Anda di halaman 1dari 20

TUGAS REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH

PEYRONIE’S DISEASE

Disusun Oleh:
Natasya Saraswati
1820221102

Pembimbing:
dr. Tri Budiyanto ,Sp.U

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH
PEYRONIE’S DISEASE

Disusun Oleh:
Natasya Saraswati
1820221102

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, Agustus 2019

Pembimbing

dr. Tri Budiyanto Sp.U

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat dan
karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat yang
berjudul “Pyeronie Disease” ini merupakan salah satu syarat ujian kepanitraan
klinik dokter muda SMF Ilmu Bedah RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tri Budiyanto, Sp.U sebagai
pembimbing atas bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dalam
penyusunan tugas referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih belum sempurna
serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis tetap mengharapkan
saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Purwokerto, Agustus 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………..2


KATA PENGANTAR……………………………………………………………3
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...4
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..5
I.1 Latar belakang………………………………………………………..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………6
II.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius………….……………...6
II.2 Peyronie Disease......…………………………………………........... 11
II.2.1Definisi………………………………………………………...11
II.2.2 Epidemiologi ....………..……………………......................... 11
II.2.3 Etiologi ..….……………………………………………….….11
II.2.4 Faktor Risiko ….........................…………………………….. 11
II.2.5 Patofisologi ……………………………………………... .... 12
II.2.6 Gambaran Klinis...................................................................... 13
II.2.7 Diagnosa................................................................................... 14
II.2.8 Penatalaksanaan........................................................................ 15
II.2.9 Komplikasi.............................................................................. 18
II.2.10 Prognosis .............................................................................. 18
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………..19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...20

4
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit peyronie adalah suatu keadaan pada penis yang memiliki
jaringan fibrotik pada bagian superfisial penis yang mengakibatkan terjadinya
kelainan bentuk pada penis dengan atau pun tanpa adanya rasa nyeri pada penis.
Penyakit peyronie sering mengenai pria pada usai rata-rata 52-57 tahun.
Prevalensi kejadian penyakit ini sebesar 3,2- 8,9% pada pria dewasa, namun
diperkirakan prevalensi dari penyakit tersebut masih dapat lebih tinggi lagi
karena masih kurangnya pencatatan dan pelaporan mengenai penyakit tersebut.
Penyakit ini dicirikan dengan adanya lengkungan pada sarung penis yang
dapat disertai dengan rasa sakit pada saat ereksi dan disertai dengan adanya
jaringan fibrotik. Penyebab dari penyakit peyronie masih belum diketahui dengan
pasti, namun hal tersebut di duga diakibatkan oleh karena adanya gangguan dari
proses penyembuhan luka akibat adanya trauma ataupunmikrotrauma pada penis.
Faktor risiki dan komorbiditas yang sering dikaitkan dengan penyakit ini yaitu
diabetes, hipertensi, disfungsi ereksi, rendahnya hormon testosteron, merokok,
dan konsumsi alkohol.
François Gigot de Peyronie dikenal luas sebagai orang pertama yang
mendeskripsikan pelengkungan penis, yang sekarang dikenal dengan nama
penyakit Peyroni, pada tahun 1743.Setelah beberapa tahun, beragam terapi
medikasi dan pembedahan telah digunakan untuk mengatasi kondisi ini. Penyakit
Peyronie selain merupakan suatu kelainan secara organis, juga dapat menjadi
sumber masalah signifikan dalam hubungan seksual, karena penyakit ini dapat
menyebabkan kekhawatiran dan stress pada penderita dan pasangan.
Mengingat tingginya prevalensi PD dan dampaknya yang signifikan pada
pria yang terkena dampak, pemahaman yang lebih baik tentang PD sangat
penting. Tujuan dari referat ini adalah untuk memahami tentang etiologi,
diagnosis, dan manajemen PD.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Penis


II.1.1 Anatomi Penis
Urologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penyakit dan kelainan pada traktus urogenitalia pria dan wanita. Organ urinaria
terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli dan uretra, sedangkan organ
reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula seminalis,
prostat dan penis. Sistem urogenitalia terletak di rongga retroperitoneal dan
terlindung oleh organ lain yang mengelilinginya, kecuali testis, epididimis, vas
deferens, penis dan uretra.
Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah korpora
kavernosa yang saling berpasangan dan satu buah korpus spongiosum yang
berada di sebelah ventralnya. korpora kavernosa tersusun atas dua silinder pararel
jaringan erektil. Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma
urogenitalia dan di sebelah proksimal dilapisi oleh otot bulbo- kavernosus. Pada
setiap korpus di dalamnya terbungkus oleh tunika albuginea yang terdiri atas
jaringan erektil yaitu berupa jaringan kavernus ( berongga) seperti spons. Jaringan
ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh endotelium dan otot
polos kavernosus. Rongga lakuna dapat menampung darah yang cukup banyak
sehingga menyebabkan terjadinya ketegangan batang penis.
Penis terletak menggantung di depan skrotum. Bagian ujung pada penis
disebut glan penis. Bagian tengah disebut dengan korpus penis dan pangkalnya di
sebut radix penis.Glan penis tertutup oleh kulit korpus penis yang disebut dengan
prepusium. Penis terdiri atas jaringan seperti busa dan terletak memanjang, tempat
muara uretra dan glan penis adalah frenulum

6
Gambar 1. Penis dan bagian-bagianya

Gambar 2. Potongan melintang


batang penis

7
Vaskularisasi Penis
Penis mendapatkan aliran darah dari arteri iliaca interna menuju arteri
pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis. Selanjutnya arteri
ini bercabnag menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis, arteri dorsalis penis
dan arteri bulbouretalis. Arteri penis komuis akan melewati kanal dari Alcock
yang berdekatan dengan os pubis dan mudah mengalami cedera jika terjadi fraktur
pada pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian bercabang-
cabang menjadi arteriol helisin, yang kemudian arteriol ini akan memasukan
darah ke dalam sinusoid.
Darah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui pleksus yang terletak
dibawah tunika albuginea. Pleksus tersebut akan bergabung membentuk venule
emisaria dan kemudian menembus tunika albuginea untuk mengalirkan darah ke
vena dorsalis penis.

Gambar 3: Aliran darah menuju


korpus kavernosus

. Gambar 4:Aliran darah balik dari


penis

8
II.1.2 Fisiologis Penis
Timbulnya ransangan seksual mengakibatkan adanya peningkatan dari
aktivitas saraf parasimpatis yang mengakibatkan terjadinya dilatasi arteriole dan
konstriksi dari venule sehingga inflow( aliran darah menunju ke korpora)
meningkat sedangkan outflow ( aliran darah yang keluar dari korpora) akan
menurun. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah dan
ketegangan pada korpora meningkat, sehingga penis menjadi ereksi ( tegang).
Persarafan penis terdiri atas sistem saraf otonom (simpatik dan parasimpatik)
dan somatik (sensorik dan motorik) yang berpusat di medula spinalis S2-S4 dan
T10-L2 .Serabut-serabut saraf simpatik dan parasimpatik membentuk nervus
kavernosus yang memasuki korpora dan kavernosa dan korpus spongiosum, yang
akan memicu neurotransmiter untuk memulai proses ereksi. Saraf somato sensorik
akan menerima rangsangna di daerah sekitar genitalia dan saraf motorik yang
akan menyebabkan kontraksi otot bulbokavernosus. Fase ereksi dimulai dengan
adanya rangsangan yang berasal dari genitalia eksterna berupa rangsangan raba
(taktil) atau rangsangan yang berasal dari otak berupa fantasi, rangsangan
pendengaran, atau pengelihatan.
Rangsangan tersebut yang akan menyebabkan terjadinya pelepasan
neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya dilatasi arteri kavernosus, relaksasi
otot kavernosus dan kontriksi venule emisaria. Keadaan ini yang menyebabkan
banyaknya darah yangmengisi ronga sinusoid danmenyebabkan terjadinya
ketegangan pada penis. Demikian juga pada fase flaksid terjadi kontraksi arteriol,
kontraksi otot kavernosus dan dilatasi venule untuk mengalirkan darah ke vena-
vena penis,sehingga rongga sinusoid berkurang volumenya.

9
Gambar 5: Erection Reflex

II.2 Peyronie Diseases


II.2.1 Definisi
Suatu kondisi terbentuknya fibrosing superfisial pada penis yang ditandai
dengan adanya plak fibrotik pada tunika albuginea korpus karvenosum yang
sering menyebabkan kelainan bentuk pada penis yang menyebakan batang penis
mengalami angulasi (pembengkokan) saat mengalami ereksi.

II.2.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit peyronie dilaporkan sebanyak 0,3- 9% mengenai laki-laki
dewasa dengan rentan usia 40-70 tahun, namun diperkirakan angka prevalensi
tersebut dapat lebih meningkat kembali. Hal tersebut disebabkan karena masih
kurangnya pendataan angka kejadian penyakit peyronie tersebut. Minimnya gejala
yang timbul dan kurangnya pengetahuan tentang penyakit peyronie menjadi salah
satu faktor kurangnya pendataan angka kejadian penyakit tersebut. Meskipun
kondisi tersebut banyak mengenai laki-laki dewasa dengan rentan usia 40-70

10
tahun, namun menurut beberapa penelitian penyakit ini juga dapat mengenai laki-
laki pada usia muda.

II.2.3 Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti, namun
dalam beberapa penelitian adanya gangguan dalam proses peyembuhan luka pada
trauma mikrovaskuler berulang yang mengenai tunika albuginea.

II.2.4 Faktor Risiko


Terdapat bebrapa faktor resiko dan kormobiditas yang secara signifikan diduga
berkaitan dengan penyakt peyronie, antara lain:
1. Penyakit vascular sistemik, termasuk diabetes melitus, hipertensi dan
hiperlipidemia
2. Usia prevalensi penyakit peyronie meningkat seiring dengan pertambahan
usia.
3. Merokok dan konsumsi alkohol
4. Riwayat uretritis non gonokokus
5. Trauma Mikrovaskular pada penis yang terjadi akibat adanya trauma pada
saat bersegama atau iatrogenik dari sistoskopi atau transurethral resection of
the prostate (TURP), dan pada pemasangan kateterisasi uretra.
6. Genetik yang berkaitan dengan keluarga yang memiliki riwayat penyakit
peyronie atau kontraktur dupuytren
7. Hipogonadisme pada penelitian terbaru menunjukan bahwa
hipogonadisme menjadi salah satu faktor risiko yang mempengaruhi
penyakit tersebut dengan kadar testosteron (T) hipogonad sebesar (<300 ng
/ dL) prevalensi sebesar 74,4% pada 121 pasien PD.

II.2.5 Patofisiologi
Adanya stimulasi saraf pada saat terjadinya ereksi mengakibatkan adanya
relaksasi dari jaringan otot polos dari kavernosa dan arteri kavernosa yang akan
membawa darah menuju penis dan rongga trabekula dalam korpora kavernosa.
Sehingga terjadi peningkatan dari aliran darah ke korpora kavernosa dan terjadi

11
pengumpulan lebih banyak darah kedalam rongga tersebut. Lapisan tebal yang
dapat membesar tersebut terdiri atas kolagen dan jaringan ikat fibrosa yang
elastik. Pembesaran tersebut akan mengakibatkan terjadinya peregangan,
kompresi dan penutupan dari venula subtunika yang mengalirkan darah dari
korpora. Darah tidak dapat dengan mudah kembali dari penis, sehingga terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intrakorporal. Peningkatan tekanan tersebut akan
menyebabkan penis menjadi kaku pada saat tunika telah mencapai panjang dan
lebar maksimal.
Pada penyakit peyronie, ketika terjadi mikrotrauma pada penis saat ereksi
yang dapat terjadi tanpa disadari selama hubungan seksual. Hal tersebut akan
mengakibatkan adanya perlukaan pada dorsal dan ventrikal tunika albuginea yang
memicu terjadinya reaksi inflamasi, indurasi, dan deposit fibrin di antara lapisan
tunika. Ekstravasasi fibrin ke lapisan tunika akan memicu terjadinya pelepasan
beberapa sitokin, termasuk pelepasan faktor pertumbuhan β (TGF β) dan inhibitor
aktivaktor plasminogen 1 ( PAI1) dan peningkatan ROS ( spesies oksigen reaktif)
yang merangsang diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast. TGFβ adalah
protein yang dikeluarkan untuk membantu dalam proses perbaikan pada saat
jaringan mengalami inflamasi, dan dapat juga dapat memicu terjadinya proses
angiogenesisis. Myofibroblast mensintesis kolagen yang memiliki peran penting
dalam penyembuhan luka secara normal. Pada proses penyembuhan luka normal,
myofibroblast yang akan berdiferensiasi dan membantu dalam proses
penyembuhan luka. Namun, pada penyembuhan luka yang abnormal,
myofibroblast menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen secara terus-menerus.
Pada penyakit peyronie terjadi peningkatan kolagen yang terakumulasi pada
tunikea albuginea yang akan menyebabkan terjadinya fibrosis dan pembentukan
plak.

II.2.6 Gambaran Klinis


Gejala klinis pada peyroni dapat muncul secara tiba-tiba atau dapat
berkembang secara perlahan.progresifitas dapat muncul dalam beberapa tahun.
Berikut gambaran klinis penyakit peyronie secara umum:

12
 Jaringan parut teraba keras ( fibrosis) tunggal maupun multipel pada tunika
albuginea.
 Penis yang bengkok, dapat mengalami pembengkokan ke arah atas, bawah
atau ke samping.
 Adanya gangguan ereksi yang dapat menyebabkan terjadinya disfungsi
ereksi
 Pemendekan penis
 Nyeri yang dirasakan selama ereksi bisa terjadi hanya pada saat orgasme
atau setiap waktu pada saat penis di sentuh.
Berdasarkan onset terjadinya penyakit peyronie dibagi menjadi 2 fase yaitu
fase akut dan fase kronis. Pada fase akut biasanya muncul pada 18-24 bulan
pertama dan di tandai dengan adanya nyeri pada penis, penis bengkok, dan
didapatkan adanya nodul pada penis. Pada fase kronik ditandai dengan adanya
suatu plak stabil yang terkadang didapatkannya kalsifikasi dn adanya disfungsi
ereksi.
II.2.7 Diagnosa
Penegakan diagnosa pad penyakit peyronie didapatkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesia ditanyakan gejala
klinis apa saja yang dirasakan, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit
sistemik dan penggunaan obta-obatan dalam jangka panjang. Pada pemeriksaan
fisik dapat dilakukan pada saat penis dalam keadaan ereksi maupun dalam tidak
ereksi. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui:
 lokasi dan jumlah jaringan parut pada penis
 mengukur panjang penis
 mengetahui ada atau tidaknya nyeri sentuh pada penis
 Menilai apakah ada pembengkokan pada penis
 Menilai derajat pembengkokan pada penis

13
Gambar 6: Pembengkokan penis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan
diagnosa penyakit peyronie anatara lain:
 Pemeriksaan ultrasound pemeriksaan yang paling umum digunakan
untuk melihat jaringan lunak, keberadaan jaringan parut, aliran darah ke
penis dan kelainan lainnya.
 Pemeriksaan X-Ray untuk mengetahui adanya kalsifikasi pada kasus
yang berat
II.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan peyronie dapat dilakukan beberapa
tindakan yaitu konservatif,medikasi dan tindakan operatif.
 Pada konservatif dilakukan pendekatan berupa watchfull waiting
apabila:
 Pelengkukan yang terjadi pada penis tidak berat dan tidak semakin
menjadi buruk
 Rasa nyeri saat ereksi hanya dirasakan ringan
 Pasien masih dapat melakukan hubungan seksual tanpa merasakan
nyeri
Jika gejala semakin memberat maka pasien di berikan terapi lebih lanjut
berupa medikasi ataupun tindakan operatif .
 Medikamentosa
Pada pemberian medikamentosa pemberian secara oral kurang efektif
dibandingkan dengan pemberian obat injeksi secara langsung ke dalam

14
penis yang dapat mengurangi lengkungan dan nyeri yang berkaitan
dengan penyakit peyronie.
 Verapamil memiliki fungsi untuk mencegah produksi kolagenase
yang berperan penting dalam pembentukan jaringan parut pada
penyakit peyronie.
 Vitamin E memiliki fungsi untuk memperlambat progresivitas
terbentuknya plak.
 Interferon merupakan suatu sitokin yang di produksi secara endogen
yang berfungsi sebagai respon imun, menurut penelitian interferon
memiliki peran dalam proses pencegahan produksi jaringan fibrosus
dan membantu dalam proses penghancurannya.
 Tamoxifen citrate adalah reseptor antagonis reseptor estrogin non
steroid yang memiliki efek dalam menghambata faktor pertumbuhan
TGF dari fibroblast yang berperan dalam memproduksi kolagen.
 Collagenase Clostridium Histolyticum (CCH) merupakan suatu enzim
yang dapat mendegradasi kolagen secara interstitial. Menurut
beberapa penelitian pemberian injeksi CCH dapat mengurangi
deformitas kelengkungan pada penis
 Tindakan operatif
Indikasi operasi pada penyakit peyronie adalah ketika sudah terjadi
deformitas pada penis yang mengakibatkan adanya gangguan dalam
senggama atau disfungsi ereksi akibat penyakit ini.
Tindakan operatif biasanya direkomendasikan ketika kelengkungan
penis terus bertambah dan rasa nyeri yang terus muncul dalam kurun
waktu kurang lebih 6 bulan, metode tindakan operatif yang umum
digunakan meliputi:
 Insisi dan eksisi dengan graft
Tindakan ini di indikasikan pada pasien yang mengalami gangguan
kelengkungan penis <60°, plak yang besar yang mengakibatkan
terjadinya deformitas yang kompleks. Tindakan pembedahan
bertujuan untuk menghilangkan jaringan parut, setelah itu dilakukan

15
graft jaringan pada daerah yang telah dilakukan insisi tersebut. Graft
dapat berasal dari tubuh pasien sendiri atau material sintesis.
 Implan penis. Dilakukan insersi implant penis dengan tindakan bedah
untuj mengganti jaringan spongiosa yang terisi darah pada saat ereksi.
Implant dapat bersifat semi rigid yang dapat dilipat ketika tidak
digunakan, dan dapat dinaikan ketiak ingin berhubungan seksual.
Jenis implant yang lain adalah implant yang disertai dengan pompa
yang diletakana di lipat paha atau skrotum, implant penis dapat
dipertimbangkan jika peyakit peyroni disertai dengan disfungsi ereksi
 Pemendekan sisi yang tidak sakit. Berbagai prosedur yang dapat
digunakan untuk melakukan pemendekan sisi yang lebih panjang pada
penis ( sisi tanpa jaringan parut). Tindakan ini bertujuan untuk
menyamakan panjang bagian yang sakit dan tidak, sehingga saat
ereksi penis relative lebih lurus. Hal tersebut dapat dilakukan pada
pasien dengan panjang penis yang cukup dan pada penis yang
memilik kelengkungan minimal. Komplkasi yang dapat ditimbulkan
berupa disfungsi ereksi

Gambar 7: Prosedur Tindakan Operasi

 Terapi lainnya
 ESWT ( Extracorporeal Shockwave Therapy)
Telah menjadi salah satu terapi yang digunakan pada penyakit
pyeroni, penggunaan metode terapi ini efektif untuk mengurangi rasa

16
nyeri yang dirasakan oleh pasien, namun menurut penelitian jerman
penggunaan ESWT tidak memiliki efek yang berarti bagi ukuran plak
yang dihasilakn dan pada gangguan fungsi ereksi yang terjadi.
 Penile Tractio Devices (PTD)
Terapi ini berfungsi untuk mengurangi kelengkungan pada penis dan
membantu dakan meningkatkan fungsi seksual yang terjadi akibat
terbentuknya jaringan parut. Namun perlu dilakukan penelitian yang
lebih lanjut dalam penggunaan terapi ini karena efek samping yang di
timbulkan dapat berupa ulserasi, hypoesthesia,

Gambar 8 Alat Penile Traction Therpay

17
Bagan 1.Algoritma for peyronie’s disease. ED= erectile dysfunction

II.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul berupa:
 Disfungsi ereksi
 Infertilitas
 Rasa cemas dan stress yang berlebih mengenai kemampuan seksual
 Ketidakmampuan untuk melakukan hubunga seksual
II.2.10 Prognosis
Dubia ad bonam, namun tergantung pada usia psien, kecepatan dan
ketepatan dalam mendapatkan pengobatan, serta penyakit penyerta lainnya.

18
BAB III
KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
Penyakit peyronie adalah suatu kondisi terbentuknya fibrosing superfisial
pada penis yang ditandai dengan adanya plak fibrotik pada tunika albuginea
korpus karvenosum yang sering menyebabkan kelainan bentuk pada penis yang
menyebakan batang penis mengalami angulasi (pembengkokan) saat mengalami
ereksi. Penyebab pasti dari penyakit tersebut belum diketahui dengan pasti,namun
terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi penyakit tersebut di antaranya
penyakit vaskular,usai, trauma mikrovsakular, genetik dan lainnya. Pada penyakit
peyronie dapat ditatalaksana secara konservatif, medikamentosa,tindakan operatif.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, Basuki B. 2007. Dasar-Dasar Urologi. Malang : FK Universitas

Brawijaya.

2. American Urology Assosation.2015. Diagnosis and treatmen of peyronie’s

disease. Education & Research, Inc

3. Urology Care. The Official Foundation of The American Urological

AssocAtion.http://www.urologyhealth.org/urologi-

conditions/peyroniesdisease

4. Ali. Oktay. 2017. Peyronie’s Disease Recent Treatment Modalities.

Departemen of urology, Faculty of Medicine, Cella Bayar University, Turkey

5. Aylin. Bligutay. Alexander. 2016. Peyronie’sdisease: A Review of Etiology,

Diagnosa and Management. Cpllege of Medicine. Houston

6. Eli Lizza, MD. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/456574.

7. M. A. Salam. 2003. Principle and Practice of Urology. USA : BrownWalker

Press.

8. Cristian Nordqvist . 2017. http://www.medicinenet.com>aricle.

9. Sherwood, L. 2010 Human Physiology From Cell to Systems.7Ed. Canada:

Yolanda Cossio

20

Anda mungkin juga menyukai