Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan sindroma klinis umum dan kompleks yang


dihasilkan dari gangguan fungsional maupun structural jantung, sehingga
mengganggu pengisian ventrikel atau ejeksi darah ke sirkulasi sistemik demi
memenuhi kebutuhan tubuh.1 Penyebab umum dari gagal jantung adalah
menurunnya fungsi myocardium ventrikel kanan, dan penyebab lainnya berupa
disfungsi pada perikardium, myokardium, endokardium, katup jantung, pembuluh
darah atau bahkan kombinasi dari disfungsi tersebut. 2
5,1 juta penduduk Amerika Serikat memiliki manifestasi klinis gagal
jantung dengan prevalensi yang semakin meningkat juga. Insidensi gagal jantung
cukup stabil dalam dekade terakhir, dengan kasus baru sebanyak 650.000 per-
tahun, terutama individu berusia diatas 65 tahun.1 Beberapa studi juga
mengungkapkan bahwa laju mortalitas dalam jangka waktu 2 tahun sebanyak 45-
50%, sehingga kasus ini perlu untuk diperhatikan untuk mengurangi mortalitas
tersebut. 3
Sindroma gagal jantung muncul sebagai konsekuensi abnormalitas struktur
jantung, fungsi, ritme, ataupun konduksi jantung. Etiologi gagal jantung dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok seperti iskemik (CAD, diseksi
koroner, emboli koroner), katup (RHD, penyakit degenerative katup), hipertensi,
kardiomyopati, penyakit jantung bawaan, dan penyakit perikardium. 4 Pada negara
maju, disfungsi ventrikel menjadi mayoritas penyebab kasus gagal ginjal dan
biasanya disfungsi tersebut berasal dari infark myokard dan hipertensi.
Menurunnya curah jantung, dipengaruhi oleh preload, afterload, kontraktilitas,
volume sekuncup, dan kecepatan denyut jantung.3
Terdapat mekanisme adaptasi yang berfungsi untuk menjaga performa
jantung, namun bisa gagal ketika mekanisme tersebut selalu bekerja untuk
menjaga performa jantung supaya adekuat. Respon primer yang dapat terjadi
adalah terjadinya stress pada dinding jantung dan menyebabkan hipertrofi myosit,
kematian sel akibat apoptosis, dan regenerasi. Proses tersebut akan memicu

1
remodeling yang biasanya bertipe eksentrik, dan menurunkan curah jantung
melalui kaskade neurohumoral dan mekanisme vaskular. Penurunan stimulasi
baroreseptor karotis dan perfusi ginjal, akan mengaktifkan sistem simpatis dan
sistem RAA. Kedua sistem tersebut lama-lama secara kronis akan mengakibatkan
remodelin negative yang akan memperburuk fungsi ventrikel kiri sehingga
muncul gejala gagal jantung. 1
Gejala-gejala yang dapat muncul yang diakibatkan oleh akumulasi cairan
dalam tubuh berupa dispneu, ortopneu, edema, nyeri akibat kongesti hati, asites,
dan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung berupa cepat lelah dan capek
dalam beraktivitas.1 Karakteristik gagal jantung yang bisa ditemui pada pasien
yaitu pulsus alternans, impuls yang berasal dari apikal, dan gallop S3.3
Salah satu kondisi komorbid yang sering dijumpai pada pasien gagal
jantung adalah fibrilasi atrium. Prevalensi fibrilasi atrium pada pasien CHF
sebesar 15-35% untuk pasien dengan fungsional NYHA II-IV. Kehadiran fibrilasi
atrium dan gagal jantung kongesti dapat dijelaskan oleh faktor risiko yang
membelakangi keduanya. Faktor risiko tersebut adalah hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung iskemi, dan penyakit jantung katup. Prognosis pasien
yang memiliki kedua kondisi ini secara bersamaan, lebih buruk dibanding yang
hanya memiliki salah satu kondisi tersebut. 5

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi

Nama : Tn. TBH


Umur : 40 tahun
Alamat : Perumnas Bumi Citra Sukajadi Bumi Raya
Suku : Lampung
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Karyawan
MRS : 29 Februari 2020 Pukul 23.49 WIB
No. RM : 1164424

2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari penderita dan
istri penderita pada tanggal 29 Februari 2020
Keluhan Utama:
Sesak napas yang semakin berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak. Sesak diras
akan hiang timbul, memberat ketika beraktivitas sedang seperti berjalan naik-turu
n tangga dan membaik bila beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan
emosi. Rasa berdebar ada, memberat ketika beraktivitas dan membaik saat
istirahat. Nyeri dada sebelah kiri ada, hilang timbul, nyeri dirasakan seperti
tertimpa benda berat, menjalar ke lengan kiri. Terbangun di malam hari karena ses
ak tidak ada. Kaki sembab tidak ada. Batuk-batuk pada malam hari tidak ada.
Demam tidak ada. Mual muntah tidak ada. Nyeri perut tidak ada. Pasien belum
berobat.
± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak semakin
memberat. Sesak dirasakan hiang timbul, memberat ketika beraktivitas ringan sep
erti berjalan sekitar 20m dan membaik bila beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi

3
oleh cuaca dan emosi. Terbangun di malam hari karena sesak ada. Pasien lebih
nyaman tidur dengan 3 bantal. Rasa berdebar ada, memberat saat aktivitas dan ber
kurang dengan istirahat. Pasien mengeluh nyeri dada semakin memberat, nyeri
hilang timbul, nyeri dirasakan seperti tertekan benda berat dan menjalar ke lengan
kiri. Terbangun di malam hari karena sesak ada. Nyeri perut ada. Kaki sembab
tidak ada. Batuk-batuk pada malam hari ada, batuk tidak berdahak. Demam tidak
ada. Mual muntah tidak ada. Pasien lalu ke dokter swasta dan dikatakan irama jant
ung bermasalah, lalu pasien dirujuk ke IGD RSMH untuk tatalaksana yang lebih l
anjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat darah tinggi disangkal karena tidak pernah periksa.
 Riwayat kencing manis disangkal.
 Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pada keluarga disangkal.
- Riwayat keluarga menderita kencing manis disangkal.
- Riwayat keluarga menderita darah tinggi disangkal.
- Riwayat keluarga menderita sakit jantung disangkal.

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan danKebiasaan


- Riwayat merokok ada, sejak SMA dengan intensitas sehari 2 bungkus. Tetapi
sebulan terakhir sudah berhenti
- Riwayat konsumsi alkohol ± 10 tahun yang lalu, dengan intensitas seminggu
1 kali.
- Riwayat olahraga tidak teratur.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 110 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, kuat
angkat
Pernafasan : 26 x/menit, reguler, tipe pernafasan
abdominothorakal
Suhu : 36,2oC
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 166 cm
IMT 17,41 kg/m2 (berat badan kurang)

Pemeriksaan Khusus
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)

5
Visus : baik
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), sianosis (-)
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis: (5+3) cmH2O.

Thoraks
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri

6
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler normal, rhonki basah halus (+) di kedua paru,
wheezing (-)

Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan menurun dari kiri
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler normal, rhonki basah halus (+) di kedua paru,
wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordistidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri ICS V linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : HR 110 x/menit. BJ I-II (+) reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, striae (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1jbac dan lien t
idak teraba
Perkusi : nyeri ketok (-), shifting dullness (-), timpani
Auskultasi : Bising usus normal, 4x / menit

Ekstremitas
Inspeksi :

7
- Superior : pucat (-/-) edema (-/-), koilonikia (-), sianosis (-),
jari tabuh (-), kulit lembab, flapping tremor (-)
- Inferior : pucat (-/-) edema (-/-), koilonikia (-), sianosis (-),
jari tabuh (-), kulit lembab, flapping tremor (-)
- Palpasi
 Superior : pucat (-/-), sianosis (-/-), edema (-/-)
 Inferior : pucat (-/-), sianosis (-/-), edema
pretibial (-/-)
ROM :
- Superior : rom aktif pasif luas.
- Inferior : rom aktif pasif luas.

Alat Kelamin : Tidak diperiksa

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular,
submandibula, cervical anterior dan posterior, supraclavicula,
infraclaviculla, axilla, dan inguinal.

Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba

2.1 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium Darah (29 Februari 2020):
Hemotologi
- Hemoglobin (Hb) : 15,2 g/dL
- Eritrosit (RBC) : 5.14 x 106/mm3
- Leukosit (WBC) : 11,60 x 103/mm3
- Hematokrit (HT) : 46 %

8
- Hitung jenis (DC) : 0 / 4 / 48 / 40 / 8 %
Metabolisme Sewaktu
- Glukosa Sewaktu : 92 mg/dL
Ginjal
- Ureum : 45 mg/dL
- Creatinin : 1,17 mg/dL
Elektrolit
- Kalsium (Ca) : 9,3 mg/dL
- Natrium (Na) : 141 mEq/L
- Kalium : 4,3 mEq/L

 Hasil EKG(29 Februari 2020)

Irama : Irreguler
Axis : kanan
HR : 90 x/menit
Gelombang p : negatif
ST – T : T inversi negatif
ST : ST depresi negatif
PR Interval : negatif
QT Interval : negatif
QRS Kompleks : 0,10 detik
Kesan: atrial flutter NVR

9
2.5 Diagnosis Sementara
 Gagal Jantung Kongestif Fungsional NYHA III
 Atrial fibrilasi normoventricular response
 Mitral insufisiensi atau mital stenosis ec RHD (Rheumatic Heart Dise
ase) DD/ CAD

