FOURNIER’S GANGRENE
Oleh:
dr. Meria Dwi Fitrianti
Pembimbing:
dr. Adithya Febrian, Sp.B
Pendamping:
dr. Dicky Ramadona
Pendamping
ii
LEMBAR PENILAIAN PRESENTASI LAPORAN KASUS DOKTER
INTERNSHIP PERIODE NOVEMBER 2021/2022 RSUD BANGKA TENGAH
Keterangan:
A : 81-200
B : 61-80
C : 41-60
D : 21-40
E : 0-20
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Fournier’s Gangrene
Oleh:
dr. Meria Dwi Fitrianti
Telah diterima sebagai salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia
di Rumah Sakit Umum Daerah Bangka Tengah
Pada
September 2022
Pendamping
Pembimbing
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME atas berkah dan karunia yang diberikan-Nya
sehingga laporan kasus yang penulis susun dengan judul Fournier’s Gangrene dapat
selesai tepat pada waktunya. Laporan kasus ini dibuat sebagai rasa tanggung jawab
penulis untuk memenuhi persyaratan dalam Program Internsip Dokter Indonesia di
Rumah Sakit Umum Daerah Bangka Tengah periode November 2021-2022
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dalam bidang ilmu kedokteran.
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................v
DAFTAR ISI...............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................11
2.1. Definisi......................................................................................................11
2.2. Epidemiologi.............................................................................................11
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi...............................................................12
2.4. Patofisiologi..............................................................................................15
2.5. Diagnosis..................................................................................................17
2.6. Tatalaksana...............................................................................................24
2.7. Diagnosis Banding....................................................................................30
2.8. Komplikasi................................................................................................31
2.9. Mortalitas dan Morbiditas.........................................................................31
BAB III STATUS PASIEN.......................................................................................32
3.1. Identitas Pasien.........................................................................................32
3.2. Anamnesis.................................................................................................32
3.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................34
3.4. Pemeriksaan Penunjang............................................................................36
3.5. Resume......................................................................................................39
3.6. Diagnosis Kerja.........................................................................................40
3.7. Tatalaksana...............................................................................................40
3.8. Follow Up.................................................................................................41
BAB IV DISKUSI KASUS........................................................................................47
BAB V KESIMPULAN.............................................................................................51
vi
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................52
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ini dapat disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi
anorectal, urogenital, infeksi kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma jaringan
lokal maupun prosedur pembedahan lainnya.3,4 Penyakit ini sering disertai faktor
predisposisi yang menyebabkan perkembangan penyakit ini menjadi progresif, antara
lain yaitu diabetes mellitus, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, dan
lainnya.1
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangrene Fournier adalah terjadinya Fasciitis Necrotican yang diawali
dengan infeksi jaringan lunak yang disebabkan polimikroba yang agresif dan
sering fatal pada daerah perineum, perianal dan genitalia eksterna. Ciri khas
dari Fournier Gangren adalah perkembangan cepat dari tanda dan gejala
selulitis (eritema, pembengkakan, dan nyeri) menjadi pembentukan bula,
menjadi iskemia yang terlihat secara klinis, dan pada akhirnya menjadi lesi
nekrotik dengan bau yang sangat busuk. Infeksi dapat menyebar di sepanjang
fasia dan karenanya temuan kulit luar hanya mewakili sebagian kecil dari
jaringan yang terinfeksi dan nekrotik yang mendasarinya.3
2.2 Epidemiologi
Fournier gangrene adalah kondisi yang relative jarang, hanya sekitar 0,2%
kasus rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan National Database Investigate,
mortalitas Fournier’s gangrene mencapai 20-40% dengan insiden rate 88%.
Angka insiden tertinggi terjadi di Amerika Selatan dengan kejadian 1,9 kasus
per
100.000 laki-laki dengan angka kematian mencapai 6,2%. Sedangkan angka
insiden terendah terjadi di Amerika bagian barat dengan angka kejadian 1,3
kasus per 100.000 laki-laki.2 Sorensen et al mengatakan bahwa tingkat kejadian
Fournier gangren adalah 1,6 kasus per 100.000 laki-laki/ tahun dan insidensi
pada usia lebih dari 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki
pertahunnya.2
Pada tahun-tahun terakhir, kasus Fournier gangrene telah meningkat akibat
adanya penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, imunosupresi, chronic liver
dan penyakit ginjal.8 Studi oleh Li YD mengatakan dari 51 pasien yang
terdiagnosis Fournier gangrene, 41 diantaranya disebabkan oleh diabetes
mellitus.9 Dari penjelasan diatas, diabetes mellitus merupakan faktor
11
predisposisi
12
utama penyebab Fournier Gangren, dimana berdasarkan data WHO 2012,
Indonesia menduduki posisi ke-4 di Dunia penderita diabetes mellitus
terbanyak.10
13
Gambar 1. Etiologi Fournier’s gangrene.4,5
14
(5,6%), uremia (2,2%), gangguan ginjal kronis (13,3%), keganasan (11,1%),
penyakit paru obstruktif kronik (13,3%), penyakit jantung coroner (8,9%) dan
penyakit pembuluh darah otak atau korda spinalis (15,6%). 13 Pada beberapa
kasus, faktor predisposisi tidak dapat diketahui, dari 50 pasien yang diteliti,
faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 29 pasien (58%).14
15
2.4 Patofisiologi
Infeksi yang terjadi, menunjukkan ketidakseimbangan antara imunitas host
dan virulensi dari bakteri penyebab. Faktor etiologi diatas yang menjadi jalur
masuk bakteri ke daerah perineum. Daya tahan tubuh yang rendah akan menjadi
faktor penyebab terjadinya infeksi dan virulensi bakteri akan menyebabkan
penyebaran penyakit semakin cepat.5
Beberapa penelitian menunjukkan infeksi polimikroba menjadi penyebab
terjadinya infeksi pada Fournier Gangrene, dimana akan diproduksi beberapa
enzim yang mempengaruhi multiplikasi kuman dan penyebaran infeksi.
