Anda di halaman 1dari 30

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

SIROSIS HEPATIS

Disusun Oleh :
Jason Tungadi (01073180156)

Pembimbing :
dr. Ignatius Bima Prasetya, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 8 JUNI – 11 JULI 2020

TANGERANG
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................2

2.1. Hepar...................................................................................................................................2
2.1.1. Anatomi Hepar.............................................................................................................2
2.1.2. Vaskularisasi Hepar....................................................................................................3
2.1.3. Histologi Hepar............................................................................................................4
2.1.4. Fisiologi Hepar.............................................................................................................5

2.2.2. Sirosis Hepatis..................................................................................................................5


2.2.1. Definisi..........................................................................................................................5
2.2.2. Etiologi Sirosis Hepatis................................................................................................5
2.2.3. Epidemiologi Sirosis Hepatis......................................................................................6
2.2.4. Patofisiologi Sirosis Hepatis........................................................................................6
2.2.5. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis..............................................................................7
2.2.6. Penatalaksanaan Komplikasi Sirosis Hepatis.........................................................15
2.2.7. Prognosis.....................................................................................................................22

BAB III KESIMPULAN..............................................................................................................23

BAB IV DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24


BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hepatis adalah penyakit fibrosis hepar tahap akhir. Awalnya penyakit ini tidak
menunjukkan gejala dan umumnya ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan rutin. Hal
ini membuat sirosis hepatis pada tahap awal sulit dideteksi. Lain halnya pada tahap
dekompensasi, di mana telah timbul gejala sehingga membuat orang datang ke fasilitas
kesehatan. Hal ini juga yang membuat angka prevalensi sirosis hepatis pada tahap ini menjadi
lebih akurat dibandingkan pada tahap awal. Saat berada di tahap dekompensasi, kualitas hidup
pasien akan menurun karena timbulnya komplikasi, sering lama berada di rumah sakit, dan
penggunaan obat jangka panjang.1

Penyebab sirosis hepatis bervariasi secara geografis. Pada negara barat ditemukan
penyebab seperti konsumsi alkohol, infeksi hepatitis C kronis, dan non-alcoholic fatty liver
disease (NAFLD). Infeksi hepatitis B kronik adalah penyebab utama dari sirosis hepatis pada
regio Asia Pasifik. Sirosis pada tahap dekompensasi menurunkan angka harapan hidup dengan
risiko kematian 9,7 kali lipat. Sirosis menyebabkan kematian sebesar 1,16 juta jiwa. Hal ini
membuat sirosis menjadi penyebab kematian nomor 11 di dunia.2–4

Diagnosa sirosis hepatis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan klinis, hasil


laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Seperti yang diketahui bahwa sirosis hepatis
merupakan penyakit di tahap akhir, maka fokus pengobatan bertujuan untuk mencegah dan
menghambat progresivitas dari penyakit ini. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien sirosis
merupakan akibat dari disfungsi hepar dan/atau hipertensi porta seperti asites, varises, hepatic
encephalopathy.5,6

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepar
2.1.1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat mencapai 2-3% dari
berat badan manusia, sekitar 1.4 kg. Bagian luar dari hepar dilapisi oleh lapisan
peritoneum viseral dan jaringan ikat dari peritoneum. Hepar terletak di kuadran kanan
atas kavum abdomen, tepatnya di inferior dari diafragma sisi kanan, regio
hipokondriak kanan dan regio epigastrik kanan.7,8
Hepar terdiri dari 2 lobus yang dipisahkan oleh ligamen falsiformis dengan lobus
kanan yang lebih besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Lobus kanan terdiri dari lobus
kuadratus dan lobus kaudatus. Ligamen falsiformis berfungsi sebagai penyokong
hepar di rongga abdomen. Ligamentum teres merupakan sisa dari vena umbilikalis
yang mengalirkan darah dari plasenta. Ligamentum teres ini membentang dari hepar
ke umbilicus. Selain itu, terdapat ligamentum coronary yang melekat di permukaan
superior hepar dan permukaan inferior diafragma. Ligamentum coronary anterior dan
posterior akan menyatu dan membentuk ligamentum triangular. Hal ini membuat
adanya area kecil di bagian posterior hepar yang tidak dilapisi oleh peritoneum.7–9

Gambar 1.1. Ligamen-ligamen yang terdapat di hepar7

2
2.1.2. Vaskularisasi Hepar
Hepar adalah organ yang kaya akan vaskularisasi, menerima hampir sekitar 25%
dari volume curah jantung. Peredaran darah hepar terbagi atas arteri hepar yang kaya
akan oksigen (25% suplai darah) dan vena porta hepar yang berisi karbon dioksida,
nutrisi-nutrisi, hormon, zat sisa hasil metabolism, toksin, dan patogen dari saluran
cerna (75% suplai darah). Kedua pembuluh darah ini akan bercampur di sinusoid
hepar, di mana hepatosit akan mengambil zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Sedangkan nutrisi yang masih dibutuhkan akan masuk ke sirkulasi sistemik melalui
saluran vena hepatika menuju vena kava inferior (IVC).7,8,10

3
Gambar 1.2. Vaskularisasi Hepar10

2.1.3. Histologi Hepar


Secara histologis, hepar terdiri dari beberapa komponen yaitu hepatosit, sinusoid
hepatika, dan kanalikuli empedu. Hepatosit merupakan sel fungsional hepar yang
bertugas dalam menjalankan fungsi metabolik, sekretorik dan endokrin. Hepatosit
menyusun sekitar 80% volume hepar dan membentuk kompleks 3 dimensi yang
disebut dengan lamina hepatika. Lamina hepatika yang berada di sebelah rongga
vaskular disebut dengan sinusoid hepatika. Sinusoid hepatika ini merupakan kapiler
pembuluh darah yang sangat permeabel yang terletak diantara hepatosit yang
menerima darah dari cabang arteri dan vena porta hepatika. Aliran darah pada sinusoid
hepatika akan bermuara di vena kava inferior (IVC) melalui vena sentral dan vena
hepatika. Terdapat stellate reticuloendothelial cells yang berfungsi sebagai makrofag
hepar. Diantara hepatosit, terdapat suatu saluran untuk mengumpulkan cairan empedu
yang disebut kanalikuli empedu. Kanalikuli empedu ini akan masuk ke hepatic duct di
permukaan posterior hepar. Hepatic duct kanan dan kiri ini akan bersatu membentuk
ductus hepaticus communis dan akan menjadi ductus choledochus ketika telah
bergabung dengan cystic duct. Ductus choledochus ini yang akan membuat empedu
masuk ke duodenum.8,10

