Pembimbing :
dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP.
Disusun Oleh:
Oki Bambang Hendrawan
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Infark miokard akut (IMA) adalah suatu keadaan dimana otot jantung
mengalami nekrosis akibat tidak seimbangnya kebutuhan dan pemasukan oksigen
yang bersifat mendadak. Penyebab tersering IMA adalah sumbatan koroner,
sehingga aliran darah mengalami gangguan yang diawali dengan hipoksia
miokard.13
IMA merupakan salah satu diagnosis penyakit jantung yang membutuhkan
rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal yaitu selama kurang
lebih 30 hari pada IMA yaitu 30% atau bisa diartikan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas terus menurun hingga mencapai 30% dalam 2
dekade terakhir, 1 diantara 25 seluruh pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, akan mengalami kematian di tahun pertama setelah IMA.14
Data epidemiologis tingkat nasional tentang laporan studi mortalitas pada
tahun 2001 oleh Survei Kesehatan Nasional menunjukkan penyebab kematian
nomor 1 di Indonesia adalah penyakit kardiovaskular yaitu 26,39%.15
Diagnosis IMA didasarkan atas didapatkannya dua atau lebih dari 3
kriteria yaitu: adanya nyeri dada, perubahan elektrokardiografi (EKG) dan
peningkatan petanda biokimia. Tetapi kriteria diagnostik ini mempunyai
keterbatasan. Banyak pasien salah didiagnosis sebagai IMA atau sebaliknya,
didiagnosis bukan IMA. Pada tulisan ini akan dibahas pemeriksaan biomarka
jantung pada infark miokard
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Infark miokard akut (Acute myocardial infarct) adalah suatu kondisi
dimana jaringan miokardium mengalami nekrosis dengan kondisi klinis
yang konsisten yaitu terjadinya iskemik miokard akut. Penyebab IMA
90% disebabkan oleh proses aterosklerosis. Usia, jenis kelamin laki-laki
dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner termasuk dalam
faktor resiko yang tidak dapat diubah. Selain itu, faktor risiko yang dapat
diubah diantaranya pola gaya hidup yang belum sehat, kebiasaan merokok,
obesitas, kadar gula darah yang tidak normal, dan hipertensi.
2.2 ETIOLOGI
IMA terjadi ketika iskemia berlangsung pada miokardium. IMA
berat biasanya terjadi akibat metabolisme miokard yang meningkat, atau
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui sirkulasi
koroner, atau keduanya. Gangguan dalam suplai oksigen miokard dan
nutrisi juga dapat terjadi ketika thrombus lepas dalam plak aterosklerosis
ulserasi sehingga oklusi koroner terjadi.
Stenosis arteri koroner (>75%) penyebabnya adalah aterosklerosis
atau stenosis dinamis yang terkait dengan vasospasme koroner. Sehingga
dapat menyebabkan pengurangan pasokan oksigen dan nutrisi sehingga
menimbulkan infark miokard.
Kondisi lain yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme
miokard yaitu kegiatan fisik yang sifatnya terlalu ekstrim, hipertensi berat,
dan stenosis katup aorta.
Patologi katup jantung lainnya dan curah jantung rendah yang
berhubungan dengan penurunan tekanan aorta, sehingga merupakan
komponen utama dari tekanan perfusi koroner, yang nantinya dapat
memicu infark miokard.
2
2.3 EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004
mengungkapkan, Infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab
kematian utama di dunia. Kematian sebanyak 7.200.000 jiwa atau setara
dengan 12,2% terjadi akibat penyakit ini. IMA terjadi ketika otot jantung
mengalami nekrosis ireversibel sehingga nantinya menyebabkan iskemia
berkepanjangan.1
Angka mortalitas di Amerika Serikat tahun 2013 dengan akibat
penyakit kardiovaskular mencapai 222,9 jiwa per 100.000 penduduk.
Sementara 1 dari 7 total kematian di Amerika Serikat, penyebabnya hanya
penyakit jantung koroner.6
Sedangkan Tiongkok, prevalensi pasien yang dirawat inap karena
STEMI mengalami peningkatan dari 3,5 per 100.000 tahun 2011 menjadi
15,4 per 100.000 pada tahun 2011.2
2.5 KLASIFIKASI
Infark Miokard Akut berdasar EKG 12 sadapan terbagi menjadi 2
klasifikasi:
1) NSTEMI (Non ST-segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi parsial A. Coroner akibat trombus dari plak atherosklerosis,
namun tidak disertai adanya elevasi segmen ST pada EKG.7
2) STEMI (ST-segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi total pada A. Coroner yang menyebabkan area infark yang
lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
adanya elevasi segmen ST pada EKG6
2.6 PATOFISIOLOGI
Sebagian besar IMA adalah manifestasi akut akibat plak ateroma
pembuluh darah koroner yang pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Selanjutnya, terjadi proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
3
Sehingga terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus tersebut akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total atau parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal.
