BUERGER’S DISEASE
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun Oleh :
Yahya Ridho Saputra (2013020014)
1
LEMBAR PENGESAHAN
“BUERGER’S DISEASE”
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Usia : 62
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
No. Rekam Medik : 648893
Diagnosis :Acute Limb Ischemic (Buerger’s Disease), Post
Stemi, CKD, Hiperkalemi
Tanggal Masuk RS : 26-01-2021
Tanggal Keluar RS : 31-01-2021
B. ANAMNESIS
Autoanamnesis
Tanggal anamnesis : 27 Januari 2021
Keluhan utama : Jari Kaki Sakit
Keluhan tambahan : Sesak napas, dada sakit, lemes
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan sakit pada
beberapa jari kaki nya sejak kurang lebih
satu setengah bulan yang lalu setelah dirawat
di ICU karena sumbatan total jantung. Jari
yang sakit adalah jempol dan jari ke-4 pada
kaki kanan sedangkan pada kaki kiri adalah
jempol dan jari ke-3. jari yang sakit berubah
warna jadi menghitam dan berbau. Awal nya
pasien potong kuku lalu ada sedikit yang
berdarah, lalu lama kelamaan lukanya
meluas. Pasien juga mengeluh kedua tungkai
nya sakit bila digerakan atau disentuh. Nyeri
akan muncul dari paha dan betis apabila
dipaksakan untuk bergerak. Selain itu pasien
merasa sesak napas ngos-ngosan. Sesak
dirasakan bahkan saat duduk/istirahat dan
semakin sesak bila tiduran di kasur datar dan
berjalan ke kamar mandi. Keluhan yang
dirasakan pasien membuat dirinya sulit tidur
di malam hari. Pasien menyangkal
mengalami mual, muntah, kepala pusing,
ataupun cekot-cekot.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah di rawat di ICU RSUD
Soeselo pada bulan Oktober 2020 karena nyeri dada
mendadak menjalar ke punggung kiri. Oleh dokter
didiagnosis sumbatan total jantung. Pasien juga
sempat kejang saat dirawat di ICU. Pasien punya
riwayat Hipertensi (+). riwayat penyakit lain seperti
Asma (-), Diabetes (-), Kolesterol (-), Asam urat (-)
disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : Keluarga tidak memiliki riwayat tekanan d
arah tinggi, penyakit jantung, diabetes, kolesterol,
asam urat.
Riwayat Psikososial: pasien aktif merokok sejak lama namun berhenti
sejak mengalami sumbatan total jantung pada bulan
Oktober 2020. Pasien berobat menggunakan asurans
i BPJS
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 73 x/menit
Suhu : 36,7˚C
Pernapasan : 24 x/menit
SpO2 : tidak dapat diukur (27 Januari 2021) --> 99% (29
Januari 2021, setelah terapi antikoagulan)
Antropometri
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 23,4 kg/m2
Status gizi : Normal
Status Lokalis
Kepala : Normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : Bentuk normal, discharge (-), deviasi septum (-)
Telinga : Normotia, hiperemis -/-, edema -/-, serumen prop
-/-
Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba,
tidak ada peningkatan JVP (JVP 5+2)
Abdomen :
o Inspeksi : Bentuk perut datar, venektasi (-), massa (-)
o Palpasi : nyeri tekan epigastrik (+), pembesaran hepar &
lien (-)
o Perkusi : timpani pada 4 kuadran
o Auskultasi : bising usus (+) dbn
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Akral dingin pada keempat ekstremitas (+), kulit
tampak sianosis (+), edema (-). nampak ulkus menghitam pada
kaki kanan jari 1 dan jari 4 serta kaki kiri jari 1 dan jari 3.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Interpretasi EKG
Irama: ventrikular, ireguler ketika VES muncul
Gel P: normal, tinggi 1 kotak kecil
Interval PR: normal, 3 kotak kecil
Komplex QRS: durasi QRS pada VES memanjang (>0,12 detik),
bentuk melebar aneh di lead aVR, aVL,aVF
Terdapat VES di lead aVR, aVL, aVF
Segment ST: ST depresi di Lead III. ST elevasi di lead I, V3, V4
Gel T: meinggi pada lead I, aVL, V2-V6 lebih dari 10 kotak kecil
Aksis: Lead I (+), aVF (+), Normoaxis
Kesimpulan: ST elevasi dd stemi anterior, iskemia inferior,
ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia, normoaxis
Ro Thorax AP
COR: bentuk dan letak jantung normal
PULMO: Corakan vaskuler normal, tak tampak bercak pada kedua
lapangan paru
Diafragma kanan setinggi kosta 9 posterior
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Kesimpulan: jantung tak tampak membesar, pulmo tak tampak kelainan
Vaskuler Doppler
E. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Kerja
1. Acute Limb Ischemic dd Buerger’s Disease
2. Post Stemi
3. CKD
4. Hiperkalemia
B. Diagnosis Banding
1. Ulkus Diabetikum
2. NSTEMI
3. CHF
C. Dasar Diagnosis
1. Anamnesis:
a. Keluhan utama : Jari Kaki Sakit
b. Keluhan tambahan: kedua tungkai nyeri, sesak napas
c. Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan
sakit pada beberapa jari kaki nya sejak kurang lebih satu
setengah bulan yang lalu. jari yang sakit berubah warna jadi
menghitam dan berbau. Pasien juga mengeluh kedua
tungkai nya sakit bila digerakan atau disentuh. Selain itu
pasien merasa sesak napas ngos-ngosan. Sesak dirasakan
bahkan saat duduk/istirahat dan semakin sesak bila tiduran
di kasur datar dan berjalan ke kamar mandi. Keluhan yang
dirasakan pasien membuat dirinya sulit tidur di malam hari.
d. Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah di rawat di ICU
RSUD Soeselo pada bulan Oktober 2020 karena nyeri dada
mendadak menjalar ke punggung kiri. Oleh dokter
didiagnosis sumbatan total jantung. Pasien juga sempat
kejang saat dirawat di ICU. Pasien punya riwayat Hipertensi
(+).
e. Riwayat Psikososial: pasien aktif merokok sejak lama
namun berhenti sejak mengalami sumbatan total jantung
pada bulan Oktober 2020.
