Anda di halaman 1dari 72

CASE BASED DISCUSSION

BUERGER’S DISEASE
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Dokter Pendidik Klinis:


dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp.JP

Disusun Oleh :
Yahya Ridho Saputra (2013020014)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

“BUERGER’S DISEASE”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu


Penyakit Dalam
Program Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Yang disusun oleh:


Yahya Ridho Saputra

Telah dipresentasikan dan disetujui :


Hari, tanggal: Senin, 8 Januari 2021
Disahkan oleh dokter pembimbing :

dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP


KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan yang berjudul
“BUERGER’S DISEASE” pada kepaniteraan bidang Ilmu Penyakit Dalam di
RSUD DR. Soeselo, Slawi. Sehubungan dengan pelaksanaan pembuatan sampai
penyelesaian laporan ini, dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada
pembimbing yang terhormat dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp.JP
Penulis berharap laporan kasus ujian ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai “BUERGER’S DISEASE” serta salah satunya
untuk memenuhi tugas yang diberikan pada kepaniteraan bidang Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD DR. Soeselo, Slawi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan laporan ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak.
BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Usia : 62

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
No. Rekam Medik : 648893
Diagnosis :Acute Limb Ischemic (Buerger’s Disease), Post
Stemi, CKD, Hiperkalemi
Tanggal Masuk RS : 26-01-2021
Tanggal Keluar RS : 31-01-2021

B. ANAMNESIS

Autoanamnesis
Tanggal anamnesis : 27 Januari 2021
Keluhan utama : Jari Kaki Sakit
Keluhan tambahan : Sesak napas, dada sakit, lemes
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan sakit pada
beberapa jari kaki nya sejak kurang lebih
satu setengah bulan yang lalu setelah dirawat
di ICU karena sumbatan total jantung. Jari
yang sakit adalah jempol dan jari ke-4 pada
kaki kanan sedangkan pada kaki kiri adalah
jempol dan jari ke-3. jari yang sakit berubah
warna jadi menghitam dan berbau. Awal nya
pasien potong kuku lalu ada sedikit yang
berdarah, lalu lama kelamaan lukanya
meluas. Pasien juga mengeluh kedua tungkai
nya sakit bila digerakan atau disentuh. Nyeri
akan muncul dari paha dan betis apabila
dipaksakan untuk bergerak. Selain itu pasien
merasa sesak napas ngos-ngosan. Sesak
dirasakan bahkan saat duduk/istirahat dan
semakin sesak bila tiduran di kasur datar dan
berjalan ke kamar mandi. Keluhan yang
dirasakan pasien membuat dirinya sulit tidur
di malam hari. Pasien menyangkal
mengalami mual, muntah, kepala pusing,
ataupun cekot-cekot.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah di rawat di ICU RSUD
Soeselo pada bulan Oktober 2020 karena nyeri dada
mendadak menjalar ke punggung kiri. Oleh dokter
didiagnosis sumbatan total jantung. Pasien juga
sempat kejang saat dirawat di ICU. Pasien punya
riwayat Hipertensi (+). riwayat penyakit lain seperti
Asma (-), Diabetes (-), Kolesterol (-), Asam urat (-)
disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : Keluarga tidak memiliki riwayat tekanan d
arah tinggi, penyakit jantung, diabetes, kolesterol,
asam urat.
Riwayat Psikososial: pasien aktif merokok sejak lama namun berhenti
sejak mengalami sumbatan total jantung pada bulan
Oktober 2020. Pasien berobat menggunakan asurans
i BPJS

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal pemeriksaan fisik: 27 Januari 2021


 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)

 Tanda Vital
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 73 x/menit
Suhu : 36,7˚C
Pernapasan : 24 x/menit

SpO2 : tidak dapat diukur (27 Januari 2021) --> 99% (29
Januari 2021, setelah terapi antikoagulan)

 Antropometri
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 23,4 kg/m2
Status gizi : Normal

 Status Lokalis
Kepala : Normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : Bentuk normal, discharge (-), deviasi septum (-)
Telinga : Normotia, hiperemis -/-, edema -/-, serumen prop
-/-
Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba,
tidak ada peningkatan JVP (JVP 5+2)

Toraks : Pernapasan simetris, napas tertinggal (-)


Pulmo :
Insp : Pengembangan dada simetris dx=sx,
kelainan bentuk dada (-) retraksi dinding
dada (-)
Palp : Vocal fremitus meningkat bagian dextra
Perk : redup pada lapang paru
Ausk : Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara
tambahan Ronchi Basah Halus di kedua lapang
paru.
Cor :
Insp : IC tidak tampak, gerakan dinding dada
simetris
Palp : IC tidak teraba
Perk : Batas jantung
Atas : SIC II Linea Parasternalis Sinistra
Kanan : SIC II Linea Parasternalis dextra
Kiri : SIC V Linea Midklavikula sinistra
Ausk : S1=S2, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen :
o Inspeksi : Bentuk perut datar, venektasi (-), massa (-)
o Palpasi : nyeri tekan epigastrik (+), pembesaran hepar &
lien (-)
o Perkusi : timpani pada 4 kuadran
o Auskultasi : bising usus (+) dbn
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Akral dingin pada keempat ekstremitas (+), kulit
tampak sianosis (+), edema (-). nampak ulkus menghitam pada
kaki kanan jari 1 dan jari 4 serta kaki kiri jari 1 dan jari 3.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab - Tanggal : 26/01/2021


- HEMATOLOGI
Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 11.9 103/ul 4.5-13.0
Eritrosit L 3.6 106/ul 4.40-5.90
Hemoglobin L 9.9 g/dL 12.8-16.6
Hematocrit L 28 % 40-52
MCV L 78 fL 80-100
MCH 27 pg 26-34
MCHC 35 g/dL 32-36
Trombosit H 413 103/ul 150-400
Eosinophil 2.40 % 2.00-4.00
Basophil 0.30 % 0-1
Netrofil H 79.3 % 50-70
Limfosit L 11.2 % 26-40
Netrofil Limosit R H 7.08 <3.13
atio
Monosit 6.80 % 2-8
MPV H 12.2 fL 7.2-11.1
RDW SD 46.2 fL 35.1-43.9
RDW CV 15.4 % 11.5 - 14.5
Kalium HH mmol/L 3.5-5.0
6.17
Natrium L 125.8 mmol/L 135.0-147.0
Chlorida H mmol/L 95.0-105.0
116.6
Calcium 1.21 mmol/L 1.13-1.32
Ureum H mg/dL 17.1-42.8
187.1
Creatinin H 4.73 mg/dL 0.4-1
SGOT 19 U/L 13-33
SGPT 17 U/L 6-30
Lab - Tanggal : 27/01/2021
Elektrolit
Kalium H 5.63 mmol/L 3.5-5.0
Natrium L mmol/L 135.0-147.0
124.9
Chlorida H mmol/L 95.0-105.0
112.8
Calcium 1.22 mmol/L 1.13-1.32
Lab - Tanggal : 28/01/2021
Elektrolit
Kalium H 5.72 mmol/L 3.5-5.0
Natrium L 127.2 mmol/L 135.0-147.0
Chlorida H 117.5 mmol/L 95.0-105.0
Calcium R.HABIS mmol/L 1.13-1.32
Lab - Tanggal : 29/01/2021
Elektrolit
Kalium H 6.49 mmol/L 3.5-5.0
Natrium L mmol/L 135.0-147.0
128.1
Chlorida H mmol/L 95.0-105.0
117.2
Calcium 1.17 mmol/L 1.13-1.32
Ureum H mg/dL 17.1-42.8
233.3
Creatinin H 6.95 mg/dL 0.4-1
APTT TEST H detik 25.5-42.1
163.9
PT TEST H 12.7 detik 9.3-11.4
Seroimunologi
HBsAg Stik Non Reaktif Non Reaktif
HIV Skrining Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif

EKG
Interpretasi EKG
Irama: ventrikular, ireguler ketika VES muncul
Gel P: normal, tinggi 1 kotak kecil
Interval PR: normal, 3 kotak kecil
Komplex QRS: durasi QRS pada VES memanjang (>0,12 detik),
bentuk melebar aneh di lead aVR, aVL,aVF
Terdapat VES di lead aVR, aVL, aVF
Segment ST: ST depresi di Lead III. ST elevasi di lead I, V3, V4
Gel T: meinggi pada lead I, aVL, V2-V6 lebih dari 10 kotak kecil
Aksis: Lead I (+), aVF (+), Normoaxis
Kesimpulan: ST elevasi dd stemi anterior, iskemia inferior,
ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia, normoaxis
Ro Thorax AP
COR: bentuk dan letak jantung normal
PULMO: Corakan vaskuler normal, tak tampak bercak pada kedua
lapangan paru
Diafragma kanan setinggi kosta 9 posterior
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Kesimpulan: jantung tak tampak membesar, pulmo tak tampak kelainan

Vaskuler Doppler
E. DIAGNOSIS

A. Diagnosis Kerja
1. Acute Limb Ischemic dd Buerger’s Disease
2. Post Stemi
3. CKD
4. Hiperkalemia

B. Diagnosis Banding
1. Ulkus Diabetikum
2. NSTEMI
3. CHF

C. Dasar Diagnosis
1. Anamnesis:
a. Keluhan utama : Jari Kaki Sakit
b. Keluhan tambahan: kedua tungkai nyeri, sesak napas
c. Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan
sakit pada beberapa jari kaki nya sejak kurang lebih satu
setengah bulan yang lalu. jari yang sakit berubah warna jadi
menghitam dan berbau. Pasien juga mengeluh kedua
tungkai nya sakit bila digerakan atau disentuh. Selain itu
pasien merasa sesak napas ngos-ngosan. Sesak dirasakan
bahkan saat duduk/istirahat dan semakin sesak bila tiduran
di kasur datar dan berjalan ke kamar mandi. Keluhan yang
dirasakan pasien membuat dirinya sulit tidur di malam hari.
d. Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah di rawat di ICU
RSUD Soeselo pada bulan Oktober 2020 karena nyeri dada
mendadak menjalar ke punggung kiri. Oleh dokter
didiagnosis sumbatan total jantung. Pasien juga sempat
kejang saat dirawat di ICU. Pasien punya riwayat Hipertensi
(+).
e. Riwayat Psikososial: pasien aktif merokok sejak lama
namun berhenti sejak mengalami sumbatan total jantung
pada bulan Oktober 2020.
2. Pemeriksaan Fisik
SpO2 : tidak dapat diukur (27 Januari 2021) --> 99% (29
Januari 2021, setelah terapi antikoagulan)
Palp : Vocal fremitus meningkat bagian dextra
Perk : redup pada lapang paru
Ausk : Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara
tambahan Ronchi Basah Halus di kedua lapang paru.
Palpasi : nyeri tekan epigastrik (+)
Ekstremitas : Akral dingin pada keempat ekstremitas (+), edema
(-). nampak ulkus menghitam pada kaki kanan jari 1 dan jari 4
serta kaki kiri jari 1 dan jari 3

