Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

OBSTRUKSI JAUNDICE

Pembimbing
dr. Heru Seno W, Sp.B (K) BD

Oleh:
Jevera Joshua SIregar
201704200273

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

OBSTRUKSI JAUNDICE

Referat dengan judul “Obstruksi Jaundice” telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Bedah.

Surabaya, 2 Agustus 2019

dr. Heru Seno W, Sp.B (K) BD

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... 1

DAFTAR ISI ............................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ........................................................................................... 4

2.2 Epidemiologi .................................................................................. 4

2.3 Anatomi Sistem Hepatobilier .......................................................... 4

2.4 Histologi Sistem Hepatobilier ......................................................... 6

2.5 Metabolisme Bilirubin Normal ........................................................ 7

2.6 Etiologi ........................................................................................... 9

2.7 Patofisiologi ................................................................................. 12

2.8 Diagnosis ......................................................................................13

2.8.1 Anamnesa ........................................................................... 13

2.8.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................13

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang.......................................................14

2.8.4 Differensial Diagnosa .......................................................... 20

2.8.5 Tata Laksana ....................................................................... 21

2.8.6 Prognosis ............................................................................ 24

BAB III PENUTUP .....................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26

2
BAB I

PENDAHULUAN

Jaundice adalah penyakit yang kompleks. Jaundice adalah kadar


bilirubin yang tinggi dalam tubuh. Perubahan warna pada kulit dan
membran mukosa adalah gejala umum dari jaundice. Jaundice memiliki
berbagai jenis meliputi jaundice prehepatik (karena proses hemolisis sel
darah merah), jaundice intrahepatik (karena terjadi disfungsi pengambilan,
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hepar) dan jaundice post hepatik
(karena obstruksi sistem ekstra hepatobilier).
Penyebab berbagai jenis jaundice bisa dari acquired (didapat) atau
kongenital. Kadar bilirubin plasma yang tinggi dapat menyebabkan
berbagai manifestasi yang melibatkan rasa kenyang, perdarahan
gastrointestinal, diare, anemia, edema, penurunan berat badan dan dapat
berakibat fatal karena dapat menyebabkan psikosis, fatigue, kejang, koma
atau bahkan kematian.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau


ikterus (bahasa latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit,
sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu
kuning-oranye) pada jaringan tersebut. Peningkatan konsentrasi bilirubin
dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3 jenis jaundice
berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu jaundice prahepatik (hemolitik),
jaundice intrahepatik (parenkimatosa), dan jaundice ekstrahepatik
(obstruktif). Obstruktif jaundice merupakan jaundice yang disebabkan oleh
obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam
keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.

2.2 Epidemiologi

Kasus obstruksi jaundice post-hepatik terbanyak mengenai usia 50


tahun-59 tahun sekitar 29,3%. Kasus obstruksi jaundice post-hepatik dapat
mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan dimana jenis kelamin laki-
laki sebanyak 65,9%. Hatfield et al melaporkan bahwa kasus obstruktif
jaundice terbanyak adalah 70% karena karsinoma caput pankreas, 8%
pada batu common bile duct dan 2% karsinoma kandung empedu.

2.3 Anatomi Sistem Hepatobilier

Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai


banyak fungsi. Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan
mensekresikan empedu ke dalam traktus intestinalis; (2) berperan pada
metabolism yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, dan protein; (3)
menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang
masuk ke dalam darah dari lumen intestinum.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas
abdominalis tepat dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis
4
dekstra dan lobus hepatis sinistra. Lobus hepatis dekstra terbagi lagi
menjadi lobus caudatus dan lobus quadratus.
Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis
dan terletak diantara lobus caudatus dan quadratus, bagian atas ujung
bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada
tempat ini terdapat duktus hepatikus dekstra dan sinistra, ramus dekstra
dan sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-serabut
saraf simpatis dan parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena
sentralis dari masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam
ruangan diantara lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi
cabang-cabang arteria hepatica, vena porta hepatis, dan sebuah cabang
duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteria dam vena berjalan diantara
sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis.
Vesica biliaris merupakan sebuah kantong berbentuk buah pir yang
terletak pada permukaan bawah (fasies visceralis) hepar. Vesica biliaris
mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan
menyimpannya serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi
air. Vesica biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesica biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah inferior hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus
bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung kartilago
costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan
fasies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang, dan kiri. Collum
vesica biliaris melanjutkan diri sebagai ductus cystikus yang berbelok ke
arah dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus
hepatikus komunis untuk membentuk ductus choledocus.