Beberapa bakteri yang menyebabkan infeksi pada daerah perineal dan genital
antara lain Clostridium, Klebsiella, Streptococcus dan Staphylococcus.15
Secara karakteristik, Fournier Gangrene terjadi akibat sinergisme dari
beberapa bakteri. Sebuah mikroorganisme akan memproduksi enzim yang
menyebabkan koagulasi dan thrombosis pada pembuluh-pembuluh darah kecil.
Hal ini akan menyebabkan aliran darah pada daerah tersebut akan menurun.
Nutrisi dan oksigenasi yang menurun pada daerah tersebut akan menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerob dan mikroaerofilik pada jaringan. Enzim yang
dihasilkan mikroorganisme seperti lecithinase dan collagenase akan merusak
fasia dan memperluas infeksi yang terjadi.5
Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli,
Klebsiella pneumonia, dan Staphyloccocus aureus. Sedangkan kuman anaerob
yang paling sering adalah Bacteroides fragilis. Walaupun jarang, dapat
ditemukan Candida albicans ataupun Lactobacillus gasseri pada Fournier
gangrene.5
Hasil sinergisme mikroorganisme ini akan menimbulkan endareritis
obliteratif, lalu terjadi nekrosis vascular di lapisan kutan dan subkutan yang
berujung iskemi lokal dan proliferasi bakteri. Pada beberapa kasus dilaporkan
kecepatan kerusakan fasia mencapai 2-3 cm/jam.1 Infeksi dari fasia bagian
superfisial (Fasia Colles) akan menyebar ke penis dan skrotum melalui Fasia
16
Buck dan Fasia Dartos dan menyebar ke dinding abdomen melalui Fasia
Scarpa. Pada fasia Colles dari perineum dan Fasia Scarpa dari dinding abdomen
anterior dapat tercium bau yang tidak sedap, kondisi ini merupakan peran
penting dari bakteri anaerob.4
Infeksi berat yang berlanjut dari lapisan fasia akan menyerang daerah otot
atau mionekrosis, meskipun hal ini jarang ditemukan. Respon reaksi
peradangan yang makin memberat dari tubuh pasien dapat mengakibatkan
gagal multiorgan hingga kematian apabila tidak ditangani.3 Keterlibatan testis
jarang ditemukan karena testis memiliki aliran darah khusus.5
17
2.5 Diagnosis
Manifestasi klinis yang umumnya muncul pada Fournier Gangrene adalah
nyeri mendadak pada daerah skrotum, pucat, dan pireksia (demam diatas 38°C).
Pada fase awal, hanya daerah skrotum yang terlihat mengalami gangguan, tetapi
apabila tidak terdiagnosis dengan baik, selulitis akan menyebar ke seluruh
jaringan skrotum, kecuali testis.5
Gejala lain yang dapat muncul antara lain bau yang berasal dari tempat
infeksi, pembengkakan skrotum dengan eritema dan disertai dengan purulensi
atau discharge yang muncul dari luka, krepitasi dan fluktuasi. Penelitian lain
menunjukkan manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah
pembengkakan pada skrotum, demam dan nyeri.6
Rata-rata pasien muncul pada hari ke-3 sampai ke-5 setelah mengalami
gejala. Keterlibatan skrotum terjadi pada 93% kasus, sementara keterlibatan
penis terjadi pada 46,5% kasus dan keterlibatan perianal terjadi pada 37,2%
kasus.16 Krepitasi pada jaringan merupakan hal yang umum terjadi karena
bakteri penyebab memproduksi gas. Inflamasi subkutan yang memburuk akan
menimbulkan daerah-daerah nekrosis pada kulit yang semakin meluas.
Perluasan infeksi dapat terjadi sampai ke dinding abdomen anterior sampai
batas klavikula.4
Selain itu, gejala genitourinary yang khas yang berhubungan dengan
kondisi ini termasuk dysuria, discharge uretheral, dan obstruksi berkemih.