2. Pemeriksaan Fisik
SpO2 : tidak dapat diukur (27 Januari 2021) --> 99% (29
Januari 2021, setelah terapi antikoagulan)
Palp : Vocal fremitus meningkat bagian dextra
Perk : redup pada lapang paru
Ausk : Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara
tambahan Ronchi Basah Halus di kedua lapang paru.
Palpasi : nyeri tekan epigastrik (+)
Ekstremitas : Akral dingin pada keempat ekstremitas (+), edema
(-). nampak ulkus menghitam pada kaki kanan jari 1 dan jari 4
serta kaki kiri jari 1 dan jari 3
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi
Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 11.9 103/ul 4.5-13.0
Eritrosit L 3.6 106/ul 4.40-5.90
Hemoglobin L 9.9 g/dL 12.8-16.6
Hematocrit L 28 % 40-52
MCV L 78 fL 80-100
Trombosit H 413 103/ul 150-400
Netrofil H 79.3 % 50-70
Limfosit L 11.2 % 26-40
Netrofil Limosit R H 7.08 <3.13
atio
MPV H 12.2 fL 7.2-11.1
RDW SD 46.2 fL 35.1-43.9
RDW CV 15.4 % 11.5 - 14.5
Kalium HH mmol/L 3.5-5.0
6.17
Natrium L 125.8 mmol/L 135.0-147.0
Chlorida H mmol/L 95.0-105.0
116.6
Ureum H mg/dL 17.1-42.8
187.1
Creatinin H 4.73 mg/dL 0.4-1
APTT TEST H detik 25.5-42.1
163.9
PT TEST H 12.7 detik 9.3-11.4
b. EKG
Kesimpulan: ST elevasi dd stemi anterior, iskemia inferior,
ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia, normoaxis
c. Vaskuler doppler
Kesimpulan: curiga emboli arteri di atas arteri poplitea
dextra. DVT katup V poplitea dextra
F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi IGD
a. Inf RL 10 tpm
b. Inj Ketorolac 2x30 mg
c. Inj mecobalamin 2x500 mg
d. Inj omeprazole 1x40 mg
2. Terapi Bangsal
a. O2 4 lpm
b. Inf NaCL 0.9% 10 tpm
c. S.P Heparin 800 IU/jam
d. Inj ceftriaxone 2x1 gr (hari ke-14)
e. Koreksi kalium dengan D40 2 k + Insulin 10 IU / 8 jam
f. Miniaspi 1x80mg PO
g. Clopidogrel 1x75 mg PO
h. Atrovastatin 1x40 mg PO
i. Amlodipin 1x5 mg PO
j. MST 2x1 PO
3. Planning Diagnostik
a. Darah Rutin
b. Pemeriksaan Elektrolit
c. Rontgen Thorax
d. USG Doppler Vaskuler
e. EKG
4. Monitoring
a. Keadaan Umum
b. TTV
c. EKG
d. Lab aPTT
e. Lab PT
5. Edukasi
a. Pengetahuan mengenai penyakit
b. Istirahat yang cukup
c. Mengurangi Aktifitas berat
d. Minum obat teratur
e. Kontrol Rutin
f. Menggunakan masker yang benar
G. PROGNOSIS
TINJAUAN PUSTAKA
a) Pada fase akut terjadi lesi yang ditandai dengan inflamasi akut pada
semua lapisan pembuluh darah, terutama vena yang berhubungan dengan
kejadian oklusi trombus. Di sekitar trombus terdapat polimornuklear
limfosit dengan kariorexis yang khas yang disebut dengan microabses.
b) Pada fase intermediet(subakut) terjadi oklusi trombus yang progresif
pada arteri maupun vena yang akan menyebabkan penonjolan
dikarenakan terdapat infiltrate pada tunika media dan adventisia. pada
fase ini terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi pada trombus dan hanya sedikit
inflamasi yang terjadi dinding pembuluh darah.
c) Pada fase kronik atau fase akhir, lesi ditandai dengan berkumpulnya
oklusi trombus dengan rekanalisasi yang luas, vaskularisasi pada tunika
media, dan terjadi fibrosis pada tunika tunika adventisia dan perivaskular.
Hal ini lah yang membedakan beurger disease dengan penyakit
arteriosklerosis maupun penyakit vaskulitis lainnya.
Terjadinya oklusi pada pembuluh darah akan menyebabkan aliran
darah ke bawah akan terganggu sehingga akan timbul gejala-gejala iskemik
pada pasien TOA.
5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis Tromboangitis Obliterans terutama disebabkan oleh
iskemia. Gejala yang paling sering dan utama adalah nyeri yang bermacam-
macam tingkatnya Pengelompokan >ontaine tidak dapat digunakan disini
karena nyeri terjadi justru waktu istirahat. Nyerinya bertambah pada waktu malam
dan keadaan dingin, dan akan berkurang bila ekstremitas dalam keadaan
tergantung. Serangan nyeri juga dapat bersifat paroksimal dan sering mirip
dengan gambaran penyakit raynaud. Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada
tukak atau gangren, maka nyeri sangat hebat dan menetap.6,7
Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal pada tungkai
dan penomena raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas distal: jari, tumit,
tangan, kaki, menjadi putih jika terkena suhu dingin). Ulkus dan gangren pada jari
kaki sering terjadi pada penyakit buerger. Sakit mungkin sangat terasa pada
daerah yang terkena.1
Raynaud phenomenon
Berikut adalah gambar jari pasien penyakit Buerger yang telah terjadi
gangren. Kondisi ini sangat terasa nyeri dan dimana suatu saat dibutuhkan
amputasi pada daerah yang tersebut.
