KELOMPOK 6
Afina Syarah L (1406570096) Maulidia Ekaputri (1406598964)
Belinda Thania D (1406570852) Ratih Wulan K (1406573526)
Faiza Azzahroh (1406527721) Sella Dwi Julian (1406527740)
Henrico Citrawijaya (1406566496) Yosilia Nursakina (1406570026)
Kartika Qonita P (1406569996)
2
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu kelompok pekerja dengan risiko pekerjaan yang tinggi adalah petugas
kesehatan. Penyakit akibat kerja di rumah sakit pada umumnya berkaitan dengan faktor
3
biologi (patogen), faktor kimia (obat-obatan), faktor ergonomis, faktor fisik, dan faktor
psikologis. Berdasarkan data WHO dari 35 juta petugas kesehatan, 3 juta diantaranya
telah terpajan oleh patogen dalam darah (2 juta terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan virus
HBC, dan 170.000 terpajan virus HIV). Penelitian di instalasi bedah sentral di RSUD di
Jakarta pada tahun 2006 menemukan bahwa gaya berat yang ditanggung pekerja rata-rata
lebih dari 20 kg dan 83.3% pekerja mengalami keluhan subjektif low back pain (LBP).
Penelitian dr. Joseph (2005-2007) mencatat bahwa angka KAK NSI (needle stick injury)
mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan. Gun (1983) mengungkapkan bahwa
insiden akut secara signifikan lebih besar terjadi pada pekerja rumah sakit dibandingkan
dengan seluruh pekerja di semua kategori.7
Selain pihak rumah sakit, sangat penting bagi petugas kesehatan sendiri untuk
memahami bahaya potensial dan kecelakaan akibat kerja yang mungkin terjadi di fasilitas
kesehatan. Pemahaman terhadap bahaya potensial dan kecelakaan kerja sangat penting
untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini akan
dipelajari faktor risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja pada pertugas kesehatan
serta penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yang dapat terjadi.
1.2. Tujuan
4
Mampu memberikan rekomendasi untuk perbaikan upaya kesehatan dan
keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan di suatu klinik, yang bersifat evidence
based (berdasarkan referensi yang mutakhir).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
dan kepemimpinan, dan lain sebagainya. Insentif finansial juga bisa berpengaruh negatif
terhadap kinerja seseorang.12
Stres, kelelahan mental, dan depresi dapat menjadi efek dari pekerjaan yang
repetitif. Literatur menyatakan bahwa pekerjaan yang membutuhkan performa tingkat
tinggi dalam waktu yang lama, memproduksi usaha kognitif dengan kewaspadaan tingkat
tinggi, perhatian yang selektif, kemampupan mengambil keputusan, mekanisme kontrol
yang terotomatisasi, dan dapat berkontribusi pada kelelahan. Pada dasarnya, kelelahan itu
sendiri dapat berdampak pada kinerja seseorang dikarenakan penurunan efisiensi dan
performa. Kelelahan juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan fisik, serta
menginduksi patologi yang berbeda-beda. Kelelahan mental juga dapat menginduksi
kelelahan otot. Pekerjaan yang repetitif dapat menjadi stresor internal dan dapat
menimbulkan gejala fisik dan mental, seperti cemas, depresi, dan penyakit somatik.11
Terdapat sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk mengontrol pekerjaan yang
repetitif ini agar tidak menimbulkan stres terhadap pekerja:13,14
Edukasi
Hal ini merupakan aspek yang paling penting untuk diterapkan pada pekerja
dan supervisor agar mereka memahami penyebab, gejala awal, dan bagaimana cara
mencegah stres akibat kerja.13
Rotasi pekerjaan
Rotasi pekerjaan juga bisa menjadi jalan yang efektif untuk
mendistribusikan pajanan terhadap populasi pekerja yang lebih besar. Hal ini bisa
menjadi faktor motivasi yang positif bagi pekerja agar mereka tidak terjebak dalam
pekerjaan yang monoton terus menerus. Apabila tidak dapat dilakukan rotasi
pekerjaan, maka rotasi tugas atau menambah varietas tugas dalam pekerjaan
tersebut dapat menjadi alternatif pemecahan masalah. 13
Perbanyak waktu istirahat
Pekerja yang bekerja di depan computer secara kontinu harus mendapatkan
istirahat lima menit setiap jamnya, baik dalam bentuk istirahat dari kerja atau
mengubah tipe kerja yang sedang dilakukan.13
Latihan stretching
Apabila dilaksanakan 2-3 kali dalam sehari, hal ini dapat mencegah
