Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

“PEMERIKSAAN BIOMARKA JANTUNG PADA INFARK MIOKARD


AKUT”

Pembimbing :
dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP.

Disusun Oleh:
Oki Bambang Hendrawan

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR SOESELO SLAWI
PERIODE 10 AGUSTUS 2020 - 5 SEPTEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

“PEMERIKSAAN BIOMARKA JANTUNG PADA INFARK MIOKARD


AKUT”
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam
Program Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Yang disusun oleh:


Oki Bambang Hendrawan

Telah dipresentasikan dan disetujui :


Hari, tanggal : 3 September 2020
Disahkan oleh dokter pembimbing :

dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP.

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Pemeriksaan Biomarka Jantung Pada Infark Miokard Akut” pada kepaniteraan
bidang Ilmu Penyakit Dalam di RSUD DR. Soeselo, Slawi.
Penulis berharap laporan referat ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai “Pemeriksaan Biomarka Jantung Pada Infark
Miokard Akut” serta salah satunya untuk memenuhi tugas yang diberikan pada
kepaniteraan bidang Ilmu Ilmu Penyakit Dalam di RSUD DR. Soeselo, Slawi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak.
Sehubungan dengan pelaksanaan pembuatan sampai penyelesaian referat ini,
dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada pembimbing yang terhormat
dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Purwokerto, 3 September 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
2.1 Definisi ........................................................................................................2
2.2 Etiologi .........................................................................................................2
2.3 Epidemiologi ................................................................................................3
2.4 Klasifikasi .....................................................................................................3
2.5 Patofisiologi...................................................................................................3
2.6 Manifestasi klinik .........................................................................................4
2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................5
2.8 Diagnosis ......................................................................................................6
2.9 Penatalaksanaan ............................................................................................8
2.10 Komplikasi ...............................................................................................12
2.11 Prognosis ..................................................................................................14
2.12 Pemeriksaan Biomarka jantung.................................................................15
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 35
Kesimpulan .......................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Infark miokard akut (IMA) adalah suatu keadaan dimana otot jantung
mengalami nekrosis akibat tidak seimbangnya kebutuhan dan pemasukan oksigen
yang bersifat mendadak. Penyebab tersering IMA adalah sumbatan koroner,
sehingga aliran darah mengalami gangguan yang diawali dengan hipoksia
miokard.13
IMA merupakan salah satu diagnosis penyakit jantung yang membutuhkan
rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal yaitu selama kurang
lebih 30 hari pada IMA yaitu 30% atau bisa diartikan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas terus menurun hingga mencapai 30% dalam 2
dekade terakhir, 1 diantara 25 seluruh pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, akan mengalami kematian di tahun pertama setelah IMA.14
Data epidemiologis tingkat nasional tentang laporan studi mortalitas pada
tahun 2001 oleh Survei Kesehatan Nasional menunjukkan penyebab kematian
nomor 1 di Indonesia adalah penyakit kardiovaskular yaitu 26,39%.15
Diagnosis IMA didasarkan atas didapatkannya dua atau lebih dari 3
kriteria yaitu: adanya nyeri dada, perubahan elektrokardiografi (EKG) dan
peningkatan petanda biokimia. Tetapi kriteria diagnostik ini mempunyai
keterbatasan. Banyak pasien salah didiagnosis sebagai IMA atau sebaliknya,
didiagnosis bukan IMA. Pada tulisan ini akan dibahas pemeriksaan biomarka
jantung pada infark miokard

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Infark miokard akut (Acute myocardial infarct) adalah suatu kondisi
dimana jaringan miokardium mengalami nekrosis dengan kondisi klinis
yang konsisten yaitu terjadinya iskemik miokard akut. Penyebab IMA
90% disebabkan oleh proses aterosklerosis. Usia, jenis kelamin laki-laki
dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner termasuk dalam
faktor resiko yang tidak dapat diubah. Selain itu, faktor risiko yang dapat
diubah diantaranya pola gaya hidup yang belum sehat, kebiasaan merokok,
obesitas, kadar gula darah yang tidak normal, dan hipertensi.
2.2 ETIOLOGI
IMA terjadi ketika iskemia berlangsung pada miokardium. IMA
berat biasanya terjadi akibat metabolisme miokard yang meningkat, atau
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui sirkulasi
koroner, atau keduanya. Gangguan dalam suplai oksigen miokard dan
nutrisi juga dapat terjadi ketika thrombus lepas dalam plak aterosklerosis
ulserasi sehingga oklusi koroner terjadi.
Stenosis arteri koroner (>75%) penyebabnya adalah aterosklerosis
atau stenosis dinamis yang terkait dengan vasospasme koroner. Sehingga
dapat menyebabkan pengurangan pasokan oksigen dan nutrisi sehingga
menimbulkan infark miokard.
Kondisi lain yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme
miokard yaitu kegiatan fisik yang sifatnya terlalu ekstrim, hipertensi berat,
dan stenosis katup aorta.
Patologi katup jantung lainnya dan curah jantung rendah yang
berhubungan dengan penurunan tekanan aorta, sehingga merupakan
komponen utama dari tekanan perfusi koroner, yang nantinya dapat
memicu infark miokard.