Gambar 1.3. Histologi Hepar8

4
2.1.4. Fisiologi Hepar
Hepar memiliki beberapa memiliki beberapa fungsi yaitu:8,10,11
a) Metabolisme karbohidrat, lipid, protein, obat-obatan, dan hormon.
b) Ekskresi bilirubin
c) Sintesis cairan empedu
d) Penyimpanan vitamin dan mineral
e) Imunologi
f) Detoksifikasi
g) Fagositosis

2.2.2. Sirosis Hepatis


2.2.1. Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit kronis tahap akhir dengan karakteristik adanya fibrosis
dan pembentukan nodul di hepar sebagai akibat dari kerusakan kronis. Fibrosis terjadi
sebagai akibat dari adanya reaksi inflamasi yang pada akhirnya akan menurunkan fungsi
hepar yang irreversible.5,12,13

2.2.2. Etiologi Sirosis Hepatis


Penyebab sirosis hepatis yang sering dijumpai adalah konsumsi alkohol yang berlebihan,
viral hepatitis kronik, non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), penyakit autoimun,
autoimun hepatitis, primary sclerosing cholangitis (PSC), primary biliary cholangitis, dan
cryptogenic cirrhosis.13

5
Gambar 2.1. Penyebab Sirosis Hepatis5

2.2.3. Epidemiologi Sirosis Hepatis


Secara epidemiologi, sirosis hepatis tidak membedakan jenis kelamin dan ras. Sirosis
hepatis menyebabkan 1,3 juta kematian di dunia.13 Pada negara maju, penyebab utama
terjadinya sirosis hepatis adalah infeksi hepatitis C dan penyalahgunaan alkohol. Namun
pada negara berkembang, sering ditemukan infeksi hepatitis B yang menjadi penyebab
penyakit ini. Prevalensi sirosis hepatis sulit untuk diperkirakan karena asymptomatic pada
tahap awal.14

2.2.4. Patofisiologi Sirosis Hepatis


Sel-sel yang berperan dalam proses sirosis hepar seperti stelate cells (HSC), sinusoidal
endothelial cells (SEC), dan sel Kupffer (KCs). HSC yang awalnya berfungsi sebagai
storage vitamin A akan teraktivasi dan menjadi myofibroblast ketika terekspos dengan
sitokin. Myofibroblast ini akan menyimpan kolagen sehingga membuat terjadinya fibrosis.
SEC membuat pertukaran cairan dan nutrisi antara sinusoid dan hepatosit menjadi mungkin
karena terbentuknya lapisan endotel yang ditandai dengan adanya fenestrasi dinding endotel.
Pada sirosis, terjadi SEC mengalami defenestrasi sehingga menimbulkan perisinusoidal
fibrosis. SEC juga menghasilkan NO (Nitrite Oxide) dan ET-1 (Endothelin-1) yang
mempengaruhi HSC dengan cara mengendalikan aliran darah sinusoidal. Pada sirosis,

6
kontraktilitas HSC dipengaruhi dengan cara menurunkan produksi NO dan peningkatan
produksi ET-1. Hal ini membuat terjadi peningkatan vasokonstriksi dan resistensi vaskular
intrahepatik yang berujung pada hipertensi portal. KC yang merupakan makrofag yang
melapisi dinding sinusoid berperan dengan cara melepas mediator dan bertindak sebagai
APC (Antigen Presenting Cell). Peran hepatosit yang rusak akan melepaskan stres oksidatif
dan mediator inflamasi sehingga lebih mendukung terjadinya fibrosis hepar.4,12,15
Pada pasien sirosis hepatis terjadi hipertensi portal dan sirkulasi hiperdinamik. Secara
sekunder, hipertensi portal terjadi akibat adanya fibrosis dan vasokonstriksi intrahepatik
sehingga memicu adanya sirkulasi kolateral dan hiperdinamik. Pembuluh darah kolateral
dibentuk untuk menurunkan tekanan intrahepatik. Efek yang berlawanan terjadi pada
sirkulasi sistemik, di mana terjadi peningkatan produksi NO sehingga terjadi vasodilatasi
sistemik. Hal ini memicu teraktivasi RAAS (renin-angiotensin-aldosterone system) yang
meretensi natrium dan air. Teraktivasi RAAS membuat terjadinya sirkulasi hiperdinamik.
Sirkulasi hiperdinamik ini diperparah dengan adanya pembuluh darah kolateral yang akan
meningkatkan aliran darah vena ke jantung.12,16

2.2.5. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis


2.2.5.1. Anamnesis
Sirosis umumnya tidak terdeteksi hingga terjadi dekompensasi. Penting untuk
ditanyakan faktor predisposisi pasien terhadap sirosis seperti penggunaan alkohol dan
obat-obat terlarang, riwayat seksual, riwayat transfusi, dan riwayat keluarga untuk
menyingkirkan penyebab dari sirosis.17

2.2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pada pasien sirosis dapat ditemukan hasil pemeriksaan fisik yang beragam sesuai
dengan penyebabnya.
Jaundice / icterus adalah diskolorasi kulit menjadi warna kekuningan sebagai
hasil dari penumpukan bilirubin di jaringan seperti kulit, mata, dan membran mukosa.
Umumnya pasien tampak kuning jika kadar serum bilirubin > 2.5 mg/dL. Diskolorasi
pada pasien sirosis tidak disertai dengan perubahan warna urin karena terjadi
peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi.18

