Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Refluks gastroesofageal (GERD) merupakan gejala atau kerusakan dari mukosa


esofagus karena masuknya isi lambung ke dalam esofagus (Cenelli dkk 2011) . Menurut
klasifikasi Montreal, GERD adalah keadaan refluksnya isi lambung ke dalam esofagus
yang akan menyebabkan gejala yang sangat mengganggu, dengan atau tanpa adanya
komplikasi (Vakil 2008). Konsensus Asia Pasifik menyatakan bahwa GERD dapat
menyebabkan terjadinya gejala atau komplikasi yang mengganggu dimana menandakan
adanya gangguan kualitas hidup pasien (Talley 2008). Kecemasan adalah suatu respon
terhadap situasi yang mengancam. Kecemasan diduga dapat menyebabkan terjadinya
GERD. Banyak penelitian menyebutkan bahwa kecemasan dapat
menyebabkan keluhan dispesia namun belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai
hubungan antara kecemasan dapat menyebabkan terjadinya GERD. Faktor yang turut
berperan dalam timbulnya GERD adalah adanya kelainan lambung salah satu
diantaranya adalah pengosongan lambung yang lambat (Makmun 2010). Terjadinya
refluks gastroesofageal disebabkan akibat sangat rendahnya atau hilangnya perbedaan
tekanan antara LES (Lower Esophageal Spincter) dengan laring, karena penurunan dari
kekuatan otot LES yang terkadang tidak diketahui penyebabnya (Mahdi 2008).
Prevelensi GERD di Asia termasuk Indonesia lebih rendah dengan presentase 5%
pada tahun 1997, namun data terakhir didapatkan peningkatan mencapai 13,13% per
tahun akibat adanya perubahan gaya hidup, seperti merokok dan obesitas (Talley 2008).
Data dari Amerika Serikat menunjukan satu diantara lima orang dewasa mengalami
refluks esofageal, serta lebih dari
40% mengalami gejala refluks esofageal sekurangnya sekali dalam satu bulan (Sontag
2009). Sekitar 50% pasien GERD bersifat simptomatik dan dipengaruhi karena adanya
faktor psikososial (Perdue 2008). Gangguan kecemasan dialami 2-4 setiap kehidupan
((Hawari 2011). Di Amerika Serikat,
40 juta orang mengalami kecemasan dari usia 18 tahun hingga usia lanjut

(NIMH 2010), sedangkan di Indonesia dari 22 juta populasi masyarakat Indonesia


sebanyak 2-6 juta jiwa mengalami kecemasan (Iskandar 2006). Usia dewasa awal (17-25
tahun) lebih banyak mengalami kecemasan dibandingkan dengan usia dewasa akhir (26-
35 tahun) (Syam 2010).
Kecemasan dapat menyebabkan timbulnya Refluks gastroesofageal (GERD) melalui
mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis akan mempengaruhi
keseimbangan dari sistem syaraf otonom.
Peningkatan kortisol dari korteks adrenal yang berasal dari rangsangan korteks serebri
akan merangsang dari produksi asam lambung (Levenstein 2008), Dalam keadaan asam
lambung yang meningkat menyebabkan isi lambung akan terdorong ke esofagus. Apabila
sfingter esofagus dalam keadaan relaksasi maka isi lambung akan masuk ke faring,
nasofaring dan mulut (Hadi 2008) interaksi tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya
refluks gastroesofageal (GERD).

Beberapa penelitian telah menjelaskan pengaruh kecemasan terhadap sistem


gastrointestinal, diantaranya penelitian mengenai korelasi skor dispepsia dan skor
kecemasan oleh Nur Huda dkk, pada tahun 2011 dengan hasil terdapatnya korelasi antara
skor dispepsia dengan skor kecemasan. Penelitian hubungan tingkat kecemasan dengan
dispepsia oleh Ari Lestari pada tahun 2012 didapatkan hasil semakin berat tingkat
kecemasan semakin tinggi kemungkinan terjadiya dispesia. Studi kasus mengenai GERD
pada ibu rumah tangga dewasa dengan stressor finansial keluarga yang dilakukan oleh
Supriyatin menjelaskan bahwa timbulnya gejala GERD berhubungan dengan faktor stress
yang dialami pasien. Sehingga dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti
hubungan kecemasan dengan refluks gastroesofageal (GERD).