2
2.3 EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004
mengungkapkan, Infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab
kematian utama di dunia. Kematian sebanyak 7.200.000 jiwa atau setara
dengan 12,2% terjadi akibat penyakit ini. IMA terjadi ketika otot jantung
mengalami nekrosis ireversibel sehingga nantinya menyebabkan iskemia
berkepanjangan.1
Angka mortalitas di Amerika Serikat tahun 2013 dengan akibat
penyakit kardiovaskular mencapai 222,9 jiwa per 100.000 penduduk.
Sementara 1 dari 7 total kematian di Amerika Serikat, penyebabnya hanya
penyakit jantung koroner.6
Sedangkan Tiongkok, prevalensi pasien yang dirawat inap karena
STEMI mengalami peningkatan dari 3,5 per 100.000 tahun 2011 menjadi
15,4 per 100.000 pada tahun 2011.2

2.5 KLASIFIKASI
Infark Miokard Akut berdasar EKG 12 sadapan terbagi menjadi 2
klasifikasi:
1) NSTEMI (Non ST-segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi parsial A. Coroner akibat trombus dari plak atherosklerosis,
namun tidak disertai adanya elevasi segmen ST pada EKG.7
2) STEMI (ST-segmen Elevasi Miokard Infark)
Oklusi total pada A. Coroner yang menyebabkan area infark yang
lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
adanya elevasi segmen ST pada EKG6

2.6 PATOFISIOLOGI
Sebagian besar IMA adalah manifestasi akut akibat plak ateroma
pembuluh darah koroner yang pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Selanjutnya, terjadi proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.

3
Sehingga terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus tersebut akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total atau parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal.
Pelepasan zat vasoaktif juga terjadi yang nantinya menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu akibat oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis
dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, ada gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel).5

4
5
2.6 MANIFESTASI KLINIK(17,18)
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang
dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau
hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan
angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA

6
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya
dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan
pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga
sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada
pasien berusia lanjut.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Elektrokardiogram
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pertama kali untuk menegakkan diagnosis pada pasien
dengan nyeri dada akut dalam 10 menit yang dimulai sejak pasien
datang di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Gelombang T yang tinggi dan elevasi ST adalah presentasi EKG yang
terlihat sejak awal onset nyeri. Munculnya gelombang Q akan terlihat
setelah 6 jam kemudian.
Infark miokard pada dinding inferior akan terlihat pada lead II,III dan
aVF, dinding anterior pada lead V1-V4, dan dinding anterolateral
pada lead I, aVL, V5-V6. Infark pada ventrikel kanan dapat
didiagnosis menggunakan EKG pada V3r dan V4r. EKG sisi kanan
harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan.
Pada sebagian kecil pasien dengan nyeri dada dan infark miokard
yang berkembang (sekitar 5%), EKG menunjukkan blok berkas
cabang (biasanya kiri). Hal ini umumnya terkait dengan infark
anterior yang luas dan prognosis yang buruk.
 Ekokardiografi
Ekokardiografi sangat membantu untuk deteksi nyeri dada kardiak
dan telah direkomendasikan sebagai lini pertama untuk mengukur
Regional Wall Motion Abnormality (RWMA) dan Fraksi Ejeksi
Ventrikel Kiri (FEVK). FEVK dikategorikan menjadi meningkat

7
(FEVK > 75%), normal (FEVK 50-75%), menurun (FEVK30-
49%) dan sangat menurun (FEVK <30%)
 Biomarkers
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah
Creatinin Kinase isoenzym Myoglobin (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
CKMB meningkat setelah 3 jam dan mencapai puncak dalam 10–
24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari, cTn (T dan I)
meningkat setelah 2 jam dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-15 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung lain yaitu mioglobin
dan Lactic dehydrogenase (LDH). Pada beberapa dekade terakhir,
troponin jantung telah diganti dengan penanda biologis dalam
deteksi nekrosis miokard yang berdasarkan pada sensitivitas dan
spesifisitas. Setiap pasien yang menunjukkan troponin dengan
kenaikan yang khas dan penurunan bertahap yang berhubungan
dengan gejala-gejala iskemik atau perubahan EKG harus
didiagnosis dengan pasti telah memiliki infark miokard. Troponin
kompleks merupakan bagian integral dari miofibril jantung yang
dilepaskan setelah kerusakan miokardium. Dua komponen regulasi,
troponin I dan T, dirilis oleh mikro-infark miokard, perifer dapat
dideteksi, menunjukkan bahwa nekrosis miokard telah terjadi. Sifat
khusus mereka, troponin jantung sangat sensitif, dengan deteksi
tinggi yang terjadi setelah nekrosis.

