Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

RSUD KLUNGKUNG

Oleh:

1. Ni Komang Omik Trianita Udiana (P07134120068)


2. Ni Komang Sri Anggita Wijayanti (P07134120053)
3. Kadek Wahyu Adi Putra (P07134120094)
4. Ni Komang Sri Rahayu (P07134120070)
5. Titania Nur Meilian Syah (P07134120018)
6. Amelia Ade Wardani (P07134120097)
7. Propane Meutya Fadila (P07134120089)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR PROGRAM
STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM DIPLOMA III
DENPASAR
2023
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
RSUD KLUNGKUNG

Penanggung Jawab Laboratorium Pembimbing Lapangan/CI

dr. I Komang Parwata, Sp. PK Trijatno Djoko Raharjo, ST

NIP. 196405171991031010 NIP. 196809051992031006

Mengetahui
Ketua Jurusan Teknologi Laboratoium Medis

Cokorde Dewi Widhya Hana Sundari, S.KM.,M.Kes.


NIP. 196906211992032004
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat

dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dan laporan

Praktik Kerja Lapangan (PKL) ini dengan baik dan tepat waktu.

Penyusunan laporan ini dapat diselesaikan bukan hanya karena usaha penulis sendiri

melainkan berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak secara langsung

maupun tidak langsung baik secara material maupun moril. Untuk itu dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Gusti Ayu Marhaeni, S.KM., M.Biomed selaku Direktur PLT. Poltekkes

Kemenkes Denpasar yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan

Diploma Tiga Jurusan Teknologi Laboratorium Medis, Poltekkes Kemenkes

Denpasar.

2. Ibu Cokorda Dewi Widhya Hana Sundari, S.KM., M.Si selaku Ketua Jurusan

Teknologi Laboratorium Medis Politekkes Kemenkes Denpasar yang senantiasa

memberikan kesempatan dan arahan kepada penulis untuk melakukanPraktik Kerja

Lapangan (PKL).

3. dr. I Komang Parwata, Sp.PK., Penanggung Jawab Laboratorium Rumah Sakit Umum

Daerah Klungkung yang telah membimbing dan membantu mahasiswa dalam

kelangsungan Praktik Kerja Lapangan di RSUD Klungkung.

4. Bapak Trijatno Djoko Raharjo, ST., selaku Koordinator Laboratorium Rumah Sakit

Umum Daerah Klungkung yang telah membimbing membantu mahasiswa dalam

kelangsungan Praktik Kerja Lapangan di RSUD Klungkung.

5. Seluruh staf pegawai RSUD Klungkung yang telah bersedia membimbing dan

membantu mahasiswa dalam kegiatan Praktik Kerja Lapangan di RSUD Klungkung


6. Dan seluruh staf dosen Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes

Denpasar yang telah membantu kelancaran praktik kerja lapangan ini.

7. Serta semua teman-teman yang memberikan semangat dan kerjasamanya dalam

menyukseskan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan di RSUD

Klungkung.

Dalam penulisan laporan ini, penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna

mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu, serta pengalaman yang penulis miliki. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Atas perhatiannya, penulis ucapkan terimakasih.

Klungkung, 27 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB II GAMBARAN LOKASI PKL
A. Sejarah Rumah Sakit
B. Unit Pelayanan Rumah Sakit
C. Gambaran Laboratorium
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. –
B. –
C. –
D. –
E. –
F. –
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN DOKUMENTASI KEGIATAN
LAMPIRAN ABSENSI MAHASISWA
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kesehatan merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap

orang. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh pemerintah dan

masyarakat secara terarah, terpadu, berkesinambungan, merata, aman, berkualitas, dan

terjangkau oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Menurut Undang-Undang

Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat baik dari badan,

jiwa, spiritual dan sosial sehingga memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif

secara sosial dan ekonomi. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Kualitas pelayanan kesehatan merupakan inti kelangsungan hidup sebuah

lembaga penyedia layanan kesehatan, karena itu gerakan revolusi mutu terpadu

menjadi tuntutan yang tidak boleh diabaikan jika sebuah lembaga ingin eksis dan

berkembang. Adapun dalam memberikan layanan kesehatan diperlukan inovasi untuk

menunjang kepuasan publik terhadap kualitas pelayanan kesehatan (Anggraeny,

2013). Mengingat banyaknya institusi penyedia layanan kesehatan dan persaingan

yang demikian ketat, maka setiap lembaga pelayanan kesehatan harus siap menjadi

kompetitor yang dapat diperhitungkan kredibiltas dan profesionalitasnya, serta


menjadi lembaga penyedia jasa dan layanan yang selalu memanjakan pelanggan atau

konsumen dengan pelayanan yang terbaik (prima). (Mujiarto, et al., 2019).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42

Tahun 2015 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Ahli Teknologi Laboratorium

Medik, tenaga Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) adalah setiap orang

yang telah lulus pendidikan Teknologi Laboratorium Medik atau analis kesehatan atau

analis medis dan memiliki kompetensi melakukan analisis terhadap cairan dan

jaringan tubuh manusia untuk menghasilkan informasi tentang kesehatan

perseorangan dan masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta tuntutan masyarakat akan pelayanan laboratorium medik yang

bermutu atau terstandar secara nasional maupun internasional maka peningkatan

pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional Ahli Teknolog Laboratorium Medik

harus senantiasa dilakukan secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan

(Kemenkes RI, 2020).

Dalam rangka menghasilkan tenaga teknologi laboratorium medis yang

profesional, handal, serta mampu mengaplikasikan dan mengembangkan

kemampuannya di dunia kerja, maka disusunlah program pembelajaran yang dapat

memenuhi standar kompetensi yang diperlukan. Untuk dapat mencapai standar

kompetensi tersebut, para calon tenaga teknologi laboratorium medis harus dibekali

ilmu serta kemampuan yang dapat mengikuti perkembangan modalitas dan

permasalahan klinis yang berkembang di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Salah satu upaya untuk melengkapi kemampuan ini adalah melalui kegiatan Praktik

Kerja Lapangan (PKL) (Hozizah and Irmawati, 2017).

Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan

dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Praktik Kerja Lapangan


(PKL) merupakan salah satu program pendidikan yang dijalankan oleh Jurusan

Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes Denpasar, yang diikuti oleh

mahasiswa semester VI. PKL adalah kegiatan keikutsertaan mahasiswa secara nyata

dan langsung dalam kegiatan kerja profesi pada suatu lembaga. Kegiatan PKL

dirancang untuk memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa dalam

menggunakan metodologi yang relevan untuk menganalisis keadaan, identifikasi

masalah, dan menetapkan alternatif solusi. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk

mengaplikasikan kemampuan dalam memecahkan masalah yang ada, berfikir kritis,

komunikasi efektif, dan mengaplikasikan keterampilan yang diperoleh selama

pembelajaran di kampus (Hozizah and Irmawati, 2017).

Dengan adanya PKL yang dilakukan di RSUD Klungkung diharapkan dapat

memberikan kesempatan kepada mahasiswa agar mendapatkan pengalaman kerja

sebelum memasuki dunia kerja, mendapatkan referensi dari instansi atau perusahaan,

membandingkan dan menerapkan kemampuan akademik dan kecakapan yang telah

dimiliki dengan aplikasi di lapangan, memahami konsep kerja yang sesungguhnya

sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, serta lebih mematangkan kecakapan yang telah

dimiliki sehingga lebih siap memasuki dunia kerja.

B. Tujuan PKL

1. Tujuan Umum

Untuk dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan

serta mencoba secara nyata pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama

pendidikan disertai sikap profesional sesuai dengan profesinya

2. Tujuan Khusus

Melatih dan mengembangkan mahasiswa dalam upaya untuk meningkatkan:


a. Pengetahuan, sikap, dan etika profesionalisme dalam memberikan pelayanan

laboratorium.

b. Kemampuan komunikasi dan kerjasama dalam tim.

c. Meningkatkan keterampilan mahasiswa bekerja di laboratorium kesehatan.

d. Mengembangkan wawasan pengetahuan mahasiswa dalam IPTEK laboratorium

kesehatan.

C. Manfaat

1. Bagi Institusi

Meningkatkan kerjasama antara institusi pendidikan dengan rumah sakit, rumah sakit

pendidikan, dan lahan praktik lainnya.

2. Bagi Mahasiswa

a. Mahasiswa lebih terampil dan professional bekerja dibidang laboratorium

kesehatan dan siap untuk bekerja sesuai dengan keahliannya di dunia kerja nyata.

b. Mahasiswa memperoleh pengalaman dan perbandingan mengenai kesesuaian ilmu

yang didapatkan di kampus dengan di lapangan kerja nyata dalam melakukan

pelayanan kesehatan.
BAB II

GAMBARAN LOKASI PKL

A. Gambaran Umum Lokasi PKL

Berdirinya RSUD Kabupaten Klungkung berawal dari barak penampungan


korban bencana alam meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Seiring
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di Provinsi Bali terutama di wilayah
timur, maka pada tahun 1986 barak tersebut dikukuhkan sebagai rumah sakit
milik Pemerintah Provinsi Bali dengan kategori tipe D (RSUD Klungkung, 2017).
Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor :
287 Tahun 1986 tanggal 11 Oktober 1986, yang dikukuhkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 105/Menkes/SK/II/1988 tanggal
18 Februari 1988 maka Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Klungkung
ditingkatkan menjadi rumah sakit tipe C. Kemudian dengan diterbitkannya
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor : 10 Tahun 1990 tanggal 30 November
1990 tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali di
Bidang Kesehatan Kabupaten Daerah Tingkat II, maka pengelolaan dan
kepemilikan RSUD Kabupaten Klungkung berpindah dari Pemerintah Provinsi
Bali ke Pemerintah Kabupaten Klungkung Dalam rangka peningkatan dan
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, RSUD Kabupaten Klungkung dijadikan unit Swadana Daerah sesuai
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 8 Tahun 2000 tanggal 4 Agustus
2000 yang pelaksanaannya dimulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tahun 2005
sesuai 4 dengan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor : 5 Tahun 2005
tanggal 13 Desember 2005, Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Klungkung
dikukuhkan menjadi Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan bentuk Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD). Pada tahun 2008 sesuai PERDA Nomor 8 Tahun 2008
RSUD Kabupaten Klungkung sebagai RSU Klas C Non Pendidikan (RSUD
Klungkung,2017).
Guna memberikan fleksibilitas dan keleluasaan mengelola sumber daya
pelaksanaan tugas operasional dan pengelolaan keuangan yang bertujuan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien,
maka sejak tanggal 1 Januari 2012 RSUD Kabupaten Klungkung menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD)
berdasarkan Keputusan Bupati Klungkung Nomor : 253 Tahun 2011 tanggal 23
Desember 2011 tentang Penetapan RSUD Kabupaten Klungkung untuk
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (RSUD
Klungkung,2017).
Seiring pemenuhan standar pelayanan kesehatan rumah sakit maka pada 1
Desember 2016 RSUD Kabupaten Klungkung diakui telah memenuhi Standar
Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dan dinyatakan Lulus Tingkat
Paripurna(Bintang Lima) oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (RSUD
Klungkung, 2017). Selanjutnya pada tanggal 23 Januari 2017 melalui Keputusan
Gubernur No. 440/844.6/DPMPSP-H/2017 tentang Ijin Operasional Rumah Sakit
Umum kelas B RSUD Kabupaten Klungkung dinaikkan kelasnya sebagai RSU Kelas
B non Pendidikan (RSUD Klungkung, 2017).

Visi dari RSUD Klungkung yaitu "Rumah Sakit Pilihan Terbaik Dan
Unggul Dalam Pelayanan Kedaruratan Di Bali Timur". Langkah-langkah
yangditerapkan untuk mencapai visi dari RSUD Klungkung terdiri dari empat buah
misi yang meliputi:

 Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu


 Mengembangkan pengelolaan rumah sakit secara profesional
 Mengembangkan pusat layanan kedaruratan yang unggul di Bali Timur
(RSUD Klungkung, 2017)

Motto dari RSUD Klungkung adalah memberikan pelayanan secara


CERMAT (Cepat, Efektif-Efisien, Ramah, Mantap, Akurat-Aman, Tertib
Adminsitrasi) dalam suasana lingkungan rumah sakit yang BERSERI (Bersih,
Sehat, Rapi dan Indah). Diaplikasikan dengan Program GENI ASTU-Gerakan
Peningkatan Kepuasan & Mutu sebagai penjabaran Program GEMA SANTI
(Gerakan Masyarakat Santun & Inovatif) Pemerintah Kabupaten Klungkung sejak
tanggal 16 Desember 2015 (RSUD Klungkung, 2017). RSUD Klungkung dilengkapi
dengan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap, diantaranya adalah
sebagai berikut: instalasi gawat darurat, instalasi rawat inap, instalasi rawat jalan,
serta layanan unggulan RSUD Klungkung yang meliputi Klinik Dalam, Klinik Bedah,
Klinik Anak, Klinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Klinik Gigi dan Mulut,
Klinik THT, Klinik Mata, Klinik Kulit dan Kelamin, Klinik Syaraf, Klinik k
Orthopedi, Klinik Paru, Klinik Jiwa, Klinik Rehabilitasi Medik, Klinik VCT
(Voluntary Conselling Tes), Klinik MCU
dan Poliklinik Gizi, Klinik Sub Spesialis, Sub Spesialis Gastro Entero Hepatologi,
Sub Spesialis Ginjal dan Hypertensi. Sedangkan untuk penunjang medik yang
terdapat di RSUD Wangaya terdiri atas radiologi, ambulance, CTscan, laboratorium,
USG, dan farmasi (RSUD Klungkung, 2017)

Laboratorium Patologi Klinik RSUD Klungkung adalah salah satu


laboratorium klinik yang melakukan pemeriksaan pada spesimen berupa cairan
tubuh pasien seperti darah, cairan otak, cairan lambung, swab tenggorokan, swab
hidung, dan urine. Di laboratorim RSUD Klungkung ini terdiri dari beberapa sublab,
diantaranya, sampling, urinalisis, hematologi, mikrobiologi,patologi anatomi dan
kimia klinik (RSUD Klungkung, 2017).

