Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MENGATASI STRES RESIKO PSIKOSOSIAL


KEKERASAN SERTA PELECEHAN
DITEMPAT KERJA

1.ELISABETH EMIFINDI RATNA NIM: 011221102

2. MARIA SUYANTI NIM: 011221095

3.MARIA KRISTINA S.TUTI WATI NIM: 011221098

4.WIHELMUS WODA NIM :011221106

PROGRAM STUDI S1 KEPRAWATAN


FAKULTAS ILMU -ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NUSA NIPA
MAUMERE
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga makalah tentang ”
Mengatasi Stress Psikososial, Kekerasan Serta Pelecehan Di Tempat Kerja’.
Makalah ini dibuat kelompok 4 untuk memenuhi tugas mata kulia Kesehatan
Dan Keselamatan Kerja

Penyusunan Makalalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara
materil dan moril untuk itu pada kesempatan ini kami mengucapakan terimakasih
kepada :

1.Orang tua yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril

2. Keluarga, suami,/istri atau anak

3. Kawan seperjuangan lintas jalur program studi S1 keperawatan UNIPA Maumere

Serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna .Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati,kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun.
Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang terlibat dalam pembelajaran Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Maumere,31 Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

JUDUL UTAMA…………………………………………………………1

Daftar Isi…………………………………………………………..............2

KATA PENGANTAR…………………………………………………….3

BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………...4

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………….6

BAB III.PENUTUP………………………………………………………..20

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tenaga kerja mempunyai peranan yang penting bagi pembangunan negara.


Oleh karena itu, perlu diperhatikan mengenai aspek kesehatan dan keselamatan
mereka, khususnya ketika sedang berada di tempat kerja. Terdapat banyak hal
yang dapat mengganggu produktivitas tenaga kerja di tempat kerja, seperti
bahaya fisik, kimia, biologi, mekanis, ergonomi, dan psikososial (Jeyaratnam
dan Koh, 2019). Maka dari itu, tidak jarang berbagai kecelakaan kerja atau
penyakit akibat kerja sering dirasakan oleh para pekerja.

Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO) tahun 2016


Terkait dengan resiko faktor psikososial, isu stres terkait kerja diakui sebagai
masalah global yang memepengaruhi semua profesi dinegara maju dan
berkembang serta sebagai tantangan utama bagi keselamatan dan keehatan
kerja( Beck and Lenhardt,2019). Stres kerja sendiri didefenisikan sebagai
respon fisik dan emosional yang terjadi ketika tuntutan pekerjaan tidak sesuai
kemampuan,sumber daya atau kebutuhan pekerja atau ketika pengetahuan dan
kemampuan individu kurang dalam mengatasi maslah tersebut. Di Indonesia
survai PPM Manajemen mendapatkan bahwa tahun 2020 ,80 % pekeja
mengalami gejala strss , mulai dari level sedang sampai level berat
( Kompas ,2020)

Berdasarkan hasil laporan pelaksanaan kesehatan kerja pada 26 Provinsi di


Indonesia tahun 2018 diketahui terdapat 428.844 kasus penyakit yang berkaitan
dengan pekerjaan. Hal ini diungkapkan sebagai angka yang tidak
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya karena banyak kasus yang tidak
terdeteksi atau terdiagnosis. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan upaya
promotif dan preventif yang lebih untuk mengatasi kasus kecelakaan maupun
penyakit akibat kerja di tempat kerja (Kementerian Kesehatan, 2018).
Pada beberapa kasus di negara maju, faktor-faktor fisik, kimia, dan biologi
sudah cenderung bisa dikendalikan karena mudah terlihat, sehingga gangguan
kesehatan akibat faktor-faktor tersebut sudah banyak berkurang. Namun saat ini
justru faktor ergonomik dan faktor psikososial yang perlu menjadi perhatian
lebih (Irwandi, 2017). Faktor psikososial yang merupakan salah satu bahaya di
tempat kerja kerap kali tidak disadari oleh para pekerja maupun pihak
manajemen.

Perlu diketahui bahwa pekerja sering mengalami situasi dan lingkungan kerja
yang tidak kondusif, seperti bekerja dalam shift, beban kerja yang berlebihan,
bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan, tidak jelasnya peran kerja, serta

4
konflik dengan teman kerja. Semua aspek tersebut merupakan beberapa faktor
psikososial yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik, mental maupun
emosional para pekerja, seperti gangguan muskuloskeletal, stres, dan penyakit
psikomatis yang menjadi penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan
pekerjaan (Kementerian Kesehatan, 2019). Sedangkan pada beberapa hasil
penelitian diketahui bahwa stres, kelelahan, serta motivasi kerja termasuk ke
dalam faktor yang sangat rentan dalam menyebabkan kecelakaan kerja (Maurits
dan Widodo, 2018).Perlu diketahui bahwa waktu maksimal yang diperkenankan
untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam atau 40 jam dalam seminggu.
Bekerja melebihi jam yang seharusnya dapat menyebabkan penurunan
kebugaran tubuh dan kelelahan (UU No. 13 Tahun 2003). Artinya, semakin
tinggi tingkat kelelahan karyawan, semakin rendah kinerja dan produktivitas
kerjanya.

Dari contoh penelitian yang disebutkan diketahui bahwa faktor psikososial


seringkali berada di sekitar tenaga kerja, baik disadari maupun tidak disadari.
Lama kerja yang melebihi batas maksimal akan membuat beban kerja
meningkat. Beban kerja merupakan salah satu faktor psikososial yang perlu
diwaspadai (Pejtersen dkk, 2020). Pada sebuah penelitian di Indonesia
ditemukan faktor psikososial lain berupa dukungan sosial. Dukungan sosial
yang rendah dapat mengakibatkan masalah kesehatan tertentu terkait pekerjaan.
Dalam hal ini ditemukan hubungan yang signifikan antara dukungan sosial
dengan stres kerja.

