TUGAS UJIAN
Disusun Oleh:
ISRA NOFITRI
N 111 19 072
PEMBIMBING KLINIK
dr. Jimmy H Sampeliling,Sp.PD
i
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL.................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I – PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
A. Gagal Jantung............................................................................................3
1. Definisi................................................................................................3
2. Epidemiologi.......................................................................................4
3. Klasifikasi............................................................................................4
4. Etiologi................................................................................................6
5. Patofisiologi.........................................................................................7
6. Diagnosis.............................................................................................8
7. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................10
8. Penatalaksanaan...................................................................................13
B. Hipertention Heart Disease........................................................................20
C. Chronic Kidney Disease............................................................................22
D. Sirosis Hepatis............................................................................................24
E. Hubungan Sirosis Hepatis dengan Gagal Jantung.....................................26
F. Hubungan Hipertensi dengan Gagal Jantung............................................27
G. Hubungan Chronic Kidney Disease dengan Gagal Jantung .....................29
BAB III – TINJAUAN KASUS.............................................................................31
A. Identitas......................................................................................................31
B. Anamnesis………………………………………………………………..31
C. Pemeriksaan Fisik......................................................................................32
D. Resume......................................................................................................33
E. Diagnosis...................................................................................................34
F. Usulan Pemeriksaan Penunjang.................................................................34
G. Hasil Pemeriksaan Penunjang....................................................................34
H. Penatalaksanaan.........................................................................................36
I. Prognosis...................................................................................................36
iii
BAB IV – PEMBAHASAN..................................................................................37
BAB V : KESIMPULAN......................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................41
iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung adalah permasalahan yang terus berkembang, lebih dari 20 juta
orang di seluruh dunia mengalami masalah ini. Prevalensi gagal jantung meningkat
seiring dengan umur, 6-10% mengenai usia lebih dari 65 tahun. Tidak sedikit juga
pasien yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung, terutama gagal
jantung dekompensasi akut. Insidens rawat inap gagal jantung terus meningkat dalam
3 dekade ini terlebih karena populasi geriatric yang meningkat, pasien perbaikan
setelah infark miokard dan terapi yang adekuat1
Gagal ginjal kronik seringkali disertai dengan kondisi patologi lain yang
prosesnya terjadi bersamaan (kondisi komorbid). Beberapa studi menunjukkan
1
kondisi komorbid pasien gagal ginjal berhubungan dengan tingkat mortalitas pasien
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Mcquillan et al. (2012) menunjukkan pasien gagal ginjal yang berusia lebih dari 65
tahun memiliki risiko dua kali lebih besar terhadap mortalitas. Penyebab utama
kematian adalah adanya gangguan kardiovaskular dan infeksi yang lebih banyak
ditemukan pada orang lanjut usia. Penyebab kematian terbanyak yaitu karena
penyakit kardiovaskular (34,2%), infeksi (13,8%), keganasan (9,9%)3.
Menurut data United State Renal Data System (USRDS), sebanyak 42%
kematian pada pasien hemodialisis disebabkan kelainan pada jantung. Mortalitas pada
pasien dengan hemodialisis meningkat sekitar 20% per tahun, dan ditemukan
mortalitas tertinggi terjadi pada satu tahun pertama hemodialisis4.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GAGAL JANTUNG
1. Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala),
ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung terjadi
ketika jantung tidak mampu memompa darah dalam waktu yang diperlukan
untuk memenuhi permintaan dari jaringan perifer1
Berdasarkan onset terjadinya, gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung
akut dan gagal jantung kronik :
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat/onset atau adanya
perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang
berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgen. Gagal jantung
akut bisa berupa serangan pertama gagal jantung tanpa ada kelainan
jantung sebelumnya (acute de novo), atau perburukan (dekompensasi
akut) dari gagal jantung kronik sebelumnya1
Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam
keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif lainnya adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat, terjadi sejak lama. Suatu
definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung
kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang
tegas pada disfungsi ventrikel1.
Gagal jantung adalah sindrom kompleks yang melibatkan proses akut dan
kronis. Gagal jantung akut memiliki berbagai presentasi. Hal ini dapat
ditandai dengan gejala yang berkembang dengan cepat dari onset baru atau de
3
novo, atau bisa menjadi perburukan gagal jantung kronis yang berujung pada
gagal jantung dekompensasi akut (ADHF), kadang-kadang disebut gagal
jantung 'akut pada kronis5.
Perburukan atau dekompensasi gagal jantung kronik (GJK), adanya
riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan
mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita gagal jantung kronik dan
dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru1,5.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel, yang juga didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50% 1,5.
2. Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun,
data WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat
menderita gagal jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan di
rumah sakit per tahun. Faktor resiko terjadinya gagal jantung yang paling
sering adalah usia lanjut, 75% pasien yang dirawat dengan gagal jantung
berusia 65-75 tahun. Menurut penelitian angka kejadian angka kejadian gagal
jantung kronik di Amerika Serikat, jumlahnya sekitar 3 juta orang, lebih dari
400 ribu kasus baru dilaporkan tiap tahun6.
3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA) membagi gagal
jantung ke dalam 4 kelas7.
a. NYHA kelas I
4
Pasien dengan penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas. Aktivitas
biasa tidak menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina.
b. NHYA kelas II
Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan ringan pada aktivitas
fisik. Aktivitas biasa menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina;
yang hilang dengan istirahat.
c. NHYA kelas III
Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan pada aktivitas fisik.
Sedikit aktivitas menyebabkan fatigue, dyspnea, palpitasi, atau nyeri
angina; yang hilang dengan istirahat.
d. NHYA kelas IV
Penderita penyakit jantung dengan ketidakmampuan melakukan aktivitas
fisik. Keluhan gagal jantung atau sindroma angina mungkin masih
dirasakan meskipun saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, rasa
tidak nyaman bertambah.
Klasifikasi berdasarkan American Collage of Cardiology/American Heart
Assocoation (ACC/AHA)8.
a. Stadium A : Resiko tinggi terhadap gagal jantung tetapi tidak ada
gangguan struktural jantung atau gejala gagal jantung
b. Stadium B : Adanya gangguan struktural jantung tetapi tidak ada gejala
gagal jantung
c. Stadium C : Adanya gangguan struktural jantung dan gejala gagal jantung
d. Stadium D : Gagal jantung tahap refrakter yang membutuhkan intervensi
khusus.
Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti (Klasifikasi Stevenson) sebagai
berikut11.
5
a. Kategori forrester 1 (grup A) : Warm and dry. Beresiko tinggi
menderita gagal jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa
adanya keluhan gagal jantung.
b. Kategori forrester 2 (grup B) : Warm and wet. Adanya penyakit
struktur jantung tanpa keluhan atau tanda gagal jantung.
c. Kategori forrester 3 (grup C) : cold and dry. Adanya penyakit struktur
jantung dengan keluhan atau tanda gagal jantung, hipoperfusi: cardiac
index <2.2.
d. Kategori forrester 4 (grup D) : cold and wet. Gagal jantung refrakter,
kongesti paru dan hipoperfusi.
4. Etiologi
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal
jantung akut. Contoh yang paling sering antara lain (1) peninggian afterload
pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal,
(2) peninggian preload karena volume overload atau retensi air, dan (3) gagal
sirkulasi seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi,
anemia, tirotoksikosis1.
Faktor-faktor pencetus timbulnya perburukan/dekompensasi gagal jantung
sebagai berikut9
- Tidak patuh dalam pengobatan dan diet
- Penyebab jantung
Iskemia
Aritmia
Hipertensi tidak terkontrol
- Penyebab non-jantung
Infeksi, terutama pneumonia dengan atau tanpa hipoksia
Penyakit paru obstruktif kronik
6
Emboli paru
- Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID)
- Volume overload
5. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis
serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar
vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga10.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal10.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung10.
7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung10.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia10.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung10.
6. Diagnosis
Kriteria Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung
kongestif. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major
dan 2 kriteria minor.
a. Criteria mayor
8
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronkhi paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
b. Criteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120/menit)
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute
Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.11
Volume Overload
- Dispneu saat melakukan - Hepatosplenomegali,
kegiatan hepatomegali, atau
- Orthopnea splenomegali
- Paroxysmal nocturnal dyspnea - Distensi vena jugular
(PND) - Reflex hepatojugular
- Ronchi - Asites
- Cepat kenyang - Edema perifer
9
- Mual dan muntah
Hipoperfusi
- Kelelahan - Hipotensi
- Perubahan status mental - Ekstremitas dingin
- Penyempitan tekanan nadi - Perburukan fungsi ginjal
7. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting
meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi dan
kadang etiologi dari GJA.
b. Foto thorax
10
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas5.
11
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan
fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -
50%)5.
12
8. Penatalaksanaan
a) Non Farmakologis
Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung5.
Ketaatan pasien berobat
13
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi5.
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter5.
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5-2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan
rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis5.
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan
gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup5.
Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor
penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir
berat badan >6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai
retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi
pasien harus dihitung dengan hati-hati5.
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal
jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang
sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah5.
14
b) Farmakologis
Diuretik
Diuretik menghambat reabsorbsi sodium. Loop diuretic yang
paling disukai sebagai agen diuretic untuk digunakan pada kebanyakan
pasien gagal jantung. Controlled trials menunjukkan kemampuan
diuretic untuk menunjukkan kemampuan diuretic untuk meningkatkan
eksresi sodium dan menurunkan retensi cairan pada pasien gagal
jantung.
