Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

SANITASI INDUSTRI DAN K3

“MENGIDENTIFIKASI BAHAYA DI RUANG OPERASI/BEDAH”

Oleh:

Kelompok III

Mohammad Sahreza Bumulo


Rahmatullaah Tahmid
Rivan Tambajong
Agustinus Fossa
Ayu Lestari Nongi
Lina Kogoya
Polovina Sada
Feronica Meiva Mantiri

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO

JURUSAN SANITASI PRODI D3

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah
Sanitasi Industri Dan K3 yang berjudul “ Mengidentifikasi Bahaya Di Ruang
Operasi/Bedah”.

Makalah ini kami susun sesuai dengan kemampuan kami maka dari itu
apabila ada kekurangan kami memohon maaf dan kami meminta untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun semoga makalah ini bisa menjadi
media pembelajaran untuk kedepan nanti.

Manado, 6 July 2021

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................4
C. Tujuan........................................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN.....................................................................................5
A. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)..................................5
B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan.....6
C. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan.................................................8
D. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
(K3RS) dan Peran Dinas Kesehatan..........................................................12
E. K3 Di Ruang Bedah...................................................................................16
BAB III : PENUTUP.............................................................................................25
A. Kesimpulan................................................................................................25
B. Saran..........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumah sakit dan fasilitas
medis lainnya perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi
berbahaya yang ada di rumah sakit serta metode pengembangan program
keselamatan dan kesehatan kerja disana perlu dilaksanakan, seperti misalnya
perlindungan baik terhadap penyakit infeksi maupun non-infeksi, penanganan
limbah medis, penggunaan alat pelindung diri dan lain sebagainya. Selain
terhadap pekerja di fasilitas medis / klinik maupun rumah sakit, Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di rumah sakit juga “concern” keselamatan dan hak-hak pasien,
yang masuk kedalam program patient safety.
Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa
sumber “best practices” yang berlaku secara Internasional, seperti National
Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), the Centers for Disease
Control (CDC), the Occupational Safety and Health Administration (OSHA), the
US Environmental Protection Agency (EPA), dan lainnya. Data tahun 1988, 4%
pekerja di USA adalah petugas medis. Dari laporan yang dibuat oleh The National
Safety Council (NSC), 41% petugas medis mengalami absenteism yang
diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan injury, dan angka ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei yang dilakukan terhadap 165
laboratorium klinis di Minnesota memperlihatkan bahwa injury yang terbanyak
adalah needle sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan
tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres, yang
merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan otot
dan keseleo merupakan representasi dari low back injury yang banyak didapatkan
dikalangan petugas rumah sakit.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja…?
2. Bahaya apa yang sering kita dapatkan di rumah sakit…?
3. Bagai mana bentuk manajemen kesehatan dan keselamatan kerja…?
4. Bagaimana peran dines kesehatan pada K3 perawat…?
5. Apa saja Bahaya yang dialami petugas diruang bedah dan bagaimana
penerapan K3 di ruang bedah (operasi)…?

C. Tujuan
1. Mampu melakukan identifikasi risiko seperti faktor fisik, kimiawi serta
biologis, bekerja di rumah sakit serta fasilitas medis lainnya.

2. Mampu mengembangkan upaya kontrol terhadap faktor risiko tersebut.


3. Mampu mengembangkan program pencegahan seperti menetapkan alat
pelindung diri yang diperlukan.
4. Mampu mengembangkan program pemeriksaan kesehatan yang sesuai dengan
jenis pekerjaan (“job-related”)
5. Memahami program patient safety.
6. Dan lain sebagainya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)


Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja
menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha,
tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Penyakit
Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita
pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari
beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi.
Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan
kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang
meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman
walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992
tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus
melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada
pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya.


Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang
sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau
kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya.
Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani
korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada

5
masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan
bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di
semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10
orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit
(RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya
yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku
langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS.
Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di
RS.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu
kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi
listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang
berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi
bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan
di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS.

B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan


Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada
bahaya-bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik,
peralatan listrik maupun peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang
dihadapi dalam rumah sakit atau instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :
1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau
meledak (obat– obatan).
2. Bahan beracun, korosif dan kaustik .
3. Bahaya radiasi .
4. Luka bakar .
5. Syok akibat aliran listrik .
6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .

6
7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.
Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha
pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin
kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.

Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan


bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain.
Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang,
tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus
dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains :
52%; contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%;
fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions:
1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of
Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).

Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi


pada perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia,
diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS,
insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung
menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun.
Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS
belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan
dari para petugas di RS, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.

Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang
diderita petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita),
penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57%
wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.

Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang


diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu
penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain,
seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran

7
anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang
rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk
mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena
itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif,
efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi
pengelola maupun karyawan RS.

C. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan

Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya,


dengan mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat
mengurangi dampak kelalaian atau kesalahan (malprektek) serta mengurangi
penyebaran langsung dampak dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi


manajemen tesebut menjadi :

1. Planning (perencanaan)
2. Organizing (organisasi)
3. Actuating (pelaksanaan)
4. Controlling (pengawasan)
1. Planning/ (Perencanaan)

Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan


dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan
instansi kesehatan. perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi
kesehatan pacsa perawatan dan merawat (hubungan timbal balik pasien –
perawat / dokter, serta masyarakat umum lainnya). Dalam perencanaan
tersebut, kegiatan yang ditentukan meliputi:

a. Hal apa yang dikerjakan

b. Bagaimana cara mengerjakannya

c. Mengapa mengerjakan

8
d. Siapa yang mengerjakan

e. Kapan harus dikerjakan

f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan

g. Hubungan timbal balik (sebab akibat)

Kegiatan kesehatan (rumah sakit / instansi kesehatan) sekarang tidak lagi


hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang
pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak
ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam
(rumah sakit / instansi kesehatan) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha
pengamanan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara
serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

2. Organizing/ (Organisasi)

Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi


kesehatan dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah
sakit / instansi kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau
nasional. Keterlibatan pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung
atau tidak langsung sangat diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat
yang terkait dalam organisasi ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah
(wilayah), di samping memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Kerja. Di
tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi
Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan wewenangnya dapat
berupa :

1) Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi


kesehatan .
2) Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksanaan keamanan
kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
3) Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan .

9
4) Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin
rumah sakit / instansi kesehatan.
5) mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah
sakit / instansi kesehatan.
6) Dan lain-lain.

Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia


Kedokteran No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja
profesi (PDS-Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam
kiprah organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan ini. Anggota organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan
kegiatan rumah sakit / instansi kesehatan dapat diangkat menjadi anggota
komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun tingkat pusat (nasional). Selain itu
organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat juga membentuk
badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat atau Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi Kesehatan.

3. Actuating/ (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong


semangat kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas
yang akan menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program
kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya
ialah tempat kerja yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja
maupun masyarakat dalam rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui
dan memahami semua hal yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber
kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan, serta memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan pencegahan dan
penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi berbagai
peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan
alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan,

10
keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil
keputusan penyelesaiannya.

4. Controlling/ (Pengawasan)

Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-


pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2
prinsip pokok, yaitu :

a) Adanya rencana
b) Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang


perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan
rumah sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :

1) Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit /


instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.
2) Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara-
cara menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.
3) Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau
kecelakaan.
4) mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
5) Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan
mencegah meluasnya bahaya tersebut.
6) Dan lain-lain.

11
D. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit
(K3RS) dan Peran Dinas Kesehatan

1. Peraturan Kesehatan Kerja

UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja


menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan.Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men.2006
juga mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100
orang atau lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan
sistem manajemen K3 (Bab III Pasal 3).

Rumah sakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi


dan sarana kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien,
keluarga, serta pekerja.Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari
kebakaran, bencana, atau dampak buruk pada kesehatan.

Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan


kasus bagaimana lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal ini.

K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh


peraturan itu, paling banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada
sama sekali peraturan daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri
tidak memiliki semua dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah.Dinas kesehatan bahkan tidak memiliki satu staf yang mengurusi
bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS. Penjabaran dari regulasi tersebut oleh
pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah belum ada sama sekali.
Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah mempunyai legalitas
dalam mengatur regulasi K3RS.Kenyataan ini barang kali bisa mencerminkan

12
keadaan sebelum desentralisasi. Daerah melaksanakan apa yang menjadi
keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula, regulasi
K3RS ini lemah.

2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumah sakit

Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok


ukur bahwa rumahsakit itu memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh
rumahsakit menyediakan sejumlah dana untuk keperluan K3RS. Seperti terlihat
dalam tabel di bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem keamanan
dan tenaga khusus bidang K3RS.Lima rumahsakit belum memiliki sarana
IPAL dan sistem pengawasan yang memadai.Selain itu, observasi di lapangan,
rumah sakit - rumah sakit ini tidak memiliki sistem pelaporan tentang
kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.

