Anda di halaman 1dari 8

GANGGUAN MINERAL DAN TULANG PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

PATOGENESIS, DIAGNOSIS DAN MODALITAS TERAPI

Ketut Suwitra, Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian/SMF llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Gangguan Metabolisme Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMT-
PGK) atau Chronic Kidney Disease –Mineral and Bone Disorders(CKD-MBD),
merupakan sekumpulan gangguan yang merupakan kosekuensi lanjut dari Penyajkit Ginjal
Kronik. GMT-PGK mencakup tiga pengertian yaitu 1). gangguan metabolisme calcium,
fosfat dan vitamin D, 2). gangguan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume,
pertumbuhan dan kekuatan, 3). kalsifikasi vaskuler dan jaringan lunak. Dahulu gangguan
ini dikenal dengan sebutan Osteodistrofi Renal (OR) atau Renal Osteodystrophy (RO), tapi
saat ini RO diistilahkan hanya terhadap gangguian tulang yang terjadi pada PGK. Banyak
hal yang masih belum jelas tentang MBD-PGK. ini, baik tentang patogenesis, klasifikasi,
diagnosis, maupun penatalaksanaannya. Sementara itu penelitian-penelitian tentang hal ini
masih terus dilaksanakan oleh para ahli

Mekanisme timbal balik antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang


Dalam keadaan fisiologis terdapat mekanisme hubungan timbal balik (feedback
mechanism) antara ginjal, kelenjar paratiroid, dan tulang. Hubunhan timbal balik ini
bertujuan untuk menjaga keseimbanhan homeostasis antara calcium (Ca), fosfat (P04),
vitamin D3 (vit D3) dan hormon paratiroid (HPT).
Mekanisme tersebut digambarkan pada gambar 1.

Vit D3 yang dihasilkan oleh ginjal membantu penyerapan Ca dan P04 di saluran
cerna. Ca dapat menghambat pembentukan vit D3 oleh ginjal dan menghambat produksi
HPT oleh kelenjar paratiroid. P04 dapat merangsang produksi HPT oleh kelenjar
paratiroid. Antara P04 dan Ca terdapat keseimbanghan fisikokimiawi yang stabil.
Peningkatan P04 dapat menekan Ca, tapi sebaliknya, Ca yang tinggi tidak dapat
menekan P04. P04 yang tinggi dalam darah bisa merangsang pembentukan Fibroblast
Growth Factor 23 (FGF23) oleh tulang. FGF 23 ini merangsang produksi Vit D3 dan
menghambat produksi HPT. Terjadi hubungan timbal balik antara FGF 23 dan HPT, juga
antara FGF 23 dan Vit D3. Vit D3 dapat menghambat produksi HPT, sebaliknya HPT
dapat menghambat produksi Vit D3.
Pada PGK, keseimbangan ini terganggu akibat peningkatan P04 yang terjadi karena
terhambatnya ekskresi, dan penurunan kadar vit D3 karena pengurangan massa ginjal.

Patogenesis GMT-PGK
Patogernesis GMT-PGK berawal dari penumpukan fosfat dalam tubuh akibat
terhambatnya ekskresi, serta penurunan kadar calcitriol akibat berkurangnya massa ginjal
pada PGK. Fosfat yang menumpuk dalam darah, yang sebagian besar dalam bentuk fosfat
inorganik, mengakibatkan tiga hal yaitu: 1) hipocalsemia sebagai akibat dari gangguang
fisikokimiawi, 2)secara langsung merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan
hormone paratiroid (PTH), 3). meningkatkan pembebasan fibroblast growth factor 23
(FGF 23) oleh osteosit tulang sekelet. Selanjutnya FGF23 ini merangsang kelenjar
paratiroid untuk mensekresikan PTH. Sementara itu, hipocalsemia mengakibatkan
peningkatan aktifitas Calcium Sensing Receptor (CaSR) pada kelenjar paratiroid yang
selanjutnya mengakibatkan 1) . peningkatan secresi PTH, 2). sintesis PTH melalui pre-pro
gene transcription, 3). meningkatkan proliferasi sel kelenjar paratiroid. Sedangkan
hipocalcitriolemia akan merangsang Receptor Vit D (VDR), yang selanjutnya akan
merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan PTH. Sehingga hasil akhir dari
semua proses di atas adalah “peningkatan sekresi PTH” yang dikenal dengan
“hyperparatiroidisme sekunder/ secondary hyperparathyroidism” Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan turn over tulang sehingga terjadi renal osteodystrophy dalam
bentuk osteitis fibrosa, demineralisasi tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang (bone pain).
Di lain pihak, pada kasus-kasus dengan usia lanjut, diabetes melitus, terapi berlebihan
dengan vit D3, atau pada intoksikasi aluminium, terjadi adynamic bone disease (ADB)
yang ditandai dengan turn over tulang yang rendah. Gambar 1 menjelaskan secara
skematik tentang patogenesis
CKD
Reduce of renal mass

