Anda di halaman 1dari 34

LIBRARY MANAGER

DATE SIGNATURE

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2022
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TRAUMA FISIK PADA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

OLEH:
Fitri Jafani La’biran C014202163
Nur Ismi Amaliah C014202192
Nur Mutmainnah Sholeha C014211024
Iftitah Magfira C014211020

Residen Pembimbing
dr. Deiby Inggrid Saumana

Supervisor Pembimbing
dr. Djumadi Achmad, Sp.PA(K), Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

2
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Fitri Jafani La’biran C014202163
Nur Ismi Amaliah C014202192
Nur Mutmainnah Sholeha C014211024
Iftitah Magfira C014211020

Judul Referat : Trauma Fisik Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

Makassar, November 2022

Mengetahui,
DAFTAR PENYAKIT ILMU KEDOKTERAN

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia 2019


KERANGKA TEORI
KERANGKA KONSEP
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR PENYAKIT SNPDI 2019 iii
KERANGKA TEORI iv
KERANGKA KONSEP v
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1. Definisi 3
2.2. Epidemiologi
5
2.3. Etiologi...............................................................................................8
2.4. Pemeriksaan Pasien KDRT 10
2.4.1 Penampilan 11
2.4.2 Anamnesis 11
2.4.3 Pemeriksaan Fisik 12
2.4.4 Jenis Luka 12
2.5 Dampak Kekerasan dalam KDRT 17
2.6 Proses dan Alur Pelayanan 20
2.7 Aspek Hukum 20
BAB III KESIMPULAN 23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak


asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan
bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dilakukan dengan
alasan apapun merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat dibenarkan.1 Catatan
Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan
dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender
(KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan
3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap
perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020).
Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus
(dari 215.694 pada 2020). Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat
secara signifikan sebesar 80%, dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus
pada 2021.3 Dengan jumlah kasus yang semakin meningkat dari tahun ke tahun,
hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri karena memicu tingginya angka
korban yang mengalami perlukaan akibat kekerasan dan juga meningkatnya angka
perceraian. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi baik pada pria maupun
wanita. Namun pria sangat jarang melaporkan kekerasan yang dialami dengan
berbagai alasan.2
Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertulis dalam
Undang-undang N0 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Runah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya
menjangkau hubungan antara suami dengan istri dalam rumah tangga, namun
termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup

1i
rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah 1) suami, isteri, dan anak (termasuk anak
angkat dan anak tiri); 2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut. 3) orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.4

2i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua
orang atau lebih masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan
yang terdiri dari bapak, Ibu, kakak dan nenek. Menurut UU No. 23
Tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.5

2.1.2 Definisi Kekerasan


Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik
maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif
(tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang
merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh
korban. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan
dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi.2
Menurut Setyaningrum dan Aziz (2014), secara umum
terdapat empat bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan psikis dan kekerasan atau penelantaran ekonomi.
Kekerasan fisik adalah tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, sakit
atau cedera serius. Seperti, meninju, menampar, merebut,
menendang atau bahkan meludah. Beberapa kekerasan fisik juga
kerap dilakukan dengan menggunakan benda tajam, dan menyiram
dengan air panas atau cairan kimia tertentu. Kekerasan fisik dapat