Pelepasan zat vasoaktif juga terjadi yang nantinya menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu akibat oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis
dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, ada gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel).5
4
5
2.6 MANIFESTASI KLINIK(17,18)
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang
dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau
hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan
angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA
6
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya
dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan
pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga
sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada
pasien berusia lanjut.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektrokardiogram
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pertama kali untuk menegakkan diagnosis pada pasien
dengan nyeri dada akut dalam 10 menit yang dimulai sejak pasien
datang di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Gelombang T yang tinggi dan elevasi ST adalah presentasi EKG yang
terlihat sejak awal onset nyeri. Munculnya gelombang Q akan terlihat
setelah 6 jam kemudian.
Infark miokard pada dinding inferior akan terlihat pada lead II,III dan
aVF, dinding anterior pada lead V1-V4, dan dinding anterolateral
pada lead I, aVL, V5-V6. Infark pada ventrikel kanan dapat
didiagnosis menggunakan EKG pada V3r dan V4r. EKG sisi kanan
harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan.
Pada sebagian kecil pasien dengan nyeri dada dan infark miokard
yang berkembang (sekitar 5%), EKG menunjukkan blok berkas
cabang (biasanya kiri). Hal ini umumnya terkait dengan infark
anterior yang luas dan prognosis yang buruk.
Ekokardiografi
Ekokardiografi sangat membantu untuk deteksi nyeri dada kardiak
dan telah direkomendasikan sebagai lini pertama untuk mengukur
Regional Wall Motion Abnormality (RWMA) dan Fraksi Ejeksi
Ventrikel Kiri (FEVK). FEVK dikategorikan menjadi meningkat
7
(FEVK > 75%), normal (FEVK 50-75%), menurun (FEVK30-
49%) dan sangat menurun (FEVK <30%)
Biomarkers
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah
Creatinin Kinase isoenzym Myoglobin (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
CKMB meningkat setelah 3 jam dan mencapai puncak dalam 10–
24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari, cTn (T dan I)
meningkat setelah 2 jam dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-15 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung lain yaitu mioglobin
dan Lactic dehydrogenase (LDH). Pada beberapa dekade terakhir,
troponin jantung telah diganti dengan penanda biologis dalam
deteksi nekrosis miokard yang berdasarkan pada sensitivitas dan
spesifisitas. Setiap pasien yang menunjukkan troponin dengan
kenaikan yang khas dan penurunan bertahap yang berhubungan
dengan gejala-gejala iskemik atau perubahan EKG harus
didiagnosis dengan pasti telah memiliki infark miokard. Troponin
kompleks merupakan bagian integral dari miofibril jantung yang
dilepaskan setelah kerusakan miokardium. Dua komponen regulasi,
troponin I dan T, dirilis oleh mikro-infark miokard, perifer dapat
dideteksi, menunjukkan bahwa nekrosis miokard telah terjadi. Sifat
khusus mereka, troponin jantung sangat sensitif, dengan deteksi
tinggi yang terjadi setelah nekrosis.
2.8 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi
ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung
terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis.17
b. Pemeriksaan Fisik
8
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.17
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat
implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan
jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB.17
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.17
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung
yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH) Reaksi non spesifik terhadap injuri
miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.17
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu
9
10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal
tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI
inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.17
2.9 PENATALAKSAAN
10
300-600 mg. Selanjutnya, bisa diberikan aspirin 80 mg per hari dan
klopidogrel 75 mg per hari.[1, 11]
11
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI
juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi
konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan
evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk
menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan
pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk Score >3 menurut
TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.
Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.
12
2. Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari
nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis.
A. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina (Kelas I-C).
B. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
C. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
D. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark
ventrikel kanan (Kelas III-C).
E. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48
13
jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil
belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
14
5. Antiplatelet5
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan
(Kelas I-A).
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih (Kelas I-A).
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-
C).