Selain itu pelecehan ditempat kerja dapat menimpa siapa saja dan merugikan
semua pihak.Bagi pekerja dapat menurunkan kinerja, yang selanjutnya dapat
menurunkan produktifitas kerja sehingga dapat berdampak pada kelangsungan
usaha bagi pegusahaa.setiap individu. Pada Juni 2019 konferensi Perburuan
Internasional di Genva yag mewakili unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat
pekerja dari negara negara anggotanya : Mengdopsi ILO No.190 (KILO 190)
Tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia Kerja. Ini adalah
perjanjian Internasional pertama yang mengakui hak setiap orang atas dunia
kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan berbasis Gender.Masih
terbatasnya informasi tentang data , penelitian, dan laporan analisis kasus.

Pada makalah ini akan dibahas tentang stres psikosial,kekerasan serta pelecehan
di tempat kerja, serta bagaimana cara mecegahnya serta penaganan nya.Semoga
bermanfaat.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Stres Psikososial

Psikososial dipahami sebagai faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan


sosial seseorang, atau interaksi dengan orang lain yang dapat memberikan
pengaruh terhadap perilaku seseorang, baik menghambat atau justru berdampak
positif (Djohan, 2006: 216). Menurut seorang ahli psikoanalisa bernama Erik H.
Erikson, tahapan perkembangan psikososial seseorang berlangsung melalui
delapan tahap. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa anakanak
yang menjadi dasar pembentukan kepribadian seseorang, tahap kelima terjadi
pada masa remaja, dan tiga tahap terakhir terjadi pada masa dewasa dan usia
tua. Setiap tahap dalam perkembangan psikososial memiliki dua komponen,
yakni komponen yang baik dan komponen yang tidak baik Erikson mengatakan
bahwa faktor sosial turut berpengaruh terhadap perkembangan hidup manusia
(Nurdiansyah, 2011: 264). Menurut undangundang kesehatan dan praktik
kedokteran (2009: 70) masalah psikososial merupakan masalah psikis atau
kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Oleh karena
itu, masalah atau bahaya psikososial dapat terjadi sebagai akibat atau dampak
negatif dari adanya proses interaksi sosial seseorang yang buruk. Sebaliknya,
psikososial dapatmenimbulkan dampak positif jika proses interaksi sosial
seseorang tergolong baik.

Dampak negatif dari psikososial merupakan salah satu jenis bahaya yang
berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan di tempat kerja (Jeyaratnam dan
Koh, 2019: 14). Menurut Kementerian Kesehatan (2019), faktor psikososial
dapat mengakibatkan perubahan dalam kehidupan individu, baik bersifat
psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh cukup besar sebagai
faktor penyebab terjadiya gangguan fisik dan psikis pada diri individu tersebut.
Faktor psikososial sering tidak disadari kehadirannya oleh para pekerja. Kajian
mengenai faktor psikososial di tempat kerja juga masih belum banyak
dilakukan. Adapun pembahasan mengenai psikososial masih belum
menyeluruh, meskipun telah diketahui bahwa aspek-aspek yang ada di
dalamnya cukup bervariasi. Salah satu contoh penelitian yang ada mengenai
hubungan antara dukungan sosial yang merupakan faktor psikososial dengan
kejadian stres kerja pada perawat di salah satu rumah sakit swasta di
Yogyakarta (Almasitoh, 2011). Pada sebuah buku berjudul Ultra Metabolisme
dikatakan bahwa faktor psikososial merupakan salah satu faktor pemicu stres,
yang berarti merupakan sebuah peristiwa sosial atau psikologis yang membuat
seseorang tertekan (Hyman, 2006: 158). Diketahui pula bahwa psikososial

6
berpotensi menyebabkan gangguan muskuloskeletal dan penyakit psikosomatis
yang menjadi penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan
(Irwandi, 2007). Dari beberapa pernyataan yang telah disebutkan dapat
diketahui bahwa dampak negatif dari psikososial tidak hanya berupa stres kerja.
Beberapa contoh faktor psikososial dalam kehidupan individu berkaitan dengan
peran dan harapan dari pekerjaan, keluarga, dan kegiatan komunitas (Bastable,
2002: 130). Sumber lain menyebutkan ada beberapa stresor psikososial yang
layak dipertimbangkan antara lain: pekerjaan, hubungan, situasi keuangan,
anak-anak, kelainan psikologis (depresi, kegelisahan, dan lain-lain), rendahnya
rasa percaya diri, kondisi dunia (masalah di lingkungan tempat tinggal, situasi
politik internasional, dan lain-lain). Stresor psikososial merupakan penyebab
stres yang berasal dari risiko bahaya potensial psikososial (Kementerian
Kesehatan, 2011). Sedangkan Kementerian Kesehatan (2011) menyebutkan
beberapa contoh faktor psikososial yang ada di tempat kerja meliputi: bekerja
dalam shift, beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam
pekerjaan, tidak jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Adapun
berbagai variasi faktor psikososial dari berbagai sumber pada dasarnya tetap
mempunyai ruang lingkup yang sama yakni berkaitan dengan kondisi psikologi
dan sosial seseorang.

1.1. Adaptasi Tubuh Terhadap Psikososial

Gangguan kesehatan akibat faktor psikososial tidak terjadi secara langsung


setelah paparan pertama. Para pekerja akan mengalami gejala setelah
mendapatkan paparan secara terus-menerus dan melalui proses adaptasi yang
terdiri dari tiga fase sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2011):

- Fase 1: reaksi kewaspadaan (alarm reaction). Tubuh mulai mengenali paparan


sebagai ancaman. Pada fase ini akan terjadi peningkatan produksi berbagai
macam hormon seperti hormon adrenalin dan hormon kortison. Selain itu,
terjadi perubahan koordinasi dalam sistem saraf pusat dan seluruh sistem
berubah siaga dalam waktu cepat sehingga mengakibatkan tubuh berkeringat
dingin, jantung berdebar-debar, serta darah mengalir cepat.

- Fase 2: reaksi perlawanan (resistancy reaction). Tubuh akan berupaya


melawan pajanan yang ada. Jika paparan berlangsung lama secara terus-
menerus, tubuh tidak akan mampu mengatasinya karena keterbatasan
kemampuan dan waktu penyesuaian yang terbatas.

