Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

IKTERUS OBSTRUKTIF

Pembimbing :

dr. Gunadi Petrus, Sp.B-KBD

Disusun Oleh :

Stevani

1765050058

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

PERIODE 6 MEI – 20 JULI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................3

Definisi Ikterus Obstruktif ..................................................................................3

Epidemiologi Ikterus Obstruktif ......................................................................3

Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier ..........................................................3

Pembentukan Bilirubin ................................................................................12

Etiologi Ikterus Obstruktif ................................................................................15

Patofisiologi Ikterus Obstruktif ....................................................................20

Gejala dan Tanda Klinis ................................................................................21

Pemeriksaan Penunjang ................................................................................29

Tatalaksana Ikterus Obstruktif ....................................................................34

BAB III PENUTUP ........................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................41

1
BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus adalah suatu keadaan dimana plasma, kulit dan selaput lendir menjadi kuning
diakibatkan pewarnaan berlebihan oleh pigmen empedu. Ikterus merupakan gejala yang sering
ditemukan dan timbul akibat gangguan ekskresi bilirubin.

Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus, perlu ditinjau kembali patofisiologis


terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk. Pada kebanyakan pasien ikterus, dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ditambah dengan pemeriksaan labolatorium yang
sederhana, diagnosis sudah dapat ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti sulit untuk
ditetapkan, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti radiografi dan
pemeriksaan lanjutan lainnya.

Pada saat ini ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna dalam
mendiagnosa pasien ikterus. Cara ini tidak invasif dan dapat dilakukan dengan segera serta dapat
membedakan ikterus karena sumbatan ekstrahepatik dengan ikterus intrahepatik, yaitu dengan
terlihatnya pelebaran saluran empedu. Pada obstruksi ekstrahepatik pemeriksaan ultrasonografi
dapat mendiagnosa letak sumbatan dan sekitar 40% kasus dapat ditentukan penyebab sumbatan.
Hal ini sebaiknya dilakukan secepatnya agar jika diperlukan tindakan bedah dapat segera
dilakukan tanpa menunggu waktu lama.

Dengan organisasi yang baik dalam suatu rumah sakit dengan fasilitas pemeriksaan yang
cukup, waktu yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti seyogyanya tidak melebihi satu
minggu. Oleh karena itu perlu sekali suatu perencanaan pemeriksaan yang terarah dan baik.

Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara ikterus


obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk
pengobatan, sehingga sering juga disebut sebagai “surgical jaundice”, dimana morbiditas dan
mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Ikterus Obstruktif


Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning. Ikterus adalah
gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi kuning
karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang mencapai lebih dari
2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus
prahepatik (hemolitik), ikterus intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik
(obstruktif). Ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi
pada sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya
dialirkan ke traktus gastrointestinal.
Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan
terjadinya kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum
sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan
tanda adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan
abses menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit
ikterus obstruktif.

II.2 Epidemiologi Ikterus Obstruktif


Kasus ikterus obstruksi post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 – 59 tahun
29,3%. Kasus ikterus obstruksi post-hepatik dapat mengenai jenis kelamin laki-laki dan
perempuan dimana jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9%. Selain itu dilaporkan juga
bahwa kasus ikterus obstruktif terbanyak adalah 70% karena karsinoma kaput pankreas,
8% pada batu common bile duct, dan 2% adalah karsinoma kandung empedu.

II.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier


Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan dipekatkan di dalam vesika
biliaris, kemudian dikeluarkan ke dalam duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri atas

3
ductus hepatis dextra dan sinistra, ductus hepatis comunis, ductus choledochus, vesica
biliaris dan ductus cysticus.
1. Ductus hepaticus
Ductus hepaticus dextra dan sinistra keluar dari lobus hepatis dextra dan
sinistra pada port hepatis. Keduanya bersatu membentuk ductus hepatis
comunis. Panjang ductus hepatis comunis sekitar 1,5 inchi (4 cm) dan berjalan
turun di pinggir bebas omentum minus. Ductus ini bergabung dengan ductus
cysticus dari vesica billiaris yang ada di sisi kanannya membentuk ductus
choledochus.
2. Ductus Choledochus
Panjang ductus choledochus sekitar 3 inchi (8 cm). Pada bagian
perjalanannya, ductus ini terletak pada pinggir bebas kanan omentum minus,
di depan foramen epiploicum. Di sini ductus choledochus terletak di depan
pinggir kanan venae portae bawah hepatis dan pada sisi kanan arteri hepatica.
Pada bagian kedua perjalanannya, ductus terletak di belakang pars duodenum
di sebelah kanan arteri gastroduodenalis. Pada bagian ketiga perjalanannya,
ductus terletak di dalam sulcus yang terdapat pada facies posterior caput
pancreatis. Di sini ductus choledochus bersatu dengan ductus pankreaticus.
Ductus chodedochus berakhir di bawah dengan menembus dinding medial
pars descendens duodenum kira-kira di pertengahan panjangnya. Biasanya
ductus choledochus bergabung dengan ductus pankreatikus, dan bersama-
sama bermuara ke dalam ampula kecil di dinding duodenum, yang disebut
ampula hepatopankreatica (ampula vater). Ampula ini bermuara pada lumen
duodenum melalui sebuah papila kecil, yaitu papila duodeni major. Bagian
terminal kedua ductus beserta ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular
yang disebut musculus sphinter ampullae (sphincter oddi).

4
Gambar 1. Ductus choledocus (Common bile duct) dan Spincter Oddi

3. Vesica Biliaris (Kandung Empedu)


Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak
pada permukaan bawah hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan
menyimpan empedu sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan
cara mengabsorpsi air. Vesica biliaris terdiri atas fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesica biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah margo
inferior hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan
dinding anterior abdomen setinggi ujung cartilago costalis IX dextra. Corpus
vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan fascies visceralis hepar dan
arahnya ke atas, belakang dan kiri. Colum vesica biliaris melanjutkan diri
sebagai ductus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus dan
bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus komunis untuk membentuk
ductus choledochus.

5
Gambar 2. Vesica Biliaris Terdiri Atas Fundus, Corpus dan Colum

Vesica biliaris berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu. vesica


biliaris mempunyai kemampuan untuk memekatkan empedu dan untuk
membantu proses ini, mukosa vesica biliaris mempuyai lipatan-lipatan
permanen yang saling berhubungan sehingga permukaan tampak seperti
sarang tawon Sel-sel toraks yang terletak pada permukaan mukosa
mempunyai banyak vili. Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat
kontraksi dan pengosongan parsial vesica biliaris. Mekanisme ini diawali
dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunica mucosa
duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam darah dan menimbulkan kontraksi
vesica biliaris. Pada saat yang bersamaan otot polos yang terletak pada ujung
distal ductus choledochus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum. Garam-garam empedu di
dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan lemak di dalam usus serta
membantu pencernaan dan absorbsi lemak.
Vesica biliaris mendapat perdarahan dari arteri cystica, cabang arteri
hepatica dextra dan vena cystica yang mengalirkan darah langsung ke vena
porta. Cairan limfa mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat colum

6
vesicae biliaris. Dari sini, pembuluh limfa berjalan ke nodi hepatici dengan
berjalan sepanjang perjalanan arteri hepatica communis dan kemudian ke nodi
coelici. Persarafan di vesica biliaris terdiri atas saraf simpatis dan parasimpatis
yang membentuk pleksus coeliacus.
Secara fisiologi, empedu dihasilkan oleh hepatosit dan sel-sel duktus
sebanyak 500-1500 mL/ hari. Sekresi aktif garam empedu ke dalam
canaliculus bilier dipengaruhi oleh volume empedu. Na+ dan air mengalir
secara pasif untuk meningkatkan isoosmolaritas. Lechitin dan kolesterol
memasuki canaliculus pada laju tertentu yang berhubungan dengan output
garam empedu. Bilirubin dan sejumlah anion organik lainnya (esterogen,
sulfobromopthalen, dll) secara aktif disekresikan oleh hepatosit melalui sistem
transport yang berbeda dengan garam empedu. Diantara makan, empedu
disimpan di vesica biliaris, dimana empedu terkonsentrasi pada hingga 20%/
jam. Na+ dan HCO3- atau Cl- secara aktif ditransport dari lumennya selama
absorpsi.
Ada tiga faktor yang meregulasi aliran empedu yaitu : sekresi hepatik,
kontraksi vesica biliaris, dan tahanan spincter choledochal. Dalam keadaan
puasa, tekanan di ductus choledocus adalah 5-10 cm H2O dan empedu yang
dihasilkan di hati disimpan di dalam vesica biliaris. Setelah makan, vesica
biliaris berkontraksi, spincter relaksasi dan empedu di alirkan ke dalam
duodenum dengan adanya tekanan di dalam duktus yang terjadi secara
intermiten yang melebihi tahanan spincter. Saat berkontraksi, tekanan di
dalam vesica biliaris mencapai 25 cm H2O dan di dalam ductus choledocus
mencapai 15-20 cm H2O. Cholecystokonin (CCK) adalah stimulus utama
untuk berkontraksinya vesica biliaris dan relaksasi spincter. CCK dilepaskan
ke dalam aliran darah dari mukosa usus halus.

7
Gambar 3. Fisiologi Pengeluaran Empedu

4. Ductus Cysticus
Panjang ductus cysticus sekitar 1,5 inchi (4 cm) dan menghubungkan
colum vesica biliaris dengan ductus hepatis comunis untuk membentuk ductus
choledochus.. Biasanya ductus cysticus berbentuk huruf S dan berjalan turun
dengan jarak yang bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum minus.
Tunica mukosa ductus cysticus menonjol untuk membentuk plica spiralis
yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada colum vesica biliaris.
Plica ini umumnya dikenal sebagi ”valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis
adalah untuk mempertahankan lumen terbuka secara konstan.

8
Gambar 4. Ductus cysticus bersatu dengan ductus hepatis comunis membentuk ductus
choledocus.

5. Komposisi Empedu

Tabel 1. Komposisi empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

9
- Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada
dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang
besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk
dapat dicerna lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol
dan vitamin yang larut dalam lemak.
 Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh
kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam
lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam
bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi
disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan
pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.

- Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme
dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di
dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

10
6. Pankreas
Pankreas merupakan kelenjar retroperitoneal dengan panjang sekitar 12-
15 cm dan tebal 2,5 cm dan berada pada posterior dari omentum majus .
Pankreas terdiri dari kepala, tubuh, dan ekor yang biasanya langsung
berhubungan dengan duodenum melalui dua duktus. Pancreas merupakan
kelenjar endokrin dan eksokrin. Bagian eksokrin kelenjar menghasilkan secret
yang mengandung enzim-enzim yang dapat menghidrolisis protein lemak, dan
karbohidrat. Bagian endokrin kelenjar yaitu pulau-pulau langerhans yang
menghasilkan hormone insulin dan glucagon yang mempunyai peranan
penting pada metabolisme karbohidrat.

Gambar 5. Anatomi sel asini dan pulau Langerhans

Kelenjar ini merupakan organ yang memanjang dan terletak pada


epigastrium dan kuadran kiri atas. Strukturnya lunak, berlobulus, dan terletak
pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum. Pankreas menyilang
planum transpyloricum. Pankreas dapat dibagi menjadi caput, collum, corpus,
dan cauda.

11
a. Caput Pancreatis berbentuk seperti cakram dan terletak di dalam
bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas ke kiri di belakang
arteria san vena mesenterica superior serta dinamakan Processus
Uncinatus.
b. Collum Pancreatis merupakan bagian pancreas yang mengecil dan
menghubungkan caput dan corpus pancreatis. Collum pancreatis
terletak di depan pangkal vena portae hepatis dan tempat
dipercabangkannya arteria mesenterica superior dari aorta.
c. Corpus Pancreatis berjalan ke atas dan kiri, menyilang garis tengah.
Pada potongan melintang sedikit berbentuk segitiga.
d. Cauda Pancreatis berjalan ke depan menuju ligamentum lienorenalis
dan mengadakan hubungan dengan hilum lienale.
e. Ductus Pancreaticus
o Ductus Pancreaticus Mayor ( W I R S U N G I )
Mulai dari cauda dan berjalan di sepanjang kelenjar menuju
ke caput, menerima banyak cabang pada perjalanannya. Ductus ini
bermuara ke pars desendens duodenum di sekitar pertengahannya
bergabung dengan ductus choledochus membentuk papilla duodeni
mayor Vateri. Kadang-kadang muara ductus pancreaticus di
duodenum terpisah dari ductus choledochus.
o Ductus Pancreaticus Minor ( S AN T O R I N I )
Mengalirkan getah pancreas dari bagian atas caput pancreas
dan kemudian bermuara ke duodenum sedikit di atas muara ductus
pancreaticus pada papilla duodeni minor.

II.4 Pembentukan Bilirubin


Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan,
transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi bilirubin.
A. Fase Pre-hepatik
1. Pembentukan bilirubin.

12
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75%
berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran
eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,
sitokrom, katalase, dan peroksidase. Pembentukannya berlangsung di
sistem retikoloendotelial. Langkah oksidase pertama adalah biliverdin
yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase.
Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin
oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
2. Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati
melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih dahulu
oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.

B. Fase Intra-Hepatik
1. Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui
sistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan
albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan
dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut sebelum
dikonjugasi.

2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang
dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim
uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T) membentuk
bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu.

13
C. Fase Post-Hepatik
1. Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai oleh
protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance
associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin
terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida
dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan
bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok
senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Di ileum
terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan
diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen
enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak berwarna dan
dibentuk di kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.

Gambar 6. Metabolisme bilirubin


14
II.5 Etiologi Ikterus Obstruktif
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik. Ikterus obstruktif
intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier
sedangkan ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh karena
adanya sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:

A. Ikterus obstruktif intrahepatik


Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikulus), sampai ampula Vateri. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik
antara lain :
1. Virus Hepatitis, peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin
terkonyugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit
self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul
secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan pada tahap
awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan
gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati.
2. Alkohol, bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan
sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus
menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis
dengan berbagai tingkat ikterus. Hepatitis karena alkohol biasanya
memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala
yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan
transaminase yang tinggi.
3. Infeksi bakteri Entamoeba histolitica, terjadi reaksi radang dan akhirnya
terjadi nekrosis jaringan hepar.
4. Adanya tumor hati maupun tumor yang telah menyebar ke hati dari bagian
tubuh lain.

15
B. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Efek patofisiologis mencerminkan efek backup konsituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konyugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih
sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan dalam
empedu dalam sirkulasi selalu di perkirakan sebagai penyebab keluhan gatal
(pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga
pathogenesis gatal masih belum bisa di ketahui dengan pasti.
Garam empedu di butuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K,
gangguan ekskresi garam empedu dapat di akibatkan steatorrhea dan
hipoprotombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama
(primary, biliary, crrhosis) gangguan penyerapan Ca dan vitamin D serta
vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis dan osteomalasia. Retensi kolesterol dan fospolipid
mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis di hati dan esterifikasi yang
berkurang dalam darah kolesterol turut berperan kadar trigliserida tidak
terpengaruh. Lemak beredar dalm darah sebagai lipoprotein densitas rendah
yang unik dan abnormal yang di sebut lipoprotein X .
Penyebab ikterus obstruktif ekstrahepatik antara lain :
1. Kolelitiasis dan koledokoliatiasis
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin
terkonjugasi ke dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan
aliran balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan tingginya kadar
bilirubin direk dalam plasma.
2. Kolesistitis
Kolesistitis merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
panas badan.

16
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolestitis akut
adalah:
o Stasis cairan empedu yang disebabkan oleh batu kandung empedu
di duktus sistikus. Kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin
dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
o Infeksi kuman
o Iskemia dinding kandung empedu
3. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik
sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi
peningkatan kadar bilirubin direk. Atresia bilier merupakan penyebab
kolestatis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. Terdapat dua jenis
atresia biliaris, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk
intrahepatik lebih jarang dibandingkan dengan ekstrahepatik.
4. Kista duktus kholedokus
Kista duktus kholedokus adalah pelebaran kistik dari duktus
biliaris yang biasanya didapat secara kongenital. Kelainan ini bisa
disertai oleh pelebaran duktus biliaris intra hepatal.
Alonso-Lej dan rekan nya pertama kali mengusulkan skema
kalsifikasi untuk kista saluran empedu pada tahun 1959. Yang
kemudian di modifikasi oleh Todani dan rekannya pada tahun 1977,
klasifikasi ini yang umum digunakan saat ini. Terdapat 5 tipe, sebagai
berikut :
a. Tipe 1 kista koledoukus.
Berupa dilatasi saluran empedu ekstrahepatik. Tipe ini
adalah tipe kista yang paling umum, ditemukan 75 – 85 %
kasus. Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau sacular dari
duktus koledokus dengan melibatkan sebagian hingga seluruh
duktus. Tipe 1 dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai :

17
 1A. Kistik. Berbentuk sakular dan melibatkan seluruh dari
duktus ekstrahepatikus
 1B. Fokus. Berbentuk sakular dan hanya melibatkan
sebagian segmen duktus biliaris
 1C. Fusiform. Berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian
besar dan seluruh dari duktus ekstrahepatikus

Gambar 7.

A. Tipe 1A (Kistik)
B. Tipe 1B (Fokus)
C. Tipe 1C (Fusiform)

b. Tipe 2 divertikulum koledokus


Tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding
duktus koledokus, sedangkan duktus billiaris intrahepatik dan
ektrahepatik normal.

Gambar 8.

D. Tipe 2 (Divertikulum)

c. Tipe 3 kista intraduodenum atau “koledokel”


Berupa dilatasi kistik dari saluran empedu di dalam dinding
duodenum. Sistem duktus normal dan duktus koledokus

18
biasanya memasuki choledochocele ke dalam dinding dari
duodenum.
d. Tipe 4 mengacu pada multiple kista. Dibagi menjadi :
 Tipe 4 A lesi terdapat pada saluran empedu inta dan
ekstrahepatik.
 Tipe 4 B lesi hanya terdapat pada saluran empedu
ekstrahepatik.

Gambar 9. E. Tipe 3 (Koledokel) F. Tipe 4A G. Tipe 4B

e. Tipe 5 melibatkan saluran empedu intrahepatik, biasanya


multiple (caroli’s disease) dan kadang-kandang soliter. Kista
saluran empedu intrahepatik mungkin bilobus atau unilobus,
dengan 90% dari kista unilobus terjadi di sisi kiri. Frekuensi
kista tipe 5 lebih tinggi jika dalam pemeriksaan untuk
diagnosis menggunakan teknik pencitraan modern.

Gambar 6.

H. Tipe 5 (Caroli’s Disease)

19
5. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus
dan sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis
adenokarsinoma duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%)
lokasi kanker adalah pada kaput pankreas. Pada stadium lanjut, kanker
kaput pankreas sering bermetastasis ke duodenum, lambung,
peritoneum, hati, dan kandung empedu.

6. Tumor ganas saluran empedu


Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita
dengan kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan
perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi
tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan
adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.

II.6 Patofisiologi Ikterus Obstruktif


Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi :
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau
mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme


yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama menghakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi.

Pada ikterus obstruksi, terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi.


Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin

20
terkonyugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih,
sehingga menimbulkan bilirubinuria dan menjadikan kemih berwarna gelap.

Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses-feses


terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi dapat di sertai bukti-bukti
kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam serum,
AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonyugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga muda
atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu.

II.7 Gejala dan Tanda Klinis


Tidak jarang gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik sukar untuk
dibedakan. Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin
menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat
akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung
banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga
absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di
kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi
karena pruritus, sakit tulang karena absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga
lama kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin
K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan
seperti yang disebutkan tidak tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan
sakit perut, dan gejala sistemik (seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala
lain yang tergantung pada penyebab terjadinya obstruksi bilier.
Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien dengan ikterus obstruktif,
bergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi sehingga menyebabkan
terjadinya ikterus. Berikut ini merupakan manifestasi klinis yang secara umum
dikeluhkan oleh pasien yang mengalami ikerus, yaitu berupa:
1. Warna kuning pada sklera mata, sublingual, dan jaringan lainnya

21
Hal ini diakibatkan karena adanya peningkatan kadar bilirubin dalam
plasma yang terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah satu diantaranya
adalah sklera dan sublingual.
2. Warna urin gelap seperti teh
Adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut dalam air,
menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar
bilirubin yang berlebih dalam plasma tersebut akan diekskresikan melalui urin
dan menyebabkan warna urin menjadi lebih gelap seperti teh.
3. Warna feses seperti dempul
Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan karena berkurangnya
ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan.

Manifestasi klinis yang dikeluhkan pasien berdasarkan jenis penyakit yang


menyebabkan obstruksi adalah sebagai berikut :

A. Ikterus obstruktif intrahepatik:


1. Hepatitis
Pada hepatitis, terjadi peradangan intrahepatik yang mengganggu ekskresi
bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan
penyakit self-limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul
secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada
tahap awal (akut), tetapi dapat berjalan kronis dan menahun, dan
mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis
hepatis.
2. Sirosis hepatis
Pada sirosis hepatis, terjadi penggantian hepatosit yang rusak secara
permanen dengan jaringan ikat. Kerusakan pada hepatosit ini mengakibatkan
terganggunya proses metabolisme bilirubin yang berlangsung di dalam
hepatosit, baik itu terjadi penurunan proses penyerapan bilirubin pada
permukaan sinusoid hati, maupun gangguan pada proses konjugasi, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin indirek dalam
plasma. Seperti yang diketahui, bilirubin indirek merupakan bilirubin yang tak

22
larut dalam air sehingga kadarnya tidak meningkat dalam urin sehingga tidak
menyebabkan warna urin yang gelap seperti teh.
Oleh karena itu, perlu mengetahui gejala yang nampak pada sirosis
hepatis, yaitu adanya hematemesis, melena. Hematemesis dan melena terjadi
akibat pecahnya varises esophagus yang disebabkan oleh hipertensi portal
karena peningkatan darah yang masuk ke vena porta. Peningkatan tekanan
porta menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang kemudian menjadi varises.
Varises akan semakin berkembang akibat peningkatan aliran darah ke tempat
varises yang lama-kelamaan dapat berakibat ruptur varises.
Adapun tanda klinis yang tampak pada sirosis hepatis adalah:
o Sklera tampak ikterik : Akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
plasma.
o Spider navy dan palmar eritem : Terjadi karena kegagalan
hepatoseluler dalam menginaktifkan dan menyekresikan steroid
adrenal dan gonad sehingga menyebabkan hiperesterogenisme
pada kapiler.
o Caput medusae : Disebabkan karena adanya sirkulasi kolateral
yang melibatkan vena superficial dinding abdomen sehingga
mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbillikus.
o Shagging of the flanks (perut kodok) : Merupakan petanda adanya
ascites, yang terjadi akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik
venosa akibat hipertensi porta, serta karena adanya transudasi
cairan hipoalbuminemia.
o Splenomegali : Terjadi karena tingginya tekanan vena porta,
sementara aliran darah ke hepar terhambat, sehingga alirah darah
diteruskan ke lien. Selain itu, fungsi hepar untuk destruksi eritrosit
terganggu, sehingga fungsi tersebut dialihkan ke lien. Pada lien
terjadi penignkatan aktivititas destruksi eritrosit, sehingga lien
mengalami hipertrofi dan hiperplasia sel.

23
o Undulasi ascites : Terjadi akibat adanya peningkatan tekanan
hidrostatik venosa akibat hipertensi porta, serta karena adanya
transudasi cairan berlebih akibat hipoalbuminemia.
o Arterial bruit (+) : Terjadi karena adanya hipertensi porta dan
peningkatan aktivitas porta.

B. Ikterus obstruktif ekstrahepatik :


1. Kolelitiasis dan koledokolitiasis
Pada penyakit batu empedu, umumnya sebagian besar pasien tidak
menunjukan gejala klinis (asimptomatik) yang dalam perjalanan penyakitnya
dapat tetap asimptomatik selama bertahun-tahun dan sebagian kecil dapat
berkembang menjadi simptomatik. Kurang dari 50% penderita batu empedu
mempunyai gejala klinis.
Manifestasi klinis yang sering terjadi diantaranya adalah mengeluhkan
adanya kolik biliaris dan nyeri hebat pada epigastrium dan kuadran kanan atas
abdomen yang menjalar hingga ke punggung atau bahu kanan, terutama
setelah makan.
Serangan kolik bilier ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
empedu, menyebabkan tekanan di duktus biliaris meningkat dan terjadi
peningkatan kontraksi di tempat penyumbatan yang mengakibatkan timbulnya
nyeri visera pada daerah epigastrium dan kuadran kanan atas abdomen.
Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen dikarenakan implikasi pada saraf
yang mempersarafi vesika felea, yaitu plexus coeliacus. Nyeri yang akan
diterima oleh saraf aferen mengikuti saraf simpatis. Nyeri ini akan berjalan
melui plexus coeliacus dan nervus sphlangnicus mayor menuju ke medulla
spinalis. Proses peradangan dapat menyebabkan plexus coeliacus terjepit,
sehingga nyeri dapat menyebar dan mengenai peritoneum parietal dinding
anterior abdomen atau diafragma bagian perifer. Hal ini menyebabkan nyeri
somatik dirasakan dikuadran kanan atas dan berjalan ke punggung bawah
angulus inferior skapula, serta radang yang mengenai peritoneum parietal

24
bagian sentral yang dipersarafi oleh nervus frenikus (C3, C4, C5) akan
menyebabkan nyeri di daerah bahu sebab kulit di daerah bahu mendapat
persarafan dari nervus supraklavikularis (C3, C4).
Nyeri hebat ini sering disertai dengan rasa mual dan muntah.
Perangsangan mual dapat diakibatkan oleh karena adanya obstruksi saluran
empedu sehingga mengakibatkan aliran balik cairan empedu ke hepar
menyebabkan terjadinya proses peradangan pada sekitar hepatobilier yang
bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan
menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan
pergerakan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan
makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan
pusat muntah di medulla oblongata.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya nyeri tekan epigastrium
dan daerah kuadran kanan atas abdomen. Tanda Murphy positif positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu pasien menarik napas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik napas.
Koledokolitiasis dapat terjadi apabila batu berpindah tempat dari kandung
empedu dan menyumbat duktus koledokus. Sumbatan ini dapat menyebabkan
kolangitis atau pankreatitis akut. Pasien dengan koledokolitiasis sering
menunjukan gejala jaundice dan demam, selain nyeri. Pasien juga dapat
mengeluhkan adanya feses yang berwarna dempul akibat retensi aliran
bilirubin ke dalam saluran cerna akibat adanya obstruksi, serta keluhan berupa
urin berwarna cokelat gelap seperti teh karena meningkatnya kadar ekskresi
bilirubin ke dalam urin.

2. Kolesistitis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri
abdomen kuadran kanan atas, mual, muntah dan demam. Kadang-kadang rasa
sakit dapat menjalar ke pundak atau skapula kanan. Hal ini dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi

25
tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren
atau perforasi kandung empedu. Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas,
kandung empedu teraba dan tanda Murphy positif pada pemeriksaan fisik
merupakan karakteristik kolesistitis akut. Tanda Murphy positif memiliki
spesifitas 79%-96% untuk kolesistitis akut. Gambaran klinis untuk kolesistitis
akalkulus umumnya serupa dengan kolesistitis akut akibat batu, yakni demam,
nyeri perut kanan atas, dan tanda Murphy positif. Ikterus dapat dijumpai pada
20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <0,4 mg/dl). Ikterus ini
dipikirkan terjadi akibat obstruksi bilier parsial yang dipicu oleh inflamasi
pada CBD. Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu
di saluran empedu ekstra hepatik. Kondisi ini juga dijumpai pada pasien,
dimana kondisi ikterus tidak terlalu berat. Pemeriksaan laboratorium tidak
spe-sifik. Umumnya menunjukkan adanya leukositosis dengan 70%–85%
terjadi left shift. Serum transaminase dan fosfatase alkali dapat meningkat.
Apabila keluhan bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung
empedu perlu dipertimbangkan.

3. Atresia bilier
Merupakan suatu kelainan kongenital yang tidak diketahui etiologinya
secara pasti. Agaknya berhubungan dengan kolangiohepatitis intrauteri yang
mungkin disebabkan oleh virus. Saluran empedu mengalami proses fibrosis
dan proses ini sering berjalan terus setelah bayi lahir dengan prognosis
umumnya buruk.
Terdapat dua jenis atresia bilier, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik.
Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan ekstrahepatik. Gejala klinis dan
patologis atresia bilier ekstrahepatik bergantung pada proses berawalnya
penyakit, apakah jenis embrional atau jenis perinatal, dan bergantung pada
saat diagnosisnya.
Jenis embrional atau fetal merupakan sepertiga penderita. Proses yang
merusak saluran empedu berawal sejak masa intrauteri dan berlangsung

26
hingga saat bayi lahir. Pada jenis ini tidak ditemukan masa bebas ikterus
setelah periode ikterus neonatorum fisiologis (dua minggu pertama kelahiran).
Jenis kedua adalah jenis perinatal yang ditemukan pada dua pertiga kasus.
Ikterus muncul kembali secara progresif setelah ikterus fisiologis hilang
beberapa waktu. Jadi, perbedaan patofisiologis utama antara jenis embrional
dengan perinatal ialah saat mulainya kerusakan saluran empedu yang
progresif.
Neonatus yang menderita ikterus obstruktif intrahepatik maupun
ekstrahepatik, menunjukkan ikterus, urin berwarna kuning gelap, tinja
berwarna dempul (akolik), dan hepatomegali.

4. Kista duktus kholedokus


Ada dua kelompok penderita kista koledokus. Kelompok infantil, yang
berumur rata-rata 3 bulan, dengan gejala ikterus obstruksi yang mirip ikterus
akibat atresia saluran empedu. Kelompok kedua yang gejalanya timbul
lambat, yaitu pada umur rata-rata 9 tahun berupa nyeri, massa di perut kanan
atas, serta ikterus. Sering penderita datang dengan gejala perforasi spontan.
Manifestasi Klinis umum dari Jaundice: Ikterik, Urine seperti teh, feses
acholic, massa kuadran kanan atas abdomen, kadang hepatomegali, kolik
intermiten, mual muntah, demam. Trias klasik Couvisier dari kista koledokus
adalah ikterus, massa pada kuadran kanan atas dan nyeri abdomen.

5. Tumor kaput pankreas


Gejala awal tumor kaput pankreas tidak spesifik dan samar, sering
terabaikan oleh pasien dan dokter sehingga sering terlambat didiagnosis.
Gejala awal dapat berupa rasa penuh, kembung di ulu hati, anoreksia, mual,
muntah, dan badan lesu. Keluhan tersebut tidak khas karena juga dijumpai
pada penyakit dengan gangguan fungsi saluran cerna.
Keluhan utama yang paling sering ditemui adalah :
a. Nyeri perut merupakan keluhan yang paling sering dijumpai. Lokasi
nyeriperut biasanya adalah pada daerah ulu hati, awalnya difus

27
kemudian menjadi terlokalisir. Nyeri perut biasanya disebabkan karena
invasi tumor pada pleksus coeliac dan pleksus mesenterik superior.
Rasa nyeri dapat menjalar hingga ke punggung akibat invasif tumor ke
retroperitoneal dan terjadi infiltrasi pada pleksus saraf splanknikus.
b. Berat badan turun lebih dari 10% berat badan ideal juga umum
dikeluhkan oleh pasien. Penurunan berat badan disebabkan oleh
berbagai faktor, yaitu asupan makanan yang berkurang, malabsorbsi
lemak dan protein, serta akibat peningkatan kadar sitokin pro-
inflamasi.
c. Ikterus obstruktif, terjadi karena obstruksi saluran empedu oleh tumor.
Tanda klinis pasien dengan tumor kaput pankreas dapat ditemukan adanya
konjungtiva pucat dan sklera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen dapat teraba
tumor masa padat pada epigastrium, sulit digerakkan karena letak tumor
retroperitoneum. Dapat juga ditemukan ikterus dengan pembesaran kandung
empedu (Courvoisier sign), hepatomegali, splenomegali (karena kompresi
atau thrombosis pada vena porta atau vena lienalis), ascites (karena
invasi/infiltrasi tumor ke peritoneum).

6. Tumor ganas saluran empedu


Keluhan utama ialah ikterus obstruktif yang progresif secara lambat
disertai pruritus. Biasanya tidak ditemukan tanda kolangitis, seperti demam,
menggigil, dan kolik bilier, kecuali perasaan tidak enak diperut kuadran kanan
atas. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya anoreksia dan penurunan berat
badan.
Bila tumor mengenai duktus koledokus, terjadi distensi kandung empedu
sehingga mudah diraba, sementara tumornya itu sendiri tidak dapat diraba.
Kandung empedu yang teraba dibawah pinggir iga pun tidak terasa nyeri, dan
penderita tampak ikterus karena obstruksi. Hepatomegali juga dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Apabila obstruksi empedu tidak diatasi,
hati akan menjadi sirosis, terdapat splenomegali, asites, dan perdarahan
varises esophagus.

28
II.8 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan rutin
- Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat,
maka berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan
prothrombin time (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time
meningkat, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi
bilier.
- Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan
seperti teh secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam
urin atau tidak. Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai
adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin
yang mengarah pada ikterus obstruktif.
- Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses
yang berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran
bilirubin direk ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan
pada aliran empedu.
2. Tes faal hati
Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk
mensintesa protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat
yang terdapat dalam darah, meliputi:
- Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan
distribusi air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu
transport beberapa komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone,
enzim, dan obat.
Apabila nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya
gangguan fungsi hepar, infeksi kronis, edema, ascites, sirosis, serta
perdarahan.

29
- Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga
terdapat pada jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak terdapat
di dalam hati, dan lebih spesifik menunjukan fungsi hati daripada AST.
Apabila terjadi peningkatan kadar ALT, maka perlu dicurigai adanya
penyakit hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai
peningkatan yang signifikan adalah adalah dua kali lipat dari nilai normal.

- Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)


AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang
tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe,
pankreas dan paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan,
kerusakan, atau kematian sel pada jaringan tersebut akan mengakibatkan
enzim ini terlepas ke dalam sirkulasi. Apabila terjadi peningkatan, dapat
dicurigai adanya penyakit hati, pancreatitis akut, juga penyakit jantung
seperti MI.

- Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)


GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal. GGT merupakan
enzim marker spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis
dibandingkan ALP. GGT adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu
sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu, seperti kolesistitis,
koletiasis, sirosis, atresia bilier, obstruksi bilier. GGT sangat sensitif tetapi
tidak spesifik. Jika terjadi peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST,
ALT) bukan menjadi indikasi kerusakan hati.

- Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan
plasenta. Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier,
ginjal, dan usus halus. Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan
meningkat karena ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.

30
- Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat
adanya penyakit hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan
bilirubin direk biasanya terjadi karena adanya obstruksi pada aliran
ekskresi empedu.

B. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan ikertus obstruktif, dan merupakan langkah awal sebelum melangkah ke
pemeriksaan yang lebih lanjut apabila diperlukan. Yang perlu diperhatikan adalah:
a. Besar, bentuk, dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung
empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2-3 x 6 cm, dengan
ketebalan sekitar 3 mm.
b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. bila saluran
empedu lebih dari 5 mm berarti terdapat dilatasi. Apabila terjadi sumbatan
pada daerah duktus biliaris, yang paling sering terjadi adalah pada bagian
distal, maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat
kemudian diikuti pelebaran bagian proksimal. Perbedaan obstruksi letak tinggi
atau letak rendah dapat dibedakan. Pada obstruksi letak tinggi atau
intrahepatal, tidak tampak pelebaran duktus biliaris komunis. Apabila terlihat
pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal, maka ini disebut dengan
obstruksi letak rendah (distal).
c. Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas
tinggi disertai bayangan akustik (acoustic shadow), dan ikut bergerak pada
perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor, akan
terlihat masa padat pada ujung saluran empedu dengan densitas rendah dan
heterogen.
d. Apabila terdapat kecurigaan penyebab ikterus obstruktif adalah karena
karsinoma pankreas, dapat terlihat adanya pembesaran pankreas lokal maupun

31
menyeluruh, perubahan kontur pankreas, penurunan ekhogenitas, serta dapat
ditemukan adanya pelebaran duktus pankreatikus.

3. PTC (Percutaneus Transhepatic Cholaniography)


Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat duktus biliaris serta untuk
menentukan letak penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh
gambaran saluran empedu di proksimal sumbatan. Bila kolestasis karena batu,
akan memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan didalamnya
tampak batu radiolusen. Bila kolestasis karena tumor, akan tampak pelebaran
saluran empedu utama (common bile duct) dan saluran intrahepatik dan dibagian
distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh tumor.

4. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)


Pemeriksaan ERCP merupakan tindakan langsung dan invasif untuk
mempelajari traktus biliaris dan system duktus pankreatikus. Indikasi
pemeriksaan ERCP, yaitu:
a. Penderita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya
apakah sumbatan pada duktus biliaris intra atau ekstra hepatic, seperti:
 Kelainan di kandung empedu
 Batu saluran empedu
 Striktur saluran empedu
 Kista duktus koledokus
b. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kealainan
pancreas serta untuk menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas,
seperti:
 Keganasan pada sistem hepatobilier
 Pankreatitis kronis
 Tumor panreas
 Metastase tumor ke sistem biliaris atau pancreas

Adapun kelainan yang tampak dapat berupa:

32
a. Pada koledokolitiasis, akan terlihat filling defect dengan batas tegas
pada duktus koledokus disertai dilatasi saluran empedu.
b. Striktur atau stenosis dapat disebabkan oleh kelainan diluar saluran
empedu yang menekan, misalnya kelainan jinak atau ganas. Striktur
atau stenosis umumnya disebabkan oleh fibrosis akibat peradangan
lama, infeksi kronis, iritasi oleh parasit, iritasi oleh batu, maupun
trauma operasi. Striktur akibat keganasan saluran empedu seperti
adenokarsinoma dan kolangio-karsinoma bersifat progresif sampai
menimbulkan obstruksi total. Kelainan jinak ekstra duktal akan terlihat
gambaran kompresi duktus koledokus yang berbentuk simetris. Tumor
ganas akan mengadakan kompresi pada duktus koledokus yang
berbentuk ireguler.
c. Tumor ganas intraduktal akan terlihat penyumbatan lengkap berupa
ireguler dam menyebabkan pelebaran saluran empedu bagian
proksimal. Gambaran seperti ini akan tampak lebih jelas pada PCT,
sedangkan pada ERCP akan tampak penyempitan saluran empedu
bagian distal tumor.
d. Tumor kaput pankreas akan terlihat pelebaran saluran pankreas. Pada
daerah obstruksi akan tampak dinding yang ireguler.

5. MRCP
Magnetic Resonansi Cholangiopancreatografi (MRCP) merupakan
pemeriksaan untuk memperlihatkan sistem billiaris dan pankreas. Sebelum ada
MRI untuk memperlihatkan kelainan-kelainan yang terdapat dalam sistem billiaris
dan pancreas tersebut menggunakan USG,Radiografi konvensional ( Pemeriksaan
Cholecystografi ) dan CT Scan.Dengan adanya modalitas MRI 1,5 tesla maka
modalitas inilah yang paling baik untuk memperlihatkan sistem billiaris dan
pancreas.
Teknik yang digunakan yaitu teknik heavy T2W ( TR 4000, TE 801 )
untuk mendapatkan gambar traktus biliaris tanpa memasukkan cairan kontras.
Pada teknik ini cairan akan tampak lebih putih karena cairan menghasilkan sinyal

33
yang lebih tinggi dibandingkan jaringan lunak sekitar yang tampak lebih gelap
karena sinyal yang dihasilkan lebih rendah.
Untuk memperlihatkan organ-organ di abdomen atas juga dibuat sequence
yang lain yaitu Axial T1W, Axial T1 fat sat, Axial T2 fat sat, Coronal T2 fat
sat Triphase 3D , Axial T1 fat sat dan Coronal T1 fat sat post kontras.

II.9 Tatalaksana Ikterus Obstruktif


Tatalaksana ikterus sangat tergantung pada penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hepatoseluler, biasa ikterus akan menghilang sejalan
dengan perbaikan penyakitnya. Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik
biasanya membutuhkan tindakan pembedahan.
A. Tatalaksana kolelitiasis
Pada pasien dengan kolelitiasis dapat dilakukan tindakan operatif
kolesistektomi, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu.
Kolesistektomi dapat berupa kolesistektomi elektif konvensional (laparatomi)
atau dengan menggunakan laparaskopi.
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparaskopik adalah
adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena
serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain
adalah kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang
menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih sering menyebabkan
kolesistitis akut dibandingkan dengan batu yang lebih kecil. Indikasi lain
adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian
karsinoma.

B. Tatalaksana kolesistitis
Penatalaksanaan kolesistitis akut secara umum:
o Antibiotik harus diberikan untuk semua kasus, disesuaikan dengan
derajat beratnya penyakit. Pada insufisiensi ginjal, dosis antibiotic
harus disesuaikan.

34
o Non-steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk
mengatasi nyeri. Salah satu NSAID yang dapat dipilih adalah
diclofenac atau indomethacin.

Tata laksana umum lainnya termasuk istirahat total, pemberian nutrisi


parenteral, diet ringan rendah lemak. Pemberian antibiotik pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septikemia. Pasien dapat diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga atau
keempat atau flurokuinolon, ditambah dengan metronidazole. Golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai untuk mematikan
kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut sepeti E. coli, S.
faecalis dan Klebsiella.

Terapi definitif untuk kolesistitis akut adalah kolesistektomi, selain


tentunya pemberian antibiotic dan analgetik. Pada pasien sakit kritis dengan
kolesistitis akut akalkulus, kolesistektomi bukanlah terapi definitif. Penentuan
saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan.
Apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (72 jam) atau ditunggu 6-8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Ahli bedah
yang prooperasi dini menyatakan, timbulnya gangrene dan komplikasi
kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah
sakit dapat lebih singkat dan biaya dapat ditekan.

Kepustakaan menyebutkan bahwa pada 50% kasus akan membaik tanpa


keterlibatan intervensi bedah. Secara klinis, setelah beberapa hari perawatan,
pasien mengaku keluhan nyeri perut kanan atas sudah jauh berkurang. Dari
pemeriksaan darah tepi serial juga didapatkan perbaikan dimana terjadi
penurunan jumlah leukosit dan nilai CRP.

C. Tatalaksana atresia bilier


Tatalaksana atresia bilier ekstrahepatik adalah dengan pembedahan.
Atresia bilier intrahepatik pada umumnya tidak memerlukan pembedahan
karena obstruksinya relatif bersifat ringan. Jenis pembedahan atresia bilier

35
ekstrahepatik adalah portoenterostomi teknik Kasai dan bedah transplantasi
hepar.
Bedah dekompresi portoenterostomi, langkah pertama bedah
portoenterostomi adalah membuka igamentum hepatoduodenale untuk
mencari sisa saluran empedu ekstrahepatik yang berupa jaringan fibrotik.
Jaringan fibrotik ini diikuti terus kearah hilus hati untuk menemukan ujung
saluran empedu yang terbuka di permukaan hati. Rekonstruksi hubungan
saluran empedu di dalam hati dengan saluran cerna dilakukan dengan
menjahitkan yeyunum ke permukaan hilus hati. Apabila atresia hanya terbatas
pada duktus hepatikus komunis, sedangkan kandung empedu dan duktus
sitikus serta duktus koledokus paten, maka cukup kandung empedu saja yang
disambung dengan permukaan hati di daerah hilus. Pada bayi dengan atresia
saluran empedu yang dapat dikoreksi langsung, harus dilakukan anastomosis
mukosa dengan mukosa antara sisa saluran empedu dan duodenum atau
yeyunum.
Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada 30-
60% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya mulai timbul 6-9
bulan setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah dengan
pemberian antibiotik selama dua minggu.
Jika dilakukan transplantasi hati, keberhasilan transplantasi hati setelah
satu tahun berkisar antara 65-80%. Indikasi transplantasi hati adalah atresia
bilier intrahepatik yang disertai gagal hati.

D. Tatalaksana kista duktus kholedokus


Pengobatan yang lebih dipilih untuk pengobatan kista saluran empedu
adalah komplit eksisi dengan kolesistektomi dan rekonstruksi dengan Roux-
en-J hepatikojejunostomi. Pada tahun sebelumnya, pasien sering di tangani
tanpa eksisi dengan anastomosis kista ke jejunum, duodenum atau perut.
Prosedur internal drainase mengakibatkan tingginya tingkat stenosis, lithiasis,
kolangitis, dan operasi ulang serta gagal untuk mengatasi sifat premalignant
lesi ini. Saat ini, eksisi kista dapat dilakukan dengan tingkat morbiditas dan

36
mortlalitas yang rendah dibandingkan operasi lampau dengan internal
drainase. Sayangnya, ketika proses kitik melibatkan multiple intrahepatik dan
ekstrahepatik, komplit eksisi mungkin tidak layak. Dalam keadaan ini, eksisi
parsial dikombinasi dengan drainase dari sisa saluran abnormal mungkin satu-
satunya solusi.
Kista type 1 terpapar dengan memobilisasi fleksura hepatika dari kolon ke
bawah dan meng-Kocherize duodenum. Lokasi dari arteri hepatika dan dari
setiap arteri hepatika kanan yang berasal dari arteri mesenterika superior
diidentifikasi. Fluorocholangiography intrahepatik dilakukan untuk
memastikan anatomi dari duktus proksimal dan pankreatikobiliary junction.
Cholangiography dapat di peroleh dengan cara dari duktus kistik atau punksi
kista langsung, atau, jika kista berukuran besar, dibuka dengan menempatkan
dengan ukuran yg tepat kateter balon untuk injeksi proksimal dan duktus
bagian distal. Intraopratif endoskopi dapat digunakan untuk pemeriksaan
bagian proksimal saluran empedu untuk mencari stenosis atau debris.
Kista tipe 1 harus di eksisi total. Ahli bedah harus menahan godaan untuk
meninggalkan terlalu banyak sisa duktus bagian proksimal dan distal. Pada
bagian distal, reseksi dilakukan turun ke dalam pankreas dan ada dua catatan
yang harus diperhatikan. Pertama, jika reseksi diambil terlalu jauh, duktus
pankreas utama dapat terkena. Hal ini biasa tidak mungkin untuk melihat
duktus pankreatik dan kista sering sangat sempit dekat batasnya. Kedua,
saluran empedu bagian distal harus diawasi untuk mencegah fistula pankreatik
pasca operasi, dimana rawan terjadi jika pasien lebih dahulu memiliki
abnormal pada pancreaticobiliary junction. Duktus bagian distal mungkin
kecil dan tempat penjahitan yang tidak tepat dapat menyumbat duktus
pankreas.
Reseksi bagian proksimal luasnya harus sampai mukosa normal. Sebuah
anastomosis dari jaringan granulasi atau mukosa ulserasi akan menghasilkan
striktur. Meninggalkan pinggiran proksimal sisa kista sehingga anastomosis
akan lebih luas atau lebih mudah untuk terbentuk adalah konsep yang salah.
Duktus hepatik kanan dan khususnya duktus hepatik yang kiri dapat di insisi

37
(setelah hilar plate dibuka) untuk memberikan panjang yang sempurna untuk
anastomosis. Rekonstruksi standar setelah eksisi kista adalah Roux-en-Y
hepatikojejunostomi dengan 40-60 cm cabang Roux. Cabang Roux lebih
pendek untuk bayi (15-20 cm) atau anakanak (30-40 cm). Teknik telah
termasuk penciptaan katup di cabang usus halus dan penempatan sebuah
saluran antara salurran empedu dan duodenum.
Kista tipe 2 jarang terjadi. Ketika ditemui, pengobatannya adalah dengan
eksisi kista. Jika terdapat anomali dari pancreaticobiliary junction, pengalihan
bilier dengan Roux-en-Y hepaticojejunostomy mungkin diperlukan untuk
mencegah kelanjutan refluks pancreaticobiliary patogenik.
Kista type 3 (choledochoceles) juga jarang terjadi dan didekat
transduodenum. Karena tidak ada keseragaman mengenai patogenesis,
klasifikasi, anatomi, dan klinisnya, pengobatan secara individual. Endoskopi
dan sphincterotomy mungkin cukup untuk pasien yang memiliki kista dengan
ukuran kecil tanpa adanya obstruksi duodenum. Dalam keadaan lain, eksisi
transduodenum denhan sphincteroplasty atau reimplantation duktus telah
dilakukan.
Kista type 4 melibatkan beberapa bagian duktus. Untuk kista yang terbatas
pada duktus ekstrahepatik ditangani dengan eksisi komplit, mirip dengan kista
type 1. Untuk kista yang melibatkan kedua duktus intrahepatik dan
ekstrahepatik yang menjadi masalah karena eksisi komplit mungkin tidak
mungkin pendek dari total hepatotectomy. Keadaan ini biasanya ditangani
dengan reseksi komponen ekstrahepatik dengan Roux-en-Y
hepatikojejunostomi di hilus hepatik. Striktur intrahepatik dapat di dilatasi.
Jika penyakit intrahepatik hanya terbatas pada satu lobus, maka reseksi
hepatik dapat dilakukan.
Tatalaksana bedah pada pasien dengan penyakit type 5 yang melibatkan
saluran empedu intrahepatik harus tergantung individual pada sejauh mana
anatomi dan fungsi hepar. Keterlibatan satu lobus secara efektif di tangani
dengan reseksi hepatik. Transplantasi hepar merupakan terapi definitif untuk
pasien yang memiliki penyakit diffuse, sirosis hepar, atau terkait malignancy.

38
Bagi pasien yang tidak memiliki sirosis, drainase dengan anastomosis
empedu, pemasangan stent transhepatik dan kombinasinya mungkin
membantu mengkontrol gejala.
Hasil eksisi kista dan hepatikoenterostomi pada anak-anak dapat menjadi
sangat baik. Dalam serangkaian 180 kasus anak-anak yang diikuti selama rata-
rata 11 tahun, hanya 2,3% mengalami komplikasi kolangitis dan batu saluran.
Pada penanganan tangan yang berpengalaman, eksisi kista pada pasien dewasa
dapat dilakukan dengan mortalitas yg rendah, meskipun tigkat morbiditas 20%
atau lebih. Setelah eksisi komplit, sekitar 10% dari pasien dewasa mengalami
kolangitis berulang, pankreatitis, atau penyakit hati kronis, dan ada resiko
kecil tetapi terbatas untuk keganasan. Untuk alasan ini, follow up jangka
panjang sangat disarankan.

E. Tatalaksana tumor kaput pankreas


Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum pasien harus diperbaiki
dengan memperbaiki nutrisi, anemia, dan dehidrasi. Pada ikterus ibstruksi
total, dilakukan penyaliran empedu transhepatik sekitar 1 minggu prabedah.
Tindakan ini bermanfaat untuk memperbaiki fungsi hati.
Bedah kuratif yang mungkin berhasil adalah pankreatiko-dudenektomi
(operasi Whipple). Operasi Whipple ini dilakukan untuk tumor yang masih
terlokalisasi, yaitu pada karsinoma sekitar ampula Vateri, duodenum, dan
duktus koledokus distal. Tumor dikeluarkan secara radikal en bloc, yaitu
terdiri dari kaput pankreas, korpus pancreas, duodenum, pylorus, bagian distal
lambung, bagian distal duktus koledokus yang merupakan tempat asal tumor,
dan kelenjar limf regional.

F. Tatalaksana tumor ganas saluran empedu


Tatalaksana terbaik adalah dengan pembedahan. Adenokarsinoma saluran
empedu yang baik untuk direseksi adalah yang terdapat pada duktus
koledokus bagian distal atau papilla Vater. Pembedahan dilakukan dengan
cara Whipple, yaitu pankreatiko-duodenektomi.

39
BAB III

PENUTUP

Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang
menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang mencapai
lebih dari 2 mg/dl, dimana ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya
obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya
dialirkan ke traktus gastrointestinal. Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan
intervensi bedah, sementara ikterus obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau
prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering juga disebut sebagai “surgical
jaundice”, dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap keadaan fisiologi, disertai dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat diharapkan dapat menegakkan
diagnosis yang tepat sehingga dapat ditentukan tatalaksana apa yang terbaik untuk pasien.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran
EGC; 2010.p254-7,663-7,672-82,717-82.
2. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK.UI; 2006. 481-
2
3. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK.UI; 2006. 422-5.
4. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 477-8
5. Snell, Richard S. Anatomi klinik. 6th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC;
2006.p.240-7, 288-91.
6. Zettermean, RK. Cystic Diseases of Bile Duct and Liver. Dalam: Scott LF,dkk, editor.
Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. Edisi ke-2. Singapore: Mc Graw
Hill Companies. 2003; hlm 807-809.
7. Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gallbladder, and pancreas. In: Difiore’s
atlas of histology with functional correlations. 11th Ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007
8. Schwartz Si. Manifestations of gastrointestinal disease. In: Principles of surgery. 5th Ed.
Singapore: McGraw-Hill; 1989.p.1091-1099.
9. Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2006.p.140,166.
10. Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC; 2005.p.285-300.
11. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of America: Mc Graw Hill;
2007.p.297-8.

41

Anda mungkin juga menyukai