2.6 Diagnosis Banding


 Gagal Jantung Kongestif e.c. HHD
 Penyakit paru obstruktif kronis

2.7 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.8 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
- Istirahat - Nitrokaf retard 2x5 mg
- Diet jantung III - Aptor 1x100 mg
- Edukasi - Furosemide 1x20 mg IV
- Oksigen 2-4 L/menit, nasal cannul - Spironolactone 1x1,25 mg
- Digoxin 1x0,125 mg
- ISDN 3x5 mg sublingual
- Clobazam 1x10 mg
- Neurodex 1x1 tab

2.9 Follow Up
Follow up tanggal 1 Maret 2020 pukul 06.00 pagi
S : Sesak Berkurang
O : Sens = CM RR = 22 x/menitT = 36,6º C
TD= 150/90 mmHg N = 96 x/menit

10
Kepala = Konj. Anemis (-), Skelara Ikterik (-/-)
Leher = JVP (5-2 cmH2O), KGB (-)
Thorax = COR = BJ I/II Reguler. Murmur tidak ada, gallop tidak
ada
Pulmo = Vesikuler (+) Normal, Ronkhi (+) basah halus,
Wheezing (-)
Abdomen = Cembung, lemas, hepar teraba 1jbac dan lien tidak tera
ba, Shifting dullness (-)
Ekstremitas = palmar pucat tidak ada, edema pretibial tidak ada
A :
 Gagal Jantung Kongestif Fungsional NYHA III
 Atrial fibrilasi normoventricular response
 Mitral insufisiensi atau mital stenosis ec RHD (Rheumatic Hear
t Disease) DD/ CAD

P : Nonfarmakologis Farmakologis
- Istirahat - Nitrokaf retard 2x5 mg
- Diet jantung III - Aptor 1x100 mg
- Edukasi - Furosemide 1x20 mg IV
- Oksigen 2-4 L/menit, - Spironolactone 1x1,25 mg
nasal cannul - Digoxin 1x0,125 mg
- ISDN 3x5 mg sublingual
- Clobazam 1x10 mg
- Neurodex 1x1 tab
Follow up tanggal 2 maret 2020
S : Sesak Berkurang
O : Sens = CM RR = 23 x/menitT = 36,5º C
TD = 130/80 mmHg N = 91 x/menit
Kepala = Konj. Anemis (-), Skelara Ikterik (-/-)
Leher = JVP (5-2 cmH2O), KGB (-)
Thorax = COR = BJ I/II Reguler. Murmur tidak ada, gallop tidak
ada

11
Pulmo = Vesikuler (+) Normal, Ronkhi (+) basah halus,
Wheezing (-)
Abdomen = Cembung, lemas, hepar teraba 1jbac dan lien tidak tera
ba, Shifting dullness (-)
Ekstremitas = palmar pucat tidak ada, edema pretibial tidak ada
A :
 Gagal Jantung Kongestif Fungsional NYHA III
 Atrial fibrilasi normoventricular response
 Mitral insufisiensi atau mital stenosis ec RHD (Rheumatic Hear
t Disease) DD/ CAD
P : Nonfarmakologis Farmakologis
- Istirahat - Nitrokaf retard 2x5 mg
- Diet jantung III - Aptor 1x100 mg
- Edukasi - Furosemide 1x20 mg IV
- Oksigen 2-4 L/menit, - Spironolactone 1x1,25 mg
nasal cannul - Digoxin 1x0,125 mg
- ISDN 3x5 mg sublingual
- Clobazam 1x10 mg
- Neurodex 1x1 tab

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Congestive Heart Failure


3.1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri
yang penting dari definisi ini adalah definisi gagal relatif terhadap kebutuhan
metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada
fungsi miokardium. Gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung,
tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.
Gagal Jantung adalah sindrom klinis kompleks berupa disfungsi ventrikel
kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan pengaturan
neurohormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas,
retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal. Umumnya terjadi pada
penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer
mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat
mekanisme kompensasi.8 Pasien gagal jantung memiliki tampilan berupa gejala
gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat beraktivitas
dengan disertai kelelahan atau tidak), tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau
fungsi jantung saat istrahat.6,7

3.2. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang sedang berkembang di seluruh
dunia, dengan jumlah pasien di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang.
Prevalensi pasien gagal jantung secara keseluruhan pada populasi pasien dewasa
di negara-negara berkembang adalah 2%.7 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013 di Indonesia, prevalensi pasien gagal jantung pada tahun
2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 0,13%.8
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring
dengan usia, dan mempengaruhi sekitar 6-10% pasien dengan usia di atas 65

