Anda di halaman 1dari 145

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL

PARU PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI KELURAHAN CIRENDEU


TAHUN 2014

Skripsi

Oleh

NOVANDANY DWIANTORO PUTRA

109101000068

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan batrwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh getar strata l'di Fakulta! Kedokteran dan

llmu Kesehatan Universitas lslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan llmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hariterbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli dari saya

atau merupakan plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Fakultas Kedokteran dan llmu Kesehatan Universitas lslam Negeri

(UlN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2014

N ovandany Dwiantoro Putra


UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Skripsi, Juni 2014

Novandany Dwiantoro Putra, NIM: 109101000068

Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

(xvi + 102 halaman, 9 tabel, 4 grafik, 5 gambar, 4 lampiran)

ABSTRAK

Penurunan kapasitas vital paru pada pekerja las dapat terjadi karena
pengelasan menghasilkan polutan yang berupa gas dan partikulat yang terhirup ke
dalam paru-paru. Industri pengelasan merupakan industri informal yang dikelola oleh
perorangan dengan teknologi yang sederhana. Perlindungan kesehatan terhadap
tenaga kerja kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan kapasitas vital paru.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
crosss sectional, yang dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014. Populasi dalam
penelitian ini adalah pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu sebanyak 58 orang,
dengan sampel minimum 38 orang dan responden sebanyak 42 orang. Data penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan instrumen: kuesioner, timbangan injak,
microtoice, EPAM 5000, dan Spirometer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kapasitas Vital Paru (KVP) pekerja las
mengalami penurunan sebanyak 61,9%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui
bahwa variabel yang berhubungan dengan KVP adalah variabel paparan kadar debu
total (Pvalue = 0.029), umur (Pvalue = 0.000), masa kerja (Pvalue = 0.014), jumlah
jam kerja per minggu (Pvalue = 0.012), dan kebiasaan merokok (Pvalue = 0.000).
Sedangkan kebiasaan olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit dan riwayat
pekerjaan tidak berhubungan dengan kapasitas vital paru.
Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja las, disarankan agar
lingkungan kerja menggunakan exthaust, melarang merokok di tempat kerja serta
berhenti merokok, menggunakan masker ketika bekerja, dan rajin olahraga aerobik
minimal 3 kali seminggu selama 30 menit.

Daftar bacaan : 42 (1973 – 2013)


Kata kunci: Pekerja bengkel las, Kapasitas vital paru, Paparan debu.

ii
JAKARTA STATE ISLAMIC UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
Undergraduated Thesis, June 2014

NOVANDANY DWIANTORO PUTRA, NIM : 109101000068

FACTORS ASSOSIATED WITH THE FORCE VITAL CAPACITY OF


WELDERS AT WELD WORKSHOP IN CIRENDEU VILLAGE, YEAR 2014

(xvi + 99 pages, 9 tables, 4 graphic, 5 pictures, 4 attachments)

ABSTRACT

The decrease of force vital capacity in welders may occur due to welding
produces gaseous pollutants and particulates are inhaled into the lungs. Welding
industry is informal industrial who is managed by individuals with simple
technology. Health protection to workers received less attention. Therefore, this study
was conducted to determine the factors associated force vital capacity.
This study is an analytic epidemiologic study with crosss sectional design,
which was conducted in February-March 2014. Population in this study is a welding
shop workers in the Village Cirendeu were 58 people, with a minimum sample of 38
people and a total of 42 respondents. Data were collected using instruments:
questionnaires, scales underfoot, microtoice, EPAM 5000, and spirometer.
The results showed that the Force Vital Capacity (FVC) welders decreased by
61.9%. Based on the results of statistical tests known that the variables associated
with FVC is variable levels of total dust exposure (Pvalue = 0.029), age (Pvalue =
0.000), working period (Pvalue = 0.014), total of hours worked per week (Pvalue =
0.012), and smoking habits (Pvalue = 0.000). While exercise habits, nutritional status
(BMI), disease history and employment history was not associated with force vital
capacity.
To lower the risk of the decrease a FVC in weldkers, it is suggested that the
working environment using exthaust, prohibits smoking in the workplace and stop
smoking, using a mask when working, and do aerobic exercise at least 3 times a week
for 30 minutes.

References : 42 (1973 – 2013)


Keyword: Welders, Force vital capacity, Dust exposure.

iii
FAKTOR.X'AKTOR YANG BEREUBT}NGAN DENGAIT I(APASITAS VITAL
PARU PAI}A PEKERJA BENGKEL LAS}DI IOLT}RAHAN CINENDEU
TAgt N201{

Slaipsi

Ditjrdrar kc@a F*rrltas K&ktcran dan Ilmu Kesetratah untuk Mernenuhi


Pasyarcm lv{efirpeiloldr Crelar Smjuu Kcs&dan l,Ias}arakat (SKM)
Oleh:

Nwrr&w llrientoro Putra


NIM:10910100m68

Pembimbing I Pembimbing II

Iting Shoft.ati. ST. MKKK RaiIam Nadra Allmtr, M.MA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATA}I
I,JNTYERSITAS ISIAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAIL{II'TA
2014
PENGESAEAN PA}IITIA UJIAN

Slaipsr dengan judul Fffi YANG BERIIUBIINGAN DENGAITI


KAPASITAS VITAT PARU PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI
KELITRAHAN CIRENDEU TAIIUN 2014 telah diojik; dalam sidang ujian
slcipsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Symif
Hida,,a$llah Jalwta @ mggel 19 Mei 2014. Slripsi ini telah diterima sebagai
salah sanr syarat me,mp€ml€h gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada
Prograrr Studi Kes*atan Masyarakat

Jalcrta, Juni 2014

Ketue

Anggota I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Novandany Dwiantoro Putra

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 09 November 1990

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Pernikahan : Belum menikah

Nomor Handphone : 085769111990

Email : novandany_dwiantoro@yahoo.com.sg

Riwayat Pendidikan

2009- sekarang S1- Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2006- 2009 SMA Negeri 86 Jakarta

2003- 2006 SMP Islam Al-Azhar 3 Bintaro

1997- 2003 SD Islam Al-Azhar 17 Bintaro

Pengalaman Pelatihan dan Seminar

2012 Pelatihan OSHAS 18001

2012 Seminar Profesi K3 UIN Jakarta

vi
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Segalanya, syukur penulis ucapkan

karena tanpa pertolongan-Mu penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, Nabi besar

baginda Rasulallah SAW yang membawa umatnya dari zaman kegelapan ke zaman

yang terang benderang. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penulisan Skripsi Tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital

Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014”. Penyelesaian

skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang

memberikan bantuan baik moril maupun materil, sekiranya patutlah bagi penyusun

untuk berterima kasih yang tak hingga kepada :

1. Ayahanda dan Ibunda penulis yang memberikan do’a dan ketulusan serta rasa

sayang yang tak terbatas terhadap diri penulis.

2. Kakak kandung penulis beserta istri “Andhika Prasetyo V.P. dan Indah

Setyowati” yang telah membantu atas kelancaran penelitian penulis.

3. Eyang terkasih, Pakde serta Bude tersayang dan semua keluarga besar tercinta

yang juga turut mendukung dan memotivasi serta memberikan nasehat kepada

penulis.

vii
4. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. MK. Tadjuddin, Sp.And, selaku dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

5. Ibu Febrianti, SP, M. Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

yang selalu berusaha dengan keikhlasannya memajukan jurusan kesmas agar

bisa berdiri di atas dari jurusan-jurusan lain

6. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku Pembimbing Skripsi I dan Ibu Raihana

Nadra Alkaff, M. MA, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan waktu,

ilmu, dan kesabarannya untuk membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Yuli Amran, MKM dan Ibu Minsarnawati T, SKM, M.Kes selaku penguji

sidang skripsi, terima kasih atas kehadirannya pada sidang skripsi penulis.

8. Bapak Ajib, Bapak Ghozali, Kak Ami, Kak Ida, dan Kak Septi. Terimakasih

untuk semangat yang diberikan kepada penulis.

9. My bestfriend forever, Selisca Luthfiana Fadhillah, sungguh besar kebaikan

dan semangat yang kamu berikan sehingga tulisan ini menjadi satu-kesatuan

yang membuat aku menjadi sarjana.

10. Teman-teman di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya K3 2009. Semoga keberkahan selalu menyertai langkah

kita. Aamiin...

viii
Dengan memanjatkan do’a kepada Allah SWT, penyusun berharap semua

kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Aamiin. Terakhir

kiranya peneliti berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan

pembaca umumnya.

Jakarta, Juni 2014

Penulis

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN MAHASISWA i


ABSTRAK ii
LEMBAR PERSETUJUAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GRAFIK xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Pertanyaan Peneltian 7
1.4 Tujuan Penelitian 7
1.4.1 Tujuan Umum 7
1.4.2 Tujuan Khusus 7
1.5 Manfaat Penelitian 8
1.5.1 Bagi Pengelola Bengkel Las 8
1.5.2 Bagi Peneliti 9
1.6 Ruang Lingkup 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pernapasan Manusia 10
2.2 Volume dan Kapasitas Vital Paru 12
2.3 Debu Industri 18
2.4 Dampak Inhalasi Uap Logam 21

x
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Bengkel
Las 22
2.6 Kerangka Teori 33
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep 36
3.2 Definisi Operasional 40
3.3 Hipotesis 44
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian 45
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 45
4.3 Populasi dan Sampel 45
4.4 Pengumpulan Data 48
4.5 Instrumen Penelitian 52
4.6 Pengolahan Data 53
4.7 Teknik Analisis Data 55
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Profil Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu 57
5.2 Analisis Univariat 58
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 58
5.2.2 Gambaran Kadar Debu Total pada Lingkungan Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 59
5.2.3 Gambaran Variabel Independen Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014 61
5.3 Analisis Bivariat 67
5.3.1 Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja,
dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 67
5.3.2 Hubungan Antara Paparan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan
Olahraga, Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat
Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 71

xi
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian 76
6.2 Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,
Tahun 2014 76
6.3 Hubungan antara Paparan Kadar Debu Total dengan Kapasitas Vital Paru
pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 80
6.4 Hubungan antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 82
6.5 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 84
6.6 Hubungan antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital
Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 86
6.7 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 88
6.8 Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 92
6.9 Hubungan antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 94
6.10 Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 95
6.11 Hubungan antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 97
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 99
7.2 Saran 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori IMT 29


Tabel 3.1 Definisi Operasional 40
Tabel 4.1 Perhitungan Sampel 47
Tabel 5.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014 58
Tabel 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 60
Tabel 5.3 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Umur, Masa Kerja, dan Jumlah Kerja Per Minggu, Tahun
2014 62
Tabel 5.4 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status Gizi,
Riwayat Penyakit dan Riwayat Pekerjaan, Tahun 2014 62
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja,
dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 68
Tabel 5.6 Analisis Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan
Olahraga,Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan
dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu,Tahun 2014 72

xiii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 59
Grafik 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 61
Grafik 5.3 Gambaran Frekuensi Masa Kerja di Kelurahan Cirendeu Berdasarkan
10 Tahun Bekerja, Tahun 2014 64
Grafik 5.4 Gambaran Frekuensi Klasifikasi Merokok Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 65

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Pernapasan 11


Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian 35
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 39
Gambar 4.1 Spirometer Minato Autospiro AS-505 dan EPAM 5000 53
Gambar 6.1 Welding fumes respiratory dan dust respiratory 82

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiaran 1 Pemberian Izin Penelitian dari Kelurahan


Lampiaran 2 Foto Pengambilan Data
Lampiaran 3 Output Analisis Univariat dan Bivariat
Lampiaran 4 Kuesioner Penelitian

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam memasuki Era Globalisasi, upaya keselamatan dan kesehatan

kerja harus mendapatkan perhatian yang serius bagi dunia industri, hal ini

dikarenakan dengan adanya kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja,

peledakan dan kebakaran serta pencemaran lingkungan kerja, akan menurunkan

kredibilitas dari suatu perusahaan tersebut di mata pembeli atau pemakai

produknya. Mengenai upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dimaksudkan

untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan

para pekerja atau buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat

kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan

rehabilitasi. Selanjutnya dengan perkembangan dunia industri maka dirasa perlu

melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, yang pada dasarnya ialah

bagaimana cara melaksanakan industri atau berproduksi dengan aman, nyaman,

tidak ada gangguan kecelakaan kerja termasuk peledakan, kebakaran, penyakit

akibat kerja dan pencemaran lingkungan kerja (Rahayu, 2008).

Riset yang dilakukan badan dunia ILO pada tahun 2003 menghasilkan

kesimpulan, setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu

1
2

orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan

yang berakibatkan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua

kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan

pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah

menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam

pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun (Rahayu, 2008).

Industri pengelasan pada umumnya merupakan industri informal. Industri

informal biasanya dikelola oleh perorangan dengan teknologi yang masih

sederhana, tanpa banyak tersentuh oleh peraturan perundangan, sehingga segala

peraturan yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan dan keselamatan

terhadap tenaga kerja serta masyarakat sekitarnya kurang mendapat perhatian

(Yulaekah, 2007). Industri pengelasan menghasilkan polutan hasil dari kegiatan

industri yang berupa gas dan partikulat yang berisiko terhadap kesehatan

manusia. Efek terhadap kesehatan dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya

keterpajanan. Polutan tersebut merupakan hasil dari proses pengelasan. Asap

yang terbentuk saat proses pengelasan terdiri dari berbagai campuran logam

seperti besi (Fe), mangan (Mn), kromium (Cr), dan nikel (Ni). Dalam konsentrasi

yang besar, partikulat dari asap pengelasan dapat menimbulkan paparan pada

pekerja secara intensif. Efek pernapasan pada pekerja pengelasan yang di

antaranya adalah bronkhitis, iritasi saluran napas, demam asap logam, dan

perubahan fungsi paru (Deviandhoko, 2012).


3

Partikulat dalam asap pengelasan besarnya berkisar antara 0,2 μm sampai

dengan 3 μm. Butir asap pengelasan yang besarnya 0,5 μm atau lebih bila

terhisap akan tertahan oleh bulu hidung dan bulu pipa pernapasan, sedangkan

yang lebih halus akan terbawa masuk ke paru-paru, dimana sebagian akan

dihembuskan keluar kembali dan sebagian menempel pada paru paru yang dapat

menimbulkan beberapa penyakit pernapasan (Deviandhoko, 2012).

Berbagai studi tentang partikulat dalam asap pengelasan yang

berhubungan dengan gangguan pernapasan antara lain menurut penelitian Amelia

(2010) bahwa efek pernapasan terlihat pada pekerja pengelasan yang bekerja

penuh di antaranya bronkhitis, iritasi saluran napas, demam asap logam,

perubahan fungsi paru, dan meningkatkan kemungkinan timbulnya kanker paru.

Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliarta (2008), menjelaskan

bahwa pada proses pengelasan menghasilkan gas, fumes dan bahan kimia toksik

seperti partikel logam yang dilepaskan ke dalam atmosfer. Baik nitrogen

dioksida, ozon, dan beberapa fumes dari logam bersifat sebagai oksidan atau

radikal bebas sehingga dihasilkan berbagai jenis Reactive Oxygen Species (ROS)

dan Reactive Nitrogen Species (RNS). ROS dan RNS dapat mempengaruhi

fungsi paru secara akut. Paparan berbagai hazard yang menghasilkan ROS/RNS

dapat mempengaruhi fungsi paru secara akut. ROS/RNS dapat secara langsung

merusak epitel alveoli atau merangsang inflamasi (Deviandhoko, 2012).


4

Dari beberapa teori diketahui bahwa, gangguan fungsi paru pada pekerja

pengelasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang dapat dikelompokan dalam

tiga kelompok yaitu karakteristik individu, pekerjaan dan lingkungan.

