Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang
disebabkan oleh Arbovirus (Arthropod Borne Virus) dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegypt). Dengue
Haemorragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan
adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang
dapat menyebabkan kematian.5,8

B. Epiemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 50 hingga
100 juta infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus-kasus ini
500.000 kemajuan menjadi DBD mengakibatkan 22.000 kematian,
kebanyakan anak- anak. Berdasarkan data resmi yang dikirim ke WHO,
kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat
melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013.
Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan di Amerika saja,
dimana 37, 687 kasus adalah DBD. Setelah epidemi DBD pertama yang
diketahui pada tahun 1953 hingga 1954 di Filipina, penyakit ini terus
menyebar ke seluruh Asia Tenggara.

Menurut WHO, sekarang ada lebih dari 2,5 miliar orang yang tinggal

di daerah endemis dengue dan beresiko untuk terinfeksi virus dengue.


Beberapa faktor berkontribusi pada penularan virus oleh Aedes aegypti;
termasuk suhu, curah hujan, migrasi desa-kota, pertumbuhan populasi, air
yang tersimpan, meningkatkan limbah padat yang memungkinkan habitat
larva untuk vektor. Juga dapat terjadi KLB perjalanan terkait DBD. Demam
berdarah adalah infeksi arbovirus paling luas di seluruh dunia.5
C. Etiologi

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan

virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus)


yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini

1
mengandung RNA untai tunggal sebagai genom. Flavivirus merupakan virus
dengan ukuran 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106. Virus dengue genom adalah 11 644 nukleotida panjang,
dan terdiri dari tiga gen protein struktural pengkodean nucleocaprid atau
intiprotein (C), protein membran-terkait (M), sebuah protein amplop (E), dan
tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara protein non-struktural,
amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting. Ini adalah
45 kDa dalam ukuran dan berhubungan dengan haemagglutination virus dan
aktivitas netralisasi. Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam
genus Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus
dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus
berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi dengan satu
serotipe menganugerahkan kekebalan seumur hidup dengan virus serotipe.
Meskipun keempat serotipe antigen sama, mereka cukup berbeda untuk
memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah infeksi oleh salah
satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi
dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue
(DBD/DSS). Terdapat variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe
dalam bentuk filogenetis yang berbeda "sub-tipe" atau "genotipe". Saat ini,
tiga sub-tipe dapat diidentifikasi untuk- DENV 1, enam untuk DENV-2 (salah
satu yang ditemukan pada
primata non- manusia), empat
untuk DENV-3 dan empat
untuk DENV-4, dengan yang

lain DENV-4 yang eksklusif untuk primata non-manusia.6-10

2
Gambar 1. Virus Structure and Components

Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus,


diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari
subgenus Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan
sebagai penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor
sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium
pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat
penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif
jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di
tempat-tempat penampungan air buatan antara lain: bak mandi, ember, vas
bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di
dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan;
sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami
di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga
ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.
Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih
memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple
feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu
periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat
tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang
penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam satu
periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari
satu orang.
D. PATOGENESIS
Imunopatogenesis8
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh
3
interaksi berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang
terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi
dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan
trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator
antara lain sitokin, peningkatan aktivasi system komplemen, serta terjadi
aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan
diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator inflamasi
lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut akan
menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk
tanda dan gejala infeksi virus dengue.
a. Respon imun humoral
Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan
menghasilkan antibody spesifik terhadap virus dengue. Antibody spesifik
untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat
menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan.
Antibody yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi
dari terjadinya penyakit namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu
terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme antibody-dependent
enhancement (ADE). Antibody anti dengue yang dibentuk umumnya
berupa immunoglobulin (Ig) G dengan aktivitas yang berbeda.
Antibody terhadap protein NS1 berperan dalam menghancurkan (lisis)
sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement-dependent
lysis).
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenic
berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe yang bersangkutan
(antibody homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari
kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe
lain (antibody heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe
yang berbeda, maka antibody heterotipik yang bersifat non atau
subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus
serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan
berikatan dengan reseptor Fcɣ yang banyak terdapat terutama pada
monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel.
4
Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel,
sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan
kaskade system komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang
mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas
vascular.
b. Respon imun selular

Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama
dengan respon imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue
dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya
berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang
merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat
mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons
beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi
dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro,
diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan
lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel
T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan
fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T
CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi
sitokin.
c. Mekanisme autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam
pembentukan antibody spesifik yaitu protein F, prM dan NS1. Protein
yang paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis
infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibody terhadap protein NS1
dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit,
sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat
memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibody
terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibody terhadap protein NS1,
ternyata antibody terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi
autoimun. Autoantibodi terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi
silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini diduga kuat karena

