Oleh:
Muhammad Audy Ramadhan, S.Ked
04084821719128
Pembimbing:
dr. Abdullah Shahab, SpKJ, MARS
Referat
Judul
Oleh:
Muhammad Audy Ramadhan, S. Ked 04084821719128
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya periode Januari – Februari 2019.
2
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
3
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................. iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 3
A. DEFINISI ................................................................................... 3
B. EPIDEMIOLOGI ....................................................................... 3
C. PATOGENESIS .......................................................................... 4
D. HUBUNGAN PSIKOSIS DENGAN SLE.................................. 5
E. MANIFESTASI KLINIS ............................................................ 6
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS ..................................................... 11
G. TATALAKSANA ....................................................................... 12
H. PROGNOSIS .............................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN ........................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 17
4
BAB I
PENDAHULUAN
1
prognosis pasien dengan sindroma psikiatri untuk meningkatkan kualitas hidup,
bakat kejuruan, dan yang paling penting, kemampuan bertahan hidup.1,2
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP
menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan sistem
saraf atau kematian lebih awal.1 Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas
mengenai manifestasi psikiatri pada pasien SLE hingga tatalaksana dan
prognosisnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu kelainan autoimun
kronik dan berulang yang mengenai berbagai macam organ tubuh seperti kulit,
sendi, ginjal dan saraf. Kelainan ini paling sering terjadi pada wanita.
Neuropsychiatric SLE (NPSLE) adalah sindrom neurologis yang mengenai sistem
saraf pusat, perifer dan otonom, serta sindroma psikiatri pada penderita SLE
dimana penyebab lain telah disingkirkan.3
B. EPIDEMIOLOGI
Manifestasi neuropsikiatrik pada pasien dengan SLE cukup umum
ditemukan dengan prevalensi 17—75%. Rentang luas ini mencerminkan
kemungkinan variasi interetnik dari manifestasi lupus dan kriteria yang berbeda
untuk diagnosis. Manifestasi neuropsikiatrik pada SLE merupakan hal yang
kompleks karena dapat terjadi setiap waktu selama penyakitnya berlangsung atau
bahkan mendahului onsetnya, dapat terjadi dalam fase aktif maupun fase pasif
(quiescent phase) lupus, dan pasien dapat menunjukkan satu atau lebih
manifestasi neurologis dan/atau psikiatrik.2
Kelainan neurologis dan psikiatrik pada pasien SLE berbeda-beda pada
tiap pasien dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas pasien SLE.
Gangguan mood didapatkan pada 6—44% pasien; sebagian besar merupakan
gangguan depresif, sementara gangguan manik dan campuran diperoleh pada 0—
4,4% pasien. Disfungsi kognitif diobservasi pada 55—80% pasien, ansietas pada
13—27%, dan psikosis pada 0—6,5% pasien.8
3
C. PATOGENESIS
Meski telah dilakukan banyak penelitian, mekanisme terjadinya kerusakan
pada jaringan saraf belum dapat dijelaskan. Dua kemungkinan mekanisme yang
diketahui adalah adanya oklusi vaskuler (sekunder sindrom antifosfolipid) dan
kerusakan karena antibodi patogen.
1. Antibodi Anti Fosfolipid
Autoantibodi telah lama diduga memiliki peranan utama pada patogenesis
dari NP-SLE. Khususnya autoantibodi terhadap protein otak tertentu, limfosit,
protein P ribosom, protein-phospholipid complexes, dan acidic glycolipids pada
neuronal dan membran myelin yang dikaitkan dengan NPSLE.2
Pada beberapa uji eksperimental didapatkan bukti adanya patogenisitas
antibodi anticardiolipin yang menyebabkan terjadinya disfungsi kognitif. Antibodi
antifosfolipid berhubungan dengan trombosis arteri dan vena, di mana hal ini
mungkin melibatkan sirkulasi serebral yang menimbulkan iskemik atau infark
otak. Sel B periferal tersendiri pada penderita SLE akan memperlihatkan kelainan.