Karakteristk individu diantaranya adalah umur, jenis kelamin, status gizi,

kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan.

Faktor pekerjaan diantaranya adalah masa kerja, lama kerja per minggu,

penggunaan masker, dan dari faktor lingkungan adalah paparan kadar debu total.

Dengan demikian, pekerjaan pengelasan mempunyai resiko terjadinya gangguan

fungsi paru bagi pekerjanya (Budiono, 2007).

Terdapat beberapa penelitian mengenai kapasitas vital paru pada pekerja

las diantaranya dilakukan oleh Deviandhoko (2012) yang menyatakan sebanyak

24,4% dari 78 orang pekerja mengalami gangguan fungsi paru yang diukur

melalui kapasitas vital paru. Prasetyo (2010) dalam penelitiannya juga diketahui

sebanyak 37,8% dari 37 pekerja bengkel las di kelurahan Pisangan mengalami

restriksi paru.

Pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu merupakan pekerjaan yang

berisiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Pekerja bengkel las

melakukan pengelasan dengan jenis las listrik berdiameter elektroda besar (2,6

mm), pemotongan, penghalusan besi, pengepoksian, dan pengecatan. Sehingga

proses pekerjaan yang dilakukan menghasilkan partikulat yang dapat

mempengaruhi kapasitas vital paru. Berdasarkan informasi dari pengelola


5

bengkel las hingga saat ini belum pernah dilakukan suatu penelitian terhadap

pekerja bengkel las yang berhubungan dengan kapasitas vital paru. Selain itu

belum pernah dilakukannya pemeriksaan kapasitas vital paru pekerja bengkel las

dan belum pernah dilakukannya pengukuran lingkungan kerja berupa kadar debu

total di udara di bengkel las tersebut.

Peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 15 pekerja bengkel

las di Kelurahan Cirendeu bulan Desember 2013, sebanyak 11 (73,3%) pekerja

bengkel las mengalami gangguan fungsi paru yang diukur menggunakan

spirometri. Berdasarkan data tersebut, peneliti perlu mengetahui faktor-faktor apa

sajakah yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja bengkel las.

Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan

pencegahan seperti sosialisasi pada pekerja las terkait faktor-faktor yang dapat

memicu terjadinya gangguan kapasitas vital paru ketika bekerja sehingga pekerja

dapat menggunakan peralatan serta memakai alat pelindung yang terbaik untuk

menjaga kesehatan pekerja tersebut. Dengan demikian penulis bermaksud

melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan kapasitas vital

paru pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.


6

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan yang sudah diutarakan pada latar belakang diketahui dari

studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013, sebanyak 11

(73,3%) dari 15 pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu mengalami gangguan

fungsi paru yang diukur dengan menggunakan spirometri. Hal tersebut dapat

berdampak tubuh kekurangan volume oksigen sehingga metabolisme tubuh

terganggu serta dapat terjadi kerusakan paru akibat uap logam pengelasan.

Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru

pekerja bengkel las belum pernah dilakukan di Kelurahan Cirendeu, sehingga

perlu dilakukan penelitian untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan

kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014

dengan tujuan mengetahui gambaran dan hubungan antara umur, kebiasaan

merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan,

masa kerja, lama kerja per minggu pekerja, dan paparan kadar debu total dengan

kapasitas vital paru pekerja bengkel las.


7

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan

Cirendeu tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status

gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa kerja, dan lama kerja per

minggu pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran paparan kadar debu total bengkel las di Kelurahan

Cirendeu tahun 2014?

4. Apakah ada hubungan antara umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga,

status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa kerja, lama kerja per

minggu pekerja, dan paparan kadar debu total dengan kapasitas vital paru

pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014?

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas

vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


8

b. Mengetahui gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan

olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa

kerja, dan lama kerja per minggu pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

c. Mengetahui gambaran paparan kadar debu total bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

d. Mengetahui hubungan antara umur, kebiasaan merokok,

kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat

pekerjaan, masa kerja, lama kerja per minggu pekerja, dan

paparan kadar debu total dengan kapasitas vital paru pekerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

1.5. Manfaat penelitian

1.5.1. Bagi Pengelola Bengkel Las

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah

pengetahuan pekerja dan pengelola bengkel las mengenai penurunan

kapasitas vital paru dampak dari pekerjaan dan kondisi lingkungan

kerja yang kurang baik. Dengan demikian pekerja dan pengelola

bengkel las dapat melakukan upaya pencegahan dan perlindungan dari

penyakit akibat kerja.


9

1.5.2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

serta dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti, untuk melakukan

penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan kapasitas vital paru.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa semester X program studi

Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di

bengkel las kelurahan Cirendeu yang dilakukan pada bulan Februari 2014 –

Maret 2014. Penelitian membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu,

dengan menggunakan desain studi cross sectional. Data penelitian diperoleh

dengan cara pengambilan data primer. Sasaran penelitian adalah pekerja bengkel

las yang berada sekitar Kelurahan Cirendeu berjumlah 58 orang dengan sampel

42 orang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pernapasan Manusia

1. Pengertian saluran pernafasan

Saluran pernafasan adalah saluran yang mengangkut udara

antara atmosfer dan alveolus, yaitu tempat terakhir yang merupakan

satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat

berlangsung (Rab, 1996).

2. Fungsi pernafasan

Fungsi utama pernafasan adalah untuk pertukaran gas yakni

untuk memperoleh oksigen agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh

dan mengeleminasi karbondioksida yang dihasilkan oleh sel (Rab,

1996).

3. Jalur pernafasan

Saluran pernafasan berawal dari saluran hidung (nasal). Dari

hidung berjalan ke faring (tenggorokan) yang berfungsi sebagai

saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun sistem pencernaan.

Dari faring kemudian laring atau kotak suara yang dapat menghasilkan

berbagai macam bunyi. Dari laring menuju ke trakea yang terbagi

10
11

menjadi dua cabang utama bronkus kanan dan kiri. Dalam setiap paru

bronkus terus bercabang menjadi slauran nafas yang makin sempit.

Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus, tempat terkumpulnya

alveolus kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas

antar udara dan darah (Rab, 1996).

Gambar 2.1. Sistem Pernapasan


Sumber : Ayres dalam Yulaekah (2007)

4. Pertahanan paru

Paru-paru mempunyai pertahanan yang khusus dalam

mengatasi berbagai kemungkinan tarjadi kontak dengan alergen dalam

mempertahankan tubuh, sebagaimana mekanisme tubuh pada


12

umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan

humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru

terbagi atas (Rab, 1996):

a. Filtrasi udara pernafasan

Hembusan udara yang melalui rongga hidung

mempunyai berbagai ukuran. Partikel berdiameter 5 – 7 µm

akan bertahan di orofaring, diameter 0,5 – 5 µm akan masuk

sampai ke paru-paru dan diameter 0,5 µm dapat masuk sampai

ke alveoli tetapi dapat keluar bersama sekresi.

b. Pembersihan melalui mukosilia

c. Sekresi oleh humoral lokal

d. Fagositosis

2.2. Volume dan Kapasitas Vital Paru

Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi

ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan

kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada

tidaknya kelainan fungsi paru (Mengkidi, 2006).

Fungsi paru yang utama adalah untuk respirasi, yaitu pengambilan

oksigen dari udara luar masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam

darah. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme dan karbon dioksida
13

yang terbentuk pada proses metabolisme tersebut dikeluarkan dari dalam darah

ke udara luar (Wahab, 2001).

Paru-paru memiliki empat volume paru utama dan empat kapasitas paru

utama yang dapat diukur dengan pemeriksaan spirometer, yang akan

dijabarkan di bawah ini (Wahab, 2001) :

1. Volume Paru

Volume paru akan berubah-ubah saat pernapasan berlangsung.

Saat inspirasi akan mengembang dan saat ekspirasi akan mengempis.

Pada keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung

tanpa disadari (Mengkidi, 2006).

Beberapa parameter volume paru dapat digambarkan sebagai

berikut:

a. Volume tidal (Tidal Volume = TV), adalah volume udara paru

yang masuk dan keluar paru pada pernapasan biasa. Besarnya

TV pada orang dewasa sekitar 500 ml.

b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume =

IRV), volume udara yang masih dapat dihirup kedalam paru

sesudah inpirasi biasa, besarnya IRV pada orang dewasa adalah

sekitar 3100 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume =

ERV), adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari


14

paru sesudah ekspirasi biasa, besarnya ERV pada orang dewasa

sekitar 1000-1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV), udara yang masih

tersisa didalam paru sesudah ekspirasi maksimal sekitar

1100ml. TV, IRV, ERV dapat langsung diukur dengan

spirometer, sedangkan RV = TLC – VC

2. Kapasitas Vital Paru

Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat

dimasukkan kedalam tubuh atau paru-paru seseorang secara maksimal.

Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru ditentukan oleh

kemampuan kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik

kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh

semakin banyak. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru

adalah (Mengkidi, 2006) :

a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity = IC), adalah volume

udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal atau sama

dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal (IC =

IRV + TV).

b. Kapasitas Vital (Vital Capacity = VC), volume udara yang

dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah

sebelumnya melakukan inspirasi maksimal (sekitar 4000ml).


15

Kapasitas vital besarnya sama dengan volume inspirasi

cadangan ditambah volume tidal (VC = IRV + ERV + TV).

c. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capasity = TLC), adalah

kapasitas vital ditambah volume sisa (TLC = VC + RV atau

TLC = IC + ERV + RV).

d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capasity =

FRC ), adalah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa

(FRC = ERV + RV).

3. Pengukuran Faal Paru

Pemeriksaan faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja,

yaitu menggunakan spirometer, karena pertimbangan biaya yang

murah, ringan, praktis dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup

sensitif, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi

yang handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua

volume paru kecuali volume residu, semua kapasitas paru kecuali

kapasitas paru yang mengandung kompenen volume residu. Dengan

demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru dengan

jenis gangguan digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu (Mengkidi,

2006):

a. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara

yang ditandai dengan penurunan VC dan FVC/FEV 1 .


16

b. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada

pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan pada VC,

RV dan TLC.

Dari berbagai pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah

(Mengkidi, 2006) :

a. Vital Capasity (VC)

Adalah volume udara maksimal yang dapat

dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Ada dua macam vital

capasity berdasarkan cara pengukurannya, yaitu : pertama, Vital

Capasity (VC), subjek tidak perlu melakukan aktifitas

pernapasan dengan kekuatan penuh, kedua Forced Vital

Capasity (FVC), dimana subjek melakukan aktifitas pernapasan

dengan kekuatan maksimal. Berdasarkan fase yang diukur VC

dibedakan menjadi dua macam, yaitu : VC inspirasi, dimana VC

hanya diukur pada fase inspirasi dan VC ekspirasi, diukur hanya

pada fase ekspirasi.

Pada orang normal tidak ada perbedaan antara FVC dan

VC, sedangkan pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan

antara VC dan FVC. VC merupakan refleksi dari kemampuan

elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding

toraks. VC yang menurun merupakan kekakuan jaringan paru


17

atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan

(compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi

dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC

hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.

b. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV 1 )

Yaitu besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam

satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama pada orang normal

berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal

dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai

VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-

fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas

besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak

didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan

FCVnya. Bila FEV 1 /FCV kurang dari 75% berarti abnormal.

Pada penyakit obstruktif seperti bronkitis kronik atau

emfisema terjadi pengurangan FEV 1 yang lebih besar

dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)

sehingga rasio FEV 1 /FEV kurang dari 75%.

c. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)

PEFR adalah aliran udara maksimal yang dihasilkan

oleh sejumlah volume tertentu. PEFR dapat menggambarkan


18

keadaan saluran pernapasan, apabila PEFR berarti ada

hambatan aliran udara pada saluran pernapasan. Pengukuran

dapat dilakukan dengan Mini Peak Flow Meter atau

Pneumotachograf.

2.3. Debu Industri

Debu adalah partikel yang dihasilkan oleh proses mekanisme seperti

penghancuran batu, pengeboran, peledakan yang dilakukan pada tambang

timah putih, tambang besi, batu bara, pengecatan mobil, dan lain-lain (Ahmadi,

1990).

1. Golongan debu terdiri atas dua yaitu:

a. Padat (solid)

1) Dust

Terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang sub

mikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya

adalah ukuran yang bisa terhisap ke dalam sistem

pernapasan (<100 mikron) bersifat dapat terhisap ke dalam

tubuh.

2) Fumes

Fumes atau uap logam adalah partikel padat yang terbentuk

dari proses evaporasi atau kondensasi. Pemanasan berbagai


19

logam menghasilkan uap logam yang kemudian

berkondensasi menjadi partikel-partikel metal fumes

contoh: Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb).

3) Smoke

Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan

organik yang tidak sempurna dan berukuran 0,5 mikron.

b. Cair (Liquid)

Partikel cair biasanya disebut mist atau fog (awan) yang

dihasilkan melalui proses kondensasi atau atomizing. Contoh:

hair spray atau obat nyamuk semprot.

2. Debu industri yang terdapat di udara terbagi dua yaitu (Ahmadi, 1990) :

a. Particulate matter

Adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan

segera mengendap karena daya tarik bumi.

b. Suspended particulate matter

Adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah

mengendap.
20

3. Sifat-sifat debu dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan sebagai

berikut (Muchtler, 1973) :

a. Sifat pengendapan (setting rate)

Sifat debu cenderung selalu mengendap karena adanya gaya

gravitasi Bumi. Namun karena terkadang debu ini relatif tetap

berada di udara, debu yang mengendap mempunyai proporsi

partikel lebih besar daripada yang terdapat di udara.

b. Sifat permukaan basah (wetting)

Sifat permukaan debu cenderung selalu basah karena dilapisi

oleh lapisan air yang sangat tipis.

c. Sifat penggumpalan (floculation)

Permukaan debu dapat menempel satu dengan yang lain dan

dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan

pembentukan penggumpalan.

d. Sifat optis (optical properties)

Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat

memancarkan sinar yang bisa terlihat dalam kamar gelap.

e. Sifat listrik (electrical)

Sifat memiliki kutub positif dan negatif yang dapat menarik

partikel lain yang berlawanan, ini mempercepat penggumpalan

debu.
21

4. Macam-macam debu

Pembagian debu berdasarkan sifat dan efeknya secara garis besar ada

tiga macam debu, yaitu (Ferdiaz, 1992):

a. Debu organik, seperti debu kapas, debu daun-daunan tembakau

dan sebagainya.

b. Debu mineral yang mempunyai senyawa komplek seperti SiO 3 ,

arang batu dan sebagainya

c. Debu metal, seperti timah hitam, merkuri, cadmium, arsen, dan

lain-lain.

5. Ukuran partikel debu (Kepmenkes, 2008)

a. Ukuran diameter >5µm akan mengendap di hidung, nasofaring,

trakea, dan percabangan bronkus.

b. Ukuran diameter <2µm akan berhenti di bronkiolus

respiratorius dan alveolus.

c. Ukuran diameter <0,5µm tidak mengendap pada saluran

pernapasan namun akan dikeluarkan kembali.

2.4. Dampak Inhalasi Uap Logam

Uap seng atau uap-uap logam lainya, yang terjadi pada pengelasan,

pemotongan, pelelehan dan peleburan logam dapat mengakibatkan demam uap

logam. Tanda-tanda dan gejala-gejala terpenting pada penyakit tersebut adalah


22

sakit kepala dan demam. Terjadinya secara mendadak, terasa demam,

menggigil, enek, muntah, sakit pada otot-otot dan merasa lemah. Penyebab

dari gejala tersebut adalah oksida uap logam (Suma’mur, 1996).