1.2.Perumusan Masalah

Adakah hubungan derajat kecemasan dengan kejadian refluks gastroesofageal


(GERD)?

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Membuktikan hubungan derajat kecemasan dengan kejadian refluks


gastroesofageal (GERD)
1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui kekuatan hubungan derajat kecemasan dengan kejadian GERD

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1.4.1.1. Memberikan informasi mengenai hubungan derajat kecemasan dengan


kejadian refluks gastroesofageal (GERD)

1.4.2. Manfaat Praktis

1.4.2.1. Memberikan informasi mengenai hubungan derajat kecemasan dengan


kejadian refluks gastroesofageal (GERD) sehingga dapat dijadikan
perhatian lebih lanjut
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori

2.1 .1 Definisi
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang
berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa.Refluks gastroesofagus
adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada
orang, terutama setelah makan (Asroel, 2014).
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi
(Susanto, 2013).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis
makan.Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer,
isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke
lambung.Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan
keluhan atau gejala.Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis.Keadaan ini baru
dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus
distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama.Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti
erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2013).
Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi lambung ke
esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh
adanya konstraksi peristaltik primer lambung.

2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
 Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
 Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
 Ketahanan epitel esofagus menurun
 Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam
empedu, HCL
 Kelainan pada lambung
 Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
 Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
 Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan
fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek
antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium,
progesteron, dan nitrat
 Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2015)

2.1.3 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus.GERD
sering kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan
asam yang normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau
menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih
tinggi dari esophagus.Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam
bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu
area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika
gelombang peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal
ini terjadi, otot polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung.
Sfingter esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini,
karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan
abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan
isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah atau
inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah
bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks
yang berulang dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan
jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekananyang sangat tinggi di sfingter. Tekanan
abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal
ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi
berbaring, terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi
lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung.
Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak
sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
2.1.4 Pathway

Obat - obatan,
Hormonal, Pendeknya Pengosongan
LES, Infeksi H. Pylori Hernia Obesitas
Heatus Lambung lambat,
dan korpus pedominas
dilatasi lambung
gastritis

Tekanan intra
Bagian dari Transient abdomen
Kekuatan lower lambung atas yang LES meningkat
Esophageal terhubung dengan Relaxation
Sphincter (LES) esophagus akan
menurun mendorong ke atas
melalui diafragma

Penurunan tekanan
penghambat refluks

Aliran retrograde yang


Refluks spontan saat
mendahului kembalinya
relaksasi LES tidak
tonus LES setelah menelan
adekuat

Aliran asam
lambung ke
esofagus

Kontak asam lambung dan


mukosa esophagus dalam
waktu lama dan/atau
berulang
GASTROESOPHAGE
AL REFLUKS
DISEASE (GERD)

Asam lambung Refluks saat


mengiritasi sel malam hari
mukosa esofagus Nafas bau
asam

Merangsang Aspirasi isi


Kerusakan sel
pusat mual lambung ke
mukosa esofagus
tracheobronkial

Peradan Risiko
gan Aspirasi

Hearth Odinofagia Penurunan


burn non nafsu
cardiac makan

Ganggu
an Intake nutrisi
Nyeri
Menelan inadekuat
Akut

BB menurun

Ketidakseimba
ngan Nutrisi
Kurang Dari
Tubuh

2.1.5 Manifestasi Klinis


a. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
b. Muntah
c. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar
ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
d. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
e. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan
lokasi panas dalam perut.
f. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
g. Suara parau
h. Ludah berlebihan (water brash)
i. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
j. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
l. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan
atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap,
kotoran berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup
berat.
m. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi
yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada
gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan
berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

2.1.6 Komplikasi
a. Batuk dan asma
b. Erosif esophagus
c. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik
d. Esofagitis ulseratif
e. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
f. Striktur esophagus / Peradangan esophagus
g. Aspirasi
h. Tukak kerongkongan