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi
Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 11.9 103/ul 4.5-13.0
Eritrosit L 3.6 106/ul 4.40-5.90
Hemoglobin L 9.9 g/dL 12.8-16.6
Hematocrit L 28 % 40-52
MCV L 78 fL 80-100
Trombosit H 413 103/ul 150-400
Netrofil H 79.3 % 50-70
Limfosit L 11.2 % 26-40
Netrofil Limosit R H 7.08 <3.13
atio
MPV H 12.2 fL 7.2-11.1
RDW SD 46.2 fL 35.1-43.9
RDW CV 15.4 % 11.5 - 14.5
Kalium HH mmol/L 3.5-5.0
6.17
Natrium L 125.8 mmol/L 135.0-147.0
Chlorida H mmol/L 95.0-105.0
116.6
Ureum H mg/dL 17.1-42.8
187.1
Creatinin H 4.73 mg/dL 0.4-1
APTT TEST H detik 25.5-42.1
163.9
PT TEST H 12.7 detik 9.3-11.4

b. EKG
Kesimpulan: ST elevasi dd stemi anterior, iskemia inferior,
ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia, normoaxis
c. Vaskuler doppler
Kesimpulan: curiga emboli arteri di atas arteri poplitea
dextra. DVT katup V poplitea dextra
F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi IGD
a. Inf RL 10 tpm
b. Inj Ketorolac 2x30 mg
c. Inj mecobalamin 2x500 mg
d. Inj omeprazole 1x40 mg

2. Terapi Bangsal
a. O2 4 lpm
b. Inf NaCL 0.9% 10 tpm
c. S.P Heparin 800 IU/jam
d. Inj ceftriaxone 2x1 gr (hari ke-14)
e. Koreksi kalium dengan D40 2 k + Insulin 10 IU / 8 jam
f. Miniaspi 1x80mg PO
g. Clopidogrel 1x75 mg PO
h. Atrovastatin 1x40 mg PO
i. Amlodipin 1x5 mg PO
j. MST 2x1 PO

3. Planning Diagnostik
a. Darah Rutin
b. Pemeriksaan Elektrolit
c. Rontgen Thorax
d. USG Doppler Vaskuler
e. EKG

4. Monitoring
a. Keadaan Umum
b. TTV
c. EKG
d. Lab aPTT
e. Lab PT

5. Edukasi
a. Pengetahuan mengenai penyakit
b. Istirahat yang cukup
c. Mengurangi Aktifitas berat
d. Minum obat teratur
e. Kontrol Rutin
f. Menggunakan masker yang benar

G. PROGNOSIS

Ad Vitam: Dubia Ad Malam


Ad Fungsionam: Dubia Ad Malam
Ad Sanationam: Dubia Ad Malam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Thromboangitis Obliterans (Buerger’s Disease)


1. Definsi
Penyakit Buerger atau Tromboangitis Obliterans (TAO) adalah penyakit oklusi
kronis pembuluh darah arteri dan vena yang berukuran kecil dan sedang.
Terutama mengenai pembuluh darah perifer ekstremitas inferior dan superior.
Penyakit pembuluh darah arteri dan vena ini bersifat segmental pada anggota
gerak dan jarang pada alat-alat dalam Penyakit ini merupakan penyakit non
arteriosclerosis Pada Beurger Disease pembuluh darah mengalami konstriksi atau
obstruksi sebagian yang dikarenakan oleh inflamasi dan bekuan sehingga
menyebabkan obstruksi pada pembuluh darah tangan dan kaki yang secara
otomatis akan mengurangi aliran darah ke jaringan1
2. Epidemiologi
Secara global prevalensi penyakit ini menurun dalam setengah dekade belakangan
ini hal ini disebabkan berkurangnya jumlah perokok secara global dan
meningkatnya kemampuan diagnostik yang dapat menyingkirkan penyakit ini
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 12-20 kasus per 100.000 penduduk
Penyakit ini juga dikaitkan dengan tindakan amputasi% terutama pada pasien
dengan Buerger’s disease yang tetap merokok, 43% menjalani 1 atau lebih
amputasi dalam kurun waktu 7 tahun Penyakit ini memiliki prevalensi tinggi di
negarai India, korea, Jepang. Penyakit ini lebih umum pada pria dengan
perbandingan pria-wanita sebesar 3:1 akan tetapi, rasio ini diperkirakan akan
berubah seiring meningkatnya jumlah wanita perokok Umumnya pasien
Buerger’s disease berusia antara 20-45 tahun.2
3. Etiologi
Penyebabnya tidak jelas tetapi biasanya tidak ada faktor familial serta
tidak ada hubungannya dengan penyakit Diabetes mellitus. Penderita penyakit ini
umumnya perokok berat yang kebanyakan mulai merokok pada usia muda kadang
pada usia sekolah . Penghentian kebiasaan merokok memberikan perbaikan pada
penyakit ini. Walaupun penyebab penyakit Buerger belum diketahui suatu
hubungan yang erat dengan penggunaan tembakau tidak dapat disangkal.
Penggunaan maupun dampak dari tembakau berperan penting dalam mengawali
serta berkembangnya penyakit tersebut. hampir sama dengan penyakit autoimune
lainnya. Tromboangitis Obliterans dapat memiliki sebuah predisposisi genetik
tanpa penyebab mutasi gen secara langsung. Sebagian besar peneliti mencurigai
bahwa penyakit imun adalah suatu endarteritis yang dimediasi sistem imun. 0elain
itu faktor infeksi juga diyakini memiliki peranan penting dalam penyakit ini
%,meskipun dari kultur bakteri tidak ditemukan, namun dari penelitian yang
dilakukan 93% dari total kasus ditemukan dna bakteri pada mulut sama dengan
dna bakteri pada arteri yang mengalami beurger disease. faktor hiperkoagulasi
juga diyakini memegang peranan penting dalam penyakit ini.3,4
4. Patogenesis
Mekanisme patogenesis pada penyakit Buerger sebenarnya belum jelas,
tetapi kebiasaan merokok merupakan faktor yang mencentuskan, memperburuk
dan menjadi salah satu prognosis yang penting pada penyakit ini. Selain itu faktor
genetik dan autoimun juga terlibat pada penyakit ini. Pasien yang memiliki
kebiasaan merokok memeliki hubungan yang kuat dengan terjadinya toksitas pada
endotel vaskular yang disebabkan oleh kandungan nikotin dalam rokok dan
nikotin ini akan merangsang respon dari sistem imun. kandungan yang terdapat
dalam rokok menginduksi pembentukan trombus dalam pembuluh darah.1
Sistem imun berfungis untuk pertahanan terhadap benda asing yang masuk
kedalam tubuh baik itu bahan infeksi maupun non infeksi. Secara normal sistem
imum berfungsi untuk mengeleminasi benda asing yang berpotensi menyebabkan
kerusakan jaringan pada beberapa situasi. Glikoprotein, sel-sel limpoid secara
bersama-sama membentuk sistem imun tubuh yang mana akan menyebabkan
perubahan diameter dan permeabilitas pembuluh darah, dan ekspresi lokal pada
endotel pembuluh darah dan beberapa fenomena lainnya.2
Sistem imun memegang peranan yang penting dalam patofisiologi TAO,
namun pengetahuan mengenai mekanisme imun untuk menjelaskan progresifitas
pada inflamasi pembuluh darah dan perubahan pola penyakit ini masih sedikit.
Beberapa penelitian menunjukkan terdapat faktor genetika (HLA-A9, HLA-A54,
dan HLA-B5) dan faktor lingkungan (immunogenic nicotine stimulation)
Pasien dengan penyakit ini memperlihatkan hipersensitivitas pada injeksi
intradermal ekstrak tembakau dan mengalami peningkatan sel yang sangat
sensitive pada kolagen tipe I dan III. Nikotin dalam darah merupakan zat toksis
yang menstimulus terjadinya fagositosis yang akan menyebabkan kerusakan
pembuluh darah yang akan mestimulus agregasi platelet. Pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat dari patogen yang terdapat di
periodontal dengan angka kejadian TOA yang masih belum dapat dijelaskan
bagaimana mekanismenya.4
Reaksi imunologik pada substansi rokok tersebut akan menyebabkan
terjadinya inflamasi pada dinding pembuluh darah dan juga akan terbentuk
trombus yang akan menyebabkan oklusi pada pembuluh darah di ektremitas
superior dan inferior. Akibatnya akan terjadi perubahan patologis pada jaringan
yang diperdarahinya.5
Berdasarkan gambaran patologinya, perjalan beurger disease dibagi
menjadi tiga fase yaitu fase akut, intermediate(subakut) dan kronik.4

a) Pada fase akut terjadi lesi yang ditandai dengan inflamasi akut pada
semua lapisan pembuluh darah, terutama vena yang berhubungan dengan
kejadian oklusi trombus. Di sekitar trombus terdapat polimornuklear
limfosit dengan kariorexis yang khas yang disebut dengan microabses.
b) Pada fase intermediet(subakut) terjadi oklusi trombus yang progresif
pada arteri maupun vena yang akan menyebabkan penonjolan
dikarenakan terdapat infiltrate pada tunika media dan adventisia. pada
fase ini terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi pada trombus dan hanya sedikit
inflamasi yang terjadi dinding pembuluh darah.
c) Pada fase kronik atau fase akhir, lesi ditandai dengan berkumpulnya
oklusi trombus dengan rekanalisasi yang luas, vaskularisasi pada tunika
media, dan terjadi fibrosis pada tunika tunika adventisia dan perivaskular.
Hal ini lah yang membedakan beurger disease dengan penyakit
arteriosklerosis maupun penyakit vaskulitis lainnya.
Terjadinya oklusi pada pembuluh darah akan menyebabkan aliran
darah ke bawah akan terganggu sehingga akan timbul gejala-gejala iskemik
pada pasien TOA.
5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis Tromboangitis Obliterans terutama disebabkan oleh
iskemia. Gejala yang paling sering dan utama adalah nyeri yang bermacam-
macam tingkatnya Pengelompokan >ontaine tidak dapat digunakan disini
karena nyeri terjadi justru waktu istirahat. Nyerinya bertambah pada waktu malam
dan keadaan dingin, dan akan berkurang bila ekstremitas dalam keadaan
tergantung. Serangan nyeri juga dapat bersifat paroksimal dan sering mirip
dengan gambaran penyakit raynaud. Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada
tukak atau gangren, maka nyeri sangat hebat dan menetap.6,7