5
2.4 Histologi Sistem Hepatobilier

Hepar terdiri atas unit-unit heksagonal, yaitu lobulus hepatikus. Di


bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang
dikelilingi secara radial oleh lempeng sel hepar, yaitu hepatosit, dan
sinusoid ke arah perifer. Sinusoid hepar dipisahkan dari hepatosit di
bawahnya oleh spatium perisinusoideum subendotelial.
Hepatosit mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus
disebut kanalikulus biliaris yang terletak diantara hepatosit. Kanalikulus
menyatu di tepi lobulus hepar di daerah porta sebagai duktus biliaris.
Duktus biliaris kemudian mengalir ke dalam duktus hepatikus yang lebih
besar yang membawa empedu keluar dari hepar. Di dalam lobulus
hepar, empedu mengalir di dalam kanalikulus biliaris ke duktus biliaris ke
daerah porta, sementara darah dalam sinusoid mengalir ke dalam vena
sentralis. Akibatnya, empedu dan darah tidak bercampur.

6
Vesica biliaris merupakan organ kecil berongga yang melekat
pada permukaan bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan
kemudian mengalir dan disimpan di dalam kandung empedu (vesica
biliaris). Empedu keluar dari kandung empedu memalui ductus cysticus
dan masuk ke duodenum melalui ductus biliaris komunis menembus
papilla duodeni mayor. Empedu dialirkan ke dalam saluran pencernaan
akibat rangsangan kuat hormon kolesistokinin dan secara kurang kuat
oleh serabut-serabut saraf yang menyekresikan asetilkolin dari system
saraf vagus dan enterik usus, yang meningkatkan motilitas dan sekresi
empedu.

2.5 Metabolisme Bilirubin Normal

Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme


melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi
pembentukan, transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi bilirubin.
 Fase Prehepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana 75%
berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari
penghancuran eritrosit yang immatur dan protein heme lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di sistem retikoloendotelial. Langkah
oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang larut
dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim

7
biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
2) Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke
hepar melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma
terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
 Fase IntraHepatik
3) Pengambilan dari Hepar
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit
melalui sistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk
pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin
akan berikatan dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut
sebelum dikonjugasi.
4) Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hepar (bilirubin
tak terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam
glukoronat yang dapat larut dalam air di reticulum endoplasma
dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl
transferase (UDPG-T) membentuk bilirubin konjugasi, sehingga
mudah untuk diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.
 Fase Post Hepatik
5) Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang
diperantarai oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai
multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam
kandung empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna.
Sewaktu bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan colon,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-
glukoronidase, dan bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses
menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut
urobilinogen. Di ileum terminal dan colon, sebagian kecil
8
urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati
sehingga membentuk siklus urobilinogen enterohepatik. Pada
keadaan normal, urobilinogen yang tak berwarna dan dibentuk di
kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.

2.6 Etiologi

Penyebab obstruktif jaundice secara garis besar terbagi menjadi 3


bagian, yaitu obstruksi jaundice prehepatik, obstruksi jaundice
intrahepatik, obstruktif jaundice ekstrahepatik. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya obstruktif jaundice adalah sebagai berikut:

1. Obstruktif jaundice prehepatik


Jaundice sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin yang tak
terkonjugasi, terjadi akibat metabolisme pada fase prehepatik yang
salah dan biasanya muncul dari kondisi yang mengganggu konjugasi
bilirubin yang tepat dalam hepatosit. Konjugasi yang tidak memadai
sering terlibat dalam proses yang menghasilkan metabolisme heme
secara berlebihan. Selanjutnya, sistem konjugasi tidak berjalan dengan
baik, yang menghasilkan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi.
Penyebab terjadinya hemolisis seperti anemia hemolitik