- Fase 3: reaksi kehabisan tenaga (exhaustion reaction). Mekanisme pertahanan


tubuh berangsur menurun dan terjadi kelelahan sehingga muncul gangguan
fisik.

1.2. Gangguan Kesehatan akibat Faktor Psikososial

7
Berbagai macam gangguan kesehatan akibat dampak negatif dari faktor
psikososial berpotensi dirasakan oleh para pekerja di tempat kerja. Kementerian
Kesehatan (2011) menyebutkan setidaknya ada enam masalah kesehatan
sebagai akibat dari faktor psikososial di tempat kerja, antara lain:

1.2.1. Stres Akibat Kerja


National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) mendefinisikan
stres akibat kerja sebagai respon fisik dan emosional berbahaya yang timbul
apabila tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan
pekerja (Kementerian Kesehatan, 2011).
Stres di tempat kerja bukan merupakan fenomena baru. Penyebab dasar
terjadinya stres di tempat kerja dipicu oleh berbagai alasan. Adanya perubahan
ekonomi dan kemajuan teknologi yang pesat justru semakin menambah tekanan
para pekerja untuk menghasilkan lebih banyak produk dalam waktu yang lebih
singkat. Sebanyak dua dari tiga pekerja di suatu perusahaan mengaku
mengalami stres kerja.
Terdapat pula prakiraan klaim yang harus dikeluarkan perusahaan sebesar $200
milyar per tahun akibat stres kerja berupa masalah absen, keterlambatan,
kejenuhan, produktivitas yang semakin rendah, angka keluar-masuk tinggi,
kompensasi pekerja, dan peningkatan biaya asuransi kesehatan (National Safety
Council, 2003: 6).
Stres akibat kerja mempunyai gejala-gejala sebagai berikut (Kementerian
Kesehatan, 2011):
- Gejala fisiologis berupa otot tegang, jantung berdebar-debar, perut mual, dan
keringat dingin.
- Gejala psikologis berupa mudah marah, emosi meledak-ledak, serta mudah
panik.
- Gejala psikosomatik berupa gangguan muskuloskeletal (nyeri otot, kram),
gangguan sistem pernapasan (asma, spasmus bronchitis), gangguan
kardiovaskuler (migrain, hipertensi), gangguan kulit (eksim, jerawat), gangguan
kelenjar endokrin (hipertiroid, diabetes, infertilitas), gangguan sistem saraf
(neurostenia), gangguan mata

1.2.2. Burn Out (Kelelahan Berat/ Kejenuhan)


Burn out merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan kelelahan berat
yang prosesnya bertahap dan dalam responnya terhadap stres maupun
ketegangan fisik, mental, dan emosional yang berkepanjangan, melepaskan diri
dari pekerjaan dan hubungan bermakna lainnya. Akibatnya, karyawan akan
mudah mengalami sinisme, kebingungan, perasaan yang terkuras, merasa tidak
memiliki sesuatu lagi untuk memberi, serta produktivitas menurun. Berikut
contoh penyebab burn out yang berkaitan dengan faktor psikososial
(Kementerian Kesehatan, 2011):

8
1.2.3. Ansietas (Gangguan Cemas/ Gangguan Ansietas Menyeluruh)
Pada gangguan ansietas ini, pasien akan memperlihatkan gejala fisik yang
berkaitan dengan ketegangan, seperti: sefalgia, jantung berdebar keras,
insomnia. Selain gejala-gejala tersebut, terdapat ciri lain yang dapat diketahui
dengan pemeriksaan fisik, antara lain (Kementerian Kesehatan, 2011)

1.2.4. Depresi
Didefinisikan sebagai perasaan yang sedih dan kehilangan minat terhadap
segala sesuatu. Pada kondisi sedih, beberapa jenis neurotransmitter akan
mengalami perubahan dan terjadi pemindahan intraneuronal di otak, yang
kemudian akan menyebabkan hilangnya fungsi neuron tertentu dan hambatan
berlebih terhadap hubungan dalam synaps. Kondisi ini bisa disebabkan oleh
faktor risiko yang sama dengan penyebab stres kerja. Gejala-gejala yang
ditimbulkan antara lain (Kementerian Kesehatan, 2011)

2. Faktor-faktor Pembentuk Psikososial

2.1. Tuntutan di Tempat Kerja

Faktor ini meliputi 6 komponen, yaitu: tuntutan kuantitatif, kecepatan kerja,


tuntutan kognitif, dan tuntutan emosional, tuntutan untuk menyembunyikan
emosi, dan tuntutan sensorik. Tuntutan kuantitatif berkaitan dengan jumlah

barang produksi yang diminta. Kecepatan kerja berhubungan dengan


kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu. Tuntutan
kognitif berhubungan dengan kemampuan untuk memikirkan jawaban atau
pemecahan atas suatu masalah. Tuntutan emosional berkaitan dengan kondisi
senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Tuntutan untuk
menyembunyikan emosi berkaitan dengan pengendalian diri tehadap suatu
emosi ketika berada di tempat kerja. Tuntutan sensorik berkaitan dengan
pengaruh dari luar yang diterima oleh panca indera manusia (Pejtersen, 2010).
Pada faktor ini dijelaskan bahwa emosi tenaga kerja menyiratkan ekspresi
emosi tertentu sebagai bagian dari tugas yang berhubungan dengan klien,
pelanggan, murid atau pasien (Eurofound, 2012). Pada beberapa hasil penelitian
ditemukan bahwa tingginya tuntutan kognitif dapat berpengaruh pada
peningkatan risiko penyakit, kecelakaan kerja, serta masalah kesehatan mental.
Selain itu, dengan tuntutan emosi tinggi dan tingkat kepuasan kerja yang
rendah, diperoleh beberapa risiko kesehatan berupa kelelahan, burnout, serta
tekanan psikologis (Eurofound, 2012).
2.2. Organisasi Kerja dan Konten
Pekerjaan
faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan meliputi 6 komponen yaitu:
pengaruh, kemungkinan pengembangan, variasi, arti pekerjaan, komitmen di