Laboratorium klinik RSUD Klungkung menerapkan tiga tahapan utama


pemeriksaan, yaitu pra-analitik, analitik dan pasca-analitik. Tahap paling pertama
dilakukan adalah tahap pra-analitik dimana dilakukan pertama kali penerimaan
formulir permintaan pemeriksaan laboratorium pasien, kemudian dilakukan proses
billing pada komputer yang menerapkan sistem LIS, dari proses ini tercetak
barcode, selain itu LIS dapat membantu penyimpanan hasil dan menyimpan arsip
pasien rawat jalan atau rawat inap yang melakukan pemeriksaan. Kemudian,
dilanjutkan pengambilan sampel atau disebut sampling, dimana sebelum sampling
dilakukan dilakukan konfirmasi nama pasien dan data pasien dengan formulir
permintaaan pemeriksaan (RSUD Klungkung, 2017).

Tahap analitik merupakan tahap pengerjaan sampel yang telah diambil,


disesuaikan dengan formulir permintaan pasien. Tahap pengerjaan mulai dari
proses sentrifugasi darah untuk memperoleh serum/plasma. Serum/plasma ini
yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan yang dimana serum dipindahkan ke
tabung eppendorf dan diberi kode, kemudian diperiksa. Secara otomatis hasil
pemeriksaan pada alat terkoneksi dengan rekaman hasil pemeriksaan pasien.
Tahap akhir merupakan tahap pasca analitik, dimana hasil pemeriksaan yang telah
terbaca, di-release, authrorise dan diprint. Hasil ini kemudian diverifikasi oleh
petugas bersama penanggung jawab laboratorium (RSUD Klungkung, 2017).

B. Struktur Organisasi
Struktur oganisasi instalasi laboratorium klinik RSUD Klungkung Kota
Semarapura.

Gambar 1 Struktur oganisasi Instalasi Laboratorium Klinik RSUD Klungkung Kota

Semarapura

Sumber : Laboratorium Patologi Klinik RSUD Klungkung


C. Sub Unit Sampling

Pengambilan sampel sebagai bahan pemeriksaan laboratotium atau sampling


merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Hasil pemeriksaan laboratorium
bergantung pada pproses pengambilan spesimen dan cara menangani specimen
tersebut. Kemudian juga, hal penting lainnya yang harus diperhatikan pada
tahapan sampling adalah pelabelan specimen (Palomar Healt, 2014).
Secara umum, sebelum melakukan pengambilan spesimen, hal yang
dilakukan adalah persiapan seperti berikut ini:
1. Persiapan pasien. Informasikan kepada pasien tentang hal-hal apa yang
harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan
pengambilan spesimen :
 Persiapan secara umum, seperti:puasa selama 8-10 jam sebelum
pengambilan
 . Jika pasien harus melakukan pengambilan spesimen sendiri (urin, dahak,
faeses), dijelaskan tata cara pengambilan
 Jika pengambilan spesimen bersifat invasif (misalnya pengambilan sampel
darah, cairan pleura, ascites, sumsum tulang), dijelaskan macam tindakan
yang akan dilakukan
2. Peralatan sampling. Dipastikan semua peralatan sampling telah disiapkan
sesaat sebelum sampling.
3. Penting untuk diperhatikan bahwa semua peralatan memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
 Bersih
 Kering
 Tidak mengan mengandung detergent atau bahan kimia terbuat dari bahan yang
tidak mengubah zat-zat dalam specimen
 steril, apalagi jika spesimen akan diperiksa biakan (kultur) kuman
 sekali pakai buang (disposable)
4. Wadah spesimen tidak retak atau pecah, mudah dibuka atau ditutup rapat,
besar/ukurannya sesuai dengan volume spesimen yang diambil.
5. Antikoagulan
6. Lokasi sampling (Wahyuningsih, 2016)
Di lahan praktek pengambilan sampel atau bahan pemeriksaan dapat berupa
sampel darah, urin, feses dan sputum. Beberapa sampel dapat langsung diambil
oleh pasien dengan diberikan pengetahuan mengenai cara penampungan ataupun
pengeluarannya seperti pada sampel urin, feses dan sputum. Pengambilan sampel
darah dilakukan oleh tenaga kesahatan yang bertugas (Palomar Healt, 2014).
1. Darah
Darah merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia.
Di dalam darah terkandung berbagai macam komponen, baik komponen cairan
berupa plasma, maupun komponen padat berupa sel-sel darah (Firani, 2018).
Darah didistribusikan melalui pembuluh darah dari jantung keseluruh tubuh
dan akan kembali lagi menuju jantung. Sistem ini berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan sel atau jaringan akan nutrien dan oksigen, serta mentransport sisa
metabolism sel atau jaringan keluar dari tubuh (Nugraha, 2015).

Darah dapat diambil dari pasien untuk pemeriksaan laboratorium, donor


darah atau secara terapeutik untuk mengurangi jumlah darah seperti pada pasien
dengan Polycythemia Vera. Investigasi dan analisis darah adalah salah satu
pemeriksaan yang paling umum digunakan oleh dokter (Buowari, 2013).
Teknik pengambilan darah pasien dikenal dengan istilah flebotomi yang
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu melalui tusukan vena (venipuncture),
tusukan kulit (skinpuncture), dan tusukan arteri. Cara yang paling sering
digunakan adalah melalui tusukan vena pada bagian mediana cubiti atau disisi
dalam lipatan siku (Arif, 2015).

Vena berperan menghantarkan darah ke jantung. Dimulainya sebagai


pembuluh darah kecil yang terbentuk dari penyatuan kapiler.Vena kecil-kecil ini
bersatu menjadi vena lebih besar dan membentuk batang vena, yang makin
mendekati jantung makin besar ukurannya. Vena lebih banyak daripada arteri dan
ukurannya pun lebih besar. Dinding vena terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan terluar
terdiri atas jaringan ikat fibrus disebut tunika adventisia, lapisan tengah berotot
lebih tipis, kurang kuat, lebih mudah kempes, dan kurang elastis daripada arteri,
lapisan dalam anggota gerak berjalan melewati gaya berat, vena mempunyai katup
yang di susun sedemikian rupa sehingga darah dapat mengalir ke jantung tanpa
jatuh kembali ke arah sebaliknya . Lokasi pengambilan darah vena orang dewasa
dipakai salah satu vena dalam fossa cubitti dan bayi pada vena jugularis
superficialisatau sinus sagitalis superior. Kapiler adalah pembuluh darah yang sangat
kecil, tempat arteri terakhir.Makin kecil arteriol makin menghilangkan ketiga lapisan
dindingnya sehingga ketika sampai pada kapiler dinding hanya terdapat satu lapis
saja yaitu lapisan endotolium. Lapisan yang sangat tipis itu memungkinkan limfe
meresap keluar membentuk cairan jaringan dan membawa air, mineral, dan zat
makanan untuk
sel, dan melalui pertukaran gas antara pembuluh kapiler dan jaringan sel,
menyediakan oksigen, serta menyingkirkan bahan buangan karbondioksida.
Kapiler melaksanakan fungsi yang sangat penting sebagai distributor zat-zat
penting ke jaringan yang memungkinkan berbagai proses dalam tubuh berjalan
(Perace, 2009)
Lokasi pengambilan darah kapiler pada orang dewasa yaitu ujung jari
tangan (jari ketiga atau keempat), dan daun telinga. Bayi dan anak kecil pada
tumit dan ibu jari kaki. Tempat yang di pilih tidak boleh yang memperlihatkan
gangguan peredaran darah seperti pucat (Gandasoebrata, 2007).
Menurut literature (Iskandar, 2016), tempat pengambilan darah yang harus
dihindari yaitu:
 Area mastektomi, untuk menghindari infeksi dan kesalahan hasil karena
terjadi penumpukan cairan tubuh di daerah ini.
 Edema, Daerah edema mengandung kumpulan cairan tubuh, sehingga dapat
mempengaruhi hasil
 Daerah bekas luka
 Daerah aliran infuse
 Daerah dengan jaringan parut
 Daerah dimana darah sedang ditransfusikan
 Daerah dengan cannula, fistula atau cangkokan vascular.
2. Urine
Urine adalah sisa material yang dieksresikan oleh ginjal dan ditampung
dalam saluran kemih hingga akhirnya dikeluarkan oleh tubuh melalui proses urinasi
dalam bentuk cairan. Eksresi urine yang disaring dari ginjal menuju ureter
selanjutnya disimpan di dalam kandung kemih dan kemudian dibuang. Proses
terseebut diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dari darah yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh guna menjaga keseimbangan cairan. Zat-zat yang
terkandung dalam urine dapat memberikan informasi penting mengenai kondisi
umum di dalam tubuh. Derajat produksi dari berbagai unit fungsional dalam tubuh
dapat diketahui dari kadar berbagai zat dalam urine (Guyton A.C dan Hall J.E,
2006). Indikasi tes urin adalah untuk tes saring pada tes kesehatan, keadaan
patologik maupun sebelum operasi, menentukan infeksi saluran kemih terutama
yang berbau busuk karena nitrit, leukosit atau bakteri, menentukan kemungkinan
gangguan metabolisme misalnya diabetes melitus atau komplikasi kehamilan,
menentukan berbagai jenis penyakit ginjal seperti glomerulonephritis, sindroma
nefrotik dan pyelonephritis. Tes urin telah lama dikerjakan dan sering dilakukan
karena sampel mudah didapatkan dan teknik tes tidak begitu sulit (Naid,
Mangerangi dan Almahdaly, 2014).
Metode mengumpulkan sampel urin yang sering digunakan ialah dengan
cara menampung pancaran porsi tengah, pengambilan menggunakan kateter,
aspirasi supra pubik dan pemakaian pengumpul urin (urine collector) bagi anakanak.
Pengambilan sampel urin dengan cara menampung pancaran porsi tengah
harus dilakukan dengan cermat untuk mendapatkan hasil yang optimal, terutama
bagi wanita. Tetapi cara ini sulit dilakukan bagi orang yang tidak dapat menahan
urin (inkontinensia urin), bayi dan anak-anak. Pengambilan dengan kateter sering
menimbulkan rasa tidak nyaman serta dapat menimbulkan (sebagai pencetus)
terjadinya infeksi saluran kemih. Pengambilan dengan aspirasi supra pubik
memerlukan alat, teknik dan keterampilan khusus, dan merupakan metode yang
invasif. Pengambilan sampel urin dengan cara ini sering dilakukan untuk bayi dan
anak-anak bila sampel urin sulit didapatkan (Riyanti, Prihatini dan Probohoesodo,
2006).
Mengutip dari literature (Gandasoebrata, 2013), bahan pemeriksaan urin ada
bermacam-macam, antara lain :
 Urin sewaktu, merupakan urin yang dikeluarkan pada suatu waktu dan tidak
ditentukan dengan khusus.
 Urin pagi, yaitu urin yang pertama-tama dikeluarkan pada pagi hari setelah
bangun tidur. Urin ini lebih pekat dari urin yang dikeluarkan siang hari, baik
untuk pemeriksaan sedimen.
 Urin tampung, merupakan urin yang ditampung 24 jam atau 12 jam namun
untuk pemeriksaan kuantitatif harus diberi pengawet supaya unsur yang
dibutuhkan tidak mengalami perubahan selama penyimpanan dan
penampungan.
 Urin postprandial, merupakan urin yang pertama kali dilepaskan 1 ½ -3 jam
sehabis makan.
3. Feses
Spesimen feses diperlukan untuk skrining infeksi gastrointestinal.
Pengambilan specimen feses ini digunakan melihat ada tidaknya darah serta untuk
mendeteksi adanya telur cacing dan parasit. Untuk pemeriksaan ini dilakukan tiga
hari berturut-turut mendeteksi virus dan bakteri. Untuk pemeriksaan kultur
diperlukan sedikit feses dan tempat feses harus steril. Pengambilan perlu hati-hati
agar tidak terkontaminasi. Sebaiknya tidak menggunakan antibiotik sebelum
dilakukan kultur (Wahyuningsih, 2016)
Beberapa hal penting untuk memberikan penjelasan pada pasien tentang
cara pengambilan/mendapatkan spesimen feses/tinja yang benar, yaitu:
a. Feses tidak boleh tercampur dengan air kloset (karena dapat mengandung
organisme bentuk bebas yang menyerupai parasit manusia) atau urin (karena
urin dapat menghancurkan organisme yang bergerak).
b. Bila memungkinkan, dianjurkan pada pasien agar pada saat buang air besar,
feses langsung ditampung dalam wadah. Bila tidak, feses ditampung di alas
plastik, lalu diambil sebanyak 5 gram atau satu sendok teh dari tinja yang
berlendir atau berdarah dan masukkan ke dalam wadah.
c. Tetap dijaga agar spesimen feses tidak cepat mengering.
d. Penampung/sediaan wadah harus bersih, kering, maka seyogyanya
menggunakan wadah bermulut lebar dan tertutup (agar tidak mudah
tumpah). Untuk setiap pemeriksaan, pasien diberikan salah satu dari
penampung berikut:
- kardus yang berlapis lilin
- kaleng yang bertutup
- penampung dari bahan plastik yang ringan
- botol gelas yang khusus dibuat untuk penampungan spesimen feses, yang
dilengkapi sendok yang melekat pada tutupnya.
e. Beri label pada wadah, feses dikirim bersama formulir permintaan
pemeriksaan.
Spesimen feses setelah dikumpulkan harus diperiksa sesegera mungkin
(dalam waktu 15 menit, maksimum 1 jam setelah pengumpulan). Bila menerima
beberapa contoh feses pada waktu bersamaan, dahulukan pemeriksaan feses cair
atau feses yang mengandung darah atau berlendir (bisa jadi mengandung amuba
yang motil yang cepat mengalami kematian). Spesimen yang paling baik adalah
feses segar, dan spesimen feses hendaknya disimpan dalam lingkungan yang
hangat karena dalam lingkungan dingin gerak amuboidnya berkurang (Padoli,
2016)
4. Sputum
Sputum adalah sekret mukus yang dihasilkan dari paru-paru, bronkus dan
trakea.Individu yang sehat tidak memproduksi sputum.Klien perlu batuk untuk
memdorong sputum dari paru-paru, bronkus dan trakea ke mulut dan
mengeluarkan ke wadah penampung. Pemeriksaan sputum dilakukan untuk:
menentukan jenis mikroorganismedan tes sensitivitas terhadap obat antibiotic;
sertam pemeriksaan bakteri tahan asam, yang memerlukan sampel sputum serial 3
hari berturut-turut di pagi hari, untuk mengidentifikasi ada tidaknya kuman
tuberculosis, bronchitis (Wahyuningsih, 2016).
Sputum adalah bahan yang dikeluarkan dari paru dan trakea melalui mulut.
Pemeriksaan bakteriologis biasanya dilakukan untuk melakukan identifikasi
terhadap kuman Mycobakterium tuberculosis dalam sputum penderita.
Pemeriksaan sputum dilakukan tiga kali berturut-turut pada sampel SPS yaitu
sewaktu, pagi, sewaktu. Sebelum melakukan pembuatan sediaan sputum, petugas
laboratorium harus memeriksa sputum secara fisik yaitu dipilih yang kental,
purulen berwarna hijau kekuningan, kadang ada bercak darah agar dalam pembuatan
sediaan menja diberkualitas. Spesimen sputum sebaiknya dikumpulkan dalam waktu
dua hari kunjungan yang berurutan. Kondisi sputum untuk pemeriksaan laboratorium
adalah penting. Sputum yang baik mengandung beberapa partikel atau sedikit kental
dan berlendir, kadang-kadang malah bernanah dan berwarna hijau kekuningan. Guna
menjamin spesimen sputum bermutu baik, harus segera dikirim ke laboratorium
secepat mungkin segera setelah pengambilan. Jika sputum disimpan pada suhu kamar
selama satu hari dapat mengakibatkan sputum menjadi encer dan kualitas sediaan
menjadi tidak baik (Budiharjo dan Purjanto, 2016)
D. Sub Unit Hematologi
Hematologi merupakan cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang
darah, organ pembentuk darah, jaringan limforetikuler serta penyakit-penyakitnya.
Pemeriksaan laboratorium hematologi merupakan pemeriksaan cairan darah yang
berhubungan dengan dengan sel-sel darah dan biokimiawi yang berhubungan
dengan sel darah. Pemeriksaan laboratorium hematologi bertujuan untuk
mengkonfirmasi suatu dugaan klinis atau menetapkan diagnosis penyakit,
menentukan terapi atau pengelolaan dan pengendalian penyakit, memantau perjalanan
penyakit, untuk penapisan suatu penyakit, serta untuk menentukan status kesehatan secara
umum Pemeriksaan laboratorium hematologi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis
pemeriksaan, yaitu : pemeriksaan hematologi yang berperan dalam mendefinisikan sel-sel
darah atau pigmen darah yang normal dan abnormal serta menentukan sifat kelainan
tersebut dan pemeriksaan hematologi yang berperan dalam mengevaluasi gangguan
hemostasis (Riswanto, 2013)
1. Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC) merupakan suatu