1
tahun. Prevalensi dari gagal jantung diduga meningkat karena penatalaksanaan
penyakit jantung yang semakin maju, seperti infark miokard, penyakit katup
jantung, dan aritimia, yang menyebabkan pasien bertahan lebih lama. 7 Jumlah
pasien yang dirujuk ke departemen emergensi dengan gagal jantung akut juga
meningkat secara paralel dengan meningkatnya populasi individu usia lanjut,
sesuai dengan meningkatnya pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal
jantung yang asimtomatis.9 Usia pasien gagal jantung di Indonesia relatif lebih
muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih
berat.10
Penderita penyakit jantung dan gagal jantung berdasarkan diagnosis
dokter maupun diagnosis/gejala diperkirakan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.6
3.3. Etiologi
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel
kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis
hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.
Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang
terdiri dari:
1) Kerusakan kontraktilitas ventrikel,
2) Peningkatan afterload, dan
3) Kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel.
Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease
(miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan
aortic regurgitasi dan cardiomyopathies).
Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi,
hipervolemia, defek septum ventrikel, defek septum atrium, paten duktus
arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat. Sedangkan kerusakan
pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel kiri,

2
restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard, transient myocardial ischemia,
dan kontriksi perikardial.
Penyebab gagal jantung antara lain disfungsi miokardium, endokardium,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup jantung, dan
gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokardium paling sering
terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokardium, yang
merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul
hipertensi dan diabetes. Di Indonesia belum memiliki data yang pasti, sementara
di Palembang, hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung
koroner dan katup.11
Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung, edema paru dan
syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting
diidentifikasi terutama yang bersifat irreversibel karena prognosis akan menjadi
lebih baik.6
3.4. Faktor Risiko
1. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun.
2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause (akibat
efek perlindungan estrogen).
3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial)
atau lingkungan (gaya hidup).
4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.
5. Peningkatan lipid serum.
6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress
(robekan), meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal
bebas, mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan
meningkatkan adhesi leukosit.
7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada
lamanya), mereka yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Asap rokok dapat menyebabkan
pembentukan oxidatively modified LDL.
8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki
prevalensi lebih tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat
kelainan metabolisme lemak atau predisposisi degenerasi vaskular
berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu
3
glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi terjadinya
atherosklerosis dengan cara yang sama dengan oxidatively modified LDL.
9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori
10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen

3.5. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang
dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung,
hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung
dalam berkontraksi secara normal. Peristiwa-peristiwa ini dapat terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan.7
Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun, meliputi
pengaktivasian:7,14
1. Sistem saraf simpatis, dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
2. Sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA), sistem saraf adrenergik, dan
sistem ADH. Sistem-sistem ini melalui ginjal dapat meningkatkan retensi
natrium dan air sehingga dapat meningkatkan tekanan pengisian jantung.
3. Sistem-sistem vasodilator seperti ANP, BNP, prostaglandin, dan NO yang
dapat mengimbangi vasokonstriksi perifer yang berlebihan.

4
Gambar 1. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung
Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition. 2015. Section 279. Heart Failure:
Pathophysiology and Diagnosis.7
Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat
memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus
aorta. Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus parasimpatis
terhadap sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis eferen dapat
meningkat secara general. Peningkatan tonus simpatis eferen menyebabkan
pelepasan ADH (vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi air. Aktivasi sistem
saraf simpatis juga dapat menyebabkan pelepasan sistem RAA yang dapat
menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron melalui ginjal.
Kedua aktivasi RAA dan ADH dapat meningkatan retensi air dan natrium tubuh
serta memicu vasokonstriksi perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan
fibrosis miokardium. Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya
dapat memfasilitasi adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat
dengan mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi ke
organ-organ vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dapat
menyebabkan perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi retensi
natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut. Aktivasi sistem-

5
sistem neurohormonal dalam waktu yang lama dapat menginduksi proses
maladaptif yang dapat menyebabkan remodelling ventrikel dan disfungsi
organ.7,14
Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke jaringan
interstisial melebihi kapasitas drainase sistem limfatik, meningkatnya tekanan
hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan onkotik transkapiler. Pada
individu yang sehat, peningkatan retensi natrium biasanya tidak akan disertai
pembentukan edema karena jaringan glikosaminoglikan akan menyangga
retensi natrium tersebut. Retensi natrium terjadi secara terus menerus pada
pasien gagal jantung sehingga jaringan glikosaminoglikan akan mengalami
gangguan fungsi dan sistem sangga ini tidak akan terjadi. Hal ini memudahkan
terjadinya edema paru dan edema sistemik.14
Pasien gagal jantung akut dengan hipertensi, terjadi perubahan yang dapat
meningkatan afterload dan menurunkan kapasitas vena (peningkatan preload).14
3.6. Manifestasi Klinis
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure).
Pada gagal jantung kronik, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA)
Functional Classification.11
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA Classification
NYHA I Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga, dan
sebagainya.
NYHA II Gejala ringan (sesak nafas ringan dan/atau angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa)
NYHA III Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal
jantung pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100
m. Pasien hanya merasa nyaman saat istirahat.
NYHA IV Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul
saat istirahat.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular

6
- Paroxysmal nocturnal dyspneu - Suara Jantung SIII (gallop)
- Toleransi aktivitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke
- Cepat lelah lateral
- Bengkak di pergelangan kaki - Bising jantung
Kurang Tipikal Kurang Tipikal
- Batuk di malam hari/ dini hari - Edema paru
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- BB bertambah > 2 kg/minggu - Suara pekak di basal paru pada
- BB turun/ gagal jantung stadium lanjut perkusi
- Perasaan kembung/begah - Takikardi
- Nafsu makan menurun - Nadi irreguler
- Perasaan bingung (terutama usia lanjut) - Nafas cepat
- Depresi - Hepatomegali
- Berdebar - Asites
- Pingsan
Dikutip dari ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2016.