9
tempat kerja, dan derajat kebebasan di tempat kerja. Pengaruh dimaksudkan
sebagai seberapa besar pengaruh seorang pekerja terhadap organisasi di tempat
dia bekerja. Kemungkinan pengembangan dimaksudkan sebagai kemungkinan
seorang pekerja untuk dapat berkembang di tempat kerjanya. Variasi
berhubungan dengan berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja di tempat
kerja. Arti pekerjaan merupakan seberapa besar arti pekerjaan tersebut bagi
pekerja. Komitmen di tempat kerja merupakan seberapa besar komitmen
pekerja terhadap pekerjaannya. Derajat kebebasan di tempat kerja dimaksudkan
untuk mengetahui apakah pekerja merasa terkekang atau tidak selama bekerja
(Pejtersen, 2010).
Faktor ini hampir sama dengan konsep job control yang terdapat di kuesioner
JCQ milik Karasek (1998). Pada faktor ini diuraikan mengenai keterampilan
kebijaksanaan dan pembangunan serta keputusan otoritas, seperti: apakah
pekerjaan tersebut menyaratkan pemecahan masalah yang tidak terduga
terhadap diri pekerja sendiri, apakah pekerja belajar mengenai hal-hal baru atau
monoton atau berulang-ulang, apakah setiap pekerja tersebut mempunyai
pengaruh terhadap permintaan tugas atau keputusan, apakah seorang pekerja
dapat beristirahat ketika dia ingin, dan lain sebagainya (Eurofound, 2012).

2.3. Hubungan Interpersonal dan


Kepemimpinan

Faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan meliputi 10 komponen,


yaitu: prediktabilitas, pengakuan (reward), kejelasan peran, konflik peran,
kualitas kepemimpinan, dukungan sosial dari atasan, dukungan sosial dari rekan
kerja, umpan balik, hubungan sosial, dan komunitas sosial. Prediktabilitas
merupakan kemungkinan untuk mendapatkan informasi terkait pekerjaan di
tempat kerja. Pengakuan atau reward berhubungan dengan apresiasi yang
didapat pekerja di tempat kerja. Kejelasan peran berarti terdapat pembagian
tanggung jawab yang jelas di antara para pekerja. Konflik peran berkaitan
dengan adanya benturan dari dua atau beberapa peran yang harus dilakukan.
Kualitas kepemimpinan berkaitan dengan seberapa baik seorang atasan dapat
menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin. Dukungan sosial dari atasan
akan menunjukkan seberapa baik hubungan antara bawahan dan atasan.
Dukungan sosial dari rekan kerja dimaksudkan untuk melihat seberapa baik
hubungan antar rekan kerja. Umpan balik dapat menggambarkan peranan aktif
dari pekerja di tempat kerja. Hubungan sosial dan komunitas sosial dapat
menggambarkan kondisi sosial antara atasan, bawahan, dan sesama rekan kerja
di tempat kerja (Pejtersen, 2016).

Indikator yang terdapat di dalam faktor ini berisi tentang dukungan dari rekan-
rekan kerja maupun supervisor, iklim sosial (social climate), dan job rewards.
Dari beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa dukungan sosial yang rendah

10
dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti stres, penyakit
kardiovaskuler, penyakit jantung koroner, gangguan mental yang umum,
depresi, serta sakit leher (Eurofound, 2017). Untuk menjaga kualitas iklim
sosial di tempat kerja biasanya didukung oleh adanya dukungan sosial dari
rekan kerja melalui beberapa kesempatan kontak yang menyenangkan dan
bermakna karena merasa sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar,
serta memperoleh gambaran informasi strategis tentang kinerja diri sendiri dan
posisi kekuasaan informal di tempat kerja (Schabracq, 2003 dalam Eurofound,
2012). Reward yang terdapat di dalam faktor ini sering dikenal pada teori
pertukaran sosial yang diungkapkan oleh Cosmides dan Tooby (1992) dalam
Eurofound (2012) bahwa reward diperlukan sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dan manfaat yang
rendah. Ketidakseimbangan yang tidak dicari penyelesaiannya diketahui dapat
memicu timbulnya stres.

3. Pencegahan Dampak Negatif dari Faktor Psikososial


Menurut Kementerian Kesehatan (2011) terdapat beberapa tahapan dalam
mencegah bahaya sebagai dampak negatif dari faktor psikososial di tempat
kerja, yaitu:
a. Pencegahan Primer Pencegahan primer ditujukan bagi kelompok atau
populasi yang bukan termasuk ke dalam kelompok berisiko. Pencegahan ini
berfungsi untuk mengurangi risiko gangguan psikiatrik yang dilakukan dengan
cara promosi atau edukasi mengenai suatu bahaya kesehatan terkait jenis
pekerjaan yang dilakukan. Misalnya melakukan penyuluhan terkait dampak
negatif dari faktor psikososial.
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan ketika pekerja sudah
dicurigai mengalami penyakit namun belum sampai parah atau fatal.
Pencegahan ini bertujuan untuk mengurangi lama penyakit dan mempercepat
proses penyembuhannya. Sebagai contohnya adalah edukasi terhadap kelompok
perokok mengenai bahaya kesehatan akibat rokok.
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan kepada kelompok yang
telah mengalami gangguan stres akibat kerja atau gangguan kesehatan lain
terkait psikososial yang diupayakan untuk dipulihkan kesehatannya.
Pencegahan ini meliputi konseling, pengobatan klinis, dan rehabilitasi mental.
Cara pencegahan secara umum dapat dilakukan dengan cara (Kementerian
Kesehatan, 2011):

1. Menghilangkan stresor kerja: menerapkan desain yang ergonomis,


pengendalian kognitif (konseling, psikoterapi), kegiatan relaksasi (olahraga,
rekreasi), kegiatan sosial, peningkatan gairah kerja (lingkungan yang harmonis,
upah yang memadai, lingkungan yang nyaman), metode penanganan terhadap
stres (relaksasi, menghindari rokok, berfikir positif, pemeriksaan kesehatan).
2. Pelayanan promotif: - KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang
masalah psikososial dan kesehatan jiwa melalui berbagai macam media

11
kesehatan seperti poster, leaflet, penyuluhan, dan media audiovisual. -
Penyuluhan mengenai kebiasaan buruk seperti penyalahgunaan napza,
merokok, serta mengkonsumsi alkohol. - Membiasakan olahraga, meluangkan
waktu rekreasi, serta memperbanyak kegiatan keagamaan.