jenis pemeriksaan yang digunakan sebagai deteksi awal dalam memberikan diagnosis
terhadap penyakit atau sebagai monitoring kondisi pasien. Disamping itu juga digunakan
untuk melihat respon terapi pada pasien yang mengidap penyakit infeksi. Pemeriksaan ini
berfungsi untuk mengevaluasi anemia, infeksi, dan trombositopenia (Faruq, 2018).
Pemeriksaan darah lengkap adalah suatu tes darah yang diminta oleh dokter
untuk mengetahui keadaan sel darah pasien. Terdapat beberapa tujuan dari pemeriksaan
darah lengkap, diantaranya adalah sebagai pemeriksaaan penyaring untuk menunjang
diagnosa, untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit dan untuk
melihat kemajuan atau respon terapi (Ramdhani, Mentari dan Aftal, 2019) .
Pemeriksaan darah lengkap sangat penting untuk menentukan diagnose
suatu penyakit. Parameter pemeriksaan hematologi meliputi kadar hemoglobin,
hematokrit, hitung eritrosit, leukosit, trombosit, nilai MCV (Mean Corpuscular Volume),
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean CorpuscularHemoglobin
Consentration), dan RDWCV (Red Cell Distribution Coefficient Variation) (Faruq, 2018).

a. Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah molekul proteinpada sel darah merah yangberfungsi
sebagai mediatransportasi oksigen (O2) dari paru-paru kejaringan di seluruhtubuh dan
mengambil karbondioksida (CO2) dari jaringan tersebut dandibawa ke paru-paru untuk
dibuang ke udara bebas. Hemoglobin berperan penting dalammempertahankan bentuk sel
darah merah danmemberi warna merah pada darah. Strukturhemoglobin yang abnormal
bisa mengganggubentuk sel darah merah dan menghambat fungsidan aliran darah
melewati pembuluh darah. Kandungan zat besi (Fe) yangterdapat dalam hemoglobin
membuat darahberwarna merah (Tarwoto, 2008). Pemeriksaan hemoglobin dalam darah
mempunyai peranan yang penting dalam diagnosa suatu penyakit. Hemoglobin berperan
dalam mempertahankan bentuk sel darah merah yang bikonkaf,jika terjadi ganguan maka
keluwesannya dalam melewati kapiler jadi berkurang. Manfaat lainnya adalah untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan kesehatan pada pasien yang berhubungan dengan
anemia dan polisitemia (Yusniati, 2019).