2.8 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi
ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung
terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis.17
b. Pemeriksaan Fisik

8
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.17
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat
implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan
jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB.17
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.17
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung
yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH) Reaksi non spesifik terhadap injuri
miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.17
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu

9
10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal
tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI
inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.17

2.9 PENATALAKSAAN

Penatalaksanaan infark miokard akut (acute myocardial infarct)


harus dilakukan secara cepat, karena IMA masuk ke dalam kategori
kegawatdaruratan medis. Diagnosis kerja dibutuhkan secepatnya untuk
segera memulai tata laksana inisial. Pasien harus segera dilakukan
pemeriksaan EKG dan enzim jantung. Pasien harus dipasangi monitor dan
diawasi karena pada tahap awal terjadinya infark miokard, dapat terjadi
henti jantung yang disebabkan oleh fibrilasi ventrikel.8

Tata Laksana Awal


Setelah diagnosis kerja ditegakkan secepatnya maka tatalaksana awal yang
dilakukan tidak berbeda dengan sindroma koroner akut yaitu:
 Pemberian oksigen
Oksigen hanya diberikan bila ada tanda hipoksia dan saturasi oksigen
dipertahankan 93-96%.
 Pemberian analgesik
Nitrat sublingual atau spray dapat diberikan dalam interval 3-5 menit
namun tidak diberikan bila keadaan hipotensi. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg secara intravena dan dapat diulang dalam 5-10
menit.
 Pemberian antiplatelet
Dosis inisial aspirin adalah 160-320 mg yang pada umumnya
sediaannya dapat dikunyah, sedangkan dosis klopidogrel inisial adalah

10
300-600 mg. Selanjutnya, bisa diberikan aspirin 80 mg per hari dan
klopidogrel 75 mg per hari.[1, 11]

TERAPI IMA NSTEMI


Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan
strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasive
melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat
risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan
berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi
(very high risk) (Tabel 10)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu
kriteria risiko tinggi (high risk) primer (Tabel 11)
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
atau dengan gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
(Kelas III-A)
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara
rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko
tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria
berikut ini:
• Nyeri dada tidak berulang
• Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
• Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-
6 hingga 9)
• Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6
hingga 9)
• Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

11
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI
juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi
konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan
evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk
menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan
pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk Score >3 menurut
TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.
Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.

TERAPI FARMAKOLOGIS YANG DIPAKAI5


1. Anti Iskemia
A. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale,
dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral
cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta
direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat
indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan
dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien
dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan
SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III
(Kelas I-B). Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam
praktek klinik dapat dilihat pada tabel 12.

12
2. Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari
nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis.
A. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina (Kelas I-C).
B. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
C. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
D. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50
kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark
ventrikel kanan (Kelas III-C).
E. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48

13
jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil
belum dapat ditentukan (Kelas III-C).

3. Calcium channel blockers (CCBs)5


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
1) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas
III-B).

14
5. Antiplatelet5
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan
(Kelas I-A).
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih (Kelas I-A).
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-
C).
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan) (Kelas I-B).

15
f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
g. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas I-B).
h. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
i. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG),
perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah
penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi
(Kelas IIa-C).
j. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-
B).
k. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2
selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan
jenis stent.

TATA LAKSANA IMA STEMI5


1. PERAWATAN GAWAT DARURAT

16
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga
seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG
perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.
Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan
interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba
untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal
pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung
menunjukkan perlunya tindakan segera.
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi
reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin
pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan
IKP primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari)
serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak
panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut
ini:
1) Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
Menit
2) Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit

17
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke
rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

2. TERAPI REPERFUSI5
Tujuan penanganan infark miokard akut (acute myocardial infarct) adalah untuk
mengembalikan perfusi sesegera mungkin. Pada kasus NSTEMI, terapi
reperfusi dapat ditunda sesuai dengan stratifikasi risiko. Namun pada kasus
STEMI dengan onset kurang dari 12 jam, terapi reperfusi secara mekanik atau
farmakologis harus dilakukan secepatnya. Sesuai panduan yang dikeluarkan
oleh European Society of Cardiology (ESC), berdasarkan onset serangannya,
terapi reperfusi dilakukan pada keadaan infark miokard akut sebagai berikut:
 Kurang 12 jam

Pada pasien yang datang dengan onset keluhan kurang dari 12 jam,
terapi reperfusi dilakukan pada seluruh pasien dengan gejala dan elevasi
segmen ST dan LBBB baru yang persisten.