Perubahan status mental, takipnea, takikardi dan temperature > 38,3°C atau
<35,6°C diperkirakan sebagai sepsis gram-negatif.3,4
18
Gambar 4. Fourniers Gangrene
Pada pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi dari alat
kelamin, perineum dan pemeriksaan colok dubur, untuk menilai tanda-tanda
penyakit dan untuk mencari potensi masuknya portal infeksi. Dapat juga
ditemukan krepitasi jaringan lunak, nyeri lokal, ulkus yang disertai eritem,
edema, sianosis maupun gangrene. Dari inspeksi kulit tersebut dapat
menentukan bau amis ditimbulkan akibat infeksi dari bakteri anaerob dan
krepitasi yang disebabkan mikroorganisme Clostridium yang dapat
memproduksi gas. Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam, takikardia dan
hipotensi.5
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan pada pasien Fournier
Gangrene, antara lain:5
1. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung differensial sel darah putih.
Anemia muncul akibat dari penurunan masa eritrosit sehat akibat dari
thrombosis dan echymosis ditambah dengan menurunnya produksi
eritrosit akibat sepsis.4
2. Elektrolit, ureum, kreatinin dan kadar gula darah untuk menunjukkan
kondisi hiperglikemia atau hipoglikemia. Meningkatnya serum
kreatinin, hyponatremia dan hipokalsemia sangat umum terjadi.
Hipokalsemia sebagai akibat dari lipase bakteri yang menhancurkan
trigliserida dan mengeluarkan asam lemak yang membentuk kalsium
pada bentuk terionisasi.4,11
3. Analisa gas darah
19
4. Status koagulasi (DIC) untuk memantau adanya sepsis
5. Kultur darah dan kultur urin
6. Kultur discharge dari gangrene
20
Tabel 1. Skor LRINEC
21
batas, didapatkan 75% kemungkinan kematian dengan skor >9, dengan skor <9
didapatkan 78% kemungkinan harapan hidup.3,4
22
Gambar 5. Foto Polos Fournier Gangrene
2. USG
Gambaran USG pada Fournier gangrene adalah penebalan dinding
skrotum dan emfisema subkutan. Gambaran infeksi dengan nekrosis
pada ultrasonografi adalah terdapat gas di dinding skrotum dengan
gambaran hiperekoik disertai bayangan di daerah distal. 19 Bukti gas
dalam skrotum dinding dapat dilihat sebelum pemeriksaan fisik
ditemukan adanya krepitasi. Biasanya juga terdapat hidrokel unilateral
atau bilateral. Testis dan epididymis sering normal dalam ukuran dan
ekotekstur karena vaskularisasi yang berbeda. Jika testis terinfeksi,
seringkali infeksi terdapat pada region intraabdominal atau
retroperioneal. USG juga bisa dijadikan acuan untuk diferensial
diagnosis dengan hernia inguinal inkarserata yang mana nanti akan
menimbulkan obstruksi pada bagian usus, menjauh dari skrotum.19
23
3. CT scan
Gambaran CT scan yang dapat terlihat antara lain penebalan
jaringan lunak disertai peradangan, emfisema subkutan yang
menunjukkan pembentukan gas oleh bakteri, serta kerusakan fasia
asimetris yang menandakan adanya tumpukan cairan atau abses. Peran
utama dari CT scan pada infeksi nekrosis jaringan lunak adalah untuk
mengidentifikasi asal infeksi seperti abses perianal, fistula, atau proses
infeksi intraabdominal maupun retroperitoneal, serta dapat melihat
komplikasi yang mungkin terjadi seperti rupture vascular akibat
nekrosis jaringan. Pada stadium awal Fournier Gangrene, biasanya
hanya terlihat pembengkakan jaringan tanpa adanya emfisema
subkutan.20
24
2.6 Tatalaksana
Fournier gangrene merupakan suatu kegawatdaruratan dalam bidang
urologi, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang segera. Prinsip
penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah debridemen jaringan nekrotik,
drainase pus dan terapi antimikroba serta stabilisasi hemodinamik. Pasien
dengan Fournier Gangrene harus diberikan terapi secara agresif untuk
menurunkan angka mortalitas.1
Selain pembedahan dan pemberian antibiotik, pemberian oksigen
hiperbarik direkomendasikan sebagai terapi tambahan, walaupun pembedahan
tetap utama untuk dilakukan. Terapi oksigen hiperbarik tersebut dipercatat
dapat menghambat pertumbuhan bakteri anaerob pada jaringan, mencegah
penyebaran yang lebih lanjut dan menurunkan efek sistemik dari infeksi. Efek
lain adalah pada fungsi neutrofil, mempercepat angiogenesis dan fibroblast,
mengurangi edema dan meningkatkan kadar antibiotik intraselular. Hal yang
juga penting adalah memberikan terapi pada kondisi komorbid yang menyertai
Fournier Gangrene.1
25
Gambar 8. Prinsip Penatalaksanaan Fournier’s Gangrene
a. Terapi antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas dianjurkan dan harus diberikan
sejak awal. Pemberiannya diindikasikan untuk Staphylococcus,
Streptococcus, bakteri gram negative dan bakteri anaerob. Kombinasi
antibiotik dapat dilakukan untuk memberikan efek lebih pada pasien dengan
Fournier Gangrene.5
Pemberian penicillin spektrum luas atau sefalosporin generasi ketiga dan
aminoglikosida yang dikombinasi dengan metronidazole atau klindamisin
dianjurkan sebelum hasil kultur spesifik didapatkan. 3,11 Kombinasi lain yang
dapat diberikan adalah quinolone dengan klindamisin atau beta-laktam
dengan aminoglikosida. Pada kasus yang disebabkan oleh MSRA, antibiotik
pilihan yang dapat digunakan adalah vancomycin. 5 Klindamisin juga dapat
digunakan untuk menekan produksi dari sitokin. Penggunaan linezolide,
daptomycine dan tigesiklin juga berguna pada kasus rawat inap yang
sebelumnya menggunakan antibiotik jangka panjang yang mungkin
mengarah
26
pada resistensi bakteroides.5 Guideline terbaru merekomendasikan
penggunaan karbapenem (Imipenem, meropenem, ertapenem) atau
piperaziline-tazobactam. Obat-obat yang lebih baru ini memiliki distribusi
yang lebih besar dan efek toksik pada ginjal lebih kecil dibandingkan dengan
aminoglikosida. Trend baru ini menunjukkan tripel terapi dapat digantikan
pada kondisi tertentu dengan penggunaan antibiotik generasi yang baru.21
b. Terapi Pembedahan
Tindakan debridemen pada lesi dan drainase harus dilakukan segera dan
agresif, serta membuang sebanyak mungkin jaringan nekrosis yang ada.
