Pembimbing :
dr. Maretina Wahyu W, Sp.PD
Disusun Oleh:
Yahya Ridho Saputra
2013020014
i
KATA PENGANTAR
Slawi,
Penulis
ii
DAFTAR ISI
REFERAT................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................2
1. Definisi.........................................................................................................2
2. Klasifikasi.................................................................................................... 2
3. Epidemiologi................................................................................................ 4
4. Etiologi.........................................................................................................4
5. Patofisiologi................................................................................................. 5
6. Diagnosis......................................................................................................7
7. Tata Laksana.............................................................................................. 10
8. Prognosis.................................................................................................... 18
BAB III...................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 39
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk itu, makalah ini dibuat untuk lebih memahami mengenai penyakit
ginjal kronis dan beberapa kondisi gawat daruratnya yaitu asidosis metabolik,
hyperkalemia, fluid overload, ensefalopati uremikum, beserta tatalaksananya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi
Klasifikasi ini didasarkan pada derajat penyakit dan dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
berdasarkan LFGnya, dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault
sebagai berikut: 1
2
Uremia adalah sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pasa
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Tanda dan gejala uremia adalah sebagai berikut2:
3
3. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit ginjal kronik secara global sebesar 11-
13%. Di Malaysia dengan populasi 18 juta penduduk diperkirakan terdapat
1800 kasus baru penyakit ginjal kronik pertahunnya dan di negara-
negara berkembang lainnya sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.
The National Health and Nutrition Examination Survei (NHANES)
menyatakan penyakit ini distribusinya sama pada wanita dan pria. Namun
United State Renal Data System (USRDS) pada tahun 2011 mengatakan
insidensi hemodialisa pada tahun 2009 lebih tinggi pada laki-laki yaitu
dengan angka 415.1 per 1 juta orang dan 256.6 pada perempuan. 3
Lalu di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) melaporkan 1 dari 10 orang
dewasa di Amerika terkena Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
staging berbeda-beda dan tejadi peningkatan 8% dalam setiap tahunnya.
Penyakit ginjal kronik ini menjadi menyebab kematian ke-9 di Amerika.
Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan penambahan umur
yaitu 4% pada pasien umur 29-39 tahun, 47% pada pasien >70 tahun.
Peningkatan tercepat pada pasien umur 60 atau lebih. Pada penelitian yang
di lakukan oleh NHANES tahun 1999-2004 didapatkan data stage 1
(5.7%), stage 2 (5,4%), stage 3 (5.4%), stage 4 (0,4%), dan stage 5 (0,4%).
Untuk insidensi kejadian End Stage Renal Disease (ESRD) yaitu sebesar
350 per 1 juta orang dan kejadian tertinggi pada pasien umur > 65 tahun.3
4. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi di antar negara.
Penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat
ada pada tabel dibawah ini:1
Penyebab Insiden
4
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitialis 4%
Penyakit sistemik 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
5. Patofisiologi
Proses awalnya bergantung dari penyakit dasar, tetapi selanjutnya
hampir sama. Terjadi pengurangan massa ginjal akibatnya terjadi
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephron) sebagai kompensasi, hal ini diperantai oleh vasoaktifi seperti
sitokin dan growth factors. Akibatnya terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti
5
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Adaptasi ini
berlangsung terjadi sangat singkat, akhinya akan terjadi maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.1
Stadium paling dini CKD dimana LFG masih normal atau
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti terjadi kerusakan nefron
yang progresif ditandai dengan peningkatan ureum dan kreatinin serum.
LFG sampai 60% masih asimtomatik tetapi ureum dan kreatinin sudah
meningkat. Sampai LFG 30% baru muncul gejala seperti nokturia, badan
lemas, nafsu makan menurun dan berat badan turun, mual. LFG dibawah
30% menunjukkan gejala dan tanda uremi nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual dan muntah, dan lainnya. LFG dibawah 15% sudah
komplikasi lanjut, pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara
dialisis atau tarnspalntasi ginjal.1
6
6. Diagnosis
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Sindrom uremia
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Berikut gejala yang dapat
muncul: lesu, lemah, sesak nafas, bengkak akibat retensi cairan,
berdebar-debar, penurunan kesadaran, nokturnia, gatal, memar,
perdarahan, pucat, sakit kepala, neuropati perifer, nyeri pericarditis,
nyeri tulang, dan disfungsi ereksi.