9
didapatkan secara kongenital dan didapat (acquired). Anemia hemolitik
secara kongenital termasuk kelainan genetik pada membran sel darah
merah (spherocytosis herediter dan eliptositosis), defek enzim
(defisiensi dehidrogenase glukosa-6-fosfat), dan defek pada struktur
hemoglobin (anemia sel sabit dan talasemia).
Anemia hemolitik secara acquired, dibagi lagi menjadi yang
dimediasi dengan imun dan yang dengan mediasi non imun. Anemia
hemolitik yang dimediasi dengan imun menghasilkan temuan positif
pada tes Coombs dan memiliki berbagai penyebab autoimun yang
diinduksi oleh obat. Sebaliknya, hasil tes Coombs adalah negatif pada
anemia hemolitik non-imun. Penyebab dalam kategori yang terakhir ini
bervariasi bisa termasuk obat-obatan yang secara langsung merusak
sel darah merah, trauma mekanis (katup jantung), mikroangiopati, dan
infeksi.
Disfungsi metabolisme bilirubin prehepatik juga dapat terjadi
akibat kegagalan transportasi bilirubin tak terkonjugasi ke hepar oleh
albumin dalam kondisi apa pun yang menyebabkan hilangnya protein
plasma. Keadaan gizi yang buruk atau kehilangan protein berlebih
seperti yang terlihat pada pasien luka bakar dapat menyebabkan
peningkatan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam sirkulasi.

2. Obstruktif jaundice intrahepatik


Jaundice pada intrahepatik melibatkan mekanisme intraseluler
untuk proses konjugasi dan ekskresi empedu dari sel hepatosit. Proses
enzimatik dalam sel hepatosit dapat dipengaruhi oleh kondisi apa pun
yang mengganggu aliran darah pada hepar dan fungsi hepar (kejadian
iskemik atau hipoksia). Selain itu, ada beberapa kelainan kongenital
seperti proses metabolisme enzim yang dapat menyebabkan tidak
terjadinya proses konjugasi atau hiperbilirubinemia terkonjugasi.

Sindrom Gilbert adalah genetik varian yang ditandai dengan


berkurangnya aktivitas enzim glukuronil transferase, yang menghasilkan
penurunan konjugasi bilirubin menjadi glukuronida. Ini adalah kondisi
jinak yang mempengaruhi sekitar 4% hingga 7% populasi. Biasanya,

10
penyakit ini menghasilkan peningkatan ringan secara sementara pada
kadar bilirubin tak terkonjugasi dan jaundice selama episode puasa,
stress, atau mengalami sakit. Episode ini terbatas dan biasanya tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut.

Gangguan konjugasi bilirubin lain secara kongenital adalah


sindrom Crigler-Najjar. Ini adalah penyakit langka yang ditemukan pada
neonatus dan dapat mengakibatkan sekuele neurotoksik dari bilirubin
encephalopathy. Selain terjadi kegagalan dalam proses konjugasi,
gangguan pada ekskresi bilirubin pada sel hepatosit juga dapat
menyebabkan ikterus.

Sindrom Rotor dan sindrom Dubin-Johnson adalah dua kelainan


genetik yang tidak biasa yang mengganggu sekresi bilirubin terkonjugasi
dari sel hepatosit ke dalam empedu dan menyebabkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Ada juga beberapa kondisi yang secara acquired yang
menghasilkan inflamasi dan kolestasis intrahepatik dengan
mempengaruhi mekanisme sel hepatosit untuk konjugasi dan ekskresi
empedu. Virus, penyalahgunaan alkohol, sepsis, dan gangguan autoimun
semuanya dapat menyebabkan peradangan di hepar dengan gangguan
transportasi bilirubin. Selain itu, jaundice juga dapat terjadi akibat efek
sitotoksik dari banyak obat, termasuk acetaminophen, kontrasepsi oral,
dan steroid anabolik.