 Lebih dari 12 jam dan terdapat proses iskemik yang sedang berlangsung

Pada pasien yang datang setelah 12 jam dari onset, maka dapat
diutamakan untuk dilakukan primary PCI.
Pada pasien yang datang dalam rentang 12 – 24 jam setelah onset, PCI
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien yang kondisinya
stabil.8

Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan


apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian

18
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

A. Intervensi koroner perkutan primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan
bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih
disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak
disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare
metal stents (BMS)
3. Terapi fibrinolitik5
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama (Kelas I-A).
Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat
darurat. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)

19
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-
B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-
A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat
berupa:
1) Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi) (Kelas I-A).
2) Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3) Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas
IIa-B). Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu
melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas
I-A). IKP “rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu
resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus
dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang
berhasil (Kelas I-B).
Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya
fibrinolysis inisial (Kelas I-A).
Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A).
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang
berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).

20
Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI5
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12
jam dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan
yang mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2:
Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk
kasus tersebut. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa
penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.

Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

21
 Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasive
 Strategi invasif tidak dapat dilakukan
 Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
 Kesulitan mendapatkan akses vaskular
 Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
 Transportasi bermasalah
 Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
 Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih
dari 90 menit

Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:


 Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
kurang dari 90 menit
 Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
 Risiko tinggi STEMI
 Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
 Syok kardiogenik
 Kelas Killip ≥ 3
 Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intracranial
 Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
 Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

22
6. Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI)
Primary Percutaneous Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan
utama dalam terapi reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan
pPCI maka risiko perdarahan akibat fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko
perdarahan intrakranial dapat meningkat pada pemberian fibrinolisis.12

23
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
 Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak
dengan petugas medis
 Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok
kardiogenik, kecuali pada  kondisi yang diakibatkan oleh
keterlambatan prosedur PCI.8
Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:
 Diutamakan pemasangan stent pada semua kasus dibandingkan
hanya dengan angioplasti dengan balon.
 Tindakan primary PCI hanya terbatas pada pembuluh darah
yang memiliki lesi, kecuali bila dibarengi syok kardiogenik
atau iskemik yang menetap setelah PCI.
 Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan
dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
 Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan
 Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan
 Penggunaan rutin intraaortic baloon pump (IABP) selain pada
syok kardiogenik tidak direkomendasikan. 8
7. Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Tidak banyak pasien dengan infark miokard akut (acute myocardial
infarct) yang membutuhkan tindakan coronary artery bypass
grafting (CABG). CABG diindikasikan pada pasien dengan kelainan
anatomis dan tidak dapat dilakukan PCI serta pasien dengan komplikasi
gangguan mekanik pada jantung.
 Kriteria Rujukan
Terapi reperfusi pada umumnya tidak dapat dilakukan oleh dokter layanan
primer. Bila pasien diterima di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas
terapi reperfusi harus segera dirujuk ke fasilitas yang memadai. Rujukan
harus dipertimbangkan demi target tata laksana reperfusi yang terbaik.

24
 Bila pasien didiagnosa infark miokard di rumah sakit yang
memiliki fasilitas pPCI, maka dilakukan pPCI dalam kurang dari
60 menit
 Pasien di fasilitas tanpa pPCI, bila memungkinkan dirujuk ke
rumah sakit dengan pPCI yang waktu tempuhnya kurang dari 120
menit
 Bila tidak terdapat fasilitas pPCI dengan waktu tempuh kurang dari
120 menit, lakukan terapi reperfusi segera dalam waktu kurang dari
30 menit, lalu rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas pPCI. Bila
terapi fibrinolisis tidak berhasil, segera lanjutkan dengan tindakan
pPCI. Bila berhasil maka dilakukan angiografi.8

2.10 KOMPLIKASI
 Aritmia
Aritmia setelah infark miokard memiliki bentuk yang bervariasi,
termasuk aritmia ventrikel yang merupakan penyebab utama kematian
mendadak, gangguan sistem konduksi, dan aritmia atrium. Hampir 90
persen pasien mengalami aritmia setelah infark akut. Takiaritmia
ventrikel dapat ditemukan pada 67% kasus dalam 12 jam pertama
infark miokard akut, fibrilasi ventrikel terjadi sekitar 4.5% dengan
kejadian terbesar pada satu jam pertama dan fibrilasi atrium terjadi
pada sekitar 5-10% pasien pasca infark, terutama pada pasien yang
lebih tua dengan gagal jantung.10
 Kematian Jantung Mendadak
Kematian mendadak terjadi pada 25% pasien setelah infark miokard
akut dan sering terjadi sebelum pasien sampai ke rumah sakit. Proporsi
kematian akibat penyakit jantung iskemik yang tiba-tiba hampir 60%.
 Syok Kardiogenik
Gagal jantung setelah infark miokard akan menyebabkan kongesti paru
sehingga terjadi hipoperfusi organ yang mendalam, ini disebut syok
kardiogenik. Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%),
sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang

25
berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri
koroner multivesel.
 Ruptur Dinding Ventrikel
Insiden rupture dinding ventrikel kiri terjadi antara 10-20%, pasien
yang mengalami infark pertama kali akan mengalami ruptur sekitar
18%. Ruptur dinding ventrikel kiri tujuh kali lebih sering daripada
ruptur ventrikel kanan.
 Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan adalah komplikasi dari infark miokard inferior.
Studi menunjukkan infark ventrikel kanan mencapai 14-60% pada
pasien yang meninggal dengan infark miokard inferior. Infark
ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.
 Efusi Perikardial dan Perikarditis
Efusi perikardial dilaporkan pada 25% pasien dengan infark miokard
akut dan lebih sering terjadi pada pasien dengan infark miokard
anterior, infark yang luas, dan gagal jantung kongestif. Perikarditis
dapat terlihat pada area yang mengalami nekrosis. Perikarditis timbul
sejak hari pertama sampai 6 minggu pasca infark, sedangkan efusi
perikardial setelah infark miokard membutuh waktu beberapa bulan
untuk diserap kembali.
 Gagal Jantung Kongestif
Pasien dengan infark miokard akut yang luas dan iskemia yang
persisten memungkinkan terjadinya gagal jantung. Terjadinya gagal
jantung akut telah lama diakui sebagai prediktor kuat untuk
meningkatkan morbiditas dan mortalitas setelah terjadi infark miokard.
 Aneurisma Ventrikel Kiri
Akibat infark miokard akut terjadi penipisan dan pelebaran dinding
ventrikel kiri di sisi otot jantung yang nekrosis akibat tak adanya aliran
darah ke daerah tersebut.
 Thrombus Mural dan Emboli

26
Thrombus terjadi oleh karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
dari turbelensi akibat lambatnya alian darah di ventrikel kiri serta
atrium kiri. Thrombus yang lepas dinamakan emboli. Apabila emboli
ini lepas dari ventrikel kiri maka paling sering mengakibatkan
terjadinya stroke iskemik dan penyakit arteri peifer (seperti: akut limb
iskemia).

2.11 PROGNOSIS
Prognosis IMA ditentukan melalui klasifikasi Killip. Klasifikasi ini dinilai
berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru
dan syok kardiogenik
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
1 Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
2 +S3 dan atau ronki basah 17
3 Edema paru 30-40
4 Syok kardiogenik 60-80

27
2.12 Pemeriksaan Biomarka Jantung

Petanda Biokimia Jantung Pada Infark Miokard

Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik. Profil kadar petanda biokimia terhadap waktu pengambilan di sirkulasi
perifer bergantung pada berat molekulnya, lokasi dalam sel dan karakteristik
pelepasannya dan kecepatan aliran vaskuler atau limfatik dan klirens sistemik.
Protein-protein intraseluler ini meliputi aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzime MB (CK-MB), myoglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT).19

Secara historis, enzim AST dan LDH pertama kali digunakan dalam
diagnosis AMI. Namun, karena enzim ini tidak memiliki karakteristik penanda
jantung yang ideal, enzim ini ditinggalkan begitu saja. Namun, karena
pengukuran di rumah sakit mana pun terbatas dan mudah, mereka memiliki
kapasitas untuk memberikan gambaran kepada dokter kapan pengukuran
tersebut, digabungkan dengan riwayat pasien. Harus diingat bahwa
pengukuran enzim CK dan CK-MB tetap sebagai parameter berharga dalam
diagnosis AMI.20

a. Aspartate Aminotransferase (AST)

pada tahun 1954 bahwa AST (sebelumnya disebut


glutamat oxaloacetate transaminase) yang dilepaskan dari miosit jantung
nekrotik ke sirkulasi dapat membantu dalam mendiagnosis AMI. Ini
adalah
biomarker pertama yang digunakan dalam diagnosis AMI, tetapi tidak lagi
digunakan saat ini karena tidak spesifik untuk jantung. Namun, usia enzim
dalam diagnosis AMI dalam kardiologi telah dimulai. Hanya 1 tahun
setelah
pernyataan bahwa AST dapat membantu mendiagnosis AMI, LDH
dianggap sebagai penanda yang berguna dalam diagnosis AMI.20

