Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

FOURNIER’S GANGRENE

Oleh:
dr. Meria Dwi Fitrianti

Pembimbing:
dr. Adithya Febrian, Sp.B

Pendamping:
dr. Dicky Ramadona

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGKA TENGAH
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
2022
BERITA ACARA PRESENTASI KASUS

Pada hari ini tanggal…………,...................................telah dipresentasikan kasus oleh:


Nama presentator : dr. Meria Dwi Fitrianti
Dengan judul : Fournier’s Gangrene
Nama pembimbing : dr. Adithya Febrian, Sp.B
Nama pendamping : dr. Dicky Ramadona
Tempat wahana : RSUD Bangka Tengah
No. Nama partisipan Tanda tangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Pendamping

dr. Dicky Ramadona


NIP. 198208272011011002

ii
LEMBAR PENILAIAN PRESENTASI LAPORAN KASUS DOKTER
INTERNSHIP PERIODE NOVEMBER 2021/2022 RSUD BANGKA TENGAH

NAMA : MERIA DWI FITRIANTI


ASAL FK : UNIVERSITAS TRISAKTI
HARI/TANGGAL :
JUDUL : FOURNIERS GANGRENE
No. Variabel yang dinilai Bobot Nilai
1. MAKALAH
a. Tata tulis
b. Sumber kepustakaan
c. Relevansi isi
2. PRESENTASI
a. Penyampaian materi dan kasus
b. Penguasaan materi
c. Slide presentasi
3. DISKUSI
a. Kemampuan membuat keputusan
b. Argumentasi
c. Rasionalisasi jawaban
TOTAL
NILAI AKHIR

Keterangan:
A : 81-200
B : 61-80
C : 41-60
D : 21-40
E : 0-20

Catatan untuk perbaikan:


Dokter Pembimbing

dr. Adithya Febrian, Sp.B

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Fournier’s Gangrene

Oleh:
dr. Meria Dwi Fitrianti

Telah diterima sebagai salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia
di Rumah Sakit Umum Daerah Bangka Tengah
Pada
September 2022

Pendamping

dr. Dicky Ramadona

Pembimbing

dr. Adithya Febrian, Sp.B

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME atas berkah dan karunia yang diberikan-Nya
sehingga laporan kasus yang penulis susun dengan judul Fournier’s Gangrene dapat
selesai tepat pada waktunya. Laporan kasus ini dibuat sebagai rasa tanggung jawab
penulis untuk memenuhi persyaratan dalam Program Internsip Dokter Indonesia di
Rumah Sakit Umum Daerah Bangka Tengah periode November 2021-2022

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.


Adithya Febrian, Sp.B selaku dokter pembimbing penulis atas bimbingan, kritik dan
sarannya selama proses belajar di RSUD Bangka Tengah. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada dr. Dicky Ramadona selaku pendamping penulis serta semua
pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dalam bidang ilmu kedokteran.

Koba, September 2022

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................v
DAFTAR ISI...............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................11
2.1. Definisi......................................................................................................11
2.2. Epidemiologi.............................................................................................11
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi...............................................................12
2.4. Patofisiologi..............................................................................................15
2.5. Diagnosis..................................................................................................17
2.6. Tatalaksana...............................................................................................24
2.7. Diagnosis Banding....................................................................................30
2.8. Komplikasi................................................................................................31
2.9. Mortalitas dan Morbiditas.........................................................................31
BAB III STATUS PASIEN.......................................................................................32
3.1. Identitas Pasien.........................................................................................32
3.2. Anamnesis.................................................................................................32
3.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................34
3.4. Pemeriksaan Penunjang............................................................................36
3.5. Resume......................................................................................................39
3.6. Diagnosis Kerja.........................................................................................40
3.7. Tatalaksana...............................................................................................40
3.8. Follow Up.................................................................................................41
BAB IV DISKUSI KASUS........................................................................................47
BAB V KESIMPULAN.............................................................................................51

vi
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................52

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor LRINEC................................................................................................20


Tabel 2. Skor FGSI......................................................................................................21

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Etiologi Fournier’s Gangrene...............................................................13


Gambar 2. Faktor Predisposisi Fournier’s Gangrene.............................................14
Gambar 3. Ketidakseimbangan antara pertahanan host dan virulensi
mikroorganisme....................................................................................16
Gambar 4. Fournier’s Gangrene.............................................................................18
Gambar 5. Foto Polos Fournier’s Gangrene..........................................................22
Gambar 6. Gambaran USG Fournier’s Gangrene..................................................22
Gambar 7. Gambaran CT Scan Fournier’s Gangrene............................................23
Gambar 8. Prinsip Penatalaksanaan Fournier’s Gangrene.....................................25
Gambar 9. Flexi Seal Fecal Management System.................................................27
Gambar 10. Foto Klinis 07 Juli 2022.......................................................................36

ix
BAB I

PENDAHULUAN

Fournier’s Gangrene merupakan suatu penyakit yang bersifat progresif dan


fatal yang ditandai dengan fasiitis nekrotikans di daerah perianal, perineal serta
genital akibat dari infeksi polimikroba.1 Penyakit ini sering menyerang usia dekade
ketiga hingga keenam, akan tetapi tetap dapat ditemukan pada kelompok usia
berapapun. Di Amerika Serikat, didapatkan insiden terjadinya Fournier gangrene
yaitu 1,6/100.000 laki-laki, dengan puncak usia adalah 50 hingga 79 tahun.2

Penyakit ini dapat disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi
anorectal, urogenital, infeksi kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma jaringan
lokal maupun prosedur pembedahan lainnya.3,4 Penyakit ini sering disertai faktor
predisposisi yang menyebabkan perkembangan penyakit ini menjadi progresif, antara
lain yaitu diabetes mellitus, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, dan
lainnya.1

Penyakit ini dapat dideteksi cukup dengan pemeriksaan fisik, walau


terkadang memerlukan pemeriksaan radiologis seperti USG, foto rontgen maupun CT
scan.1 Gejala yang muncul adalah nyeri mendadak pada daerah skrotum, pucat dan
pireksia.5 Gejala lain yang dapat muncul antara lain yaitu bau dari tempat infeksi,
pembengkakan skrotum dengan eritema, purulensi atau discharge yang muncul dari
luka, krepitasi dan fluktuasi.6 Fournier gangrene merupakan kegawatdaruratan bedah
dan memiliki angka kematian cukup tinggi karena sifatnya yang progresif.7 Oleh
karena itu, kasus Fournier Gangrene perlu mendapat tindakan yang agresif dan cepat
untuk mencegah perburukan.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangrene Fournier adalah terjadinya Fasciitis Necrotican yang diawali
dengan infeksi jaringan lunak yang disebabkan polimikroba yang agresif dan
sering fatal pada daerah perineum, perianal dan genitalia eksterna. Ciri khas
dari Fournier Gangren adalah perkembangan cepat dari tanda dan gejala
selulitis (eritema, pembengkakan, dan nyeri) menjadi pembentukan bula,
menjadi iskemia yang terlihat secara klinis, dan pada akhirnya menjadi lesi
nekrotik dengan bau yang sangat busuk. Infeksi dapat menyebar di sepanjang
fasia dan karenanya temuan kulit luar hanya mewakili sebagian kecil dari
jaringan yang terinfeksi dan nekrotik yang mendasarinya.3

2.2 Epidemiologi
Fournier gangrene adalah kondisi yang relative jarang, hanya sekitar 0,2%
kasus rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan National Database Investigate,
mortalitas Fournier’s gangrene mencapai 20-40% dengan insiden rate 88%.
Angka insiden tertinggi terjadi di Amerika Selatan dengan kejadian 1,9 kasus
per
100.000 laki-laki dengan angka kematian mencapai 6,2%. Sedangkan angka
insiden terendah terjadi di Amerika bagian barat dengan angka kejadian 1,3
kasus per 100.000 laki-laki.2 Sorensen et al mengatakan bahwa tingkat kejadian
Fournier gangren adalah 1,6 kasus per 100.000 laki-laki/ tahun dan insidensi
pada usia lebih dari 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki
pertahunnya.2
Pada tahun-tahun terakhir, kasus Fournier gangrene telah meningkat akibat
adanya penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, imunosupresi, chronic liver
dan penyakit ginjal.8 Studi oleh Li YD mengatakan dari 51 pasien yang
terdiagnosis Fournier gangrene, 41 diantaranya disebabkan oleh diabetes
mellitus.9 Dari penjelasan diatas, diabetes mellitus merupakan faktor

11
predisposisi

12
utama penyebab Fournier Gangren, dimana berdasarkan data WHO 2012,
Indonesia menduduki posisi ke-4 di Dunia penderita diabetes mellitus
terbanyak.10