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit
B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuaikebutuhan pasien, untuk menghindari
dehidrasi atau resistensi5.
Dosis diuretik
Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala
dan tanda kongesti
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan
kering (tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan
ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat
badan kering dengan dosis diuretik minimal.
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat
mengatur dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran
berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan5.
Angiotensin-Convertung Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik. Dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
15
gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI
hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal5.
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja
menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara
menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling
jantung serta retensi air dan garam11.
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien
gagal jantung. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular5.
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada
subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan
hanya untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran
pada penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui
penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal
jantung kongestif11.
Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, Berdasarkan guideline dari ACC/AHA
direkomendasikan menggunakan β-blocker pada semua pasien gagal
16
jantung kongestif yang masih stabil dan untuk mengurangi fraksi
ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi ataupun adanya riwayat
intoleran pada β-blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker sendiri
yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung,
pembuluh darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta
bloker dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga
mampu meningkatkan periode refractory11.
Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan
antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg
perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
Hydralazine Dan Isosorbide Dinistrate (H-ISDN)
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling
melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri
yang dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta
meningkatkan stroke volum dan cardiac output.
Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan menghambat
inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi
untuk melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan ion
kalsium intraseluler. Nitrat sebagai vesodilator utama (dilatasi
pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban awal
jantung) dengan mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine
Monophosphate) sehingga menurunkan kadar ion kalsium intraseluler
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun
obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal
17
jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan irama
sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak
mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)5.
ICD (Implantable cardioverter-defibrillator)
Merupakan alat yang direkomendasikan pada gagal jantung lanjut
( advanced heart failure ) simtomatik, yang sudah mendapatkan terapi
farmakologis gagal jantung secara optimal
Sebagai prevensi sekunder : direkomendasikan pada pasien dengan
aritmia ventrikuler yang menyebabkan hemodinamik menjadi tidak
stabil, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional
yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan risiko
kematian mendadak
Sebagai prevensi primer : direkomendasikan pada pasien dengan
gagal jantung simtomatik (NYHA II – III) dan EF < 35%
walaupun sudah mendapat terapi optimal lebih adri 3 bulan, yang
diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik
selama > 1tahun lagi, untuk menurunkan risiko kematian
mendadak
CRT (Cardiac resynchronization therapy)
Pada pasien dengan irama sinus NYHA III dan IV dan EF yang
rendah, walaupun mendapat terapi gagal jantung yang optimal
Morfologi LBBB : direkomendasikan pada pasien irama sinus
dengan durasi QRS ≥ 120 ms, morfologi LBBB dan EF < 35 %,
yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang
baik selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan angka
rehospitalisasi dan risiko kematian mendadak
18
Morfologi non LBBB : harus dipertimbangkan pada pasien irama
sinus dengan QRS ≥ 120 ms, morfologi QRS irespektif dan EF <
35%, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional
yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan risiko
kematian mendadak5.
Pada pasien dengan irama sinus NYHA II dan EF yang rendah,
walaupun mendapat terapi gagal jantung yang optimal
Morfologi LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-D)
pada pasien irama sinus dengan durasi QRS ≥ 130 ms, morfologi
LBBB dan EF < 30 %, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam
status fungsional yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk
menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko kematian mendadak
Morfologi non LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-
D) pada pasien irama sinus dengan durasi QRS ≥ 150 ms,
morfologi QRS irespektif dan EF < 30 %, yang diharapkan untuk
dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1 tahun
lagi, untuk menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko kematian
mendadak5.
Antagonis Aldosteron
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
19
Spironolakton 25 (1x/hari) 25-50 (1x/hari)
Penyekat β
Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25-50 (2x/hari)
Metoprolol 1,25/25 (1x/hari) 200 (1x/hari)
Diuretik
Diuretik Loop
Furosemid 20-40 40-240
Bumetanide 0,5-1,0 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5-100
Metolazone 2,5 2,5-10
Indapamide 2,5 2,5-5
Diuretic hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5-25 (+ACEI/ARB)50
(-ACEI/ARB)100-
(-ACEI/ARB) 50
200
20
satu sisi faktor-faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan
komplikasinya, sementara di sisi lain peningkatan tekanan darah juga
mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah akan
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur: secara
langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
interaksineurohormonal dan vaskular5.
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh
penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan
mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul
oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi
sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume
diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik)6.
Iskemia miokard (asimptomatik, angina pectoris, infark jantung dll) dapat
terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari hipertropi ventrikel kiri. Hipertropi
ventrikel kiri, iskemia miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan factor
utama kerusakan miosit pada hipertensi.