Excretion ↓ Secretion ↓
 hyper PO4

 hypo Ca

Ca SR VDR

PTH secretion

Pre-proPTH gene
Transcription/PTH
synthesis

Parathyroid cell
proliferation

OR

Gambar 2. Patogenesis osteodistrofi renal

Hiperfosfatemia mengakibatkan hipocalcemia akibat terjadinya gangguan


keseimbangan fisikokimiawi (physicochemistry), dimana peningkatan PO4 akan selalu
dikompensasi dengan penurunan Ca. Tetapi peningkatan Ca tidak dikompensasi dengan
penurunan PO4, malah akan terbentuk garam CaPO4 yang mudah mengendap dan
mengakibatkan metastatik kalsifikasi. Juga tampak pada gambar bahwa peran CaSR
(Calcium Sensing Receptor) sangat besar dalam pengaturan sekresi PTH oleh kelenjar
paratiroid. Hal ini mengindikasikan peranan calcimemetic agent (cinacalcet) dalam
penatalaksanaan hiperparatiroidisme sekunder.
Pada penyakit ginjal kronik stadium akhir yang bertahan lama, misal pada pasien
dengan dialisis lama, bisa terjadi hipercalsemia. Kondisi ini bisa diakibatkan oleh
pemakaian pengikat fosfat yang mengandung calcium (calcium base phosphate binders),
terapi dengan vitamin D berlebih dan mobilisasi calsium dari tulang akibat
hiperparatiroidisme sekunder. Kondisi ini, apabila disertai dengan hiperfosfatemia dan
perkalian produk CaXP di atas 55, dapat mengakibatkan pengendapan garam
calciumfosfat (CaPO4) di pembuluh darah dan jaringan lunak. Hal ini disebut metastatic
calcification. Kalsifikasi sering terjadi di daerah subkutan, pembiuluh darah besar seperti
aorta dan miokard, yang dapat meningkatkan komplikasi kardiovaskuler.

Peran fibroblast growth factor 23 (FGF 23)

Fibroblast Growth Factor (FGF) 23 adalah sejenis faktor yang berperan untuk
mengatur reabsorbsi fosfat inorganic di tubuli renalis. Pada PGK terjadi peningkatan kadar
FGF23. Peningkatan FGF-23 ini disebabkan oleh peningkatan kadar fosfat inorganik,
yang akan melepaskan FGF-23 dari osteosit dan osteoblast tulang skelet. 1.25(OH)2D3
juga merangsang pelepasan FGF-23. Pengaruh FGF-23 yang paling menonjol adalah
menghambat Na-Pi cotransport di ginjal dan mengakibatkan fosfaturia, menghambat 1-α
vit D3 hydroxilase sehingga terjadi penurunan kadar 1.25 (OH)2D3. Hal ini akan
mengakibatkan penghambatan resorbsi Pi dan Ca di saluran cerna. Diduga HPTjuga
merangsang pelepasan FGF-23.

Skema regulasi FGF-23 tampak pada gambar 2.

