Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

KRISIS TIROID

Disusun oleh :
dr. Aladin

Pembimbing :
dr. Mohd. Faisyal Reza, Sp.PD

Pendamping :
dr. Ade Fitra
dr. Tiara Amalliyah

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RUMAH SAKIT BADAN PENGUSAHAAN BATAM

2019
DAFTAR ISI

COVER 1

DAFTAR ISI 2

BAB I. STATUS PASIEN 3

Anamnesis 3
Pemeriksaan fisik 5
Penunjang 8
Diagnosis 10
Penatalaksanaan 10
Follow Up 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 17

Definisi 17

Etiologi 18

Patofisiologi 19

Manifestasi klinis 21

Diagnosis 24

Penatalaksanaan 30

Komplikasi 39

Prognosis 39

Pencegahan 40

Kesimpulan 41

BAB III. PEMBAHASAN 42

2
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas

Nama : Ny. N

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku : Batak

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Ruang Rawat : Teratai

Tanggal Masuk : 22September 2019

Tanggal Pulang : 27 September 2019

B. Keluhan Utama

Dada terasa berdebar-debar sejak 1 minggu terakhir.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSBP dengan keluhan dada terasa berdebar-

debar sejak 1 minggu SMRS dan memberat hingga sulit beraktifitas

sejak 1 hari SMRS. Rasa berdebar hilang timbul tanpa dipengaruhi

oleh aktifitas dan semakin lama semakin sering dan sulit hilang. Rasa

berdebar diikuti dengan demam dan lemas yang timbul 1 hari SMRS.

Selainitu, sejak 2 bulan yang lalu pasien mengaku kedua tangan sering

3
bergetar sehingga sulit untuk memegang sesuatu. Pasien juga merasa

mudah lelah, sering keringat berlebih di seluruh tubuh, berat badan

turun padahal frekuensi dan porsi makan yang dikonsusmsi meningkat,

pasien hampir setiap hari susah tidur dan gelisah. Semenjak muncul

keluhan tsb, pasien sudah tidak berjualan lagi di pasar, karena

walaupun sudah beristriahat, keluhan dada berdebar tidak reda dan

keluhan masih menetap. Selama observasi di IGD pasien mengalami

muntah 2 kali dengan isi makan dan air. Diare disangkal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat tuberkulosis : disangkal

 Riwayat DM : disangkal

 Riwayat sakit jantung : disangkal

 Riwayat asma : disangkal

 Riwayat alergi : disangkal

 Riwayat operasi :disangkal

 Riwayat hipertiroid : tidakdiketahui

 Riwayat tekanan darah tinggi :Pasien mengaku baru 2 bulan ini

mengetahui terdapat hipertensi saat berobat ke klinik

E. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat hipertensi :+

4
 Riwayat Diabetes melitus : disangkal

 Riwayat penyakittiroid : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai pedagang dipasar. Biaya pengobatan

menggunakan Askes. Kesan ekonomi cukup.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Tanggal 22/9/19 di IGD

1. Kesan umum : TampakGelisah


2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
3. Tanda vital :
 Tekanan Darah : 150/80 mmHg
 Nadi : 147 x/menit, regular, isicukup
 Pernafasan : 30 x /menit
 SpO2 : 98%
 Suhu :38,8 ̊C (aksila)

Pemeriksaan HasilPemeriksaan
Kulit warna sawo matang, turgor (-), ikterik (-), kulit
bergelambir (-), hipertrofi otot (-)

Kepala
 Bentuk Mesocephal
 Rambut Warnahitam keputih-putihan, distribusimerata,
tidakmudahdicabut
Mata Pupil Isokor, Mata cekung (-),Konjungtiva
Anemis(-/-), Sklera Ikterik (-/-) , Reflek Pupil (+/+),

5
Eksoftalmus (-/-), Lid-Lag Retraction (-/-)
Telinga BentukNormal, PembesaranKGB Retroaurikula(-/-),
Discharge (-/-), Gangguan Fungsi Pendengaran (-/-)
Hidung Epistaksis (-),Bentuk normal, septum deviasi(-),
Mulut Gusi Berdarah (-), Bibir Kering (-), Lidah
Kotor(-),Stomatitis (-).
Leher Trakealetaktengah, Tidakterabapembesaran KGB,
pembesaran kelenjar tiroid (-/-) : tidak nyeri.
Paru-Paru
 Inspeksi Bentuk normal, simetrissaatinspirasidanekspirasi,
retraksidinding dada (-), sela iga melebar (-)
 Palpasi Stem fremitus lapang paru kanan dan kiri sama kuat
 Perkusi Sonorpadakedualapanganparu
 Auskultasi ronki -/-, wheezing-/-
Jantung
 Inspeksi Ictus cordis tidak nampak
 Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midcalvicula sinistra
pulsus parasternal -, pulsus epigastium -, pulsus sternal
lift -
 Perkusi Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung :ICS III linea parasternal
sinistra
Batas kanan jantung : ICS V parasternal dextra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
 Auskultasi Buni jantung I dan II iregular, murmur (-), gallop (-),
Punggung Kifosis (-), lordisis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertevra (-), bengkak (-)
Abdomen
 Inspeksi Datar, sikatrik (-), striae (-), umbilicus normal tertutup
dan tidak ditemukan hernia umbilicalis,

6
hiperpigmentasi (-), massa (-)
 Auskultasi Bising usus (+) normal : 14 kali/menit
 Perkusi Timpani +
 Palpasi Supel, NyeriTekan (-), nyeri tekan lepas pada seluruh
kuadran (-) Tidak ada pembesaran
Anggotagerak Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capilary refills -/- -/-
Decubitus -/- -/-
Turgor Normal