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Fournier gangrene adalah kondisi yang berpotensi membahayakan jiwa dari
necrotizing fascitis yang melibatkan genitalia pria, diketahui juga sebagai
idiopatik gangrene pada scrotum, streptococcal scrotal gangrene, perineal
phlemon, dan spontaneous fulminant gangrene dari scrotum. Dilaporkan oleh
Baurienne pada tahun 1974 dan oleh Fournier pada tahun 1883, karakteristik
dari penyakit ini memiliki onset yang tiba-tiba dan fulminating genital gangrene
idiopatik pada pasien yang sebelumnya sehat dapat menyebabkan kerusakan
dari genitalia.11
Penyakit ini sekarang dibedakan dari deskripsi sebelumnya, yang mana
melibatkan rentan usia, termasuk pada pasien tua, diikuti dengan progresifitas
yang cepat dan onset tiba-tiba yang lebih rendah dan pada 95% kasus, sumber
dapat diidentifikasi. Infeksi lebih sering berasal dari anorectal / traktus
gastrointestinal (30-50%), urogenital / traktus genitourinaria (20-40%), infeksi
kulit (20%) atau trauma jaringan lokal.5 Penyebab anorectal misalnya abses
perianal, perirectal atau daerah iskiorektal, fisura ani, perforasi kolon,
diverticulitis, setelah hemoroidektomi, atau kanker kolon. Sedangkan sumber
infeksi urogenital dapat ditemukan pada kasus striktur uretra, infeksi saluran
kemih kronis, epididymitis. Pada dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif
hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum, dan trauma. Pada wanita bisa
karena abses vulva atau Bartolin, abortus septic atau dari episiotomy ataupun
histerektomi. Pada beberapa kasus, Fournier gangrene berasal dari luka bakar,
gigitan hewan atau bekas luka sirkumsisi pada kasus anak.1

13
Gambar 1. Etiologi Fournier’s gangrene.4,5

Terdapat faktor predisposisi tersering diantaranya diabetes mellitus dengan


persentasi 20-70% pasien dan alkoholisme dengan persentase 25-50%.12
Diabetes menyebabkan gangguan pembuluh darah, neuropati diabetikum, defek
sistem fagosit, yang akhirnya menekan sistem imun. Faktor predisposisi lain
adalah usia terlalu muda ataupun tua, keganasan, penggunaan steroid jangka
panjang, penggunaan obat sitotoksik, penyakit limfoproliferatif, malnutrisi,
infeksi HIV, trauma local, serta paraphimosis.1,4
Penelitian di Taiwan pada 90 pasien Fournier gangrene lansia menemukan
faktor predisposisi diabetes mellitus (50%), hipertensi (40%), sirosis hepatis

14
(5,6%), uremia (2,2%), gangguan ginjal kronis (13,3%), keganasan (11,1%),
penyakit paru obstruktif kronik (13,3%), penyakit jantung coroner (8,9%) dan
penyakit pembuluh darah otak atau korda spinalis (15,6%). 13 Pada beberapa
kasus, faktor predisposisi tidak dapat diketahui, dari 50 pasien yang diteliti,
faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 29 pasien (58%).14

Gambar 2. Faktor Predisposisi Fournier Gangrene 4

Mikroorganisme penyebabnya biasanya bersifat komensal di kulit,


perineum, dan organ genital seperti Clostridia, Klebsiella, Streptococci,
Coliform, Staphylococci, Bacteroides, dan Corynebacteria.5 Kuman aerob yang
paling sering ditemukan adalah Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, dan
Staphyloccocus aureus. Sedangkan kuman anaerob yang paling sering adalah
Bacteroides fragilis. Walaupun jarang, dapat ditemukan Candida albicans
ataupun Lactobacillus gasseri pada Fournier gangrene.5
Contoh sinergisme lain antar mikroorganisme adalah Bacteroides yang
berperan menghambat fagositosis kuman aerob, sehingga mempercepat
multiplikasi kuman aerob.3 Hasil kultur dari 27 pasien Fournier Gangrene di
Turki sebelum terapi antibiotik mendapatkan 6 kasus Escherichia coli, 3 kasus
Staphyloccocus aureus. Kuman lain yang ditemukan, yaitu Streptococcus
pyogenes 2 kasus, Pseudomonas aeruginosa 4 kasus, Enterobacter cloacae 3
kasus, Bacteroides spp. 2 kasus dan Providencia rustigianii 1 kasus.15

15
2.4 Patofisiologi
Infeksi yang terjadi, menunjukkan ketidakseimbangan antara imunitas host
dan virulensi dari bakteri penyebab. Faktor etiologi diatas yang menjadi jalur
masuk bakteri ke daerah perineum. Daya tahan tubuh yang rendah akan menjadi
faktor penyebab terjadinya infeksi dan virulensi bakteri akan menyebabkan
penyebaran penyakit semakin cepat.5
Beberapa penelitian menunjukkan infeksi polimikroba menjadi penyebab
terjadinya infeksi pada Fournier Gangrene, dimana akan diproduksi beberapa
enzim yang mempengaruhi multiplikasi kuman dan penyebaran infeksi.
Beberapa bakteri yang menyebabkan infeksi pada daerah perineal dan genital
antara lain Clostridium, Klebsiella, Streptococcus dan Staphylococcus.15
Secara karakteristik, Fournier Gangrene terjadi akibat sinergisme dari
beberapa bakteri. Sebuah mikroorganisme akan memproduksi enzim yang
menyebabkan koagulasi dan thrombosis pada pembuluh-pembuluh darah kecil.
Hal ini akan menyebabkan aliran darah pada daerah tersebut akan menurun.
Nutrisi dan oksigenasi yang menurun pada daerah tersebut akan menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerob dan mikroaerofilik pada jaringan. Enzim yang
dihasilkan mikroorganisme seperti lecithinase dan collagenase akan merusak
fasia dan memperluas infeksi yang terjadi.5
Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli,
Klebsiella pneumonia, dan Staphyloccocus aureus. Sedangkan kuman anaerob
yang paling sering adalah Bacteroides fragilis. Walaupun jarang, dapat
ditemukan Candida albicans ataupun Lactobacillus gasseri pada Fournier
gangrene.5
Hasil sinergisme mikroorganisme ini akan menimbulkan endareritis
obliteratif, lalu terjadi nekrosis vascular di lapisan kutan dan subkutan yang
berujung iskemi lokal dan proliferasi bakteri. Pada beberapa kasus dilaporkan
kecepatan kerusakan fasia mencapai 2-3 cm/jam.1 Infeksi dari fasia bagian
superfisial (Fasia Colles) akan menyebar ke penis dan skrotum melalui Fasia

16
Buck dan Fasia Dartos dan menyebar ke dinding abdomen melalui Fasia
Scarpa. Pada fasia Colles dari perineum dan Fasia Scarpa dari dinding abdomen
anterior dapat tercium bau yang tidak sedap, kondisi ini merupakan peran
penting dari bakteri anaerob.4
Infeksi berat yang berlanjut dari lapisan fasia akan menyerang daerah otot
atau mionekrosis, meskipun hal ini jarang ditemukan. Respon reaksi
peradangan yang makin memberat dari tubuh pasien dapat mengakibatkan
gagal multiorgan hingga kematian apabila tidak ditangani.3 Keterlibatan testis
jarang ditemukan karena testis memiliki aliran darah khusus.5

Gambar 3. Ketikdakseimbangan antara pertahanan host dan virulensi


mikroorganisme5

17
2.5 Diagnosis
Manifestasi klinis yang umumnya muncul pada Fournier Gangrene adalah
nyeri mendadak pada daerah skrotum, pucat, dan pireksia (demam diatas 38°C).
Pada fase awal, hanya daerah skrotum yang terlihat mengalami gangguan, tetapi
apabila tidak terdiagnosis dengan baik, selulitis akan menyebar ke seluruh
jaringan skrotum, kecuali testis.5
Gejala lain yang dapat muncul antara lain bau yang berasal dari tempat
infeksi, pembengkakan skrotum dengan eritema dan disertai dengan purulensi
atau discharge yang muncul dari luka, krepitasi dan fluktuasi. Penelitian lain
menunjukkan manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah
pembengkakan pada skrotum, demam dan nyeri.6
Rata-rata pasien muncul pada hari ke-3 sampai ke-5 setelah mengalami
gejala. Keterlibatan skrotum terjadi pada 93% kasus, sementara keterlibatan
penis terjadi pada 46,5% kasus dan keterlibatan perianal terjadi pada 37,2%
kasus.16 Krepitasi pada jaringan merupakan hal yang umum terjadi karena
bakteri penyebab memproduksi gas. Inflamasi subkutan yang memburuk akan
menimbulkan daerah-daerah nekrosis pada kulit yang semakin meluas.
Perluasan infeksi dapat terjadi sampai ke dinding abdomen anterior sampai
batas klavikula.4
Selain itu, gejala genitourinary yang khas yang berhubungan dengan
kondisi ini termasuk dysuria, discharge uretheral, dan obstruksi berkemih.
Perubahan status mental, takipnea, takikardi dan temperature > 38,3°C atau
<35,6°C diperkirakan sebagai sepsis gram-negatif.3,4