Berdasarkan faktor-faktornya, psikososial dapat ditanggulangi dengan cara


sebagai berikut:
1) Tuntutan di tempat kerja
Menurut Anwarsyah (2012), tuntutan pekerjaan berpengaruh terhadap
kesehatan dan kesejahteraan kerja karyawan. Pada salah satu kasus di Jepang
diketahui bahwa terdapat beberapa pekerja yang menghabiskan waktu bekerja
lebih dari 60 jam selama seminggu, lembur yang berlebihan dengan waktu kerja
lebih dari 50 jam setiap bulan, serta bekerja pada saat liburan dengan waktu
lebih dari setengah dari liburan tetap mereka (Uehata, 1991). Sedangkan waktu
maksimal yang diperkenankan untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam atau
40 jam selama seminggu (UU No. 13 Tahun 2003). Tuntutan kerja yang
sedemikian rupa dapat dicegah dengan cara menyesuaikan antara kapasitas
kerja karyawan dengan beban kerja yang dikerjakan. Penyesuaian ini dapat
mengacu pada standar nasional maupun internasional yang ada. Sehingga
apabila ditemukan tuntutan kerja berlebih dapat dikurangi sesuai dengan
kemampuan yang seharusnya

2. Organisasi kerja dan konten pekerjaan


Mengatasi kemungkinan kebijakan atau otoritas yang buruk di tempat kerja,
pekerja dapat melakukan advokasi kepada pemimpin perusahaan untuk
menyuarakan aspirasi mereka (Wiryawan, 2015). Advokasi bisa dilakukan
dengan cara aksi, namun dalam batas yang tidak anarkis. Dengan adanya
advokasi ini, diharapkan terdapat perubahan kebijakan baru dari pihak
organisasi yang sesuai dengan harapan para pekerja. 3) Hubungan interpersonal
dan kepemimpinan Salah satu cara agar hubungan interpersonal dengan pihak
manajemen dapat selalu terjaga adalah dengan pemberian reward terhadap
karyawan. Pemberian reward yang dilakukan sebagaimana mestinya dapat
membentuk rasa percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimisme,
dan rasa memiliki (Geller, 2001). Selain itu, gaya kepemimpinan seorang
pemimpin juga turut berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yang
diciptakan. Apabila terjadi konflik dalam sebuah organisasi, peran manajemen
sangat dibutuhkan untuk mengatasi konflik yang terjadi karena dampak dari
konflik tersebut akan berimbas pada kinerja dan efektifitas pekerjaan
diperusahaan. Peran tersebut dapat dilakukan dengan cara menjalin komunikasi
yang baik dengan para pekerja (Anwar, 2015).

2. KEKERASAN

12
Sebagai Negara Hukum.Indonesia menjunjung tinggii hak asasi manusia yang
didukung oleh :UUD 1945 pasal 28 ayat 2 ayat ini menunjukan bahwa semua
orang sama tidak boleh diperlakukan semena-mena didalam lingkungan kerja,
termasuk menjadi korban Tindakan kekerasan yang dapt dijabarkan sebagai
berikut :

1.Setiap orang berhak atas perlindungan diri, pribadi , kelurga, kehormatan,


martabat dan harta benda yang dibawa kekuasaaanya,serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ktakutan,untuk berbuat sesuatu yang
melanggar hak asasi

2.setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,atau perlakuan yang


merendahkan derajat, martabat manusia,dan memperoleh suara politik dari
negara lain.

Jerat pidana apabila kekerasan telah menyrang kehormattan atau nama baik,
sesorang karyawan dapat mengadukan kepada polisi atas dugaan penghinaan
sebagaimana diatur dalam pasal 310 ayat ( 1) atau ayat (2 ) KUHP

a. Pengertian : Kekerasan adalah :Perilaku yang tidak sah atau perilaku yang
salah

Kekerasan ditempat kerja dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat


menyebabkan cedera atau matinya orag lain atau kerusakan fisik pada orang
lain yang terjadi di tempat kerja. Kekerasanyang dapat menyebkan kerusakan
adalah bertentangan dengan hukum( Kamus Umum Bahasa Indonesia ( KUBI )
b.Contoh kekerasan di tempat kerja :berupa kata kata kasar,melempar sesuatu
bukan pada tempatnya,sehingga pekerja atau pekerjsa disekitarnya menjadi
takut,hingga tinfakan senonoh yang merendahkan martabat pekerja
c.Bentuk kekerasan :
1.Kekerasan Verbal seperti :memarahi,mencaci maki, melecehkan atau
mengancam,
2.Kekrasan Fisisk seperti :meludahi,melempar benda, menampar tau
menggigit,meremas, menedang.memeperkosa,membunuh
CARA MENGATASI KEKERASAN DI TEMPAT KERJA :
1. Buat kebijakan, mulai dengan kebijakan tanpa toleransi
2. Kenali karyawan
3. Tetapkan prosedur Keamanan
4. Tindakan perekrutan dan Pemecatan
Yang dilakuan bila terjadi kekerasan di tempat kerja :
1,Tunjukan sikap keberatan contoh: meninggalkan pelaku yag marah _ marah