terjadinya stres muskuloskeletal akibat kerja dan kemungkinan juga bisa mencegah
kelelahan mental. Stretching dilakukan pada jari, lengan, dan siku. Di Indonesia,
7
berdasarkan program Germas oleh Kementerian Kesehatan RI juga digalakkan
mengenai peregangan yang harus dilakukan setiap dua jam bekerja.13
Pendekatan dukungan sosial
Tujuan dari pendekatan ini ialah memberikan kepuasan sosial kepada
pekerja. Caranya bisa berupa bercakap-cakap, bercanda, serta menyelesaikan
permainan bersama.14
Pendekatan biofeedback
Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, seperti dari dokter,
psikiater, dan psikolog. Hal ini ditujukan agar pekerja dapat menghilangkan stres
yang dialaminya. Konseling disarankan dilaksanakan pada saat gejala-gejal stres
baru timbul. Apabila diperlukan, pekerja dapat diberikan obat berupa anxiolitika,
antidepresan, atau beta-blocker untuk mengatasi stres jangka pendek.14,15
Mengubah lingkungan kerja
Hal ini dilakukan melalui manipulasi sedemikian rupa agar nyaman bagi
pekerja. Cara lainnya ialah dengan meyakinkan pekerja tersebut bahwa ancaman
tersebut tidak ada atau melalui pendekatan persepsi tenaga kerja. Hal lain yang bisa
dilakukan ialah meningkatkan daya tahan mental pekerja terhadap stres, misalnya
dengan latihan dibimbing oleh psikolog, meditasi, hypnosis, dan otosugesti. 10
8
penelitian di Turki, frekuensi LBP dalam satu tahun terakhir sejumlah 58,3% pada perawat
dan tenaga kesehatan.17
Pekerja yang memiliki risiko tinggi mengidap LBP antara lain pekerja dengan posisi
tubuh yang tidak benar saat bekerja, melakukan pekerjaan manual, dan melakukan pekerjaan
dengan durasi dan frekuensi tinggi termasuk pekerja kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan
penelitian, prevalensi LBP pada perawat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum,
khususnya perawat yang sering mengangkat sesuatu atau perawat yang berperan dalam
mobilisasi pasien. Pekerjaan tenaga kesehatan yang dapat meningkatkan risiko LBP antara
lain saat memasang dan melepaskan infus, melakukan suction, resusitasi jantung paru,
memasang kateter, dan pekerjaan lain yang mengharuskan posisi membungkuk. Posisi
membungkuk menyebabkan risiko 14 kali lebih tinggi terhadap keluhan LBP dibandingkan
dengan posisi tidak membungkuk. Sudut bungkuk punggung 60 0 dapat meningkatkan risiko
sebanyak 11 kali terhadap keluhan LBP.18
Tabel 1. Tingkat risiko ergonomis dan keluhan low back pain menurut aktivitas perawat.18
Commented [SJ1]: Buat lagi tabel baru
Berbagai posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika
dilakukan dalam periode waktu yang lama. Sebagai contoh, posisi berdiri merupakan postur
tubuh alami yang tidak menyebabkan bahaya khusus terhadap kesehatan. Akan tetapi, jika
dilakukan dalam periode waktu yang lama dapat menyebabkan pegal-pegal, kelelahan otot
secara general, dan LBP. Selain itu, desain lingkungan kerja yang tidak sesuai dan pekerjaan
tertentu dapat membuat pekerja menggunakan posisi berdiri yang tidak benar.19
9
tangan, otot pada pundak dan leher berkontraksi sehingga dapat menekan pembuluh darah
yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke tangan.19
Pergerakan repetitif dapat berbahaya karena menggunakan sendi dan otot yang sama
secara terus-menerus. Hal ini menjadi faktor risiko WMSD.19 Sedangkan repetitive strain
injury (RSI) merupakan sebutan umum untuk mendeskripsikan nyeri otot, saraf, dan tendon
akibat pergerakan repetitif berlebihan. RSI dapat terjadi akibat pergerakan repetitif,
melakukan aktivitas internsitas tinggi dalam waktu yang lama tanpa istirahat, dan posisi
tubuh yang tidak benar. Temperatur dingin dan getaran juga dapat meningkatkan risiko RSI
dan memperparah gejala penyakit. Stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam
terbentuknya RSI.20
Bagi tenaga kesehatan, pengukuran tekanan darah merupakan salah satu kompetensi
wajib dan sering dilakukan dalam praktik sehari-hari. Bahaya dalam melakukan pekerjaan ini
dapat berasal dari berbagai hal termasuk bahaya biologis. Bahaya biologis yang dapat
mengancam tenaga kesehatan adalah terinfeksi cairan tubuh pasien maupun mikroorganisme
infeksius yang terkena saat kontak langsung melalui kulit.