Manifestasi terdini biasanya adalah manifestasi klaudikasio (nyeri pada


saat berjalan) lengkung kaki yang patognomonik untuk penyakit Buerger.
Klaudikasi kaki merupakan cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai
arteri plantaris atau tibioperonea. Nyeri istirahat iskemik timbul progresif dan bisa
mengenai tidak hanya jari kaki, tetapi juga jari tangan dan jari yang terkena bisa
memperlihatkan tanda sianosis atau rubor, bila bergantung.Sering terjadi radang
lipatan kuku dan akibatnya paronikia. Infark kulit kecil bisa timbul, terutama pada
phalang distal yang bisa berlanjut menjadi gangren atau ulserasi kronis yang
nyeri.2,4

Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal pada tungkai
dan penomena raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas distal: jari, tumit,
tangan, kaki, menjadi putih jika terkena suhu dingin). Ulkus dan gangren pada jari
kaki sering terjadi pada penyakit buerger. Sakit mungkin sangat terasa pada
daerah yang terkena.1

Raynaud phenomenon

Perubahan kulit seperti pada penyakit sumbatan arteri kronik lainnya


kurang nyata. Pada mulanya kulit hanya tampak memucat ringan terutama di
ujung jari. Pada fase lebih lanjut tampak vasokonstriksi yang ditandai dengan
campuran pucat-sianosis-kemerahan bila mendapat rangsangan dingin Berbeda
dengan penyakit raynaud, serangan iskemia disini biasanya unilateral. Pada
perabaan, kulit sering terasa dingin. Selain itu, pulsasi arteri yang rendah atau
hilang merupakan tanda fisik yang penting.5

Tromboflebitis migran superfisialis dapat terjadi beberapa bulan atau


tahun sebelum tampaknya gejala sumbatan penyakit Buerger. Fase akut
menunjukkan kulit kemerahan, sedikit nyeri, dan vena teraba sebagai saluran yang
mengeras sepanjang beberapa milimeter sampai sentimeter di bawah
kulit.Kelainan ini sering muncul di beberapa tempat pada ekstremitas tersebut
dan berlangsung selama beberapa minggu. Setelah itu tampak bekas yang
berbenjol- benjol. Tanda ini tidak terjadi pada penyakit arteri oklusif, maka ini
hampir patognomonik untuk tromboangitis obliterans.2
Gejala klinis Tromboangitis Obliterans sebenarnya cukup beragam. Ulkus
dan gangren terjadi pada fase yang lebih lanjut dan sering didahului dengan udem
dan dicetuskan oleh trauma. Daerah iskemia ini sering berbatas tegas yaitu pada
ujung jari kaki sebatas kuku. Batas ini akan mengabur bila ada infeksi sekunder
mulai dari kemerahan sampai ke tanda selulitis.5

Berikut adalah gambar jari pasien penyakit Buerger yang telah terjadi
gangren. Kondisi ini sangat terasa nyeri dan dimana suatu saat dibutuhkan
amputasi pada daerah yang tersebut.

Perjalanan penyakit ini khas, yaitu secara bertahap bertambah berat.


Penyakit berkembang secara intermitten, tahap demi tahap, bertambah falang
demi falang, jari demi jari. Datangnya serangan baru dan jari mana yang bakal
terserang tidak dapat diramalkan. Morbus buerger ini mungkin mengenai satu
kaki atau tangan, mungkin keduanya. Penderita biasanya kelelahan dan payah
sekali karena tidurnya terganggu oleh nyeri iskemia. Berikut tabel mengenai
gambaran karakteristik gejala pada beurger disease.5

6. Kriteria diagnosis
Diagnosis pasti penyakit Tromboangitis Obliterans sering sulit jika kondisi
penyakit ini sudah sangat parah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan
kriteria diagnosis. Walaupun kriteria tersebut kadang-kadang berbeda antara
penulis yang satu dengan yang lainnya.

Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk


mendiagnosis penyakit Buerger:2
1) Adanya tanda (sign) insufisiensi arteri
2) Umumnya pria dewasa muda
3) Perokok berat
4) Adanya gangren yang sukar sembuh
5) Riwayat tromboflebitis yang berpindah
6) Tidak ada tanda (sign) arterosklerosis di tempat lain
7) Yang terkena biasanya ekstremitas bawah
8) Diagnosis pasti dengan patologi anatomi
Sebagian besar pasien (70-80%) yang menderita penyakit Buerger 
mengalami nyeri iskemik bagian distal saat istirahat dan atau ulkus iskemik pada
tumit, kaki atau jari-jari kaki.
Thromboflebitis superficial ibu jari kaki pada buerger disease

Penyakit Buerger juga harus dicurigai pada penderita dengan satu


atau lebih tanda klinis berikut ini :7
a. Jari iskemik yang nyeri pada ekstremitas atas dan bawah pada laki-laki
dewasa muda dengan riwayat merokok yang berat.
b. Klaudikasi kaki
c. Tromboflebitis superfisialis berulang
d. Sindrom raynaud

Untuk pemeriksaan fisik dapat dilakukan Allen test yaitu dengan cara
meminta pasien untuk mengepalkan tangan sehingga jari dan tangan akan tidak
ada darah. Kemudian pemeriksa menekan kebawah arteri radial dan ulnaris.
Kemudian diminta pasien untuk membuka kepalan tangan. Tekanan pada arteri
ulnaris dilepaskan sementara itu arteri radialis tetap ditekan Tangan tidak dipenuhi
oleh darah. Bandingkan kanan dengan kiri. Jika tangan yang di uji pucat maka ini
mengindikasikan terdapat oklusi pada arteri ulnaris distal dengan kata lain hasil
tes Allen adalah positif. Jika warnanya kembali sepearti semula ini menandakan
hasilnya negatif. Lakukan lagi pada arteri radialisnya dengan interpretasi yang
sama.5

7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan lab, Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yang
spesifik untuk mendiagnosis penyakit Buerger. Pemeriksaan laboratorium dan
penunjang digunakan untuk menyirkan diagnosis penyakit lain yang mirip dengan
Buerger disease.
Pemeriksaan C reaktif Protein dan angka sedimen eritrosit perlu dilakukan
untuk membedakan Buerger disease dengan penyakit vaskulitis lainnya. Pada
Buerger disease CRP dan angka sedimen eritrosit adalah normal. Pengujian yang
direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya vaskulitis termasuk
didalamnya adalah pemeriksaaan darah lengkap; uji fungsi hati; determinasi
konsentrasi serum kreatinin, peningkatan kadar gula darah dan angka sedimen,
pengujian antibody antinuclear, faktor rematoid, tanda-tanda serologi pada
CREST (calcinosis cutis, raynaud phenomenon, sklerodaktili dan telangiektasis)
sindrom dan scleroderma dan screening untuk hiperkoagulasi, screening ini
meliputi pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan homocystein pada pasien
buerger sangat dianjurkan.4,5
Untuk pemeriksaan imaging, Angiogram pada ekstremitas atas dan bawah
dapat membantu dalam mendiagnosis penyakit Buerger. Pada angiografii tersebut
ditemukan gambaran “corkscrew” dari arteri yang terjadi akibat dari kerusakan
vaskular. Seagian kecil arteri tersebut pada bagian pergelangan tangan dan kaki.
Angiografi juga dapat menunjukkan oklusi (hambatan) atau stenosis (kekakuan)
pada berbagai daerah dari tangan dan kaki.8

Image 2. 1 Sebelah kiri merupakan gambaran angiografi normal. Gambar sebelah


kanan merupakan gambaran angiografi abnormal dari arteri tangan dengan
gambaran khas “corkscrew” di daerah lengan. Perubahannya terjadi pada bagian
kecil pembuluh dari lengan kanan bawah pada daerah distribusi arteri ulnaris.
Image 2. 2 hasil angiogram abnormal pada tangan

Meskipun iskemik (berkurangannya aliran darah) pada penyakit


Buerger terus terjadi pada ekstrimitas distal yang terjadi, penyakit ini
tidak menyebar ke organ lainnya, tidak seperti penyakit vaskulitis lainnya.
Saat terjadi ulkus dan gangren pada jari, organ lain seperti paru-paru,
ginjal, otak, dan traktus gastrointestinal tidak terpengaruh. Penyebab hal
ini terjadi belum diketahui.8
Pemeriksaan Doppler juga dapat membantu untuk mendiagnosa
penyakit Buerger, yaitu untuk mengetahui kecepatan aliran darah dalam
pembuluh darah. Pada pemeriksaan histopatologis, lesi dini menunjukkan
adanya oklusi pembuluh darah oleh karena terdapat trombus yang
mengandung Polimorphonuclear (PMN) dan mikroabses Metode
penggambaran secara modern seperti computerize tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI) dalam diagnosis dan
diagnosis banding dari penyakit Buerger masih belum dapat menjadi
acuan utama. Pada pasien dengan ulkus kaki yang dicurigai Tromboangitis
Obliterans, Allen test sebaiknya dilakukan untuk mengetahui sirkulasi
darah pada tangan dan kaki.7,8