3. Obstruktif jaundice posthepatik


Penyebab jaundice posthepatik biasanya akibat obstruksi intrinsik
atau ekstrinsik sistem saluran empedu yang mencegah aliran empedu ke
dalam duodenum. Ada spektrum patologi yang luas yang mungkin muncul
dengan terjadinya obstruktif jaundice. Obstruksi intrinsik dapat terjadi dari
penyakit pada empedu, termasuk cholelithiasis, choledocholithiasis,
striktur empedu jinak dan ganas, kolangiokarsinoma, kolangitis, dan
gangguan papilla Vateri. Kompresi ekstrinsik dari ductus bilier umumnya
karena gangguan pankreas.
Pasien dengan pankreatitis, pseudokista, dan keganasan dapat
hadir dengan ikterus karena kompresi eksternal dari sistem empedu.
Akhirnya, dengan meningkatnya armamentarium alat endoskopi dan
11
pendekatan bedah invasif minimal, komplikasi bedah menjadi lebih sering
menjadi penyebab kolestasis posthepatik. Kesalahan penanganan dengan
klip bedah, batu yang ditahan, dan proses iskemik yang tidak disengaja
terhadap sistem empedu dapat menyebabkan obstruktif jaundice yang
dapat terjadi kapan saja dari segera pasca operasi hingga bertahun-tahun
kemudian.

2.7 Patofisiologi

Sekitar 250 mg bilirubin per hari diproduksi oleh orang dewasa rata-
rata melalui katabolisme molekul heme. Heme dilepaskan selama proses
destruksi dari sel darah merah.
Pertama-tama dikonversi menjadi biliverdin dan kemudian menjadi
bilirubin tak terkonjugasi dalam makrofag di dalam sistem endotel reticular.
Bilirubin tak terkonjugasi adalah senyawa yang larut dalam lemak dan
mudah melewati membran sel untuk mengikat albumin dalam serum,
sedangkan bilirubin bebas (tidak terikat) diambil oleh hepatosit hepar dan
dikonversi menjadi bilirubin terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam
air dan diangkut dari hepatosit hepar ke sistem saluran empedu di mana ia
melewati usus dan diekskresikan ke dalam feses. Beberapa bilirubin
terkonjugasi diabsorpsi kembali dalam usus dan diekskresikan oleh ginjal
sebagai urobilinogen. Jaundice terjadi ketika ada gangguan di sepanjang
jalur metabolisme ini, menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
(misal : Dari peningkatan destruksi sel darah merah atau gangguan
konjugasi bilirubin) atau bilirubin terkonjugasi (misal : Dari kerusakan
hepatoseluler atau obstruksi saluran empedu).

12
2.8 Diagnosis

2.8.1 Anamnesa

1) Sklera tampak ikterik dan konjungtiva pucat


2) Spider navy dan palmar eritema
3) Caput medusa
4) Shagging of the flanks / ascites
5) Hematemesis dan melena
6) Arterial bruit (+)
7) Mual dan muntah
8) Perut kembung
9) Disertai atau tanpa demam
10) Feses yang berwarna dempul (acholis)
11) Urin berwarna cokelat gelap seperti teh.
12) Anoreksia
13) Riwayat penurunan berat badan
14) Disertai atau tanpa kolik bilier
15) Badan terasa gatal (pruritus)

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

1) Dapat ditemukan adanya nyeri tekan epigastrium dan daerah


kuadran kanan atas abdomen menjalar hingga ke punggung dan
bahu
2) Splenomegali dan hepatomegali
3) Defans muscular dan murphy sign positif
4) Apabila terdapat tumor mengenai duktus koledokus, terjadi
distensi kandung empedu sehingga mudah diraba, sementara
tumornya itu sendiri tidak dapat diraba. Kandung empedu yang
teraba dibawah pinggir iga pun tidak terasa nyeri

5) Apabila terdapat tumor mengenai kaput pankreas, maka akan


teraba masa padat pada epigastrium, sulit digerakkan karena
letak tumor retroperitoneum
6) Pembesaran pada kandung empedu (courvoisier sign)

13
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Rutin
 Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, apabila
jumlahnya meningkat, maka berarti terdapat infeksi
biasanya meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis.
Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan pada hasil
prothrombin time (PT) atau tidak, karena apabila
meningkat, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepar,
atau obstruksi bilier.
 Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah
kecoklatan seperti teh secara makroskopis, serta terdapat
kandungan bilirubin dalam urin atau tidak. Apabila urin
berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya
peningkatan kadar bilirubin direk yang diekskresikan
melalui urin yang mengarah pada obstruktif jaundice.
 Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul,
menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran
bilirubin direk ke dalam saluran intestinal akibat adanya
suatu sumbatan pada aliran empedu.
b) Tes Faal Hati
 Albumin
Albumin membantu transport beberapa komponen darah,
seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat. Apabila
nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya
gangguan fungsi hepar, infeksi kronis, edema, ascites,
sirosis, serta perdarahan.

 Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)


Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati.
Apabila terjadi peningkatan kadar ALT, maka perlu
dicurigai adanya penyakit hepatoseluler, sirosis aktif,
obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang
signifikan adalah dua kali lipat dari nilai normal.
14
 Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolisme
yang tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal,
otak, limfe, pankreas dan paru-paru. Apabila terjadi
peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit
hati, pancreatitis akut, juga penyakit jantung seperti
Myocard Infark.
 Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)
GGT merupakan enzim marker spesifik untuk fungsi hati
dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah
enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga
meningkat nilainya pada gangguan empedu, seperti
kolesistitis, kolelitiasis, sirosis hepatis,
atresia bilier, obstruksi bilier.
 Alkali fosfatase
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier,
ginjal, dan usus halus. Pada penyakit hati, kadar alkali
fosfatase akan meningkat 10 kali jumlah normal karena
ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
 Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi
akibat adanya suatu penyakit
hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan
bilirubin direk biasanya terjadi karena adanya obstruksi
pada aliran ekskresi empedu.

15
2) Pemeriksaan USG
Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm.
Apabila saluran empedu lebih dari 5 mm berarti terdapat
dilatasi. Apabila terjadi sumbatan pada daerah sekitar
duktus biliaris, paling sering adalah pada bagian distal,
kemudian diikuti adanya pelebaran pada bagian proksimal.
Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intrahepatal dan
ekstrahepatal, maka ini disebut dengan obstruksi letak rendah
(distal).
Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang
mempunyai densitas tinggi disertai bayangan akustik
(acoustic shadow) dan ikut bergerak pada perubahan posisi,
hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor,
akan terlihat masa padat pada ujung saluran empedu dengan
densitas rendah dan heterogen.
Apabila terdapat kecurigaan penyebab obstruktif jaundice
16
karenakarsinoma pankreas, dapat terlihat adanya
pembesaran pankreas lokal maupun menyeluruh, perubahan
kontur pankreas,penurunan ekogenitas, serta dapat ditemuk
an adanya pelebaran duktus pankreatikus.

3) Pemeriksaan CT-SCAN
 Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya dilatasi
duktus intra hepatic yang disebabkan oleh oklusi ekstra
hepatic dan duktus koledokus akibat kolelitiasis atau tumor
pankreas.

4) Pemeriksaan PTC (Percutaneus Transhepatic


Cholaniography)
 Untuk melihat duktus biliaris serta untuk menentukan letak
penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat
diperoleh gambaran saluran empedu di proksimal
sumbatan. Bila kolestasis karena batu, akan
17
memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan
didalamnya tampak batu radiolusen. Bila kolestasis karena
tumor, akan tampak pelebaran saluran empedu utama
(common bile duct) dan saluran intrahepatik dan dibagian
distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh tumor.

5) Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio


Pancreaticography)
Merupakan tindakan langsung dan invasif untuk mempelajari
traktus biliaris dan system duktus pankreatikus. Mendiagnosis
dan mengobati kelainan atau gangguan yang terjadi pada
pankreas, saluran empedu, dan kandung empedu.
ERCP merupakan kombinasi dari dua jenis pemeriksaan,
yaitu endoskopi dan foto Rontgen
 Indikasi pemeriksaan ERCP, yaitu: Penderita ikterus yang
tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya apakah
sumbatan pada duktus biliaris intra atau ekstra hepatic,
seperti: kelainan di kandung empedu, batu saluran empedu,
striktur saluran empedu, kista duktus koledokus. Pemeriksaan
pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan pancreas
serta untuk menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas,
seperti: keganasan pada sistem hepatobilier, pankreatitis
kronis, tumor pancreas, metastase tumor ke sistem biliaris
atau pancreas.
 Adapun kelainan yang tampak dapat berupa: pada
koledokolitiasis, akan terlihat filling defect dengan batas tegas
pada duktus koledokus disertai dilatasi saluran empedu.
18
 Striktur atau stenosis dapat disebabkan oleh kelainan diluar
saluran empedu yang menekan, misalnya kelainan jinak atau
ganas. Striktur atau stenosis umumnya disebabkan oleh
fibrosis akibat peradangan lama, infeksi kronis, iritasi
oleh parasit, iritasi oleh batu, maupun trauma operasi.
Kelainan jinak ekstra duktal akan terlihat gambaran kompresi
duktus koledokus yang berbentuk simetris. Tumor ganas akan
mengadakan kompresi pada duktus koledokus yang
berbentuk ireguler.

 Tumor ganas intraduktal akan terlihat penyumbatan lengkap


berupa ireguler dan menyebabkan pelebaran saluran empedu
bagian proksimal. Pada ERCP akan tampak penyempitan
saluran empedu bagian distal tumor.
 Tumor kaput pankreas akan terlihat pelebaran saluran
pankreas. Pada daerah obstruksi akan tampak dinding yang
ireguler.

6) Pemeriksaan MRCP (Magnetic Resonance


Cholangiopancreatography)
 Merupakan pemeriksaan imaging non invasive yang
menggunakan resonansi gelombang elektromagnetik.
Pemeriksaan ini bisa mendeteksi batu di kandung empedu
dan saluran empedu, bahkan apabila ada kanker pada
saluran empedu.
 Pemeriksaan untuk memperlihatkan kompresi eksternal dari

19
duktus empedu untuk menyingkirkan koledokolitiasis atau
penyebab lain obstruksi, juga dapat memperlihatkan
perluasan dari proses inflamasi yang mengelilingi kandung
empedu.
 Pemeriksaan yang membutuhkan kontras (melalui injeksi ke
pembuluh darah), umumnya menggunakan kontras
gadolinium dan tidak mengandung iodine, serta jarang
menimbulkan reaksi alergi. Pada pasien dengan riwayat

penyakit ginjal, penggunaan kontras tidak dianjurkan,


sehingga pemeriksaan fungsi ginjal biasanya dilakukan
terlebih dahulu sebelum pemeriksaan. Untuk mendapatkan
gambar traktus biliaris tanpa memasukkan cairan kontras.

2.8.4 Differensial Diagnosa

Jaundice prehepatik dapat dibedakan dari jaundice hepatik dan


post hepatik berdasarkan peningkatan kadar serum bilirubin dan
urobilinogen yang tidak terkonjugasi, yang meningkat pada kasus
jaundice prehepatik. Tingkat serum pada bilirubin terkonjugasi, alkaline
phosphatase, alanine transferase dan aspartate transferase terlihat
normal dalam kasus ikterus prehepatik. Ekskresi bilirubin terkonjugasi
dari urin juga tidak ditemukan pada kasus jaundice prehepatik. Pada
jaundice hepatik dapat dibedakan dari jaundice post hepatik dan
prehepatik berdasarkan pada tingkat bilirubin di mana ditemukan lima
20
kali lebih tinggi. Pada kasus jaundice di hepar karena hepatitis, kadar
bilirubin mungkin ditemukan sepuluh kali lebih tinggi dari nilai
maksimumnya. Jaundice hepatik dapat didiagnosis secara berbeda dari
jaundice post hepatik berdasarkan dari pemeriksaan ultrasonografi
abdomen dan teknik radiologis lainnya. Namun jaundice pada hepar
dapat dibedakan dari jaundice prehepatik berdasarkan penanda
diagnostik, seperti alpha-1 antitrypsin, ceruloplasmin, immunoglobulin,
dll. Serum bilirubin biasanya kurang dari 20 mg / dL. Pada kanker
pankreas, serum bilirubin dapat meningkat hingga 40 mg / dL. Serum
gamaglutamyltranspeptidase (Serum GGT), alkaline phosphatase dan
transaminase dapat meningkat. Penanda tumor seperti CA-125, CA19-
9 dan CEA biasanya meningkat pada obstruksi kanker. Diagnosis
obstruksi jaundice lebih lanjut dapat dikonfirmasikan dengan
ultrasonografi, x-ray abdomen polos, computed tomography, kontras-
disempurnakan multi-iris computed tomography, Endoskopik
Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP), Percutaneous
Transhepatic Cholangiography (PTC), Ultrasonografi Endoskopi,
Magnetic Resonance Cholangio Pancography (MRCP),
Cholescintigraphy, Radionuclide scanning angiography dan Staging
Laparoscopy.