Tabel 3. Organ yang Terkongesti dan Manifestasi Klinisnya


Organ yang Terkongesti Manifestasi Klinis
Jantung Suara jantung ke-3, distensi vena jugular, refluks
hepato-jugular, regurgitasi mitral dan trikuspid,
peningkatan kadar peptida natriuretik (BNP >100
pg/mL, NT-proBNP >300 pg/mL)
Paru-paru Dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, rales, crackles, mengi, takipnea,
kelainan gambar radiologis toraks (efusi pleura,
edema alveolar/interstisial)
Ginjal Penurunan BAK, peningkatan kreatinin,
hiponatremia
Hepar Hepatomegali, rasa tidak nyaman pada perut
kanan atas, ikterus, peningkatan kadar bilirubin
(mengindikasikan kolestasis)
Saluran cerna Mual, muntah, nyeri abdomen, asites,
peningkatan tekanan abdomen
Sumber: Arrigo, Mattia, dkk. 2016. Understanding acute heart failure: pathophyisiology and
diagnosis. European Heart Journal Supplements.14

3.7. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kronik dapat ditegakkan bila terdapat paling
sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.9
Tabel 4. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Kriteria Mayor Kriteria Minor
- Paroxysmal nocturnal dispnea - Edema ekstremitas
- Distensi vena-vena leher - Batuk malam
- Peningkatan vena jugularis - Sesak pada saat aktivitas
- Ronkhi - Hepatomegalli

7
- Kardiomegalli - Efusi pleura
- Edema paru akut - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
- Gallop bunyi jantung III - Takikardia (>120 denyut per menit)
- Refluks hepatojugular positif

Gambar 2. Algoritma diagnostik gagal jantung. Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2016

Anamnesis
Pada anamnesis pasien didapatkan pasien lemas, anoreksia dan mual,
gangguan mental pada usia tua.9

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pada pasien gagal jantung kronik didapatkan
takikardia, gallop bunyi jantung ke tiga, peningkatan/ekstensi vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegalli, ronkhi basah halus di

8
basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema
pretibial pada pasien dengan rawat jalan dan edema sakral pada pasien yang
tirah baring.9
Didapatkan juga efusi pleura yang lebih sering terjadi pada paru kanan
daripada paru kiri dan asites yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit
katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, dan nyeri tekan dan juga
dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik,
ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin. Dapat
ditemukan juga ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.9

Pemeriksaan Penunjang
 Foto rotgen dada
Rotgen thoraks digunakan untuk menilai ukuran dan bentuk jantung,
serta vaskularisasi paru dan kelainan non-jantung lainnya (hipertensi
pulmonal, edema interstitial, edema paru).11
Rontgen toraks merupakan komponen penting untuk mendiagnosis
gagal jantung karena dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru,
efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak
ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.7
Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Gambaran Anjuran dan interpretasi
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiografi, doppler
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Hipertropi Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi, doppler
Ventrikel kardiomiopati hipertrofi
Tampak Paru Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnostik
Normal
Kongesti Vena Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnostik
Paru ventrikel kiri gagal jantung kiri
Edema Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnostik
Intersital ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi Pleura Gagal jantung dengan bilateral, Pikirkan etologi non-
Infeksi paru, pasca bedah/ peningkatan tekanan kardiak
keganasan (jika efusi pengisian jika
efusi banyak)
Garis Karley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/ gagal
jantung kronik
Area Paru Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT,

9
Hiperlusen Ekokardiografi, Spirometri
Infeksi Paru Penumonia sekunder akibat Tatalaksana kedua penyakit:
kongesti paru gagal jantung dan kongesti
paru
Infiltrat Paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik
lanjutan
Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 201612

 Elektrokardiografi
Pada gagal jantung, interpretasi EKG yang perlu dicari adalah ritme,
ada/tidaknya hipertropi ventrikel kiri, serta ada/tidaknya infark (riwayat
atau sedang berlangsung). Meski tidak spesifik, EKG normal dapat
mengekslusi disfungsi sitolik.11
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua
pasien diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal
jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).7