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus
(esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian
bawah.
- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam,
golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung
pada penekanan sekresi asam.
- Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis
reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
- Domperidon. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
- Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus
lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan
antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung.
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI). Golongan obat ini
merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan
asam lambung.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
a) Data subjektif
Data yang mungkin muncul :
 Klien mengatakan “mengalami mual muntah”
 Klien mengatakan “tidak nafsu makan”
 Klien mengatakan “susah menelan”
 Klien mengatakan “ada rasa pahit di lidah”
 Klien mengatakan “nyeri pada perut”

b) Data Objektif
Data yang mungkin muncul :
 Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan
 Klien tampak meringis kesakitan
 Klien tampak memegang bagian yang nyeri
 Tekanan darah klien meningkat
 Klien tampak gelisah.

2.2.2 Diagnosa keperawatan


a) Nyeri akut berhubungan dengan asam lambung mengiritasi sel mukosa
lambung
b) Defisit nutrisi berhubungan dengan merangsang pusat mual.

2.2.3 Intervensi Keperawatan


No. Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasionalisasi
Keperawatan Kriteria hasil

01. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan - Identifikasi - Untuk mengetahui


asam lambung Tindakan lokasi nyeri, lokasi,
mengiritasi sel keprawatan karakteristik, karakteristik,durasi,
mukosa selama 2x 24 jam durasi, frekuensi, frekuensi, kualitas,
esofagus di harapkan nyeri kualitas, dan intensitas nyeri
berkurang dengan intensitas nyeri - Untuk mengetahui
keriteria hasil - Identifikasi skala skala nyeri yang di
 Keluhan nyeri derita pasien
nyeri - Identifikasi - Untuk mengetahui
berkurang factor yang factor yang
 Pasien memperberat dan memperat nyeri dan
tidak memperingan memperingan nyeri
meringis nyeri - Untuk mengetahui
lagi - Berikan Teknik efek samping
nonfarmakologis penggunaan
untuk analgetic
mengurangi rasa - Agar pasien
nyeri ( Tarik mengetahui strategi
nafas dalam) meredakan nyeri
- Jelaskan strategi - Agar pasien dapt
meredakan nyeri melakukan Teknik
- Ajarkan Teknik nonfarmakologi
nonfarmakologi untuk mengurangi
untuk rasa nyeri
mengurangi rasa - Analgetic memblok
nyeri nyeri sehingga
- Kolaborasi nyeri berkurang
penberiaan
analgetic jika
perlu
02 Defisit nutrisi Setelah dilakukan - Mengidentifikasi - Untuk mengetahui
berhubungan Tindakan status nyeri status nutrisi
dengan keprawatan - Monitor asupan - Menilai asupan
maerangsang selama 2x24 jam nyeri menilai asupan
mual diharapkan - Monitor berat makanan yang di
kebutuhan nutrisi badan butuhkan tubuh
meningkat - Monitor hasil - Mengetahui adanya
dengan kriteria pemeriksaan penurunan atau
hasil : laboratorium kenaikan berat
- Porsi makan - Berikan suplemen badan
meningkat makanan - Untuk menentukan
- Nyeri abdomen - Anjurkan posisi kebutuhan
menurun duduk penggantian dan
- Berat badan - Ajarkan diet yang kefektifan terapy
naik dari 40 kg di programkan - Agar meningkatkan
menjadi 43 kg - Kolaborasi dengan nafsu makan pasien
- Membrane ahli gizi untuk - Agar makanan
mukosa menentukan dapat di cerna
membaik jumlah kalori dan dengan baik
- Nafsu makan jenis nutrisi yang - Kepatuhan terhadap
membaik di butuhkan jika di diet untuk
perlukan mencegah
terjadinya
komplikasi
- Untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi yang di
butuhkan pasien