8. Penatalaksanaan
Terapi (treatment) medis penderita penyakit Buerger harus dimulai dengan
usaha intensif untuk meyakinkan pasien untuk berhenti merokok. Jika pasien
berhasil berhenti merokok maka progresifitas penyakit ini akan berhenti
pada bagian yang terkena sewaktu terapi (treatment) diberikan. Sayangnya
kebanyakan pasien tidak mampu berhenti merokok dan selalu ada progresifitas
penyakit. Pasien yang kesulitan berhenti merokok dapat diberikan selektive
cannabinoid reseptor antagonist seperti ribonamant.4,5
Terapi farmakologis lainnya yaitu untuk pembuluh darahnya dapat
dilakukan dilatasi (pelebaran) dengan obat vasodilator misalnya golongan calcium
channel blocker seperti amplodipin atau nipedifin diharapkan akan menyebabkan
pembuluh darah di ekstremitas menjadi vasodilatasi sehinggga aliran pembuluh
darah lancar ke ektremitas. Platelet inhibitor seperti aspirin dan clopidogrel juga
dapat diberikan untuk mencegah pembentukan trombus. PentoCyfylline (Trental)
mempunyai banyak efek, efek utamanya adalah memperbaiki deformibilitas sel
darah mera, efek lainnya adalah menurunkan viskositas darah, platelet agregatin
inhibitition, dan menurukan jumlah fibrinogen. Obat ini berguna untuk
menurunkan rasa nyeri saat berjalan. Cilostazol (Pletal), berfungsi untuk
menghambat agregasi platelet dan membantu relaksasi otot, namun obat ini dapat
menyebabkan sakit kepala, diare, palpitasi dan obat ini kontra indikasi dengan
pasien gagal jantung. Perawatan luka lokal meliputi mengompres jari yang terkena
dan menggunakan enzim proteolitik bisa bermanfaat. Antibiotik diindikasikan
untuk infeksi sekunder.7
Terapi (treatment) bedah untuk penderita buerger meliputi debridement
konservatif jaringan nekrotik atau gangrenosa amputasi konservatif dengan
perlindungan panjang maksimum bagi jari atau ekstremitas dan kadangkadang
simpatektomi lumbalis bagi telapak tangan atau simpatetomi jari walaupun
kadang jarang bermanfaat.8
Revaskularisasi arteri pada pasien ini juga tidak mungkin dilakukan
sampai terjadi penyembuhan pada bagian yang sakit. Keuntungan dari bedah
langsung (bypass) pada arteri distal juga masih menjadi hal yang kontroversial
karena angka kegagalan pencangkokan tinggi. Bagaimanapun juga jika pasien
memiliki beberapa iskemik pada pembuluh darah distal, bedah bypass
dengan pengunaan vena autolog sebaiknya dipertimbangkan.9

Simpatektomi dapat dilakukan untuk menurunkan spasma arteri pada


pasien penyakit Buerger. Melalui simpatektomi dapat mengurangi nyeri pada
daerah tertentu dan penyembuhan luka ulkus pada pasien penyakit
buerger tersebut tetapi untuk jangka waktu yang lama keuntungannya belum dapat
dipastikan.
Simpatektomi lumbal dilakukan dengan cara mengangkat paling sedikit 3
buah ganglion simpatik yaitu Th12, L1 dan L2. Dengan ini efek vasokonstriksi
akan dihilangkan dan pembuluh darah yang masih elastis akan melebar sehingga
kaki atau tangan dirasakan lebih hangat.8,9
Terapi (treatment) bedah terakhir untuk pasien penyakit Buerger
(yaitu pada pasien yang terus mengkonsumsi tembakau) adalah amputasi tungkai
tanpa penyembuhan ulkus gangrene yang progresif atau nyeri yang terusmenerus
serta simpatektomi dan penanganan lainnya gagal. Hindarilah amputasi jika
memungkinkan, tetapi jika dibutuhkan, lakukanlah operasi untuk menyelamatkan
tungkai kaki yang tidak terkena.
Beberapa usaha berikut sangat penting untuk mencegah komplikasi
dari penyakit buerger:
1) Gunakan alas kaki yang dapat melindungi untuk menghindari trauma
kaki dan panas atau juga luka karena kimia lainnya.
2) Lakukan perawatan lebih awal dan secara agresif pada luka-luka
ektremitas untuk menghindari infeksi
3) Hindari lingkungan yang dingin
4) Menghindari obat yang dapat memicu vasokontriksi

9. Diagnosis Banding
Penyakit Buerger harus dibedakan dari penyakit oklusi arteri kronik
aterosklerotik. Keadaan terakhir ini jarang mengenai ekstremitas atas. Penyakit
oklusi aterosklerotik diabetes timbul dalam distribusi yang sama seperti
Tromboangitis Obliterans, tetapi neuropati penyerta biasanya menghalangi
perkembangan klaudikasi kaki. Selain itu harus disingkirkan penyakit lainnya
seperti scleroderma, CREST syndrome, penyakit raynauld, dan calsinos.7
10. Prognosis
Pada pasien yang berhenti merokok, 94% pasien tidak perlu mengalami
amputasi; apalagi pada pasien yang berhenti merokok sebelum terjadi gangrene,
angka kejadian amputasi mendekati 0%. Hal ini tentunya sangat berbeda sekali
dengan pasien yang tetap merokok, sekitar 43% dari mereka berpeluang harus
diamputasi selama periode waktu 7 sampai 8 tahun kemudian, bahkan pada
mereka harus dilakukan multiple amputasi. Pada pasien ini selain umumnya
dibutuhkan amputasi tungkai, pasien juga terus merasakan klaudikasi (nyeri pada
saat berjalan) atau fenomena raynaud walaupun sudah benar-benar berhenti
mengkonsumi tembakau.2
B. IHD

1. Definisi
Penyakit iskemia jantung (IHD), atau iskemia miokard, adalah
penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot
jantung, biasanya karena penyakit arteri koroner (aterosklerosis dari arteri
koroner). Adanya aterosklerosis dari pembuluh darah epicardial yang
mengarah ke penyakit jantung koroner. Proses ini dimulai dari awal
kehidupan, sering kali tidak menjadi klinis sampai usia menengah ke atas.
Penyakit jantung iskemik mungkin hadir sebagai penyakit koroner akut
(penyakit koroner akut termasuk unstable angina, infark miokard dengan
kenaikan segmen non-ST atau infark miokard dengan kenaikan segmen
ST), angina pektoris kronis stabil, dan iskemik tanpa gejala klinis.10

Faktor-faktor resiko untuk terjadinya keadaan ini adalah


merokok, tekanan darah tinggi, kenaikan nilai kolesterol didarah,
kegemukan, stress, diabetes mellitus dan riwayat keluarga yang kuat untuk
Penyakit Jantung Koroner. Dengan bertambahnya umur, penyakit ini akan
lebih sering ada. Pria mempunyai resiko lebih tinggi dari pada wanita,
tetapi perbedaan ini makin lama makin kecil dengan meningkatnya umur.11
2. Epidemiologi
Menurut The American Heart Association (AHA),
memperkirakan bahwa penduduk yang telah dewasa di Amerika yang
memiliki satu atau lebih tipe dari  penyakit kardiovaskuler sebanyak
79.400.000 orang, berdasarkan data dari tahun 1999-2004. Hampir 2400
orang Amerika meninggal akibat CVD (Cardiovascular Disease) tiap
harinya, atau rata-rata 1orang meninggal tiap 33 detik. Pada tahun 2004,
kematian rata-rata akibat CVD adalah 448,9 (tiap 100.000) untuk laki-laki
hitam, 335,7 untuk laki-laki putih, 331,6 untuk perempuan hitam, dan
239,3 untuk perempuan putih. CHD (Coronary Heart Disease)
bertanggungjawab terhadap 52% kematian dari CVD. Laki-laki meninggal
lebih awal akibat IHD ( Ischemic Heart Disease) dan infark miokard akut
dibanding perempuan, dan usia dari kedua jenis kelamin ini berkaitan
dengan angka kejadian yang tinggi. Perbedaan angka kematian dari IHD
antara laki-laki dan perempuan akan menurun dengan usia yang beranjak
tua, menjadi sekitar empat sampai lima kali lebih dominan pada laki-laki
dari usia pertengahan 30-an dibanding kematian perempuan usia sangat
tua.11
Di Indonesia dilaporkan CHD (yang dikelompokkan menjadi

penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari


seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi
dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain,
lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia
adalah akibat CHD. Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting
timbulnya CHD mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi,
infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait.11,12
3. Etiologi
Penyakit jantung iskemik terjadi akibat penyempitan pembuluh
darah arteri menuju jantung atau terjadi penyumbatan pembuluh darah
arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Terjadi penyumbatan
akan berakibat pada terhambatnya supply zat makanan terutama oksigen
agar jantung tetap dapat memompa darah ke seluruh tubuh tanpa henti
sehingga akan terjadi ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan
oksigen otot jantung yang mengakibatkan kerusakan pada daerah yang
terkena dan fungsinya akan terganggu, untuk itu supply zat makanan dan
oksigen dalam darah pun harus tetap lancar karena jantung akan terus
bekerja tanpa henti meski saat kita terlelap.13
Ditandai dengan adanya endapan lemak yang terkumpul di dalam
sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan menyumbat aliran
darah. Endapan lemak (plak atau ateroma) terbentuk secara bertahap dan
tersebar di percabangan besar dari kedua arteri koroner utama, yang
mengelilingi jantung dan menyediakan darah bagi jantung. Proses
pembentukan ateroma disebut aterosklerosis. Ateroma bisa menonjol ke
dalam arteri dan menyebabkan arteri menjadi sempit. Jika ateroma terus
membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk kedalam aliran
darah di permukaan ateroma tersebut. Penyebab utama dari iskemik
miokard adalah penyakit arteri koroner yaitu angina (nyeri dada) dan
serangan jantung (infark miokard).10

4. Manifestasi klinik
Angina pectoris merupakan manifestasi klinik yang sering
dijumpai. Manifestasi klinik yang lain adalah Angina stabil, Angina
Prinzmetal, Angina tak Stabil, Infark Miokard,  Silent Myocardial
Ischemic (SMI), Gagal jantung, Disritmia cordis.10,12