7
Spider naevus merupakan akibat dari kegagalan otot sfingter yang mengelilingi
arteriol di dekat permukaan kulit sehingga menyebabkan lesi vaskular yang ditandai
dengan dilatasi ujung vaskular. Lesi dapat muncul sebagai lesi soliter atau multiple
dan berbentuk pusat kemerahan dengan perluasan seperti gambaran jarring laba-laba
dengan diameter 1-10 mm. Gambaran spider naevus ini dapat ditemukan mengikuti
peredaran pembuluh darah vena kava superior (muka, leher, dada, dan tangan).19–22
Splenomegaly merupakan suatu manifestasi klinis pada sirosis hepatis yang
diakibatkan oleh hipertensi porta dan diperparah dengan vasodilatasi sistemik sehingga
terjadi kongesti di spleen. Selain itu, juga terjadi hiperaktivasi makrofag yang berada
di spleen.23,24
Asites adalah penumpukan cairan di rongga peritoneum. Hal ini merupakan suatu
akibat dari fibrosis hepar yang menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Hal ini
dibarengi dengan gangguan pada hukum Starling di mana terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik dan permeabilitas dinding pembuluh darah serta penurunan tekanan
onkotik. Derajat keparahan asites terbagi ke dalam 4 kategori. Derajat 1 diperkirakan
terdapat 100 mL cairan di peritoneum. Derajat 2 diperkirakan terdapat 1000 mL cairan
di peritoneum. Pada derajat 2 ini, dapat ditemukan pemeriksaan shifting dullness
positif. Derajat 3 diperkirakan terdapat beberapa liter cairan di rongga periotenum
sehingga memberikan gambaran grossly distended. Derajat 4 menunjukkan gejala
yang tidak nyaman (tense).22,25
Caput medusa terjadi akibat adanya hipertensi porta. Darah dari vena porta
berpindah melewati vena umbilkal ke vena di dinding abdomen. Penampakan caput
medusa ini disebabkan oleh adanya pembentukan pembuluh darah kolateral yang
menjalar dari umbilikus melintasi lapang abdomen sebelum masuk ke pembuluh darah
vena sistemik.26 Cruveilhier Baumgarten syndrome juga disebabkan oleh hipertensi
porta yang membuat terjadinya dilatasi vena umbilikal dan paraumbilical. Hal ini
membuat adanya shunting ke pembuluh darah kolateral. Pada auskultasi dapat
terdengar murmur di epigastrik.27
Palmar erythema (PE) merupakan temuan klinis berupa kemerahan simetris yang
teraba hangat dan tidak disertai dengan rasa nyeri dan gatal. Seringkali ditemukan
pada palmar thenar dan hypothenar eminences. PE merupakan suatu tanda klinis

8
dengan diagnosis banding yang luas sehingga membutuhkan temuan klinis lainnya
untuk menegakkan suatu diagnosa. Namun harus dibedakan dengan palmar mottling,
di mana terdapat area kemerahan dengan bitnik-bintik pucat berdiameter 1 mm.28,29

Gambar 2.2. Palmar erythema29 Gambar 2.3. Palmar mottling28

White nails / Terry’s nail adalah pola kuku yang dihubungkan dengan sirosis
hepatis, khususnya yang disebabkan oleh alkohol. Pola kuku ini memberikan
gambaran ground glass like opacity pada hampir seluruh nail bed.30

Gambar 2.4. Terry’s Nail30

9
Finger clubbing dikarakteristikkan dengan pembesaran bulbus fokal dari segmen
terminal jari tangan / kaki yang disebabkan oleh adanya proliferasi dari jaringan ikat
antara matriks kuku dan falang. Hal ini menyebabkan peningkatan diameter
anteroposterior dan lateral kuku.31
Dupuytren’s contracture adalah fibrosis dari fascia palmar yang berprogres secara
lambat. Kontraktur ini berawal dari nodul yang dengan seiring waktu menjadi
kontraktur jari. Kontraktur ini terbagi ke dalam 3 grading yaitu grade 1-3.32,33

Gambar 2.5. Derajat keparahan kontraktur Dupuytren33

Gambar 2.6. Dupuytren’s Contracture33 Grade


Grade 1

Grade 2

10
Grade 3

Hypogonadism pada sirosis hepatis secara patogenesis terbagi menjadi 3 faktor


yaitu hiperestrogen, malnutrisi, dan terjadi kerusakan yang mempengaruhi gonad,
hipotalamus, dan kalenjar pituitari. Penurunan produksi testosterone dan peningkatan
produksi androstenedione dan konversinya ke estrone membuat terjadi keadaan
hiperestrogen. Secara klinis, hypogonadism bermanifestasi dengan atrofi testis,
impotensi, rambut rontok, mengecilnya ukuran prostat, gynecomastia, disfungsi
ereksi.34–36
Asterixis adalah gangguan kontrol motorik yang ditandai dengan ketidakmampuan
untuk mempertahankan posisi secara aktif sehingga timbul perubahan postur
mioklonik yang menpengaruhi berbagai bagian tubuh (tremor). Hal ini merupakan
salah satu tipe mioklonus negatif di mana terjadi gangguan sementara dan tidak
beritme dari kontraksi otot volunter. Secara patofisiologi dipercayai bahwa terjadi
abnormalitas fungsi dari pusat motorik diensefal yang mengatur kontraksi otot agonis
dan antagonis. Asterixis dapat dipicu dengan cara mengekstensi lengan, dorsifleksi
pergelangan tangan, dan melebarkan jari-jari tangan. Kemudian lihat “flap” di
pergelangan tangan. Asterixis ini dapat ditemukan di banyak penyakit, namun sering
ditemukan pada penyakit-penyakit di hepar.37,38
Foetor hepaticus merupakan bau nafas yang beraroma seperti feces. Bau ini
diasosiasikan dengan hipertensi porta dengan portosystemic shunt dan penurunan
aliran darah ke hepar akan mengakibatkan terganggunya metabolisme klirens dari
trimethylamine. Sehingga memungkinkan produk yang belum dimetabolisme untuk
masuk ke dalam sirkulasi sistemik.39

11
2.2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien sirosis hepatis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium dan imaging. Pemeriksaan biopsi hepar merupakan
pemeriksaan baku emas namun jarang dilakukan karena invasif. Pada pemeriksaan
laboratorium, tidak ada tes serologi yang dapat mendiagnosa sirosis secara akurat.
Berikut ini adalah contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan.17,40–42
Pemeriksaan Keterangan
AST & ALT Rasio AST / ALT > 1
ALP Sedikit meningkat (< 2-3 kali dari batas atas nilai
normal)
Meningkat > 3 kali pada PBC dan PSC
GGT Sedikit meningkat
Hemoglobin Anemia terjadi karena defisiensi besi, perdarahan, dan
inflamasi kronik
Trombosit Trombositopenia terjadi karena pengurangan produksi
trombopoietin, destruksi trombosit yang berlebihan
Natrium Hiponatremia karena peningkatan aktivasi ADH
(antidiuretic hormone)
Albumin Hipoalbunimenia karena penurunan produksi akibat
kerusakan hepar yang berat
Prothrombin Time Memanjang karena terjadi gangguan pembentukan
(PT) faktor-faktor koagulasi di hepar
INR INR meningkat akibat kerusakan di hepar
Bilirubin Meningkat setelah ALP dan GGT meningkat, akibat
penurunan fungsi produksi hepar dan ekskresi ginjal
Amonia darah Meningkat karena disfungsi hepar dan hipertensi porta
sehingga terjadi shunting dan pengurangan pengeluaran
secara ekstrahepatik
Immunoglobulin IgM meningkat pada PBC
IgA meningkat pada sirosis yang disebabkan oleh
alkohol
IgG meningkat pada AIH

Pemeriksaan radiologis (USG, CT, MRI) dapat memberikan gambaran adanya


sirosis namun tidak dapat digunakan sebagai baku emas untuk mendiagnosa sirosis.