Tabel 1. Komitmen rumahsakit dengan kebijakan Regulasi K3RS

Jenis komitmen yang


No RS1 RS2 RS3 RS4 RS5 RS6 RS7 Jumlah %
ditunjukkan
1 Dana P P P P P P P 7 100.0
2 Kebijakan P P P . . . . 3 42.9
3 Pengawasan P P . . . . . 2 28.6
4 Penghargaan dan Sanksi P . . . . . . 1 14.3
5 Organisasi P P P . P . . 4 57.1
6 Ketenagaan P . . . . . . 1 14.3
7 Pengadaan APD P P P P P P P 7 100.0
8 Pengadan IPAL P P . . . . . 2 28.6
Membangun sistim
9 P . . . . . . 1 14.3
keamanan
. JUMLAH 9 6 4 2 3 2 2 . .
. PERSENTASE (%) 100 67 44 22 33 22 22 44,4 .

13
Tabel 2. Tahun Penerbitan, Isi Regulasi dan Bentuk Regulasi K3RS

TAHUN REGULASI Jenis


1970 Keselamatan Kerja Undang-undang
1975 Keselamatan kerja terhadap radiasi Peraturan Pemerintah
1975 Izin pemakaian zat radioaktif Peraturan Pemerintah
1980 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam Peraturan Menteri
penyelenggaraan K3
1980 Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat Peraturan Menteri
pemadam api ringan
1981 Kewajiban melapor penyakit akibat kerja Peraturan Menteri
1983 Pelayanan kesehatan tenaga kerja Peraturan Menteri
1989 Ketentuan KK terhadap radiasi Keputusan Dirjen
1992 Kesehatan Undang-undang
1992 Persyaratan Kesling RS Peraturan Menteri
1993 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja Keputusan Presiden
1993 Komite K3 Keputusan Menteri
1993  Persyaratan kesehatan lingkungan ruang Keputusan Dirjen
& Bangunan serta fasilitas sanitasi rumah
sakit
 Persyaratan kesehatan konstruksi ruang di
rumah sakit.
 Persyaratan & petunjuk teknis tata cara
penye hatan lingkungan RS

1996 Sistem Manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri


1996 Pengamanan bahan berbahaya bagi Kesehatan Peraturan Menteri
1997 Pelaksanaan Audit system manajemen K3 Peraturan Menteri
1997 Penyelenggaraan pelayanan radiology Peraturan Menteri
1997 Pembentukan Panitia K3 Rumah Sakit Surat Edaran
1997 Inspeksi K3 Keputusan Menteri
1998 Persyaratan kesling kerja Keputusan Menteri
1999 Perubahan PP18 /1999 terhadap pemgelolaan PP
limbah B3
2003 Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Keputusan Menteri
Tekait dengan peran regulasi dinas kesehatan, standar K3RS bisa dijadikan
sebagai persyaratan pendirian atau operasi rumahsakit.

14
Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan
dinas kesehatan. Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan
keselamatan kerja adalah berupa sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS,
menyediakan tenaga khusus, dan membuat pedoman pelaksanaan.

Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal.Satu


rumahsakit dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena
mereka telah secara sadar menerapkan standar lebih internasional.Rumahsakit
swasta yang berorientasi internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi
pelanggan yang sudah makin kritis.Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit
pemerintah dan swasta lokal bisa berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas
kesehatan mau tidak mau perlu membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan
keselamatan kerja betul-betul terjaga.

Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat


peraturan daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa
mengawasi pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak
menerapkannya. Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus
menjadi persyaratan mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumah sakit.

E. K3 DI RUANG BEDAH (OPERASI)

Kamar operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk melakukan
tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, yang membutuhkan keadaan suci
hama (steril).

1. Faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang bedah

15
Menurut hasil laporan dari Natonal Safety Council (NSC) tahun 1988
menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja
pada industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum,
tergores/terpotong, dan penyakit infeksi lain. Salah stu contoh kecelakaan kerja
yang paling sering adalah Luka jarum suntik yang umum terjadi di kalangan
petugas di ruang bedah. Sehingga peningkatan strategi pencegahan dan
pelaporan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan kerja bagi petugas
bedah tersebut.

2. Alat kerja yang dapat digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas
instrumen di ruang bedah

Alat kesehatan yang digunakan yang dapat mengganggu kesehatan


petugas instrumen diruang bedah adalah benda-benda tajam seperti skalpel dan
jarum suntik yang dapat memberikan resiko terjadinya kecelakaan kerja.