Skeleton
Pi Parathyroid

1,25(OH)2D3 Possibly inhibits


mineralization

Small
bowel Possibly stimulates
Stimulates Parathyroid function

FGF-23 Possibly
Reduces Ca & Pi
stimulates
absorption in
small bowel
+Klotho

 1,25(OH)2D3
Phosphaturia
Kidney

Inhibits
1-Hydroxylase
1(OH)D3

Manifestasi kilinis
Penderita dengan ODR stadium awal sering tidak merasakan keluhan. Kadang-
kadang bisa terjadi keluhan akibat hipocalcemia berupa paraestesia atau kejang fokal,
yang sering dikacaukan dengan neuropati uremik. Keluhan nyeri tulang terjadi pada ODR
stadium lanjut, yang sudah disertai dengan hiperparatiroidisme sekunder. Tidak jarang
terjadi fraktur spontan akibat osteoporosis. Kalsifikasi metastatik sering berupa kalsifikasi
subkutaneus (benjolan-benjolan yang berisi endapan garam kalsiumfosfat), atau kalisfikasi
pada pembuluh darah besar (seperti aorta, arteri karotis) maupun miokard yang baru
tampak pada pemeriksaan echokardiografi. Pada beberapa kasus juga terjadi calsifilaxis,
yaitu nekrosis yang luas (biasanya pada ekstrimitas atas maupun bawah) akibat oklusi
pembuluh darah oleh garam calsium fosfat. Manifestasi klinis ADB dapat berupa
osteomalasia, yang ditandai dengan gangguan postur tulang-tulang panjang, seperti
kiposis, scoliosis, atau pembengkokan tuilang-tulang ekstrimitas.

Diagnosis
Diagnosis dimulai dari pemeriksaan kadar fosfat inorganik dan calcium plasma
sebagai awal terjadinya proses GMT-PGK. Kadar fosfat selalu menigkat, sedangkan
kadar calcium bisa rendah, normal atau tinggi, tergantung stadium penyakit. Ada dua jenis
calcium plasma yaitu Ca bebas dan Ca ion. Ca bebas, kadarnya tergantung pada kadar
albumin plasma, sehingga untuk mendapatkan Ca ion harus dikonversi dengan rumus yang
sudah ditetapkan. Lebih lanjut, dilakukan pemeriksaan PTH, bisa disertai dengan
pemeriksaan alkalifosfatase tulang (bone alkaliphosphatase/BAP). Pemeriksaan kalsitriol
plasma tidak dilaksanakan secara rutin. Pemeriksaan radiologi tulang, sering
memperlihatkan tanda yang tidak spesifik dan baru tampak setelah terjai kerusakan ttulang
stadium lanjut. Biopsi serta analisis histomorfometrik tulang, walaupun merupakan baku
emas, tiak dilaksanakan secara rutin Indikasinya adalah, keadaan dimana terdapat
ketidaksesuaian (inconsistencies) parameter biokimiawi, nyeri tulang yang tidak dapat
dijelaskan (unexplained), serta fraktur yang tidak dapat dijelaskan (unexplained).
Klasifikasi histologis pada gangguan tulang yang terjadi pada GMT-PGK berdasarkan
pada derajat abnormalitas bone turnover dan kegagalan mineralisasi matriks ekstraselular,
tampak pada tabel 1 berikut :
Tabel 1. Klasifikasi GMT-PGK berdasarkan turnover tulang

Type of bone disease Description Pathogenesis


High-turnover
Osteitis Fibrosa Increased bone resorption SHPT
Disorganized non-lamellar collagen
deposition
Increased osteoid deposition
Increased rate of bone formation
Marrow fibrosis
Low turnover
Osteomalacia Decreased osteoid deposition Excess aluminum exposure
Aluminum accumulation often present frequent
Decreased bone formation rate Other unknown factors
Accumulation of osteoid because
osteoid deposition exceeds bone
formation rate
Adynamic Few remodeling sites and low bone Aluminum deposition
formation rate sometimes present
Decreased osteoid deposition Relatively low PTH levels
More common in older
patients, diabetics, and
CAPD patients
High-and low turnover
Mixed disease Increased remodeling sites and SHPT, aluminum deposition,
resorption activity other unknown factors
Areas of low bone formation
Increased osteoid seam width