Pada sebuah uji eksperimental mengenai antifosfolipid dimana tikus betina
dilakukan imunisasi dengan antibodi monoklonal anticardiolipin pathogen,
didapatkan terjadinya perkembangan sikap menjadi hiperaktif dan menunjukkan
adanya gangguan koordinasi motorik pada area berputar. Didapatkan adanya
peningkatan titer anticardiolipin, antibodi glikoprotein I antiβ2, dan antibodi yang
melawan sel endotel (AECA). Pada pemeriksaan jaringan ditemukan oklusi
thrombosis kapiler yang disertai dengan inflamasi ringan.2
Studi neuropatologik telah memperlihatkan suatu vaskulopati noninflamasi
pada NP-SLE yang melibatkan pembuluh-pembuluh darah kecil yang berkaitan
dengan mikroinfark otak. Namun, terdapat keterbatasan dalam hal penggunaan
patologi otak sebagai upaya mengenal NP-SLE, mencakup adanya diskoneksi
temporal antara kejadian neuropsikiatrik dan pengenalan jaringan (khususnya
pada autopsi), deteksi hanya mencakup kelainan struktural, dan kemungkinan
4
beberapa penemuan merupakan faktor-faktor pengganggu seperti infeksi atau
kortikosteroid.2
Beberapa studi telah melibatkan sejumlah sitokin proinflamatori pada NP-
SLE, mencakup interleukin (IL)-2, IL-6, IL-10, interferon-, dan tumor necrosis
factor- (TNF-). Beberapa peningkatan produksi sitokin mungkin sebagai akibat
dari aktifasi sel-sel yang dimediasi oleh autoantibodi pada ruang intrathekal. Juga
dijumpai bukti adanya hubungan antara peningkatan kadar matrix
metaloproteinace (MMP)-9 dan NPSLE, terutama dengan gangguan kognitif.2
2. Antibodi reseptor NMDA
Autoantibodi yang berikatan dengan permukaan membran neuron-neuron
(termasuk antibodi antineuronal, antiribosomal P, dan antigangliosida) dapat
menyebabkan cedera neuronal sitotoksik langsung atau mempengaruhi fungsi
neuronal, meskipun baru sedikit bukti eksperimen yang mendukung hipotesis ini.2
Adanya antibodi reseptor NMDA di cairan serebrospinal dapat
menyebabkan terjadinya kematian neuron otak tikus. Tikus dilakukan imunisasi
dengan antibodi antiDNA yang dihasilkan oleh peptide NR2. Namun, tikus yang
diimunisasi dengan antibodi NR2 tidak memiliki cadangan immunoglobulin di
otak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sawar darah otak yang melindungi otak
dari invasi autoantibodi. Namun, pada tikus yang diberikan lipopolisakarida yang
memicu infeksi eksperimental, imunisasi dengan antibodi antiNR2 menimbulkan
adanya kumpulan immunoglobulin di region hippocampus, area yang
bertanggungjawab tentang ingatan. Selain itu, injeksi serum lupus dari pasien
neuropsikiatri menyebabkan terjadinya apoptosis neuron. Antibodi yang sama
dapat bertanggungjawab pada lebih dari satu manifestasi klinis dari lupus.2
5
Psikosis sekunder dari SLE menunjukkan 21% pasien dengan gangguan psikotik
primer dan 45% dengan antibodi antifofolipid yang positif.
Gejala klinis utama psikosis NPSLE adalah delusi dan halusinasi akut.
Usia ketika gejala mulai timbul biasanya pada awal 20an tahun, sehingga sulit
dibedakan dengan psikosis skizofreniform. Kortikosteroid juga memiliki
kontribusi untuk menimbulkan psikosis melalui iskemia dan kerusakan sebagian
hipokampus.