2.2.4 Implementasi Keperawatan


No. Tanggal Diagnosa Tindakan Keperawatan Nama &
Keperawatan Tanda
tangan
01 8 . 6. 2021 DX 1 1. Mengidentifikasi lokasi, Royanti
Pkl 08.00 karakteristik, kualitas, intensitas
nyeri
2. Mengidentifikasi skala nyeri
3. Mengidentifikasi factor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
R/ pasien mengatakan nyeri pada ulu
hati, nyeri bertambah saat bergerak
dan berkurang saat tidur, nyeri seperti
terbakar dan tertimpa benda berat,
nyeri di area perut dan menjalar ke
area ulu hati, leher dan tenggorokan,
dengan skala nyeri 5 ( 0-10) nyeri
yang dirasa terus menerus
4. Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (tarik
nafas dalam)
R/ Pasien mampu mengikuti Teknik
Tarik nafas dalam yang diberikan oleh
perawat.
Pkl 09. 00 DX 1 5. Menjelaskan strategi meredakan Royanti
02 nyeri
R/ Pasien dapat memahami strategi
meredakan nyeri yang di jelaskan oleh
perawat
2. Melakukan kolaborasi pemberian
analgetic : Ranitidine 2x1 amp via
iv
13.00 DX 2 1. Mengidentifikasi status nutrisi Royanti
03 R/ pasien mengatakan suka
makanan yang pedas dan asam
2. Monitor asupan nutrisi
R/ Pasien masih terlihat jarang
makan atau pasien makan cuman
sedikit
3. Monitor berat badan
R/ berat badan pasien 40 kg
4. Berikan suplemen makanan:
curcuman3x1 taab via oral
R/ Pasien tlah di berikan suplemen
makanan : curcuma 3x1 tab via
oral
5. Melakukan kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menenntukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang di
butuhkan
R/

09.06.2021 DX 1 1. Mengidentifikasi skala Royanti


05 PKL 10.00 nyeri
R/ Pasien mengatakan sudah tidak
lagi nyeri atau nyeri berkurang
dari skala 4 menjadi 2 (0-10).
2. Mengajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk mengurasi
rasa nyeri ( Tarik nafas dalam )
R/ Pasien dapat mengikuti Tarik
nafas dalam yang di ajarkan
perawat
3. Melakukan kolaborasi pemberian
analgetic : ranitidine 2x1 amp via
iv
R/ Setelah 30 mnt di berikan oabat
pasien mengatakan nyeri berkurang
dengan skala nyeri 1 (0-10)
06 DX 2 1. Monitor asupan nutrisi Royanti
R/ Pasien mengatakan makanan
3x1 sehar dengan porsi sedikit tapi
sering
2. Memberikan suplemen makanan :
curcuma 3x1 tab via oral
R/ Pasien tlah di berikan suplemen
makanan untuk meningkatkan
nafsu makan
3. Mengajarkan diet yang di
program kan
2. Melakukan kolaborasi denngan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang di butuhkan

2.2.5 Evaluasi
No. Tanggal Diagnosa Catatan Perkembangan Nama &
Keperawata tanda
n tangan

08.06.2021 DX 1 S : Pasien mengatakan nyeri berkurang


01 dengan skala 4 Royanti
0 : Pasien masih tampak meringis
terdapt nyeri abdomen
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Identifikasi skala nyeri
- Kolaborsi pemberian analgetic
DX 2 S : Pasien mengeluh masih mual .
02 makan belum nafsu Royanti
0 : - pasien terlihat lemah
- Tampak pucat
- Bibir kering
A : Defisit nutrisi belum teratasi
P : - Monitor asupan makanan
- Monitor hasil laboratorium
- Kolaborasi dengan ahli gizi
09.06.2021 DX 1 S : Pasien mengatakan nyeri berkurang
03 dengan skala nyeri 2 dari 0-10 Royanti
O : pasien tidak lagi meringis dan nyeri
abdomen tidak ada
A : nyeri akut teratasi
P : Intervensi di hentikan

04 DX 2 S : Pasien mengatakan nafsu makan Royanti


bertambah 3x1 dengan porsi makan
sedikit demi sedikit
- Pasien tidak lagi mual

O : - badan tidak lagi lemah


- Bibir tidak lagi kering
A : Defisit nutrisi teratasi
P : Intervensi di hentikan

Anda mungkin juga menyukai