12
Hal ini dikarenakan pemeriksaan radiologis hanya dapat digunakan untuk mendeteksi
perubahan morfologi hepar seperti adanya nodul di permukaan hepar dan perubahan
volume termasuk pembesaran lobus kaudatus dan segmen lateral lobus kiri, atrofi dari
segmen medial lobus kanan dan kiri. Selain itu, dapat juga ditemukan tanda-tanda
hipertensi porta seperti varises, asites, splenomegaly, infiltrasi lemak di omentum dan
mesenterika, serta shunting arterioportal arteriovenous intrahepatic. Tanda-tanda
lainnya dapat dilihat di table berikut.43,44

Tabel 2.1. Tanda-tanda sirosis hepatis yang sering ditemukan pada pencitraan44

USG merupakan alat pencitraan pilihan utama yang digunakan karena


pemeriksaan ini tersedia di banyak tempat, mudah digunakan, relatif aman dan murah.
US elastografi dapat digunakan untuk menilai derajat fibrosis hepar. Ada beberapa tipe
US elastografi seperti transient elastografi (TE), acoustic radiation force impulse
imaging (ARFI), supersonic shear wave imaging (SSI), and real-time tissue
elastography. Sementara CT merupakan alat diagnostik yang paling sensitif untuk
menilai perubahan morfologi hepar karena dapat menvisualisasi hepar, limpa, dan
sistem porta. Namun adanya risiko terpapar radiasi, penggunaan zat kontras, dan biaya
pemeriksaan yang cukup tinggi. MRI memiliki keuntungan yaitu lebih baik untuk
menilai soft tissue. MRE (Magnetic Resonance Elastography) dapat mengevaluasi
derajat liver dan spleen stiffness. Namun pemeriksaan ini mahal dan terbatas.43,44

13
Gambar 2.7. Gambaran CT Sirosis Hepatis et causa Hepatitis B kronik dengan kontras
Terlihat ada fibrosis dan asites Pada panah terlihat pengecilan diameter vena porta
karena ada pembuluh darah kolateral (arrowhead)43

Biopsi hepar merupakan baku emas dari penegakkan diagnosa sirosis hepatis.
Sampel biopsi diambil dengan cara perkutan (palpasi/perkusi, US guided, real-time
image guided), transvenous, laparaskopik. Pemeriksaan jaringan hasil biopsi ini
dikelompokkan menggunakan klasifikasi METAVIR.45–47

Sketsa46 Gambar Mikroskopis46,47 Keterangan48


F0 = Normal Liver

14
F1 = Minimal fibrosis (Porta
fibrosis without septa)

F2 = Moderate / clinically
significant fibrosis (portal
fibrosis with few septa)

F3 = Severe fibrosis (septal


fibrosis with many septa but
no cirrhosis)

F4 = Cirrhosis

2.2.6. Penatalaksanaan Komplikasi Sirosis Hepatis


Sirosis merupakan penyakit tahap akhir sehingga pengobatannya bertujuan untuk
mencegah perburukan. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain asites,
hidrotoraks, infeksi bakteri, hiponatremia, hepatorenal syndrome, portopulmonary
hypertension, perdarahan saluran cerna, koagulopati, malnutrisi, dan ensefalopati
hepatikum.

15
Asites merupakan salah satu komplikasi yang paling umum dijumpai pada
penderita sirosis hepatis. Sebanyak 60% pasien sirosis akan memiliki asites dalam
waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Asites ini menandakan suatu tanda prognostik
yang buruk karena mortalitasnya mencapai 44% dalam 5 tahun follow-up. Penting
untuk diketahui konsentrasi protein asites karena konsentrasi protein dibawah 1.5
gram/dL akan meningkatkan risiko terjadinya spontaneous bacterial peritonitis
(SBP). Terdapat derajat keparahan dari asites yang terbagi ke dalam 4 kategori.
Derajat 1 diperkirakan terdapat 100 mL cairan di peritoneum. Derajat 2 diperkirakan
terdapat 1000 mL cairan di peritoneum. Pada derajat 2 ini, dapat ditemukan
pemeriksaan shifting dullness positif. Derajat 3 diperkirakan terdapat beberapa liter
cairan di rongga periotenum sehingga memberikan gambaran grossly distended.
Derajat 4 menunjukkan gejala yang tidak nyaman (tense). Pada pasien sirosis dengan
asites dapat diberikan terapi berupa restriksi konsumsi garam 4.6-6.9 gram/hari,
pemberian diuretik, albumin infus, parasentesis, dan transjugular intrahepatic
portosystemic shunt. Diuretik yang dapat diberikan adalah antimineralokortikoid
seperti spironolakton 100-400 mg/hari atau furosemide 40-160 mg/hari. Kombinasi
diuretic spironolakton dan furosemide dimulai dengan dosis 100 mg/hari dan 40
mg/hari yang dapat dinaikkan setiap 7 hari saat target terapi yaitu penurunan berat
badan 0,5-1 kg/hari tidak tercapai. Albumin infus / baclofen dapat diberikan 10-30
mg/hari.25,49–51
Indikasi parasentesis adalah mencari penyebab asites onset baru, menyingkirkan
diagnosa SBP, dan meringankan gejala gangguan pernafasan. Meski begitu,
parasentesis tidak dapat dilakukan pada beberapa kondisi seperti DIC (disseminnated
intravascular coagulation) yang merupakan kontraindikasi absolut. Pasien dengan
trombositopenia dan koagulopati masih dapat dipertimbangkan dilakukan
parasentesis. Parasentesis harus dilakukan secara steril. Pasien diminta untuk
berbaring terlentang dengan elevasi kepala. Berikan tanda pada tempat pungsi di 2
cm di bawah umbilicus di garis midline atau pada kuadran bawah kanan atau kiri, 2-4
cm medial anterior superior iliac spine dengan jarum mengarah ke kepala. Dapat
dipertimbangkan dilakukan pada posisi LLD (left lateral decubitus) pada pasien
dengan obesitas. Kemudian lakukan sterilisasi dan berikan anestesi lokal seperti

