Disusun oleh :
Kelompok 3
1
PENYUSUN
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah telaah jurnal yang berjudul “Hazard Dan Risiko Kimia Pada Pelayanan
Rumah Sakit”. untuk melengkapi satu tugas mata kuliah Kesehatan Kerja tahun
ajaran 2017 di Stikes Dharma Husada Bandung.
Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari segenap
pihak. Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepadapihak yang
telah membantu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan dan kekurangan ilmu pengetahuan penulis. Maka
dengan senang hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi sempurnanya karya tulis ini. Selanjutnya penulis mengharapkan
semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan kerja merupakan bagian dari kesehatan masyarakat atau
aplikasi kesehatan masyarakat didalam suatu masyarakat pekerja dan
masyarakat lingkungannya. Kesehatan kerja bertujuan untuk memperoleh
derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, mental, dan sosial bagi
masyarakat pekerja dan masyarakat lingkungan perusahaan tersebut, melalui
usaha-usaha preventif, promotif dan kuratif terhadap penyakit-penyakit atau
gangguan-gangguan kesehatan akibat kerja atau lingkungan kerja.
Kesehatan kerja ini merupakan terjemahan dari “Occupational
Health” yang cenderung diartikan sebagai lapangan kesehatan yang mengurusi
masalah-masalah kesehatan secara menyeluruh bagi masyarakat pekerja.
Menyeluruh dalam arti usaha-usaha preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif,
hygiene, penyesuaian faktor manusia terhadap pekerjaannya dan sebagainya
(Notoadmojo, 2012).
Tujuan akhir dari kesehatan kerja ini adalah untuk menciptakan
tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tujuan ini dapat tecapai, apabila didukung
oleh lingkungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan kerja.
Lingkungan kerja yang mendukung terciptanya tenaga kerja yang sehat dan
produktif antara lain; suhu ruangan yang nyaman, penerangan atau pencahayaan
yang cukup, bebas dari debu, sikap badan yang baik, alat-alat kerja yang sesuai
dengan ukuran tubuh atau anggotanya (ergonomik) dan sebagainya
(Notoadmojo, 2012).
Dasar hukum Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) tercantum dalam Undang-Undang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970
Tentang Keselamatan Kerja. Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan, pasal 23 dinyatakan bahwa K3 harus diselenggarakan di
semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
1
kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit
sepuluh orang.
Jika memperhatikan isi dari pasal diatas maka jelaslah rumah sakit
termasuk kedalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang
dapat menimbulkan dampak kesehatan tidak hanya terhadap para pelaku
langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun
pengunjung rumah sakit sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit
menerapkan upaya-upaya K3 di rumah sakit.
Instalasi laundry merupakan bagian dari rumah sakit yang
mempunyai risiko penularan penyakit infeksi dan juga terdapat beberapa risiko
bahaya yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit (Depkes RI,
2009). Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk
mengendalikan dan meminimalisasikan dan bila mungkin meniadakannya. Oleh
karena itu perlu diadakannya sistem K3 di instalasi laundry agar
penyelenggaraan K3 tersebut lebih efektif, efisien dan terpadu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem manajemen K3 di Instalasi Laundry Rumah Sakit
2. Bagaimana langkah manajemen sistem K3 Rumah Sakit di Instalasi
Laundry
3. Bagaimanakah bahaya/ancaman di Instalasi Loundry Rumah sakit
4. Bagaimana pengendalian risiko bahaya di Instalasi Laundry Rumah Sakit
C. Tujuan
1. Mengetahui sistem manajemen K3 di Instalasi Laundry Rumah Sakit
2. Mengetahui langkah manajemen sistem K3 Rumah Sakit di Instalasi
Laundry
3. Mengetahui apa saja bahaya/ancaman di Instalasi Loundry Rumah sakit
4. Mengetahui pengendalian risiko bahaya di Instalasi Laundry Rumah Sakit
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
benar dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keselamatan dan
kesehatannya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas
kerjanya.
Lingkungan kegiatan rumah sakit dapat mempengaruhi kesehatan
dalam 2 bentuk yaitu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
1. Kecelakaan kerja di rumah sakit
Ada beberapa bahaya potensial untuk terjadinya kecelakaan kerja di
rumah sakit yaitu antara lain: ketel uap, kebakaran, bahan-bahan
radioaktif, cedera pada punggung karena mengangkat pasien, pekerjaan
menyuntik, terpeleset/terjatuh.
