Anda di halaman 1dari 38

CASE BASE DISCUSSION

PNEUMONIA

OLEH :
Dwi Anggraeni : 018.06.0025

PEMBIMBING :
dr. I Gusti Ngurah Sudiana, Sp.A

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK ILMU PEDIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan laporan hasil Case Based Discussion ini
tepat pada waktunya. Laporan ini membahas mengenai sebuah jurnal
yang berjudul “Epididimo-orchitis”. Penyusunan laporan ini tidak
akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu
dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. Made Sutresna, Sp. B sebagai dosen tutor yang senantiasa


memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan Case Based
Discussion.

2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi dalam
berdiskusi.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk


menyusun laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Saya
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Klungkung, 8 September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

DAFTAR TABEL.................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2

2.1 Anatomi......................................................................................................2

2.1.1 Definisi.....................................................................................................2

2.3 Epidemiologi...............................................................................................4

2.2.1 Etiologi.....................................................................................................4

2.2.2 Faktor Resiko..........................................................................................4

2.2.3 Diagnosis.................................................................................................7

2.2.4

BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................11

3.1 Identitas Pasien..........................................................................................11

3.2 Anamnesa..................................................................................................11

3.3 Pemeriksaan fisik.......................................................................................12

3.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................15

3.6 Diagnosa Kerja..........................................................................................15

3.7 Planning Tatalaksana.................................................................................16

3.9 Prognosis....................................................................................................18

3.10 KIE............................................................................................................19

BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................20
ii
BAB V PENUTUP...............................................................................................24

3.1 Kesimpulan ...............................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi.....................................................................................................3

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epididymitis dan orchitis merupakan inflamasi dari epididimis dan


testis, dengan atau tanpa disertai infeksi. Kelainan ini bisa
diklasifikasikan menjadi akut, subakut, atau kronik berdasarkan durasi
gejala dirasakan. Pada epididymitis akut, gejala biasanya menetap
kurang dari enam minggu dan ditandai dengan nyeri dan
pembengkakan. Epididymitis kronik ditandai dengan nyeri umumnya
tanpa pembengkakan yang terjadi lebih dari tiga bulan. Orchitis
biasanya terjadi bila inflamasi menyebar dari epididymis ke testis.

Pada 2012, epididymitis dan orchitis terjadi pada 1 dari 144 pasien
rawat jalan (0,69%) pada laki-laki dengan kelompok usia 18 sampai
dengan 50 tahun. Diperkirakan terdapat sekitar 600,000 kasus
epididymitis setiap tahun di Amerika Serikat, yang majoritasnya pada
laki-laki 18-35 tahun. Pada satu studi yang dijalankan terhadap tentara
Amerika Serikat, didapatkan insiden tertinggi pada laki-laki berusia 20
sampai dengan 29 tahun. Epididymitis lebih sering ditemukan
berbanding orchitis. Pada satu studi terhadap pasien-pasien rawat jalan,
didapatkan prevalensi orchitis sebesar 58% dari jumlah kasus dengan
epididymitis. Bakteri yang dapat menyebabkan orchitis antara lain
Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus,
Streptococcus, bakteri tersebut biasanya menyebar dari epididymitis
terkait dalam seksual pria aktif atau laki-laki dengan BPH

Untuk menegakkan diagnosis epididimo-orchitis diperlukan


anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Pemeriksaan penunjang
tidak terlalu membantu untuk menegakkan diagnosis orchitis. USG
dapat membantu menyingkirkan diagnosis lain nya seperti torsio testis.

1
Penatalaksanaan dari orchitis terutama bersifat suportif karena
biasanya sebagian besar pasien orchitis akan sembuh spontan dalam 3-
10 hari, kecuali bila penyebabnya bakteri, perlu diberikan antibiotik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Testis

Testis merupakan sepasang struktur organ berbentuk lonjong


dengan dimensi 4x2.5x2.5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Letaknya di
dalam skrotum dengan sumbu panjang pada sumbu vertikal dan biasanya
testis kiri lebih rendah dibandingkan testis kanan. Letak anatomi testis
adalah kaudolateral dan kraniomedial. Testis ditutupi oleh tunika
albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi dorsal yang terdapat
epididimis dan pedikel pembuluh darah. Sedangkan epididimis merupakan
organ berbentuk kurva yang terletak di sekitar bagian dorsal testis. Suplai
darah arteri ke testis dan epididimis berasal dari arteri ginjal.

Fungsi utama testis adalah menghasilkan hormon sperma dan


androgen, terutama testosteron. Sperma terbentuk di dalam tubulus
seminiferus yang mempunyai 2 jenis sel yaitu sel Sertoli dan sel
spermatogenik. Di antara tubulus seminiferus terdapat jaringan stroma
tempat sel Leydig berada.

Selama perkembangannya, testis turun dari posisi semula di dekat


ginjal menuju skrotum. Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan
proses ini, termasuk tarikan gubernakular dan tekanan intraabdomen.
Faktor endokrin dan poros hipotalamus-ptuitari-testis juga berperan dalam
proses penurunan testis. Antara minggu ke 12 dan 17 kehamilan, testis
mengalami migrasi transabdominal ke lokasi dekat cincin
inguinalis internal.

Jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus pada bagian anterior
dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut tunica
vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal. Lapisan ini
langsung berhubngan dengan kulit terutam skrotum. Di sebelah
posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool

3
atas dan bawahnya.

Peredaran darah testis memiliki keterkaitan dengan peredaran


darah di ginjal karena asal embriologi ke dua organ tersebut. Pembuluh
darah arteri ke testis berasal dari aorta yang beranastomosis di funikulus
spermatikus dengan arteri dan vasa deferensia yang merupakan cabang
dari arteri iliaca interna. Aliran darah dari testis kembali ke pleksus
pampiniformis di funikulus spermatikus. Pleksus ini di annulus inguinalis
interna akan membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan
masuk ke dalam vena cava inferior sedangkan vena spermatika kiri akan
masuk ke vena renalis sinistra.

2.2 Definisi

Epididymitis dan orchitis merupakan inflamasi dari epididimis dan


testis, dengan atau tanpa disertai infeksi. Kelainan ini bisa diklasifikasikan
menjadi akut, subakut, atau kronik berdasarkan durasi gejala dirasakan.
Pada epididymitis akut, gejala biasanya menetap kurang dari enam minggu
dan ditandai dengan nyeri dan pembengkakan. Epididymitis kronik
ditandai dengan nyeri umumnya tanpa pembengkakan yang terjadi lebih
dari tiga bulan. Orchitis biasanya terjadi bila inflamasi menyebar dari
epididymis ke testis. Sebagian besar kasus berhubungan dengan infeksi
virus gondong , namun, virus lain dan bakteri dapat menyebabkan orchitis.