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakn pasien
tidak adakeluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:
Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa
melayang (dizzy),dan impoten
Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas,
sakit dada(iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau
perut. Gangguanvaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan
kabur karena perdarahanretina, transient cerebral ischemic
21
Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan
kelemahanotot pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi
yang labi padasindrom Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan
keluhan episode sakitkepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa
melayang saat berdiri 6.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC 7:
a) Diuretik terutama jenis Thiazide
b) Beta blocker
c) Calcium channel blocker (CCB)
d) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e) Angiotensin II Receptor Blocker atau AT, Receptor antagonis/blocker
(ARB)
22
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit
23
membran semipermeabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung
mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Dengan
metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK
dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga
dapat membaik. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita
PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus, pigmentasi,
kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya13.
D. Sirosis Hepatis
Sirosis merupakan suatu penyakit hati kronis yang mengalami distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat atau timbul
kekacauan dalam susunan parenkim hati dan adanya nodul-nodul regenerasi
sel hati yang tidak berkaitan dengan vaskuler normal, sehingga dapat
mengganggu sirkulasi darah intrahepatic14.
Sirosis hepatis adalah suatu tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif
yang ditandai dengan adanya distorsi arsitektur lobular hati, pembentukan nodul
regeneratif dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh
darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen vena hepatika.
Nekrosis hepatoseluler pada sirosis hepatis mengakibatkan jaringan retikulin
kolaps disertai distorsi jaringan vaskuler, deposit jaringan ikat dan regenerasi
nodularis parenkim hati15.
Sirosis hati dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata dan sirosis
dekompensata yang hanya dapat dibedakan oleh biopsi hati. Sirosis hati
kompensata yaitu sirosis hati yang belum menunjukkan gejala klinis dan sirosis
hati dekompensata yaitu sirosis hati yang menunjukkan gejala-gejala yang jelas.
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan secara tidak
sengaja saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit
lain16.
Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alkohol dan Hepatitis
C, sedangkan di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B
24
(40%-50%) dan Hepatitis C (30%-40%).5 Kondisi yang menjadi faktor
predisposisi munculnya penyakit ini adalah konsumsi alkohol yang berlebihan
dalam jangka waktu yang lama, riwayat terinfeksi hepatitis virus (B ataupun C),
obstruksi bilier, intoksikasi bahan kimia industri, dan penggunaan obat,
seperti acetaminophen, methotrexate, atau isoniazid17.
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena kelainan penyakit
lain. Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam
stadium dekompesata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises,
peritonitis bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gammbaran klinis dari
penderita sirosis hati adalah mudah lelah, anoreksi, berat badan menurun, atropi
otot, icterus, spider angiomata, splenomegaly, asites, caput medusa, palmar
eritema, white nails, ginekomasti, hilangnya rambut pubs dan ketiak pada wanita,
asterixis (flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren’s contracture (sirosis
akibat alcohol)18.
Pasien dengan sirosis asimtomatik atau simtomatik, tergantung pada apakah
sirosis mereka terkompensasi secara klinis atau didekompensasi. Pada sirosis
kompensasi, pasien biasanya asimtomatik, dan penyakit mereka dideteksi secara
kebetulan oleh laboratorium, pemeriksaan fisik, atau pencitraan. Salah satu
temuan umum adalah peningkatan ringan sampai sedang pada aminotransferase
atau transpeptidase gamma-glutamyl dengan kemungkinan pembesaran hati atau
limpa pada pemeriksaan fisik. Di sisi lain, pasien dengan sirosis dekompensasi
biasanya datang dengan berbagai tanda dan gejala yang timbul dari kombinasi
disfungsi hati dan hipertensi portal. Diagnosis asites, ikterus, ensefalopati hepatik,
perdarahan varises, atau karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis
menandakan transisi dari fase sirosis kompensasi ke fase dekompensasi.
Komplikasi sirosis lainnya termasuk peritonitis bakterial spontan dan sindrom
hepatorenal, yang terjadi pada pasien yang menderita asites19.
25
E. Hubungan Sirosis hepatis dengan gagal jantung
a) Disfungsi Sistolik
Disfungsi sistolik merupakan gangguan fungsi pemompaan ventrikel. Pada
pasien sirosis, fungsi sistolik jantung biasanya normal bahkan pada sirosis
lanjut, EF dapat sangat tinggi akibat adanya sirkulasi hiperdinamik. Disfungsi
sistolik pada sirosis baru terlihat saat latihan atau ada stimulus farmakologis.
Ketidakmampuan aktivitas fisik bukan gejala terpenting pasien sirosis terkait
disfungsi sistolik.