5
terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan
komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang
disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan
komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul
mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran
sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesar plasma.
d. Peran sitokin dan mediator inflamasi lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang
sangat beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan
infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin
mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons
fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut.
Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan
reaksinya berlebihan, akan merugikan pejamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan
derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD)
ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut
sebagai badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam
melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Dari
beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan
yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan IFN-ɣ.
e. Peran sistem komplemen
System komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis
infeksi virus dengue. Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan
kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi system komplemen
mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat.
Kompleks imun virus dengue dan antibody pada infeksi sekunder dapat
mengaktivasi system komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat
mengaktifkan system komplemen secara langsung melalui jalur
alternative dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas vascular.
Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen
6
pada infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding
lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptide yang mempunyai
aktivitas biologic sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. komplemen
C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α,
IL-1, IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik
pada neutrophil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam
peningkatan permeabilitas vascular sangat besar.
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih
diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah
Hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary hetelogous dengue infection).
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF
adalah:

a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam


proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel
monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi.

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam


respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-
4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody.
Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.
Hipotesis ”the secondary heterologous infection” yang di rumuskan oleh
Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang

7
akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.

Gambar 2. The Secondary Heterologous Infection


Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat.
Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian

membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor


dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses
ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.

E. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi virus dengue mengakibatkan menifestasi klinik yang bervariasi
mulai dari asimptomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
8
illness), dengue fever, dengue haemoragic fever, sampai dengue shock
syndrom. Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi
pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau
berat.5,11

Gambar 3. Manifestasi Infeksi Virus Dengue

Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus
memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit.
Setelah itu disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana
virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila
jumlah virus sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah
(viraemia), dan pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami
gejala panas. Dengan adanya virus dengue dalam tubuh manusia, maka
tubuh akan memberi reaksi. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda, dimana
perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala
klinis dan perjalanan penyakit. Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh
manusia terhadap keberadaan virus dengue adalah sebagai berikut :
Bentuk reaksi pertama
Terjadi netralisasi virus, dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi
virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam (rash).
Bentuk reaksi kedua
Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan
jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan
manifestasi perdarahan.
Bentuk reaksi ketiga
Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya
komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke
rongga perut berupa gejala ascites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi
pleura. Apabila tubuh manusia hanya memberi reaksi bentuk 1 dan 2 saja
maka orang tersebut akan menderita demam dengue, sedangkan apabila ketiga
bentuk reaksi terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah
dengue.
9
Dengue Fever5,7
Manifestasi klinis infeksi dengue fever ditandai gejala-gejala klinik
berupa demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan. Demam yang
terjadi pada infeksi virus dengue ini timbulnya mendadak, tinggi (dapat
mencapai 39-40ºC) dan dapat disertai dengan menggigil. Begitu
mendadaknya, sering kali dalam praktik sehari-hari kita mendengar cerita ibu
bahwa pada saat melepas putranya berangkat sekolah dalam keadaan sehat
walafiat, tetapi pada saat pulang putranya sudah mengeluh panas dan ternyata
panasnya langsung tinggi. Pada saat anak mulai panas ini biasanya sudah
tidak mau bermain. Demam ini hanya berlangsung sekitar lima hari. Pada saat
demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun mendadak (lysis), dan
disertai dengan berkeringat banyak. Saat itu anak tampak agak loyo. Kadang-
kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung
selama beberapa hari itu sempat turun di tengahnya menjadi normal

10
kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita sembuh (gambaran
kurva panas sebagai punggung
unta).
Gejala panas pada penderita infeksi virus dengue akan segera disusul
dengan timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang
dikeluhkan adalah nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan nyeri pada
bola mata yang semakin meningkat apabila digerakkan. Karena adanya gejala
nyeri ini, di kalangan masyarakat awam ada istilah flu tulang. Dengan
sembuhnya penderita gejala-gejala nyeri pada seluruh tubuh ini juga akan
hilang.
Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini dapat timbul pada saat
awal panas yang berupa flushing, yaitu berupa kemerahan pada daerah muka,
leher, dan dada. Ruam juga dapat timbul pada hari ke-4 sakit berupa bercak-
bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang
ruam tersebut hanya timbul pada daerah tangan atau kaki saja sehingga
memberi bentuk spesifik seperti kaos tangan dan kaki. Yang terakhir ini
biasanya timbul setelah panas turun atau setelah hari ke-5.
Pada infeksi virus dengue apalagi pada bentuk klinis DHF selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Hanya saja tanda perdarahan ini tidak selalu
didapat