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
15
f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
g. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas I-B).
h. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
i. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG),
perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah
penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi
(Kelas IIa-C).
j. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-
B).
k. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2
selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan
jenis stent.
16
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga
seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG
perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.
Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan
interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba
untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal
pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung
menunjukkan perlunya tindakan segera.
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi
reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin
pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan
IKP primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari)
serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak
panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut
ini:
1) Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
Menit
2) Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
17
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke
rumah sakit yang mampu melakukan IKP)
2. TERAPI REPERFUSI5
Tujuan penanganan infark miokard akut (acute myocardial infarct) adalah untuk
mengembalikan perfusi sesegera mungkin. Pada kasus NSTEMI, terapi
reperfusi dapat ditunda sesuai dengan stratifikasi risiko. Namun pada kasus
STEMI dengan onset kurang dari 12 jam, terapi reperfusi secara mekanik atau
farmakologis harus dilakukan secepatnya. Sesuai panduan yang dikeluarkan
oleh European Society of Cardiology (ESC), berdasarkan onset serangannya,
terapi reperfusi dilakukan pada keadaan infark miokard akut sebagai berikut:
Kurang 12 jam
Pada pasien yang datang dengan onset keluhan kurang dari 12 jam,
terapi reperfusi dilakukan pada seluruh pasien dengan gejala dan elevasi
segmen ST dan LBBB baru yang persisten.
Lebih dari 12 jam dan terdapat proses iskemik yang sedang berlangsung
Pada pasien yang datang setelah 12 jam dari onset, maka dapat
diutamakan untuk dilakukan primary PCI.
Pada pasien yang datang dalam rentang 12 – 24 jam setelah onset, PCI
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien yang kondisinya
stabil.8
18
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
19
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-
B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-
A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat
berupa:
1) Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi) (Kelas I-A).
2) Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3) Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas
IIa-B). Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu
melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas
I-A). IKP “rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu
resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus
dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang
berhasil (Kelas I-B).
Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya
fibrinolysis inisial (Kelas I-A).
Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A).
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang
berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).
20
Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI5
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12
jam dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan
yang mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2:
Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk
kasus tersebut. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa
penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
21
Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasive
Strategi invasif tidak dapat dilakukan
Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
Kesulitan mendapatkan akses vaskular
Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
Transportasi bermasalah
Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih
dari 90 menit
22
6. Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI)
Primary Percutaneous Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan
utama dalam terapi reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan
pPCI maka risiko perdarahan akibat fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko
perdarahan intrakranial dapat meningkat pada pemberian fibrinolisis.12
23
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak
dengan petugas medis
Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok
kardiogenik, kecuali pada kondisi yang diakibatkan oleh
keterlambatan prosedur PCI.8
Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:
Diutamakan pemasangan stent pada semua kasus dibandingkan
hanya dengan angioplasti dengan balon.
Tindakan primary PCI hanya terbatas pada pembuluh darah
yang memiliki lesi, kecuali bila dibarengi syok kardiogenik
atau iskemik yang menetap setelah PCI.
Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan
dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan
Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan
Penggunaan rutin intraaortic baloon pump (IABP) selain pada
syok kardiogenik tidak direkomendasikan. 8
7. Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Tidak banyak pasien dengan infark miokard akut (acute myocardial
infarct) yang membutuhkan tindakan coronary artery bypass
grafting (CABG). CABG diindikasikan pada pasien dengan kelainan
anatomis dan tidak dapat dilakukan PCI serta pasien dengan komplikasi
gangguan mekanik pada jantung.
Kriteria Rujukan
Terapi reperfusi pada umumnya tidak dapat dilakukan oleh dokter layanan
primer. Bila pasien diterima di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas
terapi reperfusi harus segera dirujuk ke fasilitas yang memadai. Rujukan
harus dipertimbangkan demi target tata laksana reperfusi yang terbaik.