6. Kriteria diagnosis
Diagnosis pasti penyakit Tromboangitis Obliterans sering sulit jika kondisi
penyakit ini sudah sangat parah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan
kriteria diagnosis. Walaupun kriteria tersebut kadang-kadang berbeda antara
penulis yang satu dengan yang lainnya.
Untuk pemeriksaan fisik dapat dilakukan Allen test yaitu dengan cara
meminta pasien untuk mengepalkan tangan sehingga jari dan tangan akan tidak
ada darah. Kemudian pemeriksa menekan kebawah arteri radial dan ulnaris.
Kemudian diminta pasien untuk membuka kepalan tangan. Tekanan pada arteri
ulnaris dilepaskan sementara itu arteri radialis tetap ditekan Tangan tidak dipenuhi
oleh darah. Bandingkan kanan dengan kiri. Jika tangan yang di uji pucat maka ini
mengindikasikan terdapat oklusi pada arteri ulnaris distal dengan kata lain hasil
tes Allen adalah positif. Jika warnanya kembali sepearti semula ini menandakan
hasilnya negatif. Lakukan lagi pada arteri radialisnya dengan interpretasi yang
sama.5
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan lab, Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yang
spesifik untuk mendiagnosis penyakit Buerger. Pemeriksaan laboratorium dan
penunjang digunakan untuk menyirkan diagnosis penyakit lain yang mirip dengan
Buerger disease.
Pemeriksaan C reaktif Protein dan angka sedimen eritrosit perlu dilakukan
untuk membedakan Buerger disease dengan penyakit vaskulitis lainnya. Pada
Buerger disease CRP dan angka sedimen eritrosit adalah normal. Pengujian yang
direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya vaskulitis termasuk
didalamnya adalah pemeriksaaan darah lengkap; uji fungsi hati; determinasi
konsentrasi serum kreatinin, peningkatan kadar gula darah dan angka sedimen,
pengujian antibody antinuclear, faktor rematoid, tanda-tanda serologi pada
CREST (calcinosis cutis, raynaud phenomenon, sklerodaktili dan telangiektasis)
sindrom dan scleroderma dan screening untuk hiperkoagulasi, screening ini
meliputi pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan homocystein pada pasien
buerger sangat dianjurkan.4,5
Untuk pemeriksaan imaging, Angiogram pada ekstremitas atas dan bawah
dapat membantu dalam mendiagnosis penyakit Buerger. Pada angiografii tersebut
ditemukan gambaran “corkscrew” dari arteri yang terjadi akibat dari kerusakan
vaskular. Seagian kecil arteri tersebut pada bagian pergelangan tangan dan kaki.
Angiografi juga dapat menunjukkan oklusi (hambatan) atau stenosis (kekakuan)
pada berbagai daerah dari tangan dan kaki.8
8. Penatalaksanaan
Terapi (treatment) medis penderita penyakit Buerger harus dimulai dengan
usaha intensif untuk meyakinkan pasien untuk berhenti merokok. Jika pasien
berhasil berhenti merokok maka progresifitas penyakit ini akan berhenti
pada bagian yang terkena sewaktu terapi (treatment) diberikan. Sayangnya
kebanyakan pasien tidak mampu berhenti merokok dan selalu ada progresifitas
penyakit. Pasien yang kesulitan berhenti merokok dapat diberikan selektive
cannabinoid reseptor antagonist seperti ribonamant.4,5
Terapi farmakologis lainnya yaitu untuk pembuluh darahnya dapat
dilakukan dilatasi (pelebaran) dengan obat vasodilator misalnya golongan calcium
channel blocker seperti amplodipin atau nipedifin diharapkan akan menyebabkan
pembuluh darah di ekstremitas menjadi vasodilatasi sehinggga aliran pembuluh
darah lancar ke ektremitas. Platelet inhibitor seperti aspirin dan clopidogrel juga
dapat diberikan untuk mencegah pembentukan trombus. PentoCyfylline (Trental)
mempunyai banyak efek, efek utamanya adalah memperbaiki deformibilitas sel
darah mera, efek lainnya adalah menurunkan viskositas darah, platelet agregatin
inhibitition, dan menurukan jumlah fibrinogen. Obat ini berguna untuk
menurunkan rasa nyeri saat berjalan. Cilostazol (Pletal), berfungsi untuk
menghambat agregasi platelet dan membantu relaksasi otot, namun obat ini dapat
menyebabkan sakit kepala, diare, palpitasi dan obat ini kontra indikasi dengan
pasien gagal jantung. Perawatan luka lokal meliputi mengompres jari yang terkena
dan menggunakan enzim proteolitik bisa bermanfaat. Antibiotik diindikasikan
untuk infeksi sekunder.7
Terapi (treatment) bedah untuk penderita buerger meliputi debridement
konservatif jaringan nekrotik atau gangrenosa amputasi konservatif dengan
perlindungan panjang maksimum bagi jari atau ekstremitas dan kadangkadang
simpatektomi lumbalis bagi telapak tangan atau simpatetomi jari walaupun
kadang jarang bermanfaat.8
Revaskularisasi arteri pada pasien ini juga tidak mungkin dilakukan
sampai terjadi penyembuhan pada bagian yang sakit. Keuntungan dari bedah
langsung (bypass) pada arteri distal juga masih menjadi hal yang kontroversial
karena angka kegagalan pencangkokan tinggi. Bagaimanapun juga jika pasien
memiliki beberapa iskemik pada pembuluh darah distal, bedah bypass
dengan pengunaan vena autolog sebaiknya dipertimbangkan.9
9. Diagnosis Banding
Penyakit Buerger harus dibedakan dari penyakit oklusi arteri kronik
aterosklerotik. Keadaan terakhir ini jarang mengenai ekstremitas atas. Penyakit
oklusi aterosklerotik diabetes timbul dalam distribusi yang sama seperti
Tromboangitis Obliterans, tetapi neuropati penyerta biasanya menghalangi
perkembangan klaudikasi kaki. Selain itu harus disingkirkan penyakit lainnya
