

keadaan istirahat (N = ± 500 ml)

2. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiration Reserve Volume – IRV)

Volume udara yang masih dapat masuk ke dalam paru-paru pada inspirasi

maksimal setelah inspirasi secara biasa. Volume cadangan inspirasi pada laki-

laki dan perempuan berbeda. Pada laki-laki (L) sebesar ± 3300 ml, sedangkan

pada perempuan (P) sebesar 1900 ml.

3. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiration Reserve Volume – ERV)

Volume cadangan ekspirasi yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara

aktif dari dalam paru-paru melalui kontraksi otot-otot ekspirasi setelah

ekspirasi secara biasa ( L = ± 1000 ml, P = 700 ml).

4. Volume Residu (Residual Volume – RV)

Volume residu yaitu udara yang masih tersisa dalam paru-paru setelah

ekspirasi maksimal (L = ± 1200 ml, P = ± 1100 ml).

Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan

kedalam tubuh atau paru-paru seseorang secara maksimal. Kapasitas paru ada

berbagai macam, diantaranya:

1. Kapasitas Inspirasi (Inspiration Capacity – IC)

Kapasitas inspirasi yaitu jumlah udara yang dapat dimasukkan ke dalam paru-

paru setelah akhir ekspirasi secara biasa (IC = IRV + TV).

Universitas Sumatera Utara


17

2. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity – FRC)

Kapasitas residu fungsional yaitu jumlah udara di dalam paru-paru pada akhir

ekspirasi secara biasa (FRC = ERV + RV).

3. Kapasitas Vital (Vital Capacity – VC)

Kapasitas vital yaitu volume udara maksimal yang dapat masuk dan keluar

paru-paru selama satu siklus pernapasan yaitu setelah inspirasi maksimal dan

ekspirasi maksimal (VC = IRV + TV + ERV).

4. Kapasitas Paru-paru Total (Total Lung Capacity – TLC)

Kapasitas paru-paru total yaitu jumlah udara maksimal yang masih dapat

berada paru-paru (TLC = VC + RV). Nilai TLC normal pada laki-laki adalah ±

6000 ml sedangkan pada perempuan ± 4200 ml.

Mekanisme ekspirasi dan inspirasi paru. Inspirasi adalah proses yang

aktif. Kontraksi otot inspirasi meningkatkan volume intrathoracic. Tekanan

intrapleural di dasar paru-paru, yang biasanya sekitar -2,5 mmHg (relatif terhadap

atmosfer) pada awal inspirasi, berkurang menjadi sekitar -6 mmHg. Paru-paru

ditarik ke posisi yang lebih luas. Tekanan di jalan napas menjadi sedikit negatif,

dan udara mengalir ke paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil paru mulai menarik

kembali dada ke posisi ekspirasi, sehingga tekanan pada paru-paru takan normal

kembali dan akan menjaga keseimbangan dinding dada. Tekanan di jalan napas

menjadi sedikit positif, dan udara mengalir keluar dari paru-paru.

Ekspirasi saat bernapas tenang dan pasif akan membuat otot-otot

pernafasan mengalami relaksasi yang dapat menurunkan volume intrathoracic.

Namun, beberapa kontraksi otot inspirasi terjadi juga pada bagian awal ekspirasi.

Universitas Sumatera Utara


18

Kontraksi ini memberikan tindakan memperlambat masa ekspirasi. Upaya

inspirasi yang kuat mengurangi tekanan intrapleural terhadap nilai serendah -

30mmHg, menghasilkan derajat inflasi paru yang lebih tinggi. Ketika ventilasi

meningkat, tingkat deflasi paru juga meningkat dengan kontraksi aktif otot

ekspirasi yang menurunkan volume intrathoracic (Guyton A.C. dan J.E. Hall,

2007).

Penurunan fungsi paru oleh kualitas udara. Untuk mendapatkan energi,

manusia memerlukan oksigen yang digunakan untuk pembakaran zat makanan

dalam tubuh. Pemenuhan kebutuhan oksigen tersebut diperoleh dari udara melalui

proses respirasi. Paru merupakan salah satu organ sistem respirasi yang berfungsi

sebagai tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya

peningkatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung

setiap saat, oleh karena itu kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap

faal paru (Khumaidah, 2009).

Penyebaran bahan kimia pencemar yang bercampur dengan udara yang

tembus ke dalam tumpukan troposfer kemudian terbawa secara lurus dan

melintang didalam atmosfer bereaksi secara kimiawi dengan bahan lainnya. Polusi

yang tahan lama akan terbawa dalam jarak tempuh yang jauh dan jatuh ke

permukaan bumi menjadi partikel padat tetapi dalam mengikuti gerakan udara

polutan menyebar dan bercampur dalam butiran air serta mengembun jatuh ke

permukaan bumi (Suma‟mur 2013).

Universitas Sumatera Utara


19

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel

melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron

sampai dengan 500 mikron. Macam-macam debu yaitu:

1. Debu Organik (debu kapas, debu dedaunan, tembakau dan sebagainya)

2. Debu Mineral (merupakan senyawa komplek: SiO2, SiO3, arang batu)

3. Debu Metal (Debu yang mengandung unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen)

Gejala penurunan fungsi paru. Berikut merupakan gejala-gejala

penurunan fungsi paru yaitu:

1. Menurut Halim Danusantoso pada buku yang berjudul Buku Saku Ilmu

Penyakit Paru, keluhan utama penyakit paru yaitu:

a. Batuk

Sebetulnya, batuk tidak lain adalah suatu reflex defensif belaka, untuk

membersihkan saluran pernapasan dari secret (berupa mukus), bahan

nekrotik, benda asing, dan sebagainya. Refleks ini bisa pula

ditimbulkan oleh berbagai rangsangan pada mukosa saluran pernapasan

dan juga oleh rangsangan pada pleura paritalis.

b. Sesak

Keluhan sesak merupakan akibat kurang lancarnya pemasukan udara

saat inspirasi atau pengeluaran udara saat ekspirasi, karena ada

penyempitan atau penyumbatan pada bronkeolus/bronkus/trakea/larings.

Sebab lain adalah berkurangnya volume paru yang masih berfungsi

baik, atau berkurangnya elastisitas paru. Bisa juga, ekspansi paru

terhambat. Perlu juga diingat bahwa ada berbagai penyebab yang sama

Universitas Sumatera Utara


20

sekali tak ada hubungannya dengan paru, misalnya anemia berat,

decompensation cordis, dan lain-lain.

c. Batuk darah

Lesi pada saluran pernapasan mulai dari hidung sampai paru dapat

mengenai pembuluh darah dan menimbulkan perdarahan.

d. Nyeri dada

Keluhan ini dapat berasal dari pleura paritalis, jantung, mediastinum,

dan dinding toraks.

e. Sputum

Bila dahak berwarna putih-keruh, berarti sudah mulai ada infeksi

setempat. Kalau infeksi semakin parah, dahak akan semakin mendekati

nanah dengan warna kuning dan baunya yang khas. Bila penyebabnya

kuman anaerob, dahak akan berwarna hijau-keruh dan berbau busuk.

Adanya bintik-bintik hitam dalam dahak menunjukan adanya polusi

udara berat, baik yang akibat ulah sendiri atau karena pencemaran udara

berat. Bila dahak berwarna seperti karat besi dan disertai panas tinggi,

perlu diingat pnemoni karena pnemokokus. Bila dahak seperti jelly

kismis atau kurma dan disertai panas tinggi, perlu dipikirkan adanya

pnemo karena klebsiella.

f. Napas berat

Napas berat terjadi ketika oksigen masuk ke dalam tubuh terlalu sedikit.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) disebabkan oleh penyumbatan

Universitas Sumatera Utara


21

udara di paru-paru akibat peradangan kronis pada paru-paru yang

mengakibatkan kesulitan bernapas atau napas menjadi berat.

2. Menurut Prof. Dr. H. Tabrani Rab pada buku yang berjudul Ilmu Penyakit

Paru, keluhan utama penyakit paru yaitu:

a. Batuk

Sekalipun batuk merupakan suatu mekanisme dari saluran napas untuk

membersihkan (clearance) saluran napas, akan tetapi batuk dapat

dianggap patologi apabila frekuensi dan amplitudonya terlalu dalam. Dan

sebaliknya, batuk dapat merupakan keluhan bagi pasien yang datang ke

dokter dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan gejala

penyakit saluran pernapasan. Zat-zat yang dapat merangsang batuk

misalnya asap atau debu. Bila tersedot, maka akan dikeluarkan melalui

batuk, akan tetapi bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi fibrosis,

atelectasis, atau massa endobronkial.

Dasarnya adalah iritasi dari mukosa bronkus yang dapat disebabkan oleh

inflamasi (peradangan), baik oleh bakteri, virus, dan jamur, disertai

dengan mukus yang banyak. Dapat pula disebabkan oleh iritasi karena

benda asing. Selain itu, batuk dapat disebabkan oleh tumor THT, dan

tumor pada saluran pernapasan. Baik penyakit paru obstruktif (bronkitis

kronik, asma, emfisema, dan bronkiektasis) maupun penyakit restriktif

(berbagai penyakit interstisial dan degeneratif) dan berbagai penyakit

infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan batuk. Iritasi pada saluran

pernapasan selain disebabkan oleh faktor-faktor mekanik, dapat pula

Universitas Sumatera Utara


22

disebabkan oleh iritan, seperti rokok, gas, dan bahan-bahan kimia, dapat

merupakan stimulant dalam terjadinya batuk.

b. Dispne (Sesak)

Dispne atau sesak napas merupakan keadaan yang sering ditemukan pada

penyakit paru maupun penyakit jantung. Bila nyeri dada merupakan

keluhan yang paling dominan dalam infark jantung, maka dispne (sesak

napas) merupakan hal yang dominan pada penyakit paru. Akan tetapi

kedua gejala ini jelas dapat dilihat pada emboli paru, bahkan sesak napas

merupakan gejala utama pada payah jantung. Secara umum yang

dimaksud dengan dispne adalah kesulitan bernapas. Kesulitan bernapas

ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernapasan tambahan.

Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula

terjadi dengan cepat.

c. Wheezing (Bengek)

Wheezing yang persisten menunjukkan adanya asma, bronchitis, atau

emfisema.

d. Nyeri Dada

Walaupun parenkim paru dan pleura viseralis tidak mempunyai reseptor

rasa sakit, tetapi nyeri dada selalu merupakan keluhan utama pada

penyakit paru. Rasa nyeri ini juga dirasakan pada hipertensi pulmonal,

disamping infark jantung. Pada kanker paru juga dirasakan nyeri yang

unilateral.

Universitas Sumatera Utara


23

3. Menurut dr. Hermayudi dan Ayu Putri Ariani, Am. Keb pada buku yang

berjudul Pulmonologi, keluhan utama penyakit paru yaitu:

a. Dispnea (Rasa Sesak)

Dyspnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan

penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatnya dapat berupa rasa

tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri yang membutuhkan

bantuan napas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal. Hal ini

dapat diketahui dengan anamnesis teliti, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang foto toraks dan spirometri.

b. Batuk

Batuk adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya rangsangan

iritan yang terdapat diseluruh saluran napas. Batuk juga dapat merupakan

akibat penyakit telinga atau gangguan perut yang mengakibatkan iritasi

diafragma. Batuk yang terjadi kadang-kadang dan berhubungan dengan

paparan sesuatu keadaan lingkungan (hawa dingin, debu, asap, angin, dan

lainnya) akan menggiring kepada penyebab batuk itu. Batuk berdahak

(sputum mukopurulen) menunjukkan adanya kelainan saluran napas

bawah.

c. Hemoptysis

Batuk darah (hemoptysis) atau dahak bercampur darah harus dibedakan

dari muntah darah (hemastemesis), hemastemesis disebabkan lesi pada

saluran cerna (tukak peptik, gastritis, varises esophagus), sedangkan

hemoptysis (batuk darah) lesi di paru-paru atau bronkus atau bronkioli.

Universitas Sumatera Utara


24

d. Nyeri dada

Nyeri dada dapat disebabkan oleh penyakit jantung, paru atau nyeri alih

abdomen. Ada 2 jenis nyeri dada karena penyakit paru yaitu pleuritik

(nyeri tajam, menusuk dan makin memburuk dengan bernapas dalam

ataupun batuk) dan trakeobronkial (nyeri dapat berlangsung berjam-jam

hingga berhari-hari).