Orchitis merupakan reaksi inflamasi akut dari testis sekunder


terhadap infeksi. Sebagian besar kasus berhubungan dengan infeksi virus
gondong, namun virus lain dan bakteri dapat menyebabkan orchitis.
Orchitis (inflamasi pada testis) dapat disebabkan oleh bakteri atau akibat
septicemia. Biasanya kedua testis terkena, dan jika terjadi bilateral
kemandulan sering diakibatkannya, steril tidak terjadi bila bersifat
unilateral. (Long, 1996: 468)

2.3 Epidemiologi

Insiden kasus epididimo-orkitis dilaporkan terjadi pada 245 kasus


tiap 1000 laki-laki di Inggris Raya. Sedangkan di Indonesia, data kasus ini

4
masih terbatas. Epididimitis lebih sering terjadi daripada orkitis murni.
Disebutkan pada sebuah penelitian bahwa kejadian orkitis dialami oleh
58% dari kasus laki-laki yang didiagnosis epididimitis. Sedangkan kasus
orkitis murni secara umum jarang

2.4 Etiologi

Berbagai bakteri dan virus menyebabkan orkitis.

a. Orkitis pada pasien muda biasanya disebabkan oleh virus, dengan


penyakit gondong dan rubella sebagai penyebab paling umum. Ada
laporan kasus orkitis setelah vaksin campak, gondok, dan rubella
(MMR).

b. Virus lain termasuk coxsackievirus, varicella, echovirus, dan


cytomegalovirus.

c. Infeksi bakteri pada prostat dan infeksi saluran kemih dapat


menyebabkan orkitis. Penyebab umum orkitis bakterial termasuk
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
dan spesies Staphylococcus dan Streptococcus.

d. Bakteri penyebab infeksi menular seksual juga dapat menyebabkan


orchitis pada pria yang aktif secara seksual. Organisme yang umum
adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, dan Treponema
pallidum

e. Kompleks Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans,


Toxoplasma gondii, Haemophilus parainfluenzae, dan Candida
albicans telah dilaporkan menyebabkan orkitis pada pasien dengan
sistem kekebalan yang lemah.

Ada juga laporan orkitis yang disebabkan oleh autoimunitas, yang dapat
diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder.

Mayoritas kasus epididimitis terjadi akibat infeksi bakteri. Jenis


infeksi bakteri mencakup patogen saluran kemih yang umum serta patogen
yang diketahui menyebabkan penyakit menular seksual. Pada sebagian

5
besar kasus epididimitis, infeksi terjadi akibat aliran urin yang menurun,
paling sering terlihat pada pria lanjut usia, atau akibat penyakit menular
seksual, paling sering ditemui pada pria berusia 20 hingga 40 tahun. Pada
pria sebelum usia 20 tahun. kematangan seksual, penyebab paling umum
dari epididimitis adalah peradangan yang terjadi akibat trauma atau
aktivitas berulang seperti olahraga. Namun, kemungkinan penyakit
menular seksual harus dipertimbangkan bahkan pada pria sebelum
mencapai kematangan seksual karena kemungkinan pelecehan seksual.
Kemungkinan penyebab lain dari epididimitis adalah infeksi bahan kimia,
obat-obatan, dan virus.

2.5 Faktor Resiko

Faktor risiko epididymo-orchitis bergantung pada mekanisme


penyakitnya (IMS atau ISK). Faktor risiko penyebab non-enterik termasuk
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), berganti-ganti
pasangan seksual, atau diketahui memiliki kontak dengan gonore.

Faktor enteric adalah Instrumentasi dan pemasangan kateter.


Uretritis atau prostatitis juga bisa menjadi faktor risiko. Refluks urin yang
terinfeksi dari uretra prostat ke epidiymis melalui saluran sperma dan vas
deferens bisa dipicu melalui valsava atau pendesakan kuat. Uretritis
gonore (gonnorheae) merupakan penyakit hubungan seksual yang
disebabkan oleh kuman neiserria gonorrheae yang menyerang uretra pada
laki-laki dan endocervix pada wanita.

Faktor risiko terjadinya epididymitis pada semua laki-laki adalah


sebagai berikut:

✓ Aktivitas seksual yang aktif

✓ Aktivitas fisik yang berat

✓ Pengendara sepeda atau sepeda motor

✓ Duduk yang lama

Faktor risiko terjadinya epididymitis pada laki-laki lebih tua dari

6
35 tahun atau pada anak laki-laki prepubertas adalah sebagai berikut:

✓ Riwayat operasi traktus urinarius

✓ Obstruksi prostat pada laki-laki yang lebih tua dari 35 tahun

✓ Stenosis meatus atau katup urethra posterior pada anak laki-laki


prepubertas.

2.6 Patofisiologi

Epididymo-orchitis biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi


lokal dari saluran kemih bagian bawah (kandung kemih dan uretra), baik
melalui organisme enterik (yaitu ISK klasik) atau non-enterik (yaitu
menular seksual). Pada pria berusia <35 tahun, mekanisme yang paling
mungkin terjadi adalah penularan seksual, oleh karena itu organisme yang
paling umum adalah N. gonorrhoeae dan C. trachomatis. Pada pria yang
melakukan hubungan seks anal, organisme enterik seperti E. coli juga
merupakan penyebab umum. Pada pria berusia >35 tahun, organisme
enterik dari infeksi saluran kemih merupakan mekanisme penyakit yang
lebih mungkin terjadi. Oleh karena itu, patogen yang paling umum adalah
E. coli, Proteus spp., Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas
aeruginosa. Hal ini sering kali disebabkan oleh penyumbatan aliran keluar
kandung kemih akibat pembesaran prostat, yang menyebabkan naiknya
patogen secara retrograde

2.7 Gejala Klinis

Pasien orchitis biasanya datang dengan nyeri testis akut, yang


awalnya mungkin mengenai satu testis, dan kemudian menyebar hingga
mencakup seluruh skrotum. Pasien juga mungkin mengeluh demam
disertai malaise, kelelahan, dan menggigil.