Partikulat logam dari pengelasan biasanya mudah terlihat karena seperti

percikan, namun uap logam akibat pengelasan tidak terlihat. Efek kesehatan

dari paparan uap logam dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan

bagian atas (hidung dan tenggorokan), sesak di dada, mengi, demam uap

logam, kerusakan paru-paru, bronkitis, pneumonia atau emfisema (BOC,

2006).

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja

Bengkel Las

a. Umur

Umur merupakan variabel yang sangat penting terkait

terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur serta

kondisi lingkungan yang kurang baik atau kemungkinan terkena suatu

penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru

semakin besar. Seiring bertambahnya umur seseorang, kapasitas paru

akan berkurang. Kapasitas paru orang dengan umur 30 tahun ke atas

memiliki rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang
23

berumur 50 tahunan kapasitas paru kurang dari 3.000 ml (Guyton,

1994).

Semakin lanjut usia seseorang otot-otot pernafasan akan

semakin lemah, melemahnya otot-otot pernafasan mulai sekitar usia

55 tahun (Mawi, 2005).

b. Jenis Kelamin

Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa

kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu

fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter (Lorriane, 1995).

Sedangkan kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang

4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter (Yulaekah, 2007).

c. Kebiasaan Merokok

Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang

memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan

negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia,

dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi

rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada

tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai

lebih 200 miliar batang (Kepmenkes, 2008).

Merokok merupakan faktor risiko timbulnya penyakit obstruksi

saluran napas kronik (PPOK). Rokok menimbulkan reaksi inflamasi


24

dengan atau tanpa pembentukan mukus dalam saluran pernapasan,

peningkatan sel polymorfonuklear dan terjadi penghambatan elastase

inhibitor yang dapat merusak jaringan elastin, akibatnya fungsi paru

menurun (Mawi, 2005).

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan

dose response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada

Index Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan

jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkhitis 10

bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus,

dia menderita bronkhitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.

Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya kalau sehari

mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia

bisa terkena kanker paru (Kepmenkes, 2008).

Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya

disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang

berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan

(side stream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok

utama yang dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan

disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco

Smoke (ETS) (Kepmenkes, 2008).


25

Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata

lebih tigggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau

terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak

dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan

mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu asap rokok

lingkungan (ARL) berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar

pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia

berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari

aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane

(bahan bakar ringan), kadmium (aki kendaraan), karbon monoksida

(asap knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun),

methanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri),

dan vinil klorida (plastik) (Kepmenkes, 2008).

Menurut Amin (2000), kebiasaan merokok dapat dibagi

menjadi 3 kategori perokok, yaitu:

1) Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6

batang/hari.

2) Perkokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12

batang/hari.

3) Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12

batang/hari.
26

d. Kebiasaan Olahraga

Berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk

meningkatkan vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan

yang dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak

masuk dan disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak

dikeluarkan. Seorang sehat berusia 50-an yang berolahraga teratur

mempunyai volume oksigen 20-30% lebih besar dari orang muda

yang tidak berolahraga (Stull, 1980).

Bila seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak

maka peredaran darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan

oksigen lebih banyak dan dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa

rasa letih. Sudah diketahui banyak faktor yang dapat mengganggu

kesehatan paru. Bahaya yang ditimbulkan berupa rusaknya bulu getar

di saluran napas, sehingga fungsi pembersihan saluran napas

terganggu. Bahan kimia tersebut juga dapat merusak sel-sel tertentu di

alveola yang sangat penting dalam pertahanan paru dan mengubah

tatanan normal sel-sel di paru, sehingga dapat menjurus menjadi

kanker paru, serta menurunkan kemampuan atau fungsi paru,

sehingga menimbulkan gejala sesak napas atau napas pendek (Stull,

1980).
27

Menurut Yunus (1997), Berolahraga secara rutin dapat

meningkatkan aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan

kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum, sehingga O 2 dapat

berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume lebih besar atau

maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal seminggu tiga

kali.

e. Status Gizi

Peran dari status gizi adalah secara tidak langsung seperti pada

penyakit cystic fibrosis. Namun demikian, penelitian epidemiologis

saat ini menunjukkan peran penting gizi terhadap fungsi paru,

terutama yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang merupakan

sumber antioksidan. Peran penting antioksidan sebagai pencegah

radikal bebas yang banyak terdapat pada debu dan polusi, hasil

penelitian menunjukkan bahwa gizi kurang ternyata berhubungan

dengan penyakit paru (Sridhar, 1999 dalam Budiono, 2007).

Penelitian Benedict tahun 1919 pada orang yang dalam

keadaan starvation (lapar) ternyata mengalami perubahan fisiologis

yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20% dan

penurunan konsumsi O 2 sebesar 18%. Efek negatif dari penurunan

status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga dikonfirmasi dalam

penelitian Minesota oleh Keys et al pada tahun 1950. Kapasitas vital


28

paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan

tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang

kembali pada keadaan diet normal. Penelitian yang lainnya

menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberculosis

dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat

(Budiono, 2007).

Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan

menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil penelitian tentang

kegemukan dan angka kematian, dijelaskan bahwa kegemukan dapat

mengurangi umur seseorang. Bahkan orang gemuk yang tidak

merokok berarti hidupnya lebih sehat, memiliki risiko kematian dini

yang lebih tinggi dibanding orang yang lebih kurus (Almatsier, 2009).

Untuk memantau berat badan dapat digunakan IMT, dengan

IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal,

kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa

berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,

anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Untuk mengetahui nilai

IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Almatsier, 2009):

Berat Badan (kg)


IMT =
[Tinggi Badan (m)]2
29

Tabel 2.1 Kategori IMT

Kategori Keterangan IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5

Normal - 18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0-27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Sumber: Almatsier (2009)

f. Riwayat Penyakit

Dari hasil penelitian Sudjono dan Nugraheni dalam Budiono

(2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat

penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami

gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian juga diperoleh hasil

bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru

berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi

paru.

Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung

akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu

sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan

kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa

emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan


30

sianosis akan memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada

pekerja yang terpapar oleh debu organik dan anorganik (Price, 1995

dalam Budiono, 2007).

g. Riwayat Pekerjaan

Riwayat pekerjaan dapat digunakan sebagai cara menegakkan

diagnosa penyakit akibat kerja. Pekerjaan sebelumnya mempunyai

kemungkinan bahwa penyakit yang sekarang diderita merupakan

akibat dari faktor-faktor penyebab penyakit yang ada pada lingkungan

kerja sebelumnya (Suma’mur, 1996).

Pekerja yang memiliki riwayat kerja yang menghadapi debu

berbahaya atau yang dapat menyebabkan pneumokoniosis, misalnya

pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik, dan lainnya serta

makin banyaknya penimbunan debu dalam paru-paru maka memiliki

kemungkinan terjadi gangguan fungsi paru yang lebih tinggi

(Suma’mur, 1996).

h. Masa Kerja

Penelitian Heri Sumanto pada tahun 1999 dalam Budiono

(2007) menunjukkan bahwa semakin lama seseoang bekerja pada

lingkungan berdebu, maka akan semakin menurunkan kapasitas vital

paru. Dimana setiap penambahan masa kerja dalam satu tahun akan

terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml.


31

i. Jumlah Jam Kerja Per Minggu

Menurut Anggoro (1999), semakin lama pekerja terpapar oleh

paparan akan semakin memperbesar risiko terjadinya gangguan fungsi

paru. Jumlah jam kerja per minggu seseorang mengakibatkan

berbedanya intensitas pajanan dan banyaknya debu yang terhirup oleh

masing-masing pekerja las, sehingga pekerja las yang cukup lama

terlibat dalam aktivitas pekerjaannya, berpotensi menghirup debu

lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja las yang tidak lama

terlibat dalam aktivitas pekerjaannya.

Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja

terpapar debu dapat digunakan untuk memperkirakan kumulatif

paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Timbulnya gangguan

fungsi paru pada pekerja dapat sangat tergantung pada lamanya

paparan serta dosis paparan yang diterima. Paparan dengan kadar

rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan

adanya gangguan fungsi paru (Budiono, 2007).

j. Penggunaan Masker

Masker merupakan salah satu bagian dari alat pelindung diri

yang penting. Untuk meminimalkan risiko paparan debu yang dapat

terinhalasi ke paru-paru, maka disarankan penggunaan masker bagi

pekerja yang terpapar debu (Carlisle, 2000). Berdasarkan hasil


32

penelitian yang dilakukan Adi (2007) dalam Prasetyo (2010)

menunjukan ada hubungan antara penggunaan APD (masker) dengan

kapasitas vital paru.

APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada

lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah

(Yulaekah, 2007):

1. Masker untuk melindungi debu atau partikel - partikel yang

lebih kasar masuk ke dalam saluran pernapasan, terbuat dari

bahan kain dengan ukuran pori - pori tertentu.

2. Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan cara

menyaring atau menyerap kontaminan toksinitas rendah

sebelum memasuki sistem pernapasan.

k. Paparan Kadar Debu Total

Paparan debu terhirup yang melebihi nilai ambang batas akan

meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Namun

demikian, perlu diketahui bahwa kadar debu yang rendah namun lama

keterpaparan terjadi dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan

efek kumulatif sehingga pada akhirnya pekerja dapat mengalami

gangguan fungsi paru. Temuan dari penelitian terdahulu didukung

oleh penelitian ini bahwa lama keterpaparan seorang pekerja

pengelasan berhubungan secara bermakna dengan terjadinya


33

gangguan fungsi paru (Deviandhoko, 2012). Nilai ambang batas debu

yang diperkenankan menurut Permenaker No. 13 Tahun 2011 adalah

sebesar 10 mg/m3.

Mekanisme paparan debu las terhirup terhadap terjadinya

gangguan fungsi paru tersebut perlu dicermati. Debu yang masuk

saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan

non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan

fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini

biasanya terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas

(Deviandhoko, 2012).

2.6. Kerangka Teori

Kapasitas vital paru dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

adalah yang diungkapkan oleh Mawi (2005) yaitu umur dan kebiasaan

merokok. Yulaekah (2007) juga mengatakan jenis kelamin dan penggunaan

masker (APD) juga dapat mempengaruhi kapasitas paru. Kemudian Budiono

(2007) mendeskripsikan bahwa status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan

lama kerja per minggu dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang.

Faktor kebiasaan olahraga dapat mempengaruhi kapasitas vital paru

sesorang, semakin baik kebiasaan olahraga maka dapat memperkecil risiko


34

gangguan kapasitas vital paru seperti yang diungkapkan oleh Stull (1980).

Kemudian riwayat pekerjaan yang diutarakan oleh Suma’mur (1996) juga

dapat mempengaruhi penyakit yang sekarang dialami, karena faktor pajanan

pada pekerjaan sebelumnya. Dan Deviandhoko (2012) meyatakan bahwa

paparan kadar debu total menjadi faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

kapasitas vital paru pekerja karena apabila paparan debu yang terhirup

melebihi nilai ambang batas akan meningkatkan risiko meningkatkan

gangguan fungsi paru.

Teori-teori tersebut yang mendukung dari rancangan penelitian ini

adalah sebagai berikut:


35

Umur

Jenis Kelamin

Kebiasaan Merokok

Kebiasaan Olahraga

Status Gizi
Kapasitas Vital Paru
Riwayat Penyakit

Riwayat Pekerjaan

Masa Kerja

Lama Kerja Per Minggu

Penggunaan Masker

Paparan Kadar Dabu Total

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian


Sumber :Mawi, 2005; Yulaekah, 2007; Stull, 1980; Budiono, 2007; Suma’mur,
1996; Deviandhoko, 2012.
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1.Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka teori, untuk penelitian ini dibuat kerangka konsep

penelitian yang dibatasi hanya pada beberapa faktor seperti tampak pada

gambar 3.1 di bawah. Adapun variabel yang tidak diteliti adalah jenis kelamin,

karena seluruh pekerja bengkel las adalah laki-laki, sehingga akan bersifat

homogen. Kebiasaan menggunakan APD juga tidak diteliti karena saat studi

pendahuluan pekerja tidak ada yang menggunakan APD seperti masker,

sehingga jika diteliti tidak ada variasinya.

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur, kebiasaan

merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan,

masa kerja, lama kerja per minggu dan paparan kadar debu total. Variabel-

variabel tersebut akan dihubungkan dengan kapasitas vital paru (KVP) pekerja

bengkel las sehingga dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat mengakibatkan

gangguan kapasitas vital paru (KVP) pekerja tersebut.

Faktor risiko yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru berdasarkan

pengelompokkan yaitu faktor individu pekerja antara lain yaitu umur, semakin

bertambah umur seseorang maka volume paru dan elatisitas paru akan semakin

36
37

menurun, sehingga menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan dapat

mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang.

Kebiasaan merokok, ribuan zat kimia yang terdapat pada rokok

menimbulkan reaksi inflamasi dengan atau tanpa pembentukan mukus dalam

saluran pernapasan sehingga dapat merusak jaringan elastin yang berasal dari

polutan hasil pembakaran tembakau, akibatnya fungsi paru menurun.

Kebiasaan olahraga merupakan cara yang sangat baik untuk

meningkatkan vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan yang

dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan

disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Bila

seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak maka peredaran

darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan oksigen lebih banyak dan

dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa rasa letih.

Status gizi memiliki peran penting terhadap fungsi paru, terutama

berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang merupakan sumber antioksidan. Selain

itu ketika keadaan lapar kapasitas vital paru menurun rata-rata 390 ml.

Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang

kembali pada keadaan diet normal.

Riwayat penyakit paru pada seseorang mempunyai risiko 2 kali lebih

besar untuk mengalami gangguan fungsi paru. Seseorang yang pernah

mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga


38

alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan

menurunkan kadar olsigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa

emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan

memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh

debu organik dan anorganik.

Riwayat pekerjaan sebelumnya mempunyai kemungkinan bahwa penyakit

yang sekarang diderita merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab penyakit

yang ada pada lingkungan kerja sebelumnya. Pekerja yang memiliki riwayat

kerja yang menghadapi debu berbahaya atau yang dapat menyebabkan

pneumokoniosis, misalnya pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik,

dan lainnya memungkinkan terjadinya gangguan fungsi paru yag lebih tinggi.

Semakin lama seseoang bekerja pada lingkungan berdebu, maka akan

semakin menurunkan kapasitas vital paru. Dimana setiap penambahan masa

kerja dalam satu tahun akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907

ml. Dengan demikian masa kerja sangat mempengaruhi kapasitas vital paru

seseorang.

Lama kerja per minggu yang melebihi 40 jam serta memiliki paparan

debu yang melebihi nilai ambang batas, maka dapat mempengaruhi kapasitas

paru pekerja akibat kumulatif paparan debu yang diterima. Namun, kadar

paparan yang rendah dalam waktu yang lama mungkin tidak akan segera

menunjukkan adanya gangguan fungsi paru.


39

Paparan debu terhirup yang melebihi ambang batas (NAB=10 mg/m3)

akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Namun demikian,

perlu diketahui bahwa kadar debu yang rendah namun lama keterpaparan

terjadi dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan efek kumulatif

sehingga pada akhirnya pekerja dapat mengalami gangguan fungsi paru.

Umur

Kebiasaan Merokok

Kebiasaan Olahraga

Status Gizi
Kapasitas Vital Paru
Riwayat Penyakit

Riawayat Pekerjaan

Masa Kerja

Jumlah Jam Kerja Per

Paparan Kadar Debu Total

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


40

3.2.Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Variabel Independen

Kapasitas Vital Hasil pengukuran ventilasi Pengukuran Sprirometer Persen (%) Ratio

Paru paru yang dinilai dengan menggunakan

menggunakan parameter alat spirometer

KVP ≥ 80% dan tidak normal

jika KVP < 80%.