b. Hitung jenis leukosit


Sel darah putih (Leukosit) merupakan bagian penting dari sistem pertahanan
tubuh yang fungsinya untuk melawan mikroorganisme penyebab infeksi, sel tumor,
dan zat-zat asing yang berbahaya. Terdapat beberapa jenis leukosit yaitu Basofil,
Eosinofil, Neutrofil Segmen, Neutrofil Batang, Limfosit dan Monosit. Leukosit terdiri
dari enam jenis, dan berperan dalam sistem imun. Sel neutrofil, eosinofil, basofil dan
monosit termasuk dalam sistem imun nonspesifik, sedangkan sel limfosit termasuk
dalam sistem imun spesifik. Sel basofil berperan dalam respon peradangan. Sel
eosinofil berperan dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. Sel neutrofil
berperan dalam pertahanan awal imunitas non spesifik terhadap infeksi bakteri. Sel
limfosit berperan dalam membentuk antibody yang bersirkulasi di dalam darah
ataudalam sistem kekebalan seluler. Sel Monosit mengalami proses pematangan
menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan. Sel makrofag berperan dalam
membersihkan tubuh dari sel mati dan debris lainnya.Pada individu yang tidur dengan
lampu menyala ditemukan penurunan sel neutrofil segmen sebanyak 2 dari 10 sampel.
Penurunan jumlah neutrofil dari nilai normal disebut neutropenia. Keadaan yang
menyebabkan neutropenia diantaranya penyakit infeksi oleh beberapa bakteri. Selain
itu, penurunan neutrofil dapat mengindikasikan kerentanan terhadap infeksi bakteri
(Bakhri, 2018).
Hitung jenis leukosit (leukocyte differential count) bertujuan untuk
menghitung presentase jenis-jenis leukosit di dalam darah tepi. Leukosit yang
dihitung dari apusan darah tepi sebanyak 100-200 sel, perhitungan jenis leukosit dapat
menghitung sampai ribuan leukosit. Lima jenis leukosit yang dihitung yaitu neutrofil
(batang dan segmen), limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil dengan hasil yang
memuaskan. Perhitungan secara manual perlu dilakukan apabila didapatkan hasil
yang abnormal dari perhitungan secara otomatis. Adapunbeberapa jenis leukosit
adalah sebagai berikut (Nugraha,2015).
1) Basofil. Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitunilai normal
dalam tubuh 0-1%.Sel ini memiliki ukuran sekitar 14 μm, granula memiliki ukuran
yang bervariasi dan tidak teratur hingga menutupinukleus yang bersifat
basofiliksehingga berwarna gelap jika dilakukan pewarnaan giemsa. Basofil hanya
kadang-kadang ditemukan dalam darahnormal, terlibat dalam reaksi alergi jangka
panjang seperti
sma,alergi kulit dan lain-lain. Penurunan basofil terjadi pada penderita stress dan
kehamilan.
2) Eosinofil. Jumlah eosinofil dalam tubuhnilai normalnya1-3%, sel-sel ini mirip dengan
neutrofil kecuali ukuran eosinofil mencapai 16 μmdengan granula sitoplasmanya yang
bersifat eosinofilik sehingga dengan pengecatan giemsa akan berwarna merah karena
akan mengikat zat warna eosin, ukuran granula sama besar dan teratur seperti
gelembung udara. Nukleus jarang terdapat lebih dari tiga lobus.Eosinofil merupakan
fagosit paling lemah, memiliki kacenderungan berkumpuldalam satu jaringan yang
terjadi reaksi antigen-antibodi karena kemampuan khususnya dalam memfagosit dan
mencerna kompleks antigen-antibodi. Eosinofilmeningkat jika terjadi infeksi cacing,
pembuangan fibrin pada selama proses peradangan dan masuknya protein asing. Masa
hidup eosinofil lebih lama dari pada neutrofil sekitar 8-12 jam.
3) Neutrofil. Sel ini merupakan sel yang paling banyaknilai normal dalam tubuh 1-5%
untuk neutrofil batang dan 50-70% untuk neutrofil segmen. Terdapat dua macam
neutrofil yaitu neutrofil batang dan neutrofil segmen perbedaan kedua neutrofil
tersebut terletak pada bentuk intinya yangberbeda sedangkan ciri-ciri lainya sama.
Neutrofil batang merupakan bentuk muda dari neutrofil segmen.Neutrofil berukuran
sekitar 14 μm, inti padat dengan bentuk batang seperti tapal kuda pada neutrofil batang
dan inti padatdengan bentuk segmen yang terdiri dari dua sampai limalobus dengan
sitoplasma pucat. Granula neutrofil berbentuk butiran halus tipis dengan sifat netral
sehingga terjadi percampuran warna asam (eosin) dan warna basa (biru metilen) pada
granula yang menghasilkan warna ungu atau merah muda yang samar. Neutrofil
berperan penting dalam garis depan pertahanan tubuh terhadap invasi zat asing.
Neutrofil bersifat fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang terinfeksi.Satu sel
neutrofil dapat memfagosit 5-10 bakteri dengan masa hidup sekitar 6-10 jam.
4) Limfosit merupakan sel yang berbentuk bulat dengan ukuran 12 μm.Sel ini kompeten
secara imunologik karena kemampuanya membantu fagosit dan nilai normal dalam
tubuh 20–40%. Sebagai imunosit, limfosit memiliki kemampuan spesifisitas antigen
dan ingatan imunologik.Peningkatan limposit terdapat pada leukemia limpositik,
infeksi virus dan infeksi kronik.Sedangkan penurunan limposit terjadi pada penderita
kanker,anemia aplastik dan gagal ginjal.
5) Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitusekitar 18
μm, inti padat dan berlekuk seperti ginjal atau bulat seperti telur, masa hidup 20–40
jam dalam sirkulasi. Nilai normal dalam tubuh manusia 2 –8% dari jumlah leukosit.
Peningkatan monosit terjadi pada infeksi virus, dan bakteriJumlah monosit akan
mengalami penurunan pada penderita leukemia limposit dan anemia aplastik.
c. Eritrosit
Sel darah merah berbentuk cakram bionkraf dengan diameter sekitar 7,5
mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikro atau kurang,
tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah terjadi difusi,
karbondioksida dan sitoplasma, tetapi tidak mempunyai inti sel. Sel darah merah yang
matang mengandung 200 – 300 juta hemoglobin (terdiri darihemyang manamerupakan
gabungan protoportifirin dengan besi dan globinadalah bagian dari protein yang
tersusun oleh 2 rantai alfa dan 2 rantai beta) dan enzim – enzim seperti G6PD (glucose
6-phophate dehydogenase). Hemoglobin mengandung kira – kira 95 % besi dan
berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen (oksihemoglobin) dan
diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme(Tarwoto, 2008). Fungsi
utama eritrosit adalah untuk pertukaran gas. Eritrosit membawa oksigen dari paru
menuju ke jaringan tubuh dan membawa karbondioksida (CO2) dari jaringan tubuh ke
paru. Eritrosit tidak mempunyai inti sel,tetapi mengandung beberapa organel dalam
sitoplasmanya. Sebagian besar sitoplasma eritrosit berisi hemoglobin yang
mengandung zat besi (Fe) sehingga dapat mengikat oksigen. Eritrosit berbentuk
bikonkaf, berdiameter 7-8 μ. Bentuk bikonkaf tersebut menyebabkan eritrosit bersifat
fleksibel sehingga dapat melewati lumen pembuluh darah yang sangat kecil dengan
lebih baik. Melalui mikroskop, eritrosit tampak bulat, berwarna merah, dan di bagian
tengahnya
tampak lebihi pucat, disebut dengan central pallor yang diameternya kira-kira
sepertiga dari keseluruhan diameter eritrosit (Kiswari, 2014).
d. Hematokrit
Hematokrit adalah volume sel darah merah (SDM) yang ditemukan di
dalam 100 mL darah, dihitung dalam %. Pengukuran ini merupakan persentase sel
darah merah dalam darah setelah spesimen dicentrifugasi. Biasanya nilai
hematokrit itu ditentukan dengan darah vena atau darah kapiler (Bakta, 2012).
Hematokrit merupakan suatu hasil pengukuran yang menyatakan perbandingan sel
darah merah terhadap volume darah.Kata hematokrit berasal dari bahasa Yunani, yaitu
hema (berarti darah) dan krite(yang memiliki arti menilai atau
mengukur).Hematokrit berarti mengukur atau menilai darah.Hematokrit adalah
volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan memutarnya atau di
sentrifugasi dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen.
Hematokrit disebut juga dengan nama asing PCV (Packed Cell Volume), dan
HCT (Hematokrit). Nilai hematokrit digunakan untuk mengetahui ada tidaknya anemia
pada pasien.Nilai normal hematokrit untuk pria 40 – 48% volume
sedangkan pada wanita 37 – 43% volume (Gandasoebrata, 2008).
e. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.
Istilah lain untuk in-deks eritrosit adalah indeks korpusculer. Indeks eritrosit terdiri
atas volume atau ukuran eritrosit. Nilai eritrosit rerata dipakai untuk mengetahui
volume eritrosit rerata yang di ketahui dari nilai VER dan banyaknya hemoglobin
dalam satu eritrosit rerata dapat dilihat dari nilai HER serta untuk mengetahui
konsentrasi hemoglobin rera-ta dalam satu eritrosit dilihat pada nilai KHER. Indeks
eritrosit terdiri atas Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular
Haemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC).
MCV merupakan pengukuran volume atau ukuran ratarata pada sel darah merah, yang
didapatkan dari perhitungan rumus: MCV = [HCT (%) x 10/RBC (million/cmm)] fL.
MCH adalah perhitungan jumlah hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah,
yang didapatkan dari rumus: MCH = [Hb (g/dL)/RBC (million/cmm)] pg. MCHC
adalah perhitungan rata-rata konsentrasi hemoglobin dalam satu sel darah merah,
yang didapatkan dari perhitungan: MCHC = [Hb (g/dL)/HCT (5%)] g/dL (Laloan et
al., 2018).
f. RDW
Red cell distribution width (RDW) adalah suatu hitungan matematis yang
menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu
menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada
pemeriksaan darah tepi. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW,
yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation). Parameter
ini mencerminkan variabilitas ukuran eritrosit. Gangguan eritropoiesis
dapat mengakibatkan heterogenesitas sel darah merah yang diyakini bersamaan
dengan terjadinya beberapa perubahan patologis individu. Penyebab umum
peningkatan RDW adalah defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat,
eritrosit normal akan bercampur dengan eritrosit berukuran lebih kecil atau lebih
besar yang terbentuk saat defisiensi. Peningkatan RDW juga berhubungan dengan
penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal, namun
mekanisme variasi eritrosit ini masih sangat kompleks (Putra dan Bintoro, 2019).
g. Trombosit
Trombosit atau disebut juga keping darah merupakan fragmen sitoplasma
megakariosit yang terbentuk di sumsum tulang. Trombosit berbentuk cakram
bikonveks dengan diameter 0,75-2,25 mm, memiliki berat jenis kecil, dan tidak berinti.
Pemeriksaan hitung sel darah terutama trombosit merupakan pemeriksaan yang sering
dilakukan di laboratorium klinik (Lestari, 2019). Hitung trombosit merupakan salah
satu pemeriksaan yang sangat penting untuk berbagai kasus baik yang menyangkut
hemostasis maupun kasus lain yang meliputi penegakan diagnosis, penilaian hasil
terapi atau perjalanan suatu penyakit, penentuan prognosis dan penilaian berat
tidaknya suatu penyakit (Chairani danYani, 2018)
h. MPV
Trombosit atau platelet merupakan unsur darah yang berfungsi menjaga
homeostasis. Trombosit memainkan peran penting dalam patogenesis kelainan
yang terkait dengan peradangan lokal atau sistemik melalui pelepasan agen
trombotik dan inflamasi.3 Volume platelet rata-rata / Mean Platelet Volume(MPV)
adalah penanda fungsi dan aktifitas platelet dimana platelet berukuran
besar secara hemostatik lebih aktif. MPV telah lama dikenal sebagai penanda
peradangan dan peran ini telah ditunjukkan sebelumnya pada berbagai kelainan
gastrointestinal. Platelet distribution width (PDW) adalah indeks platelet yang
mencerminkan variasi ukuran platelet. Penggunaan rasio platelet terhadap limfosit
pun telah lama dijadikan acuan parameter hematologi untuk memprediksi respon
inflamasi sistemik kronis pada keganasan (Lubis, Loesnihar dan Sungkar 2019).
Mean platelet volume (MPV) mengukur ukuran trombosit yang beredar
dalam darah perifer. Oleh karena trombosit muda berukuran lebih besar maka
MPV yang tinggi merupakan petanda peningkatan produksi trombosit atau
mungkin sebagai kompensasi untuk mempercepat penghancuran platelet. Pada
populasi sehat, PDW dan MPV berada dalam hubungan terbalik dengan jumlah
trombosit (Gunawan dkk, 2016).
2. Faal Hemostasis
Faal hemo-stasis adalah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk
mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam pembuluh
darah dan menutup kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga mengurangi
kehilangan darah pada saat terjadinya kerusakan pembuluh darah (Pramudita dan
Mulyantari, 2019).
a. Pemeriksaan BT (Bleeding Time)
Bleeding time (waktu perdarahan) adalah uji laboratorium untuk menentukan
lamanya tubuh menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara
laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan
tergantung dari ketepatgunaan cairan jaringan dalam memacu koagulasi, fungsi
pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai trombosit,
yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk
agregasi (Mayangsari, 2016).
Pemeriksaan Bleeding Time (waktu perdarahan) merupakan pemeriksaan
skrining (penyaring) untuk menilai gangguan fungsi trombosit dan mendeteksi adanya
kelainan von willebrand. Pemeriksaan ini secara langsung dipengaruhi oleh jumlah
trombosit terutama dibawah 50.000/mm3, kemampuan trombosit membentuk plug,
vaskularisasi dan kemampuan konstriksi pembuluh darah. Mekanisme koagulasi tidak
mempengaruhi waktu perdarahan secara signifikan kecuali terjadi penurunan yang
cukup parah (Nugraha, Gilang, 2015)
b. Pemeriksaan CT (Clotting Time)
Clotting Time adalah waktu yang diperlukan darah untuk membeku atau waktu
yang diperlukan saat pengambilan darah sampai saat terjadinya pembekuan, dalam tes
ini hasilnya menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor-
faktor yang membentuk tromboplastin dan faktor yang berasal dari trombosit
(Gandasoebrata, 2010). Terdapat tiga kelompok dalam faktor pembekuan darah, yaitu
kelompok fibrinogen, kelompok prothrombin, dan kelompok kontak. Kelompok
fibrinogen terdiri dari faktor I, V, VIII, dan XIII, Kelompok prothrombin terdiri dari
faktor II, VII, IX, dan X. Kelompok kontak terdiri dari faktor XI, XII (Kiswari, 2014).
c. aPTT
Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time / aPTT)
adalah uji laboratorium untuk menilai kelainan koagulasi pada jalur intrinsik dan jalur
bersama, yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein kininogen, faktor XI (plasma
tromboplastin antecendent), faktor IX (faktor Christmas), faktor VIII (antihemophilic
factor), faktor X (faktorStuart), faktor V (proakselerin), faktor II (pro-trombin) dan faktor I
(fibrinogen) (Wahdaniah dan Tumpuk, 2017). Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan
cara manual (visual) atau dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan
metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang
sangat besar
sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat
rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan.
Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan
teliti.Prinsip dari uji APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung
semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin
parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif (misalnya, kaolin, ellagic acid, mikronized
silica atau celite koloidal). Setelah ditambah kalsium maka akan terjadi bekuan fibrin.
Waktu koagulasi dicatat sebagai APTT (Puspitasari, Suharjono dan Yogiarto 2019).
d. PT
Uji masa pro-trombin (prothrombin time / PT) berguna untuk menilai
kemampuan faktor koagulasi jalur ek-strinsik dan jalur bersama, yaitu faktor I
(fibrin-ogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proak-selerin), faktor VII
(prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan
memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal (Hardjoeno, 2003)
3. Pemeriksaan LED
Pemeriksaan LED adalah pemeriksaan darah yang menggambarkan kecepatan
pengendapan eritrosit dalam plasma darah yang menggunakan antikoagulan Natrium Sitrat
3,8% dan dinyatakan dalam mm/jam. Ada beberapa metode pemeriksaan LED diantaranya
metode Westergren dan Wintrobe, kedua metode ini merupakan cara manual. Metode
Westergren merupakan metode yang disarankan oleh International Communitte for
Standarization in Hematology (ICSH) (Ibrahim N, dkk, 2006)
Laju endap darah menggambarkan komposisi plasma dan perbandingan
antara eritrosit dengan plasma. Darah dengan antikoagulan yang dimasukan ke dalam
tabung berlumen kecil dan diletakkan vertikal akan menghasilkan pengendapan eritrosit
dengan kecepatan tertentu. Kecepatan pengendapan ini ditentukan oleh interaksi antara
dua kekuatan fisik yang berlawanan, yaitu tarikan ke bawah oleh grativasi dan tekanan ke
atas akibat perpindahan plasma. Pengendapan sel ini yang disebut Laju Endap Darah
(LED) nilainya pada keadaan normal relatif kecil karena pengendapan eritrosit akibat
tarikan grativasi diimbangi oleh tekanan ke atas. Makin berat partikel yang mengendap
makin besar tarikan grativasi, tetapi makin besar luas permukaan partikel makin besar
tekanan ke atas yang diterimanya (Kresno, 1998).

4. Pemeriksaan Hapusan Darah Tepi

Pemeriksaan apusan darah tepi mampu menilai morfologi sel (eritrosit,


leukosit, trombosit), menentukan jumlah dan jenis leukosit, mengestimasi jumlah
trombosit dan mengidentifikasi adanya parasit. Pewarnaan Romanowsky adalah pewarnaan
yang sering digunakan dan di Indonesia untuk mewarnai preparat apusan darah tepi
digunakan pewarnaan Giemsa dan terkadang Wright atau kombinasi Wright-Giemsa.
Dalam menilai kualitas apusan darah tepi digunakan penilaian terhadap morfologi
eosinofil, karena eosinofil memiliki ciri yang khas, jumlahnya cukup banyak dan mudah
diamati (Ardina dan Rosalinda, 2018).
Apus darah tepi merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan
anemia yang biasa dilakukan. Pemeriksaan apus darah tepi memberikan informasi penting
tentang sifat anemia dan merupakan alat penting dalam diagnosis banding dan indikasi
pemeriksaan yang diperlukan lebih lanjut, diagnosis cepat karena infeksi spesifik tertentu,
dan merupakan peran utama untuk diagnosis banding anemia (Ardianti dkk, 2017).
Pemeriksaan preparat apus darah tepi merupakan bagian yang penting dari rangkaian
pemeriksaan hematologi. Keunggulan dari pemeriksaan apus darah tepi ialah mampu
menilai berbagai
unsur sel darah tepi seperti morfologi sel (eritrosit, leukosit, trombosit), menentukan
jumlah dan jenis leukosit, mengestimasi jumlah trombosit dan mengidentifikasi adanya
parasit (Riswanto, 2013)
E. Sub Unit Kimia Klinik
1. Liver function test (LFT)
a. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)

Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) merupakan salah satu


enzim yang dijumpai dalam otot Ujantung dan hati. Enzim ini ditemukan dalam
konsentrasi sedang pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Saat terjadi cedera terutama
pada sel-sel hati dan otot jantung, enzim ini akan dilepaskan ke dalam darah. Fungsi
utama enzim ini sebagai biomarker/penanda adanya gangguan pada hati dan jantung
(Kee, 2014).
Serum Glutamic Pyruvic Transminasi (SGPT) Aminotransferase alanin (ALT)/SGPT
merupakan enzim yang utama banyak ditemukan pada sel hati serta efektif dalam
mendiagnosis destruksi hepatoselular. Enzim ini juga ditemukan dalam jumlah sedikit
pada otot jantung, ginjal, serta otot rangka. Kadar ALT/SGPT sering kali dibandingkan
dengan
AST/SGOT untuk tujuan diagnostik. ALT meningkat lebih khas daripada AST
pada kasus nekrosis hati dan hepatitis akut, sedangkan AST meningkat lebih khas pada
nekrosis miokardium (infark miokardium akut), sirosis, kanker hati, hepatitis kronis dan
kongesti hati. Kadar AST ditemukan normal atau meningkat sedikit pada kasus nekrosis
miokardium. Kadar ALT kembali lebih lambat ke kisaran normal daripada kadar AST
pada kasus hati (Kee, 2014). Pemeriksaan kadar transminase adalah salah satu
pemeriksaan yang sering dilakukan pada berbagai penyakit hepar (hati). Peningakatan
SGPT, menandakan adanya kerusaka pada hati, meliputi kerusakan sel-sel hati oleh
virus, obat-obatan atau toksin yang menyebabkan hepatitis, karsinoma metastalik,
kegagalan jantung dan penyakit hati akibat alkohol (Kee, 2014).
b. Serum Glutamic Pyruvic Transminasi (SGPT)

Aminotransferase alanin (ALT)/SGPT merupakan enzim yang utama


banyak ditemukan pada sel hati serta efektif dalam mendiagnosis destruksi
hepatoselular. Enzim ini juga ditemukan dalam jumlah sedikit pada otot jantung, ginjal,
serta otot rangka. Kadar ALT/SGPT sering kali dibandingkan dengan AST/SGOT untuk
tujuan diagnostik. ALT meningkat lebih khas daripada AST pada kasus nekrosis hati dan
hepatitis akut, sedangkan AST meningkat lebih khas pada nekrosis miokardium (infark
miokardium akut), sirosis, kanker hati, hepatitis kronis dan kongesti hati. Kadar AST
ditemukan normal atau meningkat sedikit pada kasus nekrosis miokardium. Kadar ALT
kembali lebih lambat ke kisaran normal daripada kadar AST pada kasus hati (Kee, 2014).