3i
membuat korban menderita luka dan memar, namun tidak menutup
kemungkinan kekerasan fisik menyebabkan kecacatan bahkan
kematian. Kekerasan psikis adalah tindakan yang mengakibatkan
hilangnya kepercayaan diri, ketakutan, dan hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa putus asa dan menyebabkan penderitaan
psikologis yang berat pada seseorang.6
Menurut WHO (2005) kekerasan seksual dapat
diidentifikasi melalui tiga perilaku, yaitu dipaksa secara fisik untuk
melakukan hubungan seksual yang bertentangan dengan keinginan,
melakukan hubungan seksual berdasarkan rasa takut akan tindakan
yang mungkin dilakukan oleh pasangan jika menolak, dan dipaksa
untuk melakukan tindakan seksual yang memalukan dan tidak
nyaman. Penelantaran rumah tangga adalah penelantaran seseorang
yang tinggal dalam lingkup rumah tangganya yang menurut
undang-undang berlaku baginya untuk memberikan kehidupan,
pemeliharaan, dan pemeliharaan orang tersebut. Termasuk setiap
orang yang menimbulkan ketergantungan ekonomi baik dengan
membatasi atau melarang penghasilan yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga adalah penelantaran seseorang yang
tinggal dalam lingkup rumah tangganya yang menurut
undang-undang berlaku baginya untuk memberikan kehidupan,
pemeliharaan, dan pemeliharaan orang tersebut. Termasuk setiap
orang yang menimbulkan ketergantungan ekonomi baik dengan
membatasi atau melarang penghasilan yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga adalah penelantaran seseorang yang
tinggal dalam lingkup rumah tangganya yang menurut
undang-undang berlaku baginya untuk memberikan kehidupan,
pemeliharaan, dan pemeliharaan orang tersebut. Termasuk setiap
orang yang menimbulkan ketergantungan ekonomi baik dengan

4i
membatasi atau melarang penghasilan yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.6
2.1.3 Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 Tahun 2014 Kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama
perempuan, kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis
dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan yang melawan hukum.
kemandirian dalam lingkup rumah tangga, secara umum terdapat
empat jenis kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga
yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran.6
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup
rumah tangga meliputi:4
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan hasil Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komisi Nasional Anti

Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan catatan


dan memberikan kesimpulan bahwa pada tahun 2015 kekerasan terhadap
perempuan memperlihatkan pola yang meluas, sehingga penting agar negara
hadir secara maksimal untuk terlibat dalam pencegahan, penanganan, serta
tindakan strategis untuk menjamin rasa aman perempuan korban. Temuan
Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak
terjadi pada ranah dosmetik atau rumah tangga maupun dalam relasi
perkawinan, tetapi terjadi meluas dimasyarakat umum maupun yang

5i
berdampak dari kebijakan negara. Dengan demikian bahwa kekerasan

terhadap perempuan menjadi masalah serius yang harus direspon secara cepat
dan tepat agar tidak terjadi permasalahan kompleks yang ditimbulkan
dikemudian hari.2
Catatan kekerasan personal (KDRT/Relasi Personal) Tahun 2016
sebanyak 321.752 kasus. Jenis kekerasan terhadap perempuan paling besar
adalah kekerasan di ranah personal. Sementara bentuk kekerasan yang paling
besar adalah kekerasan dalam bentuk fisik dan seksual. Hal ini berbeda dari
tahun sebelumnya yang menemukan bentuk kekerasan yang terbesar adalah
fisik dan psikis. Artinya terjadi kenaikan data kasus kekerasan seksual yang
dilaporkan dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun kekerasan dalam bentuk
perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak

18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus). Data tersebut

menunjukkan bahwa mayoritas korban-korban kekerasan dalam lingkup


personal (domestik/ rumah tangga) adalah perempuan. Tidak dipungkiri
bahwa perempuan tergolong menjadi kelompok rentan terhadap kekerasan,
khususnya kekerasan dalam rumah tangga.2
Selanjutnya di data tahun 2017 angka kasus kekerasan dalam rumah
tangga setiap tahun terus mengalami peningkatan, yang dapat menunjukkan
bahwa masyarakat terutama penyintas mulai menyadari bahwa tindakan yang
dilakukan oleh pelaku merupakan sebuah bentuk kekerasan, sehingga
penyintas memiliki hak untuk memperjuangkan hidupnya untuk menjadi
lebih baik. Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan Indonesia tahun
2017 memaparkan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang paling
menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga yang mencapai angka 75%
yaitu sebanyak 10.205 kasus. Posisi kedua yaitu kekerasan di ranah
komunitas dengan persentase 22% atau 3.092 kasus (Catahu) Komisi
Nasional Perempuan Indonesia tahun 2017. 7