Variabel Depeden

Umur Usia responden yang terhitung Pengisian Kuesioner dan Tahun Ratio

sejak tanggal lahir sampai ulang kuesioner oleh pengecekan

tahun terakhir pada saat peneliti dengan KTP.

penelitian. wawancara
41

Kebiasaan Perilaku pekerja melakukan Pengisian Kuesioner 0. Tidak Merokok Ordinal

Merokok kegiatan menghisap rokok. kuesioner oleh 1. Merokok

peneliti dengan

wawancara

Kebiasaan Latihan fisik aerobik seperti Pengisian Kuesioner 0. ≥ 3 kali seminggu Ordinal

Oaharaga berjalan, berlari, bersepeda, kuesioner oleh 1. < 3 kali seminggu

bulu tangkis dan lainnya secara peneliti dengan (Yunus, 1997)

teratur. wawancara

Status Gizi Hasil penimbangan berat badan Pengukuran Timbangan 0. Berisiko Ordinal

dan pengukuran tinggi badan, perhitungan injak, Microtoice (IMT < 18,5 dan > 25)

dimana datanya digunakan IMT dan lembar isian. 1. Tidak Berisiko

sebagai pengukuran indeks IMT= Berat (IMT 18,5-25)

masa tubuh. badan/Tinggi (Almatsier, 2009)

badan2
42

Riwayat Kondisi riwayat penyakit Pengisian Kuesioner 0. Tidak Pernah Ordinal

Penyakit pernapasan responden yang kuesioner oleh 1. Pernah

dapat mengganggu atau peneliti dengan

mempengaruhi hasil wawancara

pmeriksaan fungsi paru, seperti

asma, TBC, bronkitis, flu alergi

seperti akibat debu, cuaca

dingin, dan mikroorganisme.

Riwayat Responden memiliki riwayat Pengisian Kuesioner 0. Tidak Pernah Ordinal

Pekerjaan pekerjaan sejenis (pekerja las) kuesioner oleh 1. Pernah

atau pekerjaan yang memiliki peneliti dengan

pajanan debu bagi pekerja. wawancara


43

Masa kerja. Lamanya pekerja bekerja di Pengisian Kuesioner Tahun Ratio

bengkel las dari mulai bekerja kuesioner oleh

sampai waktu wawancara peneliti dengan

dilakukan dalam hitungan wawancara

tahun.

Jumlah Jam Jumlah jam kerja per minggu Pengisian Kuesioner Jam Ratio

Kerja Per pekerja dalam satu minggu kuesioner oleh

Minggu penuh (Senin – Minggu) peneliti dengan

wawancara

Paparan Kadar Hasil pengukuran kadar debu Haz Dust Model Melihat hasil mg/m3 Ratio

Debu Total total menggunakan metode EPAM 5000 dari pengukurat

grafimetri selama 1 jam alat Haz Dust

Model EPAM

5000
44

3.3.Hipotesis

1. Ada hubungan antara umur terhadap kapasitas vital paru pada pekerja

bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

2. Ada hubungan antara kebiasaan merokok terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

3. Ada hubungan antara kebiasaan olahraga terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

4. Ada hubungan antara status gizi terhadap kapasitas vital paru pada pekerja

bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

5. Ada hubungan antara riwayat penyakit terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

6. Ada hubungan antara riwayat pekerjaan terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

7. Ada hubungan antara masa kerja terhadap kapasitas vital paru pada pekerja

bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

8. Ada hubungan antara lama kerja per minggu terhadap kapasitas vital paru

pada pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

9. Ada hubungan antara paparan kadar debu total terhadap kapasitas vital paru

pada pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi

Cross Sectional (potong lintang) karena penelitian ini melakukan pengamatan

variabel independen dan dependen pada waktu atau periode yang sama.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 – Maret 2014 di

bengkel las yang berada di Kelurahan Cirendeu, Tangerang Selatan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja di bengkel las yang

berada di Kelurahan Cirendeu, Tangerang Selatan sebanyak 58 Orang dari 15

bengkel las. Sedangkan Sampel ditentukan berdasarkan metode probability

sampling dengan simple random sampling, yaitu pengambilan sample secara

acak bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan

yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmojo, 2010).

45
46

Dalam perhitungan jumlah sampel dilakukan secara uji beda dua

proporsi dengan rumus sebagai berikut :

{Z1−α/2 �2P(1−P)+ Z1−β �P1 (1−P1 )+ P2 (1−P2 )}2


n=
(P1 −P2 )2

Keterangan :

N : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P1: Proporsi kejadian gangguan kapasitas vital paru pada kelompok yang

memiliki riwayat penyakit.

P2: Proporsi kejadian gangguan kapasitas vital paru pada kelompok yang

tidak memiliki riwayat penyakit.

P : Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))

Z 1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96

Z 1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84


47

Adapun hasil proporsi variabel penelitian sebelumya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1 Perhitungan Sampel

Variabel Diketahui Total Sampel


Lama Paparan P1 : 80% = 0.8 8 x 2 = 16
P2 : 12,50% = 0,125
Pv : 0.032
(Yulaekah, 2007)
Kebiasaan Olahraga P1: 87,5% = 0,875 15 x 2 = 30
P2: 38,9% = 0,389
Pv:0,001
(Prasetyo, 2010)
Riwayat Penyakit P1: 100% = 1 19 x 2 = 38
P2: 66,1% = 0,661
Pv:0,027
(Rasyid, 2013)
Kadar Debu Total P1: 82,5% = 0,825 49 x 2 = 98
P2: 56,7% = 0,567
Pv:0,036
(Rasyid, 2013)
Kebiasaan Merokok P1: 87,5% = 0,875 15 x 2 = 30
P2: 38,9% = 0,389
Pv:0,001
(Prasetyo, 2010)
Kebiasaan Olahraga P1: 83,3% = 0,833 13 x 2 = 26
P2: 31,2% = 0,312
Pv:0,000
(Prasetyo, 2010)
48

Berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas, didapatkan bahwa

variabel dengan perhitungan total sampel tertinggi yaitu riwayat penyakit

sebesar 38 orang. Untuk menghindari drop out atau missing jawaban dari

responden maka sampel yang diambil sebanyak 42 orang.

4.4. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer, yang diambil oleh peneliti

sendiri dibantu oleh rekan dan laboran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Data primer diperoleh langsung dari responden, melalui :

1. Uji Fungsi Paru

Metode ini dilakukan dengan cara pengukuran paru pekerja

bengkel las menggunakan alat spirometer Autospiro Minato AS-505.

Pengukuran dilakukan oleh peneliti didampingi laboran di Laboratorium

Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Adapun cara pengukuran fungsi paru pekerja bengkel las, sebagai

berikut :

a. Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum

pemeriksaan.
49

b. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi

saluran nafas bagian atas, dan berhati-hati pada penderita asma

karena dapat memicu serangan asma.

c. Masukkan data yang diperlukan, yaitu suhu, kelembaban udara dan

tekanan udara sekitar. Kemudian masukkan data responden yaitu

umur, tinggi badan, berat badan untuk mengetahui nilai prediksi.

d. Beri petunjuk dan demonstrasikan manuver pada tenaga kerja,

yaitu pernapasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan

celah bibir yang mengatup mouth piece tube.

e. Pekerja dalam posisi berdiri, lakukan pernapasan biasa, tiga kali

berturut-turut, kemudian saat membuang napas pada pernapasan

biasa yang ketiga, semua udara didorong keluar dari paru-paru

secara perlahan tanpa tekanan kemudian langsung menghisap

udara dengan cepat dan kuat sebanyak mungkin ke dalam paru-

paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya udara

dihembuskan melalui mouth piece tube.

f. Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali untuk mengetahui

FVC dan FEV 1 .

g. Hasil masing-masing pengambilan data dapat dilihat pada print

out.
50

2. Umur

Umur pekerja dapat diperoleh melalui wawancara kepada pekerja

dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.

3. Masa Kerja

Data mengenai masa kerja diperoleh melalui wawancara kepada

pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.

4. Kebiasaan Merokok

Data mengenai kebiasaan merokok diperoleh melalui wawancara

kepada pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.

Selanjutnya dikategorikan menjadi perokok ringan, sedang, dan berat

sesuai dengan jumlah yang dikonsumi per harinya (Bustan, 2007).

a. Ringan : Merokok kurang dari 10 batang per hari.

b. Sedang : Merokok 10-20 batang per hari.

c. Berat : Merokok lebih dari 20 batang per hari.

5. Kebiasaan Olahraga

Data mengenai kebiasaan berolahraga diperoleh melalui

wawancara dan mengisi kuesioner kepada responden.

6. Status Gizi

Data mengenai status gizi dapat diperoleh melalui pengukuran

Indeks Massa Tubuh (IMT), yang selanjutnya dikategorikan sebagai

berikut:
51

a. Berisiko (IMT < 18,5 dan > 25)

b. Tidak beresiko (IMT 18,5-25)

Langkah pengukurannya adalah sebagai berikut:

a. Mengukur berat badan dengan timbangan berat badan.

b. Mengukur tinggi badan dengan microtoise.

c. Setelah didapatkannya data berat dan tinggi badan responden,

maka data tersebut dimasukkan ke dalam rumus IMT untuk

diketahuinya status gizi responden.

7. Riwayat Penyakit

Data mengenai riwayat penyakit diperoleh melalui kuesioner

kepada pekerja. Dari berbagai macam penyakit khususnya yang

menyerang pernapasan seperti asma, bronkitis, pneumonia, TBC, dan flu

alergi.

8. Kadar Debu Total

Melakukan pengukuran kadar debu total di lingkungan tempat

kerja pada pertengahan waktu kerja (siang hari) dengan menggunakan alat

Haz Dust Model EPAM 5000. Pengukuran dilakukan oleh peneliti

didampingi oleh laboran. Titik sampel yang diukur adalah titik terdekat di

mana responden bekerja ketika melakukan pengelasan.


52

Adapun cara pengukuran kadar debu total di lingkungan tempat

kerja, sebagai berikut :

a. Siapakan alat Haz Dust Model EPAM 5000 dengan baterai terisi

penuh.

b. Hidupkan alat dengan menggunakan tombol ON/OFF

c. Setting tanggal dan waktu jika belum tepat.

d. Memilih besar partikel pada lingkungan kerja yang diteliti ( PM

10.0 μm ).

e. Lakukan kalibrasi pada alat Haz Dust Model EPAM 5000 dengan

flow rate 4 liter per menit.

f. Menetapkan waktu pengambilan data setiap 1 menit selama 60

menit.

g. Melakukan sampling dengan menekan tombol Run.

h. Mengecek kembali data yang telah dimasukkan.

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner dengan teknik wawancara. Adapun isi dalam kuesioner tersebut

untuk mendapatkan data pribadi pekerja bengkel las berupa nama, umur,

riwayat penyakit, kebiasaan olahraga, serta masa kerja. Di dalam penelitian

tersebut terdapat beberapa jenis pengukuran yang dilakukan, yaitu pengukuran


53

berat badan dengan menggunakan timbangan injak, pengukuran tinggi badan

dengan microtoise, pengukuran spirometri untuk mengetahui kapasitas vital

paru responden dengan Minato Autospiro AS-505 dan pengukuran kadar debu

total di lingkungan kerja dengan menggunakan Haz Dust Model EPAM 5000.

Hasil dari pengukuran-pengukuran tersebut dicatat pada lembar kuesioner

dengan jenis form atau isian.

Gambar 4.1 Spirometer Minato Autospiro AS-505 (kiri) dan EPAM

5000 (kanan)

4.6. Pengolahan Data

Seluruh data yang terkumpul akan diolah melalui tahap-tahp sebagai

berikut:

1. Mengkode data (data coding)

Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban

responden, dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah

pengolahan data selanjutnya. Dimana coding dilakukan pada kuesioner,


54

jika nilai hasil pengukuran kapasitas vital paru ada gangguan (restriksi,

campuran dan obstruksi) pengkodean = 0, bila tidak ada gangguan

(normal) = 1. Semua variabel independen pun dikodekan. Yaitu :

a. Kebiasaan merokok; 0 = merokok, 1 = tidak merokok.

b. Kebiasaan olahraga; 0 = < 3 kali seminggu, 1 = ≥ 3 kali seminggu

c. Status gizi; berisiko bila IMT < 18,5 dan > 25 = 0, tidak berisiko bila

IMT 18,5-25 = 1.

d. Riwayat penyakit; 0 = pernah mengalami, 1 = tidak pernah mengalami

e. Riwayat pekerjaan; 0 = ya, 1 = tidak.

2. Menyunting data (data editing)

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data

seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian

setiap jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk

penelitian ini.

3. Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data dari hasil kuesioner dan hasil pengukuran yang

telah diberikan kode pada masing-masing variabel, kemudian dilakukan

analisis data dengan memasukan data-data tersebut dengan program SPSS

untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui gambaran secara

umum), dan bivariat (mengetahui variabel yang berhubungan).


55

4. Membersihkan data (data cleaning)

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk

memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian

data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.

4.7. Teknik Analisis Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang digunakan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat menggunakan uji statistik untuk menguji

hipotesis penelitian. Analisis bivariat menggunakan uji t-test independent

dan korelasi Pearson. Untuk pengujian t-test independent dan korelasi

Pearson jika Pvalue ≤ 0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukan

bahwa adanya hubungan antara variabel dependen dengan variabel

independen. Kemudian tabulasi silang dilakukan pada semua variabel

yang akan dianalisis. Adapun analisis uji t-test independent ini antara

variabel kapasitas vital paru dengan variabel kebiasaan merokok,

kebiasaan olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat

pekerjaan, serta analisis uji korelasi Pearson antara variabel kapasitas vital
56

paru dengan variabel paparan kadar debu total, umur, masa kerja, dan

jumlah jam kerja per minggu pada pekerja bengkel las di wilayah

Kelurahan Cirendeu Tahun 2014.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Profil Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu

Bengkel las yang berada di Kelurahan Cirendeu merupakan industri

informal di mana dikelola oleh perseorangan. Jumlah bengkel las di Kelurahan

Cirendeu berjumlah 15 bengkel dengan pekerja sekitar 58 orang. Bengkel las

di Kelurahan Cirendeu pada umumnya tidak besar, bertempat semi terbuka dan

memiliki 2 (dua) hingga 3 (tiga) unit alat las listrik.

Lingkungan kerja bengkel las kebanyakan hanya berukuran 20m2

bahkan ada yang lebih sempit. Proses pekerjaan yang terdapat di bengkel las

meliputi pemotongan besi, pengelasan, penghalusan dan pengecatan. Semua

proses kerja ini rata-rata dilakukan di dalam ruangan bengkel sehingga

semakin sempit ruangannya maka sangat mempengaruhi kadar debu total yang

dihirup oleh pekerja. Kemudian bengkel las juga terdapat di pinggir jalan,

sehingga debu jalan dan polusi kendaraan bermotor juga mempengaruhi kadar

debu total di lingkungan kerja.

57
58

5.2. Analisis Univariat

5.2.1. Gambaran Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di


Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Hasil Penelitian mengenai gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP)

pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 dapat dilihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.1
Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014

Variabel Mean SD Min-Maks


Kapasitas Vital
74,12 10,666 51-92 %
Paru

Dari tabel 5.1 di atas, diketahui gambaran kapasitas vital paru

pekerja bengkel las menjukkan rata-rata 74,12%, dengan standar deviasi

10,666. Kapasitas vital paru minimum pekerja adalah 51% dan

Kapasitas vital paru maksimum pekerja adalah 92%.