4. Burch-Wartofsky Point Scale

Kriteria Diagnostis Untuk Krisis Tiroid

Disfungsi pengaturan panas Disfungsi kardiovaskular


Suhu 99-99,0 5 Takikardi 99-109 5
100-100,9 10 110-119 10
101-101,9 15 120-129 15
102-102,9 20 130-139 20
103-103,9 25 >140 25
>104,0 30

Efek pada susunan saraf pusat Gagal jantung


Tidak ada 0 Tidak ada 0
Ringan(agitasi) 10 Ringan(edema kaki) 5
Sedang(delirium,psikosis,letargi berat) 20 Sedang(ronki basal) 10
Berat(koma,kejang) 30 Berat(edema paru) 15
Disfungsi gastrointestinal-hepar Fibrilasi atrium

7
Tidak ada 0 Tidak ada 0
Ringan(diare,muntah/nyeri perut) 10 Ada 10
Berat(ikterus tanpa sebab yang jelas) 20
Riwayatpencetus
Negatif 0
Positif 0

Pada kasus ini score BWPS yang didapat adalah 70 yaitu sugestif kuat krisis
tiroid

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium darah rutin dilakukan pada tanggal22
Agustus 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan NilaiRujukan


Hemoglobin 13,7 gr% 12-16
Leukosit 13. 230 Sel/mm3 4.000-10.000
Trombosit 161.000 Sel/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 40,3 % 35-45
Eritrosit 5,61 jt/mm 3
3-6
MCV 89,1 fL 81-101
MCH 29,7 Pg 27.0-33.0
MCHC 32,4 g/dL 31.0-35.0
GDS 59 mg/dl 75-140
Ureum 60 mg/dl 10-50
Creatinin 1,3 mg/dl 0.6-1.1
SGOT 45 U/l 0-35
SGPT 36 U/l 0-35
Natrium 157 mmol/L 135-147

8
Kalium 4.3 mmol/L 3.5-5.0
Chlorida 100 mmol/L 95-105
HIV Negative negatif
TSH < 0.05 uIUl/mL 0,25-5.0
fT4 76.20 Pmol/L 10.6-19.4

B. EKG

• Irama : Atrial Fibrilation


• Regularitas : ireguler
• Frekuensi : 150-200
• Axis : normoaxis
• Gel P,QRS,T : dalambatas normal
• Kesan : Atrial Fibrilationdengan RVR

C. Rontgen Thoraks

 Trakea letak ditengah


 Cor tidak membesar 9

 Tidak tampak infiltrat pada kedua


lapangan paru
IV. DIAGNOSIS

A. Krisis Tiroid
B. Atrial Fibrilasi dengan RVR
C. Hipernatremia

V. PENATALAKSANAAN

A. O2 nasal canul 3 liter/menit


B. Bolus Dextrose 40% 2 falcon IV
C. Konsul dr. Priyandini. Sp.JP. advice :
1. Bolus Digoksin 0,5 mg dalam Ringer Laktat 5 cc habis dalam 5
menit. Observasi selama 1 jam, bila HR masih 170-200 bpm
dilanjutkan bolus Digoksin 0,25 mg dalam5 cc ringer laktat habis
dalam 5 menit.
2. Drip Diltiazem 5mg/ jam dengan target HR < 100
3. Drip Paracetamol 1 gram IV extra
4. Bisoprolol 1 x 2,5 mg
5. Konsul dokter penyakit dalam
D. Konsul dr. Reza Sp.PD, advice :

10
1. IVFD Dextrosa 5 % 500 cc/24 jam
2. Inj Cefoperazone 1 gram/ 8 jam IV
3. Inj Dexametason 2 mg/ 6 jam
4. Inj Ondansetron 4mg/8 jam IV
5. PTU 4 x 300 mg PO
6. Propanolol 4 x 60 mg PO
7. BICNAT 3 x 500 mg PO
8. Aminefron 3 x 1tab PO
9. Cek GDS / 4 jam

VI. Follow up
A. Tanggal 23/9/2019

11
S Saat ini pasien masih mengeluh jantung terasa berebar-debar. Demam -,
nyeri dada -, sesak berkurang. Mual dan muntah -

O KU : tampak lemas Kepala : conjungtiva anemis -/-


TD : 145/76 mmHg Skelra ikteri -/-
HR : 120-130 Ireguler Thorak : vesikuler/vesikuler, ronkhi-/-,
RR : 26 x/m wheezing-/-. Cor S1&S2 ireguler
Spo2 :98 % Abdomen : soepel, BU dbn
Temp : 37,5 c Ekstremitas : tremor-, edema –

Urin Output : 340 cc/12 jam


EKG : Atrial Fibrilasi dengan NVR
GDS : 95 g/dl

A Krisis Tiroid
Atrial Fibrilasi dengan RVR
Hipernatremia

P dr. Priyandini. Sp.JP


Drip Diltiazem 5mg/ jam dengan target HR < 100

dr. Reza Sp.PD


IVFD Dextrosa 5 % 500 cc/24 jam
Inj Cefoperazone 1 gram/ 8 jam IV
Inj Dexametason 2 mg/ 6 jam
PTU 4 x 300 mg PO
Propanolol 4 x 60 mg PO
BICNAT 3 x 500 mg PO
Aminefron 3 x 1 tab PO
Cek GDS/ hari

B. Tanggal 24/9/2019

S jantung terasa berebar-debar telah berkurang. Demam -, nyeri dada -,

12
sesak berkurang. Mual dan muntah -. Tremor pada tangan berkurang

O KU : tampak lemas Kepala : conjungtiva anemis -/-


TD : 140/74 mmHg Skelra ikteri -/-
HR : 90-100 Ireguler Thorak : vesikuler/vesikuler, ronkhi-/-,
RR : 23 x/m wheezing-/-. Cor S1&S2 ireguler
Spo2 :98 % Abdomen : soepel, BU dbn
Temp : 37,3 c Ekstremitas : tremor-, edema –