3. Alat pelindung diri (APD) yang digunakan petugas instrumen diruang bedah

Selain membersihkan tangan yang harus selalu dilakukan petugas


kesehatan juga harus mengenakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur
yang mereka lakukan dan tingkat kontak dengan pasien yang diperlukan untuk
menghindari kontak dengan darah dan cairan tubuh. APD untuk keperluan
kewaspadaan standar terdiri atas sarung tangan, gaun pelindung, pelindung
mata, dan masker bedah. Peralatan tambahan, seperti penutup kepala untuk
melindungi rambut, tidak dianggap APD, tetapi dapat digunakan demi
kenyamanan petugas kesehatan. Begitu pula, sepatu bot juga dapat digunakan
untuk keperluan praktis, misalnya bila diperlukan sepatu yang tertutup rapat
dan kuat untuk menghindari kecelakaan akibat benda tajam. Bila digunakan
dengan benar, APD akan melindungi petugas kesehatan dari pajanan terhadap
jenis penyakit menular tertentu.

4. Ketersediaan obat P3K di tempat kerja petugas

16
P3K merupakan pertolongan pertama yang harus segera diberikan kepada
korban yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit mendadak dengan cepat
dan tepat sebelum korban dibawa ke tempat rujukan. P3K sendiri ditujukan
untuk memberikan perawatan darurat pada korban, sebelum pertolongan yang
lebih lengkap diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 Pasal 19: “Setiap


badan, lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk kepada
konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya harus
menyediakan apotik atau pos P3K sendiri, memelihara apotik atau pos P3K
bersama-sama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau
bagiannya dan mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan
P3K.” Rumah sakit merupakan salah satu lembaga pemberi jasa dengan unit
sterilisasi yang menjadi bagiannya.

Dalam upaya pengawasan P3K maka perlu tersedia fasilitas dan personil
P3K. Fasilitas dapat berupa kotak P3K, isi kotak P3K, buku pedoman, ruang
P3K, perlengkapan P3K (alat perlindungan, alat darurat, alat angkut dan
transportasi). Personil terdiri dari penanggung jawab: dokter pimpinan P3K,
ahli K3, petugas P3K yang telah menerima sertifikat pelatihan P3K di tempat
kerja.

Rekomendasi minimum failitas yang tersedia dalam kotak P3K tipe I


yaitu kasa steril terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester
(lebar 1,25 cm), plester cepat, kapas (25 gram), perban segitiga/mettela,
gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker, aquades (100 ml lar saline),
povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum, buku catatan,
daftar isi kotak. Sedangkan pada kotak P3K tipe II terdiri dari kasa steril
terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm),
plester cepat, kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung
tangan sekali pakai, masker, bidai, pinset, lampu senter, sabun, kertas

17
pembersih (Cleaning Tissue), aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60
ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum.

Secara umum penentuan jenis dan jumlah kotak yang disediakan tergantung
dari jumlah pekerja.

Tabel 1. Jumlah kotak P3K tiap unit kerja

Untuk jumlah personil P3K sendiri ditentukan oleh faktor risiko bahaya di
tempat kerja dan jumlah pekerja.

Tabel 2. Jumlah petugas P3K

5. Pemeriksaan kesehatan yang pernah dilakukan sesuai peraturan (sebelum kerja,


berkala, berkala khusus)

18
Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control) Yaitu upaya
untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal
(Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada
setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya
gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerjaitu sendiri maupun terhadap
orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi
lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan
produktivitas masyarakat pekerja.

Disini diperlukan sistem rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit


akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment) Pencegahan sekunder ini
dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:

a) Pemeriksaan Awal

Merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang


calon / pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan
pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja
tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan
ditugaskan kepadanya.

Pemerikasaan kesehatan awal ini meliputi:

- Anamnese umum
- Anamnese pekerjaan
- Penyakit yang pernah diderita
- Alrergi
- Imunisasi yang pernah didapat
- Pemeriksaan badan
- Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan tertentu:

- Tuberkulin test

19
- Psiko test

b) Pemeriksaan Berkala
Merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala
dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko
kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu
antar pemeriksaan berkala. Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal
dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan
resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
c) Pemeriksaan Khusus
Merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar
waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada
keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja.
6. Peraturan pimpinan di rumah sakit tentang K3 di tempat kerja

Upaya K3 di RS menyangkut tenaga kerja, cara/metode kerja, alat kerja,


proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan,
pencegahan, pengobatan dan pemulihan. RS harus membuat perencanaan yang
efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan
sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan K3 di RS dapat mengacu
pada standar Sistem Manajemen K3 di RS diantaranya self assesment
akreditasi K3RS dan SMK3.