Dilihat berdasarkan kategori, kapasitas vital paru dapat dibagi

menjadi 2, yaitu normal jika KVP ≥ 80% dan tidak normal jika KVP <

80%. Frekuensi tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah:


59

Kapasitas Vital Paru

38.1%
Normal
61.9% Tidak Normal

Grafik 5.1
Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las
di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Berdasarkan Grafik 5.1 diketahui kapasitas vital paru pekerja

bengkel lasdi Kelurahan Cirendeu yang tidak normal lebih banyak dari

pada yang normal yaitu 61,9% (26 orang).

5.2.2. Gambaran Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja Bengkel Las
di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Hasil Penelitian mengenai gambaran Kadar Debu Total pada

Lingkungan pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


60

Tabel 5.2
Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Variabel Mean SD Min-Maks


Paparan Kadar
6,222 3,675 0,454-11,142 mg/m3
Debu Total

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui gambaran kadar debu total di

lingkungan kerja bengkel las menjukkan rata-rata 6,222 mg/m3, dengan

standar deviasi 3,675. Kadar debu minimum adalah 0,454 mg/m3 dan

kadar debu maksimum adalah 11,142 mg/m3.

Dilihat berdasarkan standar nilai ambang batas (NAB) 10 mg/m3,

paparan kadar debu total dibagi menjadi 2, yaitu tidak melebihi NAB

jika ≤ 10mg/m3 dan melebihi NAB jika > 10mg/m3. Frekuensi tersebut

dapat dilihat pada grafik di bawah:


61

Paparan Kadar Debu Total


(10mg/m³)
26.2%

Melebihi NAB
73.8% Tidak Melebihi NAB

Grafik 5.2
Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Berdasarkan grafik 5.2, diketahui gambaran paparan kadar debu

total pada lingkungan bengkel las di Kelurahan Cirendeu yang tidak

melebihi NAB lebih banyak dari pada yang melebihi NAB yaitu 73,8%.

5.2.3. Gambaran Variabel Independen Pekerja Bengkel Las di Kelurahan


Cirendeu, Tahun 2014

Karakteristik pekerja dalam penelitian ini meliputi umur, masa

kerja, jumlah jam kerja per minggu, kebiasaan merokok, kebiasaan

olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat pekerjaan.

Distribusi karkteristik pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu dapat

terlihat pada tabel di bawah ini:


62

Tabel 5.3
Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Umur, Masa Kerja, dan Jumlah
Kerja Per Minggu, Tahun 2014

No Variabel Mean SD Min-Maks


1 Umur 40 9,194 22-63 tahun
2 Masa Kerja 6 3,490 1-14 tahun

3 Jumlah Jam Kerja 42 2,586 40-48 jam


per Minggu

Tabel 5.4
Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status
Gizi, Riwayat Penyakit dan Riwayat Pekerjaan,
Tahun 2014

No Variabel Kategori Jumlah Persentase (%)


Tidak merokok 5 11,9
1 Kebiasaan Merokok
Merokok 37 88,1
≥ 3 kali seminggu 16 38,1
2 Kebiasaan Olahraga
<3 kali semiggu 26 61,9
Tidak berisiko 36 85,7
3 Status Gizi (IMT)
Berisiko 6 14,3
Tidak pernah 39 92,9
4 Riwayat Penyakit
Pernah 3 7,1
Tidak pernah 35 83,3
5 Riwayat Pekerjaan
Pernah 7 16,7
63

a. Gambaran Umur Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu


Tahun 2014

Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran umur pekerja

bengkel las menunjukkan rata-rata 40 tahun, dengan standar

deviasi 9,194. Umur pekerja termuda adalah 22 tahun dan tertua

adalah 63 tahun.

b. Gambaran Masa Kerja Pekerja Bengkel Las di Kelurahan


Cirendeu Tahun 2014

Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran masa kerja

pekerja bengkel las menunjukkan rata-rata 6 tahun, dengan standar

deviasi 3,490. Masa kerja minimum adalah 1 tahun dan masa kerja

maksimum adalah 14 tahun.

Dilihat berdasarkan risiko, masa kerjanya dibagi menjadi 2,

yaitu < 10 tahun dan ≥ 10 tahun. Frekuensi tersebut dapat dilihat

pada grafik di bawah:


64

Masa Kerja
14.3%

< 10 Tahun
85.7% ≥ 10 Tahun

Grafik 5.3
Gambaran Frekuensi Masa Kerja di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan 10 Tahun Bekerja, Tahun 2014

Pada Grafik 5.3 terlihat pekerja dengan masa kerja kurang

dari 10 tahun memiliki jumlah lebih banyak dari pada pekerja yang

bekerja lebih dari sama dengan 10 tahun yaitu sebesar 85,7%.

c. Gambaran Jumlah Jam Kerja Per Minggu Pekerja Bengkel


Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014

Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran jumlah jam

kerja pekerja bengkel las menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan

standar deviasi 2,586. Jumlah kerja per minggu minimum adalah

40 jam dan jumlah kerja per minggu maksimum adalah 48 jam.


65

d. Gambaran Kebiasaan Merokok Pekerja Bengkel Las di


Kelurahan Cirendeu Tahun 2014

Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel

las yang merokok lebih banyak dari pada pekerja bengkel las yang

tidak merokok yaitu 37 dari 42 pekerja bengkel las (88,1%).

Dilihat berdasarkan klasifikasi merokok, kebiasaan

merokok dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu tidak merokok,

perokok ringan, perokok sedang, dan perokok berat. Frekuensi

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Klasifikasi Merokok
11.9%
31.0% 7.1%
Tidak merokok
Perokok Ringan
Perokok Sedang
Perokok Berat

50.0%

Grafik 5.4
Gambaran Frekuensi Klasifikasi Merokok Pekerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Pada Grafik 5.4 dari 42 pekerja sebanyak 5 pekerja

(11,9%) tidak merokok, 3 pekerja (7,1%) perokok ringan, 21


66

pekerja (50%) adalah perokok sedang, dan 13 pekerja (31%)

perokok berat.

e. Gambaran Kebiasaan Olahraga Pekerja Bengkel Las di


Kelurahan Cirendeu Tahun 2014

Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel

las yang kebiasaan olahraga < 3 kali seminggu lebih banyak dari

pada pekerja bengkel las yang kebiasaan olahraga ≥ 3 kali

seminggu yaitu 61,9%.

f. Gambaran Status Gizi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan


Cirendeu Tahun 2014

Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel

las yang memiliki status gizi (IMT) tidak berisiko lebih banyak

dari pada pekerja bengkel las yang memiliki status gizi (IMT)

berisiko yaitu 85,7%.

g. Gambaran Riwayat Penyakit Pekerja Bengkel Las di


Kelurahan Cirendeu Tahun 2014

Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel

las yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit lebih banyak dari

pada pekerja bengkel las yang pernah memiliki riwayat penyakit

yaitu 92,9%.
67

h. Gambaran Riwayat Pekerjaan Pekerja Bengkel Las di


Kelurahan Cirendeu Tahun 2014

Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel

las yang tidak pernah memiliki riwayat pekerjaan lebih banyak

dari pada pekerja bengkel las yang pernah memiliki riwayat

pekerjaan yaitu 83,3%.

5.3. Analisis Bivariat

5.3.1. Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja,
dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Untuk data numerik seperti paparan kadar debu total, umur, masa

kerja, dan jumlah jam kerja per minggu dianalisis dengan menggunakan

korelasi bivariat dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel di bawah:
68

Tabel 5.5
Analisis Hubungan Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa
Kerja, dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan
Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las
di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Variabel
No. R R2 Persamaan Garis Pvalue
Independen
Paparan Kadar
1 - 0,337 0,113 KVP = 80,19-0,98*Paparan 0,029
Debu Total Kadar Debu Total

2 Umur - 0,672 0,451 KVP = 105,37-0,780*Umur 0,000

3 Masa Kerja - 0,377 0,142 KVP = 81,45-1,15*Masa 0,014


Kerja
Jumlah Jam
4 Kerja Per 0,383 0,147 KVP = 6,89+1,58*Jumlah 0,012
Jam Kerja Per Minggu
Minggu

a. Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total dengan


Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014

Data pada tabel 5.5 di atas hubungan paparan kadar debu

total dengan kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola

negatif artinya semakin tinggi paparan kadar debu total maka

semakin menurun kapasitas vital paru pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu. Nilai koefisien determinannya adalah 0,113

artinya persamaan garis yang diperoleh dapat menerangkan 11,3%

variasi kapasitas vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan

Cirendeu.
69

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)

sebesar 0,029 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada

hubungan antara paparan kadar debu total dengan kapasitas vital

paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

b. Hubungan Antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja


Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Data pada tabel 5.5 di atas hubungan umur dengan

kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola negatif artinya

semakin tua umur pekerja bengkel las maka semakin menurun

kapasitas vital paru pekerja bengkel las. Nilai koefisien

determinannya adalah 0,451 artinya persamaan garis yang

diperoleh dapat menerangkan 45,1% variasi kapasitas vital paru

pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)

sebesar 0,000 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada

hubungan antara umur dengan kapasitas vital paru pada pekerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


70

c. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru


Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Data pada tabel 5.5 di atas hubungan Masa Kerja dengan

kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola negatif artinya

semakin lama masa kerja pekerja bengkel las maka semakin

menurun kapasitas vital paru pekerja bengkel las. Nilai koefisien

determinannya adalah 0,142 artinya persamaan garis yang

diperoleh dapat menerangkan 14,2% variasi kapasitas vital paru

pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)

sebesar 0,014 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada

hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pada

pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

d. Hubungan Antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan


Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014

Data pada tabel 5.5 di atas hubungan Masa Kerja dengan

kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola positif artinya

semakin sedikit jumlah jam kerja per minggu pekerja bengkel las

maka semakin meningkat kapasitas vital paru pekerja bengkel las.

Nilai koefisien determinannya adalah 0,147 artinya persamaan

garis yang diperoleh dapat menerangkan 14,7% variasi kapasitas

vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.


71

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)

sebesar 0,012 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada

hubungan antara jumlah jam kerja per minggu dengan kapasitas

vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun

2014

5.3.2. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga,


Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan
dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014

Untuk data kategorik seperti kebiasaan merkok, kebiaaan

olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat pekerjaan

dianalisis dengan menggunakan T-Test Independent dengan hasil yang

dapat dilihat pada tabel di bawah:


72

Tabel 5.6
Analisis Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan
Olahraga,Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan
Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru
pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu,Tahun 2014

Variabel
No. Kategori N P value Mean SD
Independen
Kebiasaan Tidak Merokok 5 88 2,345
1 0,000
Merokok Merokok 37 72,24 (72) 9,929

Kebiasaan ≥ 3 kali seminggu 16 77,31 (77) 12,048


2 0,130
Olahraga < 3 kali seminggu 26 72,15 (72) 9,431

Status Gizi Tidak Berisiko 36 73,61 (74) 10,549


3 0,456
(IMT) Berisiko 6 77,17 (77) 11,873

Riwayat Tidak Pernah 39 74,77 (75) 10,441


4 0,157
Penyakit Pernah 3 65,67 (66) 12,055

Riwayat Tidak Pernah 35 74,83 (75) 9,727


5 0,493
Pekerjaan Pernah 7 70,57 (71) 14,954

a. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas


Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,
Tahun 2014

Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok tidak merokok adalah 88% dengan


73

standar deviasi 2,345, sedangkan kapasitas vital paru rata-rata pada

kelompok merokok adalah 72% dengan standar deviasi 9,929.

Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara

kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai

probabilitas atau Pvalue sebesar 0,000, artinya pada α 5% dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok

dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

b. Hubungan Antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas


Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,
Tahun 2014

Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok kebiasaan olahraga ≥ 3 kali seminggu

adalah 77% dengan standar deviasi 12,048, sedangkan kapasitas

vital paru rata-rata pada kelompok kebiasaan olahraga < 3 kali

seminggu adalah 72% dengan standar deviasi 9,431.

Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara

kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai

probabilitas atau Pvalue sebesar 0,130, artinya pada α 5% dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga

dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


74

c. Hubungan Antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital


Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun
2014

Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok status gizi (IMT) tidak berisiko adalah

74% dengan standar deviasi 10,549, sedangkan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok status gizi (IMT) berisiko adalah 77%

dengan standar deviasi 11,873.

Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara

kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai

probabilitas atau Pvalue sebesar 0,456, artinya pada α 5% dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi (IMT)

dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

d. Hubungan Antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital


Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun
2014

Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok tidak pernah memiliki riwayat penyakit

adalah 75% dengan standar deviasi 10,441, sedangkan kapasitas

vital paru rata-rata pada kelompok pernah memiliki riwayat

penyakit adalah 66% dengan standar deviasi 12,055.


75

Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara

kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai

probabilitas atau Pvalue sebesar 0,157, artinya pada α 5% dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat penyakit

dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

e. Hubungan Antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital


Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun
2014

Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru

rata-rata pada kelompok tidak pernah memiliki riwayat pekerjaan

adalah 75% dengan standar deviasi 9,727, sedangkan kapasitas

vital paru rata-rata pada kelompok pernah memiliki riwayat

pekerjaan adalah 71% dengan standar deviasi 14,954.

Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara

kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai

probabilitas atau Pvalue sebesar 0,493 artinya pada α 5% dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat pekerjaan

dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang terdapat pada penelitian ini adalah

variabel riwayat penyakit. Riwayat penyakit yang diukur dengan kuesioner

dapat menimbulkan bias informasi karena banyak dari pekerja tidak memeriksa

kesehatan paru-paru ke dokter, serta ada beberapa pekerja yang berdasarkan

mengingat-ingat mengenai diagnosis dokter yang pernah diterima.

6.2. Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,
Tahun 2014

Menurut Mengkidi (2006), kapasitas vital paru volume udara yang

dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya melakukan

inspirasi maksimal. Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan

gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan, dengan mengetahui besarnya

volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi

maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.

Pekerja bengkel las memiliki risiko tinggi terpapar debu las yang

mengandung uap logam atau yang biasa disebut fumes. Fumes tersebut tidak

terlihat secara kasat mata namun dapat terhirup masuk ke dalam saluran

76
77

pernapasan. BOC (2006) menyebutkan bahwa efek kesehatan jika menghirup

uap logam tersebut dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan

bagian atas, sesak di dada, mengi, demam uap logam, kerusakan paru-paru,

bronkitis, dan pneumonia atau emfisema. Suma’mur (1996) juga menjelaskan

gejala-gejala yang terjadi jika menghirup uap logam adalah sakit kepala dan

demam. Gejala-gejala tersebut terjadi secara mendadak, terasa demam,

menggigil, enek, muntah, sakit pada otot-otot dan merasa lemah. Efek jangka

panjang dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru.

Hasil penelitian mengenai gambaran kapasitas vital paru pekerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 menunjukkan bahwa pekerja

yang mengalami kapasitas vital paru tidak normal lebih banyak daripada yang

berkapasitas vital paru normal, dengan persentase 61,9%. Hasil rata-rata

kapasitas vital paru pekerja sebesar 74% dengan standar deviasi 10,66%. Hasil

pengukuran tersebut tidak dapat mendiagnosis apakah pekerja mengalami

penyakit paru atau tidak. Tetapi dengan hasil tersebut maka dapat

menganjurkan pekerja yang mengalami ketidaknormalan pada kapasitas vital

paru segera diberikan penanganan atau pengobatan oleh dokter. Kemudian

pekerja yang tidak mengalami gangguan kapasitas vital paru dapat

mempertahankan kapasitas vital parunya dengan mengurangi atau mencegah

faktor-faktor yang dapat menganggu kapasitas vital paru.