E. MANIFESTASI KLINIS
Pada tahun 1999, komite American College of Rheumatology (ACR)
mengadopsi terminologi DSM-IV untuk sindrom lupus neuropsikiatri. ACR
memasukkan kelainan pada neuropsikiatri dalam SLE meliputi disfungsi kognitif,
delirium (keadaan confusional akut), gangguan kecemasan, gangguan mood, dan
psikosis.4
6
1) Disfungsi kognitif
Kognisi adalah jumlah fungsi intelektual yang menghasilkan
pemikiran, dan termasuk penerimaan rangsangan eksternal, pemrosesan
informasi, pembelajaran, penyimpanan dan ekspresi. Fungsi kognitif
mencakup 5 bidang utama yaitu kecerdasan umum, pembelajaran
verbal/ingatan, keterampilan visual-spasial, kecepatan
psikomotor/ketangkasan manual dan fleksibilitas perhatian/mental. Gangguan
bahkan salah satu fungsi ini bisa mengakibatkan terganggunya produksi
pemikiran normal dan hadir sebagai disfungsi kognitif. Keluhan kognitif dan
gangguan kognitif yang dikonfirmasi secara obyektif sering ditemukan pada
pasien SLE. Dalam 10 penelitian, mayoritas pasien SLE mengalami
penurunan pada 3 atau lebih dari domain kognitif. Sebuah studi terbaru
menunjukkan bahwa 21 pasien NPSLE memiliki kinerja yang buruk dalam
bidang verbal dan memori.4
Pada pasien SLE dengan disfungsi kognitif, ditemukan adanya
kelainan anatomis yang didefinisikan oleh MRI otak, penilaian fungsional
yang menggunakan SPECT, atau MRS (spektroskopi resonansi magnetik)
yang menggabungkan analisis anatomi dan fungsional. Disfungsi kognitif
yang lebih parah pada pasien SLE dapat dikaitkan dengan adanya sindrom
antifosfolipid (APS). Peningkatan antibodi anticardiolipin (Abs) yang terus
7
menerus berlangsung selama 1-5 tahun terkait dengan penurunan kognitif
yang lebih besar dan berkelanjutan dan dapat menyebabkan kerusakan fungsi
kognitif jangka panjang.4
Pada pasien dengan NPSLE memiliki titer aCL IgG yang lebih
tinggi secara signifikan. Titer IgG aCL Ab yang meningkat berkaitan dengan
penurunan kecepatan psikomotor sementara peningkatan IgA aCL Ab
berkaitan dengan berkurangnya penalaran konseptual dan fungsi eksekutif.
Kejadian demensia pada pasien APS juga tinggi dalam beberapa penelitian
dan dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. Para peneliti terus
mengembangkan hubungan antarapeningkatan titer aCL Abs dan pola
disfungsi kognitif yang ditandai oleh kesulitan dalam memori verbal,
produktivitas dan output yang cepat. Risiko keterlibatan sistem saraf pusat
yang lebih tinggi pada permulaan SLE juga dikaitkan dengan tingkat
antikoagulan lupus (LA) yang lebih tinggi, Abs aCL-IgG dan
hypocomplementemia.4
Pada pasien NPSLE, adanya kejadian neuropsikiatrik sebelumnya
dan tingginya APS akan meningkatkan risiko perburukn yang lebih besar.
Sedangkan disfungsi kognitif tidak bertahap terjadi seiring berjalannya waktu
pada sebagian besar pasien SLE. Dari kinerja tes mereka menunjukkan
disfungsi neuropsikologis bisa lebih atau kurang stabil.4
8
Tabel 3. Ciri Depresi Dan Hubungannya Dengan Gejala Khas Depresi6
Pasien dengan skor SLEDAI yang lebih tinggi memiliki tingkat depresi
yang lebih parah dan terkait dengan aktivitas penyakit saat pasien memiliki
riwayat kejadian depresi berat sebelumnya, kejadian-kejadian yang terjadi
dalam hidup, dan dosis steroid yang diberikan. Onset akut depresi dan psikosis
pada pasien SLE berkaitan dengan peningkatan titer P Ab anti-ribosom, dan
terbukti sesuai secara klinis pada beberapa orang. Pengidentifikasin
manifestasi dan penegakan diagnosis psikiatri pada pasien SLE sangat penting
dan harus berhati-hati serta harus memikirkan dengan diagnosis banding yang
mungkin terjadi.4
3) Delirium
Delirium muncul sebagai salah satu manifestasi psikiatris yang tidak
umum dari SLE. Tingkat keparahan delirium yang terlihat pada pasien SLE
dapat sangat bervariasi antara kebingungan ringan, perhatian dan konsentrasi
yang sedikit terganggu mencakup kekacauan yang parah dengan agitasi serta