Gambaran laboratoris1
a. Penurunan fungsi injal berupa peningkatan ureum dan kreatinin dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault
7
b. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemi, hiponatremi, hipo atau
hiperkloremia, hiperfosfatemia, dan lainnya
c. Kelainan urinalisis meliputi proteinuri, hematuri, dan lainnya.
Gambaran radiologi1
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi. CT-scan / MRI: untuk melihat massa ginjal dan kista. IV
kontras sebaiknya dihindarkan dari orang dengan gangguan fungsi
ginjal. MRI sebagai pemeriksaan pengganti CT scan yang tanpa
kontras
f. Venography renal dan arteriogrefi ginjal untuk melihat stenosis
ginjal
8
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
napas, dan obesitas.1
Penegakkan Diagnosis
Untuk menegakkan CKD perlu dilakukan pemeriksaan GFR dan urinalisa
untuk menilai albumiuria. Berikut adalah algoritma untuk menegakkan CKD.4
9
7. Tata Laksana
Penatalaksanaan CKD meliputi:1
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat perurukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal
10
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.1
11
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.1
Batasan asupan protein dan fosfat untuk pasien CKD:
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis ditujukan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat
untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang
12
sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus.1
Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.1
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor),
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.1
13
Terapi Komplikasi
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <=10 g%
atau hematokrit <=30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum, serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity,
feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.1
14
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO)
mempakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi
harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 10 g/dL, keadaan
lebih buruk jika target Hb terlalu tinggi. Monitoring anemia selama 1-3
kali dalam satu bulan.2
Tabel Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik
Osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik
yangvsering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar dibawah
ini: 1
15
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.
Mengatasi Hiperfosfatemia:1
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaC03) dan calcium acetate.
16
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhirakhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor C pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat
baik serta efek samping berupa keluhan gastrointestinal, CNS dan jantung.
Pemberian terapi dapat menurunkan angka paraidektomi, fraktur dan
hospitalisasi karena jantung. Namun penggunaan masih jarang karena biaya
mahal.
d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi
osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Pemakaiannya tidak begitu luas, karena
dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di
jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh
karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
Pencegahan Komplikasi
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible
water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan
tubuh),maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah urin.
1
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan jika hiperkalemia dan oliguria.
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang
tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium
17
darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.1
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 4 atau 5, yaitu pada LFG kurang dari 30 mI/mnt. Tapi pada
umumnya stadium 5. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pasien perlu dirujuk ke bagian
Ginjal Hipertensi untuk terapi pengganti ginjal.1
8. Prognosis
Pasien dengan GFR yang lebih rendah, proteinuria, usia muda, dan
seks laki-laki memiliki progressifitas yang lebih tinggi. Serum albumin
yang rendah, kalsium bikarbonat dan fosfat serum yang lebih tinggi
memprediksi peningkatan resiko gagal ginjal. Pasien ERSD yang
menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama dibandingkan dialisis
kronis.
Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisa
mennunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk dengan hemodialisa
nyata dipersingkat. Pada tahun 2003, lebih dari 69.000 pasien terdaftar
dalam ERSD meninggal.
18
terdapat 26 juta orang di Amerika Serikat yang menderita CKD. Dan
sebanyak 700.000 orang mempunyai eGFR <30 ml/menit/1.73 m2.
Sebanyak 30-50% dari angka tersebut menderita asidosis metabolic.
Penelitian lain menunjukkan bahwa asidosis metabolic dialami sebanyak
2.3-13% orang dengan CKD stage 3 dan 19-37% pada CKD stage 4.8
Patofisiologi
Regulasi homeostasis asam-basa menyangkut tiga langkah dasar
yakni: dapar kimia oleh dapar ekstraseluler dan intraseluler, perubahan
ventilasi alveolar, serta perubahan ekskresi H+ oleh ginjal. Pengaturan
ekskresi H+ oleh ginjal dilakukan dengan cara reabsorpsi HCO3- dan
membentuk HCO3- sebagai respons dari berbagai stimuli. H+ yang
tersekresi berikatan dengan dapar urin seperti HPO42- dan ammonia. Pada
CKD, reduksi nefron fungsional menyebabkan defek pada eksresi ginjal,
terutama dalam bentuk ammonium.9
Produksi asam endogen menggambarkan jumlah proton dalam
tubuh yang didapat dari metabolisme protein yang dimakan, dikurangi
jumlah perbedaan dari bikarbonat hasil metabolisme anion asam organic
(dari buah-buahan dan sayursayuran) dengan anion asam organic yang
dikeluarkan urin. Oleh sebab itu, kadar serum bikarbonat berbanding
terbalik dengan asupan protein yang diperoleh (bikarbonat turun 1.0
mEq/L tiap asupan protein 1 gr/kgBB/hari).