Urin Output : 670 cc/24 jam


EKG : Atrial Fibrilasi dengan NVR
GDS : 106 g/dl

A Krisis Tiroid
Atrial Fibrilasi dengan RVR
Hipernatremia

P dr. Priyandini. Sp.JP


Stop Drip Diltiazem 5mg/ jam bila HR < 120
Rencana pindah ruang rawat inap biasa

dr. Reza Sp.PD


IVFD Dextrosa 5 % 500 cc/24 jam
Inj Cefoperazone 1 gram/ 8 jam IV
Inj Dexametason 2 mg/ 6 jam
PTU 4 x 300 mg PO
Propanolol 4 x 60 mg PO
BICNAT 3 x 500 mg PO
Aminefron 3 x 1 tab PO

C. Tanggal 25/9/2019

S jantung terasa berebar-debar telah berkurang. Demam -, nyeri dada -,

13
sesak berkurang. Mual dan muntah -. Tremor pada tangan berkurang

O KU : tampak lemas Kepala : conjungtiva anemis -/-


TD : 156/74 mmHg Sklera ikterik -/-
HR : 80-90bpm/ Ireguler Thorak : vesikuler/vesikuler, ronkhi-/-,
RR : 24 x/m wheezing-/-. Cor S1&S2 ireguler
Spo2 :98 % Abdomen : soepel, BU dbn
Temp : 37,5 c Ekstremitas : tremor-, edema –

Urin Output : 700 cc/24 jam


EKG : Atrial Fibrilasi dengan NVR
GDS : 98 g/dl

A Krisis Tiroid
Atrial Fibrilasi dengan RVR
Hipernatremia

P dr. Priyandini. Sp.JP


Ramipril 1 x 2,5 mg PO

dr. Reza Sp.PD


IVFD Dextrosa 5 % 500 cc/24 jam
Inj Cefoperazone 1 gram/ 8 jam IV
Inj Dexametason 2 mg/ 6 jam
PTU 4 x 300 mg PO
Propanolol 4 x 60 mg PO
BICNAT 3 x 500 mg PO
Aminefron 3 x 1 tab PO

D. Tanggal 26/9/2019

S jantung terasa berebar-debar telah berkurang. Demam -, nyeri dada -,

14
sesak -. Mual dan muntah -. Tremor pada tangan -

O KU : tampak lemas Kepala : conjungtiva anemis -/-


TD : 150/82 mmHg Sklera ikterik -/-
HR :70 bpm/ reguler Thorak : vesikuler/vesikuler, ronkhi-/-,
RR : 24 x/m wheezing-/-. Cor S1&S2 ireguler
Spo2 :98 % Abdomen : soepel, BU dbn
Temp : 37,5 c Ekstremitas : tremor-, edema –

Urin Output : 680 cc/24 jam


EKG : sinus ritme
GDS : 90 g/dl

A Krisis Tiroid
Atrial Fibrilasi dengan RVR
Hipernatremia

P dr. Priyandini. Sp.JP


Ramipril 1 x 2,5 mg PO
Rencana rawat jalan besok

dr. Reza Sp.PD


IVFD Dextrosa 5 % 500 cc/24 jam
Inj Cefoperazone 1 gram/ 8 jam IV
Inj Dexametason 2 mg/ 6 jam
PTU 4 x 300 mg PO
Propanolol 4 x 60 mg PO
BICNAT 3 x 500 mg PO
Aminefron 3 x 1 tab PO
Aff kateter urine

E. Tanggal 27/9/2019

S jantung sudah tidak berdebar-debat. Demam -, nyeri dada -, sesak -. Mual

15
dan muntah -. Tremor pada tangan -

O KU : tampak lemas Kepala : conjungtiva anemis -/-


TD : 150/82 mmHg Sklera ikterik -/-
HR :70 bpm/ reguler Thorak : vesikuler/vesikuler, ronkhi-/-,
RR : 24 x/m wheezing-/-. Cor S1&S2 ireguler
Spo2 :98 % Abdomen : soepel, BU dbn
Temp : 37,5 c Ekstremitas : tremor-, edema –

EKG : sinus ritme


GDS : 92 g/dl

A Krisis Tiroid
Atrial Fibrilasi dengan RVR
Hipernatremia

P dr. Priyandini. Sp.JP


Boleh pulang
Ramipril 1 x 2,5 mg PO

dr. Reza Sp.PD


Boleh pulang
Cefixime 3 x 200 mg PO
PTU 3 x 300 mg PO
Propanolol 2 x 10 mg PO
BICNAT 3 x 500 mg PO
Aminefron 3 x 1 tab PO

BAB II

KRISIS TIROID

16
I. Definisi

Krisis tiroid atau disebut juga krisis thyrotoxic adalah kondisi akut yang

mengancam nyawa, yang ditandai dengan kondisi hipermetabolik akibat dari

pelepasan hormon tiroid yang berlebihan pada individu dengan tirotosikosis.

Gejala klinis yang terjadi merupakan dekompensasi dari tubuh terhadap

tirotosikosis yang mencakup berbagai disfungsi multiorgan. Hipertensi dapat

diikuti dengan gagal jantung kongestif yang beresiko terjadinya hipotensi dan

syok.1

Krisis tiroid merupakan komplikasi dari hipertiroid yang jarang. Krisis

tiroid terjadi pada sekitar 1% - 2% dari diagnosis hipertiroidisme. Sesuai Survei

Nasional Jepang, kejadian badai tiroid adalah 0,2 per 100.000 populasi per tahun

dan sekitar 0,22% dari semua pasien debgan tirotoksikosis dan 5,4% pada pasien

tirotoksikosis yang dirawat di rumah sakit. Usia rata-rata orang dengan krisis

tiroid adalah 42 hingga 43 tahun. Rasio pria dan wanita untuk kejadian krisis

tiroid adalah sekitar 1: 3, miripdengan rasio pada hipertiroid tanpa krisistiroid.