Tabel 6. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

10
Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
20161 Abnormalitas Penyebab Interpretasi Klinis
1 Sinus Gagal Jantung dekompensasi, Penilaian klinis,
Takikardia anemia, demam, Pemeriksaan Laboratorium
hipertiroidisme
Sinus Obat penyekat b, anti aritmia, Evaluasi terapi obat,
Bradikardia hipotiroidisme, sindroma Pemeriksaan Laboratorium
sinus sakit
Atrial Hipertiroidisme, infeksi gagal Perlambatan konduksi AV,
Takikardia/ jantung dekompensasi, infark konversi medik,
Futer/ Fibrilasi miokard elektroversi ablasi kateter,
anti koagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratirium,
Ventrikel kardiomiopati, miokarditis, tes latihan beban,
hipokalemia, pemeriksaan perfusi,
hipomagnesemia, overdosis angiografi koroner, ICD
digitalis
Iskemia/ Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
angiografi koroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati, Ekokardiografi, angiografi
hipertropi, LBBB, preexitasi koroner
Hipertropi Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler
Ventrikel Kiri aorta, kardiomiopati
hipertropi
Blok Infark miokard, Intoksikasi Evaluasi penggunaan obat,
Atrioventrikuler obat, miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung, penyakit
penyakit lyme sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi, rontgen
perikard, amiloidosis thorax
Durasi QRS Diskroni elektrik dan Ekokardiografi, CRT-P,
>0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi LBB
LBBB = Left Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioventer
Defbrillator
CRT-P = Cardiac Resynchronization Therapy-PACEmaker; CRT-D =
Cardiac Resynchronization Therapy-Defbrillator

 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dinilai darah tepi lengkap, elektrolit,
BUN, kreatinin, enzim hepar, serta urinalsis. Pemeriksaan untuk diabetes
melitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting dilakukan.11
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan

11
urinalisis. Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan
terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEi (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone.7
-Hematologi rutin
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan,
terutama, anemia pada pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga
merupakan penyebab kesulitan bernafas dan gagal jantung high output.
-Urinalisis
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat
pada pemeriksaan urin rutin.
-Elektrolit serum
Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia mungkin
terjadi akibat penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan elektrolit ini
dapat memicu aritmia. Hiponatremia juga merupakan pertanda tingkat
keparahan gagal jantung.
-Profil Lipid
Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko penyakit
jantung koroner. Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida, dan juga perbandingan HDL / kolesterol
-Tes fungsi hati
Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim
hati dan penurunan albumin.
-Tes fungsi ginjal
Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus
dilakukan sebelum memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan
kadar kreatinin serum menandakan :
 Pengobatan ACEI
 Pengobatan diuretik dosis tinggi

12
 Azotemia pre-renal
 Stenosis arteri ginjal
- Hormon stimulasi tiroid
Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output.
Oleh karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang
baru didiagnosis gagal jantung.
- Peptida natriuretik
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung
yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat
dan rawat jalan. Kelompok peptida natriuretik terdiri dari peptida
natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain natiuretic peptide,
BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal,
dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya
dari projormon N-terminal-pro-BNP (NT-proBNP) juga penting dalam
diagnosis dan pengobatan gagal jantung. BNP berhubungan dengan
tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan prognosis.

Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung


Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai
untuk diagnosis gagal jantung
Usia Cenderung Kemungkinan Kemungkinan
(tahun) bukan gagal gagal jantung besar gagal
jantung jantung
BNP semua <100 pg/mL 100-500 pg/mL >500 pg/mL
NT-proBNP < 50 <300 pg/mL 300-450 pg/mL >450 pg/mL
50-75 <300 pg/mL 450-900 pg/mL >900 pg/mL
>75 <300 pg/mL 900-1800 >1800 pg/mL
pg/mL

 Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Istilah ekokardiograf
digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung termasuk
pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan Tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung.

13
Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi
sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
3.8. Tatalaksana
Pengobatan gagal jantung memiliki beberapa tujuan yaitu:
a. Menurunkan mortalitas
b. Mempertahankan/ meningkatkan kualitas hidup
c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan miokard,
remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi
cairan, dan perawatan di rumah sakit.

Non Farmakologi
Perawatan Mandiri
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan
pasien, kapasitas fungsional, well being, morbiditi dan prognosis. Perawatan
mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Topik-topik
penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai berikut:
Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang
diperlukan dan perilaku perawatan mandiri
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-
gagal jantung keluhan timbul
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
tanda-tanda gagal Mencatat berat badan setiap hari
jantung Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor berhenti merokok, memantau tekanan darah
risiko Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan
membuat keputusan realistik

14
Farmakologi
Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin
digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka
mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem
neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, morbiditas dan mortalitas
pasien gagal jantung membaik.12
Angiotensin converting enzyme (ACEI)
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
Pasien yang harus mendapatkan ACEi:
- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Memulai pemberian ACEi:
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF
<40% yang masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker
serta antagonis aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi
ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB
direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap
ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB menurunkan risiko
kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I, Tingkat
Bukti B).
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
- LVEF < 40%

15
- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI
- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker
Memulai pemberian ARB:
- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda
klinis/ gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Memulai pemberian diuretik :
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum

- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena


efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis

- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian


dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan.

Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada
terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi,
aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala
gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron:
- LVEF < 35%
- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton:
- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

16
- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Beta bloker
Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik
dan LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker
seharusnya sudah dimulai di RS sebelum pasien dipulangkan (Kelas
rekomendasi I, tingkat bukti A)
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
- Mengurangi detak jantung: memperlambat pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure
Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :
- LVEF <40%
- Gejala ringan sampai berat
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal
- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari
dosis diuretik)
Memulai pemberian beta bloker :
- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien
yang dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)
- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan
meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung,
hipotensi gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x /
menit) pada tiap kunjungan.
Glikosida jantung
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung
dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar
kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan
kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan
relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan
natrium intrasel.
17
Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan
untuk mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
C). Pada penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi
dengan digoksin (sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel,
mengurangi angka masuk RS karena perburukan gagal jantung namun tidak
berpengaruh terhadap survival (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B).
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal:
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta
bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis,
digoksin dapat dipertimbangkan
Senyawa amin simpatomimetik
Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat
digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan
agonis beta1 selektif yang dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan
tekanan pengisian ventrikel.
- efek inotropik positif
- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload
Efek dopamin sangat tergantung dosis:
- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan diuresis
- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas
jantung dan detak jantung
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan
meningkatkan tekanan darah.
18
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi11
Terapi vasodilator
a. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki
efek inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung.
Amlodipin merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang dapat
menurunkan mortalitas pada gagal jantung.
b. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara
langsung dan kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan
dalam afterload menimbulkan peningkatan curah jantung12.
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya
kondisi hipotensi, karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada
pasien dengan infark miokard akut. Pada saat memberikan nitroprusid,
sebaiknya dilakukan monitoring tekanan darah intra arteri.
c. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk
menurunkan risiko kematian (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B),
angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel dan
kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN :
- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap
walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis
aldosteron.
Memulai pemberian H-ISDN dengan mempertimbangkan peningkatan dosis
setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada hipotensi yang
simtomatis.
d. Nitrogliserin intravena
Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan
nitrogliserin merupakan terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat
diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa
19
nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload. Oleh karena itu,
nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien
dengan gagal jantung dekompensasi berat.

Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa
peptida ini bekerja menyebabkan :
- Natriuresis
- Diuresis
- Dilatasi vena dan arteri
- Penghambatan sistem saraf simpatis
- Antagonis protein pada rantai RAAS
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular
Trombolitik
a. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan.
Aspirin memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses
penghambatan prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan bahwa efikasi
ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan aspirin13.
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada
penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau
paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis
antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
b. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal
jantung dengan:
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
- Trombus pada ventrikel kiri
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada
penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau
paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis
antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke
20
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). Antikoagulan juga
direkomendasikan pada penderita dengan trombus intrakardiak yang
dideteksi dengan imaging atau bukti emboli sistemik (Kelas Rekomendasi
I, Tingkat Bukti C).
Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol
1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
succinat
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg

3.9. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit
jantung yang mendasari dan pada ada atau tidaknya faktor pencetus yang dapat
diobati. Jika salah satu dari yang terakhir dapat diidentifikasi dan dibuang, hasil
kelangsungan hidup segera jauh lebih baik daripada jika gagal jantung terjadi
tanpa penyebab pencetus yang terlihat. Dalam situasi terakhir, kelangsungan
hidup biasanya berkisar 6 bulan sampai 4 tahun bergantung pada keparahan
gagal jantung. Prognosis jangka panjang untuk gagal jantung adalah paling baik
jika bentuk penyakit jantung yang mendasari dapat diterapi.6
Jika perbaikan klinis terjadi hanya dengan pembatasan garam dalam diet
dan digitalis atau diuretik dosis kecil, hasilnya jauh lebih baik daripada jika

21
sebagai tambahan pengobatan, diperlukan terapi diuretik intensif dan
vasodilator. Faktor lain yang terlihat berkaitan dengan prognosis buruk dalam
gagal jantung mencakup waktu olah excercise yang singkat (<3 menit),
berkurangnya konsentrasi natrium serum (<133 mEq/L), berkurangnya
konsentrasi kalium serum (<3 mEq/L), meningkatnya peptida natriuretik atrium
dalam sirkulasi dan konsentrasi norepinefrin, demikian juga adanya ekstrasistole
ventrikel yang sering pada pemantauan Holter. Suatu fraksi yang besar dari
pasien dengan gagal jantung kongestif meninggal secara mendadak,
kemungkinan karena fibrilasi ventrikel.6
Prognosis pasien dengan gagal jantung ditentukan oleh status jantung
(cardiac status).9
Tabel 10. Status Jantung
Cardiac Status Prognosis
Uncompromised Baik
Slightely compromised Baik dengan pengobatan
Moderately compromised Gagal dengan pengobatan
Severe compromised Quard e derpite therapy