Sindrom hepatorenal dan peritonitis bakterial spontan dapat terjadi pada
pasien sirosis dengan disfungsi sistolik akibat penurunan curah jantung. Selain
itu, disfungsi sistolik juga memberikan kontribusi pada retensi natrium dan air
pada sirosis akibat pengaktifan sistem SS dan RAA.20
b) Disfungsi Diastolik
Disfungsi diastolik merupakan suatu keadaan relaksasi ventrikel menjadi
lebih lambat. Disfungsi diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa disfungsi
sistolik. Disfungsi diastolik pada pasien sirosis menimbulkan masalah klinis
jika terjadi peningkatan volume secara tiba-tiba karena ventrikel kiri tidak
dapat berelaksasi akibat kekakuan dan hipertrofi ventrikel. Hal ini sering
ditemukan pada pasien sirosis yang menjalani prosedur transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) dan sesudah transplantasi hati20.
c) Abnormalitas Elektrofisiologi
Interval QT menggambarkan fase depolarisasi dan repolarisasi ventrikel.
Pemanjangan interval QT terjadi apabila durasi potensial aksi meningkat yang
disebabkan oleh penurunan aliran ion pada membran plasma.Pemanjangan
interval QT merupakan abnormalitas elektrofisiologi yang paling sering
ditemukan pada sirosis. Hal ini dapat menyebabkan takiaritmia ventrikel dan
kematian mendadak.
26
Selain pemanjangan interval QT, inkompetensi kronotropik dan
desinkronisasi elektromekanikal juga terjadi pada pasien sirosis meskipun
jarang. Inkompetensi kronotropik merupakan keadaan jantung tidak dapat
meningkatkan denyutnya pada stimulasi adrenergik fisiologis dan
farmakologis. Kepentingan klinis inkompetensi kronotropik pada sirosis
belum diketahui, diduga berperan pada gangguan sirkulasi terkait parasintesis
dan sindrom hepatorenal.4 Desinkronisasi elektromekanikal adalah gangguan
transmisi pada eksitasi elektrik terhadap kontraksi kardiomiosit. Hal ini dapat
menyebabkan aritmia ventrikel meskipun jarang.20
27
Resistensi koroner juga mengalami remodeling pada penyakit jantung hipertensi,
deangan fibrosis perivaskular arteri koroner intramyocardial dan arteriol,
bersama-sama dengan penebalan tunika media. Keadaan tersebut bertanggung
jawab atas terjadinya gagal jantung9.
Hipertensi dapat disebabkan oleh stress psikologis. Dimana pada kondisi ini
akan mengaktivasi resepetor beta adrenergic. Aktivitas rseptor beta pada jantung
akan meningkatkan influx kalsium kedalam sel jantung sehingga mengakibatkan
denyut jantung meningkat, dan berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan
sistolik. Keadaan ini mengakibatkan perubahan hemodinamik, sehingga
menimbulkan jejas endotel yang merupakan awal aterosklerosis yang jika tidak
ditangani dengan segera bisa berlanjut sampai ke gagal jantung.
Penderita hipertensi sering mengalami peningkatan kadar angiotensin II, yang
merupakan vasokonstriktor poten dengan menstimulasi perkembangan miosit,
sehingga memperberat aterogenesis. Angiotensin II dengan reseptor spesifik
miosit berikatan, menghasilkan aktivasi fosfolipase C yang dapat meningkatkan
hipertrofi miosit dan sintesis protein, serta meningkatkan aktivitas liposigenasi
yang dapat meningkatkan inflamasi dan oksidasi LDL.
Rekomendasi terapi hipertensi pasien gagal jantung NYHA fc II-IV dan
disfungsi sistolik
Langkah 1 : Satu atau lebih dari ACE/ ARB, penyekat β, dan MRA
direkomndasikan sebagai terapi lini pertama, kedua dan ketiga, secara berurutan,
karena memiliki keuntungan yang saling berhubungan dengan gagal jantung
Langkah 2 : Diuretik tiazid ( atau bila pasien dalam pengobatan diuretik
tiazid, diganti dengan diuretik loop) direkomendasikan bila hipertensi persisten
walaupun sudah mendapat terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β dan MRA
Langkah 3 : Amlodipin, direkomendasikan bila hipertensi persisten waaupun
28
sudah mendapat terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretic
Hidralazin, direkomandasikan bila hipertensi persisten waaupun sudah mendapat
terapi kombinasi ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretic
Antagonis adrenoreseptor alfa tidak direkomendasikan, karena masalah
keselamatan (retensi cairan, aktifasi neurohormonal, perburukan gagal jantung).