6i
Tabel 1. Jenis KDRT Tahun 2020.8

Data di atas merupakan data terbaru menyatakan bahwa banyaknya jenis


KDRT/ Relasi Personal terhadap perempuan yang menandakan semakin
banyak perempuan yang menjadi korban KDRT. Menurut data Catahu 2021
KDRT terhadap istri pada tahun 2020 memang menurun secara signifikan jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun fenomena turunnya
tingkat KDRT terhadap perempuan seharusnya tidak membuat masyarakat
menjadi lengah, karena pada kenyataannya kekerasan terhadap istri masih
menjadi kekerasan di ranah personal dengan tingkat paling tinggi setiap
tahunnya. Selain itu, masih banyak kekerasan terhadap perempuan yang perlu
dihadapi untuk menciptakan ruang aman bagi semua perempuan di setiap
ruang dan waktu.8

Tabel 2. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Istri8

7i
Epidemiologi pada bentuk KDRT menurut pasal 5-9 Undang-Undang PKDRT
No. 23 Tahun 2004, dinyatakan bahwa bentuk-bentuk KDRT sebagai berikut:8

a.
Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.
b.
Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c.
Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
d.
Penelantaran rumah tangga, yaitu menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. penelantaran juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantuangan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang orang bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut

Tabel 3. Bentuk KDRT

8i
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2021.8

2.3 Etiologi

Etiologi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga


khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu:8

a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan


istri.
Budaya patriarki membuat laki-laki atau suami berada dalam tingkat
kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan atau istri, sehingga
perempuan tidak jarang ketika sudah menikah dianggap sebagai milik
suaminya. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan dalam hubungan
karena suami memiliki kuasa lebih terhadap istrinya dibandingkan
istrinya sendiri.

b. Ketergantungan ekonomi.
Pendidikan dan Budaya patriarki yang sudah menjadi bagian dalam
masyarakat memberikan pandangan bahwa seorang istri memang
seharusnya bergantung pada suami. Fenomena ini tidak jarang membuat
sebagian istri tidak terbiasa mandiri atau berdaya secara ekonomi,
sehingga ketika terjadi KDRT membuat istri harus bertahan. Perilaku
seperti ini juga membuat suami merasa memiliki kuasa lebih akan
ketidak berdayaan istrinya.

c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.

9i
Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya dilatar belakangi oleh ketidak
sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan dilakukan dengan
tujuan agar istri dapat memenuhi harapannya tanpa melakukan
perlawanan karena ketidak berdayaannya. Fenomena ini juga masih
menjadi salah satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa jika
perempuan atau istri tidak menurut, maka harus diperlakukan secara
keras agar ia menjadi penurut.

d. Persaingan
Pada dasarnya manusia hidup memang penuh persaingan dan tidak
pernah mau kalah, begitupun dengan sepasang suami dan istri.
Persaingan antara suami dan istri terjadi akibat ketidak setaraan antara
keduanya untuk saling memenuhi keinginan masing-masing, baik dalam
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi, keadaan lingkungan kerja
dan masyarakat dapat menimbulkan persaingan yang dapat
menimbulkan terjadinya KDRT. Budaya juga membuat pandangan
bahwa laki-laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan,
sehingga tidak heran jika terjadi kekerasan terhadap perempuan atau
istri hanya untuk memenuhi ego laki-laki atau suami.

e. Frustasi
Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang menimbulkan
frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi
timbul akibat ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan yang
dirasakan oleh suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum
siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap
yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan masih serba terbatas
dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian
kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada
pelampiasan berbentuk kekerasan terhadap istrinya, baik secara fisik,
seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga.