5. Gejala
Gejala yang sering timbul pada IHD yaitu Angina, merupakan
rasa tidak nyaman atau rasa sakit pada dada. Rasa sakit ini timbul akibat
berkurangnya suplai O2 ke jantung. Kadang IHD tidadak menimbulkan
gejala ( silent ischemia). Gejala penyerta seperti keringat dingin dan
timbulnya rasa mual, sesak napas, perasaan melayang dan pingsan
(sinkop).
Ciri-ciri Angina: Dada terasa tertekan oleh suatu benda berat atau seperti

diremas. Hal ini terasa hingga ke leher, lengan, perut, punggung atas. Rasa
sakit biasanya timbul jika sedang melakukan aktivitas atau sedang dalam
keadaan emosi tidak stabil. Rasa sakit ini dapat hilang dengan beristirahat
atau dengan pemberian Nitroglycerin. Bila dilakukan pemeriksaan fisik
dapat ditemukan hipertensi, pembesaran jantung dan kelainan bunyi
jantung dan bising jantung.10,12
6. Faktor resiko
a. Merokok
b. Kadar kolesterol total dan kolesterol LDL yang tinggi
c. Hipertensi
d. Kadar kolesterol HDL yang rendah
e. Diabetes Mellitus
f. Usia lanjut
g. Minuman alkohol
Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan meningkatnya resiko IHD. Faktor predisposisi adalah faktor
yang memperbesar resiko IHD yang diakibatkan oleh faktor-faktor
resiko di atas.
Faktor-faktor ini adalah:
a. Obesitas (IMT > 25 mg/m2)
b. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 94 cm untuk pria, dan >
80 cm untuk wanita; waist hip ratio > 0,9 untuk pria, dan 0,8 untuk
wanita)
c. Kebiasan kurang bergerak/aktivitas fisik kurang
d. Riwayat keluarga menderita IHD pada usia muda ( < 55 tahun
untuk pria dan < 65 tahun untuk wanita)
e. Faktor psikososial13
Faktor resiko kondisional berhubungan dengan peningkatan
resiko IHD walaupun efek penyebab secara independen masih belum
terbukti secara meyakinkan. Faktor ini adalah:
a. Kadar trigliserida serum yang tinggi
b. Kadar homosistein serum yang tinggi
c. Kadar lipoprotein yang tinggi
d. Faktor protrombotik
e. Penanda inflamasi (peradangan)13

7. Patofisiologi
IHD atau sering dikenal dengan angina pektoris adalah suatu
kelainan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan supply dengan
kebutuhan oksigen. Oksigen dibutuhkan untuk proses sebagai berikut :
a. Utama :

1) Frekwensi jantung

2) Kontraktilitas

3) Tekanan dinding intramyocardial selama systole, dipengaruhi:

a) Tekanan darah arteri (after load)

b) Volume ventrikel (preload)

b. Minor :

1) Energi aktivasi

2) Metabolisme waktu istirahat Supplai tergantung dari:


a) Jumlah aliran koroner/Coronary blood flow penentu
b) Ekstraksi oksigen oleh otot jantung hampir maksimal pada
keadaan istirahat, shg cadangan sedikit untuk memenuhi
kebutuhan yang meningkat

Suplai menurun disebabkan oleh :


a) Penyempitan (spasme koroner)
b) Hambatan pembuluh darah arteri coroner (penyebab umum
aterosklerosis)10,12,13

8. Tatalaksana terapi ihd


a. Tujuan Terapi

Terapi IHD memiliki tujuan jangka pendek yaitu


mengurangi atau mencegah gejala yang membatasi aktivitas dan
mempengaruhi kualitas hidup. Sedangkan tujuan jangka panjangnya
adalah mencegah kejadian CHD seperti infark miocard, aritmia dan
gagal jantung dan meningkatkan harapan hidup pasien. Fokus
utamanya adalah mencegah terjadinya aterosklerosis melalui
modifikasi faktor risiko, penggunaan obat-obat yang mengurangi
gejala seperti nitrat, β-bloker, calcium chanels bloker dan ranolazin.
Pemilihan terapi antiangina disesuaikan dengan jenis angina serta
adanya comorbid atau penyakit lain yang menyertai. Berikut ini
adalah pilihan obat-obat yang dapat digunakan untuk mengatasi
angina:12
1. Nitrat

Mekanisme kerja : Pemberian nitrat akan meningkatkan


kadar nitrat dalam tubuh naik, kemudian akan diubah menjadi
nitrit oxida. Adanya nitrit oxida menyebabkan pembentukan
cGMP meningkat. cGMP memfasilitasi terjadinya defosforilasi
miosit light chain (serabut terang sel otot). Hal inilah yang
menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah yang berefek
pada vasodilitasi pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh darah
dapat menurunkan workload jantung sehingga kebutuhan
oksigen turun. Nitrat efektif digunakan pada angina stabil dan
varian. Untuk serangan angina yang dipicu karena emosi maupun
aktivitas, sediaan sublingual atau spray merupakan first choice.
 Obat-obatan golongan nitrat:12
a. Gliseril trinitrate (nitrogliserin) : tablet 500 mcg atau spray
0,4 mg SL setiap 3-5 menit sampaisakit berhenti atau jika
efek samping « supervene » (maksimal 3dosis)
b. Isosorbid dinitrat spray : 1-3 spray dari 1,25 mg ke dalam
lubang buccal ada interval 30detik ketika menahan nafas.
c. Iosorbid dinitrat : 5-10 mg tablet SL setiap 5-10 menit
sampai rasa sakit hilang.(Max 3 dosis dalam 15-30 menit).
d. Gliseril trinitrate (nitrogliserin) : awal 5mcg/ menit infusan
IV. Bertambah iv menjadi 5 mcg /menit, meningkat 10
mcg/min setiap 3-514,15

C. CKD
1. Definisi
Chronic kidney disease  (CKD)  adalah penurunan fungsi ginjal ya
ng progresif dan umumnya berakhir sebagai gagal ginjal. Kelainan ginjal b
aik struktur atau fungsinya yang onsetnya ≥3 bulan.16
Kriteria penyakit ginjal kronik:16

2. Klasifikasi
Klasifikasi ini didasarkan pada derajat penyakit dan dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
berdasarkan LFGnya, dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault
sebagai berikut: 16

Setelah LFGnya ditentukan, maka derajat penyakit ginjal kronik


dapat ditentukan sesuai yang ada pada tabel dibawah ini, Sedangkan
klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi tercantum pada tabel selanjutnya.
Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat
Penyakit.17
Uremia adalah sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pasa
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Tanda dan gejala uremia adalah sebagai berikut17:

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi16:

3. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit ginjal kronik secara global sebesar 11-13
%. Di Malaysia dengan populasi 18 juta penduduk diperkirakan terdapat 1
800 kasus baru penyakit ginjal kronik pertahunnya dan di negara-
negara berkembang lainnya sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun. The National Health and Nutrition Examination Survei
(NHANES) menyatakan penyakit ini distribusinya sama pada wanita dan
pria. Namun United State Renal Data System  (USRDS) pada tahun 2011
mengatakan insidensi hemodialisa pada tahun 2009 lebih tinggi pada laki-
laki yaitu dengan angka 415.1 per 1 juta orang dan 256.6 pada
perempuan.18,19
Lalu di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) melaporkan 1 dari 10 orang
dewasa di Amerika terkena Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
staging berbeda-beda dan tejadi peningkatan 8% dalam setiap tahunnya.
Penyakit ginjal kronik ini menjadi menyebab kematian ke-9 di Amerika.
Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan penambahan umur
yaitu 4% pada pasien umur 29-39 tahun, 47% pada pasien >70 tahun.
Peningkatan tercepat pada pasien umur 60 atau lebih. Pada penelitian yang
di lakukan oleh NHANES tahun 1999-2004 didapatkan data stage 1
(5.7%), stage 2 (5,4%), stage 3 (5.4%), stage 4 (0,4%), dan stage 5 (0,4%).
Untuk insidensi kejadian End Stage Renal Disease  (ESRD) yaitu sebesar
350 per 1 juta orang dan kejadian tertinggi pada pasien umur > 65
tahun.19,21
4. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi di antar negara. Pe
nyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat ada  p
ada tabel dibawah ini:16
Tabel Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat
(1995-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh 27%
darah besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Tabel Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indo


nesia Tahun 2000

5. Patofisiologi
Proses awalnya bergantung dari penyakit dasar, tetapi selanjutnya
hampir sama. Terjadi pengurangan massa ginjal akibatnya terjadi
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephron) sebagai kompensasi, hal ini diperantai oleh vasoaktifi seperti
sitokin dan growth factors. Akibatnya terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Adaptasi ini
berlangsung terjadi sangat singkat, akhinya akan terjadi maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.16,20
Stadium paling dini CKD dimana LFG masih normal atau
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti terjadi kerusakan nefron
yang progresif ditandai dengan peningkatan ureum dan kreatinin serum.
LFG sampai 60% masih asimtomatik tetapi ureum dan kreatinin sudah
meningkat. Sampai LFG 30% baru muncul gejala seperti nokturia, badan
lemas, nafsu makan menurun dan berat badan turun, mual. LFG dibawah
30% menunjukkan gejala dan tanda uremi nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual dan muntah, dan lainnya. LFG dibawah 15% sudah
komplikasi lanjut, pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara
dialisis atau tarnspalntasi ginjal.16,23

6. Diagnosis
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:23
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Sindrom uremia
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Berikut gejala yang dapat
muncul: lesu, lemah, sesak nafas, bengkak akibat retensi cairan,
berdebar-debar, penurunan kesadaran, nokturnia, gatal, memar,
perdarahan, pucat, sakit kepala, neuropati perifer, nyeri pericarditis,
nyeri tulang, dan disfungsi ereksi.
Gambaran laboratoris16,24
a. Penurunan fungsi injal berupa peningkatan ureum dan kreatinin dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault
b. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemi, hiponatremi, hipo atau
hiperkloremia, hiperfosfatemia, dan lainnya
c. Kelainan urinalisis meliputi proteinuri, hematuri, dan lainnya.