Seiring dengan progresifitas CKD, kemampuan ginjal untuk
mengekskresi ammonium dan reabsorpsi bikarbonat menurun. Secara
umum, kemampuan ginjal untuk mengekskresi ammonium menurun saat
CKD stage IIIb dan IV. Penurunan ekskresi ammonium menjadi penyebab
utama terjadinya asidosis metabolic. Produksi ammonia juga meningkat
akibat terjadinya hipertrofi nefron residu dan meningkatnya enzim
ammoniogenik.
Peningkatan kadar ammonia mengaktivasi jalur komplemen
sehingga terjadi fibrosis interstitial ginjal. Asidosis juga menginduksi
hormone aldosterone dan angiotensin II untuk meningkatkan ekskresi
19
asam. Namun hormone tersebut dapat memicu fibrosis ginjal sehingga
menjadi target tatalaksana CKD.
Asidosis pada CKD biasanya relative stabil. Pada asidosis tanpa
komplikasi, kadar serum bikarbonat biasanya >12 mEq/L dan pH
darah >7,2. Terdapat 2 kemungkinan penyebab kadar serum bikarbonat
tetap stabil. Pertama adalah awal setelah terjadi retensi asam, ekskresi dan
produksi asam seimbang. Kemungkinan lainnya adalah asidosis memicu
mekanisme ekstrarenal yang mengeluarkan asam endogen.
Manifestasi klinis
Pasien CKD dengan asidosis metabolic biasanya asimptomatik dan
gangguan keseimbangan asam basa diketahui lewat hasil laboratorium
kimia darah. Pasien dengan GFR di bawah <30 mL/min/1.73m2 berisiko
mengalami asidosis metabolik. Serum bikarbonat jarang mencapai < 14
mEq/L, dan biasanya > 20mEq/L. Namun konsentrasi serum bikarbonat
yang normal dapat terjadi meskipun adanya gangguan ekskresi asam.9
Komplikasi asidosis metabolik pada penyakit ginjal kronik
Komplikasi yang terjadi adalah8:
Peningkatan degradasi protein otot dengan muscle wasting. Hal
tersebut diakibatkan karena perubahan regulasi insulin growth factor
1 dan peningkatan inflamasi
Eksaserbasi penyakit tulang. Hal ini diakibatkan keterlibatan garam
karbonat pada tulang yang berfungsi sebagai dapar
Penurunan intesis albumin
Intoleransi glukosa akibat resistensi insulin sebagai konsekuensi dari
penurunan metabolisme oleh ginjal
Penyakit jantung coroner. Penyakit ginjal kronik akan menyebabkan
berkurangnya ekskresi homosistein. Keadaan hiperhomosisteinemia
akan menyebabkan disfungsi endotel dan platelet sehingga memicu
terjadinya pembentukan aterosklerosis
20
Tatalaksana
21
PaCO2 = 1.5 × [HCO3−] + 8 ± 2 mmHg). penilaian circulation dengan
Periksa denyut nadi, tekanan darah, dan capillary refill tme (CRT). Pasang
EKG jika perlu dan pulse oximetry untuk monitoring. Pasang 1-2 kanul
cairan intravena jika terdapat tanda-tanda syok (takikardi, hipotensi,
pemanjangan CRT) dan berikan cairan IV bolus. Pertimbangkan untuk
mengusulkan beberapa pemeriksaan Urea (BUN), serum kreatinin Serum
elektrolit, Darah lengkap, Tes fungsi hati, Serum keton, laktat dan kultur
darah jika pasien demam. Pertimbangkan pemasangan kateter urine untuk
memantau produksi urin 24 jam. Jika pasien demam dan penyebabnya
tidak diketahui, mulailah memberikan antibiotik spektrum luas seperti
ceftriaxon.12
Suplementasi bikarbonat oral diberikan pada pasien CKD dengan
serum bikarbonat <22 mmol/L untuk mempertahan serum bikarbonat pada
range normal (23-29 mmol/L). Tablet natrium bikarbonat mudah diberikan
dan tidak mahal. Namun dapat menimbulkan produksi gas pada lambung
sehingga tidak nyaman pada beberapa pasien. Target serum bikarbonat
pada adalah ≥ 22 mmol/L.13
Selain itu, perlu dibatasi asupan protein hewani untuk mengatur
jumlah asam yang diproduksi tubuh. Protein nabawi menghasilkan lebih
sedikit asam. Buah dan sayur efektif untuk menyediakan kalori dan
sumber kalium bagi tubuh.