78

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Deviandhoko (2012) di Kota

Pontianak yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kapasitas vital paru

pada pekerja las sebanyak 24,4%. Hal ini dapat ditarik kesimpulan asap debu

yang mengandung logam akan menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan

dan dapat mengakibatkan obstruksi dan fibrosis pada paru.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2011) yaitu kapasitas

vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Pisangan, didapatkan pekerja

yang mengalami penurunan kapasitas vital paru sebanyak 37,8% dari 37

pekerja. Karakteristik pekerja bengkel las tersebut diantaranya adalah rata-rata

berumur 30 tahun, rata-rata masa kerja 6 tahun, perokok ringan sebanyak

48,6%, perokok sedang 21,6%, tidak merokok 29,7% serta tidak ada yang

perokok berat, dan kebiasaan olahraganya tidak rutin 86,5%. Perbedaan

proporsi pekerja yang mengalami penurunan kapasitas vital paru pada

penelitian Prasetyo (2011) dengan penelitian yang peneliti lakukan tidak jauh

berbeda, terlihat jumlah pekerja yang tidak mengalami penurunan kapasitas

vital paru (normal) lebih banyak dibandingan dengan pekerja yang mengalami

penurunan kapasitas vital paru.

Perbedaan karakteristik pekerja pada penelitian Prasetyo (2011) dengan

penelitian yang peneliti lakukan yaitu pemakaian APD (masker), riwayat

penyakit, dan kebiasaan merokok. Variabel yang sangat berpengaruh pada

penurunan kapasitas vital paru pada penelitian Prasetyo (2011) adalah variabel
79

kebiasaan merokok (Pvalue 0,001) namun tidak ada pekerja yang perokok

berat, berbeda pada penelitian yang peneliti lakukan di mana terdapat pekerja

yang perokok berat sebanyak 31% dari 42 pekerja.

Untuk pekerja yang merokok, diharapkan dapat mengurangi dan

menghentikan kebiasaan merokok karena menurut Mawi (2005) dapat

menyebabkan menurunnya fungsi paru karena terjadinya obstruksi paru.

Kemudian meningkatkan kebiasaan olahraga, karena menurut Talini (1998)

kebiasaan olahraga dapat meningkatkan kapasitas vital paru sebesar 30%

hingga 40%, dengan demikian diharapkan dapat menaikkan kapasitas vital

paru pada pekerja yang mengalami penurunan kapasitas vital paru dan pada

pekerja yang kapasitas vital paru normal dapat menjaga fungsi parunya

tersebut.

Dalam penelitian ini, kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah kadar

debu total, umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, riwayat penyakit,

riwayat pekerjaan, masa kerja, dan jumlah jam kerja per minggu.
80

6.3. Hubungan antara Paparan Kadar Debu Total dengan Kapasitas Vital
Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Proses pengelasan menghasilkan polutan yang berupa fumes, yaitu uap

logam yang bercampur dengan udara bebas. Menurut Budiono (2007), asap

debu yang mengandung logam akan menyebabkan iritasi pada saluran

pernapasan dan dapat mengakibatkan obstruksi dan fibrosis pada paru. Hal ini

akan menimbulkan penurunan daya kembang paru dan penurunan volume paru

termasuk kapasitas vital paru (Yeung, 1995).

Paparan kadar debu total bengkel las di Kelurahan Cirendeu memiliki

rata-rata 6,222 mg/m3 dengan standar deviasi 3,675. Berdasarkan

Permenakertrans nomor 13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika

dan faktor kimia di tempat kerja, standar nilai ambang batas (NAB) 10 mg/m3,

lingkungan kerja yang memiliki kadar debu melebihi nilai ambang batas

sebanyak 26,2% dan lingkungan kerja yang tidak melebihi nilai ambang batas

sebanyak 73,8%. Deviandhoko (2012) berpendapat paparan debu terhirup yang

melebihi ambang batas akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi

paru. Namun, kadar debu yang rendah tetapi lama keterpaparan terjadi dalam

waktu yang lama akan dapat menimbulkan efek kumulatif sehingga pada

akhirnya pekerja dapat mengalami gangguan fungsi paru.

Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin tinggi pekerja terpapar

debu maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan
81

nilai koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif

(R = -0,337). Uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini menghasilkan

nilai Pvalue sebesar 0,029 yang artinya ada hubungan antara paparan kadar

debu total dengan kapasitas vital paru. Hasil ini selaras dengan penelitian

Deviandhoko (2012) dimana ada hubungan antara debu yang terhirup dengan

gangguan fungsi paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan

Pvalue sebesar 0,001.

Kontribusi paparan kadar debu total terhadap penurunan kapasitas

vital paru sebesar 11,3% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain.

Menurut persamaan garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan

tetap menurun tanpa adanya paparan debu sebesar 80,19 kali karena faktor

lain, tetapi apabila paparan debu naik 1 mg/m3 saja, maka risiko menurunnya

kapasitas vital paru akan bertambah sebesar 0,98 kali.

Untuk meminimalisir terhirupnya debu hasil pengelasan oleh pekerja,

pengelola bengkel las dapat menggunakan exhaust yang dapat mengalirkan

udara tercemar keluar sehingga debu hasil pengelasan lebih cepat mengalami

pengenceran oleh udara bebas dan lebih cepat keluar dari lingkungan kerja.

Blower exhaust menurut American Welding Society (2009) dibutuhkan

minimal memiliki kecepatan 1,6667 ft/s atau 0,508 m/s. Kemudian untuk

mencegah terjadinya penurunan kapasitas vital paru, pekerja dapat

menggunakan masker pengelasan (welding fumes respiratory) untuk proteksi


82

menghirup debu yang mengandung uap logam atau minimal menggunakan

masker debu (dust respiratory) seperti gambar di bawah ini:

Gambar 6.1 Welding fumes respiratory (kanan) dan dust respiratory (kiri)
Sumber: solution.3m.com

6.4. Hubungan antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Menurut Guyton (1994), umur merupakan variabel yang sangat penting

terkait terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur serta

kondisi lingkungan yang kurang baik atau kemungkinan terkena suatu

penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru semakin besar.

Seiring bertambahnya umur seseorang, kapasitas paru akan berkurang.

Kapasitas paru orang dengan umur 30 tahun ke atas memiliki rata-rata 3.000

ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang berumur 50 tahunan kapasitas paru

kurang dari 3.000 ml.

Pada penelitian ini, umur pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu

memiliki rata-rata 34 tahun dengan standar deviasi 9,043. Pekerja yang

memiliki umur sekitar 40 hingga 49 tahun dan mengalami penurunan kapasitas


83

vital paru sebanyak 10 pekerja dibandingkan dengan kelompok umur yang

lain. Pada penelitian ini umur pekerja yang memiliki risiko penurunan

kapasitas vital paru diperoleh rata-rata 43 tahun, karena sudah mendekati umur

50 tahun yang risiko penurunan kapasitas vital paru tinggi. Jika dibandingkan

dengan penelitian Prasetyo (2011) dengan metode pengambilan data yang

sama, terdapat perbedaan rata-rata umur pekerja di mana rata-rata umur yang

berisiko yaitu pekerja yang berumur 34 tahun. Namun, hal tersebut sesuai

dengan teori yang diutarakan oleh Guyton (1994).

Pada penelitian ini, terlihat bahwa semakin tua umur pekerja maka

semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan nilai

koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif

(R = -0,672). Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Guyton (1994).

Kemudian hasil uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini menghasilkan

nilai Pvalue sebesar 0,000 yang artinya ada hubungan antara umur dengan

kapasitas vital paru. Hasil ini selaras dengan penelitian Yulaekah (2007)

dengan Pvalue sebesar 0,006 dan Mengkidi (2006) dengan Pvalue sebesar

0,015 dimana ada hubungan antara umur dengan gangguan fungsi paru yang

diukur dengan nilai kapasitas vital paru. Ini juga sejalan dengan yang

diutarakan oleh Guyton (1994) bahwa semakin bertambah umur seseorang,

maka kapasitas paru-paru akan berkurang.


84

Kontribusi umur terhadap penurunan kapasitas vital paru sebesar 45,1%

dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain. Menurut persamaan garis yang

diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan tetap menurun tanpa tanpa

faktor umur sebesar 105,37 kali karena faktor lain, tetapi apabila umur

bertambah 1 tahun saja, maka risiko menurunnya kapasitas vital paru akan

bertambah sebesar 0,780 kali.

Dengan demikian pengelola bengkel las dapat meminimalisasi paparan

debu dengan menggunakan exhaust agar debu hasil pengelasan lebih cepat

keluar dari lingkungan kerja. Pengelola bengkel dapat mengelompokan umur

yang berusia lebih dari 43 tahun untuk dilakukan rotasi kerja menjadi di bagian

pemotongan, sehingga lebih sedikit terpapar risiko namun apabila tidak dapat

dirotasi pengelola dapat memproporsikan waktu kerja agar tidak lebih dari 8

jam kerja per hari atau 40 jam kerja seminggu atau jika hal tersebut tidak

memunginkan karena akan mengurangi pendapatan, maka semua pekerja

diwajibkan menggunakan masker untuk meminimalisir menghirup debu hasil

pekerjaan tersebut.

6.5. Hubungan antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Kurniawidjaja (2004) menjelaskan semakin lama seseorang terpajan

debu semakin besar pula risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada

penelitian ini, rata-rata masa kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu
85

adalah 6 tahun dengan standar deviasi 3,490. Menurut Faridawati (2003),

waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya

gangguan fungsi paru kurang lebih selama 10 tahun. Hasil data tersebut

dianalisis kembali dengan membagi 2 kelompok masa kerja < 10 tahun dan ≥

10 tahun dengan hasil masing-masing 85,7% (36 pekerja) dan 14,3% (6

pekerja). Berdasarkan data primer yang diambil, masa kerja yang paling

banyak mengalami penurunan kapasitas vital paru dengan masa kerja 4 tahun.

Penurunan kapasitas vital paru dapat berkaitan dengan banyaknya paparan

kadar debu total di lingkungan kerja. Rata-rata dari pekerja dengan masa kerja

4 tahun memiliki paparan kadar debu total melebihi NAB 10 mg/m3.

Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin lama masa kerja pekerja

maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan nilai

koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif

(R = -0,377). Kemudian hasil uji hiotesis dalam penelitian ini menghasilkan

nilai Pvalue sebesar 0,014 yang artinya ada hubungan antara masa kerja

dengan kapasitas vital paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian Budiono (2007)

di mana ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan fungsi paru yang

diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar 0,0005.

Kontribusi masa kerja terhadap penurunan kapasitas vital paru sebesar

14,2% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain. Menurut persamaan

garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan tetap menurun
86

tanpa adanya masa kerja sebesar 81,45 kali karena faktor lain, tetapi apabila

masa kerja bertambah 1 tahun saja, maka risiko menurunnya kapasitas vital

paru akan bertambah sebesar 1,15 kali.

Dalam pekerjaan non formal seperti industri pengelasan, tidak jarang

ditemui pekerja yang telah bekerja di bidang tersebut melebihi 10 tahun.

Dalam 10 tahun bekerja, faktor-faktor terutama faktor debu hasil pengelasan

dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja oleh sebab itu, pengelola

dapat menyediakan exhaust agar debu hasil pengelasan lebih cepat keluar dari

lingkungan kerja sehingga dosis debu yang diterima pekerja menjadi lebih

sedikit. Karena dosis yang sedikit walaupun dalam jangka waktu yang panjang

dapat pempengaruhi fungsi paru dan lebih buruk lagi jika pekerja mendapatkan

dosis debu pengelasan yang tinggi dalam jangka waktu panjang maupun

pendek dapat lebih cepat mempengaruhi fungsi paru. Kemudian dapat

menggunakan masker debu untuk semakin meminimalisasi dosis yang terima

pekerja.

6.6. Hubungan antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital
Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Menurut Anggoro (1999), semakin lama pekerja terpapar oleh paparan

akan semakin memperbesar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Jumlah

jam kerja per minggu seseorang mengakibatkan berbedanya intensitas pajanan

dan banyaknya debu yang terhirup oleh masing-masing pekerja las, sehingga
87

pekerja las yang cukup lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya, berpotensi

menghirup debu lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja las yang tidak

lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya.

Pada penelitian ini, rata-rata jumlah jam kerja pekerja bengkel las

menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan standar deviasi 2,586. Berarti jumlah

jam kerja per minggu ini melebihi jumlah jam kerja per minggu normal yaitu

40 jam.

Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin banyak jumlah jam kerja

per minggu pekerja maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini

ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan

berpola positif (R = 0,389). Kemudian hasil uji hipotesis yang dilakukan dalam

penelitian ini menghasilkan nilai Pvalue sebesar 0,012 yang artinya ada

hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Deviandhoko

(2012) di mana tidak ada hubungan antara lama kerja dengan gangguan fungsi

paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar

0,609.

Kontribusi jumlah jam kerja per minggu terhadap penurunan kapasitas

vital paru sebesar 14,7% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain.

Menurut persamaan garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan

tetap menurun tanpa adanya jumlah jam kerja per minggu sebesar 6,89 kali
88

karena faktor lain, tetapi apabila masa kerja bertambah 1 jam per minggu saja,

maka risiko menurunnya kapasitas vital paru akan bertambah sebesar 1,58 kali.

Jumlah jam kerja per minggu dapat berhubungan dengan kapasitas vital

paru dikarenakan kebanyakan pekerja bekerja lebih dari 40 jam per minggu

sebanyak 16 pekerja dan mendapatkan dosis debu yang tinggi hasil dari

pengelasan serta gaya hidup yang buruk seperti kebiasaan merokok. Untuk

waktu bekerja yang lebih dari 40 jam seminggu kecil kemungkinan dapat

dikurangi maka jalan yang dapat ditempuh yaitu mengurangi paparan kadar

debu total di lingkungan kerja dengan cara penggunaan exhaust agar debu hasil

pengelasan lebih cepat keluar dari lingkungan kerja serta mewajibkan

menggunakan masker debu ketika bekerja untuk mengurangi paparan debu.

Melakukan larangan merokok ditempat kerja, karena asap rokok mengandung

zat kimia yang dapat menimbulkan penyakit obstruksi saluran napas kronik

(Mawi, 2005).

6.7. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru


Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Menurut Mannopo dalam Yulaekah (2007), merokok dapat

menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.

Pada saluran napas bear, sel mukosa membesar (hipermetrofi) dan kelenjar

mukus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi

radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan


89

lendir. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan

kerusakan alveoli.

Di dalam batang rokok terdapat 4800 macam bahan kimia beserta

tuunannya yang berbahaya, beberapa diantaranya adalah nikotin, fenol,

benzena, tar, karbon monoksida, karbon dioksida, toluena, amonia, metanol,

dan lainnya (Tirrosastro dan Murdiyati, 2009). Menurut Sitepoe (2000) zat

kimia yang memberikan efek yang mengganggu paru-paru antara lain adalah

tar, gas karbon monoksida dan berbagai logam berat. Tar mempunyai bahan

kimia yang beracun yang bisa menyebabkan kerusakan pada sel paru-paru dan

menyebabkan kanker.

Berdasarkan analisis univariat yang telah dilakukan, diketahui 37 dari

42 pekerja bengkel las merokok (88,1%). Kemudian diklasifikasikan menjadi 4

kategori merokok, diantaranya adalah tidak merokok sebanyak 5 pekerja

(11,9%), perokok ringan sebanyak 3 pekerja (7,1%), perokok sedang sebanyak

21 orang (50%), dan perokok berat sebanyak 13 orang (31%). Pekerja yang

merokok, rata-rata mulai merokok ketika masih bersekolah dengan umur 12

tahun sehingga jika diurutkan dari usia pekerja termuda yaitu 22 tahun maka

sudah 10 tahun merokok dan jika pekerja denga umur tertua yaitu 63 tahun

maka sudah 51 tahun merokok.