Pasien epididimitis kemungkinan besar akan mengeluh nyeri dan


pembengkakan skrotum, sering kali terjadi secara bertahap dan bukan
akut. Ini mungkin dimulai dengan nyeri pinggang yang berpindah ke
skrotum. Pasien mungkin juga mengeluhkan gejala saluran kemih seperti

7
disuria, frekuensi buang air kecil, urgensi, atau inkontinensia urin. Pasien
mungkin juga mengeluh keluarnya cairan dari uretra. Anamnesis yang
cermat harus mencakup kemungkinan cedera traumatis atau cedera akibat
aktivitas berulang seperti olahraga, riwayat seksual termasuk riwayat
paparan penyakit menular seksual sebelumnya, dan riwayat kesehatan
masa lalu termasuk masalah yang berhubungan dengan saluran
genitourinari seperti infeksi saluran kemih sebelumnya, prostatitis, atau
prosedur bedah.

Pemeriksaan fisik kemungkinan besar akan menunjukkan


pembengkakan pada skrotum, dan palpasi skrotum kemungkinan besar
akan menunjukkan nyeri tekan pada skrotum, biasanya secara unilateral
namun pada beberapa kasus secara bilateral. Nyeri tekan pada palpasi
epididimis sepanjang bagian posterior dan superior testis merupakan ciri
khas epididimitis. Nyeri tekan pada palpasi testis sendiri dapat
mengindikasikan kemungkinan terjadinya epididymo-orchitis atau orkitis.
Kulit di atas skrotum mungkin tampak hangat, eritematosa, meradang, dan
mengeras akibat infeksi. Adenopati inguinalis yang nyeri tekan juga dapat
terjadi. Pemeriksaan fisik penis mungkin menunjukkan keluarnya cairan
dari uretra. Pemeriksaan colok dubur mungkin menunjukkan nyeri tekan
pada palpasi kelenjar prostat. Temuan ini, meskipun belum tentu
merupakan indikasi epididimitis itu sendiri, mungkin terjadi pada infeksi
saluran genitourinari pria.

Temuan pemeriksaan mungkin termasuk pembesaran testis, nyeri


tekan, dan indurasi. Edema skrotum dan eritema juga mungkin terjadi.
Epididimis juga bisa membesar jika orkitis disertai epididimitis. Refleks
kremaster adalah normal pada individu yang terkena dampak. Orkitis
gondong dapat muncul dengan pembesaran parotis bilateral dan biasanya
muncul 4 hingga 8 hari setelah timbulnya parotitis.

Manifestasi klinis Tanda dan gejala Orchitis dapat berupa demam,


air mani mengandung darah, keluarnya nanah dari penis, pembengkakan

8
skrotum, testis yang terkena terasa berat, membengkak, dan teraba lunak,
serta nyeri ketika berkemih, buang air besar(mengedan), melakukan
hubungan seksual. Klien selanglangan juga dapat membengkak pada sisi
testis yang terkena (Mycyk,2004). Sedangkan menurut Lemone (2004:
1533) manifestasi Orkitis antara lain demam tinggi, peningkatan WBCs,
kemerahan skrotum secara unilateral atau bilateral,
pembengkakan, dan nyeri.

2.8 Diagnosis (Anamnesis & Pemeriksaan Fisik)

Pada saat mengevaluasi pasien dengan gejala testis akut atau nyeri dan
pembengkakan skrotum (akut skrotum), harus dicurigai terjadinya
torsio testis terlebih dahulu. Terjadi banyak kasus torsio testis yang
salah didiagnosa sebagai epididymitis. Semua pasien dengan gejala
akut skrotum atau dicurigai menderita torsio testis harus segera dirujuk
ke ahli urologi untuk tindakan selanjutnya.

Pasien dengan epididymitis biasanya merasakan keluhan nyeri yang


bertambah sedikit demi sedikit, terlokalisir pada bagian posterior testis
yang bisa menjalar ke abdomen bawah. Walaupun pasien biasanya
merasakan keluhan nyeri pada satu sisi sahaja yang bermula dari
epididymis, keluhan ini bisa menyebar ke testis sisi tersebut. Gejala-
gejala infeksi salur kemih bawah seperti demam, peningkatan
frekuensi berkemih, urgensi, hematuria, dan disuria bisa ditemukan
pada pasien ini. Gejala-gejala tersebut umum pada epididymitis dan
orchitis tetapi amat jarang pada torsio testis.

Keluhan nyeri yang rekuren jarang didapatkan pada epididymitis dan


torsio appendiks testis tetapi bisa terjadi pada torsio testis disebabkan
torsio intermiten dengan resolusi spontan. Ada atau tidaknya gejala
mual muntah tidak membantu dalam membedakan antara epididymitis,
orchitis, dan torsio testis karena gejala tersebut bisa terjadi pada mana
mana kelainan. Orchitis virus biasanya disertai dengan onset nyeri dan
pembengkakan skrotum mendadak dan bersifat unilateral. Bila disertai

9
dengan riwayat infeksi kelenjar parotis, orchitis biasanya terjadi empat
sampai dengan tujuh hari setelah timbulnya parotitis.

Walaupun torsio testis bisa terjadi pada semua kelompok usia, insidens
tertinggi didapatkan pada usia diantara 12 sampai dengan 18 tahun,
diikuti kelompok neonatus. Torsio testis jarang didapatkan pada usia
diatas 35 tahun dan diantara neonatus sampai dengan 8 tahun. Torsio
appendiks testis umumnya terjadi pada usia tujuh sampai dengan 14
tahun dan jarang terjadi pada usia di atas 20 tahun.

Pasien dengan epididymitis dan orchitis selalu ditemukan takikardi


dengan atau tanpa demam. Pasien juga bisa mengeluhkan rasa tidak
nyaman saat duduk, namun keluhan ini juga sering terjadi pada kasus
torsio testis. Adalah penting untuk melakukan pemeriksaan ketok
sudut costovertebra untuk mencari adakah tanda pyelonephritis, dan
juga palpasi daerah suprapubik untuk mencari adakah tanda
peradangan vesica urinaria. Daerah inguinal harus diperiksa untuk
mencari tanda-tanda hernia atau pembengkakan dan nyeri tekan
kelenjar limfe regional yang sugestif terhadap proses inflamasi atau
infeksi dari epididymis atau testis. Skrotum harus diperiksa untuk
mencari tanda-tanda nyeri tekan duktus spermatikus yang sugestif
terhadap epididymitis.