2.8.5 Tata Laksana

- Jaundice prehepatik
Infus imunoglobulin digunakan sebagai pengobatan utama
untuk jaundice prehepatik. Fototerapi dianggap sebagai pengobatan
efektif dengan kadar serum bilirubin yang tinggi pada jaundice
prehepatik. Bilirubin dengan cepat berkurang dalam dua jam
setelah dimulainya fototerapi. Namun durasi terapi dan kekuatan
pengobatan bergantung pada tingkat keparahan hiperbilirubinemia.
Metaloporphyrins juga dianggap sebagai kemungkinan pengobatan
jaundice prehepatik, karena metaloporphyrins ini menargetkan
enzim hemeoxygenase untuk membatasi produksi bilirubin.
- Jaundice intrahepatik
Perawatan dan Manajemen ikterus hati melibatkan :
21
• Fototerapi dapat digunakan untuk kasus jaundice
neonatorum.
• Fenobarbital dapat digunakan untuk pengobatan
pada kasus jaundice fisiologis neonatorum, tetapi tidak
sering digunakan karena dapat menyebabkan somnolen dan
kejang demam.
• Terapi suportif seperti pemberian cairan, bedrest,
obat anti nyeri pada kasus Hepatitis A.
• Menghindari alkohol dan berhenti minum obat yang
menyebabkan disfungsi hepar.
• Steroid - untuk hepatitis autoimun.
• Imunosupresan - untuk hepatitis autoimun.
• Interferon - untuk hepatitis B dan C kronis
•Transplantasi hepar untuk hepatitis fulminan dan
gagal hepar stadium akhir.
- Jaundice post hepatik

Diet rendah lemak harus diberikan kepada pasien yang


menderita jaundice post hepatik untuk meminimalkan
ketidaknyamanan akibat konsumsi lemak dan terjadinya
diare. Pengobatan obstruksi jaundice post hepatik bisa
dilakukan tindakan pembedahan namun komplikasi dan
gejala lainnya juga perlu diobati. Dexchlorophenramine,
Hydroxyzine, Cholestyramine, Asam Ursodeoxycholic dan
Naltrexone digunakan sebagai pendekatan terapi dalam
pengobatan dan pengelolaan jaundice post hepatik.

• Tatalaksana kolelitiasis
Pada pasien dengan kolelitiasis dapat dilakukan tindakan
operatif kolesistektomi, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung
empedu. Kolesistektomi dapat berupa kolesistektomi elektif
konvensional (laparatomi) atau dengan menggunakan laparaskopi.
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun
laparaskopik adalah adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita
diabetes mellitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan

22
komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak
terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau
kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm
karena batu yang besar lebih sering menyebabkan kolesistitis akut
dibandingkan dengan batu yang lebih kecil. Indikasi lain adalah
kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian
karsinoma.
- Tatalaksana tumor saluran empedu
Tatalaksana terbaik adalah dengan pembedahan.
Adenokarsinoma saluran empedu yang baik untuk direseksi adalah
yang terdapat pada duktus koledokus bagian distal atau papilla Vater.
Pembedahan dilakukan dengan cara Whipple, yaitu pankreatiko-
duodenektomi.
- Tatalaksana atresia bilier
Tatalaksana atresia bilier posthepatik adalah dengan
pembedahan. Atresia bilier intrahepatik pada umumnya tidak
memerlukan pembedahan karena obstruksinya relatif bersifat ringan.
Jenis pembedahan atresia bilier posthepatik adalah portoenterostomi
teknik Kasai dan bedah transplantasi hepar.
a. Bedah dekompresi portoenterostomi
Langkah pertama bedah portoenterostomi adalah
membuka ligamentum hepatoduodenale untuk mencari sisa saluran
empedu posthepatik yang berupa jaringan fibrotik. Jaringan fibrotik
ini diikuti terus kearah hilus hepar untuk menemukan ujung saluran
empedu yang terbuka di permukaan hepar. Rekonstruksi hubungan
saluran empedu di dalam hepar dengan saluran cerna dilakukan
dengan menjahitkan jejunum ke permukaan hilus hepar. Apabila
atresia hanya terbatas pada duktus hepatikus komunis, sedangkan
kandung empedu dan duktus sistikus serta duktus koledokus paten,
maka cukup kandung empedu saja yang disambung dengan
permukaan hepar di daerah hilus. Pada bayi dengan atresia saluran
empedu yang dapat dikoreksi langsung, harus dilakukan
anastomosis mukosa dengan mukosa antara sisa saluran empedu
dan duodenum atau jejunum.
23
Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang
yang timbul pada 30-60% penderita yang dapat hidup lama.
Kolangitis umumnya mulai timbul 6-9 bulan setelah dibuat
anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah dengan pemberian
antibiotik selama dua minggu. Jika dilakukan transplantasi hepar,
keberhasilan transplantasi hepar setelah satu tahun berkisar antara
65-80%. Indikasi transplantasi hepar adalah atresia bilier
intrahepatik yang disertai gagal hepar.
- Tatalaksana tumor kaput pankreas
Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum pasien
harus diperbaiki dengan memperbaiki nutrisi, anemia, dan dehidrasi.
Pada obstruksi jaundice total, dilakukan penyaliran empedu
transhepatik sekitar 1 minggu prabedah. Tindakan ini bermanfaat untuk
memperbaiki fungsi hepar.
Bedah kuratif yang mungkin berhasil adalah pankreatiko-
duodenektomi (operasi Whipple). Operasi Whipple ini dilakukan untuk
tumor yang masih terlokalisasi, yaitu pada karsinoma sekitar ampula
Vateri, duodenum, dan duktus koledokus distal.
Tumor dikeluarkan secara radikal en bloc, yaitu terdiri dari
kaput pankreas, korpus pancreas, duodenum, pylorus, bagian distal
lambung, bagian distal duktus koledokus yang merupakan tempat asal
tumor, dan kelenjar limfe regional.
2.8.6 Prognosis

Obstruksi jaundice yang tidak dapat dikoreksi baik secara


medis kuratif maupun tindakan pembedahan mempunyai
prognosis yang jelek diantaranya akan timbul sirosis biliaris. Bila
penyebabnya adalah tumor ganas mempunyai prognosis jelek.
Penyebab morbiditas dan mortalitas adalah :
a. Sepsis khususnya kolangitis yang menghancurkan
parenkim hati.
b. “Hepatic failure” akibat obstruksi kronis saluran empedu.
c. “Renal failure”.
d. Perdarahan gastro intestinal

24
BAB III

PENUTUP

Jaundice adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada


kulit, mukosa yang menjadi kuning, metabolisme dan ekskresi bilirubin
karena adanya perubahan produksi konsentrasi bilirubin dalam plasma,
yang mencapai lebih dari 2 mg/dl. Penyebab daripada jaundice bisa
didapatkan secara kongenital atau acquired (didapat). Kadar serum
bilirubin dan ultrasonografi digunakan untuk melakukan diagnosis banding.
Asupan air tinggi dan diet rendah lemak adalah manajemen pada
kasus jaundice terbaik yang tepat. Pegobatan pada kasus jaundice
bervariasi bergantung dengan lokasi terjadinya. Terdapat 3 jenis jaundice
berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu jaundice prehepatik (hemolitik),
jaundice intrahepatik (parenkim), dan jaundice posthepatik (obstruktif).

Umumnya, non-obstruktif jaundice tidak membutuhkan intervensi


bedah, sementara obstruktif jaundice biasanya membutuhkan intervensi
bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering
disebut sebagai “surgical jaundice”, dimana morbiditas dan mortalitas
sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abbas M.W. et al., International Journal of Research in Medical Sciensces.


2016 May; 4(5) : 1313-1319
Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gall bladder, and pancreas.
In: Difiore’s atlas of histology with functional correlations. 11th Ed. USA:
Lippincott Williams &Wilkins; 2012.5

Fargo M.V. et al., American Academy of Family Physicians.2017 February


1.Volume 95 : 164-168.

Https://www. Novilda novia sari.academia.edu/ 288150347/Referat-bedah-


ikterus-obstruktif

Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC;
2005.p.285-300.

Schwartz’S. Specific Considerations. In: Principles of surgery. 10 th Ed.


United States: McGraw-Hill; 2015.p.1271-1275.

Snell, Richard S. Anatomi klinik. 6th


Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC;2013.p.240-7, 288-91.4

26

Anda mungkin juga menyukai