2. Hiperkalemia
Definisi
Hiperkalemia adalah suatu keadaan gawat yang dapat
menyebabkan aritmia jantung hingga kematian mendadak. Hyperkalemia
didefinisikan sebagai kadar serum kalsium melebihi batas normal yang
dibagi menjadi beberapa derajat keparahan yakni >5, >5,5, dan >6 mmol/L.
10
Prevalensi
Pasien CKD mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
hyperkalemia dibandingkan populasi umum. Frekuensi hyperkalemia pada
22
CKD adalah 40-50%, dibandingkan dengan populasi umum yakni 2-3%
pada populasi umum. Risiko yang paling tinggi adalah pasien dengan
CKD, diabetes, penerima donor ginjal, dan pasien yang mendapat
pengobatan inhibitor system renin-angiotensin-aldosteron (RAA).10
Homeostasis kalium
Ginjal mempunyai peran penting untuk menjaga keseimbangan
kalium dengan menyeimbangkan asupan kalium dengan ekskresi kalium.
Kalium bebas difiltrasi oleh glomerulus. Kemudian 90-95% akan
direabsorpsi di tubulus proksimal dan lengkung Henle. Ekskresi kalium
terjadi di tubulus distal. Jika terjadi hilangnya fungsi nefron pada penyakit
ginjal akan terjadi retensi kalium. Regulator utama adalah aldosterone dan
kadar serum kalium.11
Peningkatan serum kalium berhubungan dengan memburuknya
fungsi ginjal. Ekskresi kalium akan dipertahankan oleh sisa nefron yang
masih berfungsi. Oleh sebab itu, hyperkalemia jarang terjadi pada
GFR >15 ml/menit, kecuali jika sekresi dan fungsi aldosterone terganggu.
Kadar serum kalium juga dapat dipertahankan oleh ekskresi
saluran pencernaan. Kapasitas kolon untuk mengekskresi kalium
meningkat tiga kali lebih besar seiring dengan menurunnya fungsi ginjal.
23
Diabetes. Hiperglikemi menyebabkan muatan kalium sulit untuk
bergerak ke interseluler.
Penggunaan obat-obatan inhibitor RAAS seperti inhibitor
angiotensinconverting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor
blockers (ARB). Risiko hyperkalemia meningkat terutama jika
diberikan secara bersamaan atau dosis awal yang tinggi.
Tatalaksana
Tatalaksana untuk mencegah perkembangan atau rekurensi hyperkalemia
adalah sebagai berikut10:
Estimasi GFR. GFR ≤ 30 ml/menit adalah ambang batas untuk
kemungkinan terjadinya hyperkalemia.
Menghindari penggunaan NSAID dan obat herbal
Diet rendah kalium dan menghindari penggunaan substitusi garam
yang mengandung kalium
Penggunaan obat thiazide atau loop diuretic pada GFR < 30 ml/menit
(hindari penggunaan diuretik hemat kalium sepert spironolakton)
Koreksi asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
Dosis awal ACE-I dan ARB yang rendah. Penggunaan obat ini harus
hati-hati karena bisa meningkatkan kadar kalium. Pertimbangkan
24
penghentian kedua obat tersebut apabila kadar kalium tetap di atas ≥
6 mmol/L dan tidak responsif pada terapi.
Monitor kadar kalium setelah 1 minggu penggunaan ACE-I atau
ARB. Hentikan pengobatan jika kadar kalium tetap > 6 mmol/L.
25
Berikut ini adalah contoh gambaran aritmia yang terjadi pada
hiperkalemia CKD sebelum dan setelah terapi dengan Ca Glukonas 10%.
(a) EKG awal masuk pasien dengan kadar kalium 9,3 mmol/L dan
kelemahan generalisata , (b) EKG setelah pemberian 20 ml kalsium
glukonas 10% 11
26
Pemberian agonis β2 agonis salbutamol 10-20 mg secara inhalasi untuk
hyperkalemia ≥ 6 mmol/L. Salbutamol bekerja sebagai aktivator Na+-
K + ATPase sehingga dapat membantu menurunkan kadar kalium. Pemberian
secara inhalasi untuk mengurangi efek samping dari salbutamol seperti tremor,
palpitasi, dan sakit kepala. Selain itu, salbutamol juga menyebabkan
hiperglikemia ringan sehingga dapat melindungi dari efek samping
hipoglikemia oleh insulin.