2.4 Pemeriksaan Pasien KDRT

10i
Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang RI Nomor 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
perbutatan yang termasuk dalam kekerasan fisik dalam rumah tangga
merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat.4 Kekerasan fisik merupakan salah satu jenis kekerasan
dalam rumah tangga yang paling banyak terjadi . Tindak kekerasan
fisik yang dilakukan oleh pelaku kerap meninggalkan luka fisik bagi
korban, sehingga dengan mudah dapat dikenali baik bagi korban
sendiri maupun oleh orang lain yang mengetahui adanya tindak
kekerasan.9
Beberapa hal yang perlu dicermati oleh para professional
sebagai tanda adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah jenis luka
atau penyebab luka, sikap/perilaku korban (perempuan) dan
pengantarnya (mungkin suami/pasangan atau pelakunya).
Suami/pasangan Ketika mengantarkan berobat dapat menunjukkan
sikap yang kurang wajar seperti tampak ragu-ragu, kuatir berlebihan
atas luka-luka kecil, memberikan penjelasan tentang peristiwa yang
tidak perlu dijelaskan atau acuh tak acuh kepada istrinya.
Suami/pasangan menanyakan sedikit tentang akibat lanjut perlukaan
itu dan kemudian cepat-cepat meninggalkan rumah sakit tanpa
memberikan keterangan cukup, atau menolak rawat inap di rumah
sakit. Suami yang mengaiaya dapat juga menerangkan bahwa luka itu
akibat kesalahan perempuan itu sendiri. Tanda lain adalah bahwa
suami yang menganiaya tersebut sering menunda-nunda mencari
pertolongan medik. Dan bila penganiayaan itu dilakukan
berulang-ulang oleh suami/pasangan, maka tempat berobat atau dokter
atau rumah sakit tempat mencari pertolonganpun berganti-ganti. 10
Untuk kekerasan yang terjadi pada anak, dapat terlihat dari cara
berpakaian, keadaan gizi dan keadaan fisik dapat memadai namun
ekspresi wajah, gerak-gerik, bahasa badan, dapat mengungkapkan
perasaan sedih, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan,
atau adanya amarah yang terpendam. 10

11i
Berikut beberapa hal yang dapat digunakan untuk menilai bahwa
terjadi kecenderungan kekerasan dalam rumah tangga : 10
- Cidera bilateral atau multiple
- Beberapa cidera dengan beberapa penyembuhan
- Tanda kekerasan seksual
- Keterangan yang tidak sesuai dengan cideranya
- Keterlambatan berobat
- Berulangnya kehadiran di rumah sakit akibat trauma
2.4.1 Penampilan10,15
- Cara berpakaian
- Keadaan Fisik dan Gizi
- Gerak gerik pasien
- Ekspresi wajah/Mood
2.4.2 Anamnesis10,15
- Tanyakan data pribadi pasien : nama, umur, alamat dan pekerjaan
- Keluhan utama pasien
- Tanyakanlah kapan kelainan luka tersebut mulai muncul, lokasi
luka, mekanisme terjadinya luka, dll
- Riwayat kejadian yang sama sebelumnya
- Riwayat penyakit
- Riwayat pengobatan sebelumnya
2.4.3 Pemeriksaan Fisik10,15
- Penilaian status pasien secara umum dan tanda vital
Lihat dan catatlah keadaan umum pasien: sakit ringan, sakit sedang
atau sakit berat. Tentukanlah status gizi : ukur tinggi dan berat
badan (sesuai panduan penentuan status gizi). Ukur dan menilailah
tanda vital pasien: tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan
suhu.
- Pemeriksaan head to toe