11
secara spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita tanda
perdarahan ini muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk
perdarahan spontan yang dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat
berupa perdarahan kecil-kecil di kulit (petechiae), perdarahan agak besar di
kulit (echimosis), perdarahan gusi, perdarahan hidung dan kadang-kadang
dapat terjadi perdarahan yang masif yang dapat berakhir pada kematian.
Berkaitan dengan tanda perdarahan ini, pada anak-anak tertentu
diketahui oleh orangtua mereka bahwa apabila anaknya menderita panas
selalu disertai dengan perdarahan hidung (epistaksis). Dalam istilah medis
dikenal sebagai habitual epistaksis, sebagai akibat kelainan yang bersifat
sementara dari gangguan berbagai infeksi (tidak hanya oleh virus dengue).
Pada keadaan lain ada penderita anak yang apabila mengalami sakit panas
kemudian minum obat-obat panas tertentu akan disusul dengan terjadinya
perdarahan hidung. Untuk penderita dengan kondisi seperti ini, pemberian
obat-obat panas jenis tertentu tersebut sebaiknya dihindari.

Gambar 5. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue


(WHO, 2011)

12
Dengue Haemoragic Fever5
Secara umum empat gejala yang terjadi pada demam dengue sebagai
manifestasi gejala klinis dari bentuk reaksi 1 dan 2 tubuh manusia atas
keberadaan virus dengue juga didapatkan pada DHF. Yang membedakan
DHF dengan dengue fever adalah adanya manifestasi gejala klinis sebagai
akibat adanya bentuk reaksi 3 pada tubuh manusia terhadap virus dengue,
yaitu berupa keluarnya plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah
keluar dan masuk ke dalam rongga perut dan rongga selaput paru. Fenomena
ini apabila tidak segera ditanggulangi dapat mempengaruhi manifestasi gejala
perdarahan menjadi sangat masif. Yang dalam praktik kedokteran sering kali
membuat seorang dokter terpaksa memberikan transfusi darah dalam jumlah
yang tidak terbayangkan.
Yang penting bagi masyarakat awam adalah dapat mengetahui atau
mendeteksi kapan seorang penderita DHF mulai mengalami keluarnya plasma
darah dari dalam pembuluh darah. Keluarnya plasma darah ini apabila ada
biasanya terjadi pada hari sakit ke-3 sampai dengan hari ke-6. Biasanya
didahului oleh penurunan panas badan penderita, yang sering kali terjadi
secara mendadak (lysis) dan diikuti oleh keadaan anak yang tampak loyo, dan
pada perabaan akan didapatkan ujung-ujung tangan/kaki dingin serta nadi
yang kecil dan cepat. Banyak ditemui kasus dengan kondisi demikian, tampak
suhu tubuh penderita dirasakan normal mengira kalau putranya sembuh dari
sakit. Kondisi tersebut mengakibatkan orangtua tidak segera membawa putra
mereka ke fasilitas kesehatan terdekat. Pada keadaan ini penderita sudah
dalam keadaan terlambat sehingga kurang optimal untuk diselamatkan dari
penyakitnya.

Dengue Syok Syndrome (DSS)


Sindrom syok dengue adalah demam berdarah dengue dengan
manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah, lembut atau tak teraba,
tekanan nadi ≤ 20 mmHg, hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab,
pasien tampak gelisah. Dengan kata lain demam berdarah dengue yang telah
memasuki keadaan syok (sesuai DBD derajat III dan IV menurut WHO).

13
F. DIAGNOSIS
Menurut WHO 1997 yang dikutip oleh Suhendro 2009 dan IDAI 2012,
kriteria diagnosis DBD ditegakkan melalui 2 kriteria :
A. Kriteria Klinis5
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.
2. Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan:
a. Petekie, ekimosis, atau purpura
b. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),
atau perdara-han dari tempat lain.
c. Hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan
tekanan nadi (<20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
<80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.
B. Kriteria Laboratorium
1. Trombositopenia (<100.000/ ul).
2. Terdapat peningkatan hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai
hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.
3. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia. Dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk menegakkan
diagnos DBD.