Insisi yang panjang dibuat melalui kulit dan jaringan subcutan, diperdalam
hingga yang sehat. Lemak dan fascia yang mengalami nekrosis harus
dieksisi dan luka dibiarkan terbuka (debridement). Debridement ulang
diindikasikan 24 hingga 48 jam kemudian dengan rata-rata 3-4 kali tindakan
apabila ada keraguan tentang cukup tidaknya debridement awal.3
Orchidectomy hampir tidak pernah diperlukan, karena testis memiliki
sumber perdarahan yang bebas dari fasia yang terinfeksi dan sirkulasi
kutaneous dari skrotum. Tetapi pada beberapa kasus, orchidectomy
dilakukan karena adanya infeksi berat di jaringan peritesticular meskipun
pada pembahasan patologi, testis tidak terkena infeksi.5 CT scan atau MRI
dapat membantu menentukan keterkaitan daerah pararektal untuk keperluan
colostomy.3
c. Diversi Fekal dan Urin
Kolostomi sudah digunakan untuk diversi fekal pada kasus Fournier
Gangrene yang melibatkan perineal. Diversi rektum yang rasional meliputin
pengurangan dari jumlah kuman pada area perineum sehingga mempercepat
penyembuhan luka. Beberapa pertimbangan untuk pembuatan kolostomi
meliputi sphingter anus, inkontinensi feses atau kontaminasi feses pada tepi
luka.5
Kolostomi merupakan pilihan sementara yang dapat dilakukan pada kasus
yang membutuhkan debridemen luas. Kolostomi dapat dilakukan pada kasus
27
dengan cedera sfingter yang luas, dan pasien yang membutuhkan
debridemen perianal. Menurut literatur, beberapa studi menunjukkan
manajemen usus menggunakan kateter dapat mencegah terjadinya
kontaminasi tepi luka. Pada kasus dengan keterlibatan rectum pada Fournier
Gangrene, diperlukan intervensi yang komprehensif seperti reseksi
abdominoperineal. Diversi fekal menggunakan teknik Bowel Management
Catheter (BMC) dianggap efektif dan dapat menurunkan angka kolostomi
dan graft, terutama pada kasus yang melibatkan regio perianal dan
sekitarnya.5
Korkut et al melaporkan 45 kasus Fournier Gangrene menunjukkan
mortalitas pada pasien yang tidak membutuhkan stoma adalah 7%, tetapi
38% pada pasien yang membutuhkan stoma.5 Alat diversi rektum The Flexi-
weal Fecal Management system adalah sebuah silicon kateter didesain untuk
mengalihkan feses pada pasien dengan diare, luka bakar ataupun ulkus kulit.
Alat ini melindungi luka dari kontaminasi feses dan mengurangi dengan cara
yang sama dengan kolostomi baik itu resiko dari rusaknya kulit dan
inokulasi berulang dengan flora usus besar. Kontraindikasi formal adalah
neoplasma rektal, cedera penetrasi rektum atau fistul. Diversi suprapubic
harus dilakukan jika ada keterlibatan penis dan trauma uretra atau adanya
kecurigaan ekstravasasi urine. Pada sebagian kasus perlu tindakan sistotomi
dan kateterisasi urine.5
28
d. Terapi Topikal
Telah dilaporkan penggunaan madu untuk membantu penyembuhan luka.