Natrium bikarbonat tidak rutin diberikan pada hyperkalemia akut, namun
diberikan pada kondisi asidosis metabolik pada ckd.
Cation-exchange resin seperti sodium polystyrene sulfonate tidak diberikan
pada keadaan gawat darurat hyperkalemia berat.
Pemantauan kalium pada jam ke-1,2,4,6, dan 24 untuk melihat efikasi dari
tatalasksana yang telah diberikan dan untuk melihat adanya hyperkalemia
rebound setelah efek obat pertama hilang. Pengambilan sampel darah
menggunakan anti koagulasi lithium heparin14
Komplikasi
Hiperkalemia menyebabkan hiperpolarisasi sel dan sulit untuk depolarisasi
sehingga mengakibatkan aritmia jantung. Aritmia yang terjadi pada hyperkalemia
adalah takikardia dengan QRS sempit, atrial fibrilasi, bradikardi, ventricular
takikardi, dan irama idioventrikular. Beberapa aritmia tipikal pada hyperkalemia
adalah sebagai berikut11:
(a) Bradikardi dengan QRS lebar, (b) gelombang sinus dengan pause, (c)
27
gelombang sinus tanpa pause, (d) ventricular takikardi11
3. Fluid overload
Definisi
Fluid overload (FO) adalah ketidakseimbangan antara input dan
output cairan yang menyebabkan presentase berat badan naik ≥10 %. FO
sering ditemukan pada pasien CKD yang menjalani renal replacement
theraphy dan juga pasien CKD predialisis. Manifestasi paling sering dari
fluid overload pada kasus ckd adalah edema tungkai. Manifestasi lainnya
yang mungkin muncul adalah ascites dan edema paru.12,13
Manifestasi klinis dari terjadi nya edema paru yang tersering adalah
sesak napas. Sesak napas makin memberat terutama ketika beraktivitas
(dyspnea d’effort) atau berbaring telentang (orthopnea). keluhan terbangun
pada malam hari sering dijumpai karena sesak napas (paroxysmal nocturnal
dyspnea). Keluhan yang dapat muncul lainnya adalah batuk berdahak warna
pink atau batuk darah segar, kesulitan berbicara karena napas pendek, dan
terdengar bunyi mengi saat bernapas.15,16
Patofisiologi
Pada pasien CKD terjadi penurunan ekskresi dari cairan karena terjadi
penurunan filtrasi natrium pada glomerulus. Sehingga pada saat input cairan
lebih banyak dari output maka akan terjadi gejala overload. Gejala overload
yakni sesak, bengkapada kaki, penumpukan cairan pada perut. Sesak
diakibatkan karena penumpukan cairan sehingga menyebabkan edema paru
sehingga mengganggu perfusi oksigen dan menyebabkan sesak.12
Tatalaksana
Penggunaan diuretik secara umum digunakan untuk mengkontrol
cairan ekstraseluler yang berlebih dan efeknya terhadap tekanan darah.
Diuretic golongan thiazide digunakan pada CKD stage 1-3.
Hidroklorotiazid dimulai dari dosis 25 mg/hari, dengan titrasi 50-100 mg/hari.
Jika digunakan bersamaan dengan obat hipertensi non diuretic lainnya,
hidroklorotiazid dapat digunakan dari dosis terkecil yakni 6,25 mg.6
28
Loop diuretic dapat digunakan pada CKD stage 1-5. Pada CKD stage
4-5, dosis furosemide dimulai dari dosis 40-80 mg sehari dengan titrasi tiap
minggu sampai 25-50% sesuai respon dan volume ekstraseluler.6
Diuretic hemat kalium digunakan pada pasien CKD dengan risiko
hyperkalemia, yakni pasien dengan GFR < 30 ml/menit/1.73m2mendapat
terapi inhibitor ACE dan ARB.6
4. Ensefalopati uremikum
Pada pasien gagal ginjal ensefalopati merupakan kejadian yang sering
yang mungkin disebabkkan oleh uremia, defisiensi tiamin, dialisis, hipertensi
dan sebagainya. Uremia adalah sindrom yang muncul pada stage 4 dan stage
5 dari CKD, yang disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme pemecahan
protein. Gejala nya meliputi anorexia, mual, muntah, lethargy, dan pada stage
lebih lanjut bisa gangguan kesadaran (encephalopathy), muscle twitching,
pericarditis, fluid overload, kejang, dan koma. Walaupun ureum dan kreatinin
adalah substansi yang diukur, gejala uremia kemungkinan muncul disebabkan
oleh produk akhir toksik lainnya yang tidak diukur. Prosedur dialisis
diindikasikan pada pasien yang memiliki gejala uremia.