Gambar 6. Perjalanan Dengue Fever

14
Gambar 7. Dignostic of Dengue Fever

Gambar 8. Klasifikasi Demam Dengue

15
Warning Signs pada Demam Berdarah Dengue
1. Nyeri abdomen
2. Muntah persisten
3. Akumulasi cairan; edema palpebra, perut tegang, efusi pleura, edema
ekstremitas
4. Pendarahan mukosa; epistaksis, gusi berdarah, bibir berdarah
5. Letargi atau gelisah
6. Pembesaran hati >2cm
7. Peningkatan hematokrit dengan penurunan cepat jumlah trombosit

Gambar 9. Dengue Case Classification by Severity

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dangue adalah:
- Isolasi virus
- Deteksi asam nukleat virus
- Deteksi serum respons imun / uji serologi serum imun
- Analisis parameter hematologi
a. Isolasi Virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel
nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa
laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga
tidak tersedia laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada
enam hari pertama demam.
16
b. Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa nested-
PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan isothermal
amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang
memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal.
Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam.
Biaya pemeriksaan tergolong mahal.

c. Deteksi antigen virus dengue

Deteksi antigen virus dangue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen), yaitu
suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi
kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia
yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas
tinggi pada
1-2 hari
dema m dan
kemu dian
maki n
menu run
setela hnya.

Gambar 10. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG
anti dengue pada infeksi primer dan sekunder

d. Deteksi respon imun serum


Pemeriksaan respon imun serum berupa Haemaglutination inhibition test
(uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi),
pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.

17
▪ Haemaglutination inhibition test (Uji HI)
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini.
Uji HI walau sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan sediaan serum
akut dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dini.
▪ Complement fixation test (Uji CFT)
Tidak hanya dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit
untuk dilakukan dan memerlukan dan memerlukan petugas yang sangat
terlatih.
▪ Uji Neutralisasi
Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering
dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan
ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang
dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan
dari efikasi vaksin.
▪ Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat
terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah Sembilan
puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti dengue, namun pada
infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahun lama
dalam serum. Kinetic NS-1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM
antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan
untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder. Gambar di
bawah menunjukkan waktu perjalanan penyakit infeksi virus dengue primer
dan sekunder, serta metode diagnostic yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi virus dengue.

e. Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai hematokrit,
dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis
demam berdarah dengue.
- Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan
18
neutrofit, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan
jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutorfil dan limfosit

(neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis perembesan


plasma.
- Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh
penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada DD,
namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak
dibawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase demam memasuki kritis atau saat
penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit
ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit.
Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Disamping
itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati). Perubahan ini
berlangsung singkat dan kembali normal selama fase penyembuhan. Pada
awal demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan ringan pada
umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan
hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari diagnosis klinis DBD.
Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit dapat diakibatkan oleh
penggantian cairan adanya pendarahan.
G. TATALAKSANA11
A. Penggantian Cairan
1. Jenis cairan
Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid isotonic.
Penggunaan cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% hanya untuk pasien
<6 bulan atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda
dengan anak yang lebih besar. Dalam keadaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravascular sedangkan caira isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada
keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan
akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan
cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik
(osmolaritas>300 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun
lebih lama vertahan dalam ruang intravascular tetapi memiliki efek
19
samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal.

2. Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan,
kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pada DBD terjadi
hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu
jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
(maintenance) ditambah dengan perkiraan deficit cairan 5%.
Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah
melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan
setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil.
Tabel 3. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
BB ideal Rumatan Rumatan + Defisit 5%
(kg) (mL) (mL)
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200

Tabel 4. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal


Jumlah cairan Kecepatan (mL/kgBB/jam)
½ rumatan 1,5
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5% 5
Rumatan + deficit 7% 7
Rumatan + defisit 10% 10

B. Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38.5oC dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
C. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.
D. Pemantauan
- Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan,
muntah, perdarahan, dan tanda peringatan (warning signs).
20
- Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala
syok.
- Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan
tekanan darah harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali.

- Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau


pemberian cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan
dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
- Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam.
- Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari
berat badan ideal).
- Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik
dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi.
- Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
system koagulasi sesuai indikasi.
- Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya
efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada
dengan posisi lateral kanan decubitus (right lateral decubitus).
- Periksa golongan darah
Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG
dan lainnya.
DBD derajat I atau derajat II

21
22
23
DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer
laktat 10-20 mL/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.
Apabila syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 mL/kgbb
ditambah koloid 20-30 mL/kgbb/jam, maksimal 1500 mL/hari.
- Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7mL/kgbb/jam, selanjutnya 5mL,
dan 3 ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
- Jumlah urin 1 mL/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi
membaik.
- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
- Oksigen 2-4 L/menit pada DBD syok.

24
- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
- Indikasi pemberian darah: Terdapat perdarahan secara klinis
- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar
10 ml/kgbb.
- Apabila kadar hematokrit tetap >40%, maka berikan darah dalam
volume kecil.
- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID)
pada syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
- Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih hebat.