2. Penyakit akibat kerja di rumah sakit
Penyakit akibat kerja di rumah sakit umumnya berkaitan dengan
faktor biologik (kuman, patogen yang umumnya berasal dari pasien)
faktor kimia (antiseptik pada kulit, gas anastesi dan lain-lain) faktor
ergonomik (cara duduk yang salah, cara mengangkat pasien yang salah
dan lain-lain) faktor fisik dalam dosis kecil dan terus menerus (panas
pada kulit, radiasi pada sistem reproduksi/pemroduksian darah) faktor
psikososial (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien gawat
darurat, bangsal penyakit jiwa dan lain-lain).
4
3. Faktor Biologis
a. Penyakit anthrax, sering terdapat di tempat penjagalan, penyamakan
kulit, pengeringan tulang, peternakan dan lain-lain.
b. Penyakit jamur, sering diderita oleh tukang cuci.
c. Penyakit parasit, sering diderita oleh pekerja di tambang perkebunan
dan pertanian.
4. Faktor Psikologis
Dapat menimbulkan kelelahan fisik bahkan lambat laun terjadi
perubahan fisiktubuh, hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan.
5
(Achmadi, 1985, 1990, 1992; Eman dan Sukarno, 1884; serta
Depkes, 1983).
4. Pada industri kecil didapatkan 60%-80% gangguan akibat faktor ergonomi
seperti sakit pinggang, kaku leher serta keluhan pada anggota gerak atas dan
bawah.
5. Para perajin mebel mempunyai resiko penurunan kapasitas paru sebesar
38% (Nairn dan Kambey, 1992)
6. Beberapa penelitian (Husani dkk) melaporkan bahwa di kalangan tenaga
kerja wanita menderita anemia 30%-40%. Anemia pekerja wanita di Jawa
Barat hasil studi di Tanggerang tahun 1999 menunjukan bahwa
prevalensi anemia pada pekerja wanita 69% dan pada pria 32%.
7. Di salah satu pabrik kertas Banyuwangi dilaporkan kebocoran gas CI2
(chlorine) terjadi sebanyak 36 kali dalam kurun waktu 1970-1980 dan
telah menimbulkan keracunan terhadap 46 orang dan seorang
diantaranya meninggal.
8. Pemeriksaan orthoprdik pada 205 pekerja pabrik tekstil di Jawa Barat
dengan keluhan pada anggota gerak atas, ditemukan 64% (132
pekerja) didiagnosa positif menderita penyakit otot rangka akibat
kerja (Tresnaningsih, 2000).
9. Hasil penelitian Departemen Kesehatan di 6 provinsi (1989) menunjukan
bahwa:
a. Nelayan penyelam tradisional di pulau bungin, NTB menderita nyeri
persendian 57,5% dan gangguan pendengaran 11,3%.
b. Nelayan penyelam tradisional di Kepulauan Seribu menderita
barotrauma 41,37% dan penyakit dekompresi6, 91%
c. 25,5% penyelam tradisional menderita kelainan pernafasan berupa
sesak nafas.
d. Pandai besi menderita gangguan/pengurangan tajam pendengaran 30%-
54%.
10. Penelitian Departemen Kesehatan lainnya di berbagai jenis pekerjaan (tahun
1996-1997) menunjukan adanya kelainan atau gangguan kesehatan para
6
pekerja, antara lain berupa perubahan bentuk tulang punggung para perajin
gerabah, myalga dan nyeri pinggul pada pekerja perempuan di tempat sortir
tembakau dan lain-lainnya.
7
tidak diperlukan sesuai kondisi penyakitnya. Pelayanan medik dasar akan
melindungi dokter spesialis dalam melaksanakan profesinya agar tetap dapat
mempertahankan dan meningkatkan profesionalitasnya karena tidak terjebak
pada pelayanan medik dasar. Peningkatan mutu sumberdaya manusia dan
profesionalisme dalam memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, merata
dan terjangkausecara profesional sangatlah diperlukan demikian pula halnya
dalam pemeliharaan kesehatan dan keselamatan kerja agar dapat
diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang bermutu merata dan terjangkau.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pendayagunaan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang disertai dengan penerapan
nilai-nilai moral dan etika. Pelayanan kesehatan yang profesinal tidak akan
terlaksana apabila tidak di dukung oleh sumberdaya yang berkualitas dan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu,
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu perlu didukkung dengan
penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Semua tenaga
kesehatan dituntut agar selalu menjunjung tinggi sumpah dan kode etik profesi.