16
lidokain pada area insersi kateter. Lakukan penusukan secara tegak lurus dengan
kulit dengan syringe 50 mL. Lakukan penusukan secara perlahan sambil melakukan
aspirasi dan memberikan traksi pada kulit. Arahkan jarum hingga terasa kehilangan
resistensi secara tiba-tiba atau cairan asites mengisi syringe yang menandakan bahwa
jarum telah berada di rongga peritoneal. Ambil cairan sesuai kebutuhan seperti ambil
30-60 mL untuk melakukan parasentensis diagnostik. Sedangkan untuk melakukan
LVP, diperlukan pemasangan tabung bertekanan tinggi ke kateter dan wadah
penampung. Lakukan pencabutan kateter sambil melakukan aspirasi dan balut lokasi
tusukan dengan perban.52,53
Parasentesis dapat menjadi pilihan terapi pada pasien dengan asites derajat 3 atau
asites refrakter, di mana dapat diberikan albumin 8 gram/L asites yang dikeluarkan
untuk mencegah terjadinya PPCD (post-paracentesis circulatory dysfunction) dan
diuretik dosis rendah untuk mencegah terjadinya akumulasi dari asites. Transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) bertujuan untuk mendekompresi sistem
porta dengan cara membuat shunt ke vena hepar. Setelah diinsersi TIPS, anjuran
restriksi garam dan pemberian diuretik tetap dilanjutkan.51
Pada pasien sirosis dengan hidrotoraks, penanganan asites menjadi terapi lini
pertama. Terapi lain yang dapat dipertimbangkan adalah torakosentesis, pleurodesis,
dan transplan hati. Torakosentesis dilakukan dengan tujuan untuk memperingan
gejala sesak nafas. Pleurodesis dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat
dilakukan transplantasi hepar. Pleurodesis dicetuskan dengan pemberian talc,
tetrasiklin, doksisiklin, bleomisin.51
Infeksi bakteri menjadi salah satu penyebab kematian pada pasien sirosis. Risiko
terkena infeksi bakteri pada pasien sirosis dapat meningkat dengan dilakukannya
tindakan prosedur medis seperti pemasangan kateter urin. Ada beberapa teori tentang
mekanisme terjadinya infeksi bakteri yaitu adanya anastomosis porto-sistemik
sehingga darah tidak difiltrasi di hepar, disfungsi sistem retikuloendotel, fungsi
fagositik neutrophil yang terganggu, translokasi bakteri. Contohnya seperti SBP
(Spontaneous Bacterial Peritonitis). SBP secara definisi adalah ditemukannya
jumlah neutrophil diatas 0.25 gram/L pada cairan asites. Penanganan infeksi bakteri
dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik empiris. Pada SBP dapat diberikan

17
albumin 1,5 gram/kg saat diagnosis dan 1 gram/kg pada hari ke-3. Hal ini bertujuan
untuk menurunkan insidensi HRS tipe 1 dan mortalitas.49,51,54,55
Hiponatremia dapat dijumpai pada pasien sirosis dan umumnya menunjukkan
gejala bila kadar serum dibawah 100 mmol/L atau terjadi penurunan secara drastis.
Tatalaksana yang dapat diberikan tergantung dengan tipe hiponatremianya. Pada
hipovolemik hiponatremia dapat diberikan saline solution sehingga terjadi plasma
volume expansion. Sedangkan pada hipervolemik hiponatremia diberikan restriksi
cairan. Pemberian cairan hipertonik natrium klorida hanya diberikan pada pasien
dengan hiponatremia berat karena dapat memperburuk asites dan edema.51,54
Hepatorenal Syndrome (HRS) merupakan suatu gagal ginjal fungsional dengan
tidak ada perubahan histologis pada ginjal. Hal ini umumnya terjadi pada sirosis
tahap lanjut di mana perubahan di sirkulasi sistemik yang membuat hipoperfusi
ginjal sehingga terjadi retensi natrium dan air serta penurunan laju filtrasi ginjal.
HRS ini dapat didiagnosa dengan serum kreatinin > 1.5 mg/dL, ada asites, dan
menyingkirkan penyebab lain dari gagal ginjal pada pasien sirosis. Terdapat 2 tipe
HRS yaitu tipe 1 dan tipe 2. Pada HRS tipe 1 yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal secara cepat. Pada HRS tipe 2 ditandai dengan penurunan bertahap dari fungsi
ginjal. Terapi lini pertama yang dapat diberikan adalah terlipressin IV continous 2
mg/hari yang dapat dinaikkan hingga 12 mg/hari ditambah dengan albumin 20-40
mg/hari. Terapi ini diberikan hingga SCr (serum creatinine) turun menjadi 1-1,2
mg/dL dan biasanya diberikan selama 5-15 hari. Transplantasi hati merupakan satu-
satunya tatalaksana yang bersifat kuratif.51,55–57
Portopulmonary Hypertension (PPHT) didefinisikan sebagai hipertensi arteri
pulmonal (MPAP > 25 mmHg dan PCWP < 15 mmHg) yang ada bersamaan dengan
hipertensi portal dan tanpa penyebab lain dari PAH. Secara patofisiologi, perubahan
di pengatur pembuluh darah membuat terjadinya vasokonstriksi yang mengakibatkan
aliran darah di arteri pulmonal berkurang. Pasien dengan komplikasi ini
meningkatkan risiko terjadinya thrombosis vaskular paru. Terapi yang dapat
diberikan adalah epoprostenol, bosentan, sildenafil, iloprost.51,54,58
Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna akibat sirosis, tingkat mortalitas
yang sangat tinggi membuat pentingnya dilakukan pencegahan. Pada pencegahan