Madu memiliki pH yang rendah 3,6 dan mengandung enzim yang merusak
jaringan nekrotik yang juga mempunyai efek antibacterial dikarenakan asam
phenolic. Perubahan ini terjadi dalam 1 minggu setelah menggunakan madu
pada luka. Namun sayangnya belum ada studi yang mendukung efektifitas
penggunaan madu ini. Heggers et al melaporkan bahwa irigasi luka dengan
sodium hypochlorite konsentrasi 0,025% aman dan efektif mengobati
Fournier Gangren. Debridemen enzimatik dengan aplikasi kolagenase
lipofilik adalah terapi lokal lain yang juga berguna. Penggunaan lem fibrin
telah terbukti berguna pada defek kulit tanpa adanya infeksi aktif.5
e. Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik cukup menjanjikan dengan berkurangnya
waktu rawat inap di rumah sakit, meningkatnya penyembuhan luka, dan
mengurangi penjalaran gangrene ketika digunakan beriringan dengan
debridement dan terapi antibiotik.3 Terapi oksigen hiperbarik menempatkan
pasien pada lingkungan dengan tekanan lingkungan sekitar 100%,
menghasilkan peningkatan oksigenasi pada darah arteri dan jaringan dan
terbukti berguna meliputi oksigenasi adekuat untuk optimalisasi fungsi
fagositik neutrofil, inhibisi pertumbuhan anaerob, peningkatan proliferasi
fibroblast dan angiogenesis, pengurangan bengkak dengan vasokonstriksi
dan peningkatan transportasi antibiotik intrasel. Hipoksia juga mengurangi
efektifitas dari beberapa antibiotik (vancomycin, ciprofloxacin), sebaliknya
hiperoksia dapat membantu. Sebagai contoh, aminoglikosida menembus
membrane sel mikroorganisme dengan pompa yang bergantung pada
oksigen. Beberapa efek samping, telah dijelaskan seperti reaksi toksik pada
susunan saraf pusat dan cedera barotrauma pada telinga tengah.5
29
Terapi oksigen hiperbarik membutuhkan perawatan kegawatdaruratan
paska tindakan. Pemindahan dan pemantauan paska tindakan juga
memerlukan perhatian khusus. Beberapa literature menunjukkan bahwa
pengobatan dengan mengkombinasikan terapi hiperbarik oksigen dalam
tatalaksana Fournier Gangrene memiliki hasil yang baik. Terapi hiperbarik
oksigen sebagai terapi adjuvant dapat digunakan dalam fase akut dan dapat
mempercepat kesembuhan dari Fournier Gangrene.5
f. Vacuum-Assisted Closure
Dengan adanya VAC, terdapat kemajuan yang pesat dalam mengurangi
defek kulit dan mempercepat penyembuhan luka. Hal ini bekerja dengan
mengekspos luka pada tekanan subatmosfer pada periode tertentu untuk
membantu debridemen dan penyembuhan luka.5
Fournier Gangrene merupakan penyakit yang diperantarai oleh flora yang
berukuran mikroskopis. Dengan penggunaan VAC, diharapkan dapat
mencegah perkembangan bakteri aerob dan anaerob dalam bermanifestasi
dan mencegah terjadinya nekrosis. Pemasangan VAC akan mencegah
nekrosis akibat bakteri. Penggunaan VAC sebagai alternatif terapi dapat
mempercepat masa perawatan pasca operasi serta memperbaiki luaran klinis.
Pada penelitian lain, tidak ada bukti manfaat mengenai penggunaan tekanan
negative (vacuum) pada penanganan luka pada Fournier Gangrene.11
Meskipun begitu, penelitian lebih lanjut masih dilakukan untuk
membandingkan VAC dengan perawatan konvensional.11
g. Rekonstruksi Plastik
Beberapa pekerja sudah menggunakan teknik yang berbeda untuk
membantu penutupan luka meliputi scrotal advancement flap, split thickness
skin graft, fasciocutaneous flap, dan muscle flap. Split thickness skin graft
(STSG) tampaknya merupakan terapi pilihan untuk mengobati defek
perineal dan kulit skrotum.5
30
Pada tindakan scrotal advancement flap, prinsip yang digunakan adalah
menggunakan kulit skrotum untuk mengganti perineum yang rusak. Daerah
yang dapat digunakan adalah sekitar 96 cm2. Semakin besar daerah defek,
maka semakin besar stress dan traksi pada jaringan, dan dapat menimbulkan
komplikasi pada graft. Traksi pada jaringan yang besar juga dapat
menimbulkan nekrosis pada tepi flap dan kegagalan flap. Apabila berhasil,
teknik ini dapat memberikan efek klinis dan estetis yang baik.5
Penggunaan flap fasciokutan dapat menjadi salah satu alternatif pada
rekonstruksi skrotum dan perineal. Flap jaringan tersebut memiliki area yang
luas dan dapat digunakan apabila skin graft jumlahnya tidak adekuat. Flap
tipe ini memiliki superioritas karena mengurangi resiko kontraktur.5
31
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari Fournier Gangrene termasuk gagal oragan tunggal atau
multiple, juga defek yang besar pada skrotum, perianal, penis dan pada dinding
abdomen. Apabila Fournier Gangrene mengenai testis tunggal atau keduanya,
orkidektomi dapat dilakukan. Pada penis dapat dilakukan amputasi parsial atau
total pada kasus gangrene berat. Fournier Gangrene merupakan salah satu
komplikasi dari diabetes mellitus dan mungkin berhubungan dengan keto-
asidosis. Nyeri jangka panjang tidak umum pada Fournier Gangrene dan 50
5 dari pasien dapat dikatakan tanpa nyeri. Fungsi seksual mungkin
terganggu oleh deviasi penis atau torsio penis juga hilangnya sensitifitas dari
kulit penis atau nyeri pada saat ereksi. Infertilitas sangat jarang setelah Fournier
Gangren, tetapi beberapa kasus telah dilaporkan.11
32
BAB III
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Rawat Inap Bedah
RSMH Palembang pada Kamis, 09 Juli 2020.