Pemeriksaan kadar transminase adalah salah satu pemeriksaan yang sering


dilakukan pada berbagai penyakit hepar (hati). Peningakatan SGPT, menandakan adanya
kerusaka pada hati, meliputi kerusakan sel-sel hati oleh virus, obat-obatan atau toksin
yang menyebabkan hepatitis, karsinoma metastalik, kegagalan jantung dan penyakit hati
akibat alkohol (Kee, 2014). Pemeriksaan kadar transminase adalah salah satu
pemeriksaan yang sering dilakukan pada berbagai penyakit hepar (hati). Peningakatan
SGPT, menandakan adanya kerusaka pada hati, meliputi kerusakan sel-sel hati oleh
virus, obat-obatan atau toksin yang menyebabkan hepatitis, karsinoma metastalik,
kegagalan jantung dan penyakit hati akibat alkohol (Kee, 2014).
c. Bilirubin Total, Direct dan Indirect
1) Bilirubin total
Pemeriksaan bilirubin total merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui fungsi hati dan saluran empedu, gangguan fungsi hati dapat
ditunjukan adanya anemia hemolitik, sirosis hati, hepatitis, dan karsinoma
hepatitis pada keadaan ini ditandai tingginya kadar bilirubin dalam serum. Fungsi
hati dan saluran empedu yang baik dapat menghasilkan kadar bilirubin total
normal (Rosida, 2016).
2) Bilirubin direct

Bilirubin terkonjugasi/ direk adalah bilirubin bebas yang bersifat larut dalam
air sehingga dalam pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin
glukoronida atau hepatobilirubin) masuk ke saluran empedu dan diekskresikan ke
usus, selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi urobilinogen. Bilirubin
terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi membentuk
azobilirubin. Peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi dapat
disebabkan oleh gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik antara lain Sindroma
Dubin Johson dan Rotor, Recurrent (benign)intrahepatic cholestasis, Nekrosis
hepatoseluler, Obstruksi saluran empedu. Diagnosis tersebut diperkuat dengan
pemeriksaan urobilin dalam tinja dan urin dengan hasil negatif (Rosida, 2016).
3) Bilirubin indirect
Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas yang
terikat albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk memudahkan
bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein
atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek.
Peningkatan kadar bilirubin indirek mempunyai arti dalam diagnosis penyakit
bilirubinemia karena kelelahan pada jantung akibat gangguan dari pengangkutan
bilirubin ke dalam peredaran darah. Pada keadaan ini disertai dengan tanda-tanda
kelelahan jantung, yang dapat diatasi maka kadar bilirubin akan normal kembali
dan harus dibedakan dengan chardiac chirrhosis yang tidak selalu disertai
bilirubinemia. Peningkatan yang lain terjadi pada bilirubinemia akibat hemolisis
atau eritropoesis yang tidak sempurna, biasanya ditandai dari anemia hemolitik yaitu
gambaran apusan darah tepi yang abnormal dan umur eritrosit yang pendek
(Rosida, 2016).
d. Albumin
Serum Albumin merupakan enzimtransaminase yang di hasilkanterutama
oleh sel-sel hati. Bila sel-selliver rusak, misalnya pada kasushepatitis atau sirosis,
biasanya enzimini meningkat makanya, lewat hasil teslaboratorium keduanya
dianggapmemberi gambaran adanya gangguanhati. Karena hati memiliki multi
fungsiyang berkaitan dengan metabolisme,maka pemeriksaan fungsi hati
meliputiberbagai pemeriksaan antara lain kimia klinik (Indrawati dkk, 2019)
e. Alkali fosfatase

Hati merupakan organ intestinal terbesar sebagai pusat metabolisme tubuh


dengan fungsi yang sangat kompleks. Pemeriksaan uji fungsi hati sering diminta
klinisi untuk penapisan dan deteksi adanya kelainan atau penyakit hati,
menegakkan diagnosis, menilai hasil pengobatan, serta menilai prognosis penyakit
hati. Salah satu pemeriksaan uji fungsi hati yaitu alkali fosfatase (Rosida, 2016).
Alkali fosfatase merupakan metaloenzim yang mengandung Zn sebagai
bagian integral molekul, serta memerlukan Co2+, Mg2+ atau Mn2+ sebagai
aktivatornya. Alkali fosfatase ditemukan sebagian besar di hati, tepatnya di dalam
mikrovili dari kanalikuli empedu dan pada permukaan sinusoidal dari hepatosit.
Alkali fosfatase disekresi melalui saluran empedu serta kadarnya meningkat
dalam darah, apabila terjadi sumbatan saluran empedu, penyakit tulang dan hati.
Pemeriksaan alkali fosfatase merupakan pemeriksaan aktivitas enzim yang harus
dilakukan dengan teliti, sehingga aktivitas yang terukur berbanding lurus dengan
jumlah enzim yang ada di dalam sampel (Gaw, 2011).

2. Renal Function Test (RFT)


a. BUN
Ureum merupakan hasil ekskresi terbesar dari metabolisme protein. Setelah
disintesis di dalam hati, ureum dibawa ke dalam darah menuju ginjal dan difiltrasi
oleh glomerulus, ureum direabsorbsi di tubulus proksimal. Penurunan fungsi
ginjal dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum karena ekskresi ureum dalam
urin menurun. Hal tersebut dapat terjadi pada gagal ginjal akut atau
Kadar ureum dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan
eksresi urea. Ureum dalam darah merupakan unsur utama yang dihasilkan dari
proses penguraian protein dan senyawa kimia lain yang mengandung nitrogen.
Ureum dan produk sisa yang kaya akan nitrogen lainnya, secara normal akan
dikeluarkan dari dalam pembuluh darah melalui ginjal, sehingga peningkatan
kadar ureum dapatmenunjukan terjadinya kegagalan fungsi ginjal (Sarihati dkk,
2014)
b. Asam Urat
Asam urat merupakan produk akhir metabolisme purin yang berasal dari
metabolisme dalam tubuh/ faktor endogen (genetik) dan berasal dari luar tubuh/
faktor eksogen (sumber makanan). Asam urat dihasilkan oleh setiap makhluk
hidup sebagai hasil dari proses metabolisme sel yang berfungsi untuk memelihara
kelang-sungan hidup.1 Peningkataan kadar asam urat dapat mengakibatkan
gangguan pada tubuh manusia seperti pada daerah persendian dan sering disertai
timbulnyarasa nyeri. Hal ini disebabkan oleh penum-pukan kristal dalam sendi
yang terjadi akibat adanya peningkatan kadar asam urat dalam darah; penyakit ini
disebut penyakit gout (Mantiri dkk, 2017).
Kadar asam urat dalam darah ditentu-kan oleh keseimbangan antara
produksi dan ekskresi. Bila keseimbangan ini terganggu maka dapat menyebabkan
peningkatan kadar asam urat dalam darah atau hiperurisemia. Penderita akan
cenderung mengalami pirai (gout). Penyebab hiper-urisemia karena produksi yang
berlebihan atau ekresi yang menurun ditemukan antara lain pada penyakit ginjal
kronik (Mantiri dkk, 2017).
c. Kreatinin
Kreatinin merupakan limbah molekul kimia yang dihasilkan dari
metabolisme otot. Kreatinin dihasilkan dari keratin, yang merupakan molekul yang
sangat penting dalam produksi energi di otot. Kreatinin sebagian besar dijumpai di
otot rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatinin fosfat,
dalam sintesis ATP dari ADP, kreatinin fosfat diubah menjadi kreatinin dengan
katalisasi enzim kreatinin kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian
energi sehingga dihasilkan kreatinin fosfat. Pada proses metabolisme kreatinin,
sejumlah kecil kreatinin diubah secara ireversibel menjadi kreatin, yang dikeluarkan
dari sirkulasi oleh ginjal. Kreatinin diangkut melalui aliran darah ke ginjal. Ginjal
menyaring sebagian besar kreatinin dan membuangnya ke dalam urine.Kadar
kreatinin akan berubah sebagai respon terhadap disfungsi ginjal, sedangkan kadar
ureum akan berubah sebagai respons terhadap dehidrasi dan pemecahan protein
(Suryawan dkk, 2016).
3. Lipid Profil
a. Kolesterol total

Kolesterol adalah salah satu lemak tubuh yang berada dalam bentuk bebas
dan ester dengan asam lemak, serta merupakan komponen utama selaput sel otak
dan saraf. 80% kolesterol dihasilkan dari dalam tubuh (pembentukan oleh hati)
dan 20 % sisanya dari luar tubuh (makanan yang dikonsumsi). Kolesterol adalah
produk khas hasil metabolisme hewan dan produk olahannya seperti kuning telur,
daging, hati, otak, susu, keju, mentega, dan lainlain. Kolesterol yang berasal dari
makanan jarang dalam bentuk kolesterol bebas,biasanya berbentuk kolesterol
dengan asam lemak atau sering disebut ester kolesterol. Kolesterol hanya terdapat
pada sel-sel hewan dan manusia, tidak terdapat pada sel tumbuh-tumbuhan.
Jumlah keseluruhan kolesterol yang ada pada tubuh di sebut kolesterol total.
Metabolisme tubuh dan kinerja jantung akan terganggu bila kadar LDL dalam
darah tubuh lebih banyak daripada kadar HDL.
b. Low density lipoprotein (LDL)

LDL sering disebut sebagai kolesterol jahat karena dapat menempel pada
pembuluh darah. LDL atau sering juga disebut sebagai kolesterol jahat, LDL
lipoprotein deposito kolesterol bersama didalam dinding arteri, yang menyebabkan
terjadinya pembentukan zat yang keras, tebal, atau sering disebut juga sebagai plakat
kolesterol, dan denganseiring berjalannya waktu dapat menempel didalam dinding
arteri dan terjadinya penyempitan arteri. Kolesterol LDL adalah lipoprotein yang
paling banyak mengangkut kolesterol. apabila kadar kolesterol terlalu tinggi , maka
semakin membentuk plak kolesterol dinding pembuluh darah. karena itu koloesterol
LDL disebut dengan kolesterol jahat (Ridayani dkk, 2018)
c. High density lipoprotein (HDL)

HDL (High density lipoprotein) merupakan lemak yang dapat melarutkan


kandungan LDL dalam tubuh. HDL kerap di sebut sebagai lemak yang baik, karena
dalam operasinya ia membersikan kolesterol-LDL dari dinding pembuluh darah
dengan mengangkutnya kembali ke hati.Obesitas adalah salah satu akibat dari
kurangnya pengontrolan makanan yang berakibat serius bagi kesehatan (Ridayani
dkk, 2018)
HDL kolesterol adalah lipoprotein yang mengandung banyak protein dan
sedikit lemak. HDL berperan dalam membalikan transport kolesterol,yang
memungkinkan organ hati untuk membuang kelebihan kolesterol dalam jaringan
perifer. HDL memungutkolesterol ekstra darisel-sel dan jaringan-jaringan untuk
kemudian dibawa ke hati, dan menggunakannya untuk membuat cairan empedu atau
mendaur ulangnya. Beberapa langkah dalam metabolisme HDL dapat berpartisipasi
dalam transportasi kolesterol dari lemak-sarat makrofag arteriaterosklerotik, yang
disebut sel busa, ke hati untuk sekresi ke dalam empedu. Jalur ini telah disebut
transportasi kolesterol terbalik dan dianggap sebagai fungsi pelindung klasik HDL
terhadap aterosklerosis. Sebaiknya jika kadar kolesterolHDL terlalu
rendah,kolesterol terlalu rendah,kolesterol yang dibawa”pulang” kembali kehati
menjadi sangat sedikit,sehingga, kolesterol-HDL sering disebut kolesterol baik dan
kadarnya tidak boleh rendah (Ridayani dkk, 2018).
d. Trigleserida

Trigliserida adalah lemak darah yang dibawah oleh serum lipoprotein.


Trigliserida adalah penyebab utama penyakit-penyakit arteri danbiasanya
dibandingkan dengan kolesterol dengan mnggunakan lipoprotein lektroforesis.
Pemeriksan ini biasanya dihubungkan dengan resiko penyakit vaskuler
yangmencakup penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak
danpenyakit pembuluh darah perifer. Oleh karena itu dengan mendeteksi lebih awala
memungkinkan untuk melakukan tindakan pencegahan (Sarira dkk, 2001).
Trigliserida merupakan asam lemak yang ditemukan dengan aliran darah
dengan kadar normal biasanya tidak melebihi 150 mg/dL. Pada keadaan tertentu
seperti diabetes melitus, hiperlipidemia, kegemukan dan penyakit bawaan lain, kadar
trigliserida yang meningkat dapat lebih dari 200mg/dL. yang disebut
Hipertrigliseridemia. Hipertrigliseridemia ini dapat mencapai 500 mg/dL,
1000mg/dL, bahkan kadang-kadang mencapai 2000 mg/dL (Sarira dkk, 2001).
e. Glukosa
1) Glukosa sewaktu

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu tanpa tidak
harus memperhatikan makanan terakhir yang dimakan. Pemeriksaan kadar gula
darah sewaktu adalah pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu, tanpa
ada syarat puasa dan makan. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu tidak
menggambarkan pengendalian DM jangka panjang (pengendalian gula darah
selama kurang lebih 3 bulan). Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengatasi
permasalahan yang mungkin timbul akibat perubahan kadar gula secara
mendadak
(Fahmiyah dan Latre, 2016)
2) Glukosa puasa

Pemeriksaan kadar gula darah puasa adalah pemeriksaan yang dilakukan


setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mendeteksi adanya diabetes atau reaksi hipoglikemik.Standarnya pemeriksaan ini
dilakukan minimal 3 bulan sekali (Fahmiyah dan Latre, 2016).
3) Kadar gula darah 2 jam setelah makan (Postprandial)
Pemeriksaan kadar postprandial adalah pemeriksaan kadar gula darah yang
dilakukan saat 2 jam setelah makan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi
adanya diabetes atau reaksi hipoglikemik. Standarnya pemeriksaan ini dilakukan
minimal 3 bulan sekali. Kadar gula di dalam darah akan mencapai kadar yang
paling tinggi pada saat dua jam setelah makan (Fahmiyah dan Latre, 2016)
4) HbA1C
Pemeriksaan yang lebih bisa dipercaya untuk memonitor pengontrolan
kadar glukosa darah secara objektif adalah pemeriksaan HbA1c. HbA1c adalah
protein yang terbentuk dari perpaduan antara glukosa dan hemoglobin dalam sel
darah merah. Pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan penentu untuk
mengetahui keseimbangan glukosa darah.Nilai HbA1c tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi konsentrasi glukosa darah harian dan juga gaya hidup jangka pendek pasien.
Pemeriksaan ini mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa darah selama tiga
hingga empat bulan sebelumnya (Charisma, 2017).