Cairan tubuh pasien yang bersifat infeksius dapat berasal dari darah dan droplet.
Darah dapat membawa penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS. Droplet sering menjadi media
persebaran tuberkulosis, influenza, cacar, dan penyakit menular lainnya. Infeksi menyebar
melalui udara terjadi ketika droplet berukuran >5m terdiseminasi di udara. Cairan tersebut
menjadi residu di udara untuk beberapa saat. Cairan tersebut dapat bertahan lebih lama ketika
terikat dengan partikel debu. Transmisi infeksi biasanya melalui batuk, bersin, berbicara, atau
pekerja kesehatan sedang melakukan prosedur. Selain cairan tubuh, mikroorganisme juga
dapat membahayakan petugas kesehatan. Salah satu bahaya biologis yang dihadapi oleh
petugas kesehatan adalah mikroorganisme penyebab penyakit kulit (panu, skabies, impetigo,
dan penyakit kulit lainnya).21
10
Masker tidak boleh dipakai berulang kali. Sarung tangan harus diganti antar prosedur dan
pasien. Sarung tangan yang telah dipakai harus dibuang ke tempat pembuangan yang sesuai.
Petugas kesehatan juga harus membersihkan tangan sebelum dan sesudah melakukan
prosedur.21
11
Tabel 1. Analisis Video
Dalam video tersebut, tidak terlihat apakah petugas kesehatan yang bertugas
mendapatkan rotasi pergantian. Menurut Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengaturan jam kerja tenaga kesehatan terbagi
menjadi 3 shift untuk klinik kecamatan dengan pelayanan 24 jam. Shift tersebut
terbagi menjadi 07.30-14.00, 14.00-20.30, 20.30-07.30. Namun untuk klinik
kecamatan tanpa pelayanan 24 jam, petugas kesehatan harus bertugas dari jam 07.30-
16.00 dengan waktu istirahat jam 12.00-13.00.25
Pada video tersebut, tidak terlihat apakah petugas tersebut merupakan dokter,
perawat ataupun bidan. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai perawat
dan tingkat stres yang dihadapinya. Perawat merupakan pekerjaan yang mempunyai
tingkat stres yang tinggi. Stres yang dialaminya pun dapat berdampak pada kesehatan
fisik dan mental yangmana apabila dibiarkan dapat berdampak pada kinerja perawat
tersebut. prevalensi stres pada perawatpun di beberapa penelitian berkisar antara 29-
40%.26
Gejala yang ditimbulkan akibat stres kerja antara lain kelelahan, lelah otot,
pusing, dada berdebar-debar, insomnia, dan gangguan pencernaan. Sementara itu,
gangguan psikologis yang muncul adalah depresi, kecemasan,iritabilitas, pesimis, dan
konsentrasi berkurang. Stres kerja juga dapat berdampak pada perilaku pekerja seperti
peningkatan jumlah absensi, perubahan mood, mengisolasi diri, dan mempunyai
masalah interpersonal.28 Tentunya stres kerja ini perlu ditangani dan dicari akar
penyebabnya. Hal ini tentunnya penting untuk dilakukan karena dampak dari stres
kerja ini sangat luas, baik terhadap pekerja itu sendiri maupun juga terhadap
pelayanan (dalam hal ini pelayanan kesehatan) yang akan diberikan. Commented [SJ2]: Revisi abel
Pada video plant survey terlihat bahwa seorang petugas kesehatan yang
melakukan pengukuran tekanan darah pada pasien berada pada posisi yang
membungkuk. Posisi tubuh yang membungkuk tersebut merupakan salah satu bahaya
potensial dari segi ergonomis. Posisi tubuh yang tidak tepat saat bekerja dapat
menyebabkan gangguan pada sistem muskuloskeletal (WMSD). Semakin lama posisi
tubuh yang tidak tepat digunakan, semakin tinggi pula risiko terjadinya WMSD.
Posisi membungkuk seperti yang dialami oleh petugas kesehatan dalam video dapat
menimbulkan beban/tekanan yang tinggi pada ruas-ruas tulang belakang sehingga
dapat memicu terjadinya LBP.29
Selain posisi yang tidak tepat, melakukan pergerakan repetitif dengan durasi
dan frekuensi tinggi juga dapat memicu terjadinya WMSD. Pergerakan repetitif sangat
berbahaya saat melibatkan sendi dan kelompok otot yang sama berulang kali atau
pada saat melakukan gerakan yang sama terlalu sering, terlalu cepat, atau terlalu lama.
14
Pekerjaan yang membutuhkan gerakan berulang selalu melibatkan faktor risiko lain
untuk memicu terjadinya WMSD, seperti posisi dan kekuatan tubuh yang statis.
Kecepatan kerja menentukan jumlah waktu yang tersedia untuk istirahat dan
pemulihan tubuh antara siklus tugas tertentu. Semakin tinggi kecepatan kerja, semakin
sedikit waktu yang tersedia dan semakin tinggi risiko terjadinya WMSD. Bila pekerja
tidak memiliki kontrol atas waktu dan kecepatan kerja maka tingkat stres meningkat.
Tingkat stres yang lebih tinggi akan memicu ketegangan otot yang menyebabkan
kelelahan dan meningkatkan risiko WMSD.29
Untuk melakukan manajemen bahaya ergonomis terhadap petugas kesehatan, Commented [SJ3]: Saran dimasukkan ke pembahasan dari
tinjauan pustaka
maka suatu penyedia pelayanan kesehatan harus memperhatikan 4 tahapan, yaitu
identifikasi risiko, penilaian risiko, pengendalian risiko, serta monitoring dan
evaluasi.30 Faktor risiko ergonomis yang sering dialami oleh petugas kesehatan antara
lain awkward postures, pergerakan repetitif, pekerjaan yang monoton, kompresi
mekanis, postur statis, serta mengangkat, menarik atau mendorong pasien.31 Setelah
mengidentifikasi risiko, maka dilakukan penilaian terhadap risiko bahaya yang telah
diidentifikasi. Penilaian tingkat risiko merupakan kombinasi tingkat keparahan risiko
dan frekuensi pekerjaan tersebut dilakukan. Artinya semakin sering atau semakin
lama durasi suatu pekerjaan, maka semakin besar risikonya. Tahapan berikutnya
setelah penilaian risiko adalah melakukan pengendalian risiko. Dalam pengendalian
risiko, terdapat beberapa elemen yang perlu diperhatikan, yaitu:30
15
Apabila tugas tertentu melibatkan gerakan berulang atau menggunakan posisi yang
sama untuk waktu yang lama, maka dibutuhkan istirahat sejenak secara berkala
untuk mengurangi beban yang tinggi pada sekelompok otot tertentu.
Mengurangi kelelahan dan injury melalui reorganisasi kerja.30 Dalam hal ini,
pihak penyedia pelayanan kesehatan dapat menyusun pengaturan jam kerja yang
tepat bagi karyawan. Karyawan yang melakukan pekerjaan yang sama dalam waktu
yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan pada
sistem muskuloskeletal sebagai akibat dari pergerakan repetitif.
Meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan pekerja.30 Dalam
hal ini, pihak penyedia pelayanan kesehatan dapat memberikan pelatihan dan
melakukan pengawasan tugas kerja. Apabila dikaitkan dengan video, maka petugas
kesehatan yang bertugas melakukan pengukuran tekanan darah sebaiknya diberikan
pelatihan mengenai metode dan posisi yang tepat dalam mengukur tekanan darah.
3.2.3. Perbandingan antara video dengan tinjauan pustaka mengenai bahaya biologis
Pada video plant survey, terlihat seorang petugas kesehatan perempuan sedang
melakukan pengukuran tekanan darah seorang pasien perempuan. Petugas kesehatan
terlihat tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Selain itu, beliau tidak
memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan dan masker. Hal ini tidak sesuai
dengan standar operasional prosedur terkait dengan pengendalian infeksi.
16
pasien maupun petugas kesehatan. Pembersihan sebaiknya dilakukan untuk alat-alat
yang bersentuhan dengan kulit yang intak seperti misalnya alat untuk mengukur
tekanan darah.32
17
resistant Enterococci (VRE). Penyakit atau kelainan kesehatan yang berpotensi
menularkan mikroorganisme antara lain adalah impetigo, diare ataupun abses. 35
Bahaya potensial lain dari segi biologis yang dihadapi oleh petugas kesehatan
dalam video adalah bakteri M. tuberculosis. Bakteri ini ditularkan melalui droplet-
droplet infeksius yang tersebar di udara.36 WHO merekomendasikan pengendalian TB
di rumah sakit dengan 3 cara dengan uruta prioritas mulai dari kontrol administratif,
lalu kontrol lingkungan sampai proteksi respiratori personal.36 Kontrol administratif
mencakup kegiatan diagnosis dini pasien TB, isolasi pasien TB, dan inisiasi obat anti
tuberkulosis. Kontrol lingkungan dilakukan dengan menjaga aliran udara dari luar ke
fasilitas kesehatan tetap berlangsung melalui ventilasi yang memadai. Penggunaan
masker TB bertujuan untuk mencegah petugas kesehatan menghirup droplet yang
infeksius. Namun langkah kontrol ini harus dibarengi dengan langkah kontrol yang
lebih efetif yaitu kontrol administratif dan kontrol lingkungan.
18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik [Internet]. Penduduk 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan
utama 1986 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2017 [cited 2017 Aug 27].
Available from: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/971
2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN: Situasi Kesehatan
Kerja. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2015.
3. BPJS Ketenagakerjaan [Internet]. Hingga 2014, BPJS Ketenagakerjaan Tangani
105.383 Kasus Kecelakaan Kerja. Jakarta: BPJS Ketenagakerjaan. 2015 [cited 2017
Aug 27]. Available from: http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/1637/Hingga-
2014,-BPJS-Ketenagakerjaan-Tangani-105.383-Kasus-Kecelakaan-Kerja.html
4. Rudi S. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Jakarta: PPM; 2005.
5. Markkanen PK. Keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Manila: International
Labour Organization; 2004.
6. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Angka kecelakaan kerja di Indonesia
memprihatinkan. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja RI; 2008.
7. Departemen Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Standar
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2009.
8. Public Services Health and Safety Association. Repetitive Work: Fast Facts. Toronto:
Public Services Health and Safety Association; 2010.
9. Yeow JA, Ng PK, Tan KS, Chin TS, Lim WY. Effects of Stres, Repetition, Fatigue
and Work Environment on Human Error in Manufacturing Industries. Journal of
Applied Sciences. 2014;14:3464-3471.
10. Anis. Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: PT Elek Media Komtindo; 2005.
11. Anoraga P. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta; 2006.
12. Tyherleigh MY, Webb C, Cooper CL, Ricketts C. Occupational stres in UK higher
education institutions: a comparative study of all staff categories. Higher Education
Research & Development. 2005:24(1):41-61.
13. Tomei G, Cinti ME, Cerrati D, Fiovaranti M. Attention, repetitive works, fatigue, and
stres. Ann Ig. 2006;18(5):417-29.
14. Mangkunegara AP. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung: Refika Aditama; 2008.
20
15. Harrianto R. Stres akibat kerja dan penatalaksanaannya. Universa Medicina
2011;24(3):145-154.
16. Comcare. Ergonomisc hazards [Internet]. Canberra: Australian Government; 2014
Apr 2 [cited 2017 Aug 25]. Available from:
https://www.comcare.gov.au/preventing/hazards/ergonomisc_hazards
17. Ulutasdemir N, Tanir F. Occupational risks of health professionals. J Occup Health;
2017.
18. Kurniawidjaja LM, Purnomo E, Maretti N, Pujiriani I. Pengendalian risiko ergonomis
kasus low back pain pada perawat di rumah sakit. Majalah Kedokteran Bandung.
2014;46(4):225-33.
19. CCOHS. Work-related musculoskeletal disorders (WMSDs) [Internet]. Canada:
Canadian Centre for Occupational Health and Safety; 2017 [cited 2017 Aug 25].
Available from: https://www.ccohs.ca/oshanswers/ergonomiscs/risk.html
20. NHS Choice. Repetitive strain injury (RSI) [Internet]. [Place unknown]: NHS; 2016
Jan 27 [cited 2017 Aug 25]. Available from: http://www.nhs.uk/conditions/repetitive-
strain-injury/Pages/Introduction.aspx
21. WHO. Practical guidelines for infection control in health care facilities. 1st Ed. India:
WHO; 2004.
22. Dinas Kesehatan Kota Kendari. SOP mengukur tekanan darah. 2016.
23. Sulaiman MR. 18 Klinik di Jakarta akan jadi RS Tipe D karena pasien membludak.
[2014] cited on 27 August 2017. Available from
https://health.detik.com/read/2014/12/12/102429/2775382/763/18-klinik-di-jakarta-
akan-jadi-rs-tipe-d-karena-pasien-membludak
24. Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025.
25. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
2131 Tahun 2015 tentang Peraturan Jam Kerja bagi Para Pegawai Dinas Kesehatan,
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)/ Rumah Sakit Umum (RSU) Kelas D, Unit
Pelaksana Tekns (UPT) dan Pusat Kesehatan Masyarakat Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
26. Al-Makhaita HM, Sabra AA, Hafez AS. Predictors of Work-related Stres Among
Nurses Working in Primary and Secondary Health Care Levels in Dammam, Eastern
Saudi Arabia. J Family Community Med. 2014;21(2):7984.
21
27. Eryunda F. Hubungan shift kerja dan kelelahan kerja dengan stres kerja perawat di
instalasi rawat inap RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. 2017. Lampung:
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
28. Author unknown. Work-related stres. [time unknown] [cited on 27 Aug 2017].
Available from: betterhealth.vic.gov.au
29. CCOHS. Work-related musculoskeletal disorders (WMSDs) [Internet]. Canada:
Canadian Centre for Occupational Health and Safety; 2017 [cited 2017 Aug 26].
Available from: https://www.ccohs.ca/oshanswers/ergonomiscs/risk.html
30. Nery D. Ergonomisc hazard management: Audit tool user guide. Safer Industries;
2016.
31. Ergonomiscs: Risk factors. 2017 [cited 2017 Aug 26]. Available from:
https://blink.ucsd.edu/safety/occupational/ergonomiscs/awareness.html#Healthcare-
workers
32. World Health Organization and International Labour Organization. Pedoman bersama
ILO/WHO tentang pelayanan kesehatan dan hiv/aids. Jakarta: Direktorat Pengawasan
Kesehatan Kerja; 2005.
33. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
34. World Health Organization. Penerapan kewaspadaan standar di fasilitas pelayanan
kesehatan [Internet]. Who.int. 2008 [cited Aug 2017]. Available from:
http://www.who.int/csr/resources/publications/AMStandardPrecautions_bahasa.pdf?u
a=1
35. Collins AS. Preventing health care-associated infections[Internet]. 2008[cited Aug
2017]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2683/
36. World Health Organization Guidelines for the prevention of tuberculosis in health
care facilities in resource-limited settings. Geneva: World Health Organization; 1999.
22