2.4.4 Jenis Luka Pada Pasien KDRT


2.4.4.1 Trauma Tumpul

12i
a. Luka Memar (bruish)
Lokasinya dapat di temukan pada wajah, bibir/mulut, bagian
tubuh; punggung, bokong, paha, betis, dsb, Terdapat memar
yang baru maupun yang sudah mulai sembuh. Pola luka memar
dapat menunjukkan benda/objek tertentu yang dipakai untuk
kekerasan. Waktu dan perubahan warna : Dark blue/purple (1-18
hours), blue/brown (~1 to 2days), green (~ 2 to 3 days), yellow
(~3 to 7 days). 10,16

Gambar 1. Luka memar pada korban KDRT

Gambar 2. Memar pertama-tama dimulai sebagai warna


merah muda, merah, berubah menjadi biru tua atau ungu,

13i
memudar menjadi ungu, hijau, kuning tua, dan berubah
menjadi kuning pucat sampai benar-benar hilang. Memar
biasanya akan sembuh total dalam 2 minggu.11

b. Luka Lecet (abrasions)


Abrasi adalah kulit yang terkelupas yang disebabkan oleh
gesekan. Luka mungkin dalam atau dangkal tergantung pada
kekuatan dan kekasaran permukaan yang menyebabkan abrasi.
Lokasi : dimulut, bibir, mata, kuping, lengan, tangan, dsb.
Karakteristik luka lecet dapat menggambarkan arah luka, jejak
bahan (misalnya pasir) dan objek penyebab luka.10,17

c. Luka Robek (lacerations)


Robekan kulit terjadi akibat trauma langsung benda tumpul.
Lokasi : biasanya di atas tulang, misalnya kulit kepala, alis,
atau tulang pipi. Bentuk luka tidak berhubungan dengan
bentuk objek. Kehilangan darah relatif sedikit (kecuali kulit
kepala).10,16

14i
2.4.4.2 Trauma Tajam
a. Luka Iris (incised wound)
Karakteristik luka luka iris yakni panjang luka lebih besar dari
pada kedalaman luka. Tepi luka rata, ujung luka tajam/runcing.
Luka tidak disertai memar. Rambut ikut teriris. Tidak ada
jembatan jaringan. Perdarahan banyak bila pembulu darah ikut
teriris.17
Pada luka iris terdapat 3 (tiga) bentuk luka iris:
1. Bentuk celah : arah datangnya luka sejajar dengan arah
serat elastis atau otot
2. Bentuk menganga : arah datangnya luka tegak lurus
terhadapan arah serat elastis atau otot
3. Bentuk asimetris : arah datangnya luka miring
terhadapt arah selat elastis atau otot.17

15i
b. Luka bacok (Chop Wound)
Pada luka bacok karakteristik yang dapat kita temukan yakni
ukuran luka iris biasanya besar. Tepi dan sudut luka tergantung
pada mata senjata. Hampir selalu mengakibatkan kerusakan
pada tulang. Dapat memutuskan bagian tubuh yang terkena
bacok. Disekitar luka dapat ditemukan luka memar/luka
lecet.17

c. Luka Tusuk (Stab Wound)


Pada luka tusuk karakteristik luka yang dapat ditemukan
adalah tepi luka rata, kedalaman luka melebihi panjang luka,
rambut terpotong pada sisi tajam, aalah satu atau kedua
ujungnya runcing. Luka sering menganga (berkaitan dengan
elastisitas kulit) dan sekitar luka kadang terdapat luka memar
atau lecet.18