18
primer dapat diberikan obat NSBB (non-selective beta-blocker) dan pada pencegahan
sekunder, pemberian obat NSBB ditambahkan dengan endoscopic band ligation.
Penanganan perdarahan saluran cerna akut (AVH) perlu dilakukan sesegera mungkin
saat dicurigai ada AVH. Penanganan AVH meliputi manajemen resusitasi (ABC),
restorasi volume darah, pemberian obat vasoaktif, dan antibiotik profilaksis.
Restorasi volume darah dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid. Transfusi
darah dapat dipertimbangkan ketika kadar Hb < 7 dengan target terapi 7-9.
Pemberian obat vasoaktif secara intravena seperti terlipressin, somatostatin, dan
octreotide diberikan sebelum melakukan endoskopi. Dosis terlipressin 2mg/4j selama
48 jam pertama dan 1mg/4j setelahnya, somatostatin continuous infusion 250-500 μ
g/jam setelah dibolus 250 μg, octreotide continuous infusion 50 μg / jam setelah
dibolus 50 μg. Pemberian antibiotik profilaksis seperti ceftriaxone 1gram OD atau
norfloxacin 400 mg BD bertujuan untuk mengurangi risiko terkena infeksi.51,59,60
Koagulopati adalah komplikasi dari kerusakan hepar yang mengakibatkan
terganggunya fungsi kaskade koagulasi, penurunan produksi trombopoietin dan
absorpsi vitamin K. Hal ini disebabkan oleh semua faktor-faktor pembekuan
dihasilkan di hepar kecuali Factor VIII dan vWF (von Willebrand’s Factor). Selain
itu juga banyak faktor-faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K. Faktor-
faktor ini berperan dalam intrinsic dan extrinsic yang akan bergabung ke common
pathway. Faktor VIII meningkat sebagai respons terhadap sitokin dari jaringan
nekrotik dan menurunnya klirens hepar. Pada faktor-faktor pembekuan darah yang
teraktivasi juga meningkat sebagai hasil dari penurunan antithrombin yang dihasilkan
oleh hepar. Produksi plasmin juga meningkat karena enzim TAFI (Thrombin
activatable fibrinolysis inhibitor) yang bertugas untuk menghambat tPA (tissue
plasminogen activator) itu diproduksi di hepar. Hal ini membuat fibrinolysis
meningkat. Ketidakseimbangan homeostatis ini secara klinis dapat bermanifestasi
dalam bentuk epistaksis, perdarahan gingiva, ecchymoses, dan perdarahan saluran
cerna. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan adanya hemoglobin menurun,
trombositopenia dan PT memanjang. Terapi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
platelet count > 50 x 109/L, fibrinogen > 1,5 g/L, mempertahankan hemoglobin di
kisaran 7 mg/dl.61–65

19
Gambar 2.8. Kaskade koagulasi dan perubahan patofisiologis pada sirosis61

Malnutrisi pada hepar disebabkan oleh banyak hal seperti asupan yang berkurang,
terjadi malabsorpsi, gangguan metabolisme, dan abnormal loss. Asupan yang
berkurang dapat disebabkan oleh banyak hal seperti restriksi garam dan protein
sehingga makanan terasa hambar atau cepat merasa kenyang karena kompresi dari
asites atau bagian dari komplikasi sirosis. Malabsorpsi dapat terjadi seperti pada
gangguan produksi dari cairan empedu atau kerusakan anatomis sehingga terjadi
gangguan absorpsi lemak. Gangguan metabolisme terjadi karena asupan yang
berkurang, fungsi hepar yang menurun, dan kebutuhan yang meningkat. Fungsi
hepar yang menurun membuat hepar hanya dapat sedikit menyimpan nutrisi seperti
glukosa sehingga tubuh mengkompensasi dengan cara glukoneogenesis.
Glukoneogenesis sendiri adalah proses terjadi pemecahan protein di hepar untuk
membuat glukosa. Hal ini membuat pemecahan protein yang berlebih dan
mengakibatkan berkurangnya masa otot. Abnormal nutrition loss seringkali terjadi
sebagai akibat dari penggunaan diuretik dan pelaksanaan parasentesis. Terapi yang
dapat diberikan adalah perbaikan gaya hidup, kalori 25-40 kcal/kg/hari, protein 1-1,5

20
gram/kg/hari, lemak 25-30% asupan kalori harian, dan perbaikan mikronutrisi sesuai
defisiensi yang ditemukan. Contoh penanganan defisiensi mikronutrisi adalah
vitamin A 25.000unit selama 4-8 minggu, vitamin D 50.000 UI / minggu selama 8-
12 minggu, 50 mg elemental zinc, magnesium oxide 400 mg.66–68
Ensefalopati hepatikum (HE) adalah komplikasi dari insufisiensi hepar dan
portosystemic shunting yang menimbulkan gejala neurologis dan psikiatri non
spesifik. Pada pasien dengan disfungsi hepar, sintesis urea akan terganggu dan otak
melalui astrosit menjadi alternatif untuk mendetoksifikasi amonia. Pada pasien
dengan HE, minimal muncul gejala yang berhubungan dengan gangguan atensi,
kecepatan psikomotor, dan kemampuan visuospasial. Seiring dengan progresifitas
HE, gejala gangguan kepribadian, kesadaran, dan fungsi motorik dapat muncul.
Gejala asterixis atau flapping tremor sering muncul sebelum pasien HE jatuh ke
dalam keadaan stupor atau koma. Tingkat keparahan HE dapat dinilai menggunakan
West Haven Criteria. HE didiagnosa setelah menyingkirkan penyebab disfungsi otak
lainnya. Terapi yang dapat diberikan adalah asupan energi harian 35-40 kkal/kgBB
ideal, asupan protein harian 0.5 g/kg/hari yang ditingkatkan hingga 1-1.5 g/kg/hari,
anjuran untuk makan dalam porsi kecil, nonabsorbable disaccharides (25 mL
Lactulose sirup setiap 1-2 jam sampai minimal 2 kali BAB cair / lunak per hari),
lactulose + rifaximin, BCAAs oral, IV LOLA, neomycin, metronidazole.69,70

Gambar 2.9. West Haven Criteria Grading System of Hepatic Encelopathy69

21
2.2.7. Prognosis
Prognosis pada pasien sirosis hepatis dinilai dengan klasifikasi Child Pugh
Turcotte. Klasifikasi ini menilai adanya enselopati, asites, kadar bilirubin, albumin, dan
INR. Penilaian ini akan dijumlahkan dan dimasukkan ke dalam tiga kategori. Kategori
A merupakan kategori fungsi hepar yang baik, total 5-6 poin, memiliki angka harapan
hidup 15-20 tahun dan kematian setelah operasi sebesar 10%. Pada kategori B, fungsi
hepar moderately impaired, total 7-9 poin menurunkan angka harapan hidup menjadi 4-
14 tahun dan meningkatkan angka kematian menjadi 30%. Kategori C dengan total poin
10-15 merupakan kategori yang paling parah karena angka harapan hidupnya menjadi
hanya 1-3 tahun saja dengan tingkat kematian mencapai 80%.40,71,72

Nilai 1 2 3
Enselopati Tidak ada Dikontrol secara medis Tidak terkontrol
Asites Tidak ada Dikontrol secara medis Tidak terkontrol
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/dL) < 3.5 2.8-3.5 < 2.8
INR < 1.7 1.7-2.2 > 2.2
Tabel 2.3. Tabel Child Pugh Turcotte40,71