seperti scleroderma, CREST syndrome, penyakit raynauld, dan calsinos.7
10. Prognosis
Pada pasien yang berhenti merokok, 94% pasien tidak perlu mengalami
amputasi; apalagi pada pasien yang berhenti merokok sebelum terjadi gangrene,
angka kejadian amputasi mendekati 0%. Hal ini tentunya sangat berbeda sekali
dengan pasien yang tetap merokok, sekitar 43% dari mereka berpeluang harus
diamputasi selama periode waktu 7 sampai 8 tahun kemudian, bahkan pada
mereka harus dilakukan multiple amputasi. Pada pasien ini selain umumnya
dibutuhkan amputasi tungkai, pasien juga terus merasakan klaudikasi (nyeri pada
saat berjalan) atau fenomena raynaud walaupun sudah benar-benar berhenti
mengkonsumi tembakau.2
B. IHD
1. Definisi
Penyakit iskemia jantung (IHD), atau iskemia miokard, adalah
penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot
jantung, biasanya karena penyakit arteri koroner (aterosklerosis dari arteri
koroner). Adanya aterosklerosis dari pembuluh darah epicardial yang
mengarah ke penyakit jantung koroner. Proses ini dimulai dari awal
kehidupan, sering kali tidak menjadi klinis sampai usia menengah ke atas.
Penyakit jantung iskemik mungkin hadir sebagai penyakit koroner akut
(penyakit koroner akut termasuk unstable angina, infark miokard dengan
kenaikan segmen non-ST atau infark miokard dengan kenaikan segmen
ST), angina pektoris kronis stabil, dan iskemik tanpa gejala klinis.10
4. Manifestasi klinik
Angina pectoris merupakan manifestasi klinik yang sering
dijumpai. Manifestasi klinik yang lain adalah Angina stabil, Angina
Prinzmetal, Angina tak Stabil, Infark Miokard, Silent Myocardial
Ischemic (SMI), Gagal jantung, Disritmia cordis.10,12
5. Gejala
Gejala yang sering timbul pada IHD yaitu Angina, merupakan
rasa tidak nyaman atau rasa sakit pada dada. Rasa sakit ini timbul akibat
berkurangnya suplai O2 ke jantung. Kadang IHD tidadak menimbulkan
gejala ( silent ischemia). Gejala penyerta seperti keringat dingin dan
timbulnya rasa mual, sesak napas, perasaan melayang dan pingsan
(sinkop).
Ciri-ciri Angina: Dada terasa tertekan oleh suatu benda berat atau seperti
diremas. Hal ini terasa hingga ke leher, lengan, perut, punggung atas. Rasa
sakit biasanya timbul jika sedang melakukan aktivitas atau sedang dalam
keadaan emosi tidak stabil. Rasa sakit ini dapat hilang dengan beristirahat
atau dengan pemberian Nitroglycerin. Bila dilakukan pemeriksaan fisik
dapat ditemukan hipertensi, pembesaran jantung dan kelainan bunyi
jantung dan bising jantung.10,12
6. Faktor resiko
a. Merokok
b. Kadar kolesterol total dan kolesterol LDL yang tinggi
c. Hipertensi
d. Kadar kolesterol HDL yang rendah
e. Diabetes Mellitus
f. Usia lanjut
g. Minuman alkohol
Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan meningkatnya resiko IHD. Faktor predisposisi adalah faktor
yang memperbesar resiko IHD yang diakibatkan oleh faktor-faktor
resiko di atas.
Faktor-faktor ini adalah:
a. Obesitas (IMT > 25 mg/m2)
b. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 94 cm untuk pria, dan >
80 cm untuk wanita; waist hip ratio > 0,9 untuk pria, dan 0,8 untuk
wanita)
c. Kebiasan kurang bergerak/aktivitas fisik kurang
d. Riwayat keluarga menderita IHD pada usia muda ( < 55 tahun
untuk pria dan < 65 tahun untuk wanita)
e. Faktor psikososial13
Faktor resiko kondisional berhubungan dengan peningkatan
resiko IHD walaupun efek penyebab secara independen masih belum
terbukti secara meyakinkan. Faktor ini adalah:
a. Kadar trigliserida serum yang tinggi
b. Kadar homosistein serum yang tinggi
c. Kadar lipoprotein yang tinggi
d. Faktor protrombotik
e. Penanda inflamasi (peradangan)13
7. Patofisiologi
IHD atau sering dikenal dengan angina pektoris adalah suatu
kelainan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan supply dengan
kebutuhan oksigen. Oksigen dibutuhkan untuk proses sebagai berikut :
a. Utama :
1) Frekwensi jantung
2) Kontraktilitas
b. Minor :
1) Energi aktivasi
C. CKD
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah penurunan fungsi ginjal ya
ng progresif dan umumnya berakhir sebagai gagal ginjal. Kelainan ginjal b
aik struktur atau fungsinya yang onsetnya ≥3 bulan.16
Kriteria penyakit ginjal kronik:16
2. Klasifikasi
Klasifikasi ini didasarkan pada derajat penyakit dan dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
berdasarkan LFGnya, dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault
sebagai berikut: 16
3. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit ginjal kronik secara global sebesar 11-13
%. Di Malaysia dengan populasi 18 juta penduduk diperkirakan terdapat 1
800 kasus baru penyakit ginjal kronik pertahunnya dan di negara-
negara berkembang lainnya sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun. The National Health and Nutrition Examination Survei
(NHANES) menyatakan penyakit ini distribusinya sama pada wanita dan
pria. Namun United State Renal Data System (USRDS) pada tahun 2011
mengatakan insidensi hemodialisa pada tahun 2009 lebih tinggi pada laki-
laki yaitu dengan angka 415.1 per 1 juta orang dan 256.6 pada
perempuan.18,19
Lalu di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) melaporkan 1 dari 10 orang
dewasa di Amerika terkena Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
staging berbeda-beda dan tejadi peningkatan 8% dalam setiap tahunnya.