24
Bila pasien didiagnosa infark miokard di rumah sakit yang
memiliki fasilitas pPCI, maka dilakukan pPCI dalam kurang dari
60 menit
Pasien di fasilitas tanpa pPCI, bila memungkinkan dirujuk ke
rumah sakit dengan pPCI yang waktu tempuhnya kurang dari 120
menit
Bila tidak terdapat fasilitas pPCI dengan waktu tempuh kurang dari
120 menit, lakukan terapi reperfusi segera dalam waktu kurang dari
30 menit, lalu rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas pPCI. Bila
terapi fibrinolisis tidak berhasil, segera lanjutkan dengan tindakan
pPCI. Bila berhasil maka dilakukan angiografi.8
2.10 KOMPLIKASI
Aritmia
Aritmia setelah infark miokard memiliki bentuk yang bervariasi,
termasuk aritmia ventrikel yang merupakan penyebab utama kematian
mendadak, gangguan sistem konduksi, dan aritmia atrium. Hampir 90
persen pasien mengalami aritmia setelah infark akut. Takiaritmia
ventrikel dapat ditemukan pada 67% kasus dalam 12 jam pertama
infark miokard akut, fibrilasi ventrikel terjadi sekitar 4.5% dengan
kejadian terbesar pada satu jam pertama dan fibrilasi atrium terjadi
pada sekitar 5-10% pasien pasca infark, terutama pada pasien yang
lebih tua dengan gagal jantung.10
Kematian Jantung Mendadak
Kematian mendadak terjadi pada 25% pasien setelah infark miokard
akut dan sering terjadi sebelum pasien sampai ke rumah sakit. Proporsi
kematian akibat penyakit jantung iskemik yang tiba-tiba hampir 60%.
Syok Kardiogenik
Gagal jantung setelah infark miokard akan menyebabkan kongesti paru
sehingga terjadi hipoperfusi organ yang mendalam, ini disebut syok
kardiogenik. Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%),
sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang
25
berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri
koroner multivesel.
Ruptur Dinding Ventrikel
Insiden rupture dinding ventrikel kiri terjadi antara 10-20%, pasien
yang mengalami infark pertama kali akan mengalami ruptur sekitar
18%. Ruptur dinding ventrikel kiri tujuh kali lebih sering daripada
ruptur ventrikel kanan.
Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan adalah komplikasi dari infark miokard inferior.
Studi menunjukkan infark ventrikel kanan mencapai 14-60% pada
pasien yang meninggal dengan infark miokard inferior. Infark
ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.
Efusi Perikardial dan Perikarditis
Efusi perikardial dilaporkan pada 25% pasien dengan infark miokard
akut dan lebih sering terjadi pada pasien dengan infark miokard
anterior, infark yang luas, dan gagal jantung kongestif. Perikarditis
dapat terlihat pada area yang mengalami nekrosis. Perikarditis timbul
sejak hari pertama sampai 6 minggu pasca infark, sedangkan efusi
perikardial setelah infark miokard membutuh waktu beberapa bulan
untuk diserap kembali.
Gagal Jantung Kongestif
Pasien dengan infark miokard akut yang luas dan iskemia yang
persisten memungkinkan terjadinya gagal jantung. Terjadinya gagal
jantung akut telah lama diakui sebagai prediktor kuat untuk
meningkatkan morbiditas dan mortalitas setelah terjadi infark miokard.
Aneurisma Ventrikel Kiri
Akibat infark miokard akut terjadi penipisan dan pelebaran dinding
ventrikel kiri di sisi otot jantung yang nekrosis akibat tak adanya aliran
darah ke daerah tersebut.
Thrombus Mural dan Emboli
26
Thrombus terjadi oleh karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
dari turbelensi akibat lambatnya alian darah di ventrikel kiri serta
atrium kiri. Thrombus yang lepas dinamakan emboli. Apabila emboli
ini lepas dari ventrikel kiri maka paling sering mengakibatkan
terjadinya stroke iskemik dan penyakit arteri peifer (seperti: akut limb
iskemia).
2.11 PROGNOSIS
Prognosis IMA ditentukan melalui klasifikasi Killip. Klasifikasi ini dinilai
berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru
dan syok kardiogenik
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
1 Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
2 +S3 dan atau ronki basah 17
3 Edema paru 30-40
4 Syok kardiogenik 60-80
27
2.12 Pemeriksaan Biomarka Jantung
Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik. Profil kadar petanda biokimia terhadap waktu pengambilan di sirkulasi
perifer bergantung pada berat molekulnya, lokasi dalam sel dan karakteristik
pelepasannya dan kecepatan aliran vaskuler atau limfatik dan klirens sistemik.