Uremik ensefalopati adalah kelaianan otak organik yang terjadi
pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan kadar
nilai kreatinin clearance menurun dan tetap dibawah 15 mL/ mnt. Secara
epidemiologi ensefalopati uremikum tidak diketahui. Hal ini bisa terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal kronik stage V dan angka kejadian ensefalopati
uremikum tergantung pada jumlah pasien CKD stage V. ensefalopati
uremikum merupakan salah benuk kelainan metabolik. ensefalopati
uremikum menyebabkan perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku, dan
kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun di luar otak.
Peningkatan kadar ureum darah dan toxic end product lainnya yang cepat
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya bangkitan. Metabolit yang
disinyalir sangat verpengaruh pada bangkitan adalah methylguanidine,
guanidine, dan guanidino succinic acid yang menghambat aktivitas kerja
GABA. Senyawa yang bersifat anti-GABA tersebut merupakan agen
29
konvulsan yang poten, dan terganggunya proses inhibisi oleh GABA
merupakan faktor penting dalam proses epileptogenesis. 13
30
bisa melewati membran dialisis. Dialisis harus dilakukan berdasarkan
observasi gejala uremia, bukan berdasarkan nilai laju GFR atau pun nilai
biokimiawi pasien. Pada kasus terjadi nya bangkitan kejang, tetap
dilakukan penanganan kejang menggunakan anti kejang. Pilihan obat anti
kejang bergantung pada tipe kejang, farmakokinetik, derajat keparahan
CKD, kondisi komorbid, dan keputusan dan penilaian dokter yang
bersangkutan. Berikut kami lampirkan daftar obat anti kejang beserta
farmakokinetiknya dan penyesuaian dosis nya pada setting kasus CKD:17
31
32
5. Perdarahan
Insufisiensi renal pada end-renal stage disease memiliki
kecendrungan manifestasi perdarahan, baik karena gangguan ginjal itu sendiri
maupun sebagai komplikasi dari intervensi terapi. Dilaporkan banyak
kejadian perdarahan memanjang saat operasi dan juga perdarahan spontan
33
pada gastrointestinal dan intrakranial. Patofisiologi yang mendasari kelainan
ini adalah disfungsi platelet dan ketidakseimbangan mediator dari endotel.
Hal ini juga diperparah dengann adanya kondisi komorbid, seperti penyakit
vaskuler, hipertensi dan anemia, dan intervensi medis yang dibutuhkan untuk
mengobati kondisi komorbid tersebut.18
Perdarahan pada CKD stage akhir bisa terjadi di berbagai lokasi.
Perdarahan cutaneous bisa muncul berupa memar/ekimosis atau perdarahan
memanjang dari tempat bekas suntikan. Perdarahan mukosa bisa sebagai
epistaxis, perdarahan gusi, atau perdarahan gastrointestinal. Perdarahan
gastrointestinal bisa juga terjadi karena adanya ulkus, teleangiektasis, atau
malformasi arteri vena. Perdarahan intrakranial bisa terjadi khususnya pada
pasien dengan hipertensi tak terkontrol yang menjalani hemodialisa.
Perdarahan retroperitoneal bisa terjadi secara spontan atau setelah menjalani
prosedur vaskuler19.
34
dan tryptophan. Faktor lain yang menjadi predisposisi terjadinya perdarahan
pada pasien uremikum CKD adalah anemia, dialisis, dan medikasi seperti
antikoagulan. Pada kondisi CKD, anemia terjadi karena defisiensi produksi
hormon eritropoietin yang bertanggungjawab menstimulasi produksi sel darah
termasuk platelet di sumsum tulang. Kurangnya hormon ini berkontribusi
pada terganggunya produksi platelet yang diperlukan dalam pembekuan.