Penyakit ginjal kronik ini menjadi menyebab kematian ke-9 di Amerika.
Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan penambahan umur
yaitu 4% pada pasien umur 29-39 tahun, 47% pada pasien >70 tahun.
Peningkatan tercepat pada pasien umur 60 atau lebih. Pada penelitian yang
di lakukan oleh NHANES tahun 1999-2004 didapatkan data stage 1
(5.7%), stage 2 (5,4%), stage 3 (5.4%), stage 4 (0,4%), dan stage 5 (0,4%).
Untuk insidensi kejadian End Stage Renal Disease (ESRD) yaitu sebesar
350 per 1 juta orang dan kejadian tertinggi pada pasien umur > 65
tahun.19,21
4. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi di antar negara. Pe
nyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat ada p
ada tabel dibawah ini:16
Tabel Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat
(1995-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh 27%
darah besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
5. Patofisiologi
Proses awalnya bergantung dari penyakit dasar, tetapi selanjutnya
hampir sama. Terjadi pengurangan massa ginjal akibatnya terjadi
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephron) sebagai kompensasi, hal ini diperantai oleh vasoaktifi seperti
sitokin dan growth factors. Akibatnya terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Adaptasi ini
berlangsung terjadi sangat singkat, akhinya akan terjadi maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.16,20
Stadium paling dini CKD dimana LFG masih normal atau
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti terjadi kerusakan nefron
yang progresif ditandai dengan peningkatan ureum dan kreatinin serum.
LFG sampai 60% masih asimtomatik tetapi ureum dan kreatinin sudah
meningkat. Sampai LFG 30% baru muncul gejala seperti nokturia, badan
lemas, nafsu makan menurun dan berat badan turun, mual. LFG dibawah
30% menunjukkan gejala dan tanda uremi nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual dan muntah, dan lainnya. LFG dibawah 15% sudah
komplikasi lanjut, pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara
dialisis atau tarnspalntasi ginjal.16,23
6. Diagnosis
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:23
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Sindrom uremia
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Berikut gejala yang dapat
muncul: lesu, lemah, sesak nafas, bengkak akibat retensi cairan,
berdebar-debar, penurunan kesadaran, nokturnia, gatal, memar,
perdarahan, pucat, sakit kepala, neuropati perifer, nyeri pericarditis,
nyeri tulang, dan disfungsi ereksi.
Gambaran laboratoris16,24
a. Penurunan fungsi injal berupa peningkatan ureum dan kreatinin dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault
b. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemi, hiponatremi, hipo atau
hiperkloremia, hiperfosfatemia, dan lainnya
c. Kelainan urinalisis meliputi proteinuri, hematuri, dan lainnya.
Gambaran radiologi19
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi. CT-scan / MRI: untuk melihat massa ginjal dan kista. IV
kontras sebaiknya dihindarkan dari orang dengan gangguan fungsi
ginjal. MRI sebagai pemeriksaan pengganti CT scan yang tanpa
kontras
f. Venography renal dan arteriogrefi ginjal untuk melihat stenosis
ginjal
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis ditujukan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat
untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang
sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus.24
Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.24
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor),
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.22
Osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik
yangvsering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar dibawah
ini: 16
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.16,26
Mengatasi Hiperfosfatemia:16
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaC03) dan calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhirakhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor C pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat
baik serta efek samping berupa keluhan gastrointestinal, CNS dan jantung.
Pemberian terapi dapat menurunkan angka paraidektomi, fraktur dan
hospitalisasi karena jantung. Namun penggunaan masih jarang karena biaya
mahal.
d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi
osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Pemakaiannya tidak begitu luas, karena
dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di
jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh
karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
Pencegahan Komplikasi
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible
water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan
tubuh),maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah
urin. 16
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan jika hiperkalemia dan oliguria.
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium
darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.16,26
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 4 atau 5, yaitu pada LFG kurang dari 30 mI/mnt. Tapi pada
umumnya stadium 5. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pasien perlu dirujuk ke bagian
Ginjal Hipertensi untuk terapi pengganti ginjal.16,26
8. Prognosis
Pasien dengan GFR yang lebih rendah, proteinuria, usia muda, dan
seks laki-laki memiliki progressifitas yang lebih tinggi. Serum albumin
yang rendah, kalsium bikarbonat dan fosfat serum yang lebih tinggi
memprediksi peningkatan resiko gagal ginjal. Pasien ERSD yang
menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama dibandingkan dialisis
kronis. Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisa
mennunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk dengan hemodialisa
nyata dipersingkat. Pada tahun 2003, lebih dari 69.000 pasien terdaftar
dalam ERSD meninggal26
D. Hiperkalemia
Definisi
Hiperkalemia adalah suatu keadaan gawat yang dapat
menyebabkan aritmia jantung hingga kematian mendadak. Hyperkalemia
didefinisikan sebagai kadar serum kalsium melebihi batas normal yang
dibagi menjadi beberapa derajat keparahan yakni >5, >5,5, dan >6
mmol/L. 22
Prevalensi
Pasien CKD mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
hyperkalemia dibandingkan populasi umum. Frekuensi hyperkalemia pada
CKD adalah 40-50%, dibandingkan dengan populasi umum yakni 2-3%
pada populasi umum. Risiko yang paling tinggi adalah pasien dengan
CKD, diabetes, penerima donor ginjal, dan pasien yang mendapat
pengobatan inhibitor system renin-angiotensin-aldosteron (RAA).23
Homeostasis kalium
Ginjal mempunyai peran penting untuk menjaga keseimbangan
kalium dengan menyeimbangkan asupan kalium dengan ekskresi kalium.