Protein-protein intraseluler ini meliputi aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzime MB (CK-MB), myoglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT).19
Secara historis, enzim AST dan LDH pertama kali digunakan dalam
diagnosis AMI. Namun, karena enzim ini tidak memiliki karakteristik penanda
jantung yang ideal, enzim ini ditinggalkan begitu saja. Namun, karena
pengukuran di rumah sakit mana pun terbatas dan mudah, mereka memiliki
kapasitas untuk memberikan gambaran kepada dokter kapan pengukuran
tersebut, digabungkan dengan riwayat pasien. Harus diingat bahwa
pengukuran enzim CK dan CK-MB tetap sebagai parameter berharga dalam
diagnosis AMI.20
28
Keterbatasan AST adalah spesifisitasnya yang rendah terhadap otot
jantung, karena peningkatan kadarnya juga ditemukan pada kerusakan
hati, otot skeletal, paru atau ginjal. Tidak ada isoenzim AST yang spesifik
jantung. Saat ini pemeriksaan isoenzim AST sudah jarang digunakan.19
LDH didapatkan pada semua sel yang bermetabolisme, dan jika sel
rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH serum
total tidak spesifik terhadap suatu jaringan. Yang spesifik terhadap
jaringan tertentu adalah isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH1 sampai
LDH5. LDH1 dan LDH2 ditemukan pada jantung, ginjal, otak dan sel
darah merah. Isoenzim LDH3 ditemukan pada tiroid, kelenjar adrenal,
kelenjar getah bening, pankreas, limpa, timus dan leukosit. Isoenzim
LDH4 dan LDH5 ditemukan pada hati dan otot skeletal.19
29
dan sitosol. Enzim ini memiliki tiga isoenzim: CK-BB (CK1), CK-MB
(CK2), dan CK-MM (CK3). CK-MM adalah bentuk dominan yang
ditemukan di semua jaringan. CK-BB hadir di otak, ginjal, dan
gastrointestinal. CK-MB dapat ditemukan di jantung, otot rangka, usus
kecil, diafragma, rahim, lidah, dan prostat. Sekitar 20% dari total CK di
miokardium dalam bentuk MB, memberikan sensitivitas dan spesifisitas
dalam diagnosis AMI. Ini memiliki rasio 5% pada otot rangka, oleh
karena itu, peningkatan levelnya selama trauma dan peradangan
mengurangi spesifisitasnya. Batasan lain dari CK-MB adalah tidak dapat
mendeteksi kerusakan miokard minor, karena berat molekulnya yang
tinggi.20
d. Myoglobin
30
pertama kali pada tahun 1975. Mioglobin merupakan petanda paling dini
untuk diagnosis IMA. Peningkatan yang lebih awal karena ukuran
molekulnya yang kecil dan cepat menuju sirkulasi tanpa melalui saluran
limfe setelah jejas otot. Mioglobin terdapat dalam serum 1-3 jam setelah
jejas, mencapai puncaknya 4-12 jam dan kembali normal dalam 24-36 jam
karena klirens ginjal yang cepat. Peningkatan kadar mioglobin terdeteksi
lebih dari 2/3 pasien IMA pada 3 jam dan hampir terdeteksi pada semua
pasien IMA pada 6 jam setelah onset nyeri.19
e. Troponin Jantung
31
kira-kira 4-5 kali lebih lama dari pada CKMB, kadar masih dapat
dideteksi hingga 240 jam setelah IMA. Peningkatan yang lama dari
cTnT akan mengganggu diagnosis perluasan IMA atau adanya re-
infark. Pemeriksaan kadar cTnT mempunyai sensitivitas sampai
100% terhadap kerusakan miokard dalam 4-6 jam setelah IMA.
Spesifisitas cTnT dalam diagnosis IMA tinggi, tetapi terdapat
faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa cTnT dilepas dari sel-sel miokard pada ATS (
angina tidak stabil), sehingga mengurangi spesifisitas untuk
diagnosis IMA.19
CardiacTroponin I (cTnI)
Troponin I hanya petanda terhadap jejas miokard, tidak
ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah
trauma atau regenerasi otot skeletal. Troponin I sangat spesifik
terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah orang
sehat dan menunjukkan peningkatan yang tinggi di atas batas atas
pada pasien dengan IMA. Troponin I lebih banyak didapatkan pada
otot jantung daripada CKMB dan sangat akurat dalam mendeteksi
kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada kondisi-kondisi
seperti myokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan
jantung. Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi
kerusakan miokard.19
Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam setelah jejas
miokard, mencapai puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap
meningkat selama 5 sampai 7 hari. Troponin I mempunyai
sensitivitas 100% pada 6 jam setelah IMA. Troponin I adalah
petanda biokimia IMA yang ideal oleh karena sensitivitas dan
spesifisitasnya serta mempunyai nilai prognostik pada ATS.