28
Keterbatasan AST adalah spesifisitasnya yang rendah terhadap otot
jantung, karena peningkatan kadarnya juga ditemukan pada kerusakan
hati, otot skeletal, paru atau ginjal. Tidak ada isoenzim AST yang spesifik
jantung. Saat ini pemeriksaan isoenzim AST sudah jarang digunakan.19

b. Lactate Dehidrogenase (LDH)

LDH didapatkan pada semua sel yang bermetabolisme, dan jika sel
rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH serum
total tidak spesifik terhadap suatu jaringan. Yang spesifik terhadap
jaringan tertentu adalah isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH1 sampai
LDH5. LDH1 dan LDH2 ditemukan pada jantung, ginjal, otak dan sel
darah merah. Isoenzim LDH3 ditemukan pada tiroid, kelenjar adrenal,
kelenjar getah bening, pankreas, limpa, timus dan leukosit. Isoenzim
LDH4 dan LDH5 ditemukan pada hati dan otot skeletal.19

Serum biasanya mengandung sejumlah kecil LDH1 dan sedikit


lebih banyak LDH2. Setelah IMA, kadar LDH1 serum meningkat.
Peningkatan terjadi 12 sampai 24 jam setelah IMA dan mungkin persisten
selama 12 hari. Dari 5 subunit LDH yang ada, dua isoenzim jantung,
LDH1 dan LDH2, tidak spesifik otot jantung, karena keduanya juga
meningkat pada anemia pernisiosa, kerusakan ginjal akut dan hemolisis.
Pada saat ini pemeriksaan isoenzim LDH sudah jarang digunakan.19

Penggunaan LDH hanya untuk membedakan IM akut dan subakut


pada pasien yang sampai di rumah sakit di tahap akhir gangguan, dengan
troponin positif yang nilai CK dan CK-MB-nya telah kembali ke tingkat
normal.20

d. Creatine Kinasi (CK) dan Creatine Kinase Isoenzyme MB (CK-MB)


CK adalah enzim yang mengkatalisis transformasi reversibel
kreatin dan ATP menjadi kreatin fosfat dan ADP. Pengukuran aktivitas
CK dianggap sebagai prediktor yang lebih baik untuk kerusakan otot
jantung dan parameter yang sangat diperlukan dari laboratorium dalam
diagnosis AMI selama 20 tahun. CK terlibat dalam sel otot mitokondria

29
dan sitosol. Enzim ini memiliki tiga isoenzim: CK-BB (CK1), CK-MB
(CK2), dan CK-MM (CK3). CK-MM adalah bentuk dominan yang
ditemukan di semua jaringan. CK-BB hadir di otak, ginjal, dan
gastrointestinal. CK-MB dapat ditemukan di jantung, otot rangka, usus
kecil, diafragma, rahim, lidah, dan prostat. Sekitar 20% dari total CK di
miokardium dalam bentuk MB, memberikan sensitivitas dan spesifisitas
dalam diagnosis AMI. Ini memiliki rasio 5% pada otot rangka, oleh
karena itu, peningkatan levelnya selama trauma dan peradangan
mengurangi spesifisitasnya. Batasan lain dari CK-MB adalah tidak dapat
mendeteksi kerusakan miokard minor, karena berat molekulnya yang
tinggi.20

Sejak tahun 1960 pemeriksaan CK-MB isoenzim telah diterima


secara luas sebagai standard emas untuk penetapan diagnosis IMA.
Sampai saat ini CK-MB masih direkomendasikan sebagai protein petanda
IMA. Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan antibodi monoclonal
telah merubah pengukuran pengukuran CK-MB kualitatif menjadi CK-MB
kuantitatif (mass) yang lebih spesifik untuk nekrosis otot jantung. CK-MB
terlepas dalam sirkulasi setelah IMA, paling cepat terdeteksi 3-4 jam
setelah onset gejala dan tetap meningkat kira-kira 65 jam pasca infark.
CKMB mass dilaporkan pada 50% diagnosis IMA setelah 3 jam pasca
onset dan lebih dari 90% setelah 6 jam. Meskipun demikian CK-MB mass
mempunyai keterbatasan yang dapat menyebabkan berkurangnya
penggunaan enzim tersebut pada beberapa dekade ke depan. Peningkatan
kadar CKMB secara bermakna didapatkan pada pasien dengan trauma otot
skeletal akut (59%), penyakit otot kronik (78%), dan gagal ginjal kronik
(3,8%).19

d. Myoglobin

Mioglobin adalah protein heme berukuran kecil (berat molekul


17,8 kDa) yang membawa oksigen yang terdapat pada sel-sel otot skeletal
dan jantung. Mioglobin merupakan 2% dari protein otot total dan terdapat
dalam sitoplasma. Hubungan antara mioglobinemia dan IMA dilaporkan