4. Menurut John E. Stark MA, MD, FRCP, dkk pada buku yang berjudul Manual

Ilmu Penyakit Paru, keluhan utama penyakit paru yaitu:

a. Sesak napas

Sesak napas (dyspnea) merupakan suatu perasaan bernapas yang tidak

nyaman. Orang normal hanya mengalami sesak napas jika ia melakukan

aktifitas. Rasa sesak ini akan meningkat seiring dengan dicapainya

kecepatan kerja yang maksimal dan kecepatan pertukaran oksigen dan

karbondioksida yang maksimal.

b. Mengi (Wheezing)

Mengi adalah suara kontinyu yang dihasilkan jika dinding saluran napas

mengalami obstruksi sebagian. Mengi terdiri dari mengi monofonik dan

polifonik. Mengi monofonik adalah suara mengi yang mirip dengan suara

dari satu alat music dan polifonik mirip dengan beberapa nada yang

dimainkan secara berbarengan. Yang lebih umum kita dengar adalah

mengi polifonik, dimana mengi hampir selalu kita dengar pada kedua sisi.

Hal ini menunjukkan suatu penyempitan saluran napas yang umum,

terutama terjadi pada bronkhitis obstruktif, emfisema atau asma. Mengi

Universitas Sumatera Utara


25

menunjukkan asma, bronchitis obstruktif kronis, obstruksi jalan napas

sentral.

c. Batuk

Batuk merupakan gejala penyakit pernapasan yang paling umum,

berfungsi terutama untuk pertahanan paru terhadap masuknya/terisapnya

benda asing. Batuk yang disadari merupakan suatu respon terhadap

perasaan adanya sesuatu dalam saluran napas. Batuk yang tak disadari

terjadi akibat refleks yang dipacu oleh perangsangan laring, trakea, atau

bronki yang besar atau karena hilangnya compliance paru. Batuk

dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak dan tidak sesuai atau

jika terbentuk sputum.

d. Sputum

Sputum merupakan materi yang di ekspektorasi dari saluran napas bawah

oleh batuk, yang tercampur bersama ludah. Sekresi bronkus yang normal

tak cukup banyak untuk di ekspektorasi, biasanya di alirkan ke laring oleh

aksi silia lalu ditelan. Sputum putih atau tidak berwarna dengan

konsistensi seperti gelatin apabila dihasilkan secara berlebihan di dalam

paru terjadi pada pasien bronchitis kronis simple dan asma. Sputum

berwarna hijau, kuning, atau kadang-kadang cokelat menunjukan adanya

suatu reaksi peradangan dalam paru yang mungkin merupakan infeksi

(bronchitis purulent, pneumonia, abses paru, bronkiektasis, tuberkulosis,

fibrosis kistik), alergi, kimiawi, dan iritan (asap atau debu iritan). Sputum

karat menunjukan adanya sejumlah kecil darah yang sudah berubah

Universitas Sumatera Utara


26

tercampur dengan sputum. Sputum hitam menunjukan adanya karbon

dalam jumlah banyak, biasanya pada pekerja tambang yang mengalami

fibrosis masih progresif.

e. Nyeri dada

Nyeri yang muncul dari setiap struktur besar dalam toraks akan memiliki

gambaran klinis yang berbeda. Nyeri pada pleura diafragmatika akan

menjalar ke puncak bahu dan yang dari pleura mediastinalis mungkin

menyebabkan nyeri pada pusat dada atau turun ke lengan.

Gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan

paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu,

serat, dan gas dapat timbul pada proses industri. Tergantung pada jenis bahan

tersebut maka penyakit yang ditimbulkannya pun bermacam- macam. Manifestasi

klinis penyakit paru kerja bermacam-macam, mirip dengan penyakit paru lain

yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Ikhsan, M., 2009).

1. Gangguan fungsi paru Obstruksi

Penyakit paru obstruksi kronik yang biasa disebut sebagai PPOK

merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di

dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat

progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel

atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala

utama sesak nafas, batuk dan produksi sputum. PPOK merupakan salah satu dari

kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan

Universitas Sumatera Utara


27

masyarakat dunia saat ini, tidak hanya bagi negara maju namun juga bagi negara

berkembang seperti Indonesia (PDPI, 2010).

Penyakit paru obstruktif kronik dapat mengakibatkan kerusakan pada

alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernapasan, kemudian mempengaruhi

oksigenasi tubuh secara keseluruhan. Faktor-faktor resiko tersebut diatas akan

mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada

dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi

bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi

awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada

saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara

(air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan

segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan

kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi (Hartono, 2015).

2. Ganggun fungsi paru restriksi

Restriksi adalah gangguan pada pengembangan paru oleh sebab apapun.

Pada gangguan restriksi, paru menjadi kaku sehingga daya tarik kedalam lebih

besar maka dinding dada mengecil. Volume paru menjadi mengecildan sela iga

menyempit. Sebagai parameter yang diukur adalah VC. Nilai normal VC 80%-

120% prediksi. VC kurang dari 80% nilai prediksi dianggap gangguan restriksi.

VC lebih dari 120% nilai prediksi merupakan suatu keadaan over atau

hiperinflasi. Selain itu, pada penyakit-penyakit restriktif kecepatan aliran normal,

walaupun kadang-kadang kecepatan aliran akan berkurang secara proporsional

terhadap berkurangnya kapasitas vital (Bakhtiar A dan Tantri R, 2017).

Universitas Sumatera Utara


28

Penyakit paru-paru restriktif disebabkan oleh suatu kondisi yang

menyebabkan kekakuan pada paru-paru itu sendiri. Penyakit paru restriktif

dikategorikan sebagai intrinsik dan ekstrinsik. Gangguan Paru Pembatasan

Intrinsik meliputi: Penyakit paru interstitial, Fibrosis paru idiopatik, Fibrosis paru,

Sarkoidosis, Pneumoconiosis. Gangguan Paru Ekstremik restriktif meliputi:

Kegemukan, Efusi pleura, Myasthenia gravis, Skoliosis, Penyakit neuromuskuler,

seperti distrofi otot atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Penyakit paru

restriktif ditandai oleh berkurangnya kapasitas paru total (TLC). Kapasitas paru

total mewakili jumlah udara yang ada di paru-paru setelah menghirup napas

sedalam mungkin. TLC ditentukan selama tes fungsi paru. Mengetahui kapasitas

total paru-paru seseorang dengan penyakit paru restriktif adalah penting untuk

mengkonfirmasi pembatasan paru-paru dan untuk mengukur tingkat pembatasan

( Lung Health Institute, 2018).

Ada beberapa gejala umum dengan sesak napas di bagian atas pernapasan.

Pada tahap awal penyakit, sesak napas dapat terjadi hanya dengan aktivitas.

Namun, seiring perkembangan penyakit, sesak napas atau sesak napas dapat

terjadi dengan aktivitas minimal atau selama istirahat. Gejala umum lainnya

adalah batuk kronis. Biasanya, batuk kering, tetapi juga menghasilkan dahak

putih. Penurunan berat badan dan kelelahan adalah gejala umum juga. Banyak

orang merasa sulit mempertahankan berat badan yang sehat dan memiliki energi

yang cukup. Beberapa orang dengan penyakit paru restriktif mengalami gejala

depresi dan kecemasan. Gejala-gejala ini lebih sering terjadi ketika penyakit paru-

paru menyebabkan keterbatasan yang signifikan ( Lung Health Institute, 2018).

Universitas Sumatera Utara


29

Debu

Debu merupakan partikel padat yang berukuran sangat kecil yang dibentuk

oleh suatu proses disintegrasi atau fraktur seperti penggilingan, penghancuran,

atau pemukulan terhadap benda padat.

Debu tepung (flour dust). Debu tepung (flour dust) merupakan zat yang

heterogen dengan sensitisasi pernapasan dan sifat iritasi, paparan selama proses

produksi, dapat menyebabkan penyakit pernapasan akut atau kronis. Tepung debu

adalah zat berbahaya. Pekerja dalam pekerjaan yang berhubungan dengan debu

tepung menghirup debu tepung yang berada di udara. Gejala dari paparan debu

tepung termasuk batuk, mengi, sesak napas (dyspnoea), suara serak, asma,

masalah mata, konjungtivitis, rinitis dan sinusitis. Efek kesehatan dari menghirup

debu tepung tergantung pada konsentrasi tepung di udara dan berapa lama pekerja

sudah terpapar. Paparan tingkat rendah yang sering mungkin tidak menimbulkan

gejala hingga 30 tahun. Tepung mungkin mengandung pemanis buatan, perasa,

atau pewarna. Bahan-bahan ini selanjutnya dapat mengiritasi saluran pernapasan

pekerja itu sendiri. Paparan jangka pendek dapat mengakibatkan hidung beringus,

mata berair, mengi, bersin, batuk, dan sesak napas. Paparan jangka panjang akan

mengakibatkan asma kerja atau baker’s asthma (Work Safe BC, 2007).

Penyakit paru kerja merupakan penyakit atau kelainan paru yang timbul

sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu, serat, dan gas dapat

timbul pada proses industri. Tergantung pada jenis bahan tersebut maka penyakit

yang timbul pun bermacam-macam. Menurut Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, asma disebabkan

Universitas Sumatera Utara


30

oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang dikenal yang ada dalam proses

pekerjaan.

Mekanisme penimbunan debu dalam paru. Mekanisme penimbunan

debu dalam paru dapat terjadi pada saat kita bernapas dengan menarik napas,

udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru. Jalur yang ditempuh adalah

hidung, faring, trakea, bronkus, bronchioli dan alveoli. Partikel debu yang dapat

terhirup saat bernapas berukuran antara 0,1µ - 10 µ. Pada hidung dan tenggorokan

bagian bawah, ada silia yang berfungsi menahan benda asing, yang kemudian

dikeluarkan bersama secret waktu bernapas. Debu yang masuk ke saluran

pernapasan tergantung pada ukuran partikel debu tersebut. Ukuran partikel debu

yang dapat masuk ke dalam saluran pernapasan dan dapat masuk sampai alveoli

paru berukuran 1-3 mikron. Partikel kecil yang berukuran 0,1-1 mikron akan

melakukan gerakan brown, dan ada kemungkinan membentur permukaan alveoli

dan tertimbun disana. Bila debu masuk di alveoli, maka jaringan alveoli akan

mengeras (fibrosis). Bila 10 % alveoli mengeras akibatnya mengurangi

elastisitasnya dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat

oksigen menurun dan kapasitas parunya pun akan menurun (Slamet & Laila,

2017).

Beberapa proses menumpuknya debu dalam paru menurut Suma‟mur

(2014) antara lain:

a. Inertia, bagian debu yang bermassa besar tidak dapat menyimpang mengikuti

saluran udara, melainkan terus dan akhirnya menabrak selaput lendir dan

Universitas Sumatera Utara


31

menumpuk disana. Terjadi pada waktu udara menyimpang melalui jalan

pernapasan yang tidak lurus.

b. Sendimentasi, ketika kelajuan udara sangat rendah kira-kira 1 cm/detik maka

penimbunan debu terjadi di bronkhi dan bronkhioli, sehingga gaya tarik

bekerja terhadap partikel debu.

c. Gerakan Brown, merupakan pengumpulan bagi partikel yang berukuran kurang

dari 0,1 mikron kemudian bergerak karena oleh gerakan brown sehingga

memungkinkan terjadi pembenturan dipermukaan alveoli dan mengendap di

sana.

Pengaruh debu terhadap pernapasan. Ada empat alternatif pengaruh

fisik dari partikel debu yang mengendap yaitu:

a. Debu berukuran 5 mikron yang mengendap pada saluran pernapasan bagian

atas dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala

faringitis.

b. Debu berukuran 2-3 mikron yang mengendap lebih dalam pada

bronkus/bronkiolus dapat menimbulkan efek berupa bronkitis, alergi, atau

asma.

c. Debu yang berukuran 1-3 mikron yang mengendap di alveoli, dimana

gerakannya sejalan dengan kecepatan konstan.

d. Debu yang berukuran 0,1 mikron karena terlalu ringan tidak dapat menempel

pada saluran napas tetapi mengikuti gerak brown dan berada dalam bentuk

suspense (Fume atau Smoke) (Darmawan, 2013).

Universitas Sumatera Utara


32

Penyakit akibat pencemaran debu di tempat kerja. Pada saat orang

menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-

paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan

letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Pneumoconiosis merupakan

penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang

masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Penyakit pneumokoniosis banyak

jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam

paru-paru. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di

daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu Silikosis,

Asbestosis, Bisinosis, Antrakosis, Beriliosis, Pneumonitis Kimia, Asma karena

pekerjaan, Pneumonitis Hipersensitivitas (Pneumonitis Interstisial Alergika) dll.

Nilai ambang batas debu. Nilai ambang batas adalah standar (NAB)

adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja yang dianjurkan ditempat kerja agar

tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau

gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8

jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada

praktek hiegene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja

sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan (SE/Men/1997),

untuk Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja sebesar 10

mg/m3. Namun menurut SNI tahun 2005 mengenai Nilai Ambang Batas zat kimia

di udara tempat kerja, debu biji-bijian dan tepung memiliki NAB sebesar 4

mg/m3.