Pemeriksaan ini juga merupakan indikator yang sangat berguna untuk


memonitor sejauh mana kadar glukosa darah terkontrol, efek diet, olah raga, dan
terapi obat pada pasien diabetes melitus. American Diabetes Association (ADA),
International Diabetes Federation (IDF), dan European Association for the Study of
Diabetes (EASD) telah merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai salah
satu alat diagnosis diabetes melitus.10 Selain itu, pengukuran nilai HbA1c dapat
menggambarkan pendekatan yang sesuai pada penanganan diabetes melitus
(Charisma, 2017).

4. Pemeriksaan Elektrolit ( Natrium,Kalium dan Chlorida )


a. Natrium (Na)

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa


mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14n
mEq/L) berada dalam cairan intrasel.Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh
ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium,
yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium
difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal
bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi
di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi
natrium di urine <1% (Yaswir dan Ferawati, 2012).

Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium
plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipo-
osmotik seperti pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat yang
berkepanjangan, berhubungan dengan penurunan volume cairan ekstrasel seperti
diare, muntah-muntah, dan penggunaan diuretik secara berlebihan. Hiponatremia
juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan gangguan
fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit addison, serta retensi air yang
berlebihan (overhidrasi hipo-osmotik) akibat hormon Antidiuretik.Peningkatan
konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan larutan ekstrasel (dehidrasi
hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau karena kelebihan natrium dalam cairan
ekstrasel seperti pada overhidrasi osmotic atau retensi air oleh ginjal dapat
menyebabkan peningkatan osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan
ekstrasel (Yaswir dan Ferawati, 2012).
b. Kalium (K)

Kalium adalah elektrolit dalam tubuh yang berfungsi untuk mengatur irama
dan pompa jnatung, menjaga tekanan darah tetap stabil, mengatur kontraksi otot
dan metabolisme sel serta menjaga kesehatan tulang dan keseimbangan elektrolit.
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-
5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin
keseimbangan kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran
cerna tergantung dari jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan
normal mengkonsumsi 60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan
konsumsi natrium). Kalium difiltrasi di glomerulus, sebagian besar (70-80%)
direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal dan direabsorpsi
bersama dengan natrium dan klorida di lengkung henle (Yaswir dan Ferawati,
2012).

c. Chlorida (Cl)
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Pemeriksaan
konsentrasi klorida dalam plasma berguna sebagai diagnosis banding pada
gangguan keseimbangan asam-basa, dan menghitung anion gap. Hipoklorinemia
terjadi jika pengeluaran klorida melebihi pemasukan. Penyebab hipoklorinemia
umumnya sama dengan hiponatremia, tetapi pada alkalosis metabolik dengan
hipoklorinemia, defisit klorida tidak disertai defisit natrium. Hipoklorinemia juga
dapat terjadi pada gangguan yang berkaitan dengan retensi bikarbonat, contohnya
pada asidosis respiratorik kronik dengan kompensasi ginjal. Hiperklorinemia
terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada gangguan mekanisme
homeostasis dari klorida. Umumnya penyebab hiperklorinemia sama dengan
hipernatremia. Hiperklorinemia dapat dijumpai pada kasus dehidrasi, asidosis
tubular ginjal, gagal ginjal akut, asidosis metabolik yang disebabkan karena diare
yang lama dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes insipidus, hiperfungsi
status adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang berlebihan, alkalosis
respiratorik (Yaswir dan Ferawati, 2012).

F. Sub Unit Imuologi


1. Widal
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang bersifat akut, dapat disebabkan
oleh Salmonella serotipetyphi, Salmonella serotipeparatyphi A, B dan C, ditandai
dengan demam berkepanjangan, bakteremia tanpa perubahan pada sistem endotel,
invasi dan multiplikasi bakteri dalam sel pagosit mononuclear pada hati dan limpa.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat terjadi di Negara berik lim
tropis maupun sub tropis. Manifestasi klinis demam tifoiddi mulai dari yang ringan
(demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut tidak
nyaman, komplikasi pada hati dan limfa) (Setiana dan Kautsar,2016).
Uji Widal adalah suatu pemeriksaan laboratorium guna mendeteksi ada atau
tidaknya antibodi penderita tersangka terhadap antigen Salmonella typhi yaitu
antibodi terhadap antigen O (dari tubuh kuman), antigen H (flagel kuman), dan
antigen Vi (kapsul kuman). Dari ketiga antibodi, hanya antibodi terhadap antigen
H dan O yang mempunyai nilai diagnostik demam tifoid (Velinal dkk., 2016).
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen Salmonella typhimaupun mendeteksi antigen itu sendiri. Uji
Widal merupakan uji yang telah digunakan secara luas di beberapa daerah
terutama pada daerah yang tidak memiliki fasilitas untuk biakan kuman tetapi
sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut masih diperdebatkan. Prinsip
pemeriksaannya widal test adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin (Setiana dan Kautsar,
2016)
2. HBsAg
Pemeriksaan Hepatitis B surface Antigen (HBsAg) Pemeriksaan HBsAg
bermanfaat untuk menetapkan hepatitis B akut, timbul dalam darah enam minggu
setelah infeksi dan menghilang setelah tiga bulan. Bila persisten lebih dari enam
bulan, maka didefinisikan sebagai pembawa (carier). HBsAg ditemukan pada
hepatitis B akut dini sebelum timbul gejala klinik atau pada akhir masa tunas (Yulia,
2019).

Suatu protein yang merupakan selubung luar partikel HBV. HBsAg yang
positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap HBV.
HBsAg ada dalam tiga bentuk, yaitu selubung luar partikel Dane dan partikel
HBsAg lepas yang berbentuk sferik (bulat) dan partikel HBsAg yang berbentuk
ubuler (filanen).Dalam perjalanan infeksi HBV ada saat-saat ketiga bentuk
partikel tersebut bisa ditemukan dalam darah secara bersamaan.Pada infeksi HBV
akut keadaan sedangkan pada infeksi Hepatitis Kronik hal ini terjadi pada fase
reflikatif. Infeksi HBV ada saat partikel berbentuk sferik dan filament saja yang
ada dalam peredaran darah, misalnya pada fase integrasi yang merupakan fase
nonreflikatif (Kalma, 2016).

Metode rapid test seringdigunakan sebagai test screening awal


dalampemeriksaan HBsAg. Metodeimmunochromatography rapid test inimemiliki
sensitivitas dan spesifisitas yangcukup tinggi yaitu > 99% dan 97%
sehinggaakurasi dari hasil pemeriksaan menggunakanmetode rapid dapat
dipercaya.Hasil reaktif terhadappemeriksaan HBsAg menunjukkan adanyaantigen
Hepatitis B pada darah danmenunjukkan yang bersangkutan tvirus Hepatitis B.
Hasil non reaktif terhadappemeriksaan HBsAg menunjukan tidakadanya antigen
virus Hepatitis B yang berartibahwa yang bersangkutan tidak sedangterinfeksi
virus Hepatitis B (Ulum dkk., 2016).

3. Anti-HCV
Anti-HCV merupakan salah satu pemeriksaanyang dilakukan untuk
pemeriksaan antibodi HCV yang terdapat didalam serum penderita.Antibodi ini akan
terbentuk didalam serumapabila penderita sedang terinfeksi oleh virushepatitis C.
Deteksi dini inidapat dilakukan menggunakan rapid testyang mempunyai beberapa
keuntungan yaitumudah tersedia, mudah dilakukan dan murah (Arief, 2012).

Respon imun yang terjadi apabila HCV masuk kedalam hepatosit yaitu
antigen darivirus yang dibuat di dalam sitosol hepatositakan merangsang MHC untuk
membuatpolipeptida yang mengangkut antigentersebut ke permukaan sel untuk diikat
olehreseptor dari limfosit T CD8 sehingga sel initeraktivasi. Limfosit T CD8 yang
teraktivasitersebut akan mengeluarkan sitokin yangmenghancurkan sel hepar dan
virus yangberada di dalamnya (Al-aque dkk.,2016).

HCV yang berada ekstraseluler dapatditangkap oleh beberapa reseptor pada


permukaan limfosit B, dimasukan kedalam vokuol, kemudian diproses oleh
permukaan limfosit B serta ditangkap oleh reseptor limfosit T CD4. Sel CD4 yang
teraktivasi akanmenjadi sel plasma yang dapat mengeluarkan antibodi spesifik
terhadap antigen HCV. Perjalanan tersebut biasanya terjadi 11-12 minggu setelah
infeksi. Uji anti-HCV dapat melacak antibodi tersebut selama7-8 minggu setelah
infeksi. Namun pada beberapa kasus, antibodi tersebut baru timbul setelah infeksi
berjalan setelah 6-12 bulan (Al-aque dkk.,2016).
Metode pemeriksaan yang digunakan adalahrapid test chromatographic
immunoassayyang memiliki prinsip spesimenserum/plasma akan bereaksi dengan
partikel HCV yang ada pada alat, kemudiancampuran tersebut bermigrasi
menujumembran pada alat kromatografi denganaksi kapiler untuk bereaksi dengan
HCV rekombinan pada membran sehinggamenimbulkan garis warna.Hasil non reaktif
terhadap pemeriksaan anti-HCV menunjukkan tidak adanya antibody virus Hepatitis
C yang berarti bahwa yangbersangkutan tidak sedang terinfeksi virusHepatitis C.
Namun, hasil non reaktif denganmenggunakan uji rapid yang sifatnyakualitatif ini
perlu dilakukan pemeriksaanulang pada 2-3 bulan kedepan untukmemastikan pasien
tidak terinfeksi virusHepatitis C karena virus Hepatitis C memilikimasa inkubasi 15-
180 hari. Negatif palsu juga didapatkan padapenderitaimunokompromised, misalnya
padapenderita transpalansi organ, hemodialisis,penderita HIV, dan juga pada
awalperjalanan penyakit dengan adanya windowsperiode yakni belum terbentuknya
antibodi (Arif, 2012)
4. Anti-HIV

Rapid Test untuk deteksi Anti-HIV telah banyak digunakan selama dekade
terakhir. Dasar rapid test adalah Immunokromatografi untuk deteksi antibody HIV-1
dan antibodi HIV-2 secara kualitatif. Pemeriksaan di atas mudah dilakukan, tidak
memerlukan peralatan khusus serta tidak memerlukan tenaga terlatih. Hasilnya dapat
dibaca kurang dari 30 menit. Karena itu rapid test sangat berguna untuk membantu
menetapkan status medis pada orang yang diduga terinfeksi HIV sehingga dapat
mengurangi penularan infeksi karena hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu yang
singkat dan pasien dapat segera ditangani. Metode ini tidak memerlukan peralatan
untuk membaca hasilnya, tetapi cukup dilihat dengan kasat mata, sehingga jauh lebih
praktis (Hartono, 2013).