Gambaran radiologi19
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi. CT-scan / MRI: untuk melihat massa ginjal dan kista. IV
kontras sebaiknya dihindarkan dari orang dengan gangguan fungsi
ginjal. MRI sebagai pemeriksaan pengganti CT scan yang tanpa
kontras
f. Venography renal dan arteriogrefi ginjal untuk melihat stenosis
ginjal

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
napas, dan obesitas.16,23
Penegakkan Diagnosis
Untuk menegakkan CKD perlu dilakukan pemeriksaan GFR dan urinalisa
untuk menilai albumiuria. Berikut adalah algoritma untuk menegakkan CKD.19
7. Tata Laksana
Penatalaksanaan CKD meliputi:16
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat perurukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal

Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya:16

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.16,19

Pencegahan Dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.16

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi
glomerulus ini adalah :19,20

Pembatasan asupan protein.


Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG <= 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50
gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.16
Batasan asupan protein dan fosfat untuk pasien CKD:

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis ditujukan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat
untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang
sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus.24
Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.24
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor),
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.22

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang
termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 16
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik terdapat pada
Tabel berikut :24
Tabel Komplikasi pada penyakit Ginjal Kronik
Terapi Komplikasi
 Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik.20
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <=10 g%
atau hematokrit <=30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum, serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity,
feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.21,24
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO)
mempakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi
harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 10 g/dL, keadaan
lebih buruk jika target Hb terlalu tinggi. Monitoring anemia selama 1-3
kali dalam satu  bulan.16,26
Tabel Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik

 Osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik
yangvsering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar dibawah
ini: 16
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.16,26

Mengatasi Hiperfosfatemia:16
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaC03) dan calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhirakhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor C pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat
baik serta efek samping berupa keluhan gastrointestinal, CNS dan jantung.
Pemberian terapi dapat menurunkan angka paraidektomi, fraktur dan
hospitalisasi karena jantung. Namun penggunaan masih jarang karena biaya
mahal.
d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi
osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Pemakaiannya tidak begitu luas, karena
dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di
jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh
karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

Pencegahan Komplikasi
 Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible
water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan
tubuh),maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah
urin. 16
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan jika hiperkalemia dan oliguria.
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium
darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.16,26
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 4 atau 5, yaitu pada LFG kurang dari 30 mI/mnt. Tapi pada
umumnya stadium 5. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pasien perlu dirujuk ke bagian
Ginjal Hipertensi untuk terapi pengganti ginjal.16,26

8. Prognosis
Pasien dengan GFR yang lebih rendah, proteinuria, usia muda, dan
seks laki-laki memiliki progressifitas yang lebih tinggi. Serum albumin
yang rendah, kalsium bikarbonat dan fosfat serum yang lebih tinggi
memprediksi  peningkatan resiko gagal ginjal. Pasien ERSD yang
menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama dibandingkan dialisis
kronis. Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisa
mennunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk dengan hemodialisa
nyata dipersingkat. Pada tahun 2003, lebih dari 69.000 pasien terdaftar
dalam ERSD meninggal26

D. Hiperkalemia

Definisi
Hiperkalemia adalah suatu keadaan gawat yang dapat
menyebabkan aritmia jantung hingga kematian mendadak. Hyperkalemia
didefinisikan sebagai kadar serum kalsium melebihi batas normal yang
dibagi menjadi beberapa derajat keparahan yakni >5, >5,5, dan >6
mmol/L. 22
Prevalensi
Pasien CKD mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
hyperkalemia dibandingkan populasi umum. Frekuensi hyperkalemia pada
CKD adalah 40-50%, dibandingkan dengan populasi umum yakni 2-3%
pada populasi umum. Risiko yang paling tinggi adalah pasien dengan
CKD, diabetes, penerima donor ginjal, dan pasien yang mendapat
pengobatan inhibitor system renin-angiotensin-aldosteron (RAA).23
Homeostasis kalium
Ginjal mempunyai peran penting untuk menjaga keseimbangan
kalium dengan menyeimbangkan asupan kalium dengan ekskresi kalium.
Kalium bebas difiltrasi oleh glomerulus. Kemudian 90-95% akan
direabsorpsi di tubulus proksimal dan lengkung Henle. Ekskresi kalium
terjadi di tubulus distal. Jika terjadi hilangnya fungsi nefron pada penyakit
ginjal akan terjadi retensi kalium. Regulator utama adalah aldosterone dan
kadar serum kalium.23
Peningkatan serum kalium berhubungan dengan memburuknya
fungsi ginjal. Ekskresi kalium akan dipertahankan oleh sisa nefron yang
masih berfungsi. Oleh sebab itu, hyperkalemia jarang terjadi pada GFR
>15 ml/menit, kecuali jika sekresi dan fungsi aldosterone terganggu.
Kadar serum kalium juga dapat dipertahankan oleh ekskresi
saluran pencernaan. Kapasitas kolon untuk mengekskresi kalium
meningkat tiga kali lebih  besar seiring dengan menurunnya fungsi ginjal.

Hiperkalemi pada CKD


Beberapa faktor hyperkalemia pada CKD adalah sebagai berikut 11:
 Asidosis metabolic. Kalium akan berpindah dari intraseluler ke
ekstraseluler.
 Anemia yang membutuhkan transfusi. Muatan kalium tinggi yang
akut pada transfusi dalam jumlah banyak, atau transfusi dengan
darah yang tidak segar.
 Transplantasi ginjal. Penggunaan inhibitor kalsineurin menyebabkan
hyperkalemia.
 Acute kidney injury. Penurunan GFR dan aliran tubular secara cepat
menyebabkan hiperkatabolik, kerusakan jaringan, dan muatan
kalium tinggi secara akut
 Diabetes. Hiperglikemi menyebabkan muatan kalium sulit untuk
bergerak ke interseluler.
 Penggunaan obat-obatan inhibitor RAAS seperti inhibitor
angiotensinconverting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor
blockers (ARB). Risiko hyperkalemia meningkat terutama jika
diberikan secara bersamaan atau dosis awal yang tinggi.22

Tatalaksana
Tatalaksana untuk mencegah perkembangan atau rekurensi hyperkalemia adalah
sebagai berikut10:
 Estimasi GFR. GFR ≤ 30 ml/menit adalah ambang batas untuk
kemungkinan terjadinya hyperkalemia.
 Menghindari penggunaan NSAID dan obat herbal
 Diet rendah kalium dan menghindari penggunaan substitusi garam
yang mengandung kalium
 Penggunaan obat thiazide atau loop diuretic pada GFR < 30 ml/menit
(hindari penggunaan diuretik hemat kalium sepert spironolakton)
 Koreksi asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
 Dosis awal ACE-I dan ARB yang rendah. Penggunaan obat ini harus
hati-hati karena bisa meningkatkan kadar kalium. Pertimbangkan
penghentian kedua obat tersebut apabila kadar kalium tetap di atas ≥
6 mmol/L dan tidak responsif pada terapi.
 Monitor kadar kalium setelah 1 minggu penggunaan ACE-I atau
ARB. Hentikan pengobatan jika kadar kalium tetap > 6 mmol/L.22,23

Jika langkah-langkah di atas gagal untuk mengatasi hyperkalemia,


maka dipertimbangkan untuk penggunaan pengikat kalium. Yang paling
umum digunakan adalah sodium polystyrene sulfonate. Namun
penggunaan obat ini masih diragukan untuk tatalaksana hyperkalemia
kronik karena dapat menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna atas
dan nekrosis kolon. Penggunaannya masih kontroversi sehingga tidak bisa
digunakan dalam situasi kegawatan. Penggunaan obat ini hanya sebagai
opsi terakhir, apabila terapi lainnya tidak responsif.25

Untuk tatalaksana hyperkalemia akut adalah sebagai berikut11:


 Pemantauan EKG 12-lead atau 3-lead
 Kalsium intravena (Ca glukonas) meng-antagonis eksitabilitas
membrane jantung sehingga melindungi jantung dari aritmia.
Namun kalsium tidak dapat menurunkan kadar kalium.
 Mekanisme kerja Ca glukonas adalah dengan menstabilkan
potensial membran otot jantung. Kalsium meningkatkan ambang
batas potensial aksi sel /action potential threshold. Pada kondisi
hiperkalemia terjadi peningkatan resting potential membrane,
sehingga sangat mudah untuk terjadi eksitasi sel. Dengan
meningkatkan threshold, maka gradien jarak antara action potential
threshold dan resting membrane potential kembali normal, sehingga
menurunkan kemungkinan terjadinya eksitasi berlebih.
 Pemberian kalsium intravena diberikan sebanyak 10 ml kalsium
glukonat 10% dapat diulangi tiap 5-10 menit, sampai maksimal 90
ml. Efek yang terlihat pada EKG adalah penyempitan kompleks
QRS, reduksi amplitude gelombang T, dan peningkatan frekuensi
nadi pada pasien bradikardi25
Berikut ini adalah contoh gambaran aritmia yang terjadi pada
hiperkalemia CKD sebelum dan setelah terapi dengan Ca Glukonas 10%.
(a) EKG awal masuk pasien dengan kadar kalium 9,3 mmol/L dan
kelemahan generalisata , (b) EKG setelah pemberian 20 ml kalsium
glukonas 10% 22

 Pemberian insulin-glukosa, yakni 10 U insulin pada 25gr glukosa, secara


intravena pada hyperkalemia ≥ 6 mmol/L. Kemudian gula darah dipantau
pada 0, 15, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360 menit. Insulin akan
mengaktivasi Na+ -K +  ATPase. Sehingga natrium akan keluar dari sel dan
kalium masuk ke dalam sel. Pada pasien dengan hiperglikemi, insulin
diberikan tanpa dextrose.
 Pemberian agonis β2 agonis salbutamol 10-20 mg secara inhalasi untuk
hyperkalemia ≥ 6 mmol/L. Salbutamol bekerja sebagai aktivator Na+-
K + ATPase sehingga dapat membantu menurunkan kadar kalium. Pemberian
secara inhalasi untuk mengurangi efek samping dari salbutamol seperti
tremor, palpitasi, dan sakit kepala. Selain itu, salbutamol juga menyebabkan
hiperglikemia ringan sehingga dapat melindungi dari efek samping
hipoglikemia oleh insulin.
 Natrium bikarbonat tidak rutin diberikan pada hyperkalemia akut, namun
diberikan pada kondisi asidosis metabolik pada ckd.
 Cation-exchange resin seperti sodium polystyrene sulfonate tidak diberikan
pada keadaan gawat darurat hyperkalemia berat.
 Pemantauan kalium pada jam ke-1,2,4,6, dan 24 untuk melihat efikasi dari
tatalasksana yang telah diberikan dan untuk melihat adanya hyperkalemia
rebound setelah efek obat pertama hilang. Pengambilan sampel darah
menggunakan anti koagulasi lithium heparin23,25