18
Gambar 4. Fourniers Gangrene

Pada pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi dari alat
kelamin, perineum dan pemeriksaan colok dubur, untuk menilai tanda-tanda
penyakit dan untuk mencari potensi masuknya portal infeksi. Dapat juga
ditemukan krepitasi jaringan lunak, nyeri lokal, ulkus yang disertai eritem,
edema, sianosis maupun gangrene. Dari inspeksi kulit tersebut dapat
menentukan bau amis ditimbulkan akibat infeksi dari bakteri anaerob dan
krepitasi yang disebabkan mikroorganisme Clostridium yang dapat
memproduksi gas. Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam, takikardia dan
hipotensi.5
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan pada pasien Fournier
Gangrene, antara lain:5
1. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung differensial sel darah putih.
Anemia muncul akibat dari penurunan masa eritrosit sehat akibat dari
thrombosis dan echymosis ditambah dengan menurunnya produksi
eritrosit akibat sepsis.4
2. Elektrolit, ureum, kreatinin dan kadar gula darah untuk menunjukkan
kondisi hiperglikemia atau hipoglikemia. Meningkatnya serum
kreatinin, hyponatremia dan hipokalsemia sangat umum terjadi.
Hipokalsemia sebagai akibat dari lipase bakteri yang menhancurkan
trigliserida dan mengeluarkan asam lemak yang membentuk kalsium
pada bentuk terionisasi.4,11
3. Analisa gas darah

19
4. Status koagulasi (DIC) untuk memantau adanya sepsis
5. Kultur darah dan kultur urin
6. Kultur discharge dari gangrene

Dalam pemeriksaan laboratorium Fournier Gangrene terdapat suatu sistem


skoring khusus yang disebut The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing
Fascitiis (LRINEC). LRINEC merupakan suatu sistem skoring yang digunakan
untuk membantu mengelompokkan pasien berdasarkan derajat berat ringannya
resiko penyakit bahkan ketika gambaran klinis belum dapat menentukan derajat
penyakit.17 Skor LRINEC > 6 menunjukkan resiko sedang sampai tinggi
terjadinya fasciitis nekrotikans pada pasien dengan infeksi jaringan yang berat
dan skor > 8 dapat memprediksi penyakit lebih pasti. 4 Dalam penelitian lain,
beberapa parameter laboratorium yang dapat dijadikan indikator antara lain
tingginya kadar serum kreatinin, laktat, kalsium dan rendahnya kadar
bikarbonat. Meningkatnya kadar kalsium dalam darah dapat menunjukkan
status gangguan ginjal dan bakteremia.18 Hipomagnesia dapat menunjukkan
tingginya angka mortalitas pada pasien kritis dikarenakan fungsi penyerapan
intestinal berkurang dan meningkatnya urin output. Karena itu perlunya
pemantauan kadar magnesium untuk menentukan prognosis pasien.18

Dari penelitian kohort yang dilakukan pada 89 pasien didapatkan sebanyak


13 pasien (14,6%) dengan diagnosis curiga necrotizing fasciitis pada saat
masuk rumah sakit. Mayoritas terjadi kesalahan diagnosis sehingga terjadi
penundaan debridement. Secara kontras, 80 pasien (89,9%) memiliki skor
LRINEC > 6.3,4

20
Tabel 1. Skor LRINEC

Selain itu tabel yang digunakan untuk memprediksi indeks keparahan


Fournier Gangrene yang digunakan secara universal adalah skor Fournier
Gangrene Severity Index (FGSI). Laor et al pada tahun 1995 mengusulkan
prediksi outcome dari 30 pasien dengan Indeks derajat Fournier Gangren
berdasarkan hasil laboratorium termasuk hematokrit, urea nitrogen darah,
kalsium, albumin alkali phospatase dan kolestrol. Leukosit, platelet, potassium,
bikarbonat, urea nitrogen darah, protein total, albumin dan laktat dehydrogenase
satu minggu setelah perawatan di rumah sakit juga berhubungan dengan hasil
akhir. Pemeriksaan tersebut dikombinasikan dengan skor derajat psikologis
akut dan evaluasi kesehatan kronis II digunakan untuk menciptakan indeks
derajat Fournier Gangren. Peneliti menemukan penggunaan nilai 9 sebagai
ambang

21
batas, didapatkan 75% kemungkinan kematian dengan skor >9, dengan skor <9
didapatkan 78% kemungkinan harapan hidup.3,4

Tabel 2. Skor FGSI

Pemeriksaan penunjang radiologi antara lain:

1. Foto polos radiologi.


Gambaran hiperlusen menunjukkan adanya gas di skrotum maupun
perineum. Selain itu, gambaran foto polos dapat menunjukkan
emfisema subkutan pada perineum dan genitalia eksterna sampai ke
daerah inguinal, paha dan bagian abdomen anterior. Gambaran
emfisema subkutan tersebut meningkatkan kecurigaan terhadap
terjadinya infeksi. Namun, tidak adanya gas (gambaran hiperlusen)
pada foto polos tidak dapat menyingkirkan diagnosis. Foto polos juga
dapat menunjukkan penebalan jaringan lunak pada skrotum.5

22
Gambar 5. Foto Polos Fournier Gangrene
2. USG
Gambaran USG pada Fournier gangrene adalah penebalan dinding
skrotum dan emfisema subkutan. Gambaran infeksi dengan nekrosis
pada ultrasonografi adalah terdapat gas di dinding skrotum dengan
gambaran hiperekoik disertai bayangan di daerah distal. 19 Bukti gas
dalam skrotum dinding dapat dilihat sebelum pemeriksaan fisik
ditemukan adanya krepitasi. Biasanya juga terdapat hidrokel unilateral
atau bilateral. Testis dan epididymis sering normal dalam ukuran dan
ekotekstur karena vaskularisasi yang berbeda. Jika testis terinfeksi,
seringkali infeksi terdapat pada region intraabdominal atau
retroperioneal. USG juga bisa dijadikan acuan untuk diferensial
diagnosis dengan hernia inguinal inkarserata yang mana nanti akan
menimbulkan obstruksi pada bagian usus, menjauh dari skrotum.19

Gambar 6. Gambaran USG Fournier Gangrene

23
3. CT scan
Gambaran CT scan yang dapat terlihat antara lain penebalan
jaringan lunak disertai peradangan, emfisema subkutan yang
menunjukkan pembentukan gas oleh bakteri, serta kerusakan fasia
asimetris yang menandakan adanya tumpukan cairan atau abses. Peran
utama dari CT scan pada infeksi nekrosis jaringan lunak adalah untuk
mengidentifikasi asal infeksi seperti abses perianal, fistula, atau proses
infeksi intraabdominal maupun retroperitoneal, serta dapat melihat
komplikasi yang mungkin terjadi seperti rupture vascular akibat
nekrosis jaringan. Pada stadium awal Fournier Gangrene, biasanya
hanya terlihat pembengkakan jaringan tanpa adanya emfisema
subkutan.20

Gambar 7. Gambaran CT Scan Fournier Gangrene


4. MRI
Hanya beberapa kasus yang ditemukan pada literature
menggunakan MRI sebagai modalitas diagnostic untuk Fournier
Gangere. Alasan penggunaan yang terbatas mungkin dikarenakan
ketersediaannya yang terbatas, serta waktu scanning yang lama. Namun
pada beberapa kasus, MRI untuk mendiagnosis Fournier Gangrene
menunjukkan emfisema subkutis, penebalan dinding skrotum dan
akumulasi cairan. MRI dapat melihat penyebaran infeksi.20

24
2.6 Tatalaksana
Fournier gangrene merupakan suatu kegawatdaruratan dalam bidang
urologi, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang segera. Prinsip
penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah debridemen jaringan nekrotik,
drainase pus dan terapi antimikroba serta stabilisasi hemodinamik. Pasien
dengan Fournier Gangrene harus diberikan terapi secara agresif untuk
menurunkan angka mortalitas.1
Selain pembedahan dan pemberian antibiotik, pemberian oksigen
hiperbarik direkomendasikan sebagai terapi tambahan, walaupun pembedahan
tetap utama untuk dilakukan. Terapi oksigen hiperbarik tersebut dipercatat
dapat menghambat pertumbuhan bakteri anaerob pada jaringan, mencegah
penyebaran yang lebih lanjut dan menurunkan efek sistemik dari infeksi. Efek
lain adalah pada fungsi neutrofil, mempercepat angiogenesis dan fibroblast,
mengurangi edema dan meningkatkan kadar antibiotik intraselular. Hal yang
juga penting adalah memberikan terapi pada kondisi komorbid yang menyertai
Fournier Gangrene.1