Anamnesis Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: buah zakar membesar sejak 1 minggu SMRS
33
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os mengatakan buah zakar kanan membesar sejak 1 minggu SMRS,
kecil progresif, awalnya pasien berpergian naik motor melalui jalan yang
banyak berlubang dengan jarak tempuh cukup jauh, pasien sudah lama tidak
menaiki motor untuk menghindari benturan pada buah zakar. Setelah
mengendarai motor, os mengaku buah zakar kanan mulai membengkak dan
kemerahan. Selain itu dirasakan nyeri pada buah zakar kanan, memberat sejak 2
hari ini. Tidak pernah keluar cairan dari buah zakar. Riwayat demam (+) naik
turun, mual (+) muntah sejak 3 hari SMRS isi apa yang dimakan, frekuensi per
hari <3x. nyeri perut (+) ulu hati, nyeri dada (+) dirasakan seperti panas hingga
ke rahang VAS 2-3, sesak (-) batuk (-) pilek (-). BAB terakhir tadi pagi sebelum
masuk rumah sakit. Riwayat BAK warna kuning jernih, volume BAK dirasakan
cukup, tidak ada perubahan jumlah. Riwayat keluhan BAK sedikit-sedikit,
berdarah, berpasir dan nyeri saat serta setelah BAK disangkal. Riwayat
terbentur, jatuh dan trauma disangkal.
Saat di ruang perawatan keesokan harinya, os mengatakan buah zakar
kanan pasien keluar nanah, lalu dilakukan operasi CITO.
Riwayat Penyakit Dahulu
3 tahun yang lalu pasien pernah operasi batu kandung kemih dan
orchidectomy sinistra atas indikasi infeksi. Pasien menderita penyakit hipertensi
tetapi tidak rutin minum obat dan kontrol. Riwayat diabetes mellitus, asma,
infeksi, trauma lainnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa.
Ayah pasien menderita penyakit hipertensi, tidak rutin minum obat. Tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit diabetes mellitus, asma, batuk lama.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat, makanan, allergen disangkal
34
Riwayat kebiasaan
Riwayat minum alkohol disangkal. Riwayat merokok (+) sekarang
sudah tidak merokok.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien terkadang mengkonsumsi obat hipertensi tetapi lupa nama obat.
Pasien tidak mengkonsumsi obat terkait keluhannya saat ini.
Saturasi Generalis
Kepala : Normocephali, wajah normal, tidak tampak kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) reflek cahaya (+/+)
isokor Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), septum deviasi (-), sekret
(-/-) Telinga : Bentuk simetris, ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : Mukosa kering (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-) edem (-) T1-T1 hiperemis (-) edem (-)
Leher : KGB (-) membesar, kaku kuduk (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : simetris kanan = kiri, retraksi (-)
35
Palpasi : simetris, hemithoraks tertinggal (-), fokal fremitus simetris
kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : Suara napas vesicular (+/+) wheezing (-/-) rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, lemas
Auskultasi : Bising usus (+), 9x/menit
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+) epigastric, suprapubic. Distensi (-)
teraba hepar dan spleen (-) teraba massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Status Lokalis
07/07/22 : skrotum dextra membesar konsistensi lunak kemerahan (+) nyeri (+)
pus (-)
36
Gambar 10. Foto Klinis 07 Juli 2022
08/07/22 : abses skrotum dextra pecah, pus (+)
37
Hasil Lab 07/07/22
38
Hasil Lab 08/07/22
39
3.5 Resume
Anamnesis:
Buah zakar kanan membesar sejak 1 minggu SMRS, kecil progresif,
pasien mengaku buah zakar kanan membengkak dan kemerahan setelah
pulang mengendarai motor di jalan berlubang dengan jarak tempuh cukup
jauh. Selain itu pasien juga merasakan nyeri pada buah zakar kanan,
memberat sejak 2 hari ini. Tidak pernah keluar cairan dari buah zakar.
Riwayat demam (+) naik turun, mual (+) muntah sejak 3 hari SMRS isi apa
yang dimakan, frekuensi per hari <3x. nyeri perut (+) ulu hati, suprapubic,
nyeri dada (+) dirasakan seperti panas hingga ke rahang VAS 2-3. Keluhan
lain disangkal. Saat di ruang perawatan keesokan harinya, keluar nanah
dari buah zakar kanan pasien.
Pasien pernah melakukan operasi batu kandung kemih dan
orchidectomy sinistra atas indikasi infeksi 3 tahun lalu. Pasien juga
menderita penyakit hipertensi tetapi tidak rutin minum obat dan kontrol.