Angka kematian orang dewasa pada Krisis Tiroid mencapai 10-20%.

Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari

populasi pasien yang dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan

penanganan dini Krisis Tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang

dari 20%.9

II. Etiologi

17
Penyebab paling sering terjadinya krisis tiroid adalah beberapa kondisi

pencetus yang memperberat kondisi tirotosikosis dari gangguan tiroid yang telah

mendasari, baik berasal dari hipertiroid primer ataupun sekunder. Kondisi yang

mendasari paling sering adalah penyakit grave yang tidak diterapi dan atau tidak

terkontrol. Penyakit grave merupakan penyakit autoimun yang dimediasi oleh

antibodi reseptor tirotropin yang menstimulasi sintesis hormon tiroid menjadi

berlebihan dan tidak terkendali.2. Selain itu kondisitersebut dapat juga terjadinya

hipertiroidisme eksogen, tiroiditis dekstruktif, goiter multinodular toksik, TSH-

secreting pituitary adenoma, hCG-secreting hydatidiform mole, ataumetastatic

thyroid cancer. 3

Dengan adanya kondisi yang menyebabkan tirotosikosis yang disebutkan

diatas, krisis tiroid dapat terjadi akibat berbagai kondisi pencetus seperti infeksi

dan sepsis, ketoasidosis diabetic, kehamilan pada usia lanjut, prosedur terapi

tertentu seperti prosedur radiografi, pembedahan tiroid maupun nontiroid, trauma

lansgsung pada tiroid, pemijatan pada kelenjar tiroid yang membesar, terapi

radioiodine, atau adanya konsumsi iodine yang berlebihan pada pasien dengan

hipertiroidisme, amiodaron (obat antidisritmia) juga dapat mencetuskan terjadinya

status tirotoksik. 1

III. Manisfestasi Klinis

18
Manifestasi klinis dari kritis tiroid merupakan suatu kondisi ekstrem dari

keadaan tirotoksikosis. Manifestasi klinis dari krisis tiroid meliputi 4 gejala utama

yaitu: 2

A. Gangguan Konstitusional

Salah satu kondisi yang dapat ditemukan pada pasien dengan krisis

tiroid adalah kehilangan berat badan. Hal ini dapat disebabkan kondisi

hipermetabolik yang terjadi, dimana sejumlah energi dihasilkan

namun pada kondisi ini penggunaan energi terjadi secara berlebihan.

selanjutnya, hal ini akan menyebabkan peningkatan produksi panas

dan pembuangan panas secara berlebihan. gejala konstitusional lain

yang dapat ditemukan adalah kelelahan dan kelemahan otot

B. Gangguan Neuropsikiatri

Gangguan neuropsikiatri pada pasien dengan krisis trioid dapat

ditemukan kondisi seperti labilitas, gelisah, cemas, agitasi, bingung,

psikosis, bahkan koma. Sebuah studi perilaku menunjukkan bahwa

kinerja memori dan konsentrasi yang buruk berbanding dengan derajat

keparahan tirotoksikosis itu sendiri.

C. Gangguan Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal meliputi peningkatan frekuensi motilitas usus

yang disebabkan peningkatan kontraksi motor usus kecil. Hal ini akan

menyebabkan pembuangan isi usus lebih cepat. Gejalanya ditandai

19
dengan muntah, diare bahkan obstruksi. Ikterik yang tidak dapat

dijelaskan dapat dicurigai sebagai gejala krisis tiroid.

D. Gangguan Kardiorespiratori

Gejala kardiorespiratori pada pasien tirotoksikosis meliputi palpitasi

dan oroner. Sesak nafas dapat disebabkan oronertorial dikarenakan

penurunan komplians paru dan gagal jantung kiri. Selain itu, nyeri

dapat ditemukan pada pasien dengan tirotoksikosis seperti halnya nyeri

pada angina pectoris. Nyeri ini dapat disebabkan oleh peningkatan

kebutuhan penggunaan oksigen dan spasme arteri oroner. Gejala

lainnya pada pasien dengan krisis tiroid dapat ditemukan kondisi seperti

takikardi, peningkatan nadi, pleuropericardial, dan takiaritmia.

Dehidrasi dengan gangguan elektrolit merupakan gejala klinis yang sering

lainnya. Gejala dan tanda lain yang khas dari tirotosikosis dapat melengkapi

gejala klinis krisis tiroid seperti goiter, oftalmopati, tremor, hyperreflexia, Kuku

Plummer, dan hipertensi sistolik. Pada pasien yang muda gejala yang

mendominasi adalah berhubungan dengan ransangan simpatetik, sedangkan pada

usia tua cenderung mengalami gangguan kardiovaskular. Beberapa gejala yang

atipikal seperti krisis normotermis, kegagalan fungsi hati, apthetic storm juga

pernah dilaporkan. 4

IV. PATOFISIOLOGI

20
Krisis tiroid terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami

hipertiroidisme yang belum terdiagnosis atau belum mendapatkan penanganan

yang baik. Krisis tersebut merupakan kejadian yang cepat, dan hamper selalu

diprovokasi dengan factor pencetusnya. Bagaimana factor pencetus tersebut

menyebabkan krisis masih belum jelas.4

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing

hormone(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk

menyekresikanthyroid-stimulating hormone(TSH) dan hormon inilah yang

memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini

menghasilkan prohormone thyroxine(T4) yang mengalami deiodinasi terutama

oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine(T3). T4 dan

T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara

biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin(TBG). Kadar

T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis

pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar

di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.5

Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis

ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen

dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan

reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada

patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh

autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena

peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak

21
ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan

pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine

monophosphate(cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang

uptakeiodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.5

Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam

merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang

melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari

tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang

semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa

peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel

tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi

untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa

hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine

monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan

kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien

tirotoksikosis.5

Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori

berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid

dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan

tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak

meningkat, pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.

Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis

hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan

22
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis

krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan

obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga

menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin

katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal

menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.5

Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat

patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat

terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar

hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat

ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau

mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine(RAI). Teori lainnya yang

pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid,

adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek

simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan

katekolamin. Berikut adalah algoritma singkat patofisiologi krisis tiroid.5

23
Japan Thyroid Association Guidelines 2016

V. DIAGNOSIS

A. Anamnesis

Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala

seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan

sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang

menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang

umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak, penurunan

nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering

diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice.

24
Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak

pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.3

B. Pemerikaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten

melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi

41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara

lain  hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase

berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.

Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,

seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan

tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan

tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis

mencakup tanda orbital dan goiter.

Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan kasus

seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan normotensif)

yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel, seperti asidosis laktat

dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan komplikasi yang sangat jarang

terjadi. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis

tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis

tiroid yang dihadapi.

C. Gambaran Laboratorium

Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada

gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi

25
tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium

atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan

konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien

belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat

dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan

biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan

uptakeresin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptakeiodium 24 jam.

Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini

jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak

spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin

kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar

gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor

penanganan jangka pendek.

Kecurigaan dini, diagnosis yang tepat, dan tatalaksana yang intensif akan

menurunkan resiko mortalitas pada pasien dengan krisis tiroid. Bagaimanapun,

dikarenakan nilai laboratorium penting dalam diagnosis krisis tiroid, namun

pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama dan terkadang kondisi klinis yang

mencetus sulit untuk dibedakan dengan gejala yang berasal dari krisis tiroid maka

diagnosis tidak selalu mudah ditegakan. Untuk mengatasi tantangan diagnostik

ini, disusun suatu skalayaitu Burch-Wartofsky Point Scale (BWPS) untuk

diagnosis krisis tiroid. BWPS disusun secara empiris dalam sistem penilaian yang

memperhitungkan tingkat keparahangejala dekompensasi multipel organ,

termasukdisfungsi termoregulasi, takikardia / atriumfibrilasi, gangguan kesadaran,

26
kongestifgagal jantung, dan disfungsi gastro-hepatik, jugaperan faktor pencetus.

BWPStelah banyak diterapkan untuk diagnosis krisis tiroid selama lebih dari 2

dekade.3

Pada 2012, Asosiasi Tiroid Jepang (JTA) mengusulkan kriteria diagnostik

baru untuk krisis tiroid yang disusun berdasarkan analisis rinci terhadap 99 kasus

yang diterbitkan dan akhirnya direvisi sesuai dengan hasil survey nasional. Dalam

kriteria JTA ini, diperlukan kondisi tirotosikosis yang disertai dengan peningkatan

kadar fT4 dan fT3 sebagai kondisi prasyarat,dan diagnosis krisis tiroid yang pasti

atau masih sugestif dapat didiagnosisberdasarkan kombinasi spesifik dari gejala

yang disebabkanoleh beberapa dekompensasi organ, mirip dengan yangtercantum

dalam BWPS. Salah satu gejala spesifikdalam kriteria JTA adalah gangguan

kesadaranyang berkontribusi pada diagnosis krisis tiroidlebih dari gejala organ

lainnya.3

27
Japan Thyroid Association Guidelines 2016

Menurut Japan Thyroid Assocation penegakan diagnosis terhadap

terjadinya krisis tiroid dapat dilakukan sesuai dengan pendekatan berikut. Ketika

pasien datang dengan demam (>38oC), disertai dengan takikardia (>130bpm), dan

28
terdapat gejela lain yang berasal dari sistem saraf pusat, kerdiovaskular dan

gastrointestinal maka perlu dicurigai krisis tiroid sesuai alur diagnosis dibawah

ini.3

Japan Thyroid Association Guidelines 2016

29
VI. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.

Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi

perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian

untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ.

Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi

faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk

mencegah kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang

memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.6

A. Menghambat Sintesis Hormon Tiroid

Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan

methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid.

PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan

lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan

MMI merupakan agen farmakologik yang umum digunakan pada keadaan

hipertiroidisme. Kedua obat ini menghambat sintesis hormon tiroid yang

baru untuk mengalami proses oksidasi iodin dan proses organifikasi.

Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida

sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut. PTU

diindikasikan untun hipertiroidisme yang disebabkan oleh penyakit

Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya

peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU

dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan

30
pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya

meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua

kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau

untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol

selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia

kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.

Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala

dan tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi

dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan

uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan

suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien

alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat

lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar menghubungi dokter

jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang

nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.

Dosis yang direkomendasikan untuk PTU pada kasus krisis tiroid

adalah 200-250mg setiap 6 jam daan MMI 20-25 mg setiap 6 jam baik

secara oral,via NGT, ataupun via rectal. Dosis loading diperlukan dalam

tatalaksana krisis tiroid dengan PTU yaitu 600 mg.3

B. Menghambat Sekresi Hormon Tiroid

Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan

dapat dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan

uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium

31
iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan

setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui

bahwa iodium yang digunakan secara tunggal akan membantu

meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan

status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan

radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium

dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer.

Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya

digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang intoleran

terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu

pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau

MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal

dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui

pemberiannya. Asam Iopanoic dan iopadate diberikan dengan dosis 2

gram IV diikuti dengan 1 gram perhari. Selain itu zat lain yang

mengandung iodine adalah solusio Lugol (10 tetes setiap 3 jam) dan

Larutan potasium iodida tersaturasi (8 tetes setiap 6 jam). Pada pasien

yang alergi terhadap iodium dapat diberikan Litium ( 300mg setiap 6 jam)

sebagai terapi alternatif.

Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis

peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan

untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah.  Namun,

32
sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak

merespon terhadap penanganan lini awal.3

America Thyroid Association Guideline 2016

C. Menghambat Aksi Perifer Hormon Tiroid

Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer

hormon tiroid dan secara bersamaan menghambat aktifasi efek

simpatoadrenal, mengintrol laju denyut jantung, dan gejala kardiovaskuler

lainnya pada krisis tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-

adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Penghambatan T4

menjadi T3 akan menurunkan aktivitaas hormon tiroid diperifer secara

keseluruhan. Kerena seperti yang diketahui T3 lebih aktif daripada T4 dan

80% dari produksi T3 adalah hasil dari monodeiodasi T4. Obat ini

menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan efektif

dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol menghasilkan respon klinis

33
yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian

secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap

irama jantung pasien. Dosis 80-120 mg setiap 6 jam peroral atau 1 mg IV

yang diikuti dengan 2-3 mg setiap 3 jam merupakan dosis beta bloker

yang secara luas digunakan dalam tatalaksana tiroid. 3

Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat

yang berhasil digunakan pada krisis tiroid. Dosis yang diberikan pada awal

adalah 250-5—mcg/kg/menit dan dilanjutkan dengan 50-100 mcg/kg/

menit. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun

esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung

kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat

digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan

reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap

dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat

digunakan pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.3

Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan

peningkatan angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan

untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan

produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung.

Namun, pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana

penyakit Graves disertai oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid

dapat menurunkan uptake iodium dan titer antibodi yang terstimulasi oleh

hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan,

34
deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat

konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian,  dosis glukokortikoid, seperti

deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan.Dosis yang

direkomendasikan adalah Dexamethasone 2 mg IV setiap 6 jam dan

hidrokortisone 300 mg IV dosis awal dilanjutkan dengan 100 mg IV setiap

8 jam.3

America Thyroid Association Guideline 2016

Dari penjelasan tatalaksana diatas, maka dapat disimpulkan pada

kasus kegawatdaruratan krisis tiroid, algoritma dibawah ini merupakan

petunjuk tatalaksana awal krisis tiroid.

35
Japan Thyroid Association Guidelines 2016

D. Penanganan Suportif

Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk

mengatasi dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang

berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa

pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat

meningkat menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif

disarankan pada pasien-pasien lanjut usia dan dengan gagal jantung

kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat digunakan saat

hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan

pulancairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung

kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat ditambahkan

untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi

sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal

tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat

36
pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons

yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas

secara perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk

pasien ini.

Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi

jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien

tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk

mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium.  Obat-

obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat

diberikan jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada

dosis yang lebih besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain.

Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring

membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan.

Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas

miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-

Ganz.

Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid.

Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia

miokardial transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram

(EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial

tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih

cocok dengan melawan efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid

pada miokardium dan memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.3

37
Japan Thyroid Association Guidelines 2016

38
VII. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain

hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada

tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat

oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan

curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot

proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid

yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun

yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan

pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar

plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga

6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan

keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan

untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini

memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan

prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.7

VIII. PROGNOSIS

Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian

keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi

terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor

pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan

39
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan

baik.7

IX. PENCEGAHAN

Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang

ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik

hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik.

Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1)

penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian

RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar

hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena

kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada

setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat

anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah

menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum

dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya.

Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat

menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula

dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif

dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya,

pasien dengan sindroma McCune-Albright).7

40
X. KESIMPULAN

Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan

ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf,

dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis

tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat

terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang

menyebabkan hipermetabolisme berat.

Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada

gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,

terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan

laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus

menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan

suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis

dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan

akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan

diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan

baik.

41
BAB III

PEMBAHASAN

Krisis tiroid adalah merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa,

suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari kegagalan

tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat. Terjadinya

hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai beberapa

tahun, namun dapat juga timbul secara dramatis. Keadaaan ini dapat terjadi pada

individu baik yang telah diketahui atau belum hipertiroid yang mendasari.

Diagnosis krisis tiroid lebih didasarkan pada gambaran klinis pasien dibandingkan

dengan hasil uji laboratorium yang hasilnya tidak segera didapat. Skor kriteria

Burch dan Wartofsky digunakan untuk memudahkan diagnosis.

Pada kasus ini merupakan seorang wanita berusia 55 tahun yang datang

keluhan dada terasa berdebar-debar sejak 1 minggu SMRS dan memberat hingga

sulit beraktifitas sejak 1 hari SMRS. Rasa berdebar diikuti dengan demam dan

lemas yang timbul 1 hari SMRS. Selama observasi di IGD pasien mengalami

muntah 2 kali dengan isi makan dan air. Diare disangkal. Sejak 2 bulan yang lalu

pasien mengaku kedua tangan sering bergetar, mudah lelah, sering keringat

berlebihan, berat badan turun,dan sulit tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

kesan umum pasien tampak gelisah dengan tekanan darah150/80 mmHg, nadi 147

x/menit, iregular, pernafasan 25 x /menit, SpO298%, suhu : 38,9 ̊C (aksila).

Kelainan yang ditemukan adalah tremor pada ektremitas atas dan lain-lain dalam

batas normal.