16i
2.4.5 Dokumentasi Forensik :
Dokumentasi yang lengkap dan akurat merupakan bagian
penting dari perawatan di UGD terhadap pasien yang dicurigai
sebagai korban pelecehan dan penelantaran lansia. Petugas UGD
harus mengingat bahwa dokumentasi medis dapat digunakan untuk
penyelidikan dan penuntutan, dan kualitas dokumentasi dapat secara
signifikan mempengaruhi keadilan dan perlindungan bagi korban.
Penyedia harus menjelaskan pemeriksaan fisik secara rinci dan
menyertakan penampilan umum pasien saat pertama kali tiba di UGD.
Tanda-tanda potensial pengabaian, termasuk pakaian kotor, kebersihan
gigi yang buruk, dan kuku yang tidak dipotong harus dijelaskan jika
ada.12
Untuk setiap cedera, petugas UGD harus menjelaskan ukuran,
lokasi, tahap penyembuhan, dan apakah itu konsisten dengan
mekanisme yang dilaporkan. Menggunakan diagram
tubuh/traumagram, yang tersedia sebagai bagian dari banyak rekam
medis elektronik, dapat meningkatkan akurasi saat menjelaskan
temuan. Petugas UGD harus memotret temuan fisik dan
menambahkan foto-foto ini ke grafik medis bila memungkinkan dan
disetujui oleh administrasi rumah sakit. Gambar-gambar ini mungkin
berguna secara forensik di masa depan.12

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang :

17i
a. Laboratorium :
Meskipun tidak ada pemeriksaan laboratoriu darah ataupun urin
yang secara definitif dapat digunakan untuk diagnosis pasti untuk
kekerasan, namun temuan tertantu dapat membantu meningkatkan
kecurigaan hal ini seperti anemia, dehidrasi, malnutrisi,
hyponatremia/hipertermia, dan rhabdomyolysis. 12
b. Radiologi :
Bila ada kecurigaan adanya kekerasan baik dari pasangan
maupun dari orang tua, dapat dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan radiologi untuk memastikan pada temuan radiologi
apakah seuai dengan mekanisme kecelakaan yang dikatakan.
Pemeriksa juga dapat mempertimbangkan pemeriksaan seperti CT
scan maksilofasial dan rontgen dada, untuk mengevaluasi fraktur. 12

2.5 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan

dalam hubungan pribadi atau dalam rumah tangga adalah pengalaman


umum di seluruh dunia dan memiliki efek merugikan pada kesehatan fisik
maupun psikologis. Kasus tindak kekerasan merupakan masalah serius
dan akibat yang ditimbulkan juga berdampak luas. Sekitar 30%
perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan baik fisik
maupun seksual oleh pasangannya.2

Dampak kekerasan terhadap perempuan yakni berupa dampak


langsung ataupun dampak jangka pendek, dan juga dapat berupa dampak
jangka panjang. Dampak langsung atau jangka pendek biasanya
berdampak secara langsung seperti luka fisik, cacat, kehamilan, hilangnya
pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dampak jangka panjang
biasanya berdampak dikemudian hari bahkan berlangsung seumur hidup.
Biasanya korban mengalami gangguan psikis (kejiwaan), hilangnya rasa
percaya diri, mengurung diri, trauma dan muncul rasa takut hingga
depresi. Dari dua hal dampak tersebut, hal yang dikhawatirkan adalah

18i
munculnya kekerasan lanjutan. Artinya bahwa korban yang tidak
tertangani dengan baik dikhawatirkan menjadi pelaku kekerasan
dikemudian hari sebagai bentuk pelampiasan trauma masa lalu.2 Semua
jenis kekerasan dalam rumah tangga juga dikaitkan dengan peluang
menghabiskan malam di rumah sakit lebih tinggi akibat paparan
kekerasan fisik, kekerasan seksual saja dan kedua kategori pelecehan
gabungan, tetapi tidak dengan pelecehan psikologis saja.14

2.5.1 Kesehatan Fisik

Bentuk-bentuk kekerasan fisik seringkali diikuti dengan kekerasan


seksual dan kekerasan psikis, menurut penelitian multi negara WHO
tentang kekerasan dalam rumah tangga, disebutkan bahwa 23-56
persen perempuan yang mengalami kekerasan fisik atau seksual
mengalami kedua jenis kekerasan ini secara bersamaan.2