Berdasarkan data penelitian, terdapat 11 orang (26,19%) yang merokok

tetapi mereka tidak mengalami penurunan kapasitas vital paru. Hal tersebut
90

dikarenakan pekerja tersebut rajin melakukan olahraga berjenis aerobik

sekurangnya 3 kali seminggu dan termasuk golongan perokok ringan dan

sedang. Pekerja tersebut memiliki masa kerja di bengkel las kurang dari 4

tahun atau rata-rata baru bekerja selama 1 tahun serta tidak memiliki riwayat

pekerjaan dengan pajanan debu.

Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan menujukkan nilai

Pvalue sebesar 0,000 yang artinya bahwa ada hubungan antara kebiasaan

merokok dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan

Cirendeu. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Yulaekah sendiri

menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara gangguan fungsi paru

dengan kelompok perokok dengan nilai Pvalue sebesar 0,039. Hasil penelitian

Hisyam dalam Yulaekah (2007), ditemukan orang yang perokok memiliki 2,6

kali lebih berisiko menderita penyakit obstruksi kronik dibandingkan yang

bukan perokok. Menurut Situmeang (2002) risiko perokok mengalami kanker

paru meningkat 3,62 kali lipat dengan peningkatan usia perokok setelah 10

tahun merokok.

Teori Depkes RI (2002) menyatakan bahwa pengaruh asap rokok tiga

kali lebih besar mengakibatkan gangguan paru dibandingkan pengaruh debu.

Dengan demikian, kemungkinan besar pekerja yang mengalami penurunan

kapasitas vital paru dikarenakan kebiasaan merokok. Oleh sebab itu, kesadaran

pekerja akan dampak buruk rokok harus diperkuat, sehingga diharapkan


91

pekerja yang merokok dapat mengurangi konsumsi rokok dan meninggalkan

kebiasaan merokok serta pengelola bengkel las menerapkan larangan merokok

ketika bekerja.

WHO dalam Aditama (1997) pernah mengeluarkan petunjuk yang

dapat digunakan untuk mengurangi bahaya merokok namun tidak

menghilangkan bahaya merokok, yaitu dengan cara:

a. Mengurangi jumlah isapan pada setiap batang rokok. Makin jarang

rokok diisap maka akan semakin baik.

b. Mengurangi dalamnya dan lamanya isapan. Semakin dangkal isapan

dan makin singkat waktu lamanya mengisap maka makin sedikit bahan

berbahaya yang masuk ke dalam paru-paru.

c. Matikan dan buang puntung rokok setelah diisap setengah atau paling

banyak dua per tiganya. Karena kadar bahan berbahaya akan semakin

tinggi jika puntung rokok lebih pendek.

d. Jangan letakkan rokok dimulut atau bibir diantara dua isapan. Artinya,

jika sedang tidak diisap maka rokok itu sebaiknya dipegang di tangan

saja.

Aditama (1997) pun memberikan saran praktis untuk membantu

seseorang berhenti merokok. Saran tersebut adalah

a. Buang semua bungkus rokok, korek api dan sembunyikan asbak agar

tidak mengganggu konsentrasi sewaktu berhenti merokok.


92

b. Buat daftar mengenai kerugian akibat merokok yang telah dialami serta

catat berbagai keuntungan yang didapat setelah berhenti merokok

seperti hilangnya bau di rambut, hilangnya warna kecoklatan pada jari,

gigi yang lebih bersih, dan lainnya.

c. Berkumpul bersama teman-teman yang tidak merokok atau yang ingin

berhenti merokok atau dapat membentuk “kelompok mantan perokok”

sehingga para anggotanya dapat bertukar pikiran tentang masalah-

masalah yang dihadapi dalam upaya berhenti merokok. Kalau

diperlukan dapat mengundang tenaga ahli tertentu guna mendapat

masukan.

6.8. Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas Vital Paru


Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk meningkatkan

vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan yang dalam dan

menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan disalurkan ke

dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Seorang sehat berusia

50-an yang berolahraga teratur mempunyai volume oksigen 20-30% lebih

besar dari orang muda yang tidak berolahraga (Stull, 1980).

Menurut Yunus (1997), Berolahraga secara rutin dapat meningkatkan

aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan kapiler paru mendapatkan

perfusi maksimum, sehingga O 2 dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan


93

volume lebih besar atau maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal

seminggu tiga kali.

Hasil dari analisis bivariat dalam penelitian ini nilai Pvalue sebesar

0,130 yang artinya tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan

kapasitas vital paru. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Khumaidah

(2009) dimana ada hubungan antara olahraga dengan fungsi paru yang diukur

dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar 0,045.

Menurut Talini (1998), pekerja yang tidak melakukan olahraga

mempunyai risiko terjadinya gangguan fungsi paru sebesar 0,188 kali dari pekerja

yang melakukan olahraga, dan olahraga dapat meningkatkan kemampuan dan

kapasitas paru-paru. Dengan demikian walaupun kebiasaan olahraga dalam

penelitian ini tidak memiliki hubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014, diharapkan pekerja rutin

melakukan olahraga terutama jenis olahraga aerobik seperti berlari, bersepeda dan

lainnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru bagi yang mengalami penurunan

kapasitas vital paru dan pencegahan bagi yang belum mengalami penurunan

kapasitas vital paru yang minimal dilakukan 3 kali seminggu dengan durasi selama

30 menit (AHM OSHC, 2002).

Olahraga aerobik merupakan olahraga yang melibatkan banyak otot dan

sendi sehingga banyak membutuhkan oksigen dibandingkan dengan olahraga

anaerobik. Pada penderita gangguan paru seperti mengalami penyakit bronkitis,


94

asma, TBC dan lainnya, paru-paru mengalami penurunan fungsi pertukaran udara

(Sjarifuddin, 1985).

Penderita gangguan paru dianjurkan melakukan olahraga aerobik karena

olahraga ini merangsang kerja jantung, pembuluh darah dan paru. Jantung akan

menjadi lebih kuat memompa darah dan lebih banyak dengan denyut yang makin

berkurang. Akibatnya, persediaan darah yang disalurkan ke seluruh jaringan tubuh

bertambah dan volume darah secara keseluruhan meningkat. Pada saat yang sama,

paru akan memproses udara lebih banyak dengan usaha yang lebih kecil sehingga

volume paru-paru akan meningkat (Karim, 2002).

6.9. Hubungan antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Menurut Sridhar dalam Budiono (2007), peran penting gizi terhadap

fungsi paru, terutama yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang

merupakan sumber antioksidan. Peran penting antioksidan sebagai pencegah

radikal bebas yang banyak terdapat pada debu dan polusi, hasil penelitian

menunjukkan bahwa gizi kurang ternyata berhubungan dengan penyakit paru.

Sridhar juga menyatkan kapasitas vital paru menurun rata-rata 390ml pada

keadaan kelaparan, namun akan kembali normal dalam 12 minggu setelah

kembali pada keadaan diet normal.

Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran status gizi

(IMT) pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang
95

status gizi (IMT) tidak berisiko sebesar 85,7%. Kemudian hasil analisis

bivariat dalam penelitian ini nilai Pvalue sebesar 0,456 yang artinya tidak ada

hubungan antara status gizi (IMT) dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel

las di Kelurahan Cirendeu. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil

penelitian Budiono (2007) dimana ada hubungan antara status gizi dengan

gangguan fungsi paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan

Pvalue sebesar 0,0001.

Hal ini diperkirakan karena distribusi status gizi di bengkel las cukup

baik di mana prevalensi yang tidak berisiko lebih besar dibandingkan dengan

yang berisiko dengan besar 85,7%. Jika dilihat dari hasil analisis bivariat pada

semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja

bengkel las, hasil yang memiliki tingkat signifikansi tertinggi yaitu faktor umur

(Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan merokok (Pvalue = 0,000).

6.10. Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Menurut Price dalam Budiono (2007), Seseorang yang pernah

mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga

alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan

menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa

emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan

memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh
96

debu organik dan anorganik. Penelitian Soedjono dan Nugraheni dalam

Budiono (2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat

penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami gangguan

fungsi paru.

Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran riwayat

penyakit pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang

tidak memiliki riwayat penyakit paru sebesar 92,9%. Kemudian hasil analisis

bivariat diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,157 yang artinya tidak ada hubungan

antara riwayat penyakit dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel las di

Kelurahan Cirendeu. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian

Soedjono, Nugraheni dan Budiono di mana ada hubungan antara riwayat

penyakit paru dengan ganguan fungsi paru dengan nilai Pvalue sebesar 0,015.

Hal ini diperkirakan karena prevalensi pekerja yang tidak pernah

memiliki riwayat penyakit lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang

pernah memiliki riwayat penyakit dengan besar 92,9%. Jika dilihat dari hasil

analisis bivariat pada semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi

kapasitas vital paru pekerja bengkel las, hasil yang memiliki tingkat

signifikansi tertinggi yaitu faktor umur (Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan

merokok (Pvalue = 0,000).


97

6.11. Hubungan antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru


Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

Riwayat pekerjaan dapat digunakan sebagai cara menegakkan diagnosa

penyakit akibat kerja. Pekerjaan sebelumnya mempunyai kemungkinan bahwa

penyakit yang sekarang diderita merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab

penyakit yang ada pada lingkungan kerja sebelumnya (Suma’mur, 1996).

Suma’mur (1996) juga menjelaskan bahwa pekerja yang memiliki

riwayat kerja yang menghadapi debu berbahaya atau yang dapat menyebabkan

pneumokoniosis, misalnya pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik,

dan lainnya serta makin banyaknya penimbunan debu dalam paru-paru maka

memiliki kemungkinan terjadi gangguan fungsi paru yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran pekerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang tidak memiliki

riwayat pekerjaan dengan paparan debu sebesar 83,3%. Kemudian hasil

analisis bivariat diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,493 yang artinya tidak ada

hubungan antara riwayat pekerjaan dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel

las di Kelurahan Cirendeu.

Hal ini diperkirakan karena distribusi pekerja yang tidak pernah

memiliki riwayat pekerjaan lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang

pernah memiliki riwayat pekerjaan dengan besar 83,3%. Jika dilihat dari hasil

analisis bivariat pada semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi

kapasitas vital paru pekerja bengkel las, hasil yang memiliki tingkat
98

signifikansi tertinggi yaitu faktor umur (Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan

merokok (Pvalue = 0,000).


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya,

maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Gambaran kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan

Cirendeu tahun 2014 menunjukkan rata-rata KVP 74,12%, dengan standar

deviasi 10,666. Kapasitas vital paru minimum adalah 51% dan kapasitas

vital paru maksimum 92%.

2. Gambaran paparan kadar debu total pada bengkel las di lingkungan kerja

bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 menjukkan rata-rata 6,222

mg/m3, dengan standar deviasi 3,675. Kadar debu minimum adalah 0,454

mg/m3 dan kadar debu maksimum adalah 11,142 mg/m3 dengan nilai

ambang batas (NAB) 10 mg/m3.

3. Gambaran umur pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014

menunjukkan rata-rata 40 tahun, dengan standar deviasi 9,194. Umur pekerja

termuda adalah 22 tahun dan tertua adalah 63 tahun.

99
100

4. Gambaran masa kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014

menunjukkan rata-rata 6 tahun, dengan standar deviasi 3,490. Masa kerja

minimum adalah 1 tahun dan masa kerja maksimum adalah 14 tahun.

5. Gambaran jumlah jam kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu

menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan standar deviasi 2,586. Jumlah kerja

per minggu minimum adalah 40 jam dan jumlah kerja per minggu

maksimum adalah 48 jam.

6. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang

merokok sebesar 88,1%.

7. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang

kebiasaan olahraga < 3 kali seminggu sebesar 61,9%.

8. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang

memiliki status gizi (IMT) tidak berisiko sebesar 85,7%.

9. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang tidak

pernah memiliki riwayat penyakit sebesar 92,9%.

10. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang tidak

pernah memiliki riwayat pekerjaan sebesar 83,3%.

11. Ada hubungan antara paparan kadar debu total (Pvalue 0,029), umur (Pvalue

0,000), masa kerja (Pvalue 0,014), jumlah jam kerja per minggu (Pvalue

0,012), dan kebiasaan merokok (Pvalue 0,000) dengan kapasitas vital paru

pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.


101

12. Tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga (Pvalue 0,130), status gizi

(IMT) (Pvalue 0,456), riwayat penyakit (Pvalue 0,157), dan riwayat

pekerjaan (Pvalue 0,493) dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel

las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.

7.2. Saran

1. Bagi Pengelola Bengkel Las

a. Menggunakan exhaust dengan blower yang memiliki kecepatan

minimal 0,508 m/s.

b. Melarang pekerja untuk merokok ketika sedang bekerja atau sedang

berada di lingkungan kerja.

c. Melengkapi alat pelindung diri dengan masker untuk para pekerja

minimal masker debu dan mewajibkan seluruh pekerja menggunakan

masker.

2. Bagi Pekerja

a. Mengurangi dan menghentikan kebiasaan merokok.

b. Rajin berolahraga minimal 3 kali seminggu selama 30 menit dengan

jenis olahraga aerobik.

c. Menggunakan masker ketika sedang bekerja.


102

3. Bagi Penelitian Lanjutan

a. Diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan penelitian ini, yaitu

faktor riwayat penyakit. Riwayat penyakit sebaiknya dilakukan dengan

diagnosis dokter.

b. Desain studi untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan desain

studi cohort untuk dapat melihat hubungan sebab akibat dari faktor-

faktor tersebut dengan kapasitas vital paru.

c. Diharapkan bisa melanjutkan penelitian ini dengan mengukur

efektivitas jenis alat pelindung pernapasan terhadap kapasitas vital

paru pada pekerja bengkel las.