Komplikasi
Hiperkalemia menyebabkan hiperpolarisasi sel dan sulit untuk depolarisasi
sehingga mengakibatkan aritmia jantung. Aritmia yang terjadi pada hyperkalemia
adalah takikardia dengan QRS sempit, atrial fibrilasi, bradikardi, ventricular
takikardi, dan irama idioventrikular. Beberapa aritmia tipikal pada hyperkalemia
adalah sebagai berikut22:

(a) Bradikardi dengan QRS lebar, (b) gelombang sinus dengan pause, (c)
gelombang sinus tanpa pause, (d) ventricular takikardi22
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien mengeluhkan jari kaki sakit sejak satu setengah bulan yang lalu
setelah dirawat di ICU. Ibu jari dan jari keempat kaki kanan serta ibu jari dan jari
tengah kaki kiri pasien terasa sakit dan menghitam. Rasa sakit menjalar sepanjang
tungkai hingga ujung jari, terutama bila digerakkan. Keluhan jari sakit muncul
setelah sebelumnya dirawat di ICU RSUD Soeselo karena nyeri dada mendadak
menjalar ke punggung kiri dan didiagnosis sumbatan total jantung oleh dokter
jantung. Keluhan lain yang saat ini dirasakan adalah nyeri dada dan sesak napas.
Pasien mengeluh dada sakit dan ngos-ngosan saat istirahat dan semakin sesak bila
tiduran. Pasien juga tidak kuat untuk jalan ke kamar mandi. Pasien menyangkal
adanya keluhan kepala pusing, cekot-cekot, batuk, mual, dan muntah. BAK dan
BAB pasien lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya pasien pernah didagnosis sumbatan total
jantung pada bulan Oktober 2020 dan dirawat di ICU RSUD Soeselo.pasien
merasakan sakit dada tajam seperti ditusuk-tusuk di dada dan menjalar ke
punggung kiri secara tiba-tiba. Saat di ICU pasien juga sempat mengalami kejang.
Pasien sebelumnya juga punya riwayat hipertensi. Pasien menyangkal adanya
riwayat diabetes, kolesterol, dan asam urat. Riwayat penyakit keluarga berupa
keluhan sakit dada, nyeri jari kaki, kejang, diabetes, hipertensi, kolesterol, asam
urat semuanya disangkal.
Pasien masuk rs pada hari Selasa 26 Januari 2021 malam hari. Pasien
diperiksa pada hari berikutnya Rabu 27 Januari 2021. pada pemeriksaan fisik
keadaan umum pasien tampak baik dengan kesan sakit sedang dan kesadaran
composmentis. Pasien berbicara dengan suara pelan. Tek darah 110/70, nadi
73x/menit, suhu 36,7˚C, pernapasan 24x/menit. SpO2 pasien tidak dapat diukur
pada hari pertama dan hari kedua pemeriksaan. Pada hari ketiga pemeriksaan
tanggal 29 Januari 2021 SpO2 pasien dapat terbaca sebesar 99% setelah mendapat
terpai antikoagulan. Selain itu pada pemeriksaan thorax paru didapatkan palpasi
focal fremitus meningkat pada kedua lapang paru, perkusi didapatkan redup di
kedua lapang paru bagian basal, dan auskultasi suara ronchi basah halus di kedua
lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrik. Pada
pemeriksaan ekstremitas teraba akral dingin pada keempat ekstremitas, dan kedua
tungkai sepanjang paha hingga ujung jari kaki nyeri bila disentuh dan digerakkan.
Nampak ulkus menghitam pada kaki kanan jari 1 dan jari 4 serta kaki kiri jari 1
dan jari 3.
Pemeriksaan penunjang yang pertama dilakukan adalah EKG. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan Irama ventrikuler, ritme ireguler ketika VES
muncul, ada kompleks QRS yang aneh melebar di lead aVR, aVL, aVF, ST
depresi di lead II dan ST elevasi di lead I, V3, V4, gel T tinggi di lead I, aVL, V2-
V6, normoaxis, kesan nampak adanya ST elevasi dd stemi anterior, iskemia
inferior, ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia. Pemeriksaan EKG harus
dikerjakan pada semua pasien dengan angina pectoris sugestif sindrom koroner
akut. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada pasien dengan sindrom koroner
akut. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif dalam mendiagnosis sindrom
koroner akut,. Selain itu terdapat gambaran gelombang T tinggi dan riwayat
kejang di ICU sebelumnya sehingga muncul dugaan terjadi hiperkalemia pada
pasien.
Pemeriksaan penunjang selanjutnya yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, kimia klinik dan elektrolit. Pada pemeriksaan
penunjang yakni pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil. Pada pemeriksaan
penunjang yakni pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil Leukosit H 11.9
103/ul, Eritrosit L 3.6 106/ul, Hemoglobin L 9.9 g/dL, Hematocrit L 28 %, MCV
L 78 fL, Trombosit H 413 103/ul, Netrofil H 79.3 %, Limfosit L 11.2 %, Netrofil
Limosit Ratio H 7.08, MPV H 12.2 fL, RDW SD H 46.2 fL, RDW CV H 15.4 %,
Kalium HH 6.17 mmol/L, Natrium L 125.8 mmol/L, Chlorida H 116.6 mmol/L,
Ureum H 187.1 mg/dL, Creatinin H 4.73 mg/dL, APTT TEST H 163.9 detik, PT
TEST H 12.7 detik.
Pemeriksaan imaging rontgen thorax AP tidak ditemukan adanya kelainan
bentuk dan ukuran jantung normal, paru tidak tampak kelainan. Pada pemeriksaan
vaskuler doppler, ditemukan kecurigaan emboli arteri di atas arteri poplitea dextra
dan DVT katup V Poplitea Dextra.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis Buerger Disease berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Pasien merupakan
perokok aktif sejak lama dan baru berhenti setelah dirawat di ICU pada bulan
Oktober 2020.
sPenyakit Buerger atau tromboangitis obliterans (TAO) merupakan
penyakit inflamasi non-atherosklerotik (Inflamatory nonatherosclerotic) dimana
terjadinya oklusi segmental pada arteri kecil dan sedang serta pada vena
ekstremitas atas dan bawah. Manifestasi klasik TAO ialah terjadi pada lakilaki
perokok dengan onset gejala usia <45 tahun. Laki-laki lebih tersering daripada
perempuan. Individu yang terkena biasanya memiliki riwayat merokok berat
dengan memakai 20 rokok perhari. Pada kasus ini, ditemukan bahwa pasien tidak
berada pada rentang usia dimana TAO sering terjadi. Namun pasien merupakan
laki-laki yang mempunyai kebiasan merokok aktif sejak lama. Manifestasi terdini
pada penyakit Buerger ialah klaudikasio kaki yang merupakan patognomonik.
Klaudikasio kaki merupakan cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai
arteri plantaris atau tibioperonea. Kondisi ini terjadi pada oklusi yang ditemukan
di arteri infrapopliteal. Pada kasus ini pasien mengeluhkan kaki terasa kesemutan
dan nyeri sepanjang paha hingga ujung jari pada kedua kaki. Kemudian kaki
menjadi semakin sakit dan pasien sulit untuk berjalan. Namun hilang saat
beristirahat atau tidak digerakkan. Gejala ini merupakan gejala klaudikasi.
Gejala lain adalah Sindrom Raynoud yang biasanya terjadi beberapa bulan
yang ditandai dengan perubahan trifasik yang klasik dari warna kulit yang
berubah menjadi putih secara jelas kemudian diikuti dengan sianosis nyeri dan
kemudian rubor. Jari yang terkena iskemik bisa memperlihatkan tanda sianosis
bila digantung. Sering terjadi radang lipatan kuku dan akibatnya paronikia. Infark
kulit kecil bisa timbul, terutama pulpa falang distal yang bisa berlanjut menjadi
gangrene atau ulserasi kronis yang nyeri. Selain itu bisa ditemukan tromboflebitis
superfisialis migrans. Defisit denyut nadi biasanya mengenai bagian ekstremitas
paling distal mencakup pengurangan atau tidak adanya denyut nadi.
Pada pasien ini tidak ditemukan sindrom Raynoud, tromboflebitis
superfisialis migrans, paronikia. Pada pemeriksaan fisik pada Regio Pedis Sinistra
Tampak gangrene berupa jaringan nekrosis berwarna kehitaman pada digital I dan
III serta pada Regio Pedis Dextra pada digital I dan IV setinggi phalanx distal
sampai ke phalanx proksimal. Nyeri tekan (+), tidak teraba adanya massa, palpasi
arteri dorsalis pedis tidak kuat angkat.
Bila ditemukan kebiasaan merokok disertai dengan faktor risiko lain
seperti peningkatan kadar lemak, maka penyakit ini tidak dapat disebut penyakit
Buerger, melainkan harus disebut aterosklerosis. Demikian pula, bila pada
penderita perokok yang dijumpai peningkatan kadar gula darah maka harus
dinyatakan sebagai diabetes mellitus.
Tidak terdapat pemeriksaan penunjang yang spesifik yang dapat
digunakan untuk diagnosis TAO. Pemeriksaan laboratorium pada TAO dilakukan
untuk mengekslusikan diagnosis banding atau penyakit vaskulitis lainnya berupa
hitung darah lengkap, tes fungsi hati, Gula Darah Puasa, petanda/marker
peradangan seperti Eritrocyte Sedimen Rate (ESR), C-reactive protein, faktor
rheumatoid, marker. Sebagai tambahan pemeriksaan serologi terhadap marker
penyakit autoimun seperti antibody antinuclear, antibody anticentromer,
pemeriksaan marker diatas harus negative pada penderita TAO. Pada pasien TAO
dengan fase akut menunjukkan hasil pemeriksaan ESR dan CRP normal. Hal ini
yang membedakan TAO dengan penyakit vaskulitis lainnya. Skrining status
hiperkoagulabilitas seperti antibody antifosfolipid dan homocystein pada pasien
dengan TAO direkomendasikan. Hasil pemeriksaan hematologi pada pasien TAO
ialah terjadi peningkatan eritosit, peningkatan kekakuan eritrosit, dan peningkatan
kekentalan darah.
Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan terjadi peningkatan eritosit
atau peningkatan kekentalan darah. Pemeriksaan kolesterol dan Pemeriksaan GDS
belum diperiksa, namun dari anamnesis riwayat penyakit pasien, pasien sendiri
juga keluarga menyangkal adanya kencing manis dan kolesterol tinggi. Namun
pasien sempat dirawat karena diagnosis STEMI. Pemeriksaan penunjang lain
tidak dilakukan. Berdasarkan ini maka diagnosis banding aterosklerosis bisa
dicurgai namun diabetes melitus dapat disingkirkan.
Penyakit Buerger atau TAO diobati secara non farmakologi dengan
menganjurkan pasien untuk menghentikan kebiasan merokok dan menghindari
perokok. Pengobatan farmakologi diberikan analgesia, antiplatelet, vasodilator,
dan antibiotik jika terdapat tanda-tanda infeksi. Selain itu, pembedahan kadang
dibutuhkan bila tindakan non-operasi tidak berhasil.
Pada kasus ini pasien telah diedukasi untuk menghentikan kebiasan
merokok dan menghindari perokok. Pasien ditangani dengan pemberian antibiotik
berupa ceftriaxon 2x1 gram per 12 jam secara IV. Berdasarkan teori, pemberian
antibiotik tidak rutin dilakukan kecuali ditemukan tanda-tanda infeksi. Pada
pasien ini, tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi. Pemberian antibiotik lebih
dimaksudkan ke arah profilaksis oencegahan infeksi sekunder. Selain itu, pasien
diberikan analgesik berupa MST (morfin sulfat) 2x1 tablet (10 mg) per 12 jam per
oral. Morfin merupakan analgesik opioid poten dengan aktivitas menghambat
sinyal saraf ke otak. Obat ini diberikan sebagai terapi nyeri kronik pada pasien
dengan nyeri hebat yang perlu analgesik opioid.Berdasarkan keluhan, pasien
merasakan nyeri hebat terus menerus yang membuatnya tidak nyaman dan susah
untuk beristirahat. Pemberiannya harus diawasi dan dibatasi karena tergolong
sebagai NAPZA dan dapat menyebabkan ketergantungan. Pasien juga diterapi
dengan heparin 800 IU/jam, miniaspi 1x80 mg PO, dan clopidogrel 1x75mg PO.
Berdasarkan pemeriksaan USG vaskuler doppler terjadi sumbatan, selain itu
pasien juga sempat sulit dilakukan pengukuran SpO2 menggunakan pulse
oksimetri di ujung jari pasien sehingga diperlukan heparinisasi untuk
menghilangkan sumbatan dan memperbaiki perfusi ke distal. Miniaspi dan
clopidogrel adalah antiplatelet, diberikan atas dasar indikasi peningkatan
trombosit H 413 103/ul. Miniaspi aslinya adalah obat golongan NSAID, namun
pada dosis kecil memiliki aktivitas antiplatelet, sedangkan clopigorel merupakan
obat golongan antiplatelet. Keduanya bekerja dengan menghambat agregasi
platelet sehingga mencegah pembentukan trombus. Pada pasien juga terjadi
hiperkalemia dan diberikan terapi dengan pemberian Insulin 10 IU/8 jam serta
D40 2 kantong. Pemberian insulin dimaksudkan untuk meningkatkan transfer
kalium dari ekstrasel ke intrasel, sedangkan pemberian D40 dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya hipoglikemia akibat pemberian insulin.
Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan pembedahan, dikarenakan pasien
meminta berobat lanjut ke Makassar serta pasien juga memiliki penyakit penyerta
lainnya yaitu CHF et causa CAD sehingga pasien dirujuk ke RS tipe A di
Makassar. Tindakan pembedahan adalah tindakan terakhir bila tindakan non-
pembedahan tidak berhasil. Tindakan pembedahan tersering yang dilakukan
adalah tindakan amputasi. Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit.
Batas amputasi pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularissi sisa
ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai. Amputasi dilakukan pada titik
paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik, perlu
diperhatikan juga peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsionalnya.
BAB IV