30
pertama kali pada tahun 1975. Mioglobin merupakan petanda paling dini
untuk diagnosis IMA. Peningkatan yang lebih awal karena ukuran
molekulnya yang kecil dan cepat menuju sirkulasi tanpa melalui saluran
limfe setelah jejas otot. Mioglobin terdapat dalam serum 1-3 jam setelah
jejas, mencapai puncaknya 4-12 jam dan kembali normal dalam 24-36 jam
karena klirens ginjal yang cepat. Peningkatan kadar mioglobin terdeteksi
lebih dari 2/3 pasien IMA pada 3 jam dan hampir terdeteksi pada semua
pasien IMA pada 6 jam setelah onset nyeri.19

Keterbatasan mioglobin adalah tidak spesifik untuk otot jantung.


Peningkatan kadar juga ditemukan pada penyakit otot, syok dan gagal
ginjal dan setelah olah raga yang berlebihan. Operasi by pass jantung dan
konsumsi alcohol berat juga meningkatkan kadar mioglobin. Faktor ras,
seks dan usia juga mungkin mempengaruhi kadar normal mioglobin.
Kadar mioglobin meningkat sesuai dengan usia lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan. Kontroversi lain adalah tentang kadar mioglobin
yang menunjukkan adanya IMA, dengan rentang rujukan 50 sampai 120
µg/mL. Karena variabel-variabel ini, maka sensitivitas dan spesifisitas uji
mioglobin juga bervariasi, tergantung pada kriteria definisi diagnosis
IMA.19

e. Troponin Jantung

Saat ini troponin (T atau I) adalah petanda biokimia yang lebih


dipilih untuk jejas miokard.19

 Cardiac Troponin T (cTnT)


Troponin T didapatkan dalam jejas otot, pada penyakit otot
(misal polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini
dapat mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot
jantung.
Setelah jejas miokard peningkatan kadar cTnT terdeteksi
kira-kira bersamaan dengan CK-MB, dengan kadar yang dapat
dideteksi 3 sampai 4 jam setelah IMA. Troponin T tetap meningkat

31
kira-kira 4-5 kali lebih lama dari pada CKMB, kadar masih dapat
dideteksi hingga 240 jam setelah IMA. Peningkatan yang lama dari
cTnT akan mengganggu diagnosis perluasan IMA atau adanya re-
infark. Pemeriksaan kadar cTnT mempunyai sensitivitas sampai
100% terhadap kerusakan miokard dalam 4-6 jam setelah IMA.
Spesifisitas cTnT dalam diagnosis IMA tinggi, tetapi terdapat
faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa cTnT dilepas dari sel-sel miokard pada ATS (
angina tidak stabil), sehingga mengurangi spesifisitas untuk
diagnosis IMA.19

 CardiacTroponin I (cTnI)
Troponin I hanya petanda terhadap jejas miokard, tidak
ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah
trauma atau regenerasi otot skeletal. Troponin I sangat spesifik
terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah orang
sehat dan menunjukkan peningkatan yang tinggi di atas batas atas
pada pasien dengan IMA. Troponin I lebih banyak didapatkan pada
otot jantung daripada CKMB dan sangat akurat dalam mendeteksi
kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada kondisi-kondisi
seperti myokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan
jantung. Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi
kerusakan miokard.19
Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam setelah jejas
miokard, mencapai puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap
meningkat selama 5 sampai 7 hari. Troponin I mempunyai
sensitivitas 100% pada 6 jam setelah IMA. Troponin I adalah
petanda biokimia IMA yang ideal oleh karena sensitivitas dan
spesifisitasnya serta mempunyai nilai prognostik pada ATS.
Petanda biokimia ini tidak dipengaruhi oleh penyakit otot skeletal,
trauma otot skeletal, penyakit ginjal atau pembedahan. Spesifisitas
cTnI terutama sangat membantu dalam mendiagnosis pasien

32
dengan problem fisik yang kompleks. Kekurangan cTnI adalah
lama dalam serum, sehingga dapat menyulitkan adanya re-infark.19