Universitas Sumatera Utara


33

Faktor yang Memengaruhi Penurunan Fungsi Paru

Fungsi paru memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya terutama

pada pekerja, diantaranya:

Umur. Umur berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya

umur. Semakin tua usia seseorang semakin besar kemungkinan terjadi penurunan

fungsi paru. Dalam keadaan normal usia mempengaruhi frekuensi pernafasan dan

kapasitas paru. Frekuensi pernafasan pada orang dewasa antara 16–18 kali

permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30

kali per menit. Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara

fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya. Mulai

pada fase anak sampai umur kira-kira 22–24 tahun terjadi pertumbuhan paru

sehingga pada waktu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan

pertambahan umur dan nilai fungsi paru mencapai maksimal pada umur 22–24

tahun (Rahmatullah, 2009).

Masa kerja dan lama paparan. Semakin lama waktu kerja seseorang,

maka semakin tinggi pula tingkat risiko dalam terjadinya gangguan faal paru.

Selain itu, juga menyatakan bahwa masa kerja menentukan lama kerja seseorang

terhadap faktor risiko terpapar debu, sehingga semakin besar masa kerja seseorang

maka semakin besar pula risiko terkena penyakit paru. Salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya gangguan faal paru pada pekerja yang terpapar debu

adalah lama kerja. Menurut penelitian pekerja dengan masa kerja 5-10 tahun

memiliki gangguan fungsi paru sebesar 89,29% dan yang lebih dari 10 tahun

sebesar 75%. Efek gangguan kesehatan yang ditimbulkan dapat terjadi dalam

Universitas Sumatera Utara


34

jangka waktu tertentu, sehingga lama kerja dalam sehari belum tentu dapat

digunakan sebagai indikator untuk menentukan gangguan kesehatan (Aunillah &

Ardam, 2015).

Gangguan faal paru merupakan efek dari pemajanan kronis, sehingga

pengaruhnya dapat diketahui dalam waktu relatif lama. Hal ini menjelaskan

bahwa penyebab gangguan faal paru tidak dapat dilihat hanya dari lama kerja

sehari atau waktu pemajanan singkat, namun membutuhkan waktu yang relatif

lama. Faktor lain yang diduga kuat memiliki hubungan dengan terjadinya

gangguan faal paru pekerja adalah debu. Debu di lingkungan kerja diduga sebagai

faktor potensial dalam menimbulkan gangguan faal paru pekerja (Aunillah &

Ardam, 2015).

Masa kerja menentukan lama kerja seseorang terhadap faktor risiko

terpapar debu, sehingga semakin besar lama kerja seseorang maka semakin besar

pula risiko terkena penyakit paru (Suma‟mur, 2013). Menurut penelitian Aunillah

& Ardam (2015) Pekerja dengan lama paparan kurang dari 8 jam sehari lebih

sedikit yang mengalami gangguan fungsi paru, sedangkan pekerja dengan lama

paparan 8 jam sehari dan lebih dari 8 jam sehari ditemukan lebih banyak pekerja

yang mengalami gangguan fungsi paru dengan persentase yang tidak berbeda

jauh, yaitu 92,9% pekerja pada lama kerja 8 jam sehari dan 90% pekerja pada

kelompok lama kerja lebih dari 8 jam dalam sehari.

Alat pelindung diri (APD). Pemakaian alat pelindung diri sangat penting

bagi pekerja untuk melindungi pekerja dari bahaya serta kecelakaan yang berada

di tempat kerja dimana APD bertujuan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja

Universitas Sumatera Utara


35

dan penyakit akibat kerja. Penggunaan APD merupakan alternatif terakhir yaitu

kelengkapan dari segenap upaya teknis pencegahan kecelakaan.

Menurut Harwanti (2009), alat pelindung pernafasan digunakan untuk

melindungi pernafasan dari resiko paparan gas, uap, debu, atau udara

terkontaminasi atau beracun, korosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum

melakukan pemilihan terhadap suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka

perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan yang

ada di lingkungan kerja. Jenis alat pelindung pernafasan antara lain:

a. Masker. Masker digunakan untuk mengurangi paparan debu ataupartikel-

partikel yang lebih besar masuk kedalam saluran pernafasan. Adapun jenis-

jenis masker dalam membantu pekerjaan:

1. Masker sekali pakai

Masker ini terbuat dari bahan filter, beberapa cocok untuk debu

berukuran pernapasan.

2. Separuh masker

Masker ini terbuat dari karet atau plastik yang dirancang untuk menutup

mulut dan hidung. Alat ini memiliki cartridge filter yang dapat diganti.

3. Masker seluruh muka

Masker ini terbuat dari karet atau plastik yang dirancang untuk menutup

hidung, mulut dan mata. Cocok untuk menyaring debu, gas dan uap.

Universitas Sumatera Utara


36

4. Masker berdaya

Masker ini terbuat dari karet atau plastik yang dirancang untuk menutup

hidung yang dipertahankan dalam tekanan positif dengan jalan

mengalirkan udara melalui filter dengan bantuan kipas baterai.

b. Respirator. Menurut Harwanti (2009), alat ini digunakan untuk melindungi

pernafasan dari paparan debu, kabut, uap logam,asap, dan gas-gas berbahaya.

Jenis-jenis respirator ini antara lain:

1. Chemical Respirator

Merupakan catridge respirator terkontaminasi gas dan uap dengan

toksisitas rendah. Catridge ini berisi adsorban dankarbon aktif, arang

dan silica gel. Sedangkan canisterdigunakan untuk mengadsorbsi khlor

dan gas atau uap zat organik.

2 Mechanical Filter Respirator

Alat pelindung ini berguna untuk menangkap partikel partikel zat padat,

debu, kabut, uap logam dan asap. Respirator ini biasanya dilengkapi

dengan filter yang berfungsi untuk menangkap debu dan kabut dengan

kadar kontaminasi udara tidak terlalu tinggi atau partikel yang tidak

terlalu kecil.

Debu tepung. Debu adalah suatu kumpulan yang terdiri dari berbagai

macam partikel padat di udara yang berukuran kasar dan tersebar, yang biasa

disebut dengan koloid. Debu umumnya berasal dari gabungan secara mekanik dari

material yang berukuran besar (Kemenkes, 2015).

Universitas Sumatera Utara


37

Proses pembuatan pakan ikan menghasilkan debu bahan baku yang berupa

tepung dan campuran lainnya. Apabila terpapar debu tepung (flour dust) secara

terus menerus maka akan mengakibatkan terjadinya penyakit asma akibat kerja.

Di Amerika, The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)

memperkirakan bahwa angka kematian yang terkait dengan Penyakit Paru Akibat

Kerja (PAK Paru atau dalam publikasi internasional disebut sebagai Occupational

Lung Diseases/OLD) sekitar 70% dari total kematian akibat kerja. Menurut

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 30% dari penderita penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD) dan penderita asma dewasa, disebabkan oleh pajanan di tempat kerja.

Lebih dari 20 juta pekerja di Amerika Serikat telah terpajan bahan material yang

dapat menyebabkan penyakit sistem pernapasan (Kurniawidjaja LM, 2010).

Menurut Silica baseline survey Annex 3 Stonemasonry industry debu yang

memiliki ukuran 0,3 mg.m3 memiliki tingkat kefatalan kurang lebih 36 kasus

sedangkan debu yang memiliki ukuran 0,01 mg.m3 menyumbang angka kefatalan

sekitar 455 kasus (Easterbrook & Hill, 2009).

Kebiasaan merokok. Paru manusia pada dasarnya memiliki sifat elestis

seperti balon, dia akan mengembang ketika seseorang menarik nafas, dan

mengempis ketika seseorang mengeluarkan nafas. Racun dari asap rokok dapat

mengurangi elastisitas paru manusia, akibatnya seseorang akan terserang penyakit

paru kronis. Hal ini sangat berbahaya, karena tidak ada pengobatan untuk

menanggulangi penyakit ini, dan kemudian seseorang akan perlahan mati karena

kekurangan udara saat melakukan proses pernapasan (Sudrajad, 2016).

Universitas Sumatera Utara


38

Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronkitis dan

kanker paru. Menurut Mangesiha dan Bakele terdapat hubungan yang signifikan

antara kebiasan merokok dan gangguan saluran pernapasan. Dari penelitian yang

dilakukan oleh dr.E.C.Hammond dari American Center Society ditarik kesimpulan

bahwa mereka yang mulai merokok pada umur kurang dari 15 tahun mempunyai

risiko menderita kanker paru 4-18 kali lebih tinggi dari pada yang tidak pernah

merokok. Sedangkan kebiasaan merokok dimulai diatas umur 25 tahun, risikonya

2-5 kali lebih tinggi dari pada yang tidak pernah merokok. Tenaga kerja yang

perokok dan berada di lingkungan yang berdebu cenderung mengalami gangguan

saluran pernapasan dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan

yang sama tetapi tidak merokok.

Indeks Brinkman

Derajat merokok menurut Indeks Brinkman adalah hasil perkalian

antaralama merokok dengan rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari. Jika

hasilnya kurang dari 200 dikatakan perokok ringan, jika hasilnya antara 200–599

dikatakan perokok sedang dan jika hasilnya lebih dari 600 dikatakan perokok

berat. Semakin lama seseorang merokok dan semakin banyak rokok yang dihisap

perhari, maka derajat merokok akan semakin berat (Perhimpunan Dokter Paru

Seluruh Indonesia, 2003).

Landasan Teori

Mengacu pada teori Gordon & Le Rich (1950) bahwa proses terjadinya

penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara host atau manusia sebagai

Universitas Sumatera Utara


39

penjamu, agent sebagai faktor penyebab penyakit dan faktor environment yang

mendukung.

Variable Independen Variabel Dependen

Faktor Host:
Umur
Masa Kerja
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan
menggunaan APD

Faktor Agent:
Fungsi Paru
Kadar Debu Tepung

Faktor Environment:
Udara sebagai
perantara

Gambar 1. Kerangka teori

Universitas Sumatera Utara


40

Kerangka Konsep

Variable Independen Variabel Dependen

Faktor Host:
Umur
Masa Kerja
`
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan
menggunaan APD

Fungsi Paru

Faktor Agent:

Kadar Debu Tepung

Gambar 2. Kerangka konsep

Berdasarkan kerangka konsep diatas fungsi paru dapat disebabkan oleh

beberapa faktor:

a. Umur merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi

paru. Semakin bertambahnya umur, terutama yang disertai dengan kondisi

lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit, maka

kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi lebih besar.

Universitas Sumatera Utara


41

b. Masa kerja yaitu lamanya seseorang bekerja di pabrik tersebut. Semakin lama

waktu kerja seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat risiko dalam

terjadinya gangguan faal paru.

c. Kebiasaan merokok, salah satu hal yang paling penting untuk di kontrol pada

orang dengan gangguan fungsi paru adalah kebiasaan merokok. Rokok

merupakan salah satu polutan udara. Rokok merupakan unsur yang berperan

penting sebagai penyebab kanker paru pada perokok disebut tar hidrokarbon

aromatik.

d. Kebiasaan menggunaan APD berkaitan dengan banyaknya partikulat yang

tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi

kemampuan fungsi paru sehingga dengan digunakannya APD maka akan dapat

mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan

mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru.

e. Kadar debu tepung, debu yang dihasilkan oleh kegiatan pembuatan/produksi

pakan ikan berasal dari bahan baku pakan ikan itu sendiri yaitu pada waktu

penimbangan bahan baku dimana bahan baku dituangkan ke aliran mesin

chains conveyor hingga pada proses packaging pakan ikan, kemudian pada

waktu pengemasan bahan jadi, dan kita telah mengetahui bahwa debu tidak

baik untuk kesehatan fungsi paru.

Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh antara faktor host (umur, masa kerja, kebiasaan merokok,

penggunaan APD) dan faktor agent (kadar debu tepung) dengan fungsi paru pada

pekerja bagian produksi pakan ikan di PT. Mabar Feed Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Jenis desain penelitian yang

digunakan adalah desain penelitian cross sectional karena pada penelitian ini

variabel independen dan dependen diteliti dalam waktu yang relativ pendek dan

tempat tertentu kemudian menggunakan regresi logistik, untuk mengetahui

pengaruh masing-masing variabel independen dengan variabel dependen yaitu

untuk mengetahui faktor yang memengaruhi fungsi paru pada pekerja bagian

produksi di PT. Mabar Feed Indonesia.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di PT Mabar Feed Indonesia Jalan

Rumah Potong Hewan KM 9 No. 44 Mabar, Medan 20242.

Waktu penelitian. Waktu Penelitian dilakukan pada bulan November

2019 sampai selesai.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi adalah seluruh tenaga kerja bagian produksi pakan ikan

berjumlah 30 orang

Sampel. Menurut Arikunto (2012:104) jika jumlah populasinya kurang

dari 100 orang, maka jumlah sampelnya diambil secara keseluruhan, tetapi jika

populasinya lebih besar dari 100 orang, maka bisa diambil 10-15% atau 20-25%

dari jumlah populasinya. Penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling.