25
Gambar 8. Prinsip Penatalaksanaan Fournier’s Gangrene
a. Terapi antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas dianjurkan dan harus diberikan
sejak awal. Pemberiannya diindikasikan untuk Staphylococcus,
Streptococcus, bakteri gram negative dan bakteri anaerob. Kombinasi
antibiotik dapat dilakukan untuk memberikan efek lebih pada pasien dengan
Fournier Gangrene.5
Pemberian penicillin spektrum luas atau sefalosporin generasi ketiga dan
aminoglikosida yang dikombinasi dengan metronidazole atau klindamisin
dianjurkan sebelum hasil kultur spesifik didapatkan. 3,11 Kombinasi lain yang
dapat diberikan adalah quinolone dengan klindamisin atau beta-laktam
dengan aminoglikosida. Pada kasus yang disebabkan oleh MSRA, antibiotik
pilihan yang dapat digunakan adalah vancomycin. 5 Klindamisin juga dapat
digunakan untuk menekan produksi dari sitokin. Penggunaan linezolide,
daptomycine dan tigesiklin juga berguna pada kasus rawat inap yang
sebelumnya menggunakan antibiotik jangka panjang yang mungkin
mengarah

26
pada resistensi bakteroides.5 Guideline terbaru merekomendasikan
penggunaan karbapenem (Imipenem, meropenem, ertapenem) atau
piperaziline-tazobactam. Obat-obat yang lebih baru ini memiliki distribusi
yang lebih besar dan efek toksik pada ginjal lebih kecil dibandingkan dengan
aminoglikosida. Trend baru ini menunjukkan tripel terapi dapat digantikan
pada kondisi tertentu dengan penggunaan antibiotik generasi yang baru.21
b. Terapi Pembedahan
Tindakan debridemen pada lesi dan drainase harus dilakukan segera dan
agresif, serta membuang sebanyak mungkin jaringan nekrosis yang ada.
Insisi yang panjang dibuat melalui kulit dan jaringan subcutan, diperdalam
hingga yang sehat. Lemak dan fascia yang mengalami nekrosis harus
dieksisi dan luka dibiarkan terbuka (debridement). Debridement ulang
diindikasikan 24 hingga 48 jam kemudian dengan rata-rata 3-4 kali tindakan
apabila ada keraguan tentang cukup tidaknya debridement awal.3
Orchidectomy hampir tidak pernah diperlukan, karena testis memiliki
sumber perdarahan yang bebas dari fasia yang terinfeksi dan sirkulasi
kutaneous dari skrotum. Tetapi pada beberapa kasus, orchidectomy
dilakukan karena adanya infeksi berat di jaringan peritesticular meskipun
pada pembahasan patologi, testis tidak terkena infeksi.5 CT scan atau MRI
dapat membantu menentukan keterkaitan daerah pararektal untuk keperluan
colostomy.3
c. Diversi Fekal dan Urin
Kolostomi sudah digunakan untuk diversi fekal pada kasus Fournier
Gangrene yang melibatkan perineal. Diversi rektum yang rasional meliputin
pengurangan dari jumlah kuman pada area perineum sehingga mempercepat
penyembuhan luka. Beberapa pertimbangan untuk pembuatan kolostomi
meliputi sphingter anus, inkontinensi feses atau kontaminasi feses pada tepi
luka.5
Kolostomi merupakan pilihan sementara yang dapat dilakukan pada kasus
yang membutuhkan debridemen luas. Kolostomi dapat dilakukan pada kasus

27
dengan cedera sfingter yang luas, dan pasien yang membutuhkan
debridemen perianal. Menurut literatur, beberapa studi menunjukkan
manajemen usus menggunakan kateter dapat mencegah terjadinya
kontaminasi tepi luka. Pada kasus dengan keterlibatan rectum pada Fournier
Gangrene, diperlukan intervensi yang komprehensif seperti reseksi
abdominoperineal. Diversi fekal menggunakan teknik Bowel Management
Catheter (BMC) dianggap efektif dan dapat menurunkan angka kolostomi
dan graft, terutama pada kasus yang melibatkan regio perianal dan
sekitarnya.5
Korkut et al melaporkan 45 kasus Fournier Gangrene menunjukkan
mortalitas pada pasien yang tidak membutuhkan stoma adalah 7%, tetapi
38% pada pasien yang membutuhkan stoma.5 Alat diversi rektum The Flexi-
weal Fecal Management system adalah sebuah silicon kateter didesain untuk
mengalihkan feses pada pasien dengan diare, luka bakar ataupun ulkus kulit.
Alat ini melindungi luka dari kontaminasi feses dan mengurangi dengan cara
yang sama dengan kolostomi baik itu resiko dari rusaknya kulit dan
inokulasi berulang dengan flora usus besar. Kontraindikasi formal adalah
neoplasma rektal, cedera penetrasi rektum atau fistul. Diversi suprapubic
harus dilakukan jika ada keterlibatan penis dan trauma uretra atau adanya
kecurigaan ekstravasasi urine. Pada sebagian kasus perlu tindakan sistotomi
dan kateterisasi urine.5

Gambar 9. Flexi Seal Fecal Management System

28
d. Terapi Topikal
Telah dilaporkan penggunaan madu untuk membantu penyembuhan luka.
Madu memiliki pH yang rendah 3,6 dan mengandung enzim yang merusak
jaringan nekrotik yang juga mempunyai efek antibacterial dikarenakan asam
phenolic. Perubahan ini terjadi dalam 1 minggu setelah menggunakan madu
pada luka. Namun sayangnya belum ada studi yang mendukung efektifitas
penggunaan madu ini. Heggers et al melaporkan bahwa irigasi luka dengan
sodium hypochlorite konsentrasi 0,025% aman dan efektif mengobati
Fournier Gangren. Debridemen enzimatik dengan aplikasi kolagenase
lipofilik adalah terapi lokal lain yang juga berguna. Penggunaan lem fibrin
telah terbukti berguna pada defek kulit tanpa adanya infeksi aktif.5
e. Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik cukup menjanjikan dengan berkurangnya
waktu rawat inap di rumah sakit, meningkatnya penyembuhan luka, dan
mengurangi penjalaran gangrene ketika digunakan beriringan dengan
debridement dan terapi antibiotik.3 Terapi oksigen hiperbarik menempatkan
pasien pada lingkungan dengan tekanan lingkungan sekitar 100%,
menghasilkan peningkatan oksigenasi pada darah arteri dan jaringan dan
terbukti berguna meliputi oksigenasi adekuat untuk optimalisasi fungsi
fagositik neutrofil, inhibisi pertumbuhan anaerob, peningkatan proliferasi
fibroblast dan angiogenesis, pengurangan bengkak dengan vasokonstriksi
dan peningkatan transportasi antibiotik intrasel. Hipoksia juga mengurangi
efektifitas dari beberapa antibiotik (vancomycin, ciprofloxacin), sebaliknya
hiperoksia dapat membantu. Sebagai contoh, aminoglikosida menembus
membrane sel mikroorganisme dengan pompa yang bergantung pada
oksigen. Beberapa efek samping, telah dijelaskan seperti reaksi toksik pada
susunan saraf pusat dan cedera barotrauma pada telinga tengah.5