Selain itu eritrosit memproduksi ADP dan thromboxane A2 yang berfungsi
meningkatkan agregasi platelet, sehingga apabila terjadi anemia produksi
kedua zat tersebut menurun dan berkontribusi terhadap terganggunya
hemostasis. Pada proses dialisis memiliki efek baik dan buruk untuk
hemostasis. Dialisis mengkoreksi disfungsi platelet dengan membersihkan
toxin uremik penyebab terganggunya hemostasis, sehingga mengurangi risiko
perdarahan. Namun pada hemodialisis digunakan artificial dyalizer, blood
tubing, dan antikoagulan heparin untuk mencegah terjadinya clotting yang
dapat mengganggu proses dialisis, sehingga bisa terjadi gangguan hemostasis
post-dialisis.
35
Opsi terapi untuk kondisi perdarahan pada pasien CKD adalah seperti
pada tabel berikut:
36
merespon pada terapi ini, dan ada potensi terjadinya komplikasi infeksi
sehingga terapi ini hanya digunakan pada perdarahan yang mengancam
nyawa.18,19
37
BAB III
PENUTUP
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2016.
2. Sabatine MS. Pocket medicine 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins
and Wolters Kluwer; 2014
3. United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in General population.
2015 USRDS annual data report: Epidemiology of Kidney Disease in the
United States. Bethesda: National institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disease. 2015
4. The Australian Kidney Fondation. Chronic Kidney Disease in General
Practice. Kidney Health 2015
5. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th
ed. China: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins, 2019.
6. Garabed E, Norbert L, Bertram LK, et al. 2012. KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. New York: National Kidney Foundation.
7. Nathan RH, Samuel TF, Jason LO, et al. Global Prevalence of Chronic
Kidney Disease – A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One.
2016; 11(7): e0158765.
8. Jeffrey AK, Nicolaos EM. Metabolic acidosis of CKD: an update. Am J
Kidney Dis. 2016;67(2):307-317
9. Wei C, Matthew KA. Metabolic acidosis and the progression of chronic
kidney disease. BMC Nephrology. 2014, 15:55-65
10. National Kidney Disease. 2014. Clinical update in hyperkalemia. Diunduh
Dari https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-
6785_HBE_Hyperkalemia_Bulletin.pdf
11. Annette A, Jasmeet S, Robert M, Jonathan F, Ilona S, et al. 2014. Treatment
of acute hyperkalaemia in adults. UK Renal Assocciation: Inggris
12. Jung, B., Martinez, M., Claessens, YE. et al. Diagnosis and management of
metabolic acidosis: guidelines from a French expert panel. Ann. Intensive
Care 9, 92 (2019). https://doi.org/10.1186/s13613-019-0563-2
13. Chronic Kidney Disease (CKD) Management in Primary Care (4th edition).
Kidney Health Australia, Melbourne, 2020. www.kidney.org.au
14. Best Practices in Managing Hyperkalemia in Chronic Kidney Disease, The
National Kidney Foundation 2016 www.kidney.org
39
15. Pulmonary edema , MedlinePlus U.S. National Library of Medicine, 2021.
https://medlineplus.gov/ency/article/000140.htm#:~:text=Symptoms%20of%
20pulmonary%20edema%20may,struggle%20to%20catch%20your%20breat
h.)
16. Pulmonary Edema, WebMD Medical ReferenceReviewed by James
Beckerman, MD, FACC on April 30, 2020
https://www.webmd.com/lung/the-facts-about-pulmonary-edema
17. Seizures, Antiepileptic Drugs, and CKD Victoria Títoff,* Heather N.
Moury,* Igor B. Títoff,* and Kevin M. Kelly Am J Kidney Dis. XX(XX): 1-
12. Published online Month X, 2018. doi: 10.1053/j.ajkd.2018.03.021
18. Uremic bleeding: Pathophysiology and clinical risk factors, Avtar S. Sohal,
Azim S. Gangji, Mark A. Crowther, Darin Treleaven, Thrombosis Research
(2006) 118, 417 — 4222005 Elsevier Ltd. All rights reserved.
doi:10.1016/j.thromres.2005.03.032
19. HEMATOLOGY: ISSUES IN THE DIALYSIS PATIENT Platelet
Dysfunction and End-Stage Renal Disease, Dinkar Kaw and Deepak
Malhotra, Seminars in Dialysis—Vol 19, No 4 (July–August) 2006 pp. 317–
322 https://doi.org/10.1111/j.1525-139x.2006.00179.x
40