Sampel menggunakan total populasi yaitu 30 orang pekerja tetap.

42
Universitas Sumatera Utara
43

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel. Variabel merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi

perhatian pada suatu penelitian. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah :

Variabel independen. Variabel Independen dalam penelitian ini umur,

masa kerja, alat pelindung diri, kebiasaan merokok, dan kadar debu tepung bagian

produksi di PT. Mabar Feed.

Variabel dependen. Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel

yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

fungsi paru.

Fungsi paru. Kondisi fungsi paru pekerja bagian produksi PT. Mabar

Feed yang dinilai dengan menggunakan kuesioner mengenai riwayat penyakit atau

gejala-gejala atau keluhan yang dirasakan pekerja. Fungsi paru tidak dapat diukur

menggunakan alat spirometer karena pandemik covid.

Definisi operasional. Definisi Operasional mengenai masing-masing

penelitian adalah sebagai berikut:

Umur. Umur adalah usia pekerja industri pakan ikan sampai penelitian

dalam satuan (tahun).

Masa kerja. Lamanya seorang pekerja pada bagian produksi PT Mabar

Feed, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung dalam satuan

(tahun).

Universitas Sumatera Utara


44

Debu tepung. Padatan halus yang tersuspensi di udara (airbone) yang

tidak mengalami perubahan secara kimia ataupun fisika dari bahan padatan

aslinya yang timbul pada bagian produksi pakan ikan.

Penggunaan Alat Pelindung Diri. Alat pelindung pernapasan berupa

masker untuk melindungi area wajah terutama pada mulut dan hidung dari

percikan, semprotan, gas, fumes untuk meningkatkan kualitas bekerja.

Kebiasaan merokok. Aktifitas yang dilakukan seorang dalam menghirup

asap rokok yang mengandung komponen gas dan partikel dapat merusak

kesehatan pekerja.

a. Perokok : mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6

bulan selama hidupnya.

b. Bukan perokok : orang yang tidak merokok.

Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data yang diperoleh peneliti secara langsung. Data primer

pada penelitian ini diperoleh dari wawancara langsung dengan kuesioner serta

observasi tempat kerja.

Data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kantor

PT. Mabar Feed Indonesia meliputi Profil Perusahaan dan Data debu total pada

bagian produksi pakan ikan yang berkaitan dengan faktor yang memengaruhi

fungsi paru pada pekerja.

Universitas Sumatera Utara


45

Metode Pengukuran

Penelitian ini menggunakan metode wawancara, dan observasi.

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data umur, masa kerja, gejala

penurunan fungsi paru, penggunaan APD dan kebiasaan merokok.

Pengukuran variabel dependen. Variabel dependen yaitu fungsi paru

dengan menggunakan kuesioner berupa keluhan atau gejala-gejala atau riwayat

penyakit yang dirasakan pekerja yang dikategorikan sebagai ada gangguan/ sakit

dan tidak ada gangguan/tidak sakit, karena alat spirometer saat ini belum bisa

digunakan sebelum adanya pengumuman resmi dari pemerintah bahwa kondisi

pandemik covid ini sudah normal.

Terdapat 6 aspek pertanyaan gejala penurunan fungsi paru yaitu batuk,

sesak napas, nyeri dada, napas berat, dahak, dan mengi yang dinyatakan dengan

skor yaitu:

1. Ya diberi nilai = 1

2. Tidak diberi nilai = 0

(Sugiyono, 2016)

Kriteria penilaian:

1.Ada gangguan jika pekerja mengalami semua gejala dengan skor = 6

2.Tidak ada gangguan jika pekerja tidak mengalami semua gejala dengan skor < 6

Skala: Ordinal

Universitas Sumatera Utara


46

Pengukuran variabel independen. Variabel independen dalam penelitian

ini antara lain:

Umur. Umur diukur dengan menanyakan berapa usia pekerja dihitung

sampai pada saat penelitian berlangsung dan kemudian dikelompokkan ke dalam

2 kategori yaitu di bawah 37 tahun dan di atas 37 tahun.

Skala: Nominal

Masa kerja. Masa kerja diukur dengan menanyakan ke pekerja sudah

berapa lama mereka bekerja di bagian produksi pakan ikan tersebut kemudian

dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu dibawah 7 tahun dan diatas 7 tahun.

Skala: Nominal

Kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok diukur dengan menanyakan ke

pekerja mengenai status merokok dan berapa jumlah rokok yang dikonsumsi dan

dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu perokok dan bukan perokok.

Skala: Nominal

Penggunakan APD. Penggunaan APD diukur dengan menanyakan ke

pekerja penggunaan APD sewaktu bekerja apakah rutin digunakan atau tidak dan

dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu baik dan buruk.

Terdapat 5 aspek pertanyaan yang dinyatakan dengan skor yaitu:

3. Ya diberi nilai = 1

4. Tidak diberi nilai = 0

(Sugiyono, 2016)

Universitas Sumatera Utara


47

Kriteria penilaian:

3.Baik jika skor = 5

4.Buruk jika skor < 5

Skala: Ordinal

Pengukuran kadar Debu total tepung. Kadar debu total tepung adalah

berat debu tepung dalam mg/m3 di bagian produksi PT Mabar Feed yang di ukur

di 2 titik yaitu:

Titik 1 : Penimbangan (Batching)

Titik 2 : Pengemasan (Packaging)

Data kadar debu total diambil dari data sekunder perusahaan. Nilai kadar debu

dalam satuan mg/m3. Hasil pengukuran dibandingkan dengan standar Nilai

Ambang Batas Debu Biji-bijian dan tepung (4 mg/m3).

Skala pengukuran:

a. Diatas NAB, jika hasil pengukuran 4 mg/m3

b. Dibawah NAB, jika hasil pengukuran 4 mg/m3

Skala: Nominal

Metode Analisis Data

Analisis univariat. Analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dan

hasil penelitian pada umumnya. Dalam analisis ini membuat distribusi dan

frekuensi dari tiap variabel. Analisis Univariat dalam penelitian ini meliputi hasil

dalam bentuk tabel dan narasi.

Analisis bivariat. Analisis lanjutan untuk melihat hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen menggunakan uji Chi-Square dengan

Universitas Sumatera Utara


48

membandingkan nilai α sebesar 0,05 pada taraf kepercayaan 95%. Jika pvalue

<0,05 artinya ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan

variable dependen. Jika pvalue>0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna

antara variabel independen dengan variabel dependen.

Analisis multivariat. Analisis multivariat dilakukan untuk melihat

hubungan variabel-variabel bebas dengan variabel terikat dan variabel bebas mana

yang paling besar hubungannya dengan variabel terikat. Analisis multivariat

dilakukan dengan cara menghubungkan variabel bebas dengan satu variabel

terikat secara bersamaan. Uji regresi logistik digunakan untuk menjelaskan

hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Regresi logistik merupakan jenis

analisis multivariat dengan variabel dependen berjenis non metrik dan variabel

independen berjenis metrik/non metrik. Prosedur yang dilakukan terhadap uji

regresi logistik sebelumnya diawali dengan menguji kemaknaan masing-masing

variabel bebas, jika nilai p<0,25 maka variabel tersebut dapat dilanjutkan dalam

model multivariat.

Universitas Sumatera Utara


Hasil Penelitian

Gambaran Umum Tempat Penelitian

Sejarah penelitian. PT Mabar Feed merupakan Salah satu perseroan

dalam bidang industri pakan ternak, ikan dan hewan lainnya di Medan, Sumatera

Utara, Indonesia. PT mabar feed berawal dari perusahaan kecil dengan nama

perusahaan pakan ternak “MABAR” didirikan oleh Bapak Rachman, tanggal 15

Maret 1976, kemudian berstatus sebagai perusahaan penanaman modal dalam

negeri pada Agustus 1989. Produk utamanya adalah pakan ayam dan pakan ikan,

yang volume penjualannya dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang

cukup signifikan. Mulai dari produksi awal 7.200 Ton pertahun, meningkat

menjadi 80.000 ton pada Tahun 2000. Seiring dengan pulihnya perkonomian

nasional maka volume penjualan juga meningkat menjadi 155.000 Ton sampai

dengan akhir tahun 2011, dan tahun 2012 penjualan sudah mencapai 190.000 Ton

dengan kapasitas terpasang sebesar 450.000 Ton pertahun. Program jangka

panjang perseroan meningkatkan volume penjualan hingga mencapai 25.000 Ton

perbulan dengan melaksanakan diversifikasi produk, penambahan fasilitas

produksi dan laboratorium yang modern serta melakukan aktifitas benchmarking

sehingga kualitas pakan tetap tinggi dan terjaga

Lokasi. Lokasi pabrik dan kantor berada di Jl. Rumah Potong hewan no.44

Mabar, Medan 20242, Telp (061) 6851244. E-mail : mabargrp@indosat.net.id.

49
Universitas Sumatera Utara
50

Proses produksi. Proses produksi merupakan suatu kegiatan yang

melibatkan sumber daya manusia, bahan serta peralatan untuk menghasilkan

produk yang berguna. Berikut merupakan proses produksi pakan ikan pada PT.

Mabar Feed Indonesia:

a) Penimbangan (Batching). Bahan baku dimasukkan terlebih dahulu ke lubang

intake, yaitu tempat pemasukan bahan baku yang kemudian akan dialirkan

dengan chains conveyor untuk memisahkan bahan baku dari sampah-sampah

yang terdapat pada bahan baku. Pada saat bahan baku dimasukkan ke lubang

intake, debu timbul dan terhirup oleh pekerja sehingga pekerja mengalami

sesak nafas.

b) Penggilingan (Grinding). Bahan baku yang masuk ke penggilingan akan

terpukul dan terlempar masuk ke ayakan yang terpasang sepanjang sisi pisau

yang berputar. Bahan yang masuk akan diputar dengan hembusan angin

berkecepatan tinggi dan akan membentur mata pisau sehingga bahan akan

hancur dan menjadi tepung. Bahan baku yang sudah halus akan diteruskan ke

ayakan lalu dimasukkan ke bin bahan halus. Pada tahap ini, pekerja tidak

terlibat karena bahan baku sudah masuk ke dalam mesin.

c) Pencampuran (Mixing). Pada pengolahan pakan ikan tenggelam (sinking),

dapat dilakukan pengadukan pada mixer 2 dan mixer 3, sedangkan pakan ikan

terapung (floating) hanya dapat diaduk pada mixer 3 saja. Bahan yang sudah

masuk ke mixer 2 dan mixer 3 dicampur dengan memasukkan bahan-bahan

tambahan seperti mineral, vitamin dan obat-obatan.

Universitas Sumatera Utara


51

Pada tahap ini terdapat pekerja pada lantai 4 sekali sekali datang

memberikan vitamin karena tidak setiap saat pemberian vitamin, hanya dilakukan

pada saat pencampuran bahan baku. Pada pakan ikan tenggelam (sinking),

pencampuran minyak ikan yang dialirkan melalui pipa kecil, sampai tercampur

merata. Pencampuran dilakukan selama 5 menit, Sedangkan untuk pakan ikan

terapung (floating) pelapisan minyak ikan dilakukan di mesin spray.

d) Pembentukan. Ada dua proses pembentukan pakan ikan pada PT. Mabar Feed,

yaitu:

1. Proses pembentukan pakan tenggelam (sinking). Bahan yang telah

tercampur dilanjutkan dengan feeder ke conditionermachine. Pada

conditioner machine ini dilakukan proses steam dengan temperatur

berkisar 80 - 95 °C. Setelah proses steam, dilakukan pembentukan

pellet (pemelletan) pada mesin pellet mill. Pembentukan pellet ini

dicetak pada lubang-lubang yang berukuran tertentu (ukuran die).

2. Proses pembentukan pakan terapung (floating). Campuran bahan dari

bin floating di masukkan ke bin scale extrudder , kemudian dialirkan ke

conditioner machine untuk dilakukan proses steam dengan temperatur

berkisar 80 - 100 °C. Dikatakan pakan ikan terapung apabila pelet

tersebut tetap berada di permukaan air minimal selama semenit,

kemudian akan tenggelam. Pelet terapung yang ditumbuk akan berubah

menjadi pelet tenggelam. Sedangkan pakan ikan tenggelam akan

langsung jatuh ke dasar air tanpa terapung terlebih dahulu. pelet

Universitas Sumatera Utara


52

tenggelam dikeringkan dalam waktu yang lama, maka sifatnya akan

berubah menjadi pelet apung.

g) Pengayakan (Cooler). Pakan dibawa dengan conveyor dan bucketelevator ke

pengayakan untuk memisahkan debu yang tedapat pada pakan. Debu dari hasil

pengayakan dibawa kembali ke proses pembentukan untuk dilakukan

pembentukan ulang.

h) Pengemasan (Packaging) Proses pengemasan dimulai dengan penentuan berat

per netto produk jadi ditimbang secara otomatis 50 Kg untuk pakan ikan

teggelam dan 30 Kg untuk pakan ikan terapung yang masuk ke dalam karung

goni plastik. Selanjutnya, produk yang sudah di packing dibawa ke gudang

bahan jadi dengan menggunakan fork lift.

Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

proporsi setiap variabel penelitian. Dalam penelitian ini mendeskripsikan variabel

faktor host dan faktor agent.

Distribusi proporsi fungsi paru. Fungsi paru dinyatakan dalam 6

pertanyaan yang ditanyakan kepada pekerja bagian produksi pakan ikan.

Pertanyaan tersebut merupakan sebuah rincian gejala penurunan fungsi paru

selama bekerja di bagian produksi pakan ikan. Dari variabel fungsi paru, sebagian

besar responden (24 pekerja) menjawab “iya” pada pertanyaan gejala penurunan

fungsi paru yaitu berupa gejala batuk berdahak, suara napas berbunyi mengi,

sesak napas, nyeri dada, dan napas terasa berat.

Universitas Sumatera Utara


53

Fungsi paru dikategorikan menjadi 2 yaitu “Ada gangguan” dan “Tidak

ada gangguan”. Persentase fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT. Mabar

Feed Indonesia yang berjumlah 30 orang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1

Distribusi Proporsi Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed
Indonesia

Fungsi Paru n %
Ada gangguan 21 70
Tidak ada gangguan 9 30

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa persentase fungsi paru pada pekerja

bagian produksi PT Mabar Feed Indonesia mengalami adanya gangguan fungsi

paru sebanyak 70%

Distribusi proporsi faktor host. Distribusi proporsi faktor host pada

pekerja bagian produksi PT Mabar Feed Indonesia meliputi umur, masa kerja,

kebiasaan merokok, dan penggunaan APD dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2

Distribusi Proporsi Faktor Host pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed
Indonesia

Faktor Host n %
Umur
> 37 tahun 11 36,7
≤ 37 tahun 19 63,3
Masa Kerja
> 7 tahun 14 46,7
≤ 7 tahun 16 53,3
Kebiasaan Merokok
Perokok 25 63,3
Bukan Perokok 5 36,7
Penggunaan APD
Buruk 21 70
Baik 9 30

Universitas Sumatera Utara


54

Berdasarkan tabel 2, distribusi proporsi umur ditemukan bahwa lebih

tinggi pekerja yang memiliki umur > 37 tahun yaitu sebanyak 11 pekerja dengan

persentase 36,7% dibandingkan pekerja yang berumur ≤ 37 tahun yaitu sebanyak

19 pekerja dengan persentase 63,3%. Proporsi masa kerja lebih tinggi pekerja

yang bekerja > 7 tahun yaitu sebanyak 14 pekerja dengan persentase 46,7%

dibandingkan pekerja yang memiliki masa kerja ≤ 7 tahun yaitu sebanyak 16

pekerja dengan persentase 53,3%. Proporsi kebiasaan merokok memiliki

peringkat tertinggi yaitu pekerja perokok sebanyak 25 pekerja dengan persentase

63,3% dibandingkan pekerja yang tidak merokok sebanyak 5 pekerja dengan

persentase 36,7%. Proporsi penggunaan APD lebih tinggi pekerja yang buruk

dalam penggunaan APD sebanyak 21 pekerja dengan persentase 70%

dibandingkan pekerja yang baik dalam penggunaan APD sebanyak 9 pekerja

dengan persentase 30%.

Distribusi proporsi faktor agent. Faktor agent yaitu kadar debu total

pada bagian produksi pakan ikan PT Mabar Feed Indonesia yang diteliti di 2 titik

yaitu di penimbangan (batching) dan pengemasan (packaging) diperoleh dengan

hasil sebagai berikut.

Tabel 3

Distribusi Proporsi Faktor Agent pada Bagian Produksi Pakan Ikan PT. Mabar
Feed Indonesia

Titik Area Kerja Kadar Debu (mg/m3) Keterangan


1 Penimbangan (Batching) 5,9870 4 mg/m3
2 Pengemasan (Packaging) 3,5621 4 mg/m3

Universitas Sumatera Utara


55

Berdasarkan tabel 3, distribusi proporsi faktor agent ditemukan bahwa

pada titik 1 area penimbangan (batching) memiliki kadar debu diatas NAB Debu

Tepung yaitu 5,9870 sedangkan pada titik 2 area pengemasan (packaging)

memiliki kadar debu dibawah NAB yaitu 3,5621.

Tabel 4

Distribusi Proporsi Faktor Agent dan Responden pada Bagian Produksi Pakan
Ikan PT. Mabar Feed Indonesia

Kadar Debu Jumlah


Titik Area Kerja %
(mg/m3) Responden
1 Penimbangan (Batching) 5,9870 19 63,3
2 Pengemasan (Packaging) 3,5621 11 36,7

Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa pada area kerja

penimbangan (batching) terdapat 19 pekerja (63,3%) dengan kadar debu 5,9870

mg/m3 dan pada area kerja pengemasan (packaging) terdapat 11 pekerja (36,7%)

dengan kadar debu 3,5621.

Analisis Bivariat

Analisis yang dilakukan menggunakan tabulasi silang yang bertujuan

untuk melihat hubungan variabel bebas dengan variabel terikat, berdasarkan

distribusi sel-sel yang ada. Pada tahap selanjutnya dilihat apakah ada hubungan

antara variabel umur, masa kerja, kebiasaan merokok, penggunaan APD, dan

kadar debu tepung dengan fungsi paru. Untuk uji statistik yang di gunakan adalah

Chi Square Test.

Hubungan antara umur dengan fungsi paru. Untuk mengetahui

hubungan antara umur dengan fungsi paru dilakukan tabulasi silang dan uji

statistik dengan hasil sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


56

Tabel 5

Tabulasi Silang antara Umur dengan Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi
PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Fungsi Paru
Jumlah
Umur Ada gangguan Tidak ada gangguan P
n % n % n %
> 37 tahun 7 63,6 4 36,4 11 100
0,687
≤ 37 tahun 14 73,7 5 26,3 19 100

Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui dari 19 responden menyatakan

bahwasanya sebanyak 14 responden (73,7%) berumur ≤ 37 tahun mengalami

adanya gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square

menunjukkan nilai p = 0,687 > 0,25. Hal ini berarti variabel umur tidak signifikan

dengan fungsi paru sehingga variabel umur secara statistic tidak dapat dilanjutkan

ke multivariat.

Hubungan antara masa kerja dengan fungsi paru. Hasil uji statistik

antara variabel dependen yaitu fungsi paru dengan variabel independen yaitu masa

kerja dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6

Tabulasi Silang antara Masa Kerja dengan Fungsi Paru pada Pekerja Bagian
Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Fungsi Paru
Jumlah
Masa Kerja Ada gangguan Tidak ada gangguan P
n % n % n %
> 7 tahun 10 71,4 4 28,6 14 100
1
≤ 7 tahun 11 68,8 5 31,3 16 100

Berdasarkan tabel 6 di atas diketahui dari 14 responden menyatakan

bahwasanya sebanyak 10 responden (71,4%) berumur > 7 tahun mengalami

Universitas Sumatera Utara


57

adanya gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square

menunjukkan nilai p = 1 > 0,25. Hal ini berarti variabel masa kerja tidak

signifikan dengan fungsi paru sehingga variabel masa kerja secara statistik tidak

dapat dilanjutkan ke multivariat.

Hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru. Hasil uji

statistik antara variabel dependen yaitu fungsi paru dengan variabel independen

yaitu kebiasaan merokok dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7

Tabulasi Silang antara Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru pada Pekerja
Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Fungsi Paru
Jumlah
Kebiasaan Merokok Ada gangguan Tidak ada gangguan P
n % n % n %
Perokok 20 80,0 5 20,0 25 100
0,019
Bukan Perokok 1 20,0 4 80,0 5 100

Berdasarkan tabel 7 di atas diketahui dari 25 responden menyatakan

bahwasanya sebanyak 20 responden (71,4%) perokok tahun mengalami adanya

gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square

menunjukkan nilai p = 0,019 < 0,25. Hal ini berarti variabel kebiasaan merokok

signifikan dengan fungsi paru sehingga variabel kebiasaan merokok secara

statistik dapat dilanjutkan ke multivariat.

Hubungan antara penggunaan APD dengan fungsi paru. Hasil uji

statistik antara variabel dependen yaitu fungsi paru dengan variabel independen

yaitu penggunaan APD dapat dilihat pada tabel berikut:

Universitas Sumatera Utara


58

Tabel 8

Tabulasi Silang antara Penggunaan APD dengan Fungsi Paru pada Pekerja
Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Fungsi Paru
Jumlah
Penggunaan APD Ada gangguan Tidak ada gangguan P
n % n % n %
Buruk 19 90,5 2 9,5 21 100
0,001
Baik 2 22,2 7 77,8 9 100

Berdasarkan tabel 8 di atas diketahui dari 21 responden menyatakan

bahwasanya sebanyak 19 responden (90,5%) yang buruk dalam penggunaan APD

mengalami adanya gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik menggunakan uji chi

square menunjukkan nilai p = 0,001 < 0,25. Hal ini berarti variabel penggunaan

APD signifikan dengan fungsi paru sehingga variabel penggunaan APD secara

statistik dapat dilanjutkan ke multivariat.

Hubungan antara kadar debu tepung dengan fungsi paru. Hasil uji

statistik antara variabel dependen yaitu fungsi paru dengan variabel independen

yaitu kadar debu tepung dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9

Tabulasi Silang antara Kadar Debu Tepung dengan Fungsi Paru pada Pekerja
Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Fungsi Paru
Tidak ada Jumlah
Kadar Debu Tepung Ada gangguan P
gangguan
n % n % n %
> 4 mg/m3 16 84,2 3 15,8 19 100
0,042
≤ 4 mg/m3 5 45,5 6 54,5 11 100

Berdasarkan tabel 9 di atas diketahui dari 19 responden menyatakan

bahwasanya sebanyak 16 responden (84,2%) yang bekerja di kadar debu > 4

Universitas Sumatera Utara


59

mg/m3 mengalami adanya gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik menggunakan

uji chi square menunjukkan nilai p = 0,042 < 0,25. Hal ini berarti variabel kadar

debu tepung signifikan dengan fungsi paru sehingga variabel kadar debu tepung

secara statistik dapat dilanjutkan ke multivariat.

Analisis Multivariat

Analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap

fungsi paru. Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak semua variabel

berpengaruh secara bermakna terhadap kejadian gangguan fungsi paru, beberapa

faktor yang berpangaruh secara bermakna terhadap kejadian gangguan fungsi paru

adalah sebagai berikut:

Tabel 10

Hasil Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Paru


pada Pekerja Bagian Produksi PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Variabel Penelitian p Value Keterangan


Umur 0,687 Tidak ada hubungan
Masa Kerja 1 Tidak ada hubungan
Kebiasaan Merokok 0,019 Ada hubungan
Penggunaan APD 0,001 Ada hubungan
Debu Tepung 0,042 Ada hubungan

Berdasarkan hasil bivariat di atas yang diperoleh maka dilanjutkan dengan

melakukan analisis antara masing-masing variabel independen dengan variabel

dependennya. Bila hasil bivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25 maka variabel tersebut

dapat masuk model multivariat. Tabel diatas menunjukkan dari lima variabel yang

di teliti, hasil analisis secara bivariat menunjukkan tiga variabel yang dapat lanjut

ke dalam model multivariat yaitu dengan besarnya tingkat p value secara berurut

Universitas Sumatera Utara


60

adalah debu tepung (0,042), kebiasaan merokok (0,019), dan penggunaan APD

(0,001).

Tabel 11

Variabel yang Berpengaruh terhadap Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi
PT. Mabar Feed Indonesia 2020

Variabel yang berhubungan B Wald Sig. OR CI 95%


Kebiasaan Merokok 1,841 1,265 0,261 6,303 0,255-155,833
Penggunaan APD 2,762 5,484 0,019 15,833 1,569-159,779
Kadar Debu Tepung 1,198 1,038 0,308 3,313 0,331-33,204

Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat satu variabel dengan

nilai p <0,05 sementara variabel lainnya menunjukkan nilai p>0,05. Hal ini berarti

menunjukkan bahwa variabel penggunaan APD memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap variabel fungsi paru. Dari tabel diatas juga menunjukkan

bahwa nilai OR untuk variabel penggunaan APD adalah sebesar 15,8, angka ini

lebih tinggi dibandingkan nilai OR untuk variabel kebiasaan merokok sebesar 6,3

dan variabel kadar debu tepung yaitu sebesar 3,3. Hal ini juga menunjukkan faktor

host yaitu penggunaan APD merupakan faktor dominan yang mempengaruhi

fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT Mabar Feed Indonesia Tahun 2020.