22
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan ± 1 hari


sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak semakin memberat. Sesak dirasak
an hiang timbul, memberat ketika beraktivitas ringan seperti berjalan sekitar 20m dan
membaik bila beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Terbangun
di malam hari karena sesak ada. Pasien lebih nyaman tidur dengan 3 bantal. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami dispnea d’effort dan paroxysmal nocturnal
dispnea/orthopnea yang disebabkan oleh adanya edema pada paru. Rasa berdebar ada,
memberat saat aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Rasa berdebar terjadi karena
adanya peningkatan usaha jantung dalam meningkatkan cardiac output. Pasien
mengeluh nyeri dada semakin memberat, nyeri hilang timbul, nyeri dirasakan seperti
tertekan benda berat dan menjalar ke lengan kiri. Nyeri perut ada, disebabkan oleh
adanya hepar. Batuk-batuk pada malam hari ada, batuk tidak berdahak. Batuk pada
malam hari merupakan salah satu gejala dari CHF. Kaki sembab tidak ada, yang
menunjukkan bahwa edema belum mengenai ekstremitas. Demam tidak ada. Mual
muntah tidak ada.
Hal ini didukung dengan pemeriksaan fisik yang didapatkan tekanan darah 15
0/90 mmHg; nadi 110 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, kuat angkat;
pernafasan 26 x/menit, reguler, tipe pernafasan abdominothorakal; tekanan vena
jugularis (5+3) cmH2O; auskultasi terdapat rhonki basah halus di kedua paru; perkusi
didapatkan batas kiri ICS V linea aksilaris anterior sinistra; dan palpasi didapatkan
hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae. Pemeriksaan fisik pada pasien ini
mendukung adanya gagal jantung kongestif. Sedangkan pada pemeriksaan
ekokardiografi didapatkan kesan atrial flutter NVR.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosis sementara berupa Congestive Heart Failure e.c. Hypertensive
Heart Disease. Kompetensi dokter umum untuk penanganan CHF termasuk dalam
tingkat kompetensi 3A, dimana mampu mendiagnosa, memberi terapi awal, lalu
merujuk pasien. Tatalaksana yang dilakukan antara tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologis terutama dilakukan edukasi kepada
pasien mengenai penyakit yang dialami, prognosis, rencana pengobatan, diet, dan cara

23
pencegahan. Pasien juga disarankan untuk bed rest, head Up 30-45o, diberikan
oksigen 3-4 l/m via nasal kanul. Untuk farmakologis, pasien diberikan nitrokaf retard,
aptor. Furosemide, spironolactone, digoxin, ISDN, dan clobazam.

24
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Malik A, Brito D, Chhabra L. Congestive Heart Failure (CHF) [Updated 2019 Jun
3]. In: StatPearls [Internet]. [Internet]. StatPearls Publishing; 2019. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/
2. Inamdar A, Inamdar A. Heart Failure: Diagnosis, Management and Utilization. J
Clin Med. 2016;5(7):62.
3. Figueroa MS, Peters JI. Congestive heart failure: Diagnosis, pathophysiology,
therapy, and implications for respiratory care. Respir Care. 2006;51(4):403–12.
4. Ziaeian B, Fonarow GC. Epidemiology and aetiology of heart failure. Nat Rev
Cardiol. 2016;13(6):368–78.
5. Lubitz SA, Benjamin EJ, Ellinor PT. Atrial Fibrillation in Congestive Heart
Failure. Heart Fail Clin. 2010;6(2):187–200.
6. Ponikowski, dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2016. 27: 2129-2200.
7. Mann, Doglas L., dan Chakinala, Murali. Section 279. Heart Failure:
Pathophysiology and Diagnosis. Dalam: Kasper Dennis L., dkk (Editor).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition; 2015.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin: Situasi Kesehatan Jantung,
Jakarta. 2014; p.3.
9. Ural, Dilek, dkk. Diagnosis and management of acute heart failure. Anatolian
Journal of Cardiology, 2015. 15: 860-869.
10. Siswanto, Bambang Budi, dkk. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI); 2015.
11. Kurmani, Sameer, dan Squire, Iain. Acute Heart Failure: Definition,
Classification, and Epidemiology. Current Heart Failure Report, 2017; 14: 385-
392.
12. Dickstein K., dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2008; 29: 2388-2442.
13. Yancy, dkk. 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive Summary.
Journal of the American College of Cardiology,2013; 62: 1495-1539.
14. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
VI Jilid I. Jakarta: InternaPublishing. 2014; p.1148-1160.

25
26

Anda mungkin juga menyukai