13
2.Laporkan Ke sekuriti, atau bagian HRD, pada perusahan besarbisa
melaporkan secara anonym melali whistlebloer system
3,Minta ijin untuk meninggalkan tempat kerja, katakana kita membutuhkan
waktu sejenak untuk menenangkan diri, jika kkeerasan fisik bisa minta ijin ke
doketr atau rumah sakt.
4.Catat dan rekam
Setelah berada dirumah atau ditempat yang tenang cobalah mengigat Kembali
eristiwanya lalu catat secara detail,mulai dariucapan, Tindakan, sampai waktu
terjadinya peristiwa, jika saat kejadian kita memegang smartphone ,cobalah cari
cara untuk untuk bisa menghidupkan rekaman video atau suara,ekaman itu atau
video ditambah hasil visum dari dokter atau rumah sakit menjadi bukti
pendukung yang kuat , jika tempat kerja da CCTV, iTU lebih baik lagi
segeralah minta rekamanyya.
5 Bicarakan dengan kolegayang kita percaya
Jika sudah betul-betul tenang,cobalah hubungi orag-orang yang sangat kita
percaya. Mitalah waktu untuk dapat mengobrol dengan orag tersebut,Berbagi
Cerita setidak -tidaknya dapat meringankan beban kita.
6 Minta Pendampingan dan Lapor Polisis
Ini terjadi jika kekerasan sudahk keterlaluan sebainya kita cari pendamping dari
kantor pengacara, lalu lakukan langah hukum dengan laporan

3.PELECEHAN DI TEMPAT KERJA


Pelecehan Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan,
yang bentuknya bisa beragam. Tindakan ini bisa menyasar pada siapa saja namun, pada
banyak kasus, pelecehan seksual banyak menyasar korban perempuan. Demikian pula
di lingkungan kerja, sering kali masih saja terjadi pelecehan seksual terhadap pekerja
perempuan. Khasnya, pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja dapat
berdampak pada produktivitas kerja dan hilangnya rasa aman Aden eksual

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PELECEHAN SEKSUAL?

Pada April 2011, Menteri Tenaga Kerja RI menerbitkan Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman
Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Pedoman ini memberi
pengertian pelecehan seksual sebagai berikut: segala tindakan seksual yang
tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan
atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang
bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan
dan/atau terintimidasi. 

Dengan kata lain pelecehan seksual adalah:

14
1. Penyalahgunaan perilaku seksual
2. Permintaan untuk melakukan perbuatan seksual (undangan untuk melakukan
perbuatan seksual, permintaan untuk berkencan)
3. Pernyataan lisan atau fisik melakukan atau gerakan menggambarkan perbuatan
seksual, (pesan yang menampilkan konten seksual eksplisit dalam bentuk cetak
atau bentuk elektronik (SMS, WA, Email, Layar, Poster, CD, dll)
4. Tindakan ke arah seksual yang tidak diinginkan dapat dilihat dengan ciri:
a. Korban telah menyatakan bahwa perilaku itu tidak diinginkan
b. Korban merasa dihina, tersinggung dan/atau tertekan oleh perbuatan itu; atau
c. Pelaku menyadari dengan perbuatannya akan mengakibatkan orang lain
tersinggung, dipermalukan dan / atau terintimidasi oleh perbuatannya. 

SIAPA SAJA YANG BISA MENJADI KORBAN PELECEHAN


SEKSUAL? 

Pelecehan seksual dapat terjadi pada semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun harus menjadi perhatian bahwa pelecehan seksual
merupakan salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender  atau kekerasan
yang ditujukan pada orang-orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau
mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau gender tertentu secara tidak
proporsional.  Dimana dalam konstruksi gender di masyarakat kita, ada relasi
kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan
(faktanya) Kekerasan Berbasis Gender khususnya pelecehan seksual lebih
banyak terjadi kepada perempuan daripada laki-laki. 

Tindakan ini dapat berlangsung antara pekerja/atasan dan seorang pekerja lain
(hubungan vertikal) atau antara pekerja dengan pekerja (hubungan horizontal),
antara pemberi kerja dengan pekerja kontrak atau pekerja outsourcing dan
antara pekerja/penyedia jasa dengan klien/pihak ketiga. Perilaku yang tidak
diingkan tersebut tidak harus berulang-ulang atau terus-menerus dan dapat
berupa insiden tunggal dapat menjadi sebuah pelecehan seksual.

APA SAJA BENTUK PELECEHAN SEKSUAL? 

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk, Pedoman Pencegahan Pelecehan


Seksual di Tempat Kerja 2011 setidaknya menyebut lima bentuk pelecehan
seksual yaitu:

1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke


perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap
penuh nafsu.
2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan
tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang,
lelucon dan komentar bernada seksual
3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada
seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan
menjilat bibir

15
4. Pelecehan tertulis atau gambar  termasuk menampilkan bahan pornografi ,
gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda
komunikasi elektronik lainnya
5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-
ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak
diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual

BAGAIMANA CARA MENGETAHUI SEBUAH TINDAKAN


SEBAGAI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA?  

Sebuah tindakan pelecehan seksual di tempat kerja dapat dikenali oleh hal-hal
berikut:

1. Tindakan yang tidak diinginkan atau tidak dapat diterima oleh korban yang
berdampak atau berakibat menimbulkan ketersinggungan, malu, dan/atau takut.
Oleh karenanya dalam setiap tindakan pelecehan seksual, utamanya korban-lah
yang ditanya pendapatnya.
2. Perbuatan tersebut mempunyai efek untuk menciptakan sebuah lingkungan
kerja yang mengintimidasi, bermusuhan, atau menyinggung perasaan. Penilaian
lingkungan sekitar semacam ini juga penting, mengingat korban pelecehan
seksual seringkali takut, malu, dan bingung.
3. Memanfaatkan relasi kuasa pelaku atas korban untuk mempengaruhi proses
hubungan kerja atau kondisi kerja, misalnya meminta imbalan seksual untuk
kenaikan jabatan yang diberikan.

ADAKAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG


MENGATUR MENGENAI PELECEHAN SEKSUAL DI
TEMPAT KERJA?

Ada, aturan tersebut, yakni:

1. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003):


a. Pasal 86 ayat (1) huruf b dan c: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas: moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
2. Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224 Tahun 2003
tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengusaha wajib menjaga
keamanan dan kesusilaan pekerja/buruh perempuan dengan : a. menyediakan
petugas keamanan di tempat kerja; b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak
dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja/buruh
perempuan dan laki-laki.