Universitas Sumatera Utara


Pembahasan

Variabel yang Signifikan terhadap Fungsi Paru

Dari 3 (tiga) variabel yang masuk dalam model multivariat, terdapat 1

(satu) variabel yang bermakna secara statistik (variables in the equation).

Variabel tersebut adalah penggunaan Alat Pelindung Diri. Variabel

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Penggunaan APD. Hasil uji pengaruh secara bersama-sama variabel

bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan regresi logostik berganda.

Variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat adalah penggunaan

APD. Variabel tersebut dengan hasil p value 0,019 < 0,05 ini berarti secara

statistik terbukti sah untuk diintepretasikan dalam analisis pengaruh bersama-

sama. Hal ini berarti bahwa pekerja yang buruk dalam penggunaan masker

berisiko untuk mengalami gangguan fungsi paru hampir 16 kali lebih besar jika

dibandingkan dengan pekerja yang baik dalam penggunaan masker. Hampir

semua pekerja bagian produksi pakan ikan buruk dalam penggunaan APD, mereka

menggunakan masker kain yang dibawa masing-masing pekerja sebagai alat

pelindung diri, namun ada juga yang menggunakan serbet sebagai pengganti

masker. Pekerja tidak menggunakan masker dari perusahaan dikarenakan masker

dari perusahaan seperti berikut:

61
Universitas Sumatera Utara
62

Gambar 3. Jenis masker pekerja produksi pakan ikan

Masker dari perusahaan merupakan masker kain berjenis kain tetra.

Pekerja merasa menggunakan masker berjenis kain tetra tersebut tidak berfungsi

karena lubang-lubang masker tersebut mengakibatkan debu terhirup sehingga

tidak memberi perlindungan yang efektif. Penggunaan masker kain tidak efektif

dikarenakan masker yang digunakan sebagai alat pelindung diri tidak memenuhi

standar, yaitu terbuat dari kain dengan pori-pori 10 mikron, dimana partikel debu

terigu yang ukurannya lebih kecil dari 10 mikron masih dapat terhirup, debu yang

menempel pada kain tersebut dan hygiene individu yang kurang diperhatikan. Alat

Pelindung Pernapasan yang disarankan untuk pekerjaan dilingkungan kerja yang

berdebu menurut OSHA berjenis particulate respirator yaitu disposable dust

mask. Pada respirator jenis ini, filter menangkap partikel dari udara dengan

metode penyaringan, sehingga udara yang melewati respirator menjadi

bersih. Berikut contoh disposable dust mask:

Universitas Sumatera Utara


63

Gambar 4. Disposable dust mask

Hasil penelitian ini mendkukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Budi Utomo pada tahun 2005 dengan judul Faktor-faktor Risiko Penurunan

Kapasitas Paru Pekerja Tambang Batu Kapur (Studi Kasus di Desa

Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas) yang menunjukkan

hasil 66,7% pekerja yang mempunyai kapasitas paru normal ternyata dalam

melakukan aktivitas penambangan menggunakan masker dengan baik. Sebaliknya

34,3% yang tidak menggunakan masker ternyata menunjukkan adanya penurunan

kapasitas paru.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Mengkidi pada

tahun 2006 dengan judul Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan,

Budiono pada tahun 2007 dengan judul Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru

Pada Pekerja Pengecatan Mobil (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota

Semarang) dan Khumaidah pada tahun 2009 dengan judul Analisis faktor-faktor

yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel PT Kota Jati

Universitas Sumatera Utara


64

Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara yang

menyatakan bahwa Pemakaian APD (masker) berhubungan dengan gangguan

fungsi paru dan merupakan faktor protektif terhadap terjadinya gangguan fungsi

paru. Dimana gangguan paru yang dimaksud ditandai dengan adanya penurunan

fungsi paru.

Hasil penelitian menunjukkan dari 30 pekerja sebanyak 21 pekerja yang

buruk dalam penggunaan APD dimana 15 pekerja yang buruk dalam penggunaan

APD merupakan pekerja perokok yang berada di kadar debu tinggi mengalami

gangguan fungsi paru. Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh

partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi

jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Hal ini dapat disimpulkan

bahwa penggunaan Alat Pelindung Diri sangat penting sebagai faktor protektif

dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan.

Pekerja yang taat menggunakan masker pada saat bekerja akan

meminimalkan jumlah paparan partikel debu yang dapat terhirup. Selain jumlah

paparan, ukuran partikel yang kemungkinan lolos dari masker menjadi kecil. Jika

ukuran partikel kurang dari 1μ, maka partikel debu yang masuk dapat keluar

kembali dengan gerakan brown. Selain itu dengan mekanisme pertahanan paru

berupa refleks batuk, yang dapat lebih kuat untuk mendorong sekresi ke saluran

pernafasan bagian atas, sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan. Selanjutnya bila

masih ada debu yang lolos, maka makrofag alveolar akan mengeluarkan ke

pembuluh limfe atau bronkiolus, dimana partikel tersebut akan dibuang oleh

eskalator muskosiliaris.

Universitas Sumatera Utara


65

Variabel yang Tidak Signifikan terhadap Fungsi Paru

Dari 3 (tiga) variabel yang masuk dalam model multivariat, terdapat 2

(dua) variabel yang tidak bermakna secara statistik (variabel not in the equation)

yaitu kebiasaan merokok dan kadar debu tepung, yang secara teori kedua variabel

tersebut merupakan faktor risiko yang kuat untuk terjadinya gangguan fungsi

paru. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing variabel tersebut :

Kebiasaan merokok. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa

kebiasaan merokok tidak berpengaruh secara signifikan dengan kejadian

gangguan fungsi paru pada pekerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil

penelitian lain yang dilakukan oleh Faidawati pada tahun 2003 dengan judul

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dan Asma Akibat Kerja menunjukkan hasil

bahwa paparan debu cat pada pekerja pengecatan mobil ditambah dengan

kebiasaan merokok pada pekerja akan memberikan dampak kumulatif terhadap

timbulnya gangguan fungsi paru. Hal ini disebabkan asap rokok akan

menghilangkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang berfungsi sebagai

penyaring udara yang masuk dalam pernafasan.

Hasil yang berbeda dengan penelitian terdahulu ini kemungkinan

disebabkan karena meskipun sebagian besar pekerja merokok, namun sebagian

besar mereka merokok dengan Indeks Brinkman kategori 0-199 dengan klasifikasi

perokok ringan. Sehingga dengan pengelompokan variabel kebiasaan merokok

ini, maka hasil uji statistik multivariat tidak menunjukkan adanya pengaruh yang

signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gangguan fungsi paru.

Universitas Sumatera Utara


66

Kadar debu tepung. Salah satu dampak negatif dari industri pakan ikan

adalah pencemaran udara oleh debu. Industri pakan ikan berpotensi menimbulkan

kontaminasi di udara berupa debu. Debu merupakan limbah utama dari pabrik

pakan ikan. Debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri pakan ikan terdiri dari

debu yang dihasilkan pada bagian produksi pada waktu penimbangan (batching)

bahan baku dan pengemasan (packaging) pakan ikan. Bahan pencemar tersebut

dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan manusia.

Dari hasil penelitian di ketahui bahwa kadar debu pada area kerja batching

5,9870 mg/m3. Diketahui dari 19 responden yang bekerja di area kadar debu

tinggi menyatakan bahwasanya sebanyak 16 responden (84,2%) yang bekerja di

kadar debu > 4 mg/m3 mengalami adanya gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik

menggunakan uji chi square menunjukkan nilai p = 0,042. Pekerja yang bekerja di

area kadar debu 5,987 mg/m3 yaitu 15 pekerja perokok yang buruk dalam

penggunaan APD mengalami gangguan fungsi paru dan 1 pekerja perokok yang

baik dalam penggunaan APD mengalami gangguan fungsi paru.

Efek biologis paparan debu tepung di udara terhadap kesehatan manusia

dapat menyebabkan efek alergi dimana debu tepung merupakan debu organik

yang mempunyai sifat dapat meningkatkan reaksi alergi. Beberapa reaksi

kekebalan biasanya membentuk respon secara psikologi berupa iritasi. Secara

patologi dapat ditentukan melalui tes alergi sebagai penyakit akibat kerja pada

saluran pernafasan yang umumnya berupa asma bronchial.

Debu tepung yang masuk saluran nafas, menyebabkan timbulnya reaksi

mekanisme pertahanan non spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

Universitas Sumatera Utara


67

mukosilier dan fagositisis oleh makrofag. Otot polos sekitar jalan napas dapat

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila

kadar debu melebihi nilai ambang batas.

Variabel kadar debu tepung berhubungan dengan fungsi paru akan tetapi

dari hasil uji multivariat, variabel kadar debu tepung tidak berpengaruh terhadap

fungsi paru dengan p value 0,308. Tidak lolosnya variabel kadar debu tepung ke

dalam model akhir analisis multivariat dalam penelitian ini dapat dijelaskan

bahwa tidak semua pekerja yang bekerja > NAB mengalami gangguan fungsi

paru. Hal ini disebabkan karena adanya faktor individual, faktor allergen dan

faktor penyerta potensial seperti umur, etnis, kebiasaan merokok. Salah satu faktor

yang paling sulit diukur disini adalah kerentanan dari individu. Seseorang akan

terekspose debu di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama dan durasi

eksposure yang sama dapat memberikan kelainan klinis yang berbeda.

Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak

menggunakan pengukuran spirometri fungsi paru pada pekerja dikarenakan

kondisi yang tidak memungkinkan akibat pandemi virus Covid-19 sehingga

diganti dengan penggunaan kuesioner.

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik

beberapa kesimpulan yang diperoleh dari 30 pekerja di bagian produksi pakan

ikan PT. Mabar Feed Indonesia Tahun 2020 adalah sebagai berikut:

1. Persentase adanya gangguan fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT

Mabar Feed Indonesia adalah 70%

2. Persentase tertinggi untuk faktor host yaitu pekerja yang buruk dalam

penggunaan APD pada bagian produksi PT Mabar Feed Indonesia yaitu sebesar

70%.

3. Persentase tertinggi untuk faktor agent pada pekerja bagian produksi PT Mabar

Feed Indonesia dengan kadar debu tepung total di lingkungan kerja memiliki

persentase tertinggi pekerja yang bekerja di bagian penimbangan dengan kadar

debu > NAB yaitu 63,3%.

4. Ditemukan bahwa faktor host yaitu kebiasaan merokok (p value 0,019) dan

penggunaan APD (p value 0,001) serta faktor agent yaitu kadar debu tepung (p

value 0,042) di lingkungan kerja yang signifikan terhadap fungsi paru pekerja

bagian produksi PT Mabar Feed Indonesia.

5. Penggunaan APD merupakan faktor dominan (p value 0,019) yang

mempengaruhi fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT Mabar Feed

Indonesia. Selain itu ditemukan juga bahwa faktor host yang meliputi

penggunaan APD tersebut merupakan faktor yang menimbulkan resiko 16 kali

68
Universitas Sumatera Utara
69

terjadinya gangguan fungsi paru pada pekerja bagian produksi PT Mabar Feed

Indonesia

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti di PT. Mabar

Feed Indonesia, maka peneliti memberikan saran-saran yang mungkin dapat

menjadi bahan masukan atau perbaikan bagi perusahaan. Adapun saran-saran

yang dapat peneliti berikan sebagai berikut:

1. Mewajibkan dan mengawasi penggunaan masker secara ketat dan kontinyu

pada pekerja, agar dapat mengurangi angka kejadian gangguan fungsi paru.

2. Perlunya pemeriksaan fungsi paru pekerja secara periodik.

3. Berdasarkan temuan tingginya prevalensi pekerja produksi pakan ikan yang

mengalami gangguan fungsi paru (70%), maka disarankan agar instansi terkait

yaitu Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Kesehatan dan Lingkungan Hidup agar

melakukan upaya promosi kesehatan untuk meminimalkan risiko terjadinya

gangguan fungsi paru pada pekerja produksi pakan ikan.

4. Sebaiknya PT Mabar Feed Indonesia mengganti masker berjenis kain tetra

dengan menyediakan Alat Pelindung Diri yang berjenis disposable dust mask

yang sesuai dengan lingkungan kerja bagian produksi pakan ikan.

5. Diharapkan kepada pekerja yang hendak masuk lingkungan kerja, patuh

terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) seperti pemakaian alat

pelindung diri (APD) terutama masker agar dapat mengurangi kejadian

gangguan fungsi paru.

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

Aditama, Y. T. (2006). Situasi Beberapa penyakit paru di masyarakat bagian


pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru R. S.
Persahabatan Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran, 84. Diakses dari
http://www.cerminduniakedokteran.com/

Amin, M. (2013). Pemeriksaan dan interpretasi faal paru. Surabaya: PKB


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi.