42
Pada pasien ini gejala kardiovaskular yang terjadi adalah rasa berdebar-

debar dengan frekuensi nadi 147 kali permenit, tidak teratur dan didapatkan kesan

atrial fibrilasi RVR pada pemeriksaan EKG. Keadaan ini merupakan akibat dari

kadar hormon tiroid khususnya T3 yang meningkatkan repolarisasi diastolik,

menurunkan durasi potensal aksi, periode refrakter miocardium atrial dan begitu

juga periode refraksi nodus AV. Pada krisis tiroid juga terjadi peningkatan

termogenesis sehingga gejala sistem saraf pusat pasien ini ditandai dengan demam

dengan suhu 38,7oc dan keadaan umum yang gelisah. Gejala gastrointestinal pada

pasien adalah mual dan muntahyang merupakan akibat dari peningkatan

peristaltik usus akibat hormon tiroid yang berlebihan. Pasien menyangkal adanya

rasa sesak baik saat aktifitas maupun berbaring yang merupakan gejala gagal

jantung kongestif. Faktor pencetus pada pasien ini belum diketahui dengan pasti

dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Namun diduga kuat karena adanya

infeksi dengan pemeriksaan DL didapatkan leukosit 12.320/ul. Pemeriksaan lanjut

dibutuhkan untuk mencari sumber infeksi tersebut.

Pasien mengaku sejak 2 bulan yang lalu kedua tangan sering bergetar,

mudah lelah, sering keringat berlebihan, berat badan turun,dan sulit tidur. Gejala

tersebut merupakan gejala yang tipikal pada tirotosikosis yang mendasarinya.

Penyebab tirotosikosis pada pasien ini belum diketahui apakah karena hipertiroid

primer yaitu paling sering adalah penyakit Graves atau hipertiroidisme sekunder.

Pada pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda penyakit grave seperti goiter

diffuse, oftalmopati tiroid, dan dermatopati tiroid. Maka dari itu, sumber

tirotosikosis tersebut akan dilakukan pada kontrol selanjutnya.

43
Gejala yang dijelaskan diatas merupakan gejala tipikal pada tirotosikosis.

Penegakan diagnosis krisis tiroid menggunakan BWPS merupakan cara cepat

menegakan diagnosis krisis tiroid mengingat hasil laboratorium membutuhkan

waktu yang lama. Pada kasus ini BWPS pasien yaitu 70 yang diantaranya adalah

demam, atrial fibrilasi, frekuensi nadi 147 x/m, terdapat mual dan muntah, dan

agitasi. maka dari itu interpretasi pada kasus ini adalah sugestif tinggi krisis tiroid.

Kecurigaan akan kasus ini didukung dengan adanya gejala tirotosikosis sejak 2

bulan sebelumnya dan penyebab tirotosikosis ini memerlukan pemeriksaan lebih

lanjut apakah berasal dari hipertiroid primer atau sekunder. Gejala pencetus pada

kasus ini diduga infeksi namun sumber infeksi tersebut perlu pemeriksaaan lebih

lanjut. Diagnosis krisis tiroid pada kasus ini pada akhirnya dibuktikan dengan

hasil labor yaitu penurunan kadar TSH akibat proses umpan balik negatif dari

peningkatan kadar free T4.

Menurut JTA tatalaksana krisis tiroid terdiri dari yaitu :

1) Menghambat Sintesis dan Sekresi Hormone Tiroid

Pada mekanisme terapi ini, obat yang digunakan adalah obat

antitiroid yaitu MMI dan PTU. Terapi ini harus diberikan pada kasus krisis

tiroid. Menurut JTA, MMI merupakan obat pilihan pertama yang harus

diberikan pada kasus ini mengingat tingginya komplikasi dari terapi yang

menggunakan PTU. Sedangkan menurut ATA, PTU masih menjadi pilihan

utama dalam terapi krisis tiroid dikarenakan pada dosis yang tinggi yakni

minimal 400 mg/hari, dapat menghambat aktivitas deiodinase tipe I di

kelenjar tiroid dan di organ-organ lainnya, sehingga dengan demikian akan

44
menurunkan kadar T3 lebih cepat dari pada MMI. Selain kerena efek

samping terapinya, JTA merekomendasikan MMI sebagai terapi pilihan

utama karena pada survey secara luas yang dilakukan oleh JTA

menemukan bahwa konversi T4 menjadi T3 telah menurun pada krisis

tiroid yang berat. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara terapi

menggunakan PTU dan MMI. Maka dari itu, kedua obat ini tetap berfungsi

dalam terapi krisis tiroid.3 Dosis yang direkomendasikan menurut JTA

adalah MMI 60 mg/hari, dan PTU 600/hari sedangkan dosis maksimal

yang diberikan adalah 1.600 mg.3 Sedangkan menurut ATA pada

tatalaksana krisis tiroid PTU dapat diberikan dengan dosis awal 500-1000

mg, kemudian dilanjutkan dengan 250mg/4 jam dan MMI 60-80 mg/ 4

jam.6

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah PTU dengan

dosis 4 x 300 mg peroral dan hanya PTU yang tersedia untuk obat

antitiroid saat itu. Pemberian tetap dilakukan peroral karena saat itu pasien

hanya mengalami gangguan GIT ringan yaitu hanya muntah 1 kali.

Pemberian cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida sekitar 1

jam setelah pemberian PTU atau MMI dapat digunakan untuk

menghambat sekresi hormon tiroid. Menurut ATA, kombinasi antara Obat

Anti Tiroid dan Iodine Inorganic pada kasus krisis tiroid dengan efektif

memperbaiki keluhan pasien akibat tirotosikois.6 Namun kedua cairan

tersebut tidak tersedia sehingga tidak dpat diberikan pada kasus ini.