DAFTAR PUSTAKA

Aditma, Tjandra Yoga. 1997. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press

AHM OSHC. 2002. Kebiasaan yang Sehat. Matraville: Mediabank Private Limited

Ahmadi, UF. 1990. Kesehatan Lingkungan Kerja Lingkungan Fisik dalam Upaya
Kesehatan Kerja Sektor Informal. Jakarta: Direktorat Bina Peran Serta
masyarakat. Depkes RI

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

American Welding Society. 2009. Ventilation for Welding and Cutting. US: Safety
and Health Fact Sheet No.36

Amin, M. 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Surabaya: Universitas Airlangga


Surabaya

Anggoro, Wisnu Chandra Dewi K.1999. Keselamatan Kerja Pada Proses Pengelasan
Di Laboratorium Proses Produksi FTI-Universitas Atma Jaya. Jakarta: Jurnal
Teknologi Industri

Badan Standar Nasional. 2005. Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara
Tempat Kerja (SNI 19-0232-2005). Jakarta: Badan Standar Nasional

BOC. 2006. Welding Hazard and Risk Management. Ontario: BOC Canada Limited

Budiono, Irwan. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja
Pengecatan Mobil (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro

Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penykit Tidak Menular Edisi Kedua. Jakarta:
Rineka Cipta

Carlisle, D.L. et al. 2000. Apoptosis and P53 Induction In Human Lung Fibroblasts
Exposed to Chromium(VI) : Effect of Ascorbate and Tocopherol. Washington
DC: Toxicological Sciences
Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI dan Keputusan Dirjen
PPM&PLP tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jakarta:
Depkes RI

Deviandhoko, Nur Endah W, Nurjazuli. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengelasan di Kota Pontianak.
Pontianak: Jurnal Kesehatan Lingkungan

Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi air dan udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Faridawati, Ria. 2003. Penyakit paru obstruktif kronik dan asma akibat kerja.
Jakarta: Journal of the Indonesia Association of Pulmonologist

Guyton, Arthur C. 1994. Fisiologi Kedokteran. Alih bahasa Ken Ariata Tengadi.
Edisi 7. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC

Ikhsan, Mukhtar. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja, Kumpulan Makalah


Seminar K3 RS Persahabatan Tahun 2001 dan 2002. Jakarta. Universitas
Indoneia

Karin, Faizati. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta:
Depkes RI

Kepmenkes. 2008. Pedoman Pengendalian PPOK

Kurniawidjaja, I.M. 2004. Peranan Variasi Genetik pada Gen TNF-α Posisi -308,
Sitokin TNF-α, dan Sitonkin 11 & 10 Terhadap Silikosis Pekerja Pabrik
Semen di Indonesia (Disertasi). Depok: Universitas Indonesia

Lorriane, M.W, Sylvia A.P. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Mawi, Martiem. 2005. Nilai Rujukan Spirometri untuk Lanjut Usia Sehat. Jakarta:
Universa Medicina

Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor yang


Memengaruhinya pada Karyawan PT Semen Tonasa Pangkep Sulawesi
Selatan (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro

Muchtler, J. 1973. The industrial environment its evaluation and control. Public
Health Centre for Diseases Control national Institute for Occupational Safety
and Health.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). 2011. Nomor
PER. 13/MEN/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta

Prasetyo, Dian Rawar. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas


Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Pisangan, Ciputat Tahun 2010
(Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rab, H Tabrani.1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hiperkes

Rahayu, Suparni Setyowati dkk. 2008. Kimia Industri Jilid 2. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional

Rasyid, Ahmad Hasyim. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas


Vital Paru Pada Pekerja Di Industri Percetakan Mega Mall Ciputat Tahun
2013 (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sitepoe, M. 2000. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia

Situmeang, SBT, Jusuf A, Arief N, dkk. 2002. Hubungan Merokok Kretek dengan
Kanker Paru. Jurnal Respirologi Indonesia. Official Journal of Indonesian
Association of Pulmunologist Vol. 22, No. 3

Sjarifuddin, Aip. 1985. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: CV Baru

Stull, Alan. 1980. Encyclopedia of Physical Education, Fitness, and Sport, Utah:
Brighton Publishing Company

Suma’mur, P.K. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung

Talini, D. Monteverdi, A. Benvenuti, A. Petrozzino, M et all.1998. Asthma Like


Symptom Atopy and Bronchial Responsiveness in Furniture Worker.
Columbia: Occupational Environmen Medicine

Talini, D. Monteverdi, A. Benvenuti, A. Petrozzino, M et all.1998. Asthma-Like Symptom


Atopy and Bronchial Responsiveness in Furniture Worker. Columbia:
Occupational Environmen Medicine

Tirtosastro, Samsuri dan A.S. Murdiyati. 2009. Kandungan Kimia Tembakau dan
Rokok. Malang: Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri,
April 2010
Wahab, Zulfachmi. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya
Gangguan Fungsi Paru dan Kejadian Bisinosis pada Karyawan Pabrik
Tekstil “X” di Semarang (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro

Yeung, M. Chan, dkk. 1995. Pulmonary Function Measurement In The Industrial


Setting. Chest

Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro

Yunus, F. 1997. Faal Paru dan Olah Raga. Medan: J. Respir


Lampiran 1
Lampiran 2

Foto Kegiatan Pengambilan Data

Pengaturan dan Penempatan alat EPAM 5000 di Lokasi Kerja

Pengambilan Data Sampel Debu di Lingkungan Kerja


Pekerja Melakukan Pengelasan Tanpa Masker dan Terlihat Debu Hasil Pengelasan (Fumes)

Pengambilan Data Tinggi Badan dan Berat Badan Responden


Pengambilan Data Kapasitas Vital Paru dengan Alat Spirometri Minato AZ-505

Hasil Dapat Dicetak


Lampiran 3

OUTPUT SPSS

Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Riwayat_ Riwayat_ Jml_Jam_Kerja


KVP_Numerik Kadar_Debu Umur Merokok Olahraga IMT Penyakit Pekerjaan Masa_Kerja _Seminggu

N 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42
a
Normal Parameters Mean 74.12 6.22236 40.10 .88 .62 .14 .07 .17 6.36 42.57

Std.
10.666 3.675945 9.194 .328 .492 .354 .261 .377 3.491 2.586
Deviation

Most Extreme Absolute .127 .193 .084 .523 .400 .514 .537 .504 .131 .276
Differences Positive .073 .128 .084 .358 .277 .514 .537 .504 .131 .276

Negative -.127 -.193 -.067 -.523 -.400 -.343 -.392 -.329 -.121 -.160

Kolmogorov-Smirnov Z .824 1.251 .546 3.388 2.592 3.330 3.477 3.267 .850 1.788

Asymp. Sig. (2-tailed) .506 .087 .927 .000 .000 .000 .000 .000 .465 .003

a. Test distribution is Normal.


Analisis Univariat

Statistics

Riwayat_ Jml_Jam_Kerja_
KVP_Numerik Kadar_Debu Umur Merokok Olahraga IMT Riwayat_Penyakit Pekerjaan Masa_Kerja Seminggu

N Valid 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 74.12 6.22236 40.10 .88 .62 .14 .07 .17 6.36 42.57

Median 74.50 5.39400 39.00 1.00 1.00 .00 .00 .00 7.00 41.00
a
Mode 85 2.846 48 1 1 0 0 0 9 41

Std. Deviation 10.666 3.675945 9.194 .328 .492 .354 .261 .377 3.491 2.586

Minimum 51 .454 22 0 0 0 0 0 1 40

Maximum 92 11.142 63 1 1 1 1 1 14 48

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Merokok

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Merokok 5 11.9 11.9 11.9

Merokok 37 88.1 88.1 100.0

Total 42 100.0 100.0


Olahraga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Olahraga >= 3 kali


16 38.1 38.1 38.1
seminggu

Tidak Olahraga <3 kali


26 61.9 61.9 100.0
seminggu

Total 42 100.0 100.0

IMT

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Berisiko 36 85.7 85.7 85.7

Berisiko 6 14.3 14.3 100.0

Total 42 100.0 100.0

Riwayat_Penyakit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Pernah 39 92.9 92.9 92.9

Pernah 3 7.1 7.1 100.0

Total 42 100.0 100.0

Riwayat_Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Pernah 35 83.3 83.3 83.3

Pernah 7 16.7 16.7 100.0

Total 42 100.0 100.0


Analisis Bivariat

a. Korelasi Pearson

KVP – Paparan Kadar Debu Total

Correlations

KVP_Numerik Kadar_Debu
*
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.337

Sig. (2-tailed) .029

N 42 42
*
Kadar_Debu Pearson Correlation -.337 1

Sig. (2-tailed) .029

N 42 42

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .337 .113 .091 10.169

a. Predictors: (Constant), Kadar_Debu

b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 528.280 1 528.280 5.109 .029

Residual 4136.124 40 103.403

Total 4664.405 41

a. Predictors: (Constant), Kadar_Debu

b. Dependent Variable: KVP_Numerik


a
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 80.195 3.113 25.765 .000

Kadar_Debu -.976 .432 -.337 -2.260 .029

a. Dependent Variable: KVP_Numerik

KVP – Umur

Correlations

KVP_Numerik Umur
**
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.672

Sig. (2-tailed) .000

N 42 42
**
Umur Pearson Correlation -.672 1

Sig. (2-tailed) .000

N 42 42

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .672 .451 .438 7.998

a. Predictors: (Constant), Umur


b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 2105.821 1 2105.821 32.922 .000

Residual 2558.584 40 63.965

Total 4664.405 41

a. Predictors: (Constant), Umur

b. Dependent Variable: KVP_Numerik


a
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 105.374 5.585 18.866 .000

Umur -.780 .136 -.672 -5.738 .000

a. Dependent Variable: KVP_Numerik

KVP – Masa Kerja

Correlations

KVP_Numerik Masa_Kerja
*
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.377

Sig. (2-tailed) .014

N 42 42
*
Masa_Kerja Pearson Correlation -.377 1

Sig. (2-tailed) .014

N 42 42

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .377 .142 .121 10.001

a. Predictors: (Constant), Masa_Kerja


b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 663.532 1 663.532 6.634 .014

Residual 4000.872 40 100.022

Total 4664.405 41

a. Predictors: (Constant), Masa_Kerja

b. Dependent Variable: KVP_Numerik

a
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 81.445 3.236 25.168 .000

Masa_Kerja -1.152 .447 -.377 -2.576 .014

a. Dependent Variable: KVP_Numerik

KVP – Jumlah Jam Kerja Per Minggu

Correlations

Jml_Jam_Kerja_
KVP_Numerik Seminggu
*
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 .383

Sig. (2-tailed) .012

N 42 42
*
Jml_Jam_Kerja_Seminggu Pearson Correlation .383 1

Sig. (2-tailed) .012

N 42 42

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .383 .147 .125 9.975

a. Predictors: (Constant), Jml_Jam_Kerja_Seminggu

b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 684.005 1 684.005 6.874 .012

Residual 3980.400 40 99.510

Total 4664.405 41

a. Predictors: (Constant), Jml_Jam_Kerja_Seminggu

b. Dependent Variable: KVP_Numerik

a
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 6.892 25.688 .268 .790

Jml_Jam_Kerja_Seminggu 1.579 .602 .383 2.622 .012

a. Dependent Variable: KVP_Numerik


b. T-Test Independent

KVP – Kebiasaan Merokok

Group Statistics

Merokok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KVP_Numerik Tidak Merokok 5 88.00 2.345 1.049

Merokok 37 72.24 9.929 1.632

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of

Std. Error the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference Lower Upper

KVP_Numerik Equal variances assumed 6.447 .015 3.500 40 .001 15.757 4.502 6.658 24.855

Equal variances not


8.121 28.358 .000 15.757 1.940 11.785 19.729
assumed
KVP – Kebiasaan Olahraga

Group Statistics

Olahraga N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KVP_Numerik Olahraga >= 3 kali seminggu 16 77.31 12.048 3.012

Tidak Olahraga <3 kali


26 72.15 9.431 1.849
seminggu

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of

Mean Std. Error the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper

KVP_Numerik Equal variances assumed 1.770 .191 1.548 40 .130 5.159 3.333 -1.577 11.895

Equal variances not assumed 1.459 26.208 .156 5.159 3.535 -2.104 12.421
KVP – Status Gizi (IMT)

Group Statistics

IMT N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KVP_Numerik Tidak Berisiko 36 73.61 10.549 1.758

Berisiko 6 77.17 11.873 4.847

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of

Mean Std. Error the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper

KVP_Numerik Equal variances assumed .236 .630 -.752 40 .456 -3.556 4.728 -13.112 6.001

Equal variances not


-.690 6.386 .515 -3.556 5.156 -15.989 8.878
assumed
KVP – Riwayat Penyakit

Group Statistics

Riwayat_Penyakit N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KVP_Numerik Tidak Pernah 39 74.77 10.441 1.672

Pernah 3 65.67 12.055 6.960

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of

Mean Std. Error the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper

KVP_Numerik Equal variances assumed .006 .940 1.443 40 .157 9.103 6.308 -3.646 21.851

Equal variances not


1.272 2.237 .320 9.103 7.158 -18.771 36.976
assumed
KVP – Riwayat Pekerjaan

Group Statistics

Riwayat_Pekerjaa
n N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KVP_Numerik Tidak Pernah 35 74.83 9.727 1.644

Pernah 7 70.57 14.954 5.652

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of

Mean Std. Error the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper

KVP_Numerik Equal variances assumed 5.383 .026 .963 40 .341 4.257 4.420 -4.676 13.190

Equal variances not


.723 7.050 .493 4.257 5.886 -9.642 18.156
assumed
Lampiran 4

Kuesioner Penelitian

“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”

Kepada Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i.....

Assalamualaikum Wr. Wb
Dengan hormat,
Sehubungan dengan tugas akhir yang saya tempuh, maka bersama ini saya:
Nama : Novandany Dwiantoro Putra
NIM : 109101000068
Peminatan : Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Jurusan : Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bermaksud meyampaikan kuesioner penelitian yang berkaitan dengan topik yang


saya teliti, yaitu “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru
pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”. Sehubungan
dengan hal tersebut, saya minta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk mengisi
kuesioner tersebut dengan objektif. Semua informasi yang diberikan hanya digunakan
untuk kepentingan akademik dan dijamin kerahasiannya. Atas bantuan
Bapak/Ibu/Saudara/I, saya ucapkan terimakasih.

Responden
No. Responden:

KUESIONER PENELITIAN

“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”

Petunjuk Pengisian Kuesioner:

1. Isilah pertanyaan pada kolom yang tersedia.


2. Isilah pertanyaan yang memiliki pilihan jawaban dengan melingkari salah satu
jawaban.
3. Isilah pertanyaan sesuai dengan yang sebenarnya.

Identitas Responden
Nama
Tanggal Lahir
Status Gizi Tinggi Badan :
Berat Badan :
IMT :
Pertanyaan Penelitian
No. Pertanyaan
A Masa Kerja dan Riwayat Pekerjaan
1 Sejak kapan anda bekerja di industri pengelasan ini?
...................................
2 Berapa jam Anda bekerja dalam satu hari?
.............jam/hari
3 Berapa hari Anda bekerja dalam satu minggu?
............hari/minggu
4 Sebelum bekerja di sini, apakah Anda sebelumnya pernah bekerja di tempat
lain yang terdapat paparan debu seperti pekerja bangunan, mabel, las atau
lainnya? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan C-1)
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan.................................
5 Berapa lama Anda bekerja pada pekerjaan sebelumnya tersebut?
.............. Tahun
C Perilaku Merokok
1 Apakah Anda perokok? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan C-4)
a. Ya
b. Tidak
2 Sejak kapan Anda merokok?
Tahun.............
3 Berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari?
................... Batang/hari
4 Apakah sebelumnya Anda pernah menjadi perokok aktif? (Lanjut ke
pertanyaan C-7)
a. Ya
b. Tidak
5 Sejak kapan Anda pernah menjadi perokok aktif?
Tahun..............
6 Kapan Anda berhenti merokok?
Tahun.................
7 Jenis rokok apa yang Anda konsumsi?
a. Kretek
b. Filter
D Kebiasaan Olahraga
1 Apakah Anda selalu berolahraga secara rutin? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan
E-1)
a. Ya
b. Tidak
2 Jenis olahraga apa yang sering Anda lakukan?
a. Lari
b. Bersepeda
c. Bulu tangkis
d. Lainnya.........................................................

3 Seberapa sering Anda melakukan olahraga tersebut dalam satu minggu?


......................Kali/minggu

4 Berapa lama waktu Anda melakukan olahraga tersebut?


......................Menit

E Status Kesehatan dan Riwayat Penyakit


1 Apakah Anda merasakan keluhan gangguan kesehatan khususnya pada paru-
paru?
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan................

2 Apakah Anda memiliki riwayat penyakit seperti asma, TBC, bronkitis, flu
alergi seperti akibat debu, cuaca dingin, atau mikroorganisme?
a. Ya
b. Tidak
3 Apakah Anda pernah menjalani pengobatan khusus pada penyakit tersebut?
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan.................

F Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru (Diisi oleh peneliti)


1 FEV1/FVC :
1.
2.
3.
Rata-rata :

E Pemeriksaan Kadar Debu Total (Diisi oleh peneliti)


1 Kadar debu:
Max :

Min :

Rata-rata :

Anda mungkin juga menyukai