Penatalaksanaan
Strategi ke depan dalam penatalaksanaaan GMT-PGK adalah (1) ) mencegah dan
mengatasi hiperfostaemia dan 2) menghambat hiperplasi kelenjar paratiroid.
Modalitas terapi tergantung pada stadium penyakit dan tujuan terapi yang diberikan. Pada
stadium pradialisis, terapi terutama ditujukan pada pengendalian fosfat. Usaha ini
dilakukan dengan, 1) pemberian diet rendah fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat
(phosphate binders). Pemberian diet rendah fosfat terkendala dengan malnutrisi yang bisa
terjadi pada penderita. Berbagai jenis pengikat fosfat sudah tersedia, baik yang calcium
base maupun yang noncalcium base, namun usaha pengendalian fosfat pada penderita
penyakit ginjal kronik tetap menjadi masalah. Dialisis, walaupun dalam jumlah terbatas
dikatakan dapat mengurangi hiperfosfatemia. Hasil yang baik dilaporkan terjadi pada
hemodialisis setiap hari (daily hemodyalisis). Pemberian Vitamine D3 Receptor Activator
(VDRA) dengan tujuan menghambat terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dilaporkan
banyak memberikan hasil, walau masih terdapat sedikit kontroversi. Pemberian preparat
calcimemetik yang dapat mengakibatkan down regulation Calcium Sensing Receptor
(CsR) sehingga sekresi PTH dapat dihambat, dilaporkan juga banyak memberikan hasil,
Dan apabila sudah terjadi hipertrofi kelenjar paratiroid (parathyroid adenoma), atas
indikasi tertentu, dilakukan paratireoidektomi; baik medical maupun surgical.

Tabel 2. Modalitas terapi GMT-PGK

Sasaran Terapi Keterangan

Hiperfosfatemia Diet rendah fosfat Risiko malnutrisi


Phosphate Binder
Dialisis

Hiper PTH sekunder Vit D3 analog Pengendalian fosfat


Calcimemetic tetap dilaksanakan
Paratireoidektomi

Hipercalsemia Fosfat binder non Ca base


Hemoodialisis rendah Ca

Ringkasan

Daftar pustaka
1. Westerberg PA, Linde T, Wiksstrom B, et al. Regulation of fibroblast growth factor-23
in chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3202-3207.
2. Nicolás TL, Leonard MB, Shane E. chronic kidney disease and bone fracture: a
growing concern. Kidney Int. 2008; 74: 721-731.
3. Llach F, Fernandez E. Overview of renal bone disease: Causes of treatment failure,
clinical observations, the changing pattern of bone lesion, and future therapeutic
approach. Kidney Int 2003; 64 (87): S113-S119.
4. Brandenburg VM, Floege J. Adynamic bone disease- bone and beyond. Nephrol Dial
Transplant 2008; 3:135-147.
5. Yano S, Yamaguchi T, Kanazawa I, et al. The uraemic toxin phenylacetic acid inhibits
osteoblastic proliferation and differentiation: an implication for the pathogenesis of
low turnover bone in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3160-
3165.
6. Tanaka M, Fukugawa M. Medical management after parathyroid intervention. Nephrol
Dial Transplant 2008;1(3):iii18-iii20.
7. Evenepoel P. Calcimimietics in chronic kidney disease: evidence, opportunities and
challenges. Kidney Int 2008; 74 : 265-275.
8. Goodman WG, Quarles LD. Development and progression of secondary
hyperparathyroidism in chronic kidney disease: lessons from molecular genetics.
Kidney Int 2008; 74 : 276-288.
9. Andress DL. Adynamic bone in patients with chronic kidney disease. Kidney Int
2008;73:1345-1354.
10. Kovesdy CP, Zadeh KK. Vitamin D receptor activation and survival in chrnic kidney
disease. Kidney Int 2009;73:1355-1363.
11. Spiegel DM, lock GA. Should we be using calcium-containing phosphate binders in
patients on dialysis? Nephrology 2008;4 (3):118-119.
12. Hamano T. Is calcitriol treatment associated with improved survival in predialysis
patients with chronic kidney disease? Nephrology 2008;4(8):416-4170
13. Evenepoel P. Control of hyperphosphatemia beyond phosphate. Kidney Int
2007;71:376-379.
14. Goto S, Komaba H, fukugawa M. Ptahophysiology of parathyroid hyperplasia in
chronic kidney disease: preclinical and clinical basis for parathyroid intervention.
Nephrol Dial Transplant 2008;1(3):iii2-iii8.
15. Finn WF, Hladik JG, Lanthanum Study Group. Efficacy and Safety of lanthanum
carbonate for reduction of serum phosporus in patients with chronic renal failure
receiving hemodialysis. Clin Nephrol 2004; 62(3):193-201.
16. Emmett M. Whar does serum fibroblast growth factor 23 do in hemodialysis patients?
Kidney Int 2008;73:3-5.

Anda mungkin juga menyukai