Antarudin. (2003). Pengaruh debu padi pada faal paru pekerja kilang padi yang
merokok dan tidak merokok (Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru,
FK USU). Diakses dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6409

Arikunto, S. (2012). Prosedur penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Ariani, P. dan Hermayudi, D. (2017). Pulmonologi (Ed. 1). Yogyakarta: Nuha


Medika.

Aunillah, K. dan Ardam, Y. (2015). Hubungan paparan debu dan lama paparan
dengan gangguan faal paru pekerja overhaul power plant. The Indonesian
Journal of Occupational Safety and Health, 4. Doi http://dx.doi.org/
10.20473/ijosh.v4i2.2015.155-166

Bakhtiar, A. dan Irviana, R. (2017). Faal paru dinamis. Jurnal Respirasi, 3. Doi
http://dx.doi.org/10.20473/jr.v3-I.3.2017.89-96

Barrett, L., Barman, K., Boitano, S., Brooks, S., & Heddwen. (2016). Ganong’s
review of medical physiology. United State Of America: Medic.

Buchari. (2007). Penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Budiono, I. (2007). Faktor risiko gangguan fungsi paru pada pekerja pengecatan
mobil di Kota Semarang (Tesis, Epidemiologi UNDIP). Semarang.
Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/17854/

BSN. (2009). Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara di tempat kerja (SNI
19-0232-2005). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Danusantoso, H. (2012). Buku saku ilmu penyakit paru (Ed. 2). Jakarta: EGC.

Darmawan, A. (2013). Penyakit sistem respirasi akibat kerja. JMJ, 1. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/71507-ID-penyakit-sistem-
respirasi-akibat-kerja.pdf

70
Universitas Sumatera Utara
71

Demeke, D. & Haile, D. (2018). Assessment of respiratory symptoms and


pulmonary function status among workers of flour mills in addis ababa,
ethiopia: comparative cross-sectional study. Pulm Med, 2018. Ethiopia:
Department of Physiology, Bahir Dar University College of Medicine and
Health Sciences. Doi https://doi.org/10.1155/2018/9521297

Depkes RI. (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2006. Diakses dari


https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2006.pdf

Easterbrook, A. & Hill, H. (2009). Silica baseline survey annex 2 construction


sector. Health and Safety Laboratory Harpur Hill Buxton Derbyshire,
17(9). Diakses dari http://www.bollettinoadapt.it/old/files/document/
3444UK_SILICA_3_2009.pdf

Endra, F., Noerwahjono, A., dan Nurridha, A. (2018). Analisis lingkungan kerja
dan karakteristik pekerja terhadap faal paru pekerja industri papan semen
rata (studi kasus di PT “X” Malang). Herb-Medicine Journal, 1. Diakses
dari https://www.researchgate.net/publication/334255169_Analisis_
Lingkungan_Kerja_dan_Karakteristik_Pekerja_Terhadap_Faal_Paru_Peke
rja_Industri_Papan_Semen_Rata_Studi_Kasus_di_PT_X_Malang/link/5d9
a93ee458515c1d39c43b8/download

Faidawati, R. (2003). Penyakit paru obstruktif kronik dan asma akibat kerja.
Journal of the Indonesia Association of Pulmonologist.

Gold, D., Xiaobin, W., Wypij, D. (2005). Effect of cigarette smoking on lung
function in adolescent boys and girls. NEJM, 335(13).

Guyton, A. dan Hall, J. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran (edisi 9). Jakarta:
EGC Kedokteran.

Hartono, H. (2015). Peningkatan kapasitas vital paru pada pasien ppok


menggunakan metode pernapasan pursed lips. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan, 4. Diakses dari http://jurnal.poltekkes-solo.ac.id/index.php/
Int/article/view/122

Harwanti, N. (2009). Pemakaian alat pelindung diri dalam memberikan


perlindungan bagi tenaga kerja di Instalasi Rawat Inap I RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta (Skripsi yang tidak dipublikasikan). Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Ikhsan, M. (2009). Dalam Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan.
(Seri 1). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Universitas Sumatera Utara


72

ILO. (2013). Health and safety in work place for productivity. Geneva:
International Labour Office.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Efek Biologis dari Paparan


Debu. Diakses dari http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/MPK/
article/view/717

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman


Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Diakses dari
http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/kenali-penyakit-paru-obstruktif-
kronik-ppok

Khumaidah. (2009). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan


fungsi paru pada pekerja mebel PT. Kota Jati Furnindo Desa Suwawal
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara (Tesis yang tidak dipublikasikan).
Universitas Diponegoro, Semarang.

Kurniawidjaja, L. M. (2010). Program perlindungan kesehatan respirasi di tempat


kerja manajemen resiko penyakit paru akibat kerja. Jurnal Respirologi
Indonesia, 30. Diakses dari http://arsip.jurnalrespirologi.org/program-
perlindungan-kesehatan-respirasi-di-tempat-kerja-manajemen-risiko-
penyakit-paru-akibat-kerja/

Lung Health Institute. (2019, 5 Juli). Restrictive Lung Disease: Facts You Need to
Know. Diakses pada 20 Juli 2020, dari
https://lunginstitute.com/restrictive-lung-disease-facts/

Marcin, A. & Rogers, G. (2017, 23 Maret). Yellow, Brown, Green, and More:
What Does the Color of My Phlegm Mean?. Diakses pada 27 September
2020, dari https://www.healthline.com/health/green-phlegm

Markenan, P. (2004). Keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Jakarta: PT.


Pustaka Binaman Pressindo.

Mengkidi, D. (2006). Gangguan fungsi paru dan faktor-faktor yang


mempengaruhinya pada karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi
Selatan (Tesis, Universitas Diponegoro). Diakses dari
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/9602

Nuraisyah. (2010). Pengaruh karakteristik pekerja dan konsentrasi debu terhadap


gangguan faal paru pada pekerja di Industri Pakan Ternak Medan Tahun
2010 (Tesis yang tidak dipublikasikan). Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Universitas Sumatera Utara


73

Nonato, N. (2015). Occurrence of respiratory symptoms in persons with restrictive


ventilatory impairment compared with persons with chronic obstructive
pulmonary disease: The PLATINO study. Sage Journals, 12. Doi
https://doi.org/10.1177/1479972315588004

Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia. (2003). Pedoman diagnosis &


penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia. (2010). Penyakit paru obstruktf


kronik”. Pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI.

Rab, T. (2010). Ilmu penyakit paru (Ed. 2). Jakarta: TIM.

Rahmatullah, P. (2009). Pneumonitis dan penyakit paru lingkungan. Pusat


Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 364.

Slamet, S. dan Laila, K. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


gangguan fungsi paru pada pekerja pengelasan di Kota Pontianak. Jurnal
Laboratorium Khatulistiwa, 1. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/337213174_Faktor-
Faktor_yang_Berhubungan_dengan_Gangguan_Fungsi_Paru_pada_Pekerj
a_Pengelasan_Di_Kota_Pontianak

Soemantri, I. (2008). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system


pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sudrajad, M. dan Azizah, R. (2016). Gambaran status faal paru pekerja di Industri
penggilingan batu kapur di Kabupaten Tuban. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 8. Diakses dari
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yu9ZOFRgNhIJ:
https://e-journal.unair.ac.id/JKL/article/download/8017/4751+&cd=1&hl=
ban&ct=clnk&gl=id

Sugiyono. (2016). Metode penelitian manajemen pendekatan kuantitatif,


kualitatif, kombinasi (mixed methods), penelitian tindakan (action
research, dan penelitian evaluasi. Bandung: Alfabeta.

Suma‟mur, P. K. (2013). Higene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES).


Jakarta: CV. Haji Mas Agung.

Suyanto S. (2015). Analisis pengaruh kepadatan debu dan penggunaan apd


pekerja pabrik pakan Ikan Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja
Pabrik Pakan Ikan di Kecamatan XIII Koto Kampar. Jurnal Dinamika
Lingkungan Indonesia, 2. Diakses dari https://dli.ejournal.unri.ac.id/
index.php/DL/article/view/2879

Universitas Sumatera Utara


74

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan.

Utomo, B. (2015). Faktor-faktor risiko penurunan kapasitas paru pekerja


tambang batu kapur (studi kasus di Desa Darmakradenan Kecamatan
Ajibarang Kabupaten Banyumas Tahun 2005) (Thesis, Magister
Epidemiologi. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro). Diakses
dari http://eprints.undip.ac.id/4990/

Werdhani, R. (2011). Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis.


Departemen Ilmu kedokteran komunitas, Okupasi, Keluarga. Jakarta:
FKUI.

Work Safe BC. (2007, 4 Juni). Flour Dust. Diakses pada 20 Juli 2020 diakses dari
https://www.worksafebc.com/en/health-safety/hazards-exposures/flour-
dust

Universitas Sumatera Utara


75

Lampiran 1. Lembar Kuesioner

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FUNGSI PARU

PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI PT MABAR FEED INDONESIA

TAHUN 2020

I. PETUNJUK PENGISIAN

A. Identitas Responden

1. Nama Responden :

2. Berapa umur anda :

3. Apakah jenis kelamin anda?

4. Anda bekerja di bagian produksi?

5. Berapa masa kerja anda di perusahaan ini?

6. Berapa jam anda bekerja di tempat tersebut setiap hari?

7. Berat Badan: ...…….. kg

8. Tinggi Badan: ……... cm

B. Gejala Penurunan Fungsi Paru

1. Apakah bapak menderita batuk-batuk (kering / dahak / berdarah)?

Ya Tidak

2. Apakah bapak merasa sesak nafas?

Ya Tidak

Universitas Sumatera Utara


76

3. Apakah bapak nyeri dada?

Ya Tidak

4. Apakah bapak saat bernafas terasa berat?

Ya Tidak

5. Apakah bapak banyak mengeluarkan riak (dahak) tiap hari?

Ya Tidak

6. Apakah suara nafas bapak berbunyi mengi (ngikngik)?

Ya Tidak

Skala Sesak Keluhan sesak berkaitan dengan

aktivitas

0 Tidak ada sesak kecuali dengan

aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat

atau naik tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa

sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau

setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

(Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia)

Universitas Sumatera Utara


77

C. Riwayat Pekerjaan

1. Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain?

Ya Tidak

2. Apabila pernah, apakah tempat kerja anda yang dulu berdebu?

Ya Tidak

3. Berapa lama anda bekerja di tempat tersebut?

< 10 tahun ≥ 10 tahun

4. Berapa jam anda bekerja di tempat tersebut setiap hari?

< 8 jam ≥ 8 jam

5. Apakah selama anda bekerja di tempat tersebut pernah mengalami sakit pada

saluran pernafasan?

Ya Tidak

D. Kebiasaan Penggunaan Alat Pelindung Diri

Berilah tanda (√) pada jawaban yang benar!

1. Menggunakan penutup hidung (serbet) atau masker sewaktu bekerja

Ya Tidak

2. Menggunakan penutup hidung (serbet) atau masker selama 8 jam sehari

selama bekerja di bagian berdebu secara terus-menerus

Ya Tidak

Universitas Sumatera Utara


78

3. Menggunakan penutup hidung atau masker setiap hari

Ya Tidak

4. Jenis masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori yang kecil

Ya Tidak

5. Masker diganti setiap hari

Ya Tidak

(Sumber: Khumaidah, 2009; Kemenkes 2008; Sage Journals 2015)

E. Kebiasaan Merokok

Untuk perokok aktif:

 Sudah berapa tahun merokok?

 Kapan mulai merokok?

 Apakah sekarang masih merokok?

 Berapa batang rata-rata konsumsi rokok perhari?