Riwayat merokok (+) sekarang sudah tidak merokok.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran sadar penuh, tanda vital ditemukan hipertensi gr II (180/98
mmHg), takikardi (105x/m), frekuensi napas, saturasi oksigen, suhu dalam
batas normal. Status generalis ditemukan nyeri tekan epigastric,
suprapubik. Status lokalis (07/07/22) skrotum dextra membesar,
konsistensi lunak kemerahan, nyeri (+), pus (-). Status lokalis (08/07/22)
abses skrotum dextra
pecah, pus (+) nyeri (+)
Pemeriksaan Penunjang:
Hasil EKG 07/07/22
- Iskemik septal lateral
Hasil lab 07/07/22
- Anemia (12,2 g/dL)
40
- Leukositosis (42,2 10^3 /μL)
- Neutrofil (91%)
- Sel lekosit pada urin (6-7/LPB)
3.7 Tatalaksana
Tatalaksana awal di IGD RSUD Bangka Tengah (07/07/22):
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ketorolac 30mg
- Inj. Ceftriaxone 2 gr
- Inj. Omeprazole 40mg
- Inj. Metronidazole 500mg
41
3.8 Follow Up
O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 156/85
T: 36,2C
HR: 67x/i
RR: 22x/i
SpO2: 99% free air
A:
- Suspek abses testis dextra
P:
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)
42
Jum’at S: Lab Darah 08/07/22
08/07/22 Keluar nanah dari abses testis dextra (14.37)
14.00
O: GDS : 131 mg/dL
KU/Kes: CM/TSS
TD: 130/70 SGOT 32 U/L
T: 36,5C SGPT 32 U/L
HR: 74x/i
RR: 20x/i Ureum 37 mg/dL
SpO2: 99% free air Creatinin 1.2 mg/dL
P:
- Operasi orchidectomy dextra CITO
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)
Post operasi:
- IVFD WIDA KN2 20 tpm (kebutuhan 1750
cc)
- scrotal support
Sabtu S:
09/07/22 Keluhan (-)
07.30
43
O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 167/93
T: 36,6C
HR: 84x/i
RR: 22x/i
SpO2: 99% free air
A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra
P:
- Aff kateter
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD wida KN2 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
44
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ cek lab darah rutin (Minggu, 10/07/22)
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)
A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra
- hypospadia
45
P:
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
Senin S:
11/07/22 Keluhan (-)
07.30
O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 170/89
T: 36,2C
HR: 64x/i
RR: 20x/i
SpO2: 99% free air
A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra
46
- hypospadia
P:
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
Advis: BLPL
Terapi pulang:
- Cefixime 2x200mg
- Metronidazole 3x500mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Ganti balutan 1x sehari
47
BAB IV
DISKUSI KASUS
48
genitourinaria (20-40%), infeksi kulit (20%) atau trauma jaringan lokal. 3,4,11 Penyebab
anorectal misalnya abses perianal, perirectal atau daerah iskiorektal, fisura ani,
perforasi kolon, diverticulitis, setelah hemoroidektomi, atau kanker kolon. Sedangkan
sumber infeksi urogenital dapat ditemukan pada kasus striktur uretra, infeksi saluran
kemih kronis, epididymitis. Pada dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif
hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum dan trauma. 1 Pada kasus ini, etiologi
dapat terjadi karena infeksi urogenital dimana pasien pernah mengalami keluhan
serupa 3 tahun yang lalu, serta pasien pernah mengalami batu saluran kemih. Selain
itu, pasien juga mengeluh awal membengkaknya buah zakar saat setelah pasien
mengendarai motor di jalan yang berlubang dengan jarak tempuh cukup jauh
sehingga dapat terjadi ulserasi karena tekanan skrotum dan trauma.
Pasien juga menderita penyakit hipertensi tetapi tidak rutin minum obat. Hal
ini sesuai dengan penelitian di Taiwan pada 90 pasien Fournier gangrene lansia,
dimana hipertensi merupakan faktor predisposisi terbanyak kedua setelah diabetes
mellitus (50%) dengan persentase 40%, diikuti oleh sirosis hepatis (5,6%), uremia
(2,2%), gangguan ginjal kronis (13,3%), keganasan (11,1%), penyakit paru obstruktif
kronik (13,3%), penyakit pembuluh darah otak atau korda spinalis (15,6%), dan
penyakit jantung coroner (8,9%)13 Pasien berusia 61 tahun, dimana menurut
epidemiologi, Fournier gangrene paling banyak menyerang usia tua dengan insidensi
pada usia lebih dari 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki pertahunnya.2
Pada pemeriksaan keadaan umum ditemukan tekanan darah pasien 180/98,
nadi 105x/m, frekuensi napas 21x/m, suhu 36,5°C, takikardi merupakan gejala
sistemik yang dapat terjadi pada Fournier Gangren5 tetapi biasanya Fournier gangrene
diikuti dengan demam dan hipotensi. Pada kasus ini, pasien menderita hipertensi dan
saat ini sedang tidak demam. Dari pemeriksaan status lokalis pada tanggal 07 Juli,
ditemukan skrotum dextra oedema, kemerahan, nyeri lokal, pus (-) dan keesokan
harinya pada tanggal 08 Juli, abses pada skrotum dextra pecah, pus (+) nyeri (+). Hal
ini sesuai dengan klinis Fournier Gangrene yaitu ditemukannya nyeri lokal,
eritema, edema.