halusinasi.4
DSM-IV membagi delirium menjadi persepsi dan perhatian yang
terganggu dengan onset akut atau sub akut (tidak seperti demensia), fluktuasi
9
diurnal, dan dengan adanya bukti kondisi medis umum. Masalah diagnostik
diferensial yang paling umum dengan delirium pada pasien SLE adalah
menentukan apakah delirium disebabkan oleh eksaserbasi pada penyakit
primer atau infeksi SSP, gangguan metabolik atau efek samping
kortikosteroid. Selanjutnya, keterlibatan sekuele pembuluh darah dan
hemoragik pada otak meliputi perdarahan subarachnoid, meningitis lupus, atau
stroke, dapat dikaitkan dengan kejadian delirium.Pada beberapa pasien SLE,
delirium (ensefalopati) didahului oleh kejadian depresi dan kejang dan
mungkin reversibel, atau mungkin berlanjut menuju koma. Banyak penyebab
yang mungkin terjadi termasuk vaskulopati pembuluh darah kecil atau
vaskulitis, leucoencephalopathy, ensefalitis diseminata akut, edema otak
karena trombosis vena serebral, atau sindrom hormon diuretik yang tidak tepat
dilepaskan.4
4) Psikosis
Dalam DSM-IV, kejadian psikotik mengacu pada delusi atau halusinasi
yang menonjol, tanpa pengethuan tentang sifat patologis mereka. Selama
mengevaluasi pasien psikosis, peran penyakit system organ juga harus
dipertimbangkan.
SLE psikosis dapat munculkarena adanya paranoia dengan halusinasi
visual dan pendengaran. Pemulihan secara menyeluruh biasanya sering terjadi
namun dapat juga menimbulkan kekambuhan. Kejadian psikosis pada SLE
tidak mudah ditentukan karena pada literatur tidak bisa dibedakan psikosis
dari delirium dan kondisi lainnya, dan bisa juga dicetuskan dengan pemakaian
steroid.
Dalam sebuah penelitian prospektif, 3 dari 196 pasien SLE yang
dievaluasi secara berturut-turut memiliki psikosis. Dalam sebuah penelitian
retrospektif yang besar, 11 dari 266 pasien mengembangkan psikosis selama
masa tindak lanjut rata-rata minimal 90 bulan 4
5) Kelelahan
Kelelahan telah dilaporkan sebagai salah satu gejala yang paling umum
dan paling mematikan di SLE, dengan prevalensi hingga 80%. Sebelas persen
10
pasien di Inggris memenuhi kriteria klasifikasi American College of
Rheumatology untuk fibromyalgia, sebuah kondisi yang ditandai dengan
sindrom kelelahan kronis selama lebih dari 3 bulan dan beberapa titik tender.
Tench et al telah menyatakan bahwa mialgia dan artralgia yang terkait dengan
lupus dapat mengganggu tidur, mengakibatkan kelelahan pada siang hari.
Peningkatan tingkat kecemasan dan depresi juga terkait dengan peningkatan
kelelahan terkait SLE.2
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosa SLE harus berdasarkan kumpulan penemuan klinis yang tepat
dan adanya bukti pemeriksaan laboratorium. The American College of
Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk diagnosa SLE yang banyak
digunakan. Dijumpainya 4 dari 11 kriteria akan memberikan sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95%.4
11
imunologik atau VDRL positif palsu
11 Antibodi Titer ANA yang abnormal pada pemeriksaan imuno
Antinukleus fluresensi atau pemeriksaan yang ekivalen pada setiap
saat tanpa adanya obat yang diketahui dapat
menginduksi ANA
Sedangkan tidak ada tes diagnostik tunggal yang sensitif atau spesifik
untuk NPSLE. Diagnosis yang tepat tergantung pada kombinasi pemeriksaan
rheumatologis, tes otak, imunoserologis, psikiatri dan neuropsikologis, dengan
adanya aktivitas penyakit lupus.1
Mengingat tidak adanya standar emas dalam pendekatan diagnostik, pada
semua pasien, ada kewajiban untuk mengecualikan penyebab lain seperti infeksi,
proses penyakit kebetulan, kelainan metabolik, atau efek samping obat. Pada
pasien SLE yang menunjukkan gejala NP yang tidak dapat dijelaskan atau tanda
yang menunjukkan penyakit NP, langkah pertama adalah mengevaluasi dan
mengkarakterisasi gejala NP, serupa dengan pasien tanpa SLE.