33
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infark miokard akut (Acute myocardial infarct) adalah suatu
kondisi dimana jaringan miokardium mengalami nekrosis dengan kondisi
klinis yang konsisten yaitu terjadinya iskemik miokard akut. Penyebab
IMA 90% disebabkan oleh proses aterosklerosis. Klinis sangat
mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumnya pria
berusia 35-55 tahun, tanpa gejala sebelumnya.
Petanda biokimia yang banyak digunakan adalah mioglobin, CK-
MB isoenzim, dan troponin (T atau I). CKMB sebagai standard emas
diagnosis IMA mempunyai keterbatasan, yaitu tidak kardiospesifik, dapat
meningkat pada trauma otot, tidak cukup sensitif untuk memprediksi IMA
pada 0-4 jam setelah nyeri dada dan tidak mendeteksi jejas pada pasien
dengan onset infark yang lama. Saat ini troponin (T atau I) merupakan
petanda biokimia yang lebih disukai untuk mendeteksi jejas miokard,
karena hampir spesifik absolut jaringan miokard dan mempunyai
sensitivitas yang tinggi, bahkan dapat menunjukkan adanya nekrosis
miokard yang kecil. Adanya nekrosis miokard yang kecil tidak terdeteksi
pada EKG maupun oleh CK-MB dan menunjukkan risiko tinggi IMA dan
kematian mendadak jangka pendek maupun jangka panjang.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Zafari A. Myocardial Infarction [Internet]. Medscape. 2015 [cited 2016


Jan 21]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/155919-
overview
2. Li J, Li X, Wang Q, Hu S, Wang Y, Masoudi FA, et al. ST-segment
elevation myocardial infarction in China from 2001 to 2011 (the China
PEACE-Retrospective Acute Myocardial Infarction Study): a retrospective
analysis of hospital data. Lancet [Internet]. 2015 Feb 6;385(9966):441–51.
Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673614609211
3. Burke, A.P., et al. Patophysiology of Myocardial Infarction. Med Clin N
Am, 2007. 91: 533-72. https://doi.org/10.1016/j.mcna.2007.03.005
4. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD.
Third Universal Definition of Myocardial Infarction. Circulation
[Internet]. 2012 Aug 24; Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/08/23/CIR.0b013e31826e10
58.abstract
5. PERKI. 2018. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut edisi
Keempat. Jakarta
6. Harun S, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo
AW, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006.
Ilmu penyakit dalam Edisi ke 5. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal:1757-1766.
7. Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam:
Sudoyo AW, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati
Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam Edisi ke 5. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal:1741-
1757.
8. Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Lundqvist CB, Borger MA, et al.
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevationThe Task Force on the
management of ST-segment elevation acute myocardial infarction of the

36
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J [Internet]. 2012 Oct
1;33(20):2569–619. Available from:
http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ehs215
9. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS
Indonesia. Kosasih A, editor. Jakarta; 2016. 76-96 p.
10. Hamm CW, Heeschen C, Falk E, Fox KAA. Acute Coronary Syndromes,
Pathophysiology, Diagnosis and Risk Stratification. In: Serruys PW,
Camm AJ, Lüscher TF, editors : Cardiovascular Medikine; volume 1; 1st
edition. UK : Blackwell Publishing. 2006. p. 336
11. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes
DR, et al. 2014 AHA/ACC guideline for the management of patients with
non-st-elevation acute coronary syndromes: A report of the American
college of cardiology/American heart association task force on practice
guidelines [Internet]. Vol. 130, Circulation. 2014. 26-8 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1161/CIR.0000000000000134
12. Armstrong PW, Gershlick AH, Goldstein P, Wilcox R, Danays T, Lambert
Y, et al. Fibrinolysis or Primary PCI in ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. N Engl J Med [Internet]. 2013 Mar 10;368(15):1379–87.
Available from: http://dx.doi.org/10.1056/NEJMoa1301092
13. Setianto et al. 2003. Hubungan angka leukosit pada infark miokard akut
dengan kejadian cardiac event selama dirawat di rumah sakit. Bagian llmu
Penyakit DalamISatutn Medik Fungsional Kardiologi Fakultas Kedokteran
Universitas c;adjah MadaIRS Dr. Sardjito Yogyakarta. Berkala llmu
Kedokteran Vol. 35, No. 1, 2003.
14. Alwi, I., 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (Ed. 4), Fakultas Kedokteran UI: Jakarta
15. Jamal,S.2004.Deskripsi Penyakit Sistim Sirkulasi: Penyebab Utama
Kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.pp 5-8 http://
www.scribd.com/doc/20951715/cdk143-kardiovaskuler

37
16. Braunwald, E., Pasternak, R. C., 2000. Infark Miokard Akut dalam
Harrison Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 2 (Ed.13). Asdie, H.,
A., (Alih Bahasa), EGC, Jakarta. h 1202
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010
18. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC; 2007.
19. Nur S, et al. Sensitifitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada DIiagnosis
Infark Miokard Akut. Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2007.
20. Suleyman A et al. Biomarkers in acute myocardial infarction: current
perspectives. Dove Medical Press Journal: Vascular and Health Risk
Management. 2019.

38

Anda mungkin juga menyukai