Berdasarkan hasil studi penelitian pada korban KDRT


didapatkan prevalensi tertinggi ditemukan pada nyeri kronis
(25,0%), diikuti oleh penyakit pernapasan (16,0%), gangguan
muskuloskeletal (15,9%) dan gangguan neurologis (15,5%).
Keseluruhan, 14,4% pasien dilaporkan sangat terganggu oleh
setidaknya satu penyakit fisik, 19,5% setidaknya sangat terganggu,
23,0% setidaknya sedikit terganggu, dan 43,1% sama sekali tidak
merasa terganggu oleh salah satu penyakit mereka.6

Pada penelitian lain mengungkapkan bahwa dampak KDRT juga


berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi
merupakan komponen yang sangat penting bagi kesehatan wanita.
Perempuan memiliki kompleksitas kesehatan reproduksi yang tinggi
yang berkaitan dengan fungsi, proses dan sistem reproduksi jika
dibandingkan dengan laki-laki sehingga memerlukan perhatian yang
serius.6 Kekerasan dalam rumah tangga secara signifikan terkait
dengan kesehatan reproduksi yang buruk. Pada perempuan tidak
hamil dapat mengalami gangguan menstruasi, mengalami penurunan

19i
libido dan ketidakmampuan mendapatkan orgasme. Sedangkan pada
saat hamil, dapat terjadi keguguran/ abortus, persalinan formatur dan
bayi meninggal dalam rahim. Dampak lain yang juga mempengaruhi
kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya
adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. 2

2.5.2 Kesehatan Psikis

Kekerasan dalam rumah tangga dikaitkan dengan kemungkinan


peningkatan 3,7 kali lipat korban menderita gejala PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder) yang relevan secara klinis serta
peningkatan risiko depresi sebanyak 2,9 kali dan risiko kecemasan
sebanyak 2,4 kali lipat.13 Penelitian lain di Amerika Latin dan Karibia
menunjukkan bahwa mayoritas perempuan (61 - 93 persen) yang
melaporkan mengalami kekerasan fisik juga mengalami kekerasan
emosional/psikologis.6 Sebuah hasil penelitian melaporkan kombinasi
berbagai bentuk kekerasan (psikologis dan fisik, atau seksual dan
psikologis dan/atau fisik) dikaitkan degan rasio gejala yang lebih
tinggi daripada kategori pelecehan tunggal. Studi memberikan bukti
bahwa wanita yang mengalami semua kategori menderita Kesehatan
fisik dan mental yang lebih buruk, merugikan Kesehatan terbesar,
terutama yang berkaitan dengan pikiran dan upaya bunuh diri.14

2.6 Proses dan Alur Pelayanan Medikolegal di Rumah Sakit

- Korban dating ke Polisi atau langsung ke IGD/Poliklinik RS. Biasanya


jika korban dating ke Polisi terlebih dahulu. Polisi akan membuatkan
Surat Permintaan Visum (SPV) ke RS.10
- Korban dari IGD/Poliklinik kemudian dirujuk ke Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT) RS untuk mendapatkan pelayanan komprehensif
termasuk medikolegal. Bila korban telah membuat Suart Permintaan
Visum dari Polisi maka dokter akan membuat visum. Sedangkan jika
korban tidak membawa SPV maka hanya akan dibuatkan Surat

20i
Keteranan Dokter atau hanya dibuatkan rekam medik forensic jika
diduga terkait kasus pidana.10

2.7 Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT :4

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup


rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

21i
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
5. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
6. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
7. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
8. Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
9. Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal
47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus
atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling

22i
sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
10. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang
yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

23i
BAB III
KESIMPULAN

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan pelanggaran hak asasi


manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk
diskriminasi. Apabila dikaitkan dengan fenomena perempuan, maka yang
berkembang selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat
sebagai “korban”. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.

Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang


KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privasi
manjadi masalah publik yang ditandai dengan laporan kasus KDRT yang semakin
meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, sekecil apapun kekerasan yang
dilakukan dapat dilaporkan sebagai tindak pidana yang dapat di proses hukum
berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT.