Kalium bebas difiltrasi oleh glomerulus. Kemudian 90-95% akan
direabsorpsi di tubulus proksimal dan lengkung Henle. Ekskresi kalium
terjadi di tubulus distal. Jika terjadi hilangnya fungsi nefron pada penyakit
ginjal akan terjadi retensi kalium. Regulator utama adalah aldosterone dan
kadar serum kalium.23
Peningkatan serum kalium berhubungan dengan memburuknya
fungsi ginjal. Ekskresi kalium akan dipertahankan oleh sisa nefron yang
masih berfungsi. Oleh sebab itu, hyperkalemia jarang terjadi pada GFR
>15 ml/menit, kecuali jika sekresi dan fungsi aldosterone terganggu.
Kadar serum kalium juga dapat dipertahankan oleh ekskresi
saluran pencernaan. Kapasitas kolon untuk mengekskresi kalium
meningkat tiga kali lebih besar seiring dengan menurunnya fungsi ginjal.
Tatalaksana
Tatalaksana untuk mencegah perkembangan atau rekurensi hyperkalemia adalah
sebagai berikut10:
Estimasi GFR. GFR ≤ 30 ml/menit adalah ambang batas untuk
kemungkinan terjadinya hyperkalemia.
Menghindari penggunaan NSAID dan obat herbal
Diet rendah kalium dan menghindari penggunaan substitusi garam
yang mengandung kalium
Penggunaan obat thiazide atau loop diuretic pada GFR < 30 ml/menit
(hindari penggunaan diuretik hemat kalium sepert spironolakton)
Koreksi asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
Dosis awal ACE-I dan ARB yang rendah. Penggunaan obat ini harus
hati-hati karena bisa meningkatkan kadar kalium. Pertimbangkan
penghentian kedua obat tersebut apabila kadar kalium tetap di atas ≥
6 mmol/L dan tidak responsif pada terapi.
Monitor kadar kalium setelah 1 minggu penggunaan ACE-I atau
ARB. Hentikan pengobatan jika kadar kalium tetap > 6 mmol/L.22,23
Komplikasi
Hiperkalemia menyebabkan hiperpolarisasi sel dan sulit untuk depolarisasi
sehingga mengakibatkan aritmia jantung. Aritmia yang terjadi pada hyperkalemia
adalah takikardia dengan QRS sempit, atrial fibrilasi, bradikardi, ventricular
takikardi, dan irama idioventrikular. Beberapa aritmia tipikal pada hyperkalemia
adalah sebagai berikut22:
(a) Bradikardi dengan QRS lebar, (b) gelombang sinus dengan pause, (c)
gelombang sinus tanpa pause, (d) ventricular takikardi22
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien mengeluhkan jari kaki sakit sejak satu setengah bulan yang lalu
setelah dirawat di ICU. Ibu jari dan jari keempat kaki kanan serta ibu jari dan jari
tengah kaki kiri pasien terasa sakit dan menghitam. Rasa sakit menjalar sepanjang
tungkai hingga ujung jari, terutama bila digerakkan. Keluhan jari sakit muncul
setelah sebelumnya dirawat di ICU RSUD Soeselo karena nyeri dada mendadak
menjalar ke punggung kiri dan didiagnosis sumbatan total jantung oleh dokter
jantung. Keluhan lain yang saat ini dirasakan adalah nyeri dada dan sesak napas.
Pasien mengeluh dada sakit dan ngos-ngosan saat istirahat dan semakin sesak bila
tiduran. Pasien juga tidak kuat untuk jalan ke kamar mandi. Pasien menyangkal
adanya keluhan kepala pusing, cekot-cekot, batuk, mual, dan muntah. BAK dan
BAB pasien lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya pasien pernah didagnosis sumbatan total
jantung pada bulan Oktober 2020 dan dirawat di ICU RSUD Soeselo.pasien
merasakan sakit dada tajam seperti ditusuk-tusuk di dada dan menjalar ke
punggung kiri secara tiba-tiba. Saat di ICU pasien juga sempat mengalami kejang.
Pasien sebelumnya juga punya riwayat hipertensi. Pasien menyangkal adanya
riwayat diabetes, kolesterol, dan asam urat. Riwayat penyakit keluarga berupa
keluhan sakit dada, nyeri jari kaki, kejang, diabetes, hipertensi, kolesterol, asam
urat semuanya disangkal.
Pasien masuk rs pada hari Selasa 26 Januari 2021 malam hari. Pasien
diperiksa pada hari berikutnya Rabu 27 Januari 2021. pada pemeriksaan fisik
keadaan umum pasien tampak baik dengan kesan sakit sedang dan kesadaran
composmentis. Pasien berbicara dengan suara pelan. Tek darah 110/70, nadi
73x/menit, suhu 36,7˚C, pernapasan 24x/menit. SpO2 pasien tidak dapat diukur
pada hari pertama dan hari kedua pemeriksaan. Pada hari ketiga pemeriksaan
tanggal 29 Januari 2021 SpO2 pasien dapat terbaca sebesar 99% setelah mendapat
terpai antikoagulan. Selain itu pada pemeriksaan thorax paru didapatkan palpasi
focal fremitus meningkat pada kedua lapang paru, perkusi didapatkan redup di
kedua lapang paru bagian basal, dan auskultasi suara ronchi basah halus di kedua
lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrik. Pada
pemeriksaan ekstremitas teraba akral dingin pada keempat ekstremitas, dan kedua
tungkai sepanjang paha hingga ujung jari kaki nyeri bila disentuh dan digerakkan.