Penilaian neurologis harus difokuskan pada sakit kepala, tanda kejang,
kewaspadaan, dan defisit motorik dan sensorik, sementara evaluasi kejiwaan harus
menilai perilaku, kognisi, persepsi, dan pemikiran, serta suasana hati dan
pengaruh.Pemeriksaan neuropsikologis formal harus dilakukan bila ada
kecurigaan klinis terhadap kemampuan kognitif yang terganggu.
G. TATALAKSANA
Karena keberagaman manifestasi pada neuropsikiatri lupus, manajemen
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap pasien. Sampai sat ini belum ada
kosensus yang menjelaskan pengelolan manifestasi lupus psikiatri. Dengan tidak
adanya panduan, penggunaan terapi simtomatik, imunosupresif, antikoagulan dan
pengobatan psikotropika tambahan hanya berdasarkan kasus dan pengalaman
klinis. Sedangkan terapi suportif yang dapat bermanfaat adalah konseling dan
intervensi yang membantu pasien dalam mengembangkan keterampilan.4
Strategi pengobatan saat ini untuk berbagai manifestasi psikiatris meliputi
prednison, siklofosfamid dan IVIG. Sebuah penelitian kecil membandingkan
12
methylprednisolone intravena dan siklofosfamid intravena sebagai pengobatan
untuk NPSLE. Studi tersebut menemukan bahwa secara signifikan lebih banyak
pasien menanggapi pengobatan pada kelompok siklofosfamid dibandingkan
dengan kelompok metilprednisolon.2
Selain terapi imunosupresif untuk NPSLE, perawatan tambahan seperti
psikotropika atipikal, anti-anxiolytic dan anti-epilepsi sering diperlukan untuk
mengendalikan gejala seperti psikosis, kegelisahan dan kejang. 2
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) adalah lini pertama
pengobatan untuk depresi pada pasien SLE karena keamanan dan tolerabilitasnya.
Dalam kasus yang tidak responsive dapat diberikan terapi augmentasi dan
kombinasi. Antikoagulan juga diberikan pada pasien dengan penyakit trombotik,
terutama pada mereka yang memiliki APS.4
Pengobatan delirium yang disebabkan oleh NPSLE adalah mengubah dosis
kortikosteroid untuk membedakan delirium yang disebabkan oleh NPSLE atau
karena steroid. Manajemen akut gejala agitasi dan psikotik dapat dicapai dengan
dosis neuroleptik dosis rendah.4
H. PROGNOSIS
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP
menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan sistem
saraf atau kematian lebih awal. Dari observasi prospektif penderita SLE selama
13
lebih dari 5 tahun memperlihatkan bahwa riwayat neuropsikiatrik berkaitan
dengan outcome klinis yang jelek di mana sekitar 21-47% dari penderita NP-SLE
memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma NP-SLE
dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP. Disfungsi kognitif
yang dialami populasi penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan fungsi mereka. Frekuensi disabilitas yang semakin meningkat telah
dilaporkan pada penderita SLE dengan kelainan neuropsikiatrik bila dibanding
dengan penderita SLE tanpa kelainan neurospikiatrik dan populasi umum.5
14
BAB III
KESIMPULAN
15
pengobatan psikotropika tambahan hanya berdasarkankasus dan pengalaman
klinis. Sedangkan terapi suportif yang dapat bermanfaat adalah konseling dan
intervensi yang membantu pasien dalam mengembangkan keterampilan.4
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP
menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan sistem
saraf atau kematian lebih awal. Dari observasi prospektif penderita SLE selama
lebih dari 5 tahun memperlihatkan bahwa riwayat neuropsikiatrik berkaitan
dengan outcome klinis yang jelek di mana sekitar 21-47% dari penderita NP-SLE
memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma NP-SLE
dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP.5
16
DAFTAR PUSTAKA
17