Perencanaan meliputi:

a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko. RS


harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta
pengendalian faktor risiko.
1. Identifikasi sumber bahaya

Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan :

- Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.

20
- Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya
yang ada di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat
resiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan PAK.
2. Penilaian faktor risiko
Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan
melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko
kesehatan dan keselamatan.
3. Pengendalian faktor risiko
Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yakni
menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan
sarana/peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada
(engineering/rekayasa), administrasi dan alat pelindung pribadi (APP).

b) Membuat peraturan
RS harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar
operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan
ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus dievaluasi,
diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada
karyawan dan pihak yang terkait.
c) Tujuan dan sasaran
RS harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya
potensial dan risiko K3 yang bisa diukur, satuan/indikator pengukuran,
sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian (SMART).
d) Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3
RS.
e) Program K3

21
RS harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk
mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat serta
dilaporkan.

7. Keluhan atau penyakit yang dialami yang berhubungan dengan pekerjaan pada
petugas instrumen di ruang bedah.
Para peneliti menyatakan bahwa di dalam kamar operasi terkandung
kadar eter yang signifikan ketika “ the open drop technique” digunakan. Dan
diketahui bahwa paparan obat anastesi inhalasi seperti diethyl eter, nitrous
oxide dan cloroform lebih mengarah tentang infertilitas dan aborsi spontan,
insidensi kelainan kogenital, kanker, penyakit hematopoietik, penyakit liver,
dan penyakit saraf seperti psikomotor dan tingkah laku sebagai akibat paparan
gas anastesi.
8. Upaya K3 lainnya yang dijalankan.
Misalnya ada penyuluhan/pelatihan, pengukuran/pemantauan lingkungan
tentang hazard yang pernah dilakukan. Bahaya potensial di RS dapat
mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Yaitu disebabkan oleh
faktor biologi (virus, bakteri dan jamur), faktor kimia (antiseptik, Gas anastesi),
faktor ergonomi (cara kerja yang salah), faktor fisika (suhu,cahaya,bising,
getaran dan radiasi), dan faktor psikososial (kerja bergilir, hubungan sesama
atau atasan).
Bahaya potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di RS meliputi :

22
23
24
25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja
Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan ledakan
dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan), Bahan beracun,
korosif dan kaustik , Bahaya radiasi , Luka bakar, Syok akibat aliran listrik, Luka
sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam & Bahaya infeksi dari kuman,
virus atau parasit.

B. Saran
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khususnya di Indonesia
secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2008 Indonesia
menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan
Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing pelayanan dan
kualitas saranan kesehatan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah.
Indonesia akan sulit menghadapi persaingan global karena mengalami
ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah).
Padahal kemajuan pelayanan tersebut sangat ditentukan peranan mutu tenaga
kerjanya. Karena itu disamping perhatian instansi itu sendiri, pemerintah juga
perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis
sejak lama .Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait
dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja pelayanan kesehatan.

26
Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan
terjadinya kecelakaan kerja.

27
Daftar Pustaka

1. Javed S, Yaqoob T. Gender Based Occupational Health Hazards among


Paramedical Staff in Pubic Hospitals of Jhelum. International Journal of
Humanities and Social Science. 2011;1:175.
2. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005, tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang
Bangunan Gedung.
5. Supari S.F. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Rumah Sakit. Jakarta : 2007.
6. Makary M.A, Al-attar A, Holzmueller C.G, Sexton J.B, Syin D, Gilson M.M,
Sulkowski M.S, Pronovost P.J. Needlestick Injuries among Surgeons in
Training. NEJM. 2007. p. 2693
7. WHO. Epidemic-prone & pandemic-prone acute respiratory diseases:
Infection prevention & control in health-care facilities. Jenewa : 2007
8. Staff Dosen Emergency Medicine University of Sumatera Utara. Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja. [Online on 2013] [Cited on
September 2013]. Available from:
http://ocw.usu.ac.id/course/detail/pendidikan-dokter-s1/1110000130-emergency-
medicine.html.
9. Tresnaningsih E. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan.
Jakarta : 2008
10. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Ruang Operasi Rumah Sakit.
Jakarta : 2012

28

Anda mungkin juga menyukai