29
Terapi oksigen hiperbarik membutuhkan perawatan kegawatdaruratan
paska tindakan. Pemindahan dan pemantauan paska tindakan juga
memerlukan perhatian khusus. Beberapa literature menunjukkan bahwa
pengobatan dengan mengkombinasikan terapi hiperbarik oksigen dalam
tatalaksana Fournier Gangrene memiliki hasil yang baik. Terapi hiperbarik
oksigen sebagai terapi adjuvant dapat digunakan dalam fase akut dan dapat
mempercepat kesembuhan dari Fournier Gangrene.5
f. Vacuum-Assisted Closure
Dengan adanya VAC, terdapat kemajuan yang pesat dalam mengurangi
defek kulit dan mempercepat penyembuhan luka. Hal ini bekerja dengan
mengekspos luka pada tekanan subatmosfer pada periode tertentu untuk
membantu debridemen dan penyembuhan luka.5
Fournier Gangrene merupakan penyakit yang diperantarai oleh flora yang
berukuran mikroskopis. Dengan penggunaan VAC, diharapkan dapat
mencegah perkembangan bakteri aerob dan anaerob dalam bermanifestasi
dan mencegah terjadinya nekrosis. Pemasangan VAC akan mencegah
nekrosis akibat bakteri. Penggunaan VAC sebagai alternatif terapi dapat
mempercepat masa perawatan pasca operasi serta memperbaiki luaran klinis.
Pada penelitian lain, tidak ada bukti manfaat mengenai penggunaan tekanan
negative (vacuum) pada penanganan luka pada Fournier Gangrene.11
Meskipun begitu, penelitian lebih lanjut masih dilakukan untuk
membandingkan VAC dengan perawatan konvensional.11
g. Rekonstruksi Plastik
Beberapa pekerja sudah menggunakan teknik yang berbeda untuk
membantu penutupan luka meliputi scrotal advancement flap, split thickness
skin graft, fasciocutaneous flap, dan muscle flap. Split thickness skin graft
(STSG) tampaknya merupakan terapi pilihan untuk mengobati defek
perineal dan kulit skrotum.5

30
Pada tindakan scrotal advancement flap, prinsip yang digunakan adalah
menggunakan kulit skrotum untuk mengganti perineum yang rusak. Daerah
yang dapat digunakan adalah sekitar 96 cm2. Semakin besar daerah defek,
maka semakin besar stress dan traksi pada jaringan, dan dapat menimbulkan
komplikasi pada graft. Traksi pada jaringan yang besar juga dapat
menimbulkan nekrosis pada tepi flap dan kegagalan flap. Apabila berhasil,
teknik ini dapat memberikan efek klinis dan estetis yang baik.5
Penggunaan flap fasciokutan dapat menjadi salah satu alternatif pada
rekonstruksi skrotum dan perineal. Flap jaringan tersebut memiliki area yang
luas dan dapat digunakan apabila skin graft jumlahnya tidak adekuat. Flap
tipe ini memiliki superioritas karena mengurangi resiko kontraktur.5

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Fournier Gangrene meliputi kelainan skrotal,
perineal, kelainan intraabdomen dan sistemik yaitu skrotal cellulitis, hernia
strangulata, torsio testis, abses/hematom testis, gonococcala balanitis,
epididymis akuta, vasculitis, polyarteritis nodosum. Skrotum dan penis
memiliki konstruksi jaringan yang rentan terhadap infeksi gangrenosa,
meskipun hal tersebut jarang terjadi. Fournier Gangrene memiliki presentasi
klinis yang jelas karena Fournier Gangrene merupakan kombinasi infeksi
thromboarteritis dan oklusi vascular.
Gangrene pada penis umumnya ditemukan pada pasien dengan diabetes
mellitus. Gangren pada skrotum umumnya merupakan komplikasi dari
vasculitis dan polyarteritis nodosa. Kasus lain juga menunjukkan terjadinya
immunovasculitis yang didapatkan dari biopsy. Penting untuk membedakan
pasien dengan vasculitis dan pyoderma gangrenosum karena memiliki terapi
yang berbeda. Meskipun Fournier Gangrene merupakan penyakit yang
cenderung jarang ditemukan, vasculitis pada genitalia dan pyoderma
gangrenosum lebih langka.5

31
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari Fournier Gangrene termasuk gagal oragan tunggal atau
multiple, juga defek yang besar pada skrotum, perianal, penis dan pada dinding
abdomen. Apabila Fournier Gangrene mengenai testis tunggal atau keduanya,
orkidektomi dapat dilakukan. Pada penis dapat dilakukan amputasi parsial atau
total pada kasus gangrene berat. Fournier Gangrene merupakan salah satu
komplikasi dari diabetes mellitus dan mungkin berhubungan dengan keto-
asidosis. Nyeri jangka panjang tidak umum pada Fournier Gangrene dan 50
5 dari pasien dapat dikatakan tanpa nyeri. Fungsi seksual mungkin
terganggu oleh deviasi penis atau torsio penis juga hilangnya sensitifitas dari
kulit penis atau nyeri pada saat ereksi. Infertilitas sangat jarang setelah Fournier
Gangren, tetapi beberapa kasus telah dilaporkan.11

2.9 Mortalitas dan Morbiditas


Rata-rata angka mortalitas dari penyakit ini adalah 20% dengan rentang
antara 7% hingga 75%. Mortalitas yang lebih tinggi didapatkan pada pasien
dengan diabetes, alkoholik dan pasien dengan sumber infeksi kolorektal yang
seringkali memiliki gambaran klinis yang tidak terlalu jelas, keterlambatan
diagnosis dan penjalarannya lebih luas. Fournier gangrene merupakan kegawat
daruratan dalam bidang urologi yang memerlukan perhatian lebih. Penanganan
pembedahan dini serta manajemen medis yang agresif menunjukkan tingkat
survival >70%, tergantung dari kondisi pasien dan ketersediaan unit perawatan
krisis.3,11

32
BAB III

STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Pasien
Nama : Tn. Ali
Umur : 71 tahun
Tanggal lahir : 01/07/1951
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pakjo
Agama : Islam
No RM : 08.74.23
Pembiayaan : BPJS
Diagnosis Masuk : Suspek abses testis dextra
Diagnosis Keluar : Post orchidectomy dextra ec Fourniers gangrene dextra
+ hipospadia
Tanggal Masuk : 07/07/20
Tanggal Keluar : 11/07/20

Orang tua / Wali


Nama : Ny. Hasna Wati
Hubungan : Anak

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Rawat Inap Bedah
RSMH Palembang pada Kamis, 09 Juli 2020.
Anamnesis Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: buah zakar membesar sejak 1 minggu SMRS

33
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os mengatakan buah zakar kanan membesar sejak 1 minggu SMRS,
kecil progresif, awalnya pasien berpergian naik motor melalui jalan yang
banyak berlubang dengan jarak tempuh cukup jauh, pasien sudah lama tidak
menaiki motor untuk menghindari benturan pada buah zakar. Setelah
mengendarai motor, os mengaku buah zakar kanan mulai membengkak dan
kemerahan. Selain itu dirasakan nyeri pada buah zakar kanan, memberat sejak 2
hari ini. Tidak pernah keluar cairan dari buah zakar. Riwayat demam (+) naik
turun, mual (+) muntah sejak 3 hari SMRS isi apa yang dimakan, frekuensi per
hari <3x. nyeri perut (+) ulu hati, nyeri dada (+) dirasakan seperti panas hingga
ke rahang VAS 2-3, sesak (-) batuk (-) pilek (-). BAB terakhir tadi pagi sebelum
masuk rumah sakit. Riwayat BAK warna kuning jernih, volume BAK dirasakan
cukup, tidak ada perubahan jumlah. Riwayat keluhan BAK sedikit-sedikit,
berdarah, berpasir dan nyeri saat serta setelah BAK disangkal. Riwayat
terbentur, jatuh dan trauma disangkal.
Saat di ruang perawatan keesokan harinya, os mengatakan buah zakar
kanan pasien keluar nanah, lalu dilakukan operasi CITO.
Riwayat Penyakit Dahulu
3 tahun yang lalu pasien pernah operasi batu kandung kemih dan
orchidectomy sinistra atas indikasi infeksi. Pasien menderita penyakit hipertensi
tetapi tidak rutin minum obat dan kontrol. Riwayat diabetes mellitus, asma,
infeksi, trauma lainnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa.
Ayah pasien menderita penyakit hipertensi, tidak rutin minum obat. Tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit diabetes mellitus, asma, batuk lama.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat, makanan, allergen disangkal

34
Riwayat kebiasaan
Riwayat minum alkohol disangkal. Riwayat merokok (+) sekarang
sudah tidak merokok.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien terkadang mengkonsumsi obat hipertensi tetapi lupa nama obat.
Pasien tidak mengkonsumsi obat terkait keluhannya saat ini.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 180/98 mmHg
Nadi : 105x/i
Frekuensi napas : 21x/i
Suhu : 36,5°C
Saturasi O2 : 99% room air

Saturasi Generalis
Kepala : Normocephali, wajah normal, tidak tampak kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) reflek cahaya (+/+)
isokor Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), septum deviasi (-), sekret
(-/-) Telinga : Bentuk simetris, ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : Mukosa kering (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-) edem (-) T1-T1 hiperemis (-) edem (-)
Leher : KGB (-) membesar, kaku kuduk (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : simetris kanan = kiri, retraksi (-)

35
Palpasi : simetris, hemithoraks tertinggal (-), fokal fremitus simetris
kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : Suara napas vesicular (+/+) wheezing (-/-) rhonki (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, lemas
Auskultasi : Bising usus (+), 9x/menit
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+) epigastric, suprapubic. Distensi (-)
teraba hepar dan spleen (-) teraba massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen

Anorektal : Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema superior/inferior -/-

Status Lokalis
07/07/22 : skrotum dextra membesar konsistensi lunak kemerahan (+) nyeri (+)
pus (-)

36
Gambar 10. Foto Klinis 07 Juli 2022
08/07/22 : abses skrotum dextra pecah, pus (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil EKG 07/07/22

37
Hasil Lab 07/07/22

JENIS HASIL SATUAN NILAI


PEMERIKSAAN RUJUKAN (TUA)
Hemoglobin 12,2  g/dL 12,4 – 14,9
Hematokrit 36  % 37 – 47
Eritrosit 4,11  10^6 /μL 4.5 – 6,2
Leukosit 42,2  10^3 /μL 4.0 – 10.0
Trombosit 323 10^3 /μL 130 – 450
MCV 87 fL 80 – 99
MCH 30 pg 27 – 32
MCHC 34 g/dL 30 – 36
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0  % 1-3
Neutrofil 91  % 50-70
Limfosit 3  % 20-40
Monosit 6 % 2–8
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1030 1003 – 1035
Blood Negatif Negatif
Lekosit (+) Negatif
pH 5,5 4,5 – 8,0
Protein (++) Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Urobilin (+) Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit (+) Negatif
Keton Negatif Negatif
Sedimen
Sel Lekosit 6–7  /LPB 0–5
Sel Eritrosit 1–2 /LPB 0–5
Sel Epitel Sedikit Negatif / Sedikit
Kristal Negatif Negatif
Silinder granuler (+)
Kimia Darah
GDS 148 mg/dL <180
Rapid Antigen
NEGATIVE
COVID-19

38
Hasil Lab 08/07/22

JENIS HASIL SATUAN NILAI


PEMERIKSAAN RUJUKAN (TUA)
Golongan Darah B
Rhesus (+) / Positif
Kimia Darah
GDS 131 mg/dL < 180
SGOT 32 U/L < 40
SGPT 32 U/L < 41
Ureum 37 mg/dL 13 – 43
Creatinin 1,2 mg/Dl 0,7 - 1,2
Na 137,1 mEq/L 135 – 145
K 2,95  mEq/L 3,5 – 5,1
Cl 110,4 mEq/L 98,0-107,0
Serologi
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Hemostasis
Masa Pembekuan 3 Menit 3–7
Masa Pendarahan 1 M 30 D Menit 1–5

Hasil Lab 10/07/22

JENIS HASIL SATUAN NILAI


PEMERIKSAAN RUJUKAN (TUA)
Hemoglobin 12,5 g/dL 12,4 – 14,9
Hematokrit 39 % 37 – 47
Eritrosit 4,17  10^6 /μL 4.5 – 6,2
Leukosit 12,4  10^3 /μL 4.0 – 10.0
Trombosit 383 10^3 /μL 130 – 450
MCV 93 fL 80 – 99
MCH 30 pg 27 – 32
MCHC 32 g/dL 30 – 36
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 4  % 1-3
Neutrofil 70 % 50-70
Limfosit 16  % 20-40
Monosit 10  % 2–8

39
3.5 Resume
 Anamnesis:
Buah zakar kanan membesar sejak 1 minggu SMRS, kecil progresif,
pasien mengaku buah zakar kanan membengkak dan kemerahan setelah
pulang mengendarai motor di jalan berlubang dengan jarak tempuh cukup
jauh. Selain itu pasien juga merasakan nyeri pada buah zakar kanan,
memberat sejak 2 hari ini. Tidak pernah keluar cairan dari buah zakar.
Riwayat demam (+) naik turun, mual (+) muntah sejak 3 hari SMRS isi apa
yang dimakan, frekuensi per hari <3x. nyeri perut (+) ulu hati, suprapubic,
nyeri dada (+) dirasakan seperti panas hingga ke rahang VAS 2-3. Keluhan
lain disangkal. Saat di ruang perawatan keesokan harinya, keluar nanah
dari buah zakar kanan pasien.
Pasien pernah melakukan operasi batu kandung kemih dan
orchidectomy sinistra atas indikasi infeksi 3 tahun lalu. Pasien juga
menderita penyakit hipertensi tetapi tidak rutin minum obat dan kontrol.
Riwayat merokok (+) sekarang sudah tidak merokok.
 Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran sadar penuh, tanda vital ditemukan hipertensi gr II (180/98
mmHg), takikardi (105x/m), frekuensi napas, saturasi oksigen, suhu dalam
batas normal. Status generalis ditemukan nyeri tekan epigastric,
suprapubik. Status lokalis (07/07/22) skrotum dextra membesar,
konsistensi lunak kemerahan, nyeri (+), pus (-). Status lokalis (08/07/22)
abses skrotum dextra
pecah, pus (+) nyeri (+)
 Pemeriksaan Penunjang:
Hasil EKG 07/07/22
- Iskemik septal lateral
Hasil lab 07/07/22
- Anemia (12,2 g/dL)

40
- Leukositosis (42,2 10^3 /μL)
- Neutrofil  (91%)
- Sel lekosit  pada urin (6-7/LPB)

Hasil lab 08/07/22


- Hipokalemia (2,95 mEq/L)

Hasil lab 10/07/22


- Leukositosis (12,4 10^3 /μL)

3.6 Diagnosis Kerja


Diagnosis Masuk: Suspek abses testis dextra
Diagnosis Keluar: Post orchidectomy dextra ec fournier gangrene dextra +
hipospadia

3.7 Tatalaksana
Tatalaksana awal di IGD RSUD Bangka Tengah (07/07/22):
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ketorolac 30mg
- Inj. Ceftriaxone 2 gr
- Inj. Omeprazole 40mg
- Inj. Metronidazole 500mg

Rencana terapi ruangan:


- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
- Inj. Metronidazole 3 x 500mg
- Inj. Ketorolac 3 x 30mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40mg
- Nitrokaf 2 x 2,5mg

41
3.8 Follow Up

Tanggal SOAP Pemeriksaan Penunjang


Jum’at S:
08/07/22 Nyeri pada buah zakar kanan, semakin
07.00 membesar

O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 156/85
T: 36,2C
HR: 67x/i
RR: 22x/i
SpO2: 99% free air

Mata: KA -/-, SI -/-, Edem palpebra -/-


Pulmo: Simetris, retraksi (-), Ves +/+, Rh -/-,
Wh -/-
Cor: BJ I-II reg, Gallop (-), Murmur (-)
Abd: Simetris, datar, soepel, NT (+) epigastric
& suprapubik, BU (+) dbn,
Eks: Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)

Sts lokalis: tampak pembesaran pada testis


kanan sebesar telur ayam (+ 5x5cm),
kemerahan, nyeri (+), pus (-)

A:
- Suspek abses testis dextra

P:
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)

42
Jum’at S: Lab Darah 08/07/22
08/07/22 Keluar nanah dari abses testis dextra (14.37)
14.00
O: GDS : 131 mg/dL
KU/Kes: CM/TSS
TD: 130/70 SGOT 32 U/L
T: 36,5C SGPT 32 U/L
HR: 74x/i
RR: 20x/i Ureum 37 mg/dL
SpO2: 99% free air Creatinin 1.2 mg/dL

Mata: KA -/-, SI -/-, Edem palpebra -/- HbsAg non reaktif


Pulmo: Simetris, retraksi (-), Ves +/+, Rh -/-,
Wh -/- Na : 137,1 mEq/L
Cor: BJ I-II reg, Gallop (-), Murmur (-) K : 2,95 mEq/L ()
Abd: Simetris, datar, soepel, NT (-) BU (+) dbn, Cl : 110,4 mEq/L
Eks: Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)
CT 3 menit
Sts lokalis: testis dextra tampak merah BT 1 menit 30 detik
kehitaman, edema (+), pus (+)
Golongan darah B
A: Rhesus + positif
- Fournier gangrene dextra

P:
- Operasi orchidectomy dextra CITO
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)

Post operasi:
- IVFD WIDA KN2 20 tpm (kebutuhan 1750
cc)
- scrotal support

Sabtu S:
09/07/22 Keluhan (-)
07.30

43
O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 167/93
T: 36,6C
HR: 84x/i
RR: 22x/i
SpO2: 99% free air

Mata: KA -/-, SI -/-, Edem palpebra -/-


Pulmo: Simetris, retraksi (-), Ves +/+, Rh -/-,
Wh -/-
Cor: BJ I-II reg, Gallop (-), Murmur (-)
Abd: Simetris, datar, soepel, NT (-) BU (+) dbn,
Eks: Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)

Sts lokalis: luka operasi: pus (-), darah (+)


minimal

A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra

P:
- Aff kateter
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD wida KN2 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Ketorolac 3x30mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg

44
- Nitrokaf 2x2,5mg
- R/ cek lab darah rutin (Minggu, 10/07/22)
- R/ USG scrotum (Senin, 11/07/22)

Minggu S: Lab darah 10/07/22


10/07/22 Nyeri ulu hati (+) mulut terasa pahit, nyeri pada
07.30 skrotum (-) Hb 12,5 g/dL
Lekosit 12.400 μL ()
O: Eritrosit 4,17 juta / μL ()
KU/Kes: CM/TSS Trombosit 383.000 μL
TD: 170/90 Hematokrit 39%
T: 36,2C MCV 93 fL
HR: 64x/i MCH 30 pg
RR: 20x/i MCHC 32 g/dL
SpO2: 99% free air
Basofil 0%
Mata: KA -/-, SI -/-, Edem palpebra -/- Eusinofil 4%
Pulmo: Simetris, retraksi (-), Ves +/+, Rh -/-, Neutrofil 70%
Wh -/- Limfosit 16%
Cor: BJ I-II reg, Gallop (-), Murmur (-) Monosit 10%
Abd: Simetris, datar, soepel, NT (+) epigastric
BU (+) dbn,
Eks: Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)

Sts lokalis: scrotum: pus (-), darah (+) minimal

A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra
- hypospadia

45
P:
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Nitrokaf 2x2,5mg

Senin S:
11/07/22 Keluhan (-)
07.30
O:
KU/Kes: CM/TSS
TD: 170/89
T: 36,2C
HR: 64x/i
RR: 20x/i
SpO2: 99% free air

Mata: KA -/-, SI -/-, Edem palpebra -/-


Pulmo: Simetris, retraksi (-), Ves +/+, Rh -/-,
Wh -/-
Cor: BJ I-II reg, Gallop (-), Murmur (-)
Abd: Simetris, datar, soepel, NT (-) BU (+) dbn,
Eks: Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)

Sts lokalis: scrotum: darah (+) minimal, pus (-)

A:
- Post orchidectomy dextra
- Fournier gangrene dextra

46
- hypospadia

P:
- Ganti balut
- Scrotal support
- IVFD asering 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3x500mg
- Inj. Omeprazole 1x40mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Nitrokaf 2x2,5mg

Advis: BLPL
Terapi pulang:
- Cefixime 2x200mg
- Metronidazole 3x500mg
- Dexketoprofen 3x25mg
- Ganti balutan 1x sehari

47
BAB IV
DISKUSI KASUS

Diagnosis pasien Tn. A umur 71 tahun ditegakan berdasarkan data yang


didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
kerja Fournier Gangrene dextra ditegakan berdasarkan anamnesis yang diutarakan
oleh pasien bahwa buah zakar kanannya membesar sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit, awal mula kecil lama-lama membesar, mulanya pasien berpergian naik
motor melalui jalan yang banyak berlubang dengan jarak tempuh cukup jauh.
Setelah mengendarai motor, pasien mengaku buah zakar kanan mulai membengkak
dan membesar. Selain itu dirasakan kemerahan dan nyeri pada buah zakar kanan,
memberat sejak 2 hari ini. Tidak pernah keluar cairan dari buah zakar. Riwayat
demam (+) naik turun namun suhu tidak diukur, mual (+) muntah sejak 3 hari
SMRS isi apa yang dimakan, frekuensi per hari <3x. Keesokan harinya saat di
ruang perawatan, buah zakar kanan pasien keluar nanah. Hal ini sesuai dengan ciri
khas dari Fournier Gangrene yaitu memiliki perkembangan yang cepat dan onset
yang tiba-tiba dari tanda dan gejala selulitis (eritema, pembengkakan, dan nyeri)
menjadi pembentukan bula, lalu menjadi iskemia yang terlihat secara klinis dan pada
akhirnya menjadi lesi nekrotik dengan bau yang busuk.3 Pada pasien ini, lesi hanya
sampai pembentukan bula yang pecah pada hari kedua perawatan. Pada penelitian
lainnya menyebutkan jika manifestasi klinis yang paling sering muncul ialah
pembengkakan pada skrotum, demam dan nyeri.6 Hal ini juga sesuai dengan
manifestasi klinis yang dirasakan pasien yaitu pasien juga mempunyai riwayat
demam naik turun saat buah zakarnya bengkak. Melalui anamnesis pula, pasien
mengatakan bahwa pasien pernah mengalami keluhan serupa pada buah zakar kiri 3
tahun yang lalu dan sudah dioperasi atas indikasi infeksi pada buah zakar. 3 tahun
lalu pasien mengalami keluhan batu saluran kemih di vesika urinaria sehingga
dilakukan operasi bersamaan dengan operasi buah zakar. Pasien lupa nama
operasinya. Hal ini sesuai dengan etiologi infeksi tersering yaitu berasal dari
anorectal / traktus gastrointestinal (30-50%), urogenital / traktus

48
genitourinaria (20-40%), infeksi kulit (20%) atau trauma jaringan lokal. 3,4,11 Penyebab
anorectal misalnya abses perianal, perirectal atau daerah iskiorektal, fisura ani,
perforasi kolon, diverticulitis, setelah hemoroidektomi, atau kanker kolon. Sedangkan
sumber infeksi urogenital dapat ditemukan pada kasus striktur uretra, infeksi saluran
kemih kronis, epididymitis. Pada dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif
hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum dan trauma. 1 Pada kasus ini, etiologi
dapat terjadi karena infeksi urogenital dimana pasien pernah mengalami keluhan
serupa 3 tahun yang lalu, serta pasien pernah mengalami batu saluran kemih. Selain
itu, pasien juga mengeluh awal membengkaknya buah zakar saat setelah pasien
mengendarai motor di jalan yang berlubang dengan jarak tempuh cukup jauh
sehingga dapat terjadi ulserasi karena tekanan skrotum dan trauma.
Pasien juga menderita penyakit hipertensi tetapi tidak rutin minum obat. Hal
ini sesuai dengan penelitian di Taiwan pada 90 pasien Fournier gangrene lansia,
dimana hipertensi merupakan faktor predisposisi terbanyak kedua setelah diabetes
mellitus (50%) dengan persentase 40%, diikuti oleh sirosis hepatis (5,6%), uremia
(2,2%), gangguan ginjal kronis (13,3%), keganasan (11,1%), penyakit paru obstruktif
kronik (13,3%), penyakit pembuluh darah otak atau korda spinalis (15,6%), dan
penyakit jantung coroner (8,9%)13 Pasien berusia 61 tahun, dimana menurut
epidemiologi, Fournier gangrene paling banyak menyerang usia tua dengan insidensi
pada usia lebih dari 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki pertahunnya.2
Pada pemeriksaan keadaan umum ditemukan tekanan darah pasien 180/98,
nadi 105x/m, frekuensi napas 21x/m, suhu 36,5°C, takikardi merupakan gejala
sistemik yang dapat terjadi pada Fournier Gangren5 tetapi biasanya Fournier gangrene
diikuti dengan demam dan hipotensi. Pada kasus ini, pasien menderita hipertensi dan
saat ini sedang tidak demam. Dari pemeriksaan status lokalis pada tanggal 07 Juli,
ditemukan skrotum dextra oedema, kemerahan, nyeri lokal, pus (-) dan keesokan
harinya pada tanggal 08 Juli, abses pada skrotum dextra pecah, pus (+) nyeri (+). Hal
ini sesuai dengan klinis Fournier Gangrene yaitu ditemukannya nyeri lokal,
eritema, edema.

49
Selain itu bisa juga ditemukan ulkus yang disertai eritem, sianosis, gangrene, hingga
krepitasi jaringan lunak.5
Pada pemeriksaan penunjang, dari hasil laboratorium darah rutin, hitung jenis
dan elektrolit ditemukan leukosit 42.200 (), Hb 12,2 (), Ht 36 (), Eritrosit 4,11
(), neutrofil 91 (), limfosit 3 (), K 2,95 (). Leukosit dan neutrophil yang
meningkat menandakan adanya proses infeksi bakteri di tubuh pasien, anemia muncul
akibat dari penurunan masa eritrosit sehat akibat dari thrombosis dan echymosis
ditambah dengan menurunnya produksi eritrosit akibat sepsis.4,11 Pada pemeriksaan
urine lengkap, ditemukan adanya leukosit (+), protein (++), urobilin (+), nitrit (+),
dan pada sedimen ditemukan sel lekosit 6-7 (), hasil ini menunjukkan bahwa
terjadinya proses infeksi bakteri pada saluran traktus urinarius pasien. Skor LRINEC
tidak dapat dinilai dikarenakan pada pasien ini tidak diperiksa nilai CRP, begitupun
skor FGSI tidak dapat dinilai dikarenakan pada pasien ini tidak diperiksa nilai serum
bikarbonat.
Pada saat di IGD, pasien ini diberikan cairan asering 20 tpm, ketorolac 30mg
iv, ceftriaxone 2 gr iv, omeprazole 40mg iv, dan metronidazole 500mg iv, hal ini
sesuai dengan tatalaksana awal pada Fournier Gangrene yaitu terapi antimikroba dan
stabilisasi hemodinamik.1 Antibiotik yang dapat digunakan yaitu penicillin spectrum
luas atau sefalosporin generasi ketiga dan aminoglikosida yang dikombinasi dengan
metronidazole atau klindamisin sebelum hasil kultur spesifik didapatkan.3,11 Pada
pasien ini, diberikan antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu
ceftriaxone dan dikombinasi dengan pemberian metronidazole. Selain itu pasien juga
distabilisasi hemodinamik dengan memberikan cairan asering 20 tpm, memberikan
terapi simptomatis analgesik dan PPI. Rencana terapi ruangan asering 20 tpm,
ceftriaxone 1x2 gr iv, metronidazole 3x500mg iv, ketorolac 3x30mg iv, omeprazole
40mg iv, nitrokaf 2x2,5 mg. Pasien ini mengeluhkan nyeri dada seperti panas hingga
ke rahang VAS 2-3 dengan EKG iskemik septal lateral, maka diberikan nitrokaf
sebagai nitrogliserin. Pada follow up tanggal 08/07/22 pukul 07.00 terapi dilanjutkan
dan direncanakan USG skrotum. USG skrotum dilakukan untuk melihat apakah
terdapat gambaran infeksi dengan nekrosis yang dibuktikan terdapatnya gas di
dinding skrotum
50
dengan gambaran hiperekoik disertai bayangan di daerah distal, digunakan juga untuk
melihat apakah ada penebalan dinding skrotum dan emfisema subkutan. Serta untuk
melihat penyebaran penyakit apakah testis ikut terinfeksi. 19 Pada siang hari, pus (+)
maka direncanakan orchidectomy dextra cito. Hal ini sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan Fournier Gangrene yaitu debridemen jaringan nekrotik, drainase pus,
terapi antimikroba dan stabilisasi hemodinamik.1 Pada pasien ini dilakukan
debridemen jaringan nekrotik, drainase pus serta orchidectomy. pada beberapa kasus,
orchidectomy dilakukan karena adanya infeksi berat di jaringan peritesticular
meskipun pada pembahasan patologi, testis tidak terkena infeksi.15

51
BAB V
KESIMPULAN

Fournier’s gangrene adalah terjadinya fasciitis nekrotikan pada daerah


perineum, perianal dan genitalia eksterna yang disebabkan oleh polimikroba dan
bersifat fatal serta agresif. Fournier gangrene banyak menyerang laki-laki usia lanjut
serta menyerang orang-orang dengan faktor predisposisi diabetes mellitus, keganasan,
penggunaan steroid jangka panjang, malnutrisi, infeksi HIV, trauma lokal.
Ciri khas Fournier’s gangrene yaitu progresifitas yang cepat dan onset tiba-
tiba. Penyakit ini bisa disebabkan oleh idiopatik, maupun sumber infeksi yaitu infeksi
yang berasal dari anorectal, urogenital, infeksi kulit maupun jaringan lokal.
Fournier’s gangrene ditandai dengan nyeri mendadak pada daerah skrotum,
pembengkakan skrotum dengan eritema dan disertai dengan purulensi atau discharge,
krepitasi, fluktuasi dan terkadang muncul bau dari tempat infeksi.
Seringkali diagnose Fournier’s gangrene dapat ditegakkan hanya dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terdapat sistem skoring yang dapat membantu
mengelompokkan pasien berdasarkan derajat berat ringannya resiko penyakit yaitu
skor LRINEC serta skor FGSI. Fournier’s gangrene merupakan kegawatdaruratan
dalam bidang bedah maka dari itu diperlukan penanganan yang cepat. Prinsip
penatalaksanaan dari Fournier’s gangrene adalah debridemen jaringan nekrotik,
drainase pus, terapi antimikroba serta stabilisasi hemodinamik. Rata-rata angka
mortalitas penyakit ini adalah 20%, penanganan pembedahan dini serta manajemen
medis yang agresif menunjukkan tingkat survival >70%.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Chennamsetty A, Khourdaji I, Burks F, Killinger KA. Contemporary diagnosis


and management of Fournier’s gangrene. Therapeutic Advances in Urology.
2015;7(4):203-15. 1cdk
2. Sorensen M.D, Krieger J.N, et al. Fournier’s Gangrene: Population Based
Epidemiology and Outcomes. J. Urol. 2009; 181(5): 2210-2126. 2d
3. Nickel JC: Inflammatiry and Pain Conditions of the Male Genitourinary Tract:
Prostatisis and Related Pain Conditions, Orchitis and Epididymitis in Wein AJ,
Kavoussi LR, Partin AW, Peters CA. 2016. Campbell Walsh-Urology 11th
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 402-4. 1isk
4. Thwaini A, Khan A, Cherian J, et al. Fournier’s Gangrene and its Emergency
Management. BMJ Postgraduate Medical Journal. 2006. Agustus. 82(970). 516-
9. 4isk
5. M.N Mallikarjuna, V. Abishek et al. Fournier’s Gangrene: Current Practices.
International Scholarly Research Network. 2012. 1-8. 19 isrn
6. C. Ozden Yeniyol, T. Suelozgen, M. Arslan, et al. Fournier’s Gangrene:
Experience with 25 Patients and Use of Fournier’s Gangrene Severity Index
Score. Urology. 2004. 64(2). 218-22. 21 isrn
7. Shashireka CA, Pramod , Nagaraj KN, Kumar H, et al. Evaluation of Fournier’s
gangrene Severity Index in the Management of Fournier’s Gangrene: A
Retrospective Study. Internat Surg J. 2016;3(1):169-72.
8. Setiawan F, Novianti R, Wicaksono. Fournier’s Gangrene. CDK-205.
2013;40(6): 432-5. 4ok
9. Li YD, Zhu WF, et al. Entrostomy can Decrease the Motality of Patients with
Fournier Gangrene. World J Gastroenterol. 2014; 20(24): 7950-4. 5ok
10. World Health Organization. 2016. Global Report on Diabetes.
11. C. Radmayr et al. Guidelines on Paediatric Urology. EAU Full Guidelines. 2019.
12. E. Morpurgo, S. Galandiuk. Fournier’s Gangrene. Surgical Clinics of North
America. 2002. 82(6) 4 isrn
13. Kuo CF, Lio CF, Chen C, et al. Prognostic Factors of Fournier’s Gangrene in the
Elderly: Experiences of a Medical Center in Southern Taiwan. Internat J
Gerontol. 2016;10:151-5. 2cdk
14. Benjelloun EB, Souiki T, Yakla N, et al. Fournier’s Gangrene: Our Experience
with 50 Patients and Analysis of Factors Affecting Mortality. World J
Emergency Surg. 2013;8:13.

53
15. Ulug M, Gedik E, Girgin S, et al. The Evaluation of Microbiology and Fournier’s
Gangrene Severity Index in 27 Patients. Internat J Infect Fis. 2009;13:424-30.
8isrn
16. A. Ersay G, Yilmaz Y A, Y Celik. Factors Affecting Mortality of Fournier’s
Gangrene: Review of 70 Patients. ANZ Journal of Surgery. 2007; 77(1-2): 43-4.
23 isrn
17. C.H.Wong, L. W.Khin, K.S.Heng, et al. The LRINEC (Laboratory Risk Indicator
for Necrotizing Fasciitis) Score: A Tool for Distinguishing Necrotizing Fasciitis
from other Soft Tissue Infections. Critical Care Medicine. 2004. 32(7) 1535-41.
27 isrn
18. B. Erol, A. Tuncel, V. Hanci, et al. Fournier’s Gangrene: Overview of Prognostic
Factors and Definition of New Prognostic Parameter. Urology. 2010. 75(5):
1193-
8. 29 isrn
19. Kube E, Stawicki SP, et al. Ultrasound in the diagnosis of Fournier’s Gangrene.
Int J Crit. 2012;2(2):104-6. 3 cdk
20. R B Levenson, A.K Singh et al. Fournier Gangrene: Role of Imaging.
Radiographics. 2008;28(2):519-28. 36isrn
21. J. Jimeno, C. Diaz et al. Antibiotic Treatment in Fournier’s Gangrene. Cirugia.
2010;88(5):347-8. 38 isrn

54

Anda mungkin juga menyukai