29
BAB III
LAPORAN KASUS
A. KASUS
a) Identitas pasien
30
Nama : Tn. S
Umur : 40 Tahun
Alamat : Desa Lambunu
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal pemeriksaan : 15 Februari 2020
Tempat pemeriksaan : Pav. Flamboyan
B. Anamnesis
a. Keluhan utama : Sesak nafas
b. Riwayat penyakit sekarang :
Seorang laki-laki masuk IGD RSUD Undata dengan keluhan sesak
yang dirasakan sejak 1 minggu terakhir dan memberat 2 hari SMRS. Sesak
dirasakan memberat ketika berbaring sehingga pasien kesulitan tidur. Pasien
juga mengeluhkan kaki dan tangan mengalami pembengkakan kemudian
diikuti dengan perut yang membesar sejak kurang lebih satu tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluh perut terasa sakit dan terasa penuh. BAK tidak lancar
dan BAB biasa. Pasien belum pernah melakukan pengobatan sebelumnya.
Demam(-), mual(-), muntah(-), batuk (-).
c. Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dahulu. Pasien tidak pernah
memeriksakan kesehatannya.
31
C. Pemerksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Lemah
Compos mentis (E4V5M6)
b. Tanda vital
Tekanan darah: 150/100 mmHg
Nadi : 80
Pernapasan : 25
Suhu : 36,5
c. Kepala
Wajah : moon face
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Mata :
- Konjungtiva : anemis +/+
- Sclera : icterus -/-
- Pupil : isokor +/+
Mulut : Sianosis (-), Stomatitis (-), lidah kotor (-)
d. Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : peningkatan 5+4
Massa lain : Tidak ada
e. Dada
Paru-Paru
- Inspeksi : Simetris Bilateral (+/+)
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
32
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
f. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan: SIC IV linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea parasternal sinistra
- Auskultasi : BJ I/ II regular
g. Perut
- Inspeksi : Cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani (+)
- Palpasi : tes undulasi (+),
h. Anggota Gerak
- Atas : Akral hangat (+/+), edema (+/+)
- Bawah : Akral hangat (+/+), edema (+/+)
D. Resume
Seorang laki-laki masuk IGD RSUD Undata dengan keluhan dispneu yang
dirasakan sejak 1 minggu terakhir dan memberat 2 hari SMRS. Dispneu dirasakan
memberat ketika berbaring sehingga pasien kesulitan tidur. Pasien juga
mengeluhkan edema pada ekstremitas superior dan inferior yang kemudian diikuti
pembesaran abdomen kurang lebih satu tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh
perut terasa sakit dan penuh pada seluruh lapang abdomen. BAK tidak lancar dan
Pasien belum pernah melakukan pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan tanda vital ditemukan Tekanan Darah : 150/100 mmHg, Nadi :
80 kali/menit, Respiration Rate : 23 kali/menit, dan Suhu Tubuh : 36,5 C.
33
Pemeriksaan fisik wajah tampak moon face (+) konjungtiva anemis (+/+) pada
abdomen didapatkan auskultasi sulit dinilai, perkusi timpani bagian atas perut,
redup bagian sisi lateral dextra et sinistra, pada palpasi didapatkan distensi
abdomen, ekstremitas superior edema (+/+), ekstremitas inferior edema (+/+).
Pemeriksaan penunjang ditemukan HGB : 6.7 gr/dl (<), HCT : 20.1%
(<), RBC : .468 (<), albumin 2,7 g/dl (<), kreatinin 20,33 mg/dl (>), SGPT : 27
U/L (<), SGOT : 316 (<)
E. Diagnosis Kerja
Acute Decompensative Heart Failure ec Hipertention Heart Disease + Chronic
Kidney Disease + Sirosis hepatis
F. Usulan pemeriksaan penunjang
- EKG
- Foto Thorax
- Tes Fungsi Ginjal
DARAH LENGKAP
WBC 8,8 x 103/uL
RBC 2.78 x 106/uL
PLT 185 x 103/uL
HCT 22.6%
HGB 8,7 g/dL
SERUM HASIL
Glukosa 91 mg/dl
Creatinin 20.33 mg/dl
Urea 267.0 mg/dl
Albumin 2.7 g/dl
34
SGPT 72 U/L
H. Penatalaksanaan
- Non-medikamentosa
a. Tirah Baring
b. Diet Rendah Garam
- Medika Mentosa
35
IVFD RL 1 kolf/24 jam
ISDN 40 mg
Furosemid 2 amp/12 jam
Ranitidin 1 amp
Ramipril 5 mg 0-0-1
Aspilet 80 mg
Amlodipin 10 mg 1-0-0
Betaone 2,5 mg
Isonat 5 mg
Valsartan 80 mg
Spironolactone 100 mg
Ketocid 3x2 tab
Sucralfat syr 3x1
Bisoprolol 2,5 mg
I. Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad malam
Quo Ad functionam : Dubia ad malam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan Acute Dekompensated heart Failure
(ADHF) ec Hipertensi Heart Disease + Chronic Kidney Disease + Sirosis Hepatis,
36
yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaa
penunjang yang telah dilakukan.
Pada kasus ini, Pasien Tn.S usia 40 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak yang dirasakan sejak 1 minggu terakhir dan memberat 2 hari SMRS. Sesak
dirasakan memberat ketika berbaring sehingga pasien kesulitan tidur. Pasien juga
mengeluhkan kaki dan tangan mengalami pembengkakan kemudian diikuti dengan
perut yang membesar sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh
perut terasa sakit dan terasa penuh. BAK tidak lancar dan BAB biasa.
Pada pemeriksaan fisik yang didapatkan mengarah pada diagnosis gagal jantung
yaitu ditemukan peningkatan vena jugularis, terdengar suara rhonki pada kedua
lapang paru, dan edema pada kedua ekstremitas atas dan bawah yang kesannya
minimal.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Franingham.
Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor meliputi peningkatan tekanan vena
jugularis, paroksismal nokturnal dispneu, dan rhonki pada kedua paru. Didapatkan
pula kriteria minor berupa edema pada ekstremitas atas dan bawah yang minimal dan
dispneu d’ effort. Berdasarkan tanda dan gejala yang didapatkan telah memenuhi
kriteria Franingham mayor dan minor sehingga dapat didiagnosis pada pasien ini
mengalami gagal jantung.
Acute decompensated heart failure merupakan gagal jantung akut yang
didefinisikan sebagai serangan yang cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan
jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik
yang telah dialami sebelumnya.
Penurunan cardiac output salah satunya dapat menyebabkan peningkatan
tekanan vena pulmonalis sehingga cairan mengalir dari kapiler ke alveoli dan
terjadilah edema paru. Edema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli sehingga
timbul dispnoe dan ortopnoe. Keluhan sesak pada pasien ini dapat terjadi sebagai
37
akibat perburukan dari gagal jantung yang diderita akibat terjadinya edema paru
kardiogenik yang disebabkan oleh penurunan cardiac output. Keadaan ini membuat
tubuh memerlukan energi yang tinggi untuk bernafas sehingga menyebabkan pasien
mudah lelah.
Pasien pada kasus ini di diagnosis HHD, dikarenakan sudah mempunyai riwayat
hipertensi. Hipertensi telah dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung
pada beberapa penelitian epidemiologis. pengaruh aktivasi sistem saraf simpatik,
yang dimediasi melalui stimulasi norepinefrin dari sistem adrenergik, juga merupakan
faktor penting pada progresi kontium kardiovaskular. Peningkatan sistem saraf
simpatis akan mengakibatkan peningkatan denyut jantung, kebutuhan oksigen
miokard dan menurunkan suplai darah ke miokard dengan menurunkan waktu perfusi
diastolik koroner. Pada hipertensi, dimana terjadi overload hemodinamik, aktivasi
sistem saraf simpatis ini akan lebih lanjut lagi mencetuskan proses remodeling
miokard. Pada hipertensi bias menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri
sehingga bisa mengurangi cadangan aliran darah koroner.
Pada kasus ini Tn.S, usia 40 tahun, didapatkan pada fungsi hati menurun yang
ditandai SGOT dan SGPT mengalami peningkatan. Pada pemeriksaan USG abdomen
didapatkan gambaran kesan sirosis hepatis. Pasien juga diketahui mengkonsumsi
alkohol secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Sirosis tipe ini mempunyai
karakteristik garis parut yang tipis dan difus, sejumlah kerusakan sel hati yang
seragam, dan nodul regeneratif kecil sehingga sering disebut sebagai sirosis
mikronodular.
Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) ditandai dengan penurunan
glomerulus filtration rate(GFR) secara perlahan dalam periode yang lama.
Glomerular Filtration Rate (GFR)menandakan jumlah cairan yang di filtrasi oleh
ginjal. Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
38
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR.
Kelainan hemodinamik ginjal serupa pada DM tipe 1 dan tipe 2. Kelainan
fisiologi awal adalah hiperfiltrasi glomerular terkait dengan hipertensi
intraglomerular. Hal ini disertai dengan timbulnya mikroalbuminuria, bukti praktis
pertama keterlibatan ginjal pada diabetes. Ini adalah saat yang kritis dalam evolusi
penyakit ginjal diabetes, karena dampak terbesar dari pengobatan adalah menahan
pada titik ini atau sebaliknya terjadi penurunan fungsi renal yang progresif. Sebuah
periode klinis asimtomatik terjadi penurunan berikut, dengan perkembangan mikro-
albuminuria (30-300 mg albumin per hari) sampai makroalbuminuria (> 300 mg
albumin per hari). Setelah nefropati berjalan (makroalbuminuria), fungsi ginjal jatuh
pada tingkat yang signifikan (penurunan GFR 2-20 ml/menit setiap tahunnya).
Pada penatalaksanaan kasus, pemberian transfusi PRC 800cc untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah. Pada pasien dengan penyakit CKD, terjadi
anemia pada 80-90% pasien. Anemia pada penyakit CKD terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang memendek akibat
terjadi hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Pemberian transfusi pada penyakit
CKD harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi dan pemantauan yang
tepat. Transfusi yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gr/dl.
BAB V
KESIMPULAN
1. Gagal jantung adalah sindrom kompleks yang melibatkan proses akut dan kronis.
Gagal jantung akut memiliki berbagai presentasi. Hal ini dapat ditandai dengan
39
gejala yang berkembang dengan cepat dari onset baru atau de novo, atau bisa
menjadi perburukan gagal jantung kronis yang berujung pada gagal jantung
dekompensasi akut (ADHF), kadang-kadang disebut gagal jantung 'akut pada
kronis
2. Hipertensi dan Chronic Kidney Disease bisa menyebabkan gagal jantung
3. Sirois hepatis dapat disebabkan berbagai etiologi. Infeksi virus hepatitis B dan C
merupakan penyebab yang sering di Indonesis, sedangkan alcohol merupakan
penyebab terbanyak di daerah Barat. Seiring meningkatnya obesitas, diabetes
mellitus, penyakit jantung koroner, maka nonalkoholik steatohepatitis juga
menjadi etiologi sirosisyang penting.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2012.
2. Masola, A.B., Panda, A.L., Kawengian, V. 2016. Hubungan gagal jantung dan
gangguan fungsi hati. Jurnal e-Clinic (eCl). 4(2):1-5. Viewed on 27 Februari
2021.from http://www.ejournal.unsrat.ac.id
40
3. Mcquillan R, Lilyanna T, Fenton S, Charmaine EL. Modifiable Risk Factor for
Early Mortality on Hemodialisis. International Journal of Nephrology 2012.
4. United States Renal Data System (USRDS). Annual Data Report. Overall
hospitalization and Mortality, Am J Kidney Dis 2009.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung. Jakarta: Perki. 2015
6. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.
Jakarta : Media Aesculapius. Hal: 591-595. 2014.
7. Lindenfeld J. 2010. Evaluation and Management of Patients with Acute
Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac.16(6). Viewed on 2 maret 2021.
From http://www.heartfailureguideline.org
8. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et
al. 2008. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008. European Journal of Heart Failure. Viewed on 2 maret 2021
9. Dwiyanti, F., A 50-year-old woman with Heart Failure with Diabetes Mellitus
type II and Hypertention as Risk Factors. Facultas medicine, 2014. J medulla
Unila. 3(2). Viewed on 28 Februari 2021. From
http://Jurnalke.kedokteran.unila.ac.id
10. Muhammadun, S., Hidup bersama Hipertensi. Jogjakarta,2010. In books
11. Yancy,T. Angka kejadian Drug Related Problem (DRPs) pada pasien Congestive
Heart Failure (CHF) di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
periodeJanuari-Mei2015. From http://repository.umy.ac.id
12. Fadhilah, A.Z. 2014. Chronic Kidney Disease Stage V. Jurnal Agromed Unila.
1(2):1-5. Viewed on 27 februari 2021. From
http://www.juke.kedokteran.unila.ac.id
13. Aisara, S., Azmi, S., Yanni, M. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
41
kesehatan andalas.7(1):1-9. Viewed on 27 Februari 2021. From
http://www.jurnal.fk.unad.ac.id
14. Sutrisna, M. 2020. Hubungan tanda-tanda hipertensi portal dengan kejadian
perdarahan varises esophagus pada pasien sirosis hepatis. Journal of Nursing and
Public Health. Vol. 8 No. 1
15. Maharani,S., Efendi, D., Tampubolon, LA. Gambaran Pemeriksaan Fungsi Hati
pada Pasien Sirosis Hepatis yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad Provinsi Riau Periode 2013-2015. JIK. 2018; Jilid 12. Nomor 1.
16. Budhiarta, D.M.F. Penatalaksanaan dan edukasi pasien sirosis hati dengan varises
esofagus di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014. Intisari Sains Medis. 2017; Vol.
8. No. 1
17. Sinurat, LR., dan Purba BT. Peningkatan Status Gizi Pasien Sirosis Hepatis
Melalui Regimen Nutrisi di RS Sari Mutiara Medan. Idea Noursing Journal.
2018; Vol. 9. No.2.
18. Nurdjanah Siti. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2014.
19. Sharma,B., John,S. Hepatic cirrhosis. 2020. Statpearls. NCBI
20. Mulyo, S. ardiomiopati Sirosis – Diagnosis dan Tatalaksana. 44(1):!-5. Viewed
on 28 februari 2021. From http://cdkjournal.com
21. Saraswati., B. Hubungan IMT dan RLPP dengan Tekanan Darah pasien
Hipertensi.FakultasKedokteran.2015. http://digilib.unimus.ac.id
42