Pembengkakan dan nyeri testis yang biasanya terjadi pada torsio testis
bisa berlanjut menjadi hidrokel reaktif dan eritema skrotum. Pada
epididymitis, epididymis yang terletak di bagian posterolateral testis
membengkak dan nyeri. Pada fase lanjutan, keadaan ini bisa berlanjut
menjadi pembengkakan testis menandakan telah terjadi orchitis,
dengan hidrokel reaktif dan eritema skrotum yang mirip dengan torsio
testis. Pembengkakan skrotum juga didapatkan pada kasus hernia
inguinal indirek, yang mana bising bisa terdengar pada auskultasi
skrotum.

Pada torsio appendiks testis, hidrokel reaktif sering terjadi dengan

10
nyeri tekan sesuai dengan lokasi anatomis dari appendiks testis. Blue
dot sign, merupakan diskolorasi warna biru di sekitar appendiks testis
bisa ditemukan pada dinding skrotum menandakan terjadinya infark
dan nekrosis. Refleks cremaster, yang dirangsang dengar cara
menggores kulit paha bagian medial harus dilakukan. Refleks normal
ditandai dengan kontraksi otot cremaster ipsilateral yang bisa terlihat
melalui elevasi testis unilateral yang biasanya positif pada
epididymitis, orchitis, dan torsio appendiks testis namun negatif pada
torsio testis. Prehn sign, yang mana berkuranganya nyeri pada saat
testis dielevasi bisa ditemukan pada pasien dengan epididymitis,
namun hasil pemeriksaan ini tidak signifikan. Elevasi testis biasanya
akan memperberat keluhan nyeri pada torsio testis.

Tanda Prehn dapat digunakan untuk menilai lebih lanjut kasus dugaan
epididimitis. Pasien dalam posisi terlentang dan skrotum diangkat oleh
pemeriksa. Jika nyeri berkurang dengan peninggian (tanda Prehn
positif), hal ini menandakan epididimitis. Sayangnya, tanda Prehn
tidak bisa diandalkan; Meskipun sensitivitasnya baik, spesifisitasnya
relatif buruk, sehingga tidak digunakan secara rutin
dalam praktik klinis.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi pasien pria dengan nyeri skrotum harus dimulai dengan urinalisis.
Meskipun tidak spesifik, keberadaan sel darah merah dan sel darah putih
dalam urin dapat mengindikasikan kondisi infeksi atau peradangan akut.
Urine harus dikultur untuk menentukan agen penyebab pada kasus yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Usap uretra diindikasikan
dalam kasus di mana penyakit menular seksual dianggap mungkin terjadi
berdasarkan riwayat seksual pasien. Evaluasi radiografi mencakup
ultrasonografi dengan perhatian tidak hanya pada struktur anatomi tetapi
juga untuk menilai aliran pembuluh darah ke testis. Ultrasonografi dapat
menunjukkan peradangan pada epididimis dan testis pada kasus

11
epididimitis dan epididimo-orchitis. Tomografi terkomputerisasi juga dapat
digunakan dalam kasus di mana pasien mengalami nyeri panggul dan gejala
saluran kemih yang berhubungan dengan masalah genitourinari akut seperti
ureterolitiasis.

Yang paling penting adalah mengesampingkan kemungkinan torsio testis


sebagai penyebab nyeri skrotum. Meskipun epididimitis cenderung terjadi
secara bertahap, nyeri yang terkait dengan torsio testis sering kali terjadi
secara tiba-tiba. Namun, riwayat penyakit saja mungkin tidak cukup jelas
untuk menyingkirkan kemungkinan torsio testis akibat nyeri skrotum akut
tanpa bantuan konsultasi urologi dan ultrasonografi.

Diagnosis Banding

1. Torsio Testis

Torsio testis adalah terpuntirnya funikulus spermatikus,


sehingga terjadi hambatan aliran darah ke testis, sehingga
apabila 5-6 jam (golden period) tidak mendapatkan terapi akan
terjadi atrofi testis. Karena perfusi oleh vasa spermatika
interna menurun. Torsio paling sering terjadi pada usia
pubertas. Torsi dimulai dari kontraksi testis sebelah kiri,
dimana testis kiri berputar berlawanan dari arah jarum jam
sehingga terjadi oedem testis dan funikulus spermatikus
akibatnya terjadi iskemia.

Gambaran klinis torsio testis, biasanya pasien mengeluh


nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya tiba-tiba dan
diikuti pembengkakan pada testis. Nyeri dapat menjalar ke
daerah inguinal.

Pada pemeriksaan fisik tampak testis membengkak,


letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal dibandingkan testis
kontralateral. Kadang-kadang pada torsio yang baru saja
terjadi. Dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus
spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan

12
demam. Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan
adanya leukosit dalam urine dan pemeriksaan darah tidak
menunjukkan tanda inflamasi. Pada torsio testis tidak didapat
adanya aliran darah ke testis sedangkan pada keradangan akut
testis lainnya terjadi peningkatan aliran darah ke testis.

Terapi torsi testis : (1) detorsi manual, yaitu dengan


mengembalikan posisi testis ke asal memutar dengan testis kea
rah berlawanan dengan arah torsio, dengan anestesi lokal
(lidokain 1%) pada funikulus spermatikus di annulus 10-20 cc
bila operasi gagal dilakukan. (2) operasi, tujuannya adalah
untuk mengembalikan testis kea rah yang benar. Bila testis
viabel dilakukan orkidopeksi pada tunika dartos, dilanjutkan
orkidopeksi sisi kontralateral pada 3 tempat. Bila nekrosis
testis dilakukan orkidektomi disusul orkidopeksi sisi
kontralateral.

2. Hidrokel

Hidrokel adalah penumpukan cairan berlebih di antara


lapisan parietal dan visceral tunika vagina. Dalam keadaan
normal, cairan berbeda di dalam rongga memang ada dan
berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi
oleh sistem limfatik di sekitarnya. Hidrokel dapat disebabkan
oleh (1) penutupan prosesus vaginalis yang tidak sempurna
atau (2) ketidaksempurnaan sistem limfatik pada daerah
skrotum dalam menyerap kembali cairan hidrokel. Keluhan
utama pada hidrokel adalah benjolan yang tidak nyeri. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada kantung skrotum
dengan konsistensi seperti kista dan pemeriksaan visual
menunjukkan transiluminasi.

3. Hernia Skrotalis

Hernia adalah suatu kondisi ketika suatu organ dalam tubuh

13
menekan dan menembus otot yang melemah atau celah pada
jaringan di sekitarnya. Salah satu jenis hernia yang paling
umum adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis terjadi ketika
sebagian usus keluar dari rongga perut melalui dinding perut
bagian bawah menuju alat kelamin. Hal ini menyebabkan
munculnya benjolan di skrotum yang terasa nyeri atau panas.
Pada hernia inguinalis, benjolan seringkali muncul saat
penderitanya mengangkat sesuatu dan hilang saat berbaring.
Meski hernia inguinalis sendiri tidak berbahaya, namun
kondisi ini berisiko memicu komplikasi yang bisa mengancam
nyawa. Untuk mengatasi hernia inguinalis yang nyeri dan
membesar, dokter akan menyarankan pembedahan untuk
mengembalikan posisi usus dan menutup celah penyebab
hernia.

2.10 Penatalaksanaan

Pengobatan empirik pada epididymitis harus diberikan sesuai dengan


kemungkinan patogen penyebab, pada saat pemeriksaan laboratorium
belum selesai. Pengobatan dilakukan dengan fokus terhadap
menyembuhkan infeksi, memperbaik gejala, menghindar penularan, dan
mengurangkan kemungkinan timbulnya komplikasi.

Jika kemungkinan infeksi disebabkan oleh gonokokus atau Chlamydia


(pada pasien usia 14 sampai dengan 35 tahun), pengobatan harus terdiri
dari ceftriaxone dengan dosis tunggal 250 mg secara intramuscular, dan
doksisiklin 100 mg sebanyak 2 kali sehari selama 10 hari per oral.
Azithromycin 1 gram dosis tunggal per oral bisa digunakan untuk
menggantikan doksisiklin.

Jika kemungkinan infeksi disebabkan oleh organisme enterik seperti


bakteri coliform (pada pasien usia kurang dari 14 tahun atau lebih dari 35
tahun), atau pada pasien dengan riwayat alergi terhadap sefalosporin atau
tetrasiklin, pengobatan harus menggunakan antibiotika dari golongan

14
floroquinolon. Ofloksasin 300 mg per oral diberikan sebanyak 2 kali
sehari selama 10 hari. Levofloksasin 500 mg pula diberikan per oral
sebanyak 1 kali sehari selama 10 hari. Pasien yang dengan
immunocompromised tetap diberikan terapi seperti yang diberikan kepada
pasien immunocompetent.

Sebagai tambahan kepada pengobatan antibiotika, analgetik, elevasi


skrotum, tirah baring, dan penggunaan kompres dingin juga membantu
dalam proses pengobatan epididymitis. Pasien harus diinformed consent
berkenaan komplikasi yang berkemungkinan terjadi termasuk sepsis,
abses, infertilitas, dan penularan infeksi.

Epididymitis dan orchitis biasanya bisa diobati dengan hanya rawat


jalan, namun pasien harus sering kontrol. Rawat inap disaran dilakukan
terhadap penderita dengan nyeri hebat, mual muntah yang mana
menghambat proses pengobatan per oral, kecurigaan terjadinya abses,
kegagalan rawat jalan, atau muncul tanda-tanda sepsis.

Pengobatan orchitis pada umumnya bersifat suportif dan harus termasuk


tirah baring, dan penggunaan kompres dingin atau hangat untuk perbaikan
keluhan nyeri. Pengobatan antibakteri tidak diindikasikan terhadap orchitis
virus, dan sebagian besar kasus yang terkait dengan parotitis sembuh
spontan setelah tiga sampai dengan sepuluh hari. Pasien dengan
epididymo-orchitis memerlukan pengobatan antibiotic seperti yang
diberikan pada pasien dengan epididymitis.

Pengobatan suportif: Bed rest, analgetik, elevasi skrotum. Yang


paling penting adalah membedakan orchitis dengan torsio testis karena
gejala klinisnya hampir mirip. Tidak ada obat yang diindikasikan untuk
pengobatan orchitis karena virus.

Pada pasien dengan kecurigaan bakteri, dimana penderita aktif


secara seksual, dapat diberikan antibiotik untuk menular seksual (terutama
gonore dan klamidia) dengan ceftriaxone, doksisiklin, atau azitromisin.
Antibiotik golongan Fluoroquinolon tidak lagi direkomendasikan oleh

15
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk pengobatan
gonorrhea karena sudah resisten, contoh antibiotik:

1. Ceftriaxone

Sefalosporin generasi ketiga dengan spektrum luas,


aktivitas gram-negatif; efikasi lebih rendah terhadap organisme
gram-positif. Menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
mengikat satu atau lebih penicillin-binding proteins. Dewasa
IM 125-250 mg sekali, anak: 25-50 mg/kg/hari IV; tidak
melebihi 125 mg/d

2. Doksisiklin

Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri


dengan cara mengikat 30S dan kemungkinan 50S subunit
ribosom bakteri. Digunakan dalam kombinasi dengan
ceftriaxone untuk pengobatan gonore. Dewasa cap 100 mg
selama 7 hari, Anak: 2-5 mg/kg/hari PO dalam 1-2 dosis
terbagi, tidak melebihi 200 mg/hari

3. Azitromisin

Mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan


oleh strain rentan mikroorganisme. Diindikasikan untuk
klamidia dan infeksi gonorrheal pada saluran kelamin. Dewasa
1 g sekali untuk infeksi klamidia, 2 g sekali untuk infeksi
klamidia dan gonokokus. Anak: 10 mg/kg PO sekali, tidak
melebihi 250 mg/hari 15.

4. Trimethoprim-sulfamethoxazole

Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat


sintesis asam dihidrofolik. Umumnya digunakan pada pasien
usia 35 tahun yang menderita orkitis. Dewasa 960 mg tiap 12
jam selama 14 hari. Anak-anak 15-20 mg/kg/hari, berdasarkan
TMP, PO tid/qid selama 14 hari

16
5. Ciprofloxacin

Fluoroquinolones dengan aktivitas melawan pseudomonas,


streptokokus, MRSA, S epidermidis, dan sebagian besar
organisme gram negatif, tetapi tidak ada aktivitas melawan
anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan akibatnya
pertumbuhan bakteri terhambat. Dewasa tab 500 mg PO selama
14 hari. Anak-anak tidak dianjurkan.

2.11 Komplikasi

1. Sampai dengan 60% testis yang terkena menunjukkan


beberapa tingkat atrofi testis.

2. Gangguan kesuburan dilaporkan pada 7-13%.

3. Hidrokel atau piokel komunikan mungkin memerlukan


drainase bedah untuk mengurangi tekanan dari tunika.

4. Abses scrotalis

5. Infark testis

6. Kekambuhan

2.12 Prognosis

Sebagian besar kasus orchitis karena mumps menghilang secara spontan


dalam 3-10 hari. Dengan pemberian antibiotic sesuai, Sebagian besar
kasus orchitis bakteri dapat sembuh tanpa komplikasi.

17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

a. Nama : Ni Kadek Sintha Dwi Aryanti

b. Usia : 13 tahun

c. Jenis Kelamin : Perempuan

d. Alamat : Jl. Gunung Rinjani No.11

e. Pekerjaan : Pelajar SMP

f. Kewarganegaraan : Indonesia

g. Pendidikan : SMA

h. Agama : Hindu

i. No. Rekam Medis : 069548

3.2 Anamnesa

Telah dilakukan anamnesis secara autoanamnesis dan


alloanamnesis pada tanggal 11 Desember 2023 di ruangan Bakas RSUD
Klungkung.

18
a. Keluhan utama

Demam

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien seorang remaja putri datang diantar oleh ibunya ke IGD


RSUD Kabupaten Klungkung dengan keluhan utama demam yang
sudah berlangsung sejak 12 hari yang lalu SMRS. Namun selama 12
hari tersebut terdapat fase sembuh selama bebrapa hari. Dalam 12 hari
tersebut awalnya demam dirasakan selama 3 hari kemudian demam
tidak muncul lagi selama 3 hari setelah itu demam kembali selama 2
hari kembali sembuh selama 2 hari lalu demam lagi selama 2 hari
hingga akhirnya memutuskan untuk ke IGD. Demam dirasakan naik
turun di waktu yang tidak menentu. Demam dirasakan menurun
apabila pasien meminum obat yang diberikan dari puskesmas namun
demam kembali muncul apabila efek obat sudah habis. Demam sangat
mengganggu aktivitas hiingga membuat pasien tidak bersekolah
selama beberapa hari. Keluhan lain yang dirasakan adalah batuk
berdahak. Batuk dirasakan sudah sejak 2 minggu yang lalu. Dahaknya
awalnya berwarna bening lambat laun kuning dan sekarang berwarna
hijau dan kental. Batuk dirasakan berkurang apabila pasien beristirahat
dan minum air putih sedangkan tidak ada yang mmeperberat keluhan
batuknya. Keluhan lain yang dirasakan adalah penurunan nafsu makan
dan minum sejak keluhan demam dan batuk muncul yang sebelumnya
pasien makan 3-4 kali sehari dan selama pasien sakit pasien hanya
makan 1-2 kali sehari sehingga pasien juga mengeluhkan penurunan
berat badan. Keluhan lain seperti sesak (-), mengi (-), keringat malam
hari (-) gusi berdarah (-), mimisan (-), bitnik-bintik merah dikulit (-),
nyeri perut (-), nyeri persendian (-) disangkal. Ibu pasien juga
menyangkal pasien dalam waktu dekat ini bepergian ke wilayah
endemis. Pasien masih dapat kencing terakhir 30 menit SMRS,
kesulitan dalam BAB disangkal, terakhir minum obat penurun panas 4

19
jam SMRS.

Riwayat penyakit dahulu dan pengobatan


 Riwayat keluhan sama : (-)
 Riwayat Demam Dengue : (-)
 Riwayat Demam Berdarah : (-)
 Riwayat Demam Tifoid : (-)
 Riwayat Pneumonia : (-)
 Riwayat TBC : (-)
 Riwayat Asma : (-)
c. Riwayat penyakit keluarga

 Riwayat Keluhan sama : (-)


 Riwayat Demam Dengue : (-)
 Riwayat Demam Berdarah : (-)
 Riwayat Demam Tifoid : (-)
 Riwayat Pneumonia : (-)
 Riwayat TBC : (-)
 Riwayat Asma : (-)

d. Riwayat sosial dan ekonomi

Pasien sehari-harinya adalah sebagai pelajar yang bersekolah di


SMP. Ayah dan ibu pasien sehari-hari bekerja sebagai wiraswasta yang
mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien.

e. Riwayat Alergi

Riwayat alergi disangkal

f. Riwayat Pengobatan

Paracetamol dan antibiotic yang didapat dari Puskesmas

g. Riwayat Imunisasi

 Imunisasi Dasar : Ibu Pasien tidak mampu


mengingat

20
 Imunisasi usia Sekolah Dasar : Ibu pasien maupun pasien
tidak mampu mengingat imunisasi apa yang sudah didapat

 Imunisasi lainnya : Vaksin Covid-19 sebanyak


2 kali di tahun 2020

h. Riwayat Persalinan

Pasien lahir dalam usia kandungan 36 minggu per vagina yang dibantu
oleh bidan, dengan berat badan lahir 3.500 gram dan panjang badan
lahir 49 cm

i. Riwayat Nutrisi
Pemberian ASI tidak diberikan oleh ibunya karena tidak tinggal
dengan ibu kandungnya, Pemberian susu formula dari usia 0 hingga
saat ini 12 bulan dan makanan pendamping ASI mulai diberikan saat
usia 6 bulan yaitu diberikan pisang 1-2 kali sehari sebanya 1-2 sendok,
diberikan bubur tim usia 7 bulan yang berisi nasi telur, wortel dan hati
ayam yang dihaluskan 2x sehari disertai snak seperti buah melon dan
biscuit dijual bebas di took sebanya 1- 2 kali untuk sayuran hijau
jarang diberikan karena pasien tidak menyukainya. Makanan dewasa
baru diberikan di usianya 12 bulan hingga saat ini sebanyak 3-4 sehari
dan snak 2 kali sehari, diketahui dalam dua minggu terkahir pasien
sering mengonsumsi jajanan bebas seperti kentang goreng yang diluar
di jalanan. Saat ini, ibu yang merawat pasien mengeluhkan pasien
kurang nafsu makan semenjak sakit, dan tiap kali makan hanya makan
2-3 sendok makan saja.
j. Riwayat Tumbuh Kembang
Selama sekolah pasien mampu mengikuti pelajaran disekolah dengan
baik sama seperti teman-temannya dan pasien selalu naik kelas dan
mampu masuk sepuluh besar di ranking sekolah serta pasien tidak
memiliki riwayat prilaku tidak baik disekolah maupun lingkungan
kesehariannya.
3.3 Pemeriksaan Fisik

21
a. Keadaasn Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
c. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 154/84 mmHg
 Denyut Nadi : 70 x/menit
 Suhu Aksila : 36,4 0C
 Frekuensi pernafasan : 20 x/menit
 VAS : 4/10
 SpO2 : 99 %
d. Status Generalis

Kepala Normocephali, warna rambut hitam distribusi


merata, tidak mudah dicabut, nyeri tekan (-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor (3mmx3mm), refleks pupil (+/+).
Telinga Normotia, otorea (-/-), nyeri tekan tragus dan
mastoid (-/-), nyeri ketok mastoid (-/-), discharge
(-/-), serumen (-/-)
Hidung Bentuk normal, tidak ada nafas cuping hidung,
septum deviasi (-/-), discharge (-/-), serumen (-/-),
mukosa hiperemis (-/-), nyeri tekan (-/-)
Tenggorokan Uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
faring hiperemis (-)
Mulut Mulut simetris, bibir pucat (-), sianosis (-), lidah
kotor (-), mukosa hiperemi (-)
Leher Bentuk leher normal, pergerakan leher bebas,
kelenjar tiroid tidak membesar, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Thorax Dalam batas normal.
Pulmo Inspeksi Gerakan simetris saat statis dan dinamis, tidak ada
retraksi
Palpasi Nyeri tekan (-), taktil fremitus simetris pada kedua
lapang paru
Perkusi Sonor Redup Pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -

22
Auskultasi Vesikuler Ronkhi Wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Anterior

Inspeksi : Massa (-), distensi (-), tanda-tanda inflamasi (-),


Auskultasi : Bising usus (+) , peristaltik usus (10x/menit)
Abdomen
Perkusi : Timpani 9 regio abdomen, nyeri ketok CVA (-)
Palpasi : massa (-), defans muscular (-), nyeri simpisis (-)
Inspeksi Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi Iktus kordis teraba kuat angkat, melebar (-), thrill
(-)
Perkusi Batas jantung kanan: ICS V linea parastrernal
dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis
Jantung
sinistra
Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas pinggang jantung: ICS III linea parastrenal
sinistra
Auskultasi S1S2 tunggal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
e. Status Lokalis

Inspeksi Skrotum eritema (+), edema (+),


pus/sekret (-), benjolan (-)

Palpasi Skrotum dextra nyeri tekan (+),


teraba hangat (+), edema (+
benjolan di skrotum/inguinal (-)

Pemeriksaan khusus Transluminasi (-) Phren sign (+),


refleks kremaster (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Lab

23
b. USG Skrotum Bilateral dengan doppler cito

 Testis Dextra

Besar normal, tekstur homogeny dengan densitas lebih


hipoechoik, epididymis kanan ukuran membesar kista
ukuran 1,9 cm, pada P.color doppler vaskularisasi
meningkat. Tampak cairan bebas di peritesticuler

 Testis Sinistra

Besar normal, tekstur homogen, densitas normal,


epididymis kiri ukuran normal. Pada P.Doppler
vaskularisasi normal

 Kesan :

 Epididimo-orchitis Dextra dengan hidrokel


dextra dan tampak kista epididymis dextra

24
 Mengesankan gambaran varicocele kanan grade
3 dan kiri 2

3.5 Diagnosa Kerja

1. Epididimo-Orchitis Dextra

2. ISK

3.6 Diagnosis Banding

1. Torsio testis

2. Hidrokel

3. Hernia Skrotalis

3.7 Tatalaksana

1. Farmakologi

a. IVFD Nacl 1000cc/24 jam

b. Moxifloxacin 1x400 mg IV

c. Ceftriaxone 2x1 gr IV

d. Ibuprofen (anti-inflamasi non steroid) 3x1 intravena

e. Prazotec 2x1 iv

2. Operatif

Rencana Orchidektomi 08/09/2023

3.8 Prognosis

Dubia ad bonam

3.9 KIE

 MRS

 Tirah baring dengan posisi skrotum lebih di tinggikan

 Puasa pre-op 8 jam

3.10 Follow Up
08/09/2023
S Nyeri testis kanan (+)

25
O KU: Baik
Kesadaran: E4V5M6
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Denyut Nadi : 100 x/menit reguler kuat angkat
 Suhu Aksila : 36,2 0C
 RR : 16x/menit
 SpO2 : 99%
 VAS : 2/10
 Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis : Dalam batas normal
 Status Lokalis (Regio genitalia)

o Inspeksi : Skrotum eritema (+), edema (+), pus/sekret (-), benjolan (-)

o Palpasi : Skrotum dextra nyeri tekan (+), teraba hangat, edema (+


benjolan di skrotum/inguinal (-)

o P.Khusus : Transluminasi (+) Phren sign (+), refleks kremaster (+)


A Epididimo-Orchitis Dextra
ISK
P - Pro Orchidektomi di OK IBS (08/09/2023)
- KIE puasa
- IVFD Nacl 1000cc/24 jam
- Moxifloxacin 1x400 mg IV
- Ceftriaxone 2x1 gr IV
- Ibuprofen 3x1 iv
- Prazotec 2x1 iv

09/08/2023
S Nyeri post op berkurang (-), flatus (+), BAB (+)
O KU: Baik
Kesadaran: E4V5M6
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Denyut Nadi : 88 x/menit reguler kuat angkat
 Suhu Aksila : 36,7 0C
 RR : 18x/menit

26
 SpO2 : 98%
 VAS :2

 Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis : Dalam batas normal
o Status Lokalis : luka terawat (+), terpasang kateter kencing (+)
produksi urin 1000 cc
A Epididimo-Orchitis Dextra post orchidectomy H+1
P BPL

27
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Pasien laki-laki, usia 60 tahun, sudah menikah datang dengan


keluhan nyeri pada buah zakar sebelah kanan yang terjadi secara tiba-tiba
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan ini termasuk kasus akut skrotum yang
merupakan kegawatdaruratan di bidang urologi. Untuk itu, harus
dipertimbangkan berbagai diagnosis akut skrotum yang mungkin terjadi,
antara lain seperti torsio testis, epididymitis, orkitis, epididimo-orkitis,
hernia skrotalis, trauma, dan lainnya. Untuk menyingkirkan kemungkiinan
dari berbagai diagnosis akut skrotum, harus digali dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung. Dari
usia > 35 tahun yaitu 60 tahun pada pasien ini dimana pasien bukan pre
pubertas diagnosis orchitis murni dapat disingkirkan karena kasus orchitis
murni pada orang dewasa sangat jarang terjadi melainkan biasanya terjadi
bersamaan dengan epididymitis yang disebut epididimo-orchitis.

Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan nyeri pada buah zakar


sebelah kanan dialami sejak 4 hari yang lalu tanpa didahului adanya
trauma ataupun aktivitas berat dengan VAS 4/10. Nyeri muncul secara
bertahap semakin lama semkain memberat dan dirasakan terus menerus,
hal ini dapat menyingkirkan diagnosis torsio testis yang biasanya datang
dengan nyeri yang mendadak dan nyeri yang berat pada skrotumpaling
sering sebelah kiri dan biasanya pada torsio testis adanya Riwayat trauma
ataupun aktivitas berat yang mendahuluinya dan torsio testis paling sering
terjadi di usia muda.

Keluhan lain pasien sulit BAK sedikit-sedikit sejak 9 bulan yll,


Riwayat neurogenic bladder (+), ISK (+) pasien dengan pemasangan
kateter terakhir diganti 1 minggu yll SMRS hal ini dapat mengarah pada

28
etiologi pathogen enteric yaitu bakteri Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan spesies Staphylococcus dan
Streptococcus hal ini menyingkirkan kemungkinan penyebab pathogen
IMS seperti gonorhe dan chlamydia. Sedangkan virus penyebab
gondongan atau mumps yang dapat bekembang menjadi orchitis yang
biasanya pada anak laki-laki atau pre pubertas yang belum mendapatkan
vaksin MMR maka pada pasien ini dapat disingkirkan karena usia pasien
yang bukan ana-anak melainkan lansia usia 60 tahun.

Pasien juga menyangkal adanya riwayat benjolan yang keluar


masuk pada lipat paha ataupun pada kantong zakar, maka kemungkinan
hernia scrotalis maupun inguinalis dapat disingkirkan.

Pasien tidak memiliki riwayat benturan / trauma pada daerah


kemaluan sebelumnya. Keluhan buang air kecil seperti BAK bernanah (-),
riwatar berganti-ganti pasangan sehingga factor resiko IMS dapat
disingkirkan. Pada pasien terdapat keluhan kesulitan BAK sedikit-sedikit,
riw neurogenic bladder (+), pemasangan kateter dalam waktu yang lama
sehingga pada pasien ini memiliki faktoir resiko kearah enterik. Pada
pemeriksaan penunjang didaatkan leukositosis, peningkatan neutrophil
yang menandakan adanya infeksi temuan ini mendukung terjadinya
infeksi. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan kejernihan urin keruh,
eritrosit urin (+), leukosit urin (+) hal ini mengindikasikan adanya ISK.

Dari pemeriksaan fisik, daerah scrotalis dextra didapatkan edema,


hiperemis, teraba hangat, nyeri tekan (+), phren’s sign (+). Pemeriksaan
phren’s sign, dimana nyeri berkurang dengan melakukan elevasi pada
testis, umumnya terjadi pada pasien epididymitis, walaupun hal ini bukan
temuan yang dapat dipercaya. Elevasi dari testis biasanya mengeksaserbasi
nyeri pada torsio testis. Selain itu, nyeri pada torsio testis, umumnya
dirasakan sangat nyeri, dan terdapat testis transveral dan high riding. Pada
kasus torsio testis, dalam kurun waktu 6 jam harus dilakukan tindakan
operatif. Pada pasien ini torsio testis dapat disingkirkan dari hasil USG

29
dopler. Dari USG tidak ditemukan adanya gangguan vaskularisasi ke
testis.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,pemeriksaan penunjang


maka dapat ditegakkan diagnosis kerja epididimo-orchitis, dan dilakukan
tatalaksana dengan tirah baring, pemberian antibiotik, analgetik, serta
tindakan orchidektomi. Pemberian antibiotic sudah sesuai dengan
kemungkinan pathogen yang paling mungkin dari pasien yaitu faktor
enterik yaitu antibiotik golongan floroquinolon dan sepalosporin pada
pasien ini diberikan antibitiok moxifloxacin & ceftriaxone. Pada pasien ini
juga dilakukan tindakan orchidectomy yaitu pengangkatan testis hal ini
dilakukan karena terdapat kista pada testis kanan yang terlihat lewat USG
serta untuk mencegah terjadinya kekambuhan kembali mengingat pasien
dengan kondisi neurogenic bladder (+) dengan pemakaian kateter urin
yang rutin sehingga besar resiko untuk mengalami kekambuhan.

30
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pasien adalah seorang laki-laki usia 60 tahun datang ke IGD RSUD


klungkung dengan keluhan utama adalah nyeri pada buah zakar kanan
sejak 4 hari yang lalu dengan VAS 4/10. Pada pemeriksaan fisik pada
regio genitalia skrotum kanan edema (+), eritema (+), nyeri tekan (+),
transluminasi (+), phren sign (+). Pada pemeriksaan penunjang hematologi
terdapat leukositosis (+), peningkatan neutrophil (+) dan pada urinalisis
didapatkan urin keruh (+) eritrosit urin (+) leukosit urin (+), pada USG
Doppler didapatkan epididymis kanan membesar, tidak ada gangguan
vaskularisasi (+) Sehingga dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang maka pasien dapat ditegakan dengan
diagnosis epididimo-orchitis dextra & ISK. Penatalaksanaan pada pasien
ini adalah dengan MRS, antibiotic, Analgetik dan orchidektomi.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Pilatz A, Fijak M, Wagenlehner F, Schuppe HC. [Orchitis]. Urologe A.


2019 Jun;58(6):697-710. [PubMed]
2. Krieger JN. Epididymitis, orchitis, and related conditions. Sex Transm
Dis. 1984 Jul-Sep;11(3):173-81. [PubMed]
3. Kanda T, Mochida J, Takada S, Hori Y, Yamaguchi K, Takahashi S.
Case of mumps orchitis after vaccination. Int J Urol. 2014
Apr;21(4):426-8. [PubMed]
4. Silva CA, Cocuzza M, Carvalho JF, Bonfá E. Diagnosis and
classification of autoimmune orchitis. Autoimmun Rev. 2014 Apr-
May;13(4-5):431-4. [PubMed]
5. Ludwig M. Diagnosis and therapy of acute prostatitis, epididymitis and
orchitis. Andrologia. 2008 Apr;40(2):76-80. [PubMed]

32

Anda mungkin juga menyukai