Dalam melaksanakan tes HIV, perlu merujuk pada alur tes sesuai dengan
pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur
serial, alur diagnosis HIV. Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama
memberi hasil non-reaktif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil
tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel
yang sama dengan menggunakan reagen yang berbeda dari yang pertama. Hasil tes
kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka dilanjutkan dengan tes HIV ketiga.
Standar Nasional untuk tes HIV adalah menggunakan alur serial karena lebih murah
dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama member hasil reaktif saja.
Pengendalian HIV dan AIDS Nasional menggunakan strategi III dengan tiga jenis
reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya, dengan urutan yang
direkomendasikan yaitu reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%, reagen
kedua memiliki spesifisitas minimal 98%, dan reagen ketiga memiliki spesifisitas
minimal 99%. Jika spesimen mengandung antibodi HIV maka akan timbul garis
warna pada garis tes. Hasil dinyatakan reaktif apabila ditemukan dua atau tiga garis
berwarna ungu kemerahan, yang salah satu garis berada pada daerah kontrol, hasil
dinyatakan Non Reaktif apabila ditemukan satu garis berwarna ungu kemerahan yang
berada pada daerah kontrol, serta dinyatakan Invalid ketika tidak ditemukan garis
berwarna ungu kemerahan pada daerah kontrol saja maupun pada control dan tes
(Depkes, 2013)
5. Thyroid stimulating hormon (TSH)
Untuk mengatur kecepatan sekresi tiroid sesuaikebutuhan metabolisme
tubuh terdapat suatu mekanismeumpan balik spesifik yaitu hipotalamus dan
kelenjerhipofisis anterior, meningkatnya hormon tiroid dalam tubuhmerupakan
mekanisme hormon pada hipotalamus berupaThyrotropin Releasing Hormone (TRH)
yang membuathipofisis anterior mensekresikan Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
sehingga merangsang tiroid mensekresikan T4 dan T3. Pada keadaan
meningkatnyahormon tiroid dalam tubuh mengakibatkan T4 dan T3meningkat
sehingga membuat TSH menurun akibatnyamekanisme penghambatan pada hipofisis
anterior danpenghambat pada hipotalamus. Jadi pada penderita yangmengalami
peningkatan sekresi tiroid (Hipertiroid),terjadilah peningkatan T4 dan T3 diikuti
penurunan TSH.4Hormon tiroid yang dihasilkan oleh kelenjar tiroidmempunyai efek
spesifik terhadap berbagai metabolismesel, termasuk metabolisme lipid (Syuhada dan
Rafie 2015)
Thyroid stimulating hormon (TSH) merupakan jenis hormon dalam bentuk
glikoprotein yang sekresikan oleh hipofisis anterior. Sejumlah kondisi dapat
mempengaruhi TSH, yaitu pengukurannya dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara
kadar TSH dan tanda klinis pasien. Di pasien berpenyakit akut, nilai TSH di individu
tiroid mengalami peningkatan. Sejumlah faktor seperti: kortisol, dopamin dan sitokin
mempengaruhi hasilan TSH. Bentuk abnormal TSH dapat ditemukan di individu yang
menderita hipotiroidisme sentral. Penurunan sialilasi TSH umum ditemukan di
hipotiroidisme sentral dan mengakibatkan kerendahan bioaktivisitas dan peningkatan
paruh waktu TSH. Pengukuran kadar TSH dapat dipengaruhi oleh antibodi heterofil
dan faktor rheumatoid sehingga menyebabkan peningkatan kadar TSH palsu
(Kirniawan dan Arif, 2015).
Perubahan nilai hormon tiroid dari nilai normalpada pasien hipertiroid terjadi
karena peningkatan pertumbuhan kelenjar tiroid, adanya gangguan dihipofisisanterior
dan produksi hormon tiroid. Kondisi ini membuatkelenjar tiroid menjadi lebih aktif
dalam hal memproduksihormon tiroid. Sehingga, terjadilah peningkatan kadarhormon
tiroid yang beredar disirkulasi. Peningkatan kadarhormon tiroid disirkulasi akan
menekan produksi TSHdihipofisis dengan mekanisme umpan balik negatif agarfungsi
TSH sebagai salah satu pencetus produksi hormontiroid dapat dibatasi fungsinya dan
meminimalisir lonjakankadar hormon tiroid yang terjadi. Hal inilah
yangmenyebabkan terjadinya penurunan kadar TSH serumpada pasien hipertiroid
(Syuhada dan Rafie, 2015).

6. Free T4 (FT4)

Dua macam hormone utama yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yaitu Tiroksin
(T4) dan Triiodotironin (T3).3 Dalam sirkulasi darah, kadar T4 jauh lebih banyakjika
dibandingkan dengan kadar T3 sehingga hal tersebut akan lebih memudahkan
pendeteksian kadar T4 tetapi tetap tidak mengabaikanT3. Hal tersebut didasarkan
kenyataan bahwa pada akhirnya hamper semuadari T4 akan diubah menjadi T3 di
perifer karena T3 tersebut mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan
reseptortiroid di inti sel-sel target dengan afinitas 10 kali lebih besar dibandingkan
dengan T4 dan mempunyai aktivitas yang secara proporsional lebih besar pula.
Sebagian besar T3 dan T4 terikat secara reversible dengan protein plasma dalam
sirkulasi darah seperti Thyroxine-binding-globulin (TBG) untuk diangkut
kejaringanperifer, sedangkan sebagian lagi beredar bebas tanpaterikat dengan protein
sebagai freeT4 (FT4) dan FreeT3 (FT3) (Kurniawati dkk., 2015).
Ekses yodium yang bersifat akut dapat menyebabkan hipotiroid karena
terjadi hambatan pelepasan hormone tiroid oleh kadar yodium yang tinggi, sedangkan
jika keadaan ini berlangsung lama (kronik) dapat meningkatkan aktvitas kelenjar
tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme yang dikenal sebagai iodine-induced
hyperthyroidism atau IIH. Pada umumnya, IIH hanya terjadi pada mereka yang
memiliki resiko tinggi kelainan tiroid seperti pada mereka yang fungsi tiroidnya
independen terhadap stimulasi TSH atau mereka yang kelenjar tiroidnya secara parsial
bersifat otonom, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan IIH ditemukan pada
orang dengan fungsi tiroid normal, tetapi keadaan tersebut dapat ditekan apa bila
asupan yodium dihentikan sehingga akan kembali pada status eutiroid. Pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui fungsi tiroid salah satunya adalah dengan memeriksa
kadar FT4 serum (Kurniawati dkk.,
2015).
G. Sub Unit Klinik Rutin
1. Pemeriksaan urinalisa
Urinalisis adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
menegakkan berbagai diagnosis. Banyak produk akhir metabolisme dan berbagai
zat lainnya diekskresikan melalui urin. Pemeriksaan urinalisis selain memberikan
indikasi kondisi ginjal sebagai organ ekskresi, juga mampu memberikan indikasi
berbagai kondisi sistemik seseorang. Itu sebabnya urinalisis merupakan salah satu
pemeriksaan laboratorium yang sering diminta oleh seorang dokter (Indranila &
Puspito, 2012).
a. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan makroskopik urin merupakan salah satu jenis urinalisis yang
dilakukan untuk melihat volume, warna, kejernihan, dan bau pada urin (Mustikawangi
et al., 2016).
1) Warna urine. Urin normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit
berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas
warna sesuai dengan konsentrasi urin, urin encer hampir tidak berwarna, urin
pekat berwarna kuning tua atau sawo matang.
2) Bau urine. Urine baru, pada umumnya tidak berbau keras. Baunya disebut pesing,
disebabkan karena adanya asam-asam yang mudah menguap. Bau urine dapat
dipengaruhi oleh makanan/ minuman yanga dikonsumsi. Apabila urine dibiarkan
lama, maka akan timbul bau amonia, sebagai hasil pemecahan ureum. Aceton
memberikan bau manis dan adanya kuman akan memberikan bau busuk pada
urine.
3) Volume urine. Pada orang dewasa, normal produksi urine sekitar 1,5 L dalam 24
jam. Jumlah ini bervariasi tergantung pada luas permukaan tubuh, konsumsi
cairan, dan kelembaban udara/ penguapan.
4) Kejernihan urine. Urine baru dan normal pada umumnya jernih. Kekeruhan
biasanya terjadi karena kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urin asam) atau
fosfat (dalam urin basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan selular
berlebihan atau protein dalam urin .
b. Pemeriksaan kimiawi
Menurut literature (Shanthi et al., 2016) parameter kimia urine yang
diperiksa menggunakan carik celup urine adalah:
1) pH urine. Pemeriksaan pH urine berdasarkan adanya indicator ganda (methyl red
dan bromthymol blue), dimana akan terjadi perubahan warna sesuai pH yang
berkisar dari jingga hingga kuning kehijauan dan hijau kebiruan. Rentang
pemeriksaan pH meliputi pH 5,0 sampai 8,5.
2) Berat jenis (BJ) urine. Penetapan berat jenis urin menggunakan strip reagen
lebih praktis, cepat, dan tepat daripada metode konvensional. Strip mengandung
tiga bahan utama, yaitu polielektrolit, substansi indikator dan buffer. Pembacaan
dilakukan dalam interval 0,005 dari berat jenis 1,000 sampai 1,030. Urine yang
mengandung glukosa atau urea tinggi menyebabkan berat jenis cenderung tinggi
dan protein sedang atau ketoasidosis dapat menyebabkan berat jenis cenderung
rendah
3) Leukosit urine. Uji strip reagen mendeteksi esterase leukosit yang ditemukan
dalam granula azurofilik leukosit granulositik (neutrofil,eosinofil dan basofil),
serta monosit dan makrofag. Prinsipnya adalah aksi esterase leukosit memecah
ester yang diresapkan dalam pad reagen membentuk senyawa aromatik. Segera
setelah hidrolisis ester, reaksi azocoupling terjadi antara senyawa aromatik yang
dihasilkan dan garam
azodium yang disediakan dalam pad tes menghasilkan warna azo dari krem
sampai ungu
4) Nitrit. Dasar tes kimia nitrit adalah kemampuan bakteri tertentu untuk
mereduksi nitrat (NO3) menjadi nitrit (NO2). Nitrit terdeteksi oleh reaksi Greiss,
dimana nitrit pada pH asam bereaksi dengan amina aromatik (asam p-arsanilat
atau sulfanilamide) membentuk senyawa diazonium yang kemudian bereaksi
dengan tetrahidrobenzoquinolin menghasilkan warna azo yang merah muda
5) Protein urine. Prinsip pemeriksan protein ini berdasarkan albumin tes. Pada daerah
tes diberikan reagen penyangga yang mampu mempertahankan pH daerah
pereaksi dan indikator tetrachlorophenol-tetrabromosulfophtalein. Albumin
menyebabkan perubahan pH, perubahan warna dari kuning menjadi hijau.
6) Glukosa urine. Strip reagen untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa
oksidase dan peroksidase, serta zat warna (kromogen), seperti orto-tuluidin,
kalium iodida, tetrametilbensidin atau 4- aminoantipirin. Perubahan warna yang
terjadi tergantung pada kromogen yang digunakan dalam reaksi.
7) Keton. Strip reagen berisi sodium nitroprusid (nitroferisianida) dan buffer basa
yang bereaksi dengan keton urine membentuk warna ungu atau merah marum.
8) Urobilinogen. Tes skrining urobilinogen didasarkan pada reaksi aldehid Erlich,
dimana urobilinogen beraksi dengan senyawa diazonium (pdimethylamino
benzaldehyde) dalam suasana asam membentuk warna merah azo. Namun, adanya
bilirubin dapat mengganggu pemeriksaan karena membentuk warna hijau
9) Bilirubin, Pemeriksaan rutin terhadap bilirubin urin dalam strip reagen
menggunakan reaksi diazo. Bilirubin bereaksi dengan garam diazoniu dalam
suasana asam menghasilkan azodye, dengan warna mulai dari coklat atau merah.
10) Eritrosit . Pemeriksaan dengan strip reagen mendeteksi eritrosit, hemoglobin
bebas, maupun mioglobin, namun reaksi sensitive terhadap hemoglobin dan
mioglobin daripada eritrosit. Pada reagen diresapi dengan kromogen
tetrametilbenzidin dan peroksida. Adanya eritrosit utuh akan memberikan reaksi
berupa bintik – bintik hijau, sedangkan hemoglobin bebas dan mioglobin akan
memberikan warna hijau atau hijau- biru tua
c. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan guna melihat unsur-unsur sedimen


urine. Sedimen dibagi atas dua golongan yaitu organik dan non organik. Sedimen
golongan organik terdiri dari sel epitel, leukosit, eritrosit, silinder, benang lendir,
spermatozoa, parasit dan bakteri. Sedangkan untuk sedimen golongan non organik
terdiri dari bahan amorf dan kristal-kristal (Gandasoebrata, 2013).
2. Pemeriksaan Plano Pregnancy Test (PP Test)
HCG (Human Chorionic Gonadotropin) merupakan suatu hormon yang
dihasilkan oleh jaringan plasenta yang masih muda dan dikeluarkan lewat urin.
Hormon ini juga dihasilkan bila terdapat proliferasi yang abnormal dari jaringan
epitel korion seperti molahidatidosa atau suatu chorio carsinoma. Kehamilan akan
ditandai dengan meningkatnya kadar HCG dalam urin pada trimester I, HCG
disekresikan 7 hari setelah ovulasi. Pemeriksaan HCG dengan metode
immunokromatograÞ merupakan cara yang paling efektif untuk mendeteksi
kehamilan dini (Agnes Sri Harti et al., 2013)
Deteksi kehamilan dengan mengukur beta-HCG urin diantaranya adalah
dengan metode aglutinasi (direct atau indirect) dan metode strip. Keduanya
berdasarkan reaksi pembentukan kompleks antigen-antibodi (immunoassay). Metode
aglutinasi dapat mendeteksi adanya beta-HCG di urin minimal 200 mIU/ml
sedangkan metode strip lebih sensitif yaitu minimal 20-25 mIU/ml.Metode strip ini
yang lazim dilakukan karena selain lebih sensitif juga lebih praktis, Pada kehamilan
biasanya terjadi perubahan pada seluruh tubuh, terutama oleh pengaruh hormon-
hormon somatotropin, estrogen dan progesterone (Renowati & Suharlina, 2018)
Pemeriksaan HCG immunokromatograÞ merupakan reaksi antara urine
wanita hamil yang mengandung α dan β HCG (monoclonal HCG lengkap) dengan
anti α dan anti β HCG pada test line (T) dan control line (C). Apabila stick planotest
dimasukkan dalam urine, maka urine akan meresap secara kapiler, sehingga terjadi
ikatan antara urine yang mengandung α dan β HCG dengan anti α dan anti β HCG
pada test line (T) dan control line (C) akibatnya akan timbul garis warna merah pada
test line (T) dan control line (C), garis warna merah ini menunjukkan hasil yang
positif. Dan apabila garis warna merah tidak tampak pada test line (T) atau hanya
terdapat pada control line (C) menunjukkan hasil test yang negative, karena tidak
terjadi reaksi antara monoklonal HCG lengkap dengan anti α dan anti β HCG. Garis
warna merah yang terjadi pada test line (T) dapat terjadi karena pada test telah
disensitisasi Ag dan konjugat ditambah urine
sehingga kromogen berikatan dengan Ab maka akan terbentuk reaksi garis warna
merah. Konjugat berisi Ab yang ditempeli enzyme jika kromogen bereaksi dengan
enzyme (peroksidase), maka warna tereduksi sehingga tidak terbentuk warna
merah tetapi apabila warna teroksidasi akan terbentuk warna merah pada test line
(T) (Agnes Sri Harti et al., 2013).
Test kehamilan metode ini terutama digunakan untuk mendeteksi kehamilan
pada awal setelah terjadinya ovulasi. HCG dapat di deteksi dalam urine wanita
hamil kira-kira 7 hari setelah pembuahan sel telur. Dengan adanya HCG maka akan
sangat membantu dalam penentuan diagnose kehamilan dini. Pemeriksaan ini
menunjukkan hasil yang positif lebih besar apabila digunakan urine pagi hari karena
lebih konsentrat sehingga mengandung lebih banyak HCG per satuan volume (Agnes
Sri Harti et al., 2013).
Keuntungan pemeriksaan HCG secara immunokromatograÞ yaitu cepat,
sehingga waktu yang dibutuhkan sangat singkat, mudah didapat karena
diperdagangkan secara komersil, pesien dapat melakukan sendiri tanpa pergi ke RS,
puskesmas, atau pada bidan setempat, hasil pemeriksaan mudah dibaca sehingga tidak
perlu diragukan. Kekurangan metode ini yaitu tidak diketahui kadar HCG secara
pasti, membutuhkan biaya yang mahal (Agnes Sri Harti et al., 2013)