25
Kriteria memulangkan pasien

Tatalaksana Kelebihan Cairan

a. Nilai keadaan klinis, hitung kembali cairan yang telah diberikan, cek A-B-C-D.

b. Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/jam, bila tersedia cairan koloid, ganti
kristaloid dengan koloid.

c. Bila terdapat tanda edema paru, furosemide 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan


apabila tekanan darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Pantau setiap
15 menit untuk menilai keberhasilan pengobatan.

d. Ukur volume diuresis melalui kateter urin.

e. Bila ada perbaikan setelah pemberian furosemide, periksa status volume


intravascular.
Tatalaksana Gangguan Elektrolit

a. Hiponatremi : bila terdapat kejang berikan Natrium 3%, bila tidak ada kejang
cukup berikan cairan dektrose 5%-NaCl 0,9%.

b. Hipokalsemi : beri kalsium glukonas 10% dengan dosis 1


mL/kgBB/dosis (maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadet, diberikan setiap 6
jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan kelebihan cairan.
Tatalaksana Ensefalopati

a. Pemberian oksigen
b. Untuk menurangi tekanan intrakranial :

1) Berikan cairan IV dengan volume yang dibatasi, tidak lebih dari 80%
kebutuhan rumatan

2) Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila nilai hematokrit masih tinggi

3) Pemberian diuretic segera

4) Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 3o derajat lebih tinggi
dari tubuh

5) Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis IV setiap 6-8 jam.


c. Mengurangi produksi amoniak dengan laktulosa 5-10 mL setiap 6 jam.

26
d. Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis.
Vitamin K1 IV 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun dan 10 mg
untuk umur >5 tahun atau dewasa.
e. Antikonvulsi : fenobarbital, Dilantin, atau diazepam IV.
f. Fresh red packed cell bila transfuse diperlukan.
g. Terapi antibiotic empiris.
h. Plasmapheresis, hemodialysis atau renal replacement therapy untuk pasien
dengan gangguan ginjal.
Tatalaksana Perdarahan Masif
▪ Hentikan perdarahan, contoh: tampon nasal bila mimisan. Apabila kadar
hematokrit menurun makan dilakukan transfuse darah segera. Apabila volume
darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume yang sama. Apabila
sulit diukur, berikan darah segar 10 mL/kgBB fresh packed red cell kamudian
periksa ulang 3 jam pasca transfusi.
▪ Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus perdarahan masif tanpa
gagal organ.
H. PENCEGAHAN
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara yang
paling memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor :

1) Menggunakan insektisida

Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah adalah


malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan temephos (abate)
untuk membunuh jentik (larvasida).
2) Tanpa insektisida

a. Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal sekali
seminggu.

b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.

c. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda lain yang
memungkinkan nyamuk bersarang.

d. Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.

27
I. PROGNOSIS
Prognosis demam dengue atau dengue fever (DF) umumnya baik, dengan
mortalitas kurang dari 1%. Namun pada kondisi dengue hemorrhagic fever (DHF)
dan dengue syok syndrome (DSS), mortalitas menjadi lebih buruk. DF termasuk self
limited disease yang jarang menyebabkan komplikasi.

28
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI (INFODATIN). Situasi Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta Selatan.
2. WHO, 2020
3. Kementerian Kesehatan RI 2020. Data Kasus Terbaru DBD di Indonesia.
4. Tjin Willy. 2018. “Komplikasi Demam Berdarah.”
5. World Health Organization (WHO). 2012. Handbook for
Clinical Management of Dengue. ISBN 978 92 4 150471 3
6. Sanyaolu A, Okorie C, Badaru O, Adetona K, Ahmed M., et al. 2017.
Global Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update.
Review Article 5(6): 00179. DOI: 10.15406/jhvrv.2017.05.00179.
7. Mishra, S., Ramya, R., Sunil, K. 2016. Clinical Profile of Dengue Fever
in Children : A Study from Southern Odisha, India. Scientifica (Cairo).
2016;2016
8. Murasmita Halstead, SB. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic
Fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatrics Ed. 17. Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
https://www.creative-diagnostics.com/Dengue-Virus.htm
9. Kusama, Y., Ken, I., Shigeru, T., Satoshi, K. 2017. A Pediatric Case
of Imported Dengue Hemorrhagic Fever in Japan. J Gen Fam Med. 2017
Dec;18(6): 414–417.
10. Akhtar, N., et al. 2016. Prevalence of Dengue Serotype (DENV-2)
in Pakistan. Department of Zoology, Abdul Wali Khan University

29
Mardan, Khyber Pakhtunkhwa Pakistan. Akhtar et al., 2016. Journal of
Genes and Cells, 2(1): p, 8-10
11. Rezeki, S., dkk. 2012. Update Management of Infectious Disease
and Gastrointestinal Disorders Ed. 1 hal 29-37. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM
12.

30

Anda mungkin juga menyukai