Korban KDRT dapat menimbulkan berbagai dampak yang cukup serius


baik jangka pendek maupun jangka panjang dan dapat menyebabkan masalah fisik
maupun psikis bahkan berdampak pada kesehatan reproduksi yang buruk. Setiap
korban KDRT sebaiknya di periksa oleh tenaga medis professional dan
mendapatkan penanganan medis akibat trauma fisik maupun psikis. Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) khususnya terhadap perempuan membutuhkan
perhatian semua pihak agar segala dampak yang mungkin ditimbulkan dapat
diatasi dengan baik. Perlu peningkatan pengetahuan dan kesadaran perempuan
sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih peduli terhadap
kesehatan dan masa depannya.

24i
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarni Liya, Ike Haryanto., Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Pria
(Laporan Kasus). Jakarta: Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
2. Santoso AB. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap
Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial. Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam [Internet]. 2019 Sep. 23 [cited 2022 Nov.
19];10(1):39-57. Available from:
https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/komunitas/article/view/1072
3. Nattional Commision on Violence Against Women.
www.komnasperempuan.com, akses akses 19 November 2022
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
5. Wahid Abdul, M. Halilurrahman., Keluarga Institusi Awal Dalam
Membentuk Masyarakat Berperadaban. Jakarta: Jurnal Studi Keislaman
Volume 5, Nomor 1, Juni 2019.
6. Shabah, Khairatus et al. “Domestic Violence And Reproductive Health
(Qualitative Study In Banda Aceh City 2019).” International Journal of
Public Health and Clinical Sciences 7 (2020): 121-130.
7. Nisa H. Gambaran Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dialami Perempuan Penyintas. Gend Equal Int J Child Gend Stud.
2018;4(2):57. doi:10.22373/equality.v4i2.4536
8. Alimi R, Nurwati N. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
(JPPM). “Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terhadap Peremp”. 2021;2(1):20-27.
9. Nisa, H. Gambaran Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami
Perempuan Penyintas.Vol. 4, No.2. September 2018.

25i
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1226 tahun
2009 tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit. 2009
11. Linda J. Vorvick, MD, Clinical Associate Professor, Department of Family
Medicine, UW Medicine, School of Medicine, University of Washington,
Seattle, WA. Also reviewed by David Zieve, MD, MHA, Medical Director,
Brenda Conaway, Editorial Director, and the A.D.A.M. Editorial team.
12. Rosen T, Stern ME, Elman A, Mulcare MR. Identifying and Initiating
Intervention for Elder Abuse and Neglect in the Emergency Department.
Clin Geriatr Med. 2018 Aug;34(3):435-451. doi:
10.1016/j.cger.2018.04.007. Epub 2018 Jun 15. PMID: 30031426;
PMCID: PMC6057151.
13. Riedl, David et al. “Domestic violence victims in a hospital setting:
prevalence, health impact and patients' preferences - results from a
cross-sectional study.” European journal of psychotraumatology vol. 10,1
1654063. 22 Aug. 2019, doi:10.1080/20008198.2019.1654063
14. Potter, Lucy C et al. “Categories and health impacts of intimate partner
violence in the World Health Organization multi-country study on
women's health and domestic violence.” International journal of
epidemiology vol. 50,2 (2021): 652-662. doi:10.1093/ije/dyaa220
15. Bahan ajar Clinical Skill Lab. Fakultas Kedokteroran Universitas
Hasanuddin, 2017
16. Blunt Force Trauma; Pathology Forensic Journal. 2010
17. Sharp force trauma. Forensic medicine for medical students. Diakses pada
27 November 2022, dari
https://forensicmed.webnode.page/wounds/sharp-force-trauma/
18. Characteristics of stab wounds. Forensic medicine for medical students.
Diakses pada 27 November 2022, dari
https://forensicmed.webnode.page/wounds/sharp-force-trauma/stab-wound
s/

26i
9i

Anda mungkin juga menyukai