22
BAB III

KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan fibrosis dan penurunan
fungsi hepar. Aktivasi stellate cell merupakan hal penting dalam perkembangan sirosis. Sirosis
disebabkan oleh beberapa penyebab seperti konsumsi alkohol, hepatitis kronik, dan penyakit
autoimun. Sirosis terbagi atas 2 kategori yaitu sirosis terkompensasi dan sirosis dekompensasi.
Pada kategori terkompensasi, sirosis hepatis umumnya tanpa gejala dan sering ditemukan secara
tidak sengaja. Pada kategori dekompensasi, muncul gejala yang mencakup disfungsi ginjal
dan/atau hipertensi porta. Diagnosis sirosis hepatis dapat dibuat dengan menilai klinis, hasil
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang seperti pencitraan. Pemeriksaan biopsi hepar
merupakan baku emas untuk mendiagnosa sirosis hepatis.5,12,41,43,48
Sirosis dapat dikatakan masuk ke kategori dekompensasi saat muncul komplikasi seperti
asites, infeksi bakteri (SBP), dan hepatorenal syndrome. Pengobatan utama pada pasien sirosis
hepatis adalah mengobati komplikasi yang terjadi untuk mengurangi mortalitas. Transplantasi
hati merupakan satu-satunya tatalaksana definitif untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Prognosis pada pasien sirosis diukur dengan klasifikasi Child-Pugh Turcotte. Pada pasien dengan
sirosis yang tidak terkompensasi, angka harapan hidup menurun.40,51,55,71,72

23
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sepanlou SG, Safiri S, Bisignano C, Ikuta KS, Merat S, Saberifiroozi M, et al. The global,
regional, and national burden of cirrhosis by cause in 195 countries and territories, 1990–
2017: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet
Gastroenterol Hepatol. 2020;5(3):245–66.
2. Asrani SK, Devarbhavi H, Eaton J, Kamath PS. Burden of liver diseases in the world. J
Hepatol. 2019;70(1):151–71.
3. Ge PS, Runyon BA. Treatment of patients with cirrhosis. N Engl J Med.
2016;375(8):767–77.
4. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J Gastroenterol.
2014;20(23):7312–24.
5. Wiegand J, Berg T. The Etiology, Diagnosis and Prevention of Liver Cirrhosis. Dtsch
Aerzteblatt Online. 2013;110(5).
6. Rahimi RS, Rockey DC. Complications of cirrhosis. Curr Opin Gastroenterol.
2012;28(3):223–9.
7. Abdel-Misih SRZ, Bloomston M. Liver Anatomy. Surg Clin North Am. 2010;90(4):1–17.
8. Tortora GJ, Derrickson B. PRINCIPLES OF ANATOMY AND PHYSIOLOGY 2014 -
Tortora - 14th Ed. 2014.
9. Ellis H. Anatomy of the liver. Surgery. 2011;29(12):589–92.
10. Sherwood L. Sherwood. 9th ed. Dalgleish T, Williams JMG., Golden A-MJ, Perkins N,
Barrett LF, Barnard PJ, et al., editors. Cengage Learning. 2007.
11. Ozougwu JC. Physiology of the liver. Int J Res Pharm Biosci. 2017;4(8).
12. Sharma B, John S. Hepatic cirrhosis. NCBI. 2020;13(6):297–307.
13. Geong GY, Kang SH, Lee CM. An updated review on the epidemiology,
pathophysiology, etiology, and diagnosis of liver cirrhosis. Preprints. 2019;
14. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. Lancet. 2014;383(9930):1749–
61.
15. Kolios G, Valatas V, Kouroumalis E. Role of Kupffer cells in the pathogenesis of liver

24
disease. World J Gastroenterol. 2006;12(46):7413–20.
16. Kim MY, Baik SK, Lee SS. Hemodynamic alterations in cirrhosis and portal
hypertension. Korean J Hepatol. 2010;16(4):347–52.
17. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part I. Diagnosis and
evaluation. Am Fam Physician. 2006;74(5).
18. Karnath B. Stigmata of Chronic Liver Disease. 2003;14–7.
19. Sacchidanand S, Savitha A, Shilpa K. Spider angioma. Snapshots in Dermatology.
2013;715–715.
20. Yalcin K, Ekin N, Atay A. Unusual presentations of spider angiomas. Liver Int.
2013;33(3):487.
21. Singh S, Sahoo AK, Ramam M, Bhari N. Mucocutaneous spider angiomas in an
adolescent with chronic liver disease. Arch Dis Child. 2018;103(12):1145.
22. Udell JA, Wang CS, Tinmouth J, FitzGerald JM, Ayas NT, Simel DL, et al. Does this
patient with liver disease have cirrhosis? JAMA - J Am Med Assoc. 2012;307(8):832–42.
23. Li L, Duan M, Chen W, Jiang A, Li X, Yang J, et al. The spleen in liver cirrhosis:
Revisiting an old enemy with novel targets. J Transl Med. 2017;15(1):1–10.
24. Bolognesi M, Merkel C, Sacerdoti D, Nava V, Gatta A. Role of spleen enlargement in
cirrhosis with portal hypertension. Dig Liver Dis. 2002;34(2):144–50.
25. Moore CM, Van Thiel DH. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and
management. World J Hepatol. 2013;5(5):251–63.
26. Sharma B, Raina S. Caput medusae. Indian J Med. 2015;141.
27. Masoodi I, Farooq O, Singh R, Ahmad N, Bhat M, Wani A. Courveilhier baumgarten
syndrome: a rare syndrome revisited. Int J Health Sci (Qassim). 2009;3(1):97–9.
28. Serrao R, Zirwas M, English JC. Palmar erythema. Am J Clin Dermatol. 2007;8(6):347–
56.
29. Nautiyal A, Chopra KB. Liver Palms (Palmar Erythema). Am J Med. 2010;123(7):596–7.
30. Nia AM, Ederer S, Dahlem KM, Gassanov N, Er F. Terry’s nails: A window to systemic
diseases. Am J Med. 2011;124(7):602–4.
31. Sarkar M, Mahesh DM, Madabhavi I. Digital clubbing. Lung India. 2012;29(4):354–62.
32. Gautam P, Vijayavarman V, Verma VK. Bilateral Dupuytren’s Contracture in Chronic
Liver Disease. Int J Contemp Med Res [IJCMR]. 2018;5(8):5–7.