Nampak ulkus menghitam pada kaki kanan jari 1 dan jari 4 serta kaki kiri jari 1
dan jari 3.
Pemeriksaan penunjang yang pertama dilakukan adalah EKG. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan Irama ventrikuler, ritme ireguler ketika VES
muncul, ada kompleks QRS yang aneh melebar di lead aVR, aVL, aVF, ST
depresi di lead II dan ST elevasi di lead I, V3, V4, gel T tinggi di lead I, aVL, V2-
V6, normoaxis, kesan nampak adanya ST elevasi dd stemi anterior, iskemia
inferior, ventrikel extrasystole, T tall dd hiperkalemia. Pemeriksaan EKG harus
dikerjakan pada semua pasien dengan angina pectoris sugestif sindrom koroner
akut. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada pasien dengan sindrom koroner
akut. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif dalam mendiagnosis sindrom
koroner akut,. Selain itu terdapat gambaran gelombang T tinggi dan riwayat
kejang di ICU sebelumnya sehingga muncul dugaan terjadi hiperkalemia pada
pasien.
Pemeriksaan penunjang selanjutnya yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, kimia klinik dan elektrolit. Pada pemeriksaan
penunjang yakni pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil. Pada pemeriksaan
penunjang yakni pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil Leukosit H 11.9
103/ul, Eritrosit L 3.6 106/ul, Hemoglobin L 9.9 g/dL, Hematocrit L 28 %, MCV
L 78 fL, Trombosit H 413 103/ul, Netrofil H 79.3 %, Limfosit L 11.2 %, Netrofil
Limosit Ratio H 7.08, MPV H 12.2 fL, RDW SD H 46.2 fL, RDW CV H 15.4 %,
Kalium HH 6.17 mmol/L, Natrium L 125.8 mmol/L, Chlorida H 116.6 mmol/L,
Ureum H 187.1 mg/dL, Creatinin H 4.73 mg/dL, APTT TEST H 163.9 detik, PT
TEST H 12.7 detik.
Pemeriksaan imaging rontgen thorax AP tidak ditemukan adanya kelainan
bentuk dan ukuran jantung normal, paru tidak tampak kelainan. Pada pemeriksaan
vaskuler doppler, ditemukan kecurigaan emboli arteri di atas arteri poplitea dextra
dan DVT katup V Poplitea Dextra.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis Buerger Disease berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Pasien merupakan
perokok aktif sejak lama dan baru berhenti setelah dirawat di ICU pada bulan
Oktober 2020.
sPenyakit Buerger atau tromboangitis obliterans (TAO) merupakan
penyakit inflamasi non-atherosklerotik (Inflamatory nonatherosclerotic) dimana
terjadinya oklusi segmental pada arteri kecil dan sedang serta pada vena
ekstremitas atas dan bawah. Manifestasi klasik TAO ialah terjadi pada lakilaki
perokok dengan onset gejala usia <45 tahun. Laki-laki lebih tersering daripada
perempuan. Individu yang terkena biasanya memiliki riwayat merokok berat
dengan memakai 20 rokok perhari. Pada kasus ini, ditemukan bahwa pasien tidak
berada pada rentang usia dimana TAO sering terjadi. Namun pasien merupakan
laki-laki yang mempunyai kebiasan merokok aktif sejak lama. Manifestasi terdini
pada penyakit Buerger ialah klaudikasio kaki yang merupakan patognomonik.
Klaudikasio kaki merupakan cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai
arteri plantaris atau tibioperonea. Kondisi ini terjadi pada oklusi yang ditemukan
di arteri infrapopliteal. Pada kasus ini pasien mengeluhkan kaki terasa kesemutan
dan nyeri sepanjang paha hingga ujung jari pada kedua kaki. Kemudian kaki
menjadi semakin sakit dan pasien sulit untuk berjalan. Namun hilang saat
beristirahat atau tidak digerakkan. Gejala ini merupakan gejala klaudikasi.
Gejala lain adalah Sindrom Raynoud yang biasanya terjadi beberapa bulan
yang ditandai dengan perubahan trifasik yang klasik dari warna kulit yang
berubah menjadi putih secara jelas kemudian diikuti dengan sianosis nyeri dan
kemudian rubor. Jari yang terkena iskemik bisa memperlihatkan tanda sianosis
bila digantung. Sering terjadi radang lipatan kuku dan akibatnya paronikia. Infark
kulit kecil bisa timbul, terutama pulpa falang distal yang bisa berlanjut menjadi
gangrene atau ulserasi kronis yang nyeri. Selain itu bisa ditemukan tromboflebitis
superfisialis migrans. Defisit denyut nadi biasanya mengenai bagian ekstremitas
paling distal mencakup pengurangan atau tidak adanya denyut nadi.
Pada pasien ini tidak ditemukan sindrom Raynoud, tromboflebitis
superfisialis migrans, paronikia. Pada pemeriksaan fisik pada Regio Pedis Sinistra
Tampak gangrene berupa jaringan nekrosis berwarna kehitaman pada digital I dan
III serta pada Regio Pedis Dextra pada digital I dan IV setinggi phalanx distal
sampai ke phalanx proksimal. Nyeri tekan (+), tidak teraba adanya massa, palpasi
arteri dorsalis pedis tidak kuat angkat.