16
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011
tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Sayangnya
pedoman ini tidak bersifat mengikat, hanya panduan atau sebagai acuan bagi
pengusaha, pekerja maupun instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan untuk mencegah dan menangani secara efektif pelecehan
seksual.
4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1
tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja  Perempuan (RP3)
di Tempat Kerja
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai kejahatan terhadap
kesusilaan, khususnya pada pasal 281 tentang kesusilaan di muka umum dan
pasal 289 - 294 tentang perbuatan cabul. Mengenai perbuatan cabul di tempat
kerja, terutama yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan (dalam struktur
kerja), pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP mengatur pemberatan pidana yaitu
diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau
diserahkan kepadanya.
6. Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) mengatur ancaman
pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.

MENGAPA KITA MEMBUTUHKAN PAYUNG HUKUM YANG


MENGATUR TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL?

Meski seperti tersebut di atas, ada sejumlah aturan perundang-undangan yang


mengatur mengenai pelecehan seksual, namun demikian belum sepenuhnya
memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual
yang terjadi di masyarakat (kasus-kasus riil) sebagian besar tidak dikenal oleh
hukum pidana Indonesia dan tidak dapat ditangani. Pelecehan seksual verbal
merupakan salah satu contoh nyatanya. Dimana peraturan perundang-undangan
yang ada mewajibkan terpenuhinya unsur pencabulan berupa tindakan fisik.
Padahal bentuk pelecehan seksual verbal seperti lelucon dan komentar bernada
seksual, isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual
adalah tindakan kekerasan seksual yang paling sering terjadi di tempat kerja.
Hal ini menyebabkan banyak kasus dimana pelaku bebas dari jeratan hukum
dan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Menanggapi kekosongan hukum ini, sejak tahun 2012, berbagai kalangan


termasuk didalamnya kelompok pemerhati isu pekerja perempuan telah
menggagas Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(RUU TPKS). Didalamnya mencakup 9 bentuk tindak pidana kekerasan
seksual, pencegahan, hak korban, saksi, dan keluarga korban termasuk upaya
pemulihan korban, hukum acara khusus penanganan kekerasan seksual, peran
serta masyarakat, dan kerjasama internasional dalam penghapusan kekerasan

17
seksual. Sayangnya hingga saat ini, RUU TPKS belum juga disahkan menjadi
Undang-undang.

 JIKA SAYA MENJADI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL,


APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN?

Jika menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja, disarankan Anda


mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Sebaiknya Anda menjelaskan kepada pelaku pelecehan seksual bahwa Anda


tidak menginginkan perbuatan seksual tersebut atau perbuatan seksual tersebut
mengganggu Anda. Jika tidak, Anda tidak memiliki kewajiban untuk
menjelaskan apapun oleh karena tindakan sudah terjadi.
2. Beritahukan kejadian pelecehan seksual yang Anda alami kepada rekan kerja
atau anggota keluarga yang dapat Anda percayai. Hal ini penting agar Anda
memiliki saksi yang meski tidak melihat secara langsung, namun mendengar
dari Anda sesaat setelah kejadian berlangsung. 
3. Melaporkan tindakan pelecehan seksual yang Anda alami kepada pimpinan
Serikat Pekerja, atasan langsung, atau kepada bagian personalia. Saat lapor,
Anda akan ditanya apa yang Anda harapkan. Saran kami Anda minta waktu
untuk menenangkan diri, atau minta berbicara dengan konselor/psikolog untuk
menghilangkan trauma dan memikirkan langkah ke depan. Sementara itu
laporan yang sudah masuk penting untuk ditindaklanjuti oleh Serikat Pekerja,
atasan langsung, atau bagian personalia untuk melakukan penelusuran korban
lain maupun meminta klarifikasi dari pelaku. Pastikan pihak yang membantu
Anda tersebut selalu menginformasikan langkah yang dilakukan dan hasilnya
kepada Anda.  
4. Jika Anda sudah yakin pada pilihan yang akan Anda ambil, Anda dapat
meminta dampingan dari Serikat Pekerja, atasan langsung, atau bagian
personalia untuk menempuh langkah selanjutnya. 
5. Jika yang akan Anda pilih adalah langkah hukum melapor kepada Kepolisian,
sebaiknya Anda berkonsultasi kepada Lembaga Bantuan Hukum atau advokat
yang dapat mendampingi saat proses hukum berlangsung. Pada saat melapor,
pihak-pihak yang menerima laporan Anda seperti  Serikat Pekerja, atasan
langsung, atau bagian personalia sebaiknya didorong untuk menjadi pelapor,
sementara Anda adalah saksi korban. 
6. Sebagai korban, Anda akan dipanggil untuk memberi kesaksian dan diminta
untuk melengkapi bukti terjadinya pelecehan seksual. Pembuktian dalam kasus
pelecehan seksual misalnya (pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana):
i. Keterangan saksi korban yakni Anda sendiri
ii. Keterangan saksi dari orang/pihak yang melihat secara langsung kejadian atau
pihak yang mendengar dari Anda sesaat setelah kejadian berlangsung, atau
korban lain yang juga mengalami hal yang sama dengan Anda.
iii. Hasil pemeriksaan psikologi yang dapat menjadi bukti tertulis, sementara
psikolog yang melakukan pemeriksaan merupakan tambahan saksi untuk
mendukung Anda. 
iv. Pengakuan pelaku yang mungkin saja didapat ketika Serikat Pekerja, atasan
langsung, atau bagian personalia meminta klarifikasi dari pelaku. 

18
v. Bukti lain-lain, seperti: surat, percakapan melalui handphone, email, media
sosial, rekaman suara, video, dsb. 
7. Sebagai pihak pelapor/korban, Anda memiliki hak untuk menerima informasi
berlangsungnya proses hukum melalui dokumen Laporan Polisi dan Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan/Penyelidikan (SP2HP).
Informasi yang sama juga harus diberikan oleh Kejaksaan dan Pengadilan,
dalam hal proses hukum berlangsung hingga Pengadilan. 

BAGAIMANA CARA PERUSAHAAN MELAKUKAN


PENCEGAHAN TERHADAP KASUS PELECEHAN SEKSUAL
YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA? 