25
33. Hart MG, Hooper G. Clinical associations of Dupuytren’s disease. Postgrad Med J.
2005;81(957):425–8.
34. Cavanaugh J, Niewoehner CB, Nuttall FQ. Gynecomastia and cirrhosis of the liver. Arch
Intern Med. 1990;150(3):563–5.
35. Green JRB. Progress report Mechanism of hypogonadism in cirrhotic males.
1977;18:843–53.
36. Foresta C, Schipilliti M, Ciarleglio FA, Lenzi A, D’Amico D. Male hypogonadism in
cirrhosis and after liver transplantation. J Endocrinol Invest. 2008;31(5):470–8.
37. Gokula RM, Khasnis A. Asterixis. J Postgrad Med. 2003;49(3):272–5.
38. Agarwal R, Baid R. Asterixis. J Postgrad Med. 2016;62(2):115–7.
39. Mitchell S, Ayesh R, Barrett T, Smith R. Trimethylamine and foetor hepaticus. Scand J
Gastroenterol. 1999;34(5):524–8.
40. Schuppan D, Afdhal NH. Liver cirrhosis. Lancet. 2008;371:838–51.
41. Yang YY, Lin HC. Diagnostic laboratory tests. In: Lee SS, Moreau R, editors. Cirrhosis:
A Practical Guide to Management. Joh Wiley & Sons Ltd.; 2015. p. 12–20.
42. Lin S, Sun QQ, Mao WL, Chen Y. Serum Immunoglobulin A (IgA) Level Is a Potential
Biomarker Indicating Cirrhosis during Chronic Hepatitis B Infection. Hindawi Publ Corp
Gastroenterol Res Pract. 2016;2016(December 2014):1–6.
43. Yeom SK, Lee CH, Cha SH, Park CM. Prediction of liver cirrhosis, using diagnostic
imaging tools. World J Hepatol. 2015;7(17):2069–79.
44. Procopet B, Berzigotti A. Diagnosis of cirrhosis & portal hypertension: Imaging, non-
invasive markers of fibrosis & liver biopsy. Gastroenterol Rep. 2017;5(2):79–89.
45. Rockey DC, Caldwell SH, Goodman ZD, Nelson RC, Smith AD. Liver biopsy.
Hepatology. 2009;49(3):1017–44.
46. Shiha G, Zalat K. Ishak versus METAVIR: Terminology, Convertibility and Correlation
with Laboratory Changes in Chronic Hepatitis C. In: Takahashi H, editor. Liver Biopsy.
InTech; 2011. p. 155–70.
47. Krishna M. Microscopic anatomy of the liver. Clin Liver Dis. 2013;2(SUPPL. 1):4–7.
48. Muir AJ. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clin Ther. 2015;37(8):1822–36.
49. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: An update.
Hepatology. 2009;49(6):2087–107.

26
50. Biecker E. Diagnosis and therapy of ascites in liver cirrhosis. World J Gastroenterol.
2011;17(10):1237–48.
51. Angeli P, Bernardi M, Villanueva C, Francoz C, Mookerjee RP, Trebicka J, et al. EASL
Clinical Practice Guidelines for the management of patients with decompensated cirrhosis.
J Hepatol. 2018;406–60.
52. Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med.
2006;255(21).
53. McGibbon A, Chen GI, Peltekian KM, Van Zanten SV. An Evidence-Based Manual for
Abdominal Paracentesis. Dig Dis Sci. 2007;52(12):3307–15.
54. Nusrat S, Khan MS, Fazili J, Madhoun MF. Cirrhosis and its complications: Evidence
based treatment. World J Gastroenterol. 2014;20(18):5442–60.
55. Poordad FF. Presentation and complications associated with cirrhosis of the liver. Curr
Med Res Opin. 2015;31(5):925–37.
56. Gines P, Schrier RW. Renal Failure in Cirrhosis. N Engl J Med. 2009;361(13):1279–90.
57. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. Hepatorenal syndrome: A review. Lancet.
2003;362.
58. Rodríguez-Roisin R, Krowka MJ, Hervé P, Fallon MB, Barberá JA, Cáneva JO, et al.
Pulmonary-hepatic vascular disorders (PHD). Eur Respir J. 2004;24(5):861–80.
59. Augustin S, González A, Genescà J. Acute esophageal variceal bleeding: Current
strategies and new perspectives. World J Hepatol. 2010;2(7):261–74.
60. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding in patients with cirrhosis. Therap Adv Gastroenterol. 2014;7(5):206–16.
61. Flores B, D Trivedi H, C Robson S, Bonder A. Hemostasis, bleeding and thrombosis in
liver disease. J Transl Sci. 2017;3(3):1–7.
62. Muciño-Bermejo J, Carrillo-Esper R, Uribe M, Méndez-Sánchez N. Coagulation
abnormalities in the cirrhotic patient. Ann Hepatol. 2013;12(5):713–24.
63. Kujovich JL. Coagulopathy in liver disease: A balancing act. Hematology.
2015;2015(1):243–9.
64. Drolz A, Ferlitsch A, Fuhrmann V. Management of Coagulopathy during Bleeding and
Invasive Procedures in Patients with Liver Failure. Visc Med. 2018;34(4):254–8.
65. Lisman T, Leebeek FWG, De Groot PG. Haemostatic abnormalities in patients with liver

27
disease. J Hepatol. 2002;37(2):280–7.
66. Calmet F, Martin P, Pearlman M. Nutrition in patients with cirrhosis. Gastroenterol
Hepatol. 2019;15(5):248–54.
67. Cheung K, Lee SS, Raman M. Prevalence and Mechanisms of Malnutrition in Patients
With Advanced Liver Disease, and Nutrition Management Strategies. Clin Gastroenterol
Hepatol. 2012;10(2):117–25.
68. Saunders J, Brian A, Wright M, Stroud M. Malnutrition and nutrition support in patients
with liver disease. Frontline Gastroenterol. 2010;1(2):105–11.
69. Paul Starr S, Raines D. Cirrhosis: Diagnosis, Management, and Prevention. Am Fam
Physician. 2011;84(12):1353–9.
70. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Ferenci P, Mullen KD, et al. Hepatic
Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the European
Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of
Liver Diseases. J Hepatol. 2014;61(3):642–59.
71. Tsoris A, Marlar CA. Use Of The Child Pugh Score In Liver Disease. StatPearls.
2019;7(4):31194448.
72. D’Amico G, Garcia-Tsao G, Pagliaro L. Natural history and prognostic indicators of
survival in cirrhosis: A systematic review of 118 studies. J Hepatol. 2006;44(1):217–31.

28

Anda mungkin juga menyukai