Petanda biokimia ini tidak dipengaruhi oleh penyakit otot skeletal,
trauma otot skeletal, penyakit ginjal atau pembedahan. Spesifisitas
cTnI terutama sangat membantu dalam mendiagnosis pasien
32
dengan problem fisik yang kompleks. Kekurangan cTnI adalah
lama dalam serum, sehingga dapat menyulitkan adanya re-infark.19
33
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infark miokard akut (Acute myocardial infarct) adalah suatu
kondisi dimana jaringan miokardium mengalami nekrosis dengan kondisi
klinis yang konsisten yaitu terjadinya iskemik miokard akut. Penyebab
IMA 90% disebabkan oleh proses aterosklerosis. Klinis sangat
mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumnya pria
berusia 35-55 tahun, tanpa gejala sebelumnya.
Petanda biokimia yang banyak digunakan adalah mioglobin, CK-
MB isoenzim, dan troponin (T atau I). CKMB sebagai standard emas
diagnosis IMA mempunyai keterbatasan, yaitu tidak kardiospesifik, dapat
meningkat pada trauma otot, tidak cukup sensitif untuk memprediksi IMA
pada 0-4 jam setelah nyeri dada dan tidak mendeteksi jejas pada pasien
dengan onset infark yang lama. Saat ini troponin (T atau I) merupakan
petanda biokimia yang lebih disukai untuk mendeteksi jejas miokard,
karena hampir spesifik absolut jaringan miokard dan mempunyai
sensitivitas yang tinggi, bahkan dapat menunjukkan adanya nekrosis
miokard yang kecil. Adanya nekrosis miokard yang kecil tidak terdeteksi
pada EKG maupun oleh CK-MB dan menunjukkan risiko tinggi IMA dan
kematian mendadak jangka pendek maupun jangka panjang.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J [Internet]. 2012 Oct
1;33(20):2569–619. Available from:
http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ehs215
9. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS
Indonesia. Kosasih A, editor. Jakarta; 2016. 76-96 p.
10. Hamm CW, Heeschen C, Falk E, Fox KAA. Acute Coronary Syndromes,
Pathophysiology, Diagnosis and Risk Stratification. In: Serruys PW,
Camm AJ, Lüscher TF, editors : Cardiovascular Medikine; volume 1; 1st
edition. UK : Blackwell Publishing. 2006. p. 336
11. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes
DR, et al. 2014 AHA/ACC guideline for the management of patients with
non-st-elevation acute coronary syndromes: A report of the American
college of cardiology/American heart association task force on practice
guidelines [Internet]. Vol. 130, Circulation. 2014. 26-8 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1161/CIR.0000000000000134
12. Armstrong PW, Gershlick AH, Goldstein P, Wilcox R, Danays T, Lambert
Y, et al. Fibrinolysis or Primary PCI in ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. N Engl J Med [Internet]. 2013 Mar 10;368(15):1379–87.
Available from: http://dx.doi.org/10.1056/NEJMoa1301092
13. Setianto et al. 2003. Hubungan angka leukosit pada infark miokard akut
dengan kejadian cardiac event selama dirawat di rumah sakit. Bagian llmu
Penyakit DalamISatutn Medik Fungsional Kardiologi Fakultas Kedokteran
Universitas c;adjah MadaIRS Dr. Sardjito Yogyakarta. Berkala llmu
Kedokteran Vol. 35, No. 1, 2003.
14. Alwi, I., 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (Ed. 4), Fakultas Kedokteran UI: Jakarta
15. Jamal,S.2004.Deskripsi Penyakit Sistim Sirkulasi: Penyebab Utama
Kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.pp 5-8 http://
www.scribd.com/doc/20951715/cdk143-kardiovaskuler
37
16. Braunwald, E., Pasternak, R. C., 2000. Infark Miokard Akut dalam
Harrison Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 2 (Ed.13). Asdie, H.,
A., (Alih Bahasa), EGC, Jakarta. h 1202
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010
18. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC; 2007.
19. Nur S, et al. Sensitifitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada DIiagnosis
Infark Miokard Akut. Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2007.
20. Suleyman A et al. Biomarkers in acute myocardial infarction: current
perspectives. Dove Medical Press Journal: Vascular and Health Risk
Management. 2019.
38