45
2) Menghambat Aksi Perifer Hormon Tiroid

Pada mekanisme terapi ini, obat yang diromendasikan adalah agen

Beta Adrenergic Antagonis dan Glukokortikoid. Bersamaan dengan efek

penghambat aktifasi simpatoadrenal, mengontrol laju denyut jantung, dan

gejala kardiovaskuler lainnya pada krisis tiroid, obat golongan ini dapat

juga mencegah konversi T4 menjadi T3 khususnya adalah propanolol.

Propanolol dengan dosis tinggi 60-80 mg/ hari dapat mencapai efek yang

telah disebutkan.3 Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi propranolol 4

x 60 mg PO dengan pertimbangan pada pasien ini tidak memiliki riwayat

asma sehingga aman mendapatkan terapi ini.

Glukokortikoid dapat menurunkan uptake iodium dan titer antibodi

yang terstimulasi oleh hormon tiroid. Selain itu, hidrokortison dan

deksametason juga dapat menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan juga

mempunyai efek langsung terhadap proses autoimun pada penyakit Graves

dan telah terbukti memperbaiki prognosis.3 Pada pasien diberikan

Deksametason 2 mg setiap 6 jam melalui intravena.

3) Terapi Suportif Terhadap Gejala Dekompensasi Sistemik

Salah satu dekompensasi sistemik yang terjadi pada kasus ini

adalah gangguan cardiovascular khususnya atrial fibrilasi. Tatalaksana

atrial fibrilasi pada krisis tiroid yang direkomendasikan adalah digitalis

bila tidak ada gangguan fungsi ginjal yang berat. Pemberian digoksin

secara intravena dengan dosis inisial 0,125 mg hingga 0,25 mg dan diikuti

dengan dosis maintenance. 3

46
Pada pasien ini diberikan injeksi digoksin intravena untuk

mengendalikan laju ventrikel pada fibrilasi atrium dengan dosis 0,5 mg

dalam Ringer Laktat 5 cc habis dalam 5 menit. Observasi selama 1 jam,

bila HR masih 170-200 bpm dilanjutkan bolus Digoksin 0,25 mg dalam 5

cc Ringer Laktat habis dalam 5 menit. Pada kasus ini dengan pemberian

digoksin laju denyut jantung masih diatas 130 x/m dan belum terkonversi

menjadi irama sinus. Maka dari itu control laju pada atrial fibrilasi tersebut

dilanjutkan dengan Drip Diltiazem 5mg/ jam dengan target HR < 100.

Sesuai dengan yang telah dijelakan pada PERKI bahwa Penyekat beta

dapat diberikan untuk kendali laju dan pemberian penyekat beta intravena

dosis tinggi berguna pada krisis tiroid. Pilihan terapi yang lain yang dapat

diberikan adalah antagonis kalsium nondihidropiridin (diltiazem dan

verapamil). Penggunaan CCB dalam tatalaksana atrial fibrilasi pada krisis

tiroid perlu hati-hati dikarenakan patofisiologi dari krisis tiroid itu sendiri

yang mana ditandai dengan vasodilatasi perifer yang berhubungan dengan

peningkatan aksi beta-adrenergik. Selain obat diatas, beta bloker

direkomendasikan sebagai terapi pilihan utama dalam mengontrol

frekuensi denyut jantung.3 Pada kasus ini diberikan propranolol seperti

yang telah disebutkan sebelumnya.

Terapi suportif lainnya adalah pemberian paracetamol 1 gram saat

demam pada pasien. Acethaminophen merupakan terapi piilihan pertama

pada krisis tiroid karena agen antipiretik lain terbukti meningkatkan level

47
hormone tiroid bebas dalam darah dengan menghambat T4-binding

protein.3 Cefoperazone merupakan antibiotic spectrum luas yang

digunakan dalam kasus ini sebagai tatalaksana pencetus krisis tiroid yang

diduga infeksi. Ondansentron diberikan dengan dosis 4 mg/ 8 jam IV

sebagai tatalaksana simptomatik muntah dan agar terapi peroral agen anti

tiroid dapat maksimal. Natrium Bicarbonat dan Aminefron pada kasus ini

diberikan karena adanya peningkatan Ureum/Creatinin dan pencegahan

terhadap gangguan sekresi zat asam lainnya sebagai akibat dari disfungsi

ginjal. Pada pasien ini juga diberikan dextrose 5 % per 24 jam karena pada

kasus krisis tiroid terjadi peningkatan basal metabolisme rate sehingga

meningkatkan penggunaan energy oleh jaringan. Hal ini meningkatkan

resiko hipoglikemia dan GDS awal pada pasien ini adalah 65 mg/dl.

Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan dalam kasus ini pada control

selanjutnya untuk mencari penyakit yang mendasari tirotosikosis yang

telah terjadi. Sehingga kondisi dekompensasi seperti krisis tiroid tidak

terulang kembali.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Madhusmita Misra, MD, MPH. Thyroid Storm. 2018. Available


at:https://emedicine.medscape.com/article/925147-overview

2. Nayak Bindu MD, Burman Kenneth MD. 2010. Thyrotoxicosis and


Thyroid Storm. Elsevier Journal. Available from : Endocrionlogy and
Metabolism Clinics of North America

3. The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society Taskforce


Committee for the establishment of diagnostic criteria and nationwide
surveys for thyroid storm. 2016

4. A. Migneco. Management of thyrotoxic crisis. 2005. Available at :


https://www.europeanreview.org/wp/wp-content/uploads/158.pdf

5. Schraga ED. Hyperthyroidisme ,Thyroid Storm , and Graves disease.


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print

6. American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management


of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. 2016

7. Agus Widodo, Bakti Surarso. Komplikasi Tiroidektomi. Fakultas


Kedokteran Universitas Airlangga.2009

8. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium Nonvalvular. PERKI. 2019

9. Binod Pokhrel. Thyroid Storm. NCBI. 2019. Available at :


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448095/

49

Anda mungkin juga menyukai