49
Selain itu bisa juga ditemukan ulkus yang disertai eritem, sianosis, gangrene, hingga
krepitasi jaringan lunak.5
Pada pemeriksaan penunjang, dari hasil laboratorium darah rutin, hitung jenis
dan elektrolit ditemukan leukosit 42.200 (), Hb 12,2 (), Ht 36 (), Eritrosit 4,11
(), neutrofil 91 (), limfosit 3 (), K 2,95 (). Leukosit dan neutrophil yang
meningkat menandakan adanya proses infeksi bakteri di tubuh pasien, anemia muncul
akibat dari penurunan masa eritrosit sehat akibat dari thrombosis dan echymosis
ditambah dengan menurunnya produksi eritrosit akibat sepsis.4,11 Pada pemeriksaan
urine lengkap, ditemukan adanya leukosit (+), protein (++), urobilin (+), nitrit (+),
dan pada sedimen ditemukan sel lekosit 6-7 (), hasil ini menunjukkan bahwa
terjadinya proses infeksi bakteri pada saluran traktus urinarius pasien. Skor LRINEC
tidak dapat dinilai dikarenakan pada pasien ini tidak diperiksa nilai CRP, begitupun
skor FGSI tidak dapat dinilai dikarenakan pada pasien ini tidak diperiksa nilai serum
bikarbonat.
Pada saat di IGD, pasien ini diberikan cairan asering 20 tpm, ketorolac 30mg
iv, ceftriaxone 2 gr iv, omeprazole 40mg iv, dan metronidazole 500mg iv, hal ini
sesuai dengan tatalaksana awal pada Fournier Gangrene yaitu terapi antimikroba dan
stabilisasi hemodinamik.1 Antibiotik yang dapat digunakan yaitu penicillin spectrum
luas atau sefalosporin generasi ketiga dan aminoglikosida yang dikombinasi dengan
metronidazole atau klindamisin sebelum hasil kultur spesifik didapatkan.3,11 Pada
pasien ini, diberikan antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu
ceftriaxone dan dikombinasi dengan pemberian metronidazole. Selain itu pasien juga
distabilisasi hemodinamik dengan memberikan cairan asering 20 tpm, memberikan
terapi simptomatis analgesik dan PPI. Rencana terapi ruangan asering 20 tpm,
ceftriaxone 1x2 gr iv, metronidazole 3x500mg iv, ketorolac 3x30mg iv, omeprazole
40mg iv, nitrokaf 2x2,5 mg. Pasien ini mengeluhkan nyeri dada seperti panas hingga
ke rahang VAS 2-3 dengan EKG iskemik septal lateral, maka diberikan nitrokaf
sebagai nitrogliserin. Pada follow up tanggal 08/07/22 pukul 07.00 terapi dilanjutkan
dan direncanakan USG skrotum. USG skrotum dilakukan untuk melihat apakah
terdapat gambaran infeksi dengan nekrosis yang dibuktikan terdapatnya gas di
dinding skrotum
50
dengan gambaran hiperekoik disertai bayangan di daerah distal, digunakan juga untuk
melihat apakah ada penebalan dinding skrotum dan emfisema subkutan. Serta untuk
melihat penyebaran penyakit apakah testis ikut terinfeksi. 19 Pada siang hari, pus (+)
maka direncanakan orchidectomy dextra cito. Hal ini sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan Fournier Gangrene yaitu debridemen jaringan nekrotik, drainase pus,
terapi antimikroba dan stabilisasi hemodinamik.1 Pada pasien ini dilakukan
debridemen jaringan nekrotik, drainase pus serta orchidectomy. pada beberapa kasus,
orchidectomy dilakukan karena adanya infeksi berat di jaringan peritesticular
meskipun pada pembahasan patologi, testis tidak terkena infeksi.15
51
BAB V
KESIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53
15. Ulug M, Gedik E, Girgin S, et al. The Evaluation of Microbiology and Fournier’s
Gangrene Severity Index in 27 Patients. Internat J Infect Fis. 2009;13:424-30.
8isrn
16. A. Ersay G, Yilmaz Y A, Y Celik. Factors Affecting Mortality of Fournier’s
Gangrene: Review of 70 Patients. ANZ Journal of Surgery. 2007; 77(1-2): 43-4.
23 isrn
17. C.H.Wong, L. W.Khin, K.S.Heng, et al. The LRINEC (Laboratory Risk Indicator
for Necrotizing Fasciitis) Score: A Tool for Distinguishing Necrotizing Fasciitis
from other Soft Tissue Infections. Critical Care Medicine. 2004. 32(7) 1535-41.
27 isrn
18. B. Erol, A. Tuncel, V. Hanci, et al. Fournier’s Gangrene: Overview of Prognostic
Factors and Definition of New Prognostic Parameter. Urology. 2010. 75(5):
1193-
8. 29 isrn
19. Kube E, Stawicki SP, et al. Ultrasound in the diagnosis of Fournier’s Gangrene.
Int J Crit. 2012;2(2):104-6. 3 cdk
20. R B Levenson, A.K Singh et al. Fournier Gangrene: Role of Imaging.
Radiographics. 2008;28(2):519-28. 36isrn
21. J. Jimeno, C. Diaz et al. Antibiotic Treatment in Fournier’s Gangrene. Cirugia.
2010;88(5):347-8. 38 isrn
54