Pencegahan merupakan  alat paling efektif yang dapat digunakan oleh


pengusaha untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja. Tindakan
pencegahan termasuk:

1. Komunikasi: dilakukan dengan sosialisasi tentang pelecehan seksual


menggunakan alat komunikasi yang biasa digunakan di dalam perusahaan
misalnya papan pengumuman, poster, buletin perusahaan, buletin serikat
pekerja, group komunikasi, dsb.
2. Edukasi: dilakukan melalui  program orientasi dan pengenalan kepada staff
baru, diskusi atau seminar yang diadakan perusahaan/serikat pekerja, atau
kegiatan-kegiatan tertentu yang terprogram.
3. Pelatihan: menyediakan pelatihan khusus mencegah, mengenali, dan menangani
kasus pelecehan seksual di tempat kerja.
4. Membentuk satgas atau tim penanggulangan pelecehan seksual di tempat kerja.
5. Mendorong perusahaan untuk membangun komitmen pencegahan pelecehan
seksual di lingkungan kerja termasuk prosedur pengaduan, penanganan,
pemberian sanksi dan tindakan disiplin bagi pelaku, perlindungan dan
pemulihan bagi korban, yang tercantum dalam Perjanjian Kerja/Peraturan
Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama.

19
BAB III
PENUTUP

Untuk meminimalisir dampak negatif dari faktor psikososial yang buruk di


tempat kerja diperlukan beberapa hal pada masing-masing faktor sebagai
berikut:
1. Faktor tuntutan di tempat kerja:
- Menyesuaikan antara kapasitas kerja karyawan dengan beban kerja yang
dikerjakan sesuai UU No. 13 Tahun 2003.
- Sebaiknya lembaga pemberi kerja mengusahakan lingkungan kerja yang lebih
nyaman dengan cara mengupayakan sistem reward baik berupa materi maupun
apresiasi terhadap hasil kerja untuk meningkatkan motivasi bagi pekerja serta
menciptkan komunikasi secara lebih aktif antara manajemen dengan pekerja.
- Sebaiknya lembaga pemberi kerja mempertimbangkan adanya kenaikan gaji
bagi karyawan dengan jam kerja penuh sesuai dengan standar.
2. Faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan:
- Peningkatan motivasi pekerja seperti pemberian reward. Dengan adanya
pemberian reward, diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan pekerja
terhadap organisasi sehingga menganggap dirinya memang pantas dan merasa
memiliki peran yang penting di tempat dia bekerja.
- Pemberlakuan sistem job rotation atau rotasi pekerjaan agar tidak terjadi
monotonisasi dalam pekerjaan serta pekerja bisa belajar lebih banyak menganai
sesuatu yang baru di tempat dia bekerja.
3. Faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan:
- Menjalin dan memperbaiki komunikasi yang baik antara pihak manajemen
dan pekerja. Apabila terjadi konflik dalam sebuah organisasi, peran manajemen
sangat dibutuhkan untuk mengatasi konflik yang terjadi karena dampak dari
konflik tersebut akan berimbas pada kinerja dan efektifitas pekerjaan di
lembaga tempat bekerja.
Beberapa hal yang harus dilakukan perusahan untuk mencegah kekerasan
ditempat kerja yaitu :
1.Meyakinkan bahwa kondisi kerja aman dan program k3 terlaksana dengan
baik
2.menaksir resiko keamanan kerja khususnya tentang keerasan kepada pekerja
3.mengembangkan prosedur yang diiplin dan konsisten dalam kerja
4.mengkonsultasikan dengan tenaga kerja dan perwakilan mereka tentang
resiko yang terjadi di tempat kerja
5.menyediakan pernyataan yang jelas atau peraturan yang jelas bahwa
kekerasan di tempat kerja tidak diperbolehkan dan dapat termasuk aksi
kriminal , berikut debgab informasi bagaimana melaporkan tindakan kekerasan
ditempat kerja.

20
6.menyediakan pernyataan tentang program untuk mencegah resiko kekerasan
termasuk pelatihan jika diperlukan
7menyarankan bahwa korban menctata setiap insiden tersebut dengan saksinya
8.memberitahu tentang apa yang bisa dibantu perusahan pada korban
9.Menyediakan informsi bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, di review
dan dimonitor
Selain perusahan yang menjamin lingkungan kerja yang aman , pekerja juga
harus bisa melindungi dirinya sendiri .Pekerja yang merasa mendapatkan
perlakuan kekerasan tersebut sebaiknya langsung melaporkan kejadian
tersebut pada manajement perusahan . jika manajemen perusahaan tidak
menangapi dengan baik maka dapat melaporkan kepada kelompok organisasi
pekerja atau pihak yang berwenang jika memang diperlukan.Pekerja harus
tetap disiplin dalam melaksanakan pekerjaanya dan tetap waspada agar dirinya
tidak menjadi korban kekerasan.Melatih kekuatan jiwa dan raga bisa dilakuan
agara para pekerja dapat melindungi dirinya sediri

21
DAFTAR PUSTAKA

Almasitoh, Ummu Hany. (2018). Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran
Ganda dan Dukungan Sosial pada Perawat. Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8(1),
63-82..

Govindu, N. K., & Babski-Reeves, K. (2014). Effects of personal, psychosocial


and occupational factors on low back pain severity in workers. International
Journal of Industrial Ergonomics, 44(2), 335-341..

Jeyaratnam, J. dan David Koh. (2009). Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja.
Jakarta: EGC

Kementerian Kesehatan. (2011). Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat


Kerja bagi Petugas Kesehatan: Gangguan Kesehatan Akibat Faktor Psikososial
di Tempat Kerja

Maurist, Lientje Setyawati dan Imam Djati Widodo. (2018). Faktor dan
Penjadualan Shift Kerja. Jurnal Teknoin, 12 (2), 11-22.

Uehata, Tetsunojo. (1991). Long Working Hours and Occupational Stress-


Related Cardiovascular Attacks Among Middle-Aged Workers in Japan. Journal
Human Ergol., 20, 147-153.

Media K,3 Indonesia 2022

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan transaksi


elektronik

Indonesia. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.


SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di
Tempat Kerja

22
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1
tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja  Perempuan (RP3)
di Tempat Kerja

Internasional. Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206
tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

23

Anda mungkin juga menyukai