3. Pemeriksaan narkoba
Tes urin merupakan alat deteksi sederhana untuk mengetahui kandungan paparan
narkoba dalam tubuh yaitu dengan mengunakan rapid tes yang dimasukkan kedalam
tabung/ pot berisi urin untuk mengetahui enam parameter zat narkoba yaitu marijuana,
morfin, amphetamine, methamphetamine, ekstasi dan kokain (Inassa, 2019)
Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan
konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada
golongan yang besar atau metabolitnya dengan hasil presumptif positif dan negatif.
Secara umum pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif,
tidak mahal dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima, walaupun
kurang spesifik dan dapat menyebabkan hasil positif palsu karena terjadinya reaksi
silang dengan substansi lain dengan struktur kimia yang mirip. Pada pemeriksaan
skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay dengan prinsip
pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Pemeriksaan
skrining dapat dilakukan diluar laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay)(Rambe,2017).
Strip Test adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan yaitu
reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam specimen urine
dan bersaing melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama
pengujian, spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip
pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Spesimen urine
dengan hasil positif tidak akan membentuk garis berwarna pada daerah garis uji
karena persaingan obat, sementara spesimen urine dengan hasil negatif akan
menghasilkan garis di daerah uji karena adanya kompetisi obat. Berfungsi sebagai
kontrol prosedural, garis berwarna akan selalu muncul di garis kontrol, menunjukkan
bahwa jumlah spesimen yang tepat telah ditambahkan (Rambe, 2017)
Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada
pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan
hasil positif palsu. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas
chromatography/mass spectrometry (GC/MS) atau liquid chromatography yang dapat
mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat bereaksi silang dengan
substansi lain. Kekurangan metode konfirmasi adalah waktu pengerjaannya yang
lama, membutuhkan keterampilan tinggi serta biaya pemeriksaan yang tinggi (Rambe,
2017).

H. Sub Unit Mikrobiologi


1. Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA)
Tuberculosis adalah Penyakit yang dapat menyerang berbagai organ atau
jaringan tubuh, terutama yang paling sering pada paru–paru manusia. Penyakit TB
disebabkan oleh bakteri Mycobakterium tuberculosis (M.tuberculosis), bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal BTA. M. tuberculosis
sulit tumbuh pada biakan, dibutuhkan maksimal 90-100 hari pengamatan biakan
untuk memastikan hasil negatif pada pertumbuhan BTA. Hal ini yang
menyebabkan pemeriksaan mikroskopis BTA menjadi sangat penting
dibandingkan dengan biakan BTA, dalam waktu kurang dari tiga hari seseorang
dapat skrining BTA menggunakan sistem pemeriksaan SPS ( Sewaktu, pagi,
sewaktu ) dari bahan pemeriksaan sputum sehingga hasil pemeriksaan BTA SPS
dianggap sebanding dengan pemeriksaan kultur BTA (S. Siregar et al., 2017).

Diagnosis TB harus dilakukan secara cepat dan tepat karena menentukan


langkah terapi yang akan diberikan. Penegakan diagnosis TB dilakukan
berdasarkan pemeriksaan BTA dalam dahak. Pemeriksaan mikroskopis pada
teknis pelaksanaannya masih ditemukan kendala ketepatan diagnosis.
Pemeriksaan foto thoraks juga dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis
meskipun tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Bakteri Mycobacterium
tuberculosis (MTBC) mempunyai berbagai strain yang menentukan manifestasi
klinisnya sehingga diperlukan beberapa metode
pemeriksaan secara serial untuk deteksi dan identifikasi strain bakteri MTB, selain
pemeriksaan mikroskopis BTA (Khariri, 2020)

Pemeriksaan secara serial untuk TB meliputi tes pemeriksaan


mikroskopis BTA, tes cepat molekuler cepat GeneXpert, metode molekuler
polymerase chain reaction (PCR), metode kultur duplo pada media Lowenstein
Jensen (LJ) dan Middlebrook (MB) 7H10 dengan komplemen tes antigen MPT64
(SD Bioline). Pengembangan metode pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB
telah banyak dilakukan seperti metode mikroskopis untuk deteksi BTA pada
sediaan dahak pasien, pengembangan metode kultur atau pembiakan bakteri yang
ditemukan dalam sampel dahak, metode molekuler polymerase chain reaction
(PCR) dan molekuler lainnya, serta pengembangan teknik radiologis (Khariri,
2020)
Salah satu tes yang dapat dilakukan dengan cepat yaitu GeneXpert.
GeneXpert merupakan penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain
Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen
rpoB pada M. tuberculosis, yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah
sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridge sekali
pakai. Penelitian invitro menunjukkan batas deteksi kuman TB dengan metode
RT-PCR GeneXpert minimal 131 kuman/ml sputum. Waktu hingga
didapatkannya hasil kurang dari dua jam dan hanya membutuhkan pelatihan yang
simpel untuk dapat menggunakan alat ini (Kurniawan et al., 2016)
Teknik pemeriksaan dengan metode RT-PCR GeneXpert didasarkan pada
amplifikasi berulang dari target DNA dan kemudian dideteksi secara fluorimetrik.
Teknik ini dapat mengidentifikasigen rpoBM. tuberculosis dan urutannya secara
lebih mudah, cepat dan akurat. Gen ini berkaitan erat dengan ketahanan sel dan
merupakan target obat rifampisin yang bersifat bakterisidal pada M. tuberculosis
dan M. leprae. Penelitian pendahuluan menyatakan sensitivitas dan spesifisitas
yang cukup tinggi pada sampel saluran pernapasan untuk mendeteksi M.
tuberculosis dan sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis terhadap
rifampisin (Kurniawan et al., 2016)

2. Pewarnaan Gram

Pewarnaan secara gram adalah pewarnaan yang sangat berguna dan


paling banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi dan klasifikasi bakteri,
karena
merupakantahapan penting dalam langkah awal identifikasi. Pewarnaan ini didasar
k n pada teba  atau tipisnyalapisan peptidoglikan di dinding sel dan banyak
sedikitnya lapisan lemak pada membrane ,
sel bakteri. Jenis bakteri berdasarkan pewarnaan gram dibagi menjadi dua yaitu gr
am positif dangram negatif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang tebal
dan membran sel selapis.Sedangkan baktri gram negatif mempunyai dinding sel
tipis yang berada di antara dua lapismembran sel (Jawetz,2008). Karena
kemampuannya membedakan suatu kelompok bakteri tertentu dari
kelompoklainnya, maka pewarnaan ini juga disebut pewarnaan diferensial.
Mikroorganisme
terutama bakteri sulit dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, karena tida
k mengasorbsi ataupunmembiaskan cahaya (Jawetz,2008).
Tehnik pewarnaan merupakan cara yang banyak dipergunakan untuk melihat
struktur danmorfologi bakteri. Terdapat beberapa tehnik pewarnaan diantaranya,
pewarnaan sederhanamerupakan pewarnaan yang hanya menggunakan satu
macam larutan warna
contohnya pewarnaan sederhana dan pewarnaan negative, kemudian pewarnaan di
ferensial, merupakan pewarnaan yang menggunakan lebih dari satu macam larutan
warna, contohnya pewarnaan gram, pewarnaan tahan asam, pewarnaan kapsul,
dan pewarnaan spora (Jawetz,2008).  Sebelum melakukan prosedur pewarnaan
terhadap bakteri, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan, seperti gelas objek dibersihkan dengan menggunakan alc
ohol 70% untukmenghilangkan debu atau lemak, kemudian pewarnaan diferensial
terlebih dahulu dibuat preparat, dan fiksasi
dapat dilakukan dengan melewatkan preparat ulas diatas nyala api, adapuntujuan
dilakukan fiksasi antara lain untuk melekatkan sel bakteri pada objek glass,
mematikan sel bakteri dan lain sebagainya (Jawetz,2008).Pewarnaan yang
dilakukan merupakan pewarnaan gram. Dimana pewarnaan grammerupakan
pewarnaan yang menggunakan pewarna lebih dari satu macam yaitu kristal
violet,larutan iodine ,asam alcohol dan safranin.

I. Sub Unit Patologi Anatomi


A. Prosesing Jaringan
a) Fiksasi
- Botol 1. Buffer formalin 10% 2 jam
b) Dehidrasi
- Botol 2. Alkohol 70% 1,5 jam
- Botol 3. Alkohol 80% 1,5 jam
- Botol 3. Alkohol 95% 1,5 jam
- Botol 4. Alkohol absolute I 1 jam
- Botol 5. Alkohol absolute II 1,5 jam
- Botol 6. Alkohol absolute III 2 jam
c) Clearing
- Botol 8. Xylol I 1 jam
- Botol 9. Xylol II 1,5 jam
- Botol 10. Xylol III 1,5 jam
d) Inflitrasi Parafin
- Botol 11. Parafin cair I 1,5 jam
- Botol 12. Parafin cair II
B. Pengeblokkan/Embedding
- Alat dinyalakan→tekan tombol on/off yang terdapat didepan alat
- Dibiarkan 30 menit→untuk mencairkan parafin yang terdapat dichamber alat
- Pindahkan jaringan kedalam metal cassette dengan posisi yang sama dengan
posisi setelah pemotongan
- Tambahkan parafin cair kedalam metal cassette
- Tutup dengan plastic cassette
- Tambahkan parafin cair sampai dasar plastic cassette terendam parafin cair
- Letakkan jaringan tersebut pada cool block yang terdapat pada alat parafin
block sampai parafin mengental.
C. Pemotongan Blok Parafin
- Sebelum dipotong dengan mikrotom sebaiknya blok didinginkan terlebih dahulu
dengan cara diberi es batu atau dimasukkan dalam plastic yang sudah berisi air
kemudian masukkan dalam freezer 15 menit.
- Blok dijepitkan pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikrotom yang
memiliki kemiringan 30 terhadap blok paraffin setebal 2 - 5 mikron.
- Hasil potongan berupa pita dimasukkan ke dalam waterbath yang mana sebelumnya
sudah diisi dengan air yang dihangatkan 50 .
- Kemudian diambil dengan objek glass dan diberi nomor dengan pensil sesuai dengan
nomor registrasi blok
- Birkan 5 menit kemudian diinkubasi.
- Preparat diinkubasi pada hotplate dengan suhu 50 (dibawah titik cair paraffin)
selama 15 menit
- Untuk preparat yang akan dibaca dengan imunohistokima inkubasinya dengan suhu
37 . Selama 1 malam
D. Pengecatan/ Stainning HE
a) Deparafinisasi (Preparat masuk ke xylol I, II, III selama 3 menit)

b) Rehidrasi (Preparat masuk ke alcohol 95%, 80%, 75% selama 2 menit dan
Preparat masuk ke air mengalir 3 menit)
c) Pengecatan inti (Preparat masuk ke larutan Mayer Hematoxylin selama 7 menit)
d) Preparat masuk ke air mengalir selama 7 menit
e) Countes stain (Preprat masuk ke larutan Eosin selama 0,5 menit)
f) Preparat masuk ke air wadah I, II, III 3 celup
g) Dehidrasi (Preparat masuk ke alcohol 70%, 80%, 95%, 100% selama 3 celup)
h) Clearing (Preparat masuk ke xylol I, II selama 2 menit)
i) Mounting (Preparat diberi 1 tetes entelan dan dek glass)

Daftar Pustaka

Arif, M. (2015). Penuntun Praktikum Hematologi.


Buowari, O. Y. (2013). Complications of venepuncture. Advances in
Bioscience and Biotechnology, 04(01),
126–128. https://doi.org/10.4236/abb.2013.41a018
Firani, N. K. (2018). Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan Darah (1st
ed.). UB Press.
Iskandar, A. U. (2016). Pengambilan sampel darah.
Naid, T., F. Mangerangi, & H. Almahdaly. (2014). Pengaruh Penundaan
Waktu Terhadap Hasil Urinalisis Sedimen Urin. As-Syifaa, 06(02),
212–219.
Palomar Healt. (2014). Specimen Collection and Handling Manual Laboratory
(pp. 1–16).
Wahyuningsih, N. (2016). Paket Keahlian Analis Kesehatan Sekolah
Menengah Kejuruan. In Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2016.
Ramdhani, R., I. N. F. Mentari, & B. Atfal. (2019). VARIASI VOLUME
SAMPEL DARAH PADA TABUNG VACUTAINER EDTA
TERHADAP
PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP. Media of Medical Laboratory
Science, 3(2), 80–86.

Riyanti, R., Prihatini, & M. Y. Probohoesodo. (2006). Pengumpulan dan


Batas Pemakaian Sampel Popok pada Perbenihan Urin. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12(2), 68–70.
RSUD Klungkung. (2017). Profil : RSUD Kabupaten Klungkung Tahun
2017.
http://www.rsud.klungkungkab.go.id/public/img/filemedia/file/0isi
PROFIL RSUD 2017 (2).pdf

Yulia, D. (2020). Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium.


Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4), 247–254.
https://doi.org/10.25077/jka.v8i4.1108

Anda mungkin juga menyukai