KESIMPULAN

Buerger Disease atau Tromboangitis obliterans adalah penyakit vas


kulitis sistemik yang tidak diketahui penyebabnya namun memiliki hubun
gan yang kuat dengan kebiasaan merokok. Penegakan diagnosis pada peny
akit ini adalah berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Berhenti merokok sepenuhnya merupakan terapi yang wajib di
lakukan untuk mencegah progresifitas penyakit. Pengobatan dengan medik
amentosa hanya membantu mengurangi perburukan penyakit. Terapi yang
diberikan berupa vasodilatator, PentoCyfylline, dan cilostazol membantu
mengurangi rasa nyeri saat berjalan namun tidak mencegah progresifitas p
enyakit. Tindakan bedah yang bisa dilakukan adalah defridement jaringan
yang mati, revaskularisasi, simpatektomi, dan amputasi. Diagnosis dini da
n terapi yang tepat menurunkan gejala pada pasien dan menurunkan resiko
amputasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramin, Mohammad . Original report: An Iranian Scoring System for


Diagnosing Buerger's Disease.Tehran University of Medical Sciences. 2014;
52(1): 60-65.
2. Eric J Hanly, MD, Resident, Department of Surgery, The Johns Hopkins Un
iversity School of Medicine; Fellow, Department of Surgery, The Johns Hopk
ins University School of Medicine. Buerger Disease (Thromboangiitis Obliter
ans) https://www.hopkinsvasculitis.org/types-vasculitis/buergers-disease/
3. Schwartz’s. Principle of Surgery tenth edition. United states of america: Mc
Graw Hill, 2014; 792-793
4. Gregory Piazza, MD; Mark A. Creager, MD. Thromboangiitis Obliterans.
(Circulation. 2015;121:1858-1861.) © 2015 American Heart Association, Inc.
AHA Journal Clinician Update. DOI:
10.1161/CIRCULATIONAHA.110.942383
5. Jeinun Gemini Jamadi, I Made Wirka, Sarifuddin. Thromboangiitis
Obliterans (Buerger's Disease). Palu, Indonesia: Jurnal Medical Profession
Vol.1 No.1 Februari 2019.
6. Daniel, Cacione. Pharmacological treatment for buerger’s disease. 2014 The
Cochrane Collaboration. Published by JohnWiley & Sons, Ltd.issue3;pp1-10
7. Arkkila,Perttu. Review Thromboangiitis obliterans (Buerger's disease).Orpha
net Journal of Rare Diseases.2006. Vol 1;No.14; pp:1-5
8. Peter klein. A review Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). Hans H
uber Publishers, Hogrefe AG, Bern. 2014; no:43: Pp337 – 350
9. Jun, Jae. Case report: Endovascular revascularitation for the obstruction after
patch angioplasty in Buerger Disease. Korean J Thorac Surgery.2014.47;174-
177
10. Depkes, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner:Fokus Sindrom Koroner Akut, Ditjen Binfar dan Alkes Departemen
Kesehatan : Jakarta
11. Dipiro, Joseph T.; et al, Pharmacotherapy principles and Practice, 891-897,
McGraw-Hill Companies : USA.ISFI. Iso Farmakoterapi.2008;136-137
12. PERKI. 2015.Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. Jak
arta: PERKI
13. Talbert, R.L., 2008, Ischemic Heart Disease dalam Dipiro et al.:
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th ed.Mc Graw Hill
Canpantes,Inc:United State Of America.
14. Tan Hoan Tjay. Kirana Rahardja. Obat-obat penting 2007; 602-603
15. Wells, Barbara G.; Dipiro, Joseph T.; Schwinghammer, Terry L.; and Dipiro,
Cecily V., Pharmocotherapy Handbooks 7th edition, 1-8, McGraw-Hill
Companies : US
16. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2016.
17. Sabatine MS. Pocket medicine 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins
and Wolters Kluwer; 2014
18. United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in General population.
2015 USRDS annual data report: Epidemiology of Kidney Disease in the
United States. Bethesda: National institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disease. 2015
19. The Australian Kidney Fondation. Chronic Kidney Disease in General
Practice. Kidney Health 2015
20. Garabed E, Norbert L, Bertram LK, et al. 2012. KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. New York: National Kidney Foundation.
21. Nathan RH, Samuel TF, Jason LO, et al. Global Prevalence of Chronic
Kidney Disease – A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One.
2016; 11(7): e0158765.
22. National Kidney Disease. 2014. Clinical update in hyperkalemia. Diunduh
Dari https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-
6785_HBE_Hyperkalemia_Bulletin.pdf
23. Annette A, Jasmeet S, Robert M, Jonathan F, Ilona S, et al. 2014. Treatment
of acute hyperkalaemia in adults. UK Renal Assocciation: Inggris
24. Chronic Kidney Disease (CKD) Management in Primary Care (4th edition).
Kidney Health Australia, Melbourne, 2020. www.kidney.org.au
25. Best Practices in Managing Hyperkalemia in Chronic Kidney Disease, The
National Kidney Foundation 2016 www.kidney.org
26. HEMATOLOGY: ISSUES IN THE DIALYSIS PATIENT Platelet
Dysfunction and End-Stage Renal Disease, Dinkar Kaw and Deepak
Malhotra, Seminars in Dialysis—Vol 19, No 4 (July–August) 2006 pp. 317–
322 https://doi.org/10.1111/j.1525-139x.2006.00179.x

Anda mungkin juga menyukai