Rumus: Indeks Brinkman (IB) = jumlah rata-rata rokok yang dihisap sehari

(batang) x lama merokok (tahun)

Klasifikasi perokok berdasarkan IB:

Indeks Brinkman Klasifikasi


0 – 199 Perokok ringan
200 – 599 Perokok sedang
≥ 600 Perokok berat
(Sumber: Indeks Brinkmen, Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia, 2003)

Kuesioner ini telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian

Universitas Sumatera Utara


79

Lampiran 2. Master Data

1.Master Data Semua Variabel

Kadar
No. Fungsi Masa Kebiasaan Penggunaan
Umur Debu
Responden Paru Kerja Merokok APD
Tepung
1 1 2 2 1 1 1
2 1 2 1 1 1 1
3 1 2 2 1 1 1
4 1 2 1 1 1 1
5 1 1 2 1 1 1
6 1 1 1 2 1 1
7 1 2 1 1 1 1
8 1 2 1 1 2 1
9 1 1 1 1 1 1
10 1 2 2 1 1 1
11 2 2 2 1 2 2
12 1 2 1 1 1 1
13 2 2 2 2 2 2
14 2 2 1 2 2 2
15 1 2 1 1 1 1
16 1 1 2 1 1 1
17 2 1 2 1 2 2
18 1 1 2 1 1 1
19 2 1 1 2 2 1
20 2 1 1 1 1 1
21 2 1 1 1 2 1
22 1 2 1 1 1 2
23 1 2 2 1 1 2
24 2 2 2 1 1 2
25 2 2 2 2 2 2
26 1 1 2 1 1 2
27 1 1 2 1 1 1
28 1 2 1 1 2 2
29 1 2 2 1 1 2
30 1 2 2 1 1 1
2. Master Data Jawaban Setiap Responden untuk Variabel Fungsi Paru

Terdapat 6 aspek pertanyaan yang dinyatakan dengan skor yaitu:

1. Ya diberi nilai = 1

2. Tidak diberi nilai = 0

Universitas Sumatera Utara


80

Kriteria penilaian:

1. Ada gangguan jika skor = 6

2. Tidak ada gangguan jika skor < 6

Perta Variabel Fungsi Paru


nyaan
Total Kategorik
1 2 3 4 5 6
No.
Responden
1 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
2 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
3 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
4 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
5 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
6 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
7 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
8 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
9 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
10 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
11 1 0 0 0 1 0 2
Paru
12 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
13 1 0 0 0 0 0 1
Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
14 0 0 0 0 0 0 0
Paru
15 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
16 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
17 1 0 0 1 1 0 3
Paru
18 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
19 1 0 0 0 1 0 2
Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
20 1 0 0 1 0 0 2
Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
21 1 0 1 1 0 0 3
Paru
22 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
23 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
24 1 0 0 0 0 0 1
Paru
Tidak Ada Gangguan Fungsi
25 1 0 0 0 0 0 1
Paru

Universitas Sumatera Utara


81

26 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru


27 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
28 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
29 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
30 1 1 1 1 1 1 6 Ada Gangguan Fungsi Paru
Total
Menjawab 29 21 22 24 24 21
„Ya‟
Total
menjawab 1 9 8 6 6 9
„Tidak‟

3. Master Data Jawaban Setiap Responden untuk Variabel Penggunaan

APD

Terdapat 6 aspek pernyataan yang dinyatakan dengan skor yaitu:

3. Ya diberi nilai = 1

4. Tidak diberi nilai = 0

Kriteria penilaian:

1. Baik jika skor = 5

2. Buruk jika skor < 5

Variabel Penggunaan APD


Pernyataan
Total Keterangan
1 2 3 4 5
No.
Responden
1 1 0 0 1 1 3 Buruk
2 1 0 1 1 1 4 Buruk
3 1 0 0 1 1 3 Buruk
4 1 0 0 1 1 3 Buruk
5 1 0 0 1 1 3 Buruk
6 1 0 0 1 1 3 Buruk
7 1 0 0 1 1 3 Buruk
8 1 1 1 1 1 5 Baik
9 1 0 0 1 1 3 Buruk
10 1 0 0 1 1 3 Buruk
11 1 1 1 1 1 5 Baik

Universitas Sumatera Utara


82

12 1 0 0 1 1 3 Buruk
13 1 1 1 1 1 5 Baik
14 1 1 1 1 1 5 Baik
15 1 0 1 1 1 4 Buruk
16 1 0 0 1 1 3 Buruk
17 1 1 1 1 1 5 Baik
18 1 0 1 1 1 4 Buruk
19 1 1 1 1 1 5 Baik
20 1 0 0 1 1 3 Buruk
21 1 1 1 1 1 5 Baik
22 1 0 1 1 1 4 Buruk
23 1 0 0 1 1 3 Buruk
24 1 0 0 1 1 3 Buruk
25 1 1 1 1 1 5 Baik
26 1 0 0 1 1 3 Buruk
27 1 0 1 1 1 4 Buruk
28 1 1 1 1 1 5 Baik
29 1 0 0 1 1 3 Buruk
30 1 0 0 1 1 3 Buruk
Total
Menjawab 30 9 14 30 30
„Ya‟
Total
menjawab 0 21 16 0 0
„Tidak‟

Universitas Sumatera Utara


83

Lampiran 3. Output SPSS

1. Umur dan Masa Kerja Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia

Responden Umur Masa Kerja


1 38 7
2 37 8
3 33 4
4 34 10
5 41 5
6 39 8
7 28 8
8 36 9
9 42 10
10 37 3
11 36 4
12 25 8
13 35 6
14 38 11
15 37 8
16 48 6
17 39 5
18 42 5
19 48 8
20 49 9
21 51 10
22 32 8
23 37 7
24 32 7
25 31 6
26 45 5
27 44 5
28 37 9
29 36 5
30 26 4

Universitas Sumatera Utara


84

2.Klasifikasi Perokok Pada Pekerja Bagian Produksi Pakan Ikan PT Mabar Feed

Indonesia Berdasarkan Indeks Brinkman

Jumlah rata-rata rokok Lama


Indeks
Responden yang dihisap sehari merokok Klasifikasi
Brinkman
(batang) (tahun)
1 12 18 216 Perokok sedang
2 12 25 300 Perokok sedang
3 24 17 408 Perokok sedang
4 30 20 600 Perokok berat
5 12 22 264 Perokok sedang
6 0 0 0 Bukan perokok
7 12 17 204 Perokok sedang
8 16 20 320 Perokok sedang
9 16 21 336 Perokok sedang
10 0 0 0 Bukan perokok
11 4 21 84 Perokok ringan
12 6 20 120 Perokok ringan
13 0 0 0 Bukan perokok
14 0 0 0 Bukan perokok
15 6 21 126 Perokok ringan
16 16 14 224 Perokok sedang
17 6 19 114 Perokok ringan
18 16 24 384 Perokok sedang
19 0 0 0 Bukan perokok
20 6 22 132 Perokok ringan
21 4 21 84 Perokok ringan
22 12 22 264 Perokok sedang
23 24 22 528 Perokok sedang
24 8 20 160 Perokok ringan
25 0 0 0 Bukan perokok
26 8 20 160 Perokok ringan
27 24 24 576 Perokok sedang
28 16 21 336 Perokok sedangk
29 12 17 204 Perokok sedang
30 16 20 320 Perokok sedang

Universitas Sumatera Utara


85

3. Median Umur dan Masa Kerja Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed

Indonesia

Statistics
Umur Masakerja
N Valid 30 30
Missing 0 0
Median 37.00 7.00

4. Persentase Fungsi Paru pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed


Indonesia
Fungsi Paru Pekerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ada gangguan 21 70.0 70.0 70.0
tidak ada gangguan 9 30.0 30.0 100.0
Total 30 100.0 100.0

5. Persentase Umur pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia


Umur Pekerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid > 37 tahun 11 36.7 36.7 36.7
<= 37 tahun 19 63.3 63.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

6. Persentase Masa Kerja pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed


Indonesia
Masa Kerja Pekerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid > 7 tahun 14 46.7 46.7 46.7
<= 7 tahun 16 53.3 53.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

7. Persentase Kebiasaan Merokok pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed


Indonesia
Kebiasaan Merokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid perokok 25 83.3 83.3 83.3
bukan perokok 5 16.7 16.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


86

8. Persentase Penggunaan APD pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed


Indonesia
Penggunaan APD
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Buruk 21 70.0 70.0 70.0
Baik 9 30.0 30.0 100.0
Total 30 100.0 100.0

9. Persentase Kadar Debu Tepung pada Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed
Indonesia
Debu Tepung Lingkungan Kerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid > 4 mg/m3 19 63.3 63.3 63.3
=< 4 mg/m3 11 36.7 36.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

10. Uji Hubungan antara Umur dengan Fungsi Paru pada Pekerja Bagian
Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Crosstab
Fungsi Paru Pekerja
ada gangguan tidak ada gangguan Total
Umur Pekerja > 37 tahun Count 7 4 11
% within 63.6% 36.4% 100.0%
Umur
Pekerja
<= 37 tahun Count 14 5 19
% within 73.7% 26.3% 100.0%
Umur
Pekerja
Total Count 21 9 30
% within 70.0% 30.0% 100.0%
Umur
Pekerja
Chi-Square Tests
Asymp.
Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .335a 1 .563
Continuity Correctionb .027 1 .869
Likelihood Ratio .331 1 .565
Fisher's Exact Test .687 .429
Linear-by-Linear Association .324 1 .569
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.30.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


87

11. Uji Hubungan antara Masa Kerja dengan Fungsi Paru pada Pekerja Bagian
Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Crosstab
Fungsi Paru Pekerja
ada gangguan tidak ada gangguan Total
Masa Kerja Pekerja > 7 tahun Count 10 4 14
% 71.4% 28.6% 100.0%
within
Masa
Kerja
Pekerja
<= 7 tahun Count 11 5 16
% 68.8% 31.3% 100.0%
within
Masa
Kerja
Pekerja
Total Count 21 9 30
% 70.0% 30.0% 100.0%
within
Masa
Kerja
Pekerja

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value Df sided) (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square .026a 1 .873
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .026 1 .873
Fisher's Exact Test 1.000 .596
Linear-by-Linear Association .025 1 .875
N of Valid Cases 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20.
b. Computed only for a 2x2 table

12. Uji Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru pada
Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Crosstab
Fungsi Paru Pekerja
tidak ada
ada gangguan gangguan Total
Kebiasaan Merokok perokok Count 20 5 25
% within 80.0% 20.0% 100.0%
Kebiasaan
Merokok

bukan perokok Count 1 4 5


% within 20.0% 80.0% 100.0%
Kebiasaan
Merokok

Universitas Sumatera Utara


88

Total Count 21 9 30
% within 70.0% 30.0% 100.0%
Kebiasaan
Merokok

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df sided) (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.143a 1 .008
Continuity Correctionb 4.571 1 .033
Likelihood Ratio 6.628 1 .010
Fisher's Exact Test .019 .019
Linear-by-Linear 6.905 1 .009
Association
N of Valid Cases 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
b. Computed only for a 2x2 table

13. Uji Hubungan antara Penggunaan APD dengan Fungsi Paru pada Pekerja
Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Crosstab
Fungsi Paru Pekerja
tidak ada
ada gangguan gangguan Total
Penggunaan APD buruk Count 19 2 21
% within 90.5% 9.5% 100.0%
Penggunaan
APD

baik Count 2 7 9
% within 22.2% 77.8% 100.0%
Penggunaan
APD

Total Count 21 9 30
% within 70.0% 30.0% 100.0%
Penggunaan
APD

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value Df sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 13.976a 1 .000
Continuity Correctionb 10.915 1 .001
Likelihood Ratio 13.908 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 13.510 1 .000
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.70.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


89

14. Uji Hubungan antara Kadar Debu Tepung dengan Fungsi Paru pada Pekerja
Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Crosstab
Fungsi Paru Pekerja
ada tidak ada
gangguan gangguan Total
Debu Tepung Lingkungan Kerja > 4 mg/m3 Count 16 3 19
% within 84.2% 15.8% 100.0%
Debu Total
Lingkungan
Kerja

=< 4 mg/m3 Count 5 6 11


% within 45.5% 54.5% 100.0%
Debu Total
Lingkungan
Kerja

Total Count 21 9 30
% within 70.0% 30.0% 100.0%
Debu Total
Lingkungan
Kerja

Chi-Square Tests
Asymp.
Sig. (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value Df sided) (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square 4.983a 1 .026
b
Continuity Correction 3.308 1 .069
Likelihood Ratio 4.919 1 .027
Fisher's Exact Test .042 .035
Linear-by-Linear 4.817 1 .028
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.30.
b. Computed only for a 2x2 table

15. Uji Pengaruh antara Variabel yang Berhubungan dengan Fungsi Paru pada
Pekerja Bagian Produksi PT Mabar Feed Indonesia
Variables in the Equation
95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step 1a merokok 1.841 1.637 1.265 1 .261 6.303 .255 155.833
APD 2.762 1.179 5.484 1 .019 15.833 1.569 159.779
debu 1.198 1.176 1.038 1 .308 3.313 .331 33.204
Constant -8.587 3.013 8.124 1 .004 .000
a. Variable(s) entered on step 1: merokok, APD, debu.

Universitas Sumatera Utara


90

Lampiran 4. Data Sekunder Tingkat Debu Pakan Ikan

Universitas Sumatera Utara


91

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian

Universitas Sumatera Utara


92

Lampiran 6. Surat Selesai Penelitian

Universitas Sumatera Utara


93

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Pengemasan

Gambar 2. Penimbangan

Universitas Sumatera Utara


94

Gambar 3. Wawancara dengan responden 1

Gambar 4. Wawancara dengan responden 2

Universitas Sumatera Utara


95

Gambar 5. Wawancara dengan responden 3

Gambar 6. Wawancara dengan responden 4

Universitas Sumatera Utara


96

Gambar 7. Wawancara dengan responden 5

Gambar 8. Wawancara dengan responden 6

Universitas Sumatera Utara


97

Gambar 9. Wawancara dengan responden 7

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai