Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

LAPORAN PLANT SURVEY

IDENTIFIKASI BAHAYA POTENSIAL PENGUKURAN TEKANAN


DARAH OLEH TENAGA KESEHATAN DI KLINIK

KELOMPOK 6
Afina Syarah L (1406570096) Maulidia Ekaputri (1406598964)
Belinda Thania D (1406570852) Ratih Wulan K (1406573526)
Faiza Azzahroh (1406527721) Sella Dwi Julian (1406527740)
Henrico Citrawijaya (1406566496) Yosilia Nursakina (1406570026)
Kartika Qonita P (1406569996)

MODUL SISTEM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
2017
DAFTAR ISI

BAB 1. Pendahuluan ........................................................................................................... 3


1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 3
1.2. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus..................................................................... 4
BAB 3. Tinjauan Pustaka .................................................................................................... 10
3.1. Bahaya Kimia: Cat ............................................................................................. 11
3.2. Bahaya Fisika: Bising ......................................................................................... 23
3.3. Bahaya Fisika : Benda Berat .............................................................................. 27
Bab 4. Pembahasan ............................................................................................................. 36
4.1. Perbandingan Hasil Kunjungan dengan Tinjauan Pustaka mengenai Cat.......... 30
4.2. Perbandingan Hasil Kunjungan dengan Tinjauan Pustaka mengenai Bising ..... 32
4.3. Perbandingan Hasil Kunjungan dengan Tinjauan Pustaka mengenai Benda
Berat ................................................................................................................... 33
Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................................................ 36
5.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 36
5.2. Rekomendasi ...................................................................................................... 36
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 41

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pekerja di Indonesia pada Februari 2017
mencapai 124.538.849 jiwa atau hampir mencapai 50% dari jumlah penduduk Indonesia.
Dari semua pekerja tersebut, 58.802.699 jiwa bekerja sebagai pekerja upah, baik dalam
sektor formal maupun informal.1 Badan Pusat Statistik juga memprediksi bahwa pada
tahun 2025 Indonesia akan mengalami puncak bonus demografis, yakni penduduk
Indonesia akan didominasi oleh penduduk usia kerja.2 Oleh karena itu, keselamatan dan
kesehatan pekerja berpengaruh besar terhadap tingkat kesehatan bangsa. Namun
demikian, jumlah kasus kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja masih tinggi di
Indonesia. Hingga tahun 2014, BPJS Ketenagakerjaan telah menangani 105.383 jumlah
kasus kecelakaan akibat kerja dengan cacat fungsi berjumlah 3.618 kasus, cacat sebagian
berjumlah 2.616 kasus, cacat total berjumlah 43 kasus, dan meninggal dunia sebanyak
2.375 kasus.3 Menurut BPS jumlah kasus penyakit akibat kerja mencapai 40.694. Angka
penyakit tidak menular pada penduduk usia kerja juga tinggi dan akan mengurangi
produktivitas kerja. Kerugian akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja bukan
hanya bersifat fisik tetapi juga psikologis, sosial, dan materiil; baik bagi korban, pemberi
kerja, maupun negara.2

Kelalaian perusahaan yang hanya memusatkan fokus pada keuntungan dan


ketidakmampuan pemerintah dalam menerapkan keselamatan internasional atau
melakukan pemeriksaan pekerja merupakan dua penyebab terbesar kematian terhadap
pekerja.4 Meskipun demikian, masih sedikit perusahaan di Indonesia yang sudah
berkomitmen untuk menerapkan pedoman Sistem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (SMK3) dalam lingkungan kerjanya. Pada tahun 2003, dari sekitar
170.000 perusahaan, hanya sekitar 500 yang memiliki SMK3 yang telah diaudit.5 Kinerja
penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Indonesia pun masih jauh harapan.
International Labour Organization (ILO) menempatkan keselamatan kerja perusahaan di
Indonesia pada peringkat 26 dari 27 negara, paling buruk jika dibandingkan dengan
negara asia tenggara lainnya.6

Salah satu kelompok pekerja dengan risiko pekerjaan yang tinggi adalah petugas
kesehatan. Penyakit akibat kerja di rumah sakit pada umumnya berkaitan dengan faktor

3
biologi (patogen), faktor kimia (obat-obatan), faktor ergonomis, faktor fisik, dan faktor
psikologis. Berdasarkan data WHO dari 35 juta petugas kesehatan, 3 juta diantaranya
telah terpajan oleh patogen dalam darah (2 juta terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan virus
HBC, dan 170.000 terpajan virus HIV). Penelitian di instalasi bedah sentral di RSUD di
Jakarta pada tahun 2006 menemukan bahwa gaya berat yang ditanggung pekerja rata-rata
lebih dari 20 kg dan 83.3% pekerja mengalami keluhan subjektif low back pain (LBP).
Penelitian dr. Joseph (2005-2007) mencatat bahwa angka KAK NSI (needle stick injury)
mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan. Gun (1983) mengungkapkan bahwa
insiden akut secara signifikan lebih besar terjadi pada pekerja rumah sakit dibandingkan
dengan seluruh pekerja di semua kategori.7

Selain pihak rumah sakit, sangat penting bagi petugas kesehatan sendiri untuk
memahami bahaya potensial dan kecelakaan akibat kerja yang mungkin terjadi di fasilitas
kesehatan. Pemahaman terhadap bahaya potensial dan kecelakaan kerja sangat penting
untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini akan
dipelajari faktor risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja pada pertugas kesehatan
serta penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yang dapat terjadi.

1.2. Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan kegiatan ini adalah mendapatkan gambaran mengenai lingkungan kerja


dan proses kerja pada tenaga kesehatan di suatu klinik yang dapat menjadi faktor
risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan, sehingga dapat dipahami pengaruh
lingkungan terutama lingkungan pekerjaan terhadap kesehatan.

1.2.2 Tujuan Khusus

Mampu mengidentifikasi bahaya potensial/faktor risiko terhadap kesehatan dan


keselamatan tenaga kesehatan di suatu klinik;
Mampu mengidentifikasi gangguan kesehatan yang mungkin timbul dengan
adanya bahaya potensial tertentu di suatu klinik;
Mampu menjelaskan upaya perlindungan dan pencegahan yang telah dilakukan
oleh pemberi kerja;

4
Mampu memberikan rekomendasi untuk perbaikan upaya kesehatan dan
keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan di suatu klinik, yang bersifat evidence
based (berdasarkan referensi yang mutakhir).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahaya Psikologis


Pekerjaan yang repetitif juga dapat berkontribusi pada stres yang dialami oleh
pekerja. Suatu pekerjaan dapat digolongkan sebagai pekerjaan repetitif apabila durasi kerja
atau durasi dari siklus tersebut kurang dari 30 detik. Ketika siklusnya lebih lama daripada
30 detik, maka tugas tersebut dianggap repetitif apabila tenaga kerja melakukan gerakan
yang sama lebih dari 50% dari siklus tersebut. Tugas yang direpetisi secara terus menerus
dapat meningkatkan kesalahan yang dilakukan oleh pekerja, menimbulkan masalah
muskuloskeletal, serta stres.8,9
Secara definisi, stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman
atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan, atau membuat dirinya aktif. Stres
merupakan tekanan psikologis yang dapat menyebabkan berbagai bentuk penyakit fisik
maupun mental. Gejala dari stres meliputi gejala psikologis, fisik, dan perilaku. Gejala
psikologis yang dimaksud berupa kecemasan dan ketegangan. Gejala fisik meliputi
peningkatan detak jantung, tekanan darah, sakit kepala, dan mual. Gejala perilaku meliputi
penurunan kualitas hubungan antarmanusia, baik dengan teman maupun anggota keluarga.
Gejala dapat dikatakan bersifat ringan sampai sedang apabila pekerja mengalami sakit
kepala, lesu letih, sukar berkonsentrasi dan mengambil keputusan, cemas, mudah marah,
gelisah, putus asa, semakin banyak merokok, serta menarik diri dari pergaulan sosial.
Gejala stres dapat dikatakan berat apabila manifestasinya kronis, muncul beberapa hari,
bulan, atau setahun kemudian. Stres berat dapat berakhir dalam kematian, gangguan jiwa,
dan kehilangan kontak sama sekali dengan lingkungan sosial.10,11
Tytherleigh, et al (2005) menyatakan bahwa penyebab dari stres yang berhubungan
dengan kerja meliputi jam kerja yang lama, keamanan kerja, hubungan interpersonal di
tempat kerja, sumber daya, dan komunikasi. Beban kerja berlebih dapat dielaborasikan
sebagai kerja yang memiliki ekspektasi tidak realistis, kecepatan mesin, komunikasi yang
menjemukan, beban kerja yang tidak bisa diatur, serta kekurangan sumber daya manusia.
Kekurangan kontrol, pengaruh terhadap target performa, keterlibatan dalam pengambilan
keputusan, serta kekurangan waktu juga bisa menjadi stresor dari tenaga kerja tersebut.
Hubungan kerja yang kurang baik juga dapat muncul akibat gaya manajerial yang agresif,
kurangnya dukungan dari partner kerja lain, isolasi, perilaku aversif, kurangnya pengertian

6
dan kepemimpinan, dan lain sebagainya. Insentif finansial juga bisa berpengaruh negatif
terhadap kinerja seseorang.12
Stres, kelelahan mental, dan depresi dapat menjadi efek dari pekerjaan yang
repetitif. Literatur menyatakan bahwa pekerjaan yang membutuhkan performa tingkat
tinggi dalam waktu yang lama, memproduksi usaha kognitif dengan kewaspadaan tingkat
tinggi, perhatian yang selektif, kemampupan mengambil keputusan, mekanisme kontrol
yang terotomatisasi, dan dapat berkontribusi pada kelelahan. Pada dasarnya, kelelahan itu
sendiri dapat berdampak pada kinerja seseorang dikarenakan penurunan efisiensi dan
performa. Kelelahan juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan fisik, serta
menginduksi patologi yang berbeda-beda. Kelelahan mental juga dapat menginduksi
kelelahan otot. Pekerjaan yang repetitif dapat menjadi stresor internal dan dapat
menimbulkan gejala fisik dan mental, seperti cemas, depresi, dan penyakit somatik.11
Terdapat sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk mengontrol pekerjaan yang
repetitif ini agar tidak menimbulkan stres terhadap pekerja:13,14
Edukasi
Hal ini merupakan aspek yang paling penting untuk diterapkan pada pekerja
dan supervisor agar mereka memahami penyebab, gejala awal, dan bagaimana cara
mencegah stres akibat kerja.13
Rotasi pekerjaan
Rotasi pekerjaan juga bisa menjadi jalan yang efektif untuk
mendistribusikan pajanan terhadap populasi pekerja yang lebih besar. Hal ini bisa
menjadi faktor motivasi yang positif bagi pekerja agar mereka tidak terjebak dalam
pekerjaan yang monoton terus menerus. Apabila tidak dapat dilakukan rotasi
pekerjaan, maka rotasi tugas atau menambah varietas tugas dalam pekerjaan
tersebut dapat menjadi alternatif pemecahan masalah. 13
Perbanyak waktu istirahat
Pekerja yang bekerja di depan computer secara kontinu harus mendapatkan
istirahat lima menit setiap jamnya, baik dalam bentuk istirahat dari kerja atau
mengubah tipe kerja yang sedang dilakukan.13
Latihan stretching
Apabila dilaksanakan 2-3 kali dalam sehari, hal ini dapat mencegah
terjadinya stres muskuloskeletal akibat kerja dan kemungkinan juga bisa mencegah
kelelahan mental. Stretching dilakukan pada jari, lengan, dan siku. Di Indonesia,

7
berdasarkan program Germas oleh Kementerian Kesehatan RI juga digalakkan
mengenai peregangan yang harus dilakukan setiap dua jam bekerja.13
Pendekatan dukungan sosial
Tujuan dari pendekatan ini ialah memberikan kepuasan sosial kepada
pekerja. Caranya bisa berupa bercakap-cakap, bercanda, serta menyelesaikan
permainan bersama.14
Pendekatan biofeedback
Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, seperti dari dokter,
psikiater, dan psikolog. Hal ini ditujukan agar pekerja dapat menghilangkan stres
yang dialaminya. Konseling disarankan dilaksanakan pada saat gejala-gejal stres
baru timbul. Apabila diperlukan, pekerja dapat diberikan obat berupa anxiolitika,
antidepresan, atau beta-blocker untuk mengatasi stres jangka pendek.14,15
Mengubah lingkungan kerja
Hal ini dilakukan melalui manipulasi sedemikian rupa agar nyaman bagi
pekerja. Cara lainnya ialah dengan meyakinkan pekerja tersebut bahwa ancaman
tersebut tidak ada atau melalui pendekatan persepsi tenaga kerja. Hal lain yang bisa
dilakukan ialah meningkatkan daya tahan mental pekerja terhadap stres, misalnya
dengan latihan dibimbing oleh psikolog, meditasi, hypnosis, dan otosugesti. 10

2.2. Bahaya Ergonomis

Bahaya ergonomis merupakan faktor pada lingkungan yang dapat menyebabkan


gangguan pada sistem muskuloskeletal. Bahaya ergonomis meliputi pergerakan repetitif,
pekerjaan manual, posisi tempat kerja yang tidak nyaman, dan posisi tubuh yang tidak benar.
Ergonomis merupakan ilmu mengenai tempat kerja, perlengkapan yang digunakan, dan
lingkungan kerja sehingga dapat didesain untuk kenyamanan, efisiensi, keamanan, dan
produktivitas.16

Pelayanan kesehatan merupakan pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko terkait


kesehatan dan keamanan pekerjanya. Risiko pekerjaan dari tenaga kesehatan dapat berubah-
ubah bergantung pada profesi, bentuk pekerjaan, dan unit rumah sakit. Semakin baik
keseimbangan antara lingkungan kerja dengan pekerja itu sendiri dapat meningkatkan
keamanan dan efisiensi untuk para pekerja. Jika terdapat ketidakseimbangan antara kapasitas
fisik pekerja dengan persyaratan kerja, penyakit okupasi dapat muncul. Berdasarkan

8
penelitian di Turki, frekuensi LBP dalam satu tahun terakhir sejumlah 58,3% pada perawat
dan tenaga kesehatan.17

Pekerja yang memiliki risiko tinggi mengidap LBP antara lain pekerja dengan posisi
tubuh yang tidak benar saat bekerja, melakukan pekerjaan manual, dan melakukan pekerjaan
dengan durasi dan frekuensi tinggi termasuk pekerja kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan
penelitian, prevalensi LBP pada perawat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum,
khususnya perawat yang sering mengangkat sesuatu atau perawat yang berperan dalam
mobilisasi pasien. Pekerjaan tenaga kesehatan yang dapat meningkatkan risiko LBP antara
lain saat memasang dan melepaskan infus, melakukan suction, resusitasi jantung paru,
memasang kateter, dan pekerjaan lain yang mengharuskan posisi membungkuk. Posisi
membungkuk menyebabkan risiko 14 kali lebih tinggi terhadap keluhan LBP dibandingkan
dengan posisi tidak membungkuk. Sudut bungkuk punggung 60 0 dapat meningkatkan risiko
sebanyak 11 kali terhadap keluhan LBP.18

Tabel 1. Tingkat risiko ergonomis dan keluhan low back pain menurut aktivitas perawat.18
Commented [SJ1]: Buat lagi tabel baru

Berbagai posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika
dilakukan dalam periode waktu yang lama. Sebagai contoh, posisi berdiri merupakan postur
tubuh alami yang tidak menyebabkan bahaya khusus terhadap kesehatan. Akan tetapi, jika
dilakukan dalam periode waktu yang lama dapat menyebabkan pegal-pegal, kelelahan otot
secara general, dan LBP. Selain itu, desain lingkungan kerja yang tidak sesuai dan pekerjaan
tertentu dapat membuat pekerja menggunakan posisi berdiri yang tidak benar.19

Terdapat dua aspek posisi tubuh yang dapat menyebabkan Work-related


Musculoskeletal Disorder (WMSD). Pertama, ketika bagian tubuh digunakan untuk
pergerakan ekstrem, peregangan dan kompresi otot dapat terjadi. Semakin lama posisi tubuh
yang tidak benar digunakan, semakin tinggi risiko terjadinya WMSD. Aspek kedua adalah
memosisikan leher dan pundak dalam posisi terfiksasi. Untuk melakukan pergerakan dengan

9
tangan, otot pada pundak dan leher berkontraksi sehingga dapat menekan pembuluh darah
yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke tangan.19

Pergerakan repetitif dapat berbahaya karena menggunakan sendi dan otot yang sama
secara terus-menerus. Hal ini menjadi faktor risiko WMSD.19 Sedangkan repetitive strain
injury (RSI) merupakan sebutan umum untuk mendeskripsikan nyeri otot, saraf, dan tendon
akibat pergerakan repetitif berlebihan. RSI dapat terjadi akibat pergerakan repetitif,
melakukan aktivitas internsitas tinggi dalam waktu yang lama tanpa istirahat, dan posisi
tubuh yang tidak benar. Temperatur dingin dan getaran juga dapat meningkatkan risiko RSI
dan memperparah gejala penyakit. Stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam
terbentuknya RSI.20

Solusi menurut literatur untuk mengatasi/menghindarinya?

2.3. Bahaya Biologis

Bagi tenaga kesehatan, pengukuran tekanan darah merupakan salah satu kompetensi
wajib dan sering dilakukan dalam praktik sehari-hari. Bahaya dalam melakukan pekerjaan ini
dapat berasal dari berbagai hal termasuk bahaya biologis. Bahaya biologis yang dapat
mengancam tenaga kesehatan adalah terinfeksi cairan tubuh pasien maupun mikroorganisme
infeksius yang terkena saat kontak langsung melalui kulit.

Cairan tubuh pasien yang bersifat infeksius dapat berasal dari darah dan droplet.
Darah dapat membawa penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS. Droplet sering menjadi media
persebaran tuberkulosis, influenza, cacar, dan penyakit menular lainnya. Infeksi menyebar
melalui udara terjadi ketika droplet berukuran >5m terdiseminasi di udara. Cairan tersebut
menjadi residu di udara untuk beberapa saat. Cairan tersebut dapat bertahan lebih lama ketika
terikat dengan partikel debu. Transmisi infeksi biasanya melalui batuk, bersin, berbicara, atau
pekerja kesehatan sedang melakukan prosedur. Selain cairan tubuh, mikroorganisme juga
dapat membahayakan petugas kesehatan. Salah satu bahaya biologis yang dihadapi oleh
petugas kesehatan adalah mikroorganisme penyebab penyakit kulit (panu, skabies, impetigo,
dan penyakit kulit lainnya).21

Untuk menghindari terinfeksi penyakit menular, petugas kesehatan harus memakai


alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan maupun masker. Sarung tangan dan masker
dapat berperan sebagai penghalang pasien dengan petugas kesehatan. Masker berguna
melindungi membran mukosa hidung dan mulut ketika melakukan prosedur kesehatan.

10
Masker tidak boleh dipakai berulang kali. Sarung tangan harus diganti antar prosedur dan
pasien. Sarung tangan yang telah dipakai harus dibuang ke tempat pembuangan yang sesuai.
Petugas kesehatan juga harus membersihkan tangan sebelum dan sesudah melakukan
prosedur.21

11
Tabel 1. Analisis Video

Gangguan Upaya yang Dilakukan Usulan


Bahaya Potensial
Kesehatan Risiko Perusahaan Upaya
Alur
No. Fisik Kimia Biologi Ergonomis Psikologi yang Kecelakaan Alat Peraturan APD yang
Kerja
Mungkin Kerja Dilakukan
Terjadi Perusahaan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Analisis Video


3.2. Pembahasan
3.2.1. Perbandingan antara Video dengan Tinjauan Pustaka mengenai Bahaya
Potensial Psikologis
Pada video tersebut, tidak terlihat dimana lokasi petugas kesehatan tersebut
melakukan pemeriksaaan tekanan darah. dalam pembahasan ini, penulis mengambil
latar belakang di klinik. Pada klinik sendiri, petugas yang diperbolehkan untuk
mengukur tekanan darah adalah dokter, perawat dan bidan.22 Selama satu hari,
umumnya pasien yang datang ke Klinik Kecamatan berkisar antara 500-800 orang.23
Jumlah tersebut tentunya harus didukung dengan tersedianya jumlah tenaga kesehatan
yang banyak. Akan tetapi, sekarang ini masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan
di klinik.24 Hal ini tentunya akan berdampak pada beban kerja setiap petugas
kesehatan di klinik yang meningkat.

Dalam video tersebut, tidak terlihat apakah petugas kesehatan yang bertugas
mendapatkan rotasi pergantian. Menurut Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengaturan jam kerja tenaga kesehatan terbagi
menjadi 3 shift untuk klinik kecamatan dengan pelayanan 24 jam. Shift tersebut
terbagi menjadi 07.30-14.00, 14.00-20.30, 20.30-07.30. Namun untuk klinik
kecamatan tanpa pelayanan 24 jam, petugas kesehatan harus bertugas dari jam 07.30-
16.00 dengan waktu istirahat jam 12.00-13.00.25

Dengan demikian, petugas kesehatan yang bertugas untuk mengukur tekanan


darah di klinik, harus melakukan hal tersebut berulang-ulang kali karena pasien yang
banyak dan pergantian shift setiap 4,5 jam kerja. Pekerjaan yang berulang-ulang
tersebut atau pekerjaan yang repetitif tentunya dapat berkontribusi pada stres yang
dialami oleh petugas klinik. Selain itu,tugas yang dilakukan secara berulang dapat
berakibat pada peningkatan kesalahan dan permasalahan muskuloskeletal.9

Pada video tersebut, tidak terlihat apakah petugas tersebut merupakan dokter,
perawat ataupun bidan. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai perawat
dan tingkat stres yang dihadapinya. Perawat merupakan pekerjaan yang mempunyai
tingkat stres yang tinggi. Stres yang dialaminya pun dapat berdampak pada kesehatan
fisik dan mental yangmana apabila dibiarkan dapat berdampak pada kinerja perawat
tersebut. prevalensi stres pada perawatpun di beberapa penelitian berkisar antara 29-
40%.26

Pada penelitian yang dilakukan oleh Anggara M (2012), sebanyak 80 perawat


mengalami stres tingkat sedang. hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
tidakseimbangnya perbandingan antara perawat dengan jumlah pasien, kekhawatiran
perawat tertular penyakit infeksi pasien dan beban kerja berlebih akibat jam kerja.27

Gejala yang ditimbulkan akibat stres kerja antara lain kelelahan, lelah otot,
pusing, dada berdebar-debar, insomnia, dan gangguan pencernaan. Sementara itu,
gangguan psikologis yang muncul adalah depresi, kecemasan,iritabilitas, pesimis, dan
konsentrasi berkurang. Stres kerja juga dapat berdampak pada perilaku pekerja seperti
peningkatan jumlah absensi, perubahan mood, mengisolasi diri, dan mempunyai
masalah interpersonal.28 Tentunya stres kerja ini perlu ditangani dan dicari akar
penyebabnya. Hal ini tentunnya penting untuk dilakukan karena dampak dari stres
kerja ini sangat luas, baik terhadap pekerja itu sendiri maupun juga terhadap
pelayanan (dalam hal ini pelayanan kesehatan) yang akan diberikan. Commented [SJ2]: Revisi abel

3.2.2. Perbandingan antara Video dengan Tinjauan Pustaka mengenai Bahaya


Ergonomis

Pada video plant survey terlihat bahwa seorang petugas kesehatan yang
melakukan pengukuran tekanan darah pada pasien berada pada posisi yang
membungkuk. Posisi tubuh yang membungkuk tersebut merupakan salah satu bahaya
potensial dari segi ergonomis. Posisi tubuh yang tidak tepat saat bekerja dapat
menyebabkan gangguan pada sistem muskuloskeletal (WMSD). Semakin lama posisi
tubuh yang tidak tepat digunakan, semakin tinggi pula risiko terjadinya WMSD.
Posisi membungkuk seperti yang dialami oleh petugas kesehatan dalam video dapat
menimbulkan beban/tekanan yang tinggi pada ruas-ruas tulang belakang sehingga
dapat memicu terjadinya LBP.29

Selain posisi yang tidak tepat, melakukan pergerakan repetitif dengan durasi
dan frekuensi tinggi juga dapat memicu terjadinya WMSD. Pergerakan repetitif sangat
berbahaya saat melibatkan sendi dan kelompok otot yang sama berulang kali atau
pada saat melakukan gerakan yang sama terlalu sering, terlalu cepat, atau terlalu lama.

14
Pekerjaan yang membutuhkan gerakan berulang selalu melibatkan faktor risiko lain
untuk memicu terjadinya WMSD, seperti posisi dan kekuatan tubuh yang statis.
Kecepatan kerja menentukan jumlah waktu yang tersedia untuk istirahat dan
pemulihan tubuh antara siklus tugas tertentu. Semakin tinggi kecepatan kerja, semakin
sedikit waktu yang tersedia dan semakin tinggi risiko terjadinya WMSD. Bila pekerja
tidak memiliki kontrol atas waktu dan kecepatan kerja maka tingkat stres meningkat.
Tingkat stres yang lebih tinggi akan memicu ketegangan otot yang menyebabkan
kelelahan dan meningkatkan risiko WMSD.29

Untuk melakukan manajemen bahaya ergonomis terhadap petugas kesehatan, Commented [SJ3]: Saran dimasukkan ke pembahasan dari
tinjauan pustaka
maka suatu penyedia pelayanan kesehatan harus memperhatikan 4 tahapan, yaitu
identifikasi risiko, penilaian risiko, pengendalian risiko, serta monitoring dan
evaluasi.30 Faktor risiko ergonomis yang sering dialami oleh petugas kesehatan antara
lain awkward postures, pergerakan repetitif, pekerjaan yang monoton, kompresi
mekanis, postur statis, serta mengangkat, menarik atau mendorong pasien.31 Setelah
mengidentifikasi risiko, maka dilakukan penilaian terhadap risiko bahaya yang telah
diidentifikasi. Penilaian tingkat risiko merupakan kombinasi tingkat keparahan risiko
dan frekuensi pekerjaan tersebut dilakukan. Artinya semakin sering atau semakin
lama durasi suatu pekerjaan, maka semakin besar risikonya. Tahapan berikutnya
setelah penilaian risiko adalah melakukan pengendalian risiko. Dalam pengendalian
risiko, terdapat beberapa elemen yang perlu diperhatikan, yaitu:30

Menghilangkan atau meminimalkan risiko.30 Pada video, terlihat bahwa faktor


risiko ergonomis yang dialami oleh petugas kesehatan adalah awkward posture dan
pergerakan repetitif. Pada saat pengukuran tekanan darah, sebaiknya petugas
kesehatan berada dalam posisi duduk. Pada video, petugas kesehatan telah
disediakan kursi yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran tekanan
darah. Namun, petugas kesehatan lebih memilih untuk berdiri dan berada dalam
posisi membungkuk saat mengukur tekanan darah pasien. Hal ini dipengaruhi oleh
rasa tidak nyaman yang dialami oleh petugas kesehatan untuk duduk di kursi saat
melakukan pengukuran tekanan darah. Untuk meminimalkan hal tersebut, maka
pihak penyedia pelayanan kesehatan dapat menyediakan kursi yang dapat
digerakkan sehingga memudahkan petugas kesehatan dalam melakukan pergerakan
selama melakukan pekerjaannya. Di sisi lain, petugas kesehatan yang bertugas juga
harus memahami bahaya ergonomis yang dapat ditimbulkan oleh pekerjaannya.

15
Apabila tugas tertentu melibatkan gerakan berulang atau menggunakan posisi yang
sama untuk waktu yang lama, maka dibutuhkan istirahat sejenak secara berkala
untuk mengurangi beban yang tinggi pada sekelompok otot tertentu.
Mengurangi kelelahan dan injury melalui reorganisasi kerja.30 Dalam hal ini,
pihak penyedia pelayanan kesehatan dapat menyusun pengaturan jam kerja yang
tepat bagi karyawan. Karyawan yang melakukan pekerjaan yang sama dalam waktu
yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan pada
sistem muskuloskeletal sebagai akibat dari pergerakan repetitif.
Meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan pekerja.30 Dalam
hal ini, pihak penyedia pelayanan kesehatan dapat memberikan pelatihan dan
melakukan pengawasan tugas kerja. Apabila dikaitkan dengan video, maka petugas
kesehatan yang bertugas melakukan pengukuran tekanan darah sebaiknya diberikan
pelatihan mengenai metode dan posisi yang tepat dalam mengukur tekanan darah.

3.2.3. Perbandingan antara video dengan tinjauan pustaka mengenai bahaya biologis
Pada video plant survey, terlihat seorang petugas kesehatan perempuan sedang
melakukan pengukuran tekanan darah seorang pasien perempuan. Petugas kesehatan
terlihat tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Selain itu, beliau tidak
memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan dan masker. Hal ini tidak sesuai
dengan standar operasional prosedur terkait dengan pengendalian infeksi.

Cuci tangan adalah kegiatan yang bermanfaat untuk mencegah penularan


mikroorganisme infeksius dari tangan pemeriksa ke tubuh pasien. Sebaiknya, rumah
sakit menyediakan tempat atau sarana cuci tangan. Sarana cuci tangan yang baik
harus memenuhi kriteria berupa adanya sumber air yang memadai, sabun, dan handuk
yang dipakai hanya sekali. Cuci tangan tidak hanya dapat dilakukan dengan sabun dan
air mengalir melainkan dapat dilaksanakan dengan menggunakan alkohol 70% yang
dioleskan pada tangan. Cuci tangan dilakukan pada waktu tertentu yaitu pada saat
pemulaan dan penyelesaian periode kerja, sebelum dan setelah melakukan perawatan
pasien, sebelum dan setelah mengonsumsi makanan atau minuman, sebelum dan
setelah meninggalkan tempat kerja. Apabila petugas kesehatan terpapar oleh darah
dan cairan tubuh pasien, petugas kesehatan harus mencuci tangan dengan segera.
Sarung tangan berfungsi untuk melindungi pemeriksa dari cairan tubuh yang infeksius
misalnya darah yang ada pada luka terbuka ataupun nanah dari luka. Ketidakpatuhan
pada prosedur tersebut berpotensi menimbulkan bahaya akibat agen biologis pada

16
pasien maupun petugas kesehatan. Pembersihan sebaiknya dilakukan untuk alat-alat
yang bersentuhan dengan kulit yang intak seperti misalnya alat untuk mengukur
tekanan darah.32

Pihak rumah sakit juga seharusnya memberikan pendidikan dan pelatihan


kepada tenaga-tenaga kesehatan yang bekerja. Pendidikan dan pelatihan terkait
pengendalian infeksi ditujukan agar petugas kesehatan memiliki pengetahuan
kewaspadaan terkait pajanan patogen yang ditularkan melalui darah, pemahaman akan
mekanisme penularan patogen melalui darah khususnya Hepatitis B, C, dan HIV, dan
kemampuan mengenali dan melindungi diri dari situasi yang memungkinan mereka
terpajan patogen dari darah.32 Menteri Kesehatan mewajibkan terselenggaranya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Peraturan Menteri Kesehatan juga menyebutkan
mengenai pelatihan dan pendidikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Kementerian
Kesehatan telah menetapkan kurikulum yang harus dikuasai oleh setiap tenaga
kesehatan.33

Selain itu, melalui pelatihan tersebut, petugas kesehatan diharapkan dapat


menerapkan kewaspadaan standar dan praktik K3 di lingkungan kerja. Kewaspadaan
standar merupakan cara pengendalian infeksi terhadap patogen yang ditularkan
melalui darah, semua cairan tubuh yang disekresi atau ekskresikan kecuali keringat,
kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir. Kewaspadaan standar diterapkan pada semua
pasien. Kegiatan yang dilakukan sebagai bagian dari kewaspadaan standar antara lain
adalah mencuci tangan, memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan dan
masker, merawat peralatan, etika batuk, dan kebersihan lingkungan.32 Kebersihan
lingkungan yang dimaksud adalah desinfeksi permukaan benda yang sering
disentuh.32,34

Mikroorganisme dapat dituarkan melalui kontak langsung antara pasien yang


terinfeksi atau pasien yang terkolonisasi mikroorganisme dengan petugas tenaga
kesehatan yang rentan. Mikroorganisme dapat berpindah dari pasien terinfeksi ke
tangan petugas kesehatan namun tidak menyebabkan infeksi. Apabila petugas
kesehatan tidak mencuci tangan, mikoroorganisme yang ada di tangannya dapat
berpindah lagi ke pasien baru. Mikroorganisme yang penularannya terjadi melalui
kontak adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau vancomycin-

17
resistant Enterococci (VRE). Penyakit atau kelainan kesehatan yang berpotensi
menularkan mikroorganisme antara lain adalah impetigo, diare ataupun abses. 35

Bahaya potensial lain dari segi biologis yang dihadapi oleh petugas kesehatan
dalam video adalah bakteri M. tuberculosis. Bakteri ini ditularkan melalui droplet-
droplet infeksius yang tersebar di udara.36 WHO merekomendasikan pengendalian TB
di rumah sakit dengan 3 cara dengan uruta prioritas mulai dari kontrol administratif,
lalu kontrol lingkungan sampai proteksi respiratori personal.36 Kontrol administratif
mencakup kegiatan diagnosis dini pasien TB, isolasi pasien TB, dan inisiasi obat anti
tuberkulosis. Kontrol lingkungan dilakukan dengan menjaga aliran udara dari luar ke
fasilitas kesehatan tetap berlangsung melalui ventilasi yang memadai. Penggunaan
masker TB bertujuan untuk mencegah petugas kesehatan menghirup droplet yang
infeksius. Namun langkah kontrol ini harus dibarengi dengan langkah kontrol yang
lebih efetif yaitu kontrol administratif dan kontrol lingkungan.

18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
5.2. Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik [Internet]. Penduduk 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan
utama 1986 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2017 [cited 2017 Aug 27].
Available from: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/971
2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN: Situasi Kesehatan
Kerja. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2015.
3. BPJS Ketenagakerjaan [Internet]. Hingga 2014, BPJS Ketenagakerjaan Tangani
105.383 Kasus Kecelakaan Kerja. Jakarta: BPJS Ketenagakerjaan. 2015 [cited 2017
Aug 27]. Available from: http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/1637/Hingga-
2014,-BPJS-Ketenagakerjaan-Tangani-105.383-Kasus-Kecelakaan-Kerja.html
4. Rudi S. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Jakarta: PPM; 2005.
5. Markkanen PK. Keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Manila: International
Labour Organization; 2004.
6. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Angka kecelakaan kerja di Indonesia
memprihatinkan. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja RI; 2008.
7. Departemen Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Standar
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2009.
8. Public Services Health and Safety Association. Repetitive Work: Fast Facts. Toronto:
Public Services Health and Safety Association; 2010.
9. Yeow JA, Ng PK, Tan KS, Chin TS, Lim WY. Effects of Stres, Repetition, Fatigue
and Work Environment on Human Error in Manufacturing Industries. Journal of
Applied Sciences. 2014;14:3464-3471.
10. Anis. Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: PT Elek Media Komtindo; 2005.
11. Anoraga P. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta; 2006.
12. Tyherleigh MY, Webb C, Cooper CL, Ricketts C. Occupational stres in UK higher
education institutions: a comparative study of all staff categories. Higher Education
Research & Development. 2005:24(1):41-61.
13. Tomei G, Cinti ME, Cerrati D, Fiovaranti M. Attention, repetitive works, fatigue, and
stres. Ann Ig. 2006;18(5):417-29.
14. Mangkunegara AP. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung: Refika Aditama; 2008.

20
15. Harrianto R. Stres akibat kerja dan penatalaksanaannya. Universa Medicina
2011;24(3):145-154.
16. Comcare. Ergonomisc hazards [Internet]. Canberra: Australian Government; 2014
Apr 2 [cited 2017 Aug 25]. Available from:
https://www.comcare.gov.au/preventing/hazards/ergonomisc_hazards
17. Ulutasdemir N, Tanir F. Occupational risks of health professionals. J Occup Health;
2017.
18. Kurniawidjaja LM, Purnomo E, Maretti N, Pujiriani I. Pengendalian risiko ergonomis
kasus low back pain pada perawat di rumah sakit. Majalah Kedokteran Bandung.
2014;46(4):225-33.
19. CCOHS. Work-related musculoskeletal disorders (WMSDs) [Internet]. Canada:
Canadian Centre for Occupational Health and Safety; 2017 [cited 2017 Aug 25].
Available from: https://www.ccohs.ca/oshanswers/ergonomiscs/risk.html
20. NHS Choice. Repetitive strain injury (RSI) [Internet]. [Place unknown]: NHS; 2016
Jan 27 [cited 2017 Aug 25]. Available from: http://www.nhs.uk/conditions/repetitive-
strain-injury/Pages/Introduction.aspx
21. WHO. Practical guidelines for infection control in health care facilities. 1st Ed. India:
WHO; 2004.
22. Dinas Kesehatan Kota Kendari. SOP mengukur tekanan darah. 2016.
23. Sulaiman MR. 18 Klinik di Jakarta akan jadi RS Tipe D karena pasien membludak.
[2014] cited on 27 August 2017. Available from
https://health.detik.com/read/2014/12/12/102429/2775382/763/18-klinik-di-jakarta-
akan-jadi-rs-tipe-d-karena-pasien-membludak
24. Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025.
25. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
2131 Tahun 2015 tentang Peraturan Jam Kerja bagi Para Pegawai Dinas Kesehatan,
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)/ Rumah Sakit Umum (RSU) Kelas D, Unit
Pelaksana Tekns (UPT) dan Pusat Kesehatan Masyarakat Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
26. Al-Makhaita HM, Sabra AA, Hafez AS. Predictors of Work-related Stres Among
Nurses Working in Primary and Secondary Health Care Levels in Dammam, Eastern
Saudi Arabia. J Family Community Med. 2014;21(2):7984.

21
27. Eryunda F. Hubungan shift kerja dan kelelahan kerja dengan stres kerja perawat di
instalasi rawat inap RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. 2017. Lampung:
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
28. Author unknown. Work-related stres. [time unknown] [cited on 27 Aug 2017].
Available from: betterhealth.vic.gov.au
29. CCOHS. Work-related musculoskeletal disorders (WMSDs) [Internet]. Canada:
Canadian Centre for Occupational Health and Safety; 2017 [cited 2017 Aug 26].
Available from: https://www.ccohs.ca/oshanswers/ergonomiscs/risk.html
30. Nery D. Ergonomisc hazard management: Audit tool user guide. Safer Industries;
2016.
31. Ergonomiscs: Risk factors. 2017 [cited 2017 Aug 26]. Available from:
https://blink.ucsd.edu/safety/occupational/ergonomiscs/awareness.html#Healthcare-
workers
32. World Health Organization and International Labour Organization. Pedoman bersama
ILO/WHO tentang pelayanan kesehatan dan hiv/aids. Jakarta: Direktorat Pengawasan
Kesehatan Kerja; 2005.
33. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
34. World Health Organization. Penerapan kewaspadaan standar di fasilitas pelayanan
kesehatan [Internet]. Who.int. 2008 [cited Aug 2017]. Available from:
http://www.who.int/csr/resources/publications/AMStandardPrecautions_bahasa.pdf?u
a=1
35. Collins AS. Preventing health care-associated infections[Internet]. 2008[cited Aug
2017]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2683/
36. World Health Organization Guidelines for the prevention of tuberculosis in health
care facilities in resource-limited settings. Geneva: World Health Organization; 1999.

22

Anda mungkin juga menyukai