Kemitrasertaan (equalpartnership) antara profesi medik dengan manajemen
medik dalam memberikan pelayanan sangatlah diperlukan agar dapat
dihasilkan pelayanan medik yang bermutu, aman, tepat dan berhasilguna serta
berdayaguna, merata dan rasional serta dapat memberikan kepuasan bagi
pengguna jasa kesehatan.
E. Dasar Hukum K3
Kebijakan program kesehatan kerja disusun dengan berdasarkan
berbagai peraturan yang berlaku khususnya UU No.23 tahun 1992 tentang
kesehatan pada pasal 23 menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja merupakan
salah satu dari 15 upaya kesehatan yang diselenggarakan untuk mewujudkan
produktifitas kerja yang optimal sejalan dengan perlindungan tenaga kerja.
Wajib dilakukan di setiap tempat kerja dan mencakup pelayanan kesehatan
kerja. Secara rinci peraturan perundangan yang terkait dapat dipelajari pada
materi perundangan
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
10. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan kerja yang
disampaikan kepada direktur rumah sakit dan unit teknis di wilayah kerja
rumah sakit.
2. Perencanaan
RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas
dan dapat diukur. Perencanaan meliputi:
Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko
10
Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk
menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan
penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya
risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang
menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4 tingkatan
yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana
atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah bahkan tidak ada
risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung pribadi (APP)
a. Membuat peraturan
Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar Operasional
Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui, serta
harus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan
pihak yang terkait
b. Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)
c. Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerj
K3 dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan
pencapaian SMK3 RS
d. Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan
dicatat serta dilaporkan
3. Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab,
penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan
disiplin.
11
a. Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
b. Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk
pelaksanaan dan prosedur.
c. Membuat program K3 RS.
2. Fungsi unit pelaksana K3 RS
a. Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
b. Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya
promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.
c. Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
d. Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
e. Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
f. Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
g. Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan
sesuai kegiatannya.
12
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.Obat-obat
sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
5. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi
dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan
B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar
Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang
mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta
mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan
diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan,
tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk
menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan
Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja
yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar
pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan
oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus
memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan
sesuai prosedur yang berlaku
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3
13
padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS
B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang kompleks untuk
menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan
kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek
peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan
rumah sakit mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi
pasien dan tenaga medis tetapi juga pengunjung rumah sakit.
Dalam kenyataannya pemahaman tentang lingkungan kerja yang sehat
dan aman sesuai dengan standar yang telah dipersyaratkan masih sangat minim
dan belum menjadi nilai tambah dan kontribusi terhadap daya saing rumah
sakit yang sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1970 dan UU No. 13 tahun 2003
dimana dipersyaratkan bahwa lingkungan kerja harus bersifat sehat dan aman
termasuk terbebas dari bahayanya terkena paparan zat kimia.
B. Saran
Keberhasilan pelaksanaan K3RS sangat tergantung dari komitmen
tertulis dan kebijakan pihak direksi, oleh karena itu pihak direksi harus
paham tentang kegiatan K3RS. Pelaksanaan K3RS juga dilakukan pada
semua instalasi rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan adanya sosialisasi
K3 terhadap petugas di instalasi laundry agar memperkecil risiko bahaya
yang mungkin terjadi.
15
16
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI. 2006. Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (K3-IFRS). Jakarta
Depkes, RI. 2009. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
(K3- IFRS). Jakarta
Ferdianto, Hengki. 2011. Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Laundry Rumah
Sakit X (Study Kasus Pengelolaan Penyakit Akibat Kerja).
Jakarta. http://www.slideshare.net/YoTama/savedfiles?s_title=dermatitis-
kontak-iritan-pada-petugas-laundry-rumah-
sakit&user_login=hengkiferdianto.
http://bocahbancar.files.wordpress.com/2012/09/materi-training-smk3-by-mr-
ishaq-pd-21-sept-2012.pptx
Occupational Health and Safety Agency for Healthcare in BC. 2003. Guide
Ergonomic for Hospital Laundries. British Columbia
iii