Bila ditemukan kebiasaan merokok disertai dengan faktor risiko lain
seperti peningkatan kadar lemak, maka penyakit ini tidak dapat disebut penyakit
Buerger, melainkan harus disebut aterosklerosis. Demikian pula, bila pada
penderita perokok yang dijumpai peningkatan kadar gula darah maka harus
dinyatakan sebagai diabetes mellitus.
Tidak terdapat pemeriksaan penunjang yang spesifik yang dapat
digunakan untuk diagnosis TAO. Pemeriksaan laboratorium pada TAO dilakukan
untuk mengekslusikan diagnosis banding atau penyakit vaskulitis lainnya berupa
hitung darah lengkap, tes fungsi hati, Gula Darah Puasa, petanda/marker
peradangan seperti Eritrocyte Sedimen Rate (ESR), C-reactive protein, faktor
rheumatoid, marker. Sebagai tambahan pemeriksaan serologi terhadap marker
penyakit autoimun seperti antibody antinuclear, antibody anticentromer,
pemeriksaan marker diatas harus negative pada penderita TAO. Pada pasien TAO
dengan fase akut menunjukkan hasil pemeriksaan ESR dan CRP normal. Hal ini
yang membedakan TAO dengan penyakit vaskulitis lainnya. Skrining status
hiperkoagulabilitas seperti antibody antifosfolipid dan homocystein pada pasien
dengan TAO direkomendasikan. Hasil pemeriksaan hematologi pada pasien TAO
ialah terjadi peningkatan eritosit, peningkatan kekakuan eritrosit, dan peningkatan
kekentalan darah.
Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan terjadi peningkatan eritosit
atau peningkatan kekentalan darah. Pemeriksaan kolesterol dan Pemeriksaan GDS
belum diperiksa, namun dari anamnesis riwayat penyakit pasien, pasien sendiri
juga keluarga menyangkal adanya kencing manis dan kolesterol tinggi. Namun
pasien sempat dirawat karena diagnosis STEMI. Pemeriksaan penunjang lain
tidak dilakukan. Berdasarkan ini maka diagnosis banding aterosklerosis bisa
dicurgai namun diabetes melitus dapat disingkirkan.
Penyakit Buerger atau TAO diobati secara non farmakologi dengan
menganjurkan pasien untuk menghentikan kebiasan merokok dan menghindari
perokok. Pengobatan farmakologi diberikan analgesia, antiplatelet, vasodilator,
dan antibiotik jika terdapat tanda-tanda infeksi. Selain itu, pembedahan kadang
dibutuhkan bila tindakan non-operasi tidak berhasil.
Pada kasus ini pasien telah diedukasi untuk menghentikan kebiasan
merokok dan menghindari perokok. Pasien ditangani dengan pemberian antibiotik
berupa ceftriaxon 2x1 gram per 12 jam secara IV. Berdasarkan teori, pemberian
antibiotik tidak rutin dilakukan kecuali ditemukan tanda-tanda infeksi. Pada
pasien ini, tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi. Pemberian antibiotik lebih
dimaksudkan ke arah profilaksis oencegahan infeksi sekunder. Selain itu, pasien
diberikan analgesik berupa MST (morfin sulfat) 2x1 tablet (10 mg) per 12 jam per
oral. Morfin merupakan analgesik opioid poten dengan aktivitas menghambat
sinyal saraf ke otak. Obat ini diberikan sebagai terapi nyeri kronik pada pasien
dengan nyeri hebat yang perlu analgesik opioid.Berdasarkan keluhan, pasien
merasakan nyeri hebat terus menerus yang membuatnya tidak nyaman dan susah
untuk beristirahat. Pemberiannya harus diawasi dan dibatasi karena tergolong
sebagai NAPZA dan dapat menyebabkan ketergantungan. Pasien juga diterapi
dengan heparin 800 IU/jam, miniaspi 1x80 mg PO, dan clopidogrel 1x75mg PO.
Berdasarkan pemeriksaan USG vaskuler doppler terjadi sumbatan, selain itu
pasien juga sempat sulit dilakukan pengukuran SpO2 menggunakan pulse
oksimetri di ujung jari pasien sehingga diperlukan heparinisasi untuk
menghilangkan sumbatan dan memperbaiki perfusi ke distal. Miniaspi dan
clopidogrel adalah antiplatelet, diberikan atas dasar indikasi peningkatan
trombosit H 413 103/ul. Miniaspi aslinya adalah obat golongan NSAID, namun
pada dosis kecil memiliki aktivitas antiplatelet, sedangkan clopigorel merupakan
obat golongan antiplatelet. Keduanya bekerja dengan menghambat agregasi
platelet sehingga mencegah pembentukan trombus. Pada pasien juga terjadi
hiperkalemia dan diberikan terapi dengan pemberian Insulin 10 IU/8 jam serta
D40 2 kantong. Pemberian insulin dimaksudkan untuk meningkatkan transfer
kalium dari ekstrasel ke intrasel, sedangkan pemberian D40 dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya hipoglikemia akibat pemberian insulin.
Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan pembedahan, dikarenakan pasien
meminta berobat lanjut ke Makassar serta pasien juga memiliki penyakit penyerta
lainnya yaitu CHF et causa CAD sehingga pasien dirujuk ke RS tipe A di
Makassar. Tindakan pembedahan adalah tindakan terakhir bila tindakan non-
pembedahan tidak berhasil. Tindakan pembedahan tersering yang dilakukan
adalah tindakan amputasi. Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit.
Batas amputasi pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularissi sisa
ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai. Amputasi dilakukan pada titik
paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik, perlu
diperhatikan